Efisiensi Wereng Hijau Dan Wereng Batang Cokelat Sebagai Vektor Virus Pada Tanaman Padi

EFISIENSI WERENG HIJAU DAN WERENG BATANG
COKELAT SEBAGAI VEKTOR VIRUS
PADA TANAMAN PADI

AMELIA FERYNA BULAN DINI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efisiensi Wereng Hijau
dan Wereng Batang Cokelat sebagai Vektor Virus pada Tanaman Padi adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015

Amelia Feryna Bulan Dini
NIM A352130201

RINGKASAN
AMELIA FERYNA BULAN DINI. Efisiensi Wereng Hijau dan Wereng
Batang Cokelat sebagai Vektor Virus pada Tanaman Padi. Dibimbing oleh SRI
HENDRASTUTI HIDAYAT dan I WAYAN WINASA.
Penyakit virus pada padi merupakan masalah penting dalam produksi beras
di Indonesia. Kehilangan hasil yang disebabkan oleh penyakit tungro dan penyakit
kerdil umumnya dilaporkan sejak masa tanam. Penyakit tungro disebabkan oleh
infeksi ganda virus, Rice tungro bacilliform virus (RTBV) dan Rice tungro
spherical virus (RTSV); sementara penyakit kerdil disebabkan oleh Rice grassy
stunt virus (RGSV) atau Rice ragged stunt virus (RRSV). Vektor yang paling
efisien dalam menularkan penyakit virus padi telah diketahui, di antaranya wereng
hijau, Nephotettix virescens (Distant), untuk penyakit tungro dan wereng batang
cokelat, Nilaparvata lugens (Stal.), untuk penyakit kerdil.

Penyakit tungro dan kerdil sudah menyebar di Provinsi Jawa Barat yang
merupakan salah satu pemasok padi terbesar secara nasional. Diagnosis penyakit
tidak dapat mengandalkan hanya dari gejala saja karena gejala yang muncul
beranekaragam serta mirip dengan gejala kekurangan hara dan kekeringan sehingga
perlu dilakukan diagnosis secara molekuler. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan
menentukan efisiensi wereng hijau dan wereng batang cokelat dalam menularkan
penyakit tungro dan kerdil ke tanaman padi. Selain itu juga dilakukan deteksi virus
dengan metode polymerase chain reaction (PCR) untuk mengonfirmasi gejala
penyakit tungro dan penyakit kerdil.
Penelitian meliputi tiga kegiatan, yaitu (1) pengamatan populasi wereng hijau
dan wereng batang cokelat, dan insidensi penyakit tungro dan penyakit kerdil di
lapangan; (2) percobaan penularan virus dengan vektor serangga di rumah kaca
menggunakan padi varietas IR 64; dan (3) deteksi virus dengan metode PCR
dan/atau RT-PCR dan analisis sikuen nukleotida. Pengamatan lapangan dilakukan
di Desa Sukamandi Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat pada bulan Oktober November 2014. Percobaan penularan virus dengan vektor serangga terdiri atas 10
kombinasi perlakuan, yaitu 1 (sumber virus tungro, serangga vektor wereng hijau);
2 (sumber virus kerdil, serangga vektor wereng batang cokelat); 3 (sumber virus
tungro, serangga vektor wereng hijau dan wereng batang cokelat); 4 (sumber virus
kerdil, serangga vektor wereng hijau dan wereng batang cokelat); 5 (sumber virus
tungro dan kerdil, serangga vektor wereng hijau dan wereng batang cokelat); 6

(sumber virus tungro dan kerdil, serangga vektor wereng hijau); 7 (sumber virus
tungro dan kerdil, serangga vektor wereng batang cokelat); 8 (tanaman sehat
serangga vektor wereng hijau dan wereng batang cokelat); 9 (tanaman sehat,
serangga vektor wereng hijau); 10 (tanaman sehat, serangga vektor wereng batang
cokelat). Deteksi RTBV, RGSV, dan RRSV dilakukan menggunakan primer
spesifik yang mengamplifikasi gen protein selubung.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa populasi wereng batang
cokelat mengalami fluktuasi dan tergolong rendah (0.01-71.67 ekor per 100
tanaman), sedangkan wereng hijau tidak ditemukan. Penyakit tungro tidak
ditemukan, sedangkan insidensi penyakit kerdil tergolong rendah (0.01 – 10.52%).
Gejala penyakit yang ditemukan pada saat pengamatan terdiri atas gejala kerdil

hampa, kerdil rumput dan campuran kerdil hampa dan kerdil rumput. Fluktuasi
populasi terjadi karena proses adaptasi setelah migrasi dari lahan sebelumnya.
Wereng yang mampu beradaptasi akan bertahan dan berkembangbiak, sedangkan
wereng yang tidak mampu beradaptasi pada tempat baru akan mati. Keberadaan
musuh alami dan beberapa faktor lingkungan juga mempengaruhi populasi wereng.
Pengamatan populasi wereng dilakukan pada masa tanam di musim penghujan,
Daerah Sukamandi merupakan sentra padi dimana padi ditanam secara terus
menerus tanpa adanya rotasi tanaman dan penanaman dilakukan secara tidak

serempak sehingga tanaman padi selalu ada sebagai makanan wereng.
Percobaan penularan menunjukkan wereng batang cokelat lebih efisien
menularkan RRSV daripada wereng hijau menularkan virus tungro, yaitu ditandai
dengan periode inkubasi yang lebih singkat dan insidensi penyakit yang lebih
tinggi. Periode inkubasi RRSV pada padi varietas IR 64 adalah 7 hari, dengan
insidensi penyakit 100%, dan keparahan penyakit tertinggi 97.03%. Periode
inkubasi virus tungro adalah 7 – 14 hari, dengan insidensi penyakit berkisar dari
76.67% sampai 100 %, dan keparahan penyakit tertinggi 94.06%. Gejala penyakit
yang muncul ditentukan oleh kombinasi perlakuan. Perlakuan wereng hijau dengan
sumber inokulum virus tungro menghasilkan gejala tungro, perlakuan wereng
batang cokelat dengan sumber inokulum virus kerdil menghasilkan gejala kerdil
hampa, perlakuan wereng hijau dan wereng batang cokelat dengan sumber
inokulum virus tungro dan virus kerdil menghasilkan gejala campuran tungro dan
kerdil hampa.
Deteksi virus dari sampel tanaman dari lapangan tidak berhasil
mengamplifikasi virus tungro, tetapi berhasil mengamplifikasi gen protein
selubung RRSV menggunakan primer RRSV-S9-F/RRSV-S9-R pada ± 445 pb,
dan gen protein selubung RGSV menggunakan primer RGSV-S3-F/ RGSV-S3-R
pada ± 750 pb. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman padi di Sukamandi tidak
terinfeksi oleh virus tungro, tetapi ditemukan infeksi virus kerdil rumput dan kerdil

hampa. Metode deteksi dengan PCR juga berhasil mengonfirmasi infeksi virus dari
sampel tanaman hasil percobaan penularan. Pita DNA berukuran ± 1400 pb
berhasil diamplifikasi menggunakan primer spesifik virus tungro RTBV2L/
RTBV2R dari sampel tanaman bergejala tungro. Pita DNA spesifik RRSV juga
berhasil diamplifikasi dari sampel tanaman bergejala kerdil, sedangkan pita DNA
spesifik RGSV tidak teramplifikasi. Analisis sikuen nukleotida menunjukkan
bahwa RRSV dan RGSV isolat Sukamandi tersebut memiliki homologi tertinggi
berturut-turut dengan isolat Vietnam, Filipina dan Thailand (97.1 %); dan isolat
Longan, Vietnam (95.8 %). Sikuen isolat RTBV asal Indonesia (Purwakarta)
memiliki homologi tertinggi dengan isolat Chainat dari Thailand (85.7 %). Analisis
sikuen gen protein selubung RTBV, RGSV, dan RRSV menunjukkan adanya
homologi yang tinggi antara virus-virus padi di Asia Tenggara.
Spesifikasi spesies wereng menularkan virus padi telah dibuktikan pada
penelitian ini. Wereng hijau hanya menularkan virus tungro, sedangkan wereng
batang cokelat hanya menularkan virus kerdil hampa. Efisiensi wereng batang
cokelat menularkan virus kerdil lebih tinggi dibandingkan wereng hijau menularkan
virus tungro.
Kata kunci : Rice grassy stunt virus, Rice ragged stunt virus, Rice tungro virus,
wereng batang cokelat, wereng hijau.


SUMMARY

AMELIA FERYNA BULAN DINI. Efficiency of Green Leafhopper and
Brown Planthopper as Vectors of Rice Viruses. Supervised by SRI
HENDRASTUTI HIDAYAT and I WAYAN WINASA.
Viral diseases is an important constraint for rice production in Indonesia.
Yield loss due to tungro and stunt diseases is commonly reported during the
growing season. Tungro disease is caused by infection of two viruses, Rice tungro
bacilliform virus (RTBV) and Rice tungro spherical virus (RTSV); whereas stunt
diseases is caused by Rice grassy stunt virus (RGSV) or Rice ragged stunt virus
(RRSV). The most efficient vectors for viral diseases on rice has been known, i.e.
green leafhopper, Nephotettix virescens (Distant), for tungro disease and brown
planthopper, Nilaparvata lugens (Stal.), for stunt diseases.
Tungro and stunt diseases has spread in West Java province, one of the main
rice growing area. Diagnosis of diseases could not rely only on symptoms due to
similar symptoms caused by nutrient deficiencies and drought. Therefore,
laboratory test using molecular approach should be done to confirm virus infection.
This research was aimed to evaluate the efficiency of green leafhopper (N.
virenscens) and brown planthopper (N. lugens) as vectors of tungro and stunt
diseases, respectively. Detection method based on polymerase chain reaction

(PCR) was also carried out to confirm tungro and stunt diseases symptoms.
Three activities was conducted during the research , i.e. (1) field observation
of leaf hopper and brown planthopper populations, and tungro and stunt diseases
incidence; (2) greenhouse experiment to study virus tramsmission by insect vector
using IR 64 rice varieties; and (3) Detection of virus infection using PCR and/or
RT-PCR method, followed by nucleotide sequence analysis. Field observation was
carried out in Sukamandi Village, West java Province in October – November 2014.
Virus transmission experiment consisted of 10 treatments combination, i.e. 1
(tungro virus, with green leafhopper insect vector); 2 (stunt virus with brown
planthopper insect vector); 3 (tungro virus with green leafhopper and brown
planthopper insect vectors); 4 (stunt virus with green leafhopper and brown
planthopper insect vectors); 5 (tungro and stunt virus with green leafhopper and
brown planthopper insect vectors); 6 (tungro and stunt virus with green leafhopper
insect vectors); 7 (tungro and stunt virus with brown planthopper insect vectors); 8
( healthy plants with green leafhopper and brown planthopper); 9 (healthy plants
with green leafhopper); 10 (healthy plants with brown planthopper). Detection of
RTBV, RGSV, and RRSV was conducted using specific primers for coat protein
gene.
Field observation showed that brown plant hopper population is fluctuating
with relatively low population (0-71.67 heads per 100 plants), whereas leaf hopper

population was not found. Tungro disease was not found, whereas stunt diseases
was occurred in low incidence (0.01 – 10.52%). The symptoms observed is ragged
stunt, grassy stunt and mix symptoms of ragged and grassy stunt. Fluctuations in
population is occured probably due to adaptation of migrating population of the
brown planthopper . Population of brown planthopper which were able to adapt will

survive and multiply, while the population which failed to adapt in new place will
die. The presence of natural enemies and several environment condition may also
affect the population of brown planthoppers. The field observation was done during
the rainy season. Sukamandi is paddy rice growing area, in which the paddy rice
was planted continuously without crop rotation and simultaneously so that is always
as brown planthopper food. Transmission experiment showed that brown
planthopper transmitted RRSV more efficiently than green leafhopper transmitted
rice tungro virus. Shorter incubation period (7 days), higher disease incidence and
severity (100% and 97.03%, respectively) was observed for RRSV in var. IR64.
Incubation period of rice tungro virus was 7 – 14 days, with disease incidence
ranging from 76.67% to 100% and disease saverity 94.06%. Diseases symptoms
was determined by treatment combination. Green leafhopper treatment with tungro
virus caused tungro symptoms, brown planthopper treatment with stunt virus
caused stunt symptoms, mix of green leafhopper and brown planthopper treatment

with mix tungro and stunt virus caused mix symptoms of tungro and stunt disease .
Detection of viruses from field samples was unable to amplify tungro virus,
but was successfully amplified coat protein gene of RRSV and RGSV using RRSVS9-F/ RRSV-S9-R primers and RGSV-S3-F/RGSV-S3-R primers, respectively.
DNA bands of ±445 bp and ± 750 bp was amplified for RRSV dan RGSV,
respectively. This result indicated that paddy rice plants in Sukamandi was not
infected by tungro virus, but positively infected by RRSV and RGSV. The same
detection method confirmed virus infection from plant samples collected from
transmission experiment., DNA bands of ± 1400 bp was successfully amplified
using spesific primers RTBV2L/ RTBV2R from plant samples showing tungro
symptoms. Specific DNA bands of RRSV(450 bp) was also successfully amplified
from plant showing stunt symptoms, whereas DNA bands of RGSV was not
amplified. Nucleotide sequence analysis showed that RRSV and RGSV isolates
from Subang has the highest homology Vietnam, Filipina and Thailand (97.1 %);
and Longan, Vietnam (95.8%), respectively. The sequence of RTBV isolate from
Indonesia (isolate Purwakarta) has the highest homology with Chainat isolate from
Thailand (85.7 %) and the lowest with Kanyakumari isolate from India (68.9 %).
This sequence analysis of coat protein gene of RTBV, RGSV, and RRSV indicated
a high homology among rice viruses in Southeast Asia.
Species specification of the insect vector in transmitting rice viruses was
evidenced in this study. Green leaf hopper only transmitted tungro virus, whereas

brown plant hopper only transmitted ragged stunt virus. Incidence and severity of
tungro disease was lower than those of stunt disease.
Keywords : Brown planthopper, green leafhopper, Rice grassy stunt virus, Rice
ragged stunt virus, Rice tungro virus

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan mengutip tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

EFISIENSI WERENG HIJAU DAN WERENG BATANG
COKELAT SEBAGAI VEKTOR VIRUS
PADA TANAMAN PADI

AMELIA FERYNA BULAN DINI


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Kikin Hamzah Mutaqin, MSi

PRAKATA

Alhamdulillahirrabbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.
Penelitian dengan judul “Efisiensi Wereng Hijau dan Wereng Batang Cokelat
sebagai Vektor Virus pada Tanaman Padi” telah dilaksanakan sejak bulan Oktober
2014 sampai Mei 2015. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Sri
Hendrastuti Hidayat, MSc. dan Dr Ir I Wayan Winasa, MS selaku komisi
pembimbing, Dr Bambang Nuryanto, MS. selaku pembimbing lapangan, yang
telah banyak memberi dukungan, kritik serta saran kepada penulis, serta Dr Ir
Kikin Hamzah Mutaqin, MSi. yang telah bersedia bertindak sebagai penguji luar
komisi pada ujian tesis. Penelitian ini merupakan bagian dari Hibah Penelitian
KKP3N 2013-2015 atas nama Sri Hendrastuti Hidayat yang didanai oleh
Kementerian Pertanian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua
orang tua penulis bapak Marsolini SPd. dan ibu Nurhayana, serta seluruh
keluarga, atas segala dukungan, doa dan kasih sayangnya
Penulis menyampaikan banyak terimakasih kepada pak Oco, pak Usep
selaku teknisi lapang BB Padi Sukamandi dan warga desa Sukamandi yang telah
banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian selama di Sukamandi.
Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Sari Nurulita SP MSi, Ni Nengah Putri
Adnyani SP MP, Teguh Pamungkas SP, Kgs Angga Pratama SP, Siska
Irhamnawati Pulogu SP, Fitria Yuliani SP, Novi Irawati SP, Diana Putri SSi, dan
Syaiful Khoiri SP yang telah banyak membantu dan memberi masukan kepada
penulis, serta seluruh anggota Laboratorium Virologi Tumbuhan IPB, Fitopatologi
2013 dan seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas segala ilmu
dan kebaikan yang diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2015
Amelia Feryna Bulan Dini

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
2
2

2

TINJAUAN PUSTAKA
Sifat Umum Tanaman Padi (Oryza sativa)
Karakteristik Penyakit Tungro
Penyakit Tungro
Serangga Vektor Wereng Hijau
Karakteristik Penyakit Kerdil
Penyakit Kerdil Hampa
Penyakit Kerdil Rumput
Serangga Vektor Wereng Batang Cokelat

3
3
3
3
4
6
6
6
7

3

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengamatan Insidensi Penyakit dan Populasi Wereng di
Lapangan
Uji Efisiensi Penularan Wereng Hijau dan Wereng Batang
Cokelat sebagai Vektor Virus Padi
Perbanyakan Wereng Hijau dan Wereng Batang Cokelat
Perbanyakan Inokulum Virus Tungro dan Kerdil
Uji Penularan
Peubah Pengamatan
Deteksi Virus Penyebab Penyakit Tungro dan Kerdil
Deteksi RRSV dan RGSV dengan Riverse TranscriptionPolymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Deteksi RTBV dengan metode Polymerase Chain Reaction
(PCR)
Analisis Susunan Nukleotida

9
9
9

4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Populasi Wereng dan Insidensi Penyakit di Lapangan

9
9
9
10
10
12
12
13
14
15
15

DAFTAR ISI (lanjutan)
Pengamatan Populasi Wereng di Lapangan
Pengamatan Insidensi Penyakit di Lapangan
Hubungan Populasi Wereng Batang Cokelat dan Insidensi
Penyakit Kerdil
Efisiensi Penularan Wereng Hijau dan Wereng Batang Cokelat
sebagai Vektor Virus Padi
Periode Inkubasi
Insidensi Penyakit
Keparahan Penyakit
Deteksi RRSV dan RGSV dengan metode RT-PCR dan Deteksi
RTBV dengan metode PCR
Analisis Sekuen Nukleotida
5

15
17
19
21
21
23
23
24
26

SIMPULAN

28

DAFTAR PUSTAKA

29

LAMPIRAN

33

RIWAYAT HIDUP

45

DAFTAR TABEL
1
2

3
4

5
6
7

Tahapan penularan virus tungro oleh wereng hijau dan kerdil
oleh wereng batang cokelat
Perlakuan kombinasi virus dan serangga vektor pada uji
efisiensi penularan wereng hijau dan wereng batang cokelat
sebagai vektor virus padi
Skor gejala penyakit tungro dan kerdil berdasarkan Standard
Evaluation System for Rice (SESR) yang telah dimodifikasi
Periode inkubasi, insidensi penyakit dan keparahan penyakit
tungro dan kerdil pada tanaman padi yang ditularkan berturutturut dengan wereng hijau dan wereng batang cokelat
Tingkat homologi sikuen nukliotida gen protein selubung Rice
ragged stunt virus isolat Subang, Indonesia dan negara lain
Tingkat homologi sikuen nukliotida gen protein selubung Rice
grassy stunt virus isolat Indo-RG3, Indonesia dan negara lain
Tingkat homologi sikuen nukleotida gen protein selubung Rice
tungro baciliform virus isolat Purwakarta, Indonesia dan
negara lain

10
11

12
22

26
26
27

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

4

5

6

7

8

Gejala serangan penyakit tungro pada tanaman padi dengan
gejala menguning pada daun (Dokumentasi pribadi)
Wereng hijau (Nephotettix virescens Distant)
Gejala serangan Rice ragged stunt virus pada tanaman padi.
tepi tanaman padi menjadi bergerigi (A), ujung tanaman padi
memutar (B) (Dokumentasi pribadi), Partikel RRSV dilihat
melalui mikroskop elektron (C)
Gejala penyakit kerdil rumput pada rumpun tanaman padi
yang menunjukkan perubahan warna daun menjadi hijau
pucat hingga kuning (A) (Dokumentasi pribadi), Hasil
pemurnian RGSV 2 dengan pewarnaan uranil asetat, ukuran
100nm (B) (Hibino 1985)
Imago N. lugens bersayap panjang (Makroptera) (A), Imago
N. lugens bersayap pendek (Brakhiptera) (B) (Dokumentasi
Pribadi)
Skema percobaan (A), Contoh arena percobaan pengujian
efisiensi wereng hijau dan wereng batang cokelat sebagai
vektor virus padi dengan menggunakan ember (B)
Rata-rata populasi wereng batang cokelat pada petak
pengamatan di Sukamandi pada periode pengamatan
November 2014-Desember 2014
Wereng batang cokelat stadia imago makroptera (A), wereng
batang cokelat stadia nimfa (B), dan imago brakhiptera (C)

4
5
6

7

8

11

15

16

9

10

11

12

13

14

15

16

Rata-rata insidensi penyakit kerdil pada petak pengamatan di
Sukamandi pada periode pengamatan November – Desember
2014
Tanaman padi yang terserang penyakit kerdil diantara
tanaman sehat. Gejala penyakit kerdil rumput pada umur
tanaman 5 mst (A), gejala penyakit kerdil hampa pada umur
tanaman 10 mst (B), gejala penyakit kerdil rumput dan kerdil
hampa pada tanaman singgang (C)
Penyakit kerdil hampa dengan gejala permukaan daun
menjadi kasar karena adanya garis-garis melintang yang
terbentuk (A),tepi daun terlihat bergelombang (B), adanya
sobekan-sobekan pada daun (C), ujung daun menggulung
(D), terdapat pada bagian bawah helai daun (E)
Daun tanaman padi yang terserang penyakit kerdil rumput.
Daun mengalami perubahan warna menguning dan perubahan
ukuran daun yang menjadi lebih sempit dari daun sehat (A),
terdapat bintik-bintik menyerupai karat pada bagian daun (B)
Hubungan populasi wereng batang cokelat dengan insidensi
penyakit kerdil tanaman padi pada musim tanam OktoberNovember 2014
Gejala menguning pada daun tanaman padi yang terinfeksi
virus Tungro (A), gejala malformasi pada daun tanaman padi
yang terinfeksi virus kerdil (B), gejala tanaman padi yang
terinfeksi oleh virus Tungro dan virus Kerdil (C)
Visualisasi pita DNA hasil amplifikasi menggunakan
pasangan primer RRSV-S9-F/RRSV-S9-R (1), RGSV-S3-F/
RGSV-S3-R (2), dan RTBV2L/RTBV2R (3). (M) penanda
DNA 1 kb ladder, (A) tanaman dengan gejala RRSV, (B)
tanaman dengan gejala RGSV, (C) tanaman dengan gejala
campuran RRSV dan RGSV
Visualisasi pita DNA hasil amplifikasi menggunakan
pasangan primer RRSV-S9-F/RRSV-S9-R (1), RGSV-S3-F/
RGSV-S3-R (2), dan RTBV2L/RTBV2R (3). (M) penanda
DNA 1 kb ladder, (A) sumber inokulum virus kerdil, (B)
sumber inokulum virus tungro

17

18

19

19

21

22

25

25

DAFTAR LAMPIRAN
1

2

Perkembangan insidensi penyakit tungro (T) untuk
perlakuan 1, 3, 5, 6 dan perkembangan insidensi penyakit
kerdil (K) untuk perlakuan 2, 4, 5, 7 serta perlakuan 8, 9, 10
sebagai kontrol sehat tanpa sumber inokulum (S).
Perkembangan keparahan penyakit tungro yang ditunjukkan
dengan tanda T dan penyakit kerdil yang ditunjukkan dengan
tanda K pada setiap perlakuan, dengan tanda S untuk
perlakuan 8,9,10 yang merupakan tanaman sehat dengan
serangga vektor.

33

34

3

4

5

6

7
8
9

Variasi ketinggian sampel tanaman untuk percobaan
efisiensi penularan virus tungro yang ditularkan oleh wereh
hijau dan virus kerdil yang ditularkan oleh wereng coklat
untuk masing-masing perlakuan (1-10)
Penghambatan pembentukan bulir padi pada umur 8 mst
pada tanaman padi sehat (A), tanaman padi terinfeksi
penyakit kerdil (B), tanaman padi terinfeksi penyakit tungro
(C), dan tanaman padi terinfeksi penyakit kerdil dan tungro
(D).
Visualisasi pita DNA hasil amplifikasi menggunakan
pasangan primer RRSV-S9-F/RRSV-S9-R (1), RGSV-S3-F/
RGSV-S3-R (2), dan RTBV2L/RTBV2R (3). (M) penanda
DNA 1 kb ladder, (A) sumber inokulum virus kerdil, (B)
sumber inokulum virus tungro
Visualisasi pita DNA hasil amplifikasi menggunakan
pasangan primer RGSV-S3-F/RGSV-S3-R. Sampel no. 1 –
10, berasal dari masing-masing perlakuan penularan; M,
penanda DNA 1 kb ladder, K-, kontrol negatif, K+, kontrol
positif.
Runutan basa nukleotida gen CP RRSV asal Subang
(Sukamandi) dan beberapa isolat RRSV asal luar negeri
Runutan basa nukleotida gen CP RGSV asal Subang (IndoRG3) dan beberapa isolat RGSV asal luar negeri
Runutan basa nukleotida gen CP RTBV asal Purwakarta dan
beberapa isolat RTBV asal luar negeri

34

35

35

36

37
39
41

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia merupakan negara pengonsumsi dan penghasil beras ketiga di
dunia setelah Tiongkok dan India. Gangguan serangga hama yang banyak
menimbulkan kerugian pada tanaman padi di Indonesia adalah wereng hijau
(Nephotettix virescens Distan), dan wereng batang cokelat (Nilaparvata lugens
Stal.). Selain sebagai serangga hama, kedua spesies serangga tersebut dapat
berperan sebagai vektor virus, sehingga keberadaannya di pertanaman berpotensi
mengakibatkan kerugian yang lebih besar. Wereng hijau merupakan vektor
penyakit tungro yang disebabkan oleh Rice tungro spherical virus (RTSV) dan Rice
tungro bacilliform virus (RTBV) (Rahim dan Nasrudin 2010), sedangkan wereng
batang cokelat merupakan vektor penyakit kerdil hampa yang disebabkan oleh Rice
ragged stunt virus (RRSV), dan penyakit kerdil rumput yang disebabkan oleh Rice
grassy stunt virus (RGSV) (Cabautan et al. 2009)
Penyakit tungro tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama di
daerah sentra produksi beras nasional seperti di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara
Barat, Sulawesi, dan Kalimantan Selatan (BB Padi 2010). Di Propinsi Jawa Barat
populasi wereng hijau dan insidensi penyakit tungro telah ditemukan di Kabupaten
Purwakarta, Garut, Cirebon, Subang, Bogor, Bekasi (Dirjen Tanaman Pangan 1992;
Yuliani 2014). Gejala utama penyakit tungro antara lain tampak pada perubahan
warna daun muda menjadi kuning-oranye dimulai dari ujung daun, jumlah anakan
berkurang dan tanaman menjadi kerdil, dan beberapa mengalami klorosis intervenal
(Bunawan et al. 2014). Penyebaran penyakit tungro sangat bergantung pada
populasi dan aktivitas serangga vektornya.
Selain penyakit tungro, penyakit kerdil juga menjadi kendala peningkatan
produksi padi nasional. Penyakit kerdil hampa pada padi dilaporkan pertama kali di
Indonesia pada tahun 1976 (Hibino et al.1977). Tanaman padi yang terserang
penyakit kerdil hampa mengalami pengerdilan, daun menjadi berwarna gelap
dengan tepi bergerigi atau ujung memutar, dan tulang daun mengalami
pembengkakan atau benjolan di bagian bawah helai daun dan bagian luar
permukaan pelepah daun (Cabautan at al. 2009). Penyakit kerdil rumput dilaporkan
pertama kali di Indonesia pada tahun 1971 dan disebut sebagai kerdil rumput tipe
I, kemudian pada tahun 2006 ditemukan penyakit kerdil rumput tipe II. Gejala
penyakit kerdil rumput diantaranya tanaman menjadi sangat kerdil, anakan banyak,
daun hijau pucat sampai kuning atau daun-daun sempit berwarna kuning sampai
oranye, daun sempit dengan bintik-bintik karat kecil (IRRI 2002). Dilaporkan oleh
Nurbaeti et al. (2010) dan Romadhon (2007) bahwa daerah endemik serangan
wereng batang cokelat di Propinsi Jawa Barat meliputi Kabupaten Cirebon, Bekasi,
Majalengka, Sukabumi, Tasikmalaya, Garut, Cianjur, Subang, Karawang dan
Indramayu; sedangkan insidensi penyakit kerdil dilaporkan masih terbatas di
Kabupaten Subang dan Cirebon (Maulana dan Abdurahman 2014).
Penyakit tungro seringkali dilaporkan menimbulkan kerugian yang besar.
Antara tahun 1980 – 1985 dilaporkan bahwa penyakit tungro merusak area
pertanaman padi di Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Timur berturut-turut
seluas 3939 ha, 1632 ha, dan 2120 ha. Namun, insidensi penyakit tungro ini tidak

2

diikuti dengan ledakan hama wereng hijau pada tahun terjadinya ledakan penyakit
tersebut (Baehaki dan Suharto 1985).
Sementara itu penelitian Nurbaeti et al. (2010) menunjukkan hal yang
berbeda pada dinamika populasi wereng batang cokelat. Saat terjadinya ledakan
populasi wereng batang cokelat pada tahun 2010 yang mengakibatkan lahan
pertanaman padi seluas 4874 ha mengalami kerusakan, ledakan populasi wereng
tersebut juga berdampak pada munculnya insidensi penyakit kerdil di lapangan. Hal
ini menunjukkan bahwa setiap serangga vektor memiliki kemampuan yang
berbeda-beda dalam menularkan dan menyebarkan virus.
Diagnosis penyakit tungro dan penyakit kerdil tidak dapat mengandalkan
hanya dari gejala saja karena gejala yang muncul beranekaragam serta mirip dengan
gejala kekurangan hara dan kekeringan. Penggunaan teknik molekuler untuk
mendeteksi penyakit tungro dan kerdil telah banyak dilaporkan, diantaranya
menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR) (Uehara-Ichiki et al.
2013). Analisis keragaman genetika virus-virus padi di Asia sudah dilaporkan oleh
beberapa peneliti (Arenal et al. 2003; Cheng et al. 2013; Huang et al. 2015).
Analisis keragaman virus tungro asal daerah endemis di Indonesia menunjukkan
adanya indikasi kombinasi pada tingkat molekuler antara isolat-isolat RTSV dan
RTBV dari daerah geografi yang berbeda (Praptana 2013). Sementara itu analisis
keragaman virus kerdil masih sangat terbatas.
Tujuan Penelitian
1. Mengamati insidensi penyakit kerdil dan mengetahui populasi wereng batang
cokelat di pertanaman padi di Sukamandi, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa
Barat.
2. Mempelajari hubungan insidensi penyakit dengan populasi wereng.
3. Menentukan efisiensi wereng hijau dan wereng batang cokelat dalam
menularkan penyakit tungro dan kerdil ke tanaman padi.
4. Mengetahui kekerabatan isolat virus tungro, virus kerdil hampa dan virus kerdil
rumput asal Indonesia dengan isolat virus asal negara lain.
Hipotesis Penelitian
Ada hubungan antara insidensi dan keparahan penyakit yang disebabkan oleh
virus dengan populasi wereng hijau dan wereng batang cokelat di pertanaman padi.
Masing-masing jenis serangga vektor bersifat spesifik dan memiliki efisiensi
penularan yang tinggi, yaitu wereng hijau hanya menularkan penyakit tungro dan
wereng batang cokelat hanya menularkan penyakit kerdil.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memperkuat pemahaman tentang hubungan antara
insidensi dan keparahan penyakit tungro dengan populasi wereng hijau dan
penyakit kerdil dengan populasi wereng batang cokelat di pertanaman padi.
Pengetahuan tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam pengendalian
hama dan penyakit penting tanaman padi.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Sifat Umum Tanaman Padi (Oryza sativa)
Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman pangan
utama di dunia, khususnya Indonesia. Tanaman padi menghasilkan beras dengan
kandungan karbohidrat 80%, protein 7-8%, lemak 3% dan serat 3% (Ahuja et al.
2008). Pertumbuhan tanaman padi dapat dibagi dalam tiga fase yaitu fase
vegetatif, fase reproduktif, dan fase pematangan. Fase vegetatif merupakan fase
dimana berlangsung pertumbuhan organ-organ vegetatif seperti pertambahan
jumlah anakan, tinggi tanaman, jumlah, bobot, dan luas daun. Fase reproduktif
ditandai dengan memanjangnya beberapa ruas teratas batang tanaman,
berkurangnya jumlah anakan, munculnya daun bendera, bunting dan pembungaan.
Fase terakhir yaitu fase pematangan sekitar 30 hari. Pada fase ini gabah mulai
terisi, malai mulai merunduk, gabah mulai menguning, kemudian gabah terisi
penuh dan berwarna kuning, daun bagian atas mengering (Makarim dan
Suhartatik 2009).
Morfologi tanaman sangat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman padi
tersebut. Varietas padi yang saat ini banyak ditanam di Indonesia diantaranya
ialah varietas Mekongga dan IR64. Karakteristik varietas Mekongga antara lain
tanaman berumur 116–125 hari, bentuk tanaman tegak, tinggi tanaman sekitar 91
sampai 106 cm, anakan produktif berjumlah 13 sampai 16 batang. Tekstur nasi
yang dihasilkan pulen, kadar amilosa pada bulir padi sebesar 23 %, rata-rata hasil
produksi padi 6.0 t/ha, varietas ini tahan terhadap wereng batang cokelat biotipe 2
dan 3, sedangkan untuk penyakit agak tahan terhadap hawar daun bakteri strain
IV (Puslittan 2007). Karakteristik varietas IR64 menurut Daradjat et al. (2001)
antara lain adalah tanaman berumur sedang (100−125 HSS), postur tanaman
pendek sampai sedang sekitar 95 sampai 115 cm, bentuk tanaman tegak, posisi
daun tegak, jumlah anakan sedang antara 20 sampai 25 anakan/rumpun, dengan
anakan produktif 15−16 anakan/rumpun, panjang malai sedang, responsif
terhadap pemupukan, tahan rebah, daya hasil 5.0 sampai 6.0 t/ha, tahan hama dan
penyakit utama, mutu giling baik, dan rasa nasi enak. Beberapa penelitian
menunjukan bahwa varietas IR64 merupakan varietas dengan tingkat ketahanan
yang moderat terhadap serangan wereng.
Karakteristik Penyakit Tungro
Penyakit Tungro
Tungro adalah penyakit virus yang paling serius dan menjadi kendala utama
dalam produksi beras di Asia Selatan dan Asia Tenggara (Hibino 1996). Penyakit
tungro merupakan salah satu penyakit penting pada padi yang dapat meluas
dengan cepat terutama apabila faktor-faktor lingkungan cukup mendukung.
Beberapa faktor penting tersebut ialah populasi serangga vektor, yaitu Nephotettix
virescens Distant, yang cukup tinggi, tersedianya sumber inokulum, adanya pola
tanam yang tidak serempak dan adanya varietas rentan. Serangan tungro ini dapat
menimbulkan penurunan kualitas maupun kuantitas produksi

4

Infeksi penyakit tungro pada tanaman padi dapat terjadi sejak tanaman di
persemaian dan kerugian dapat berupa kehilangan hasil yang besarannya
tergantung pada stadia tanaman saat terjadi infeksi, tingkat ketahanan varietas dan
pola perkembangan serangan. Tungro merupakan penyakit virus yang biasanya
menyerang tanaman padi pada fase pertumbuhan vegetatif. Gejala utama pada
tanaman padi yang terinfeksi virus tungro adalah perubahan warna daun menjadi
kuning-oranye, kerdil, dan penurunan jumlah anakan (Hibino et al. 1978).Selain
itu menurut IRRI (2002) gejala tungro mulai dari ujung daun yang lebih tua. Daun
menguning berkurang bila daun yang lebih tua terinfeksi. Pelepah dan helaian
daun memendek. Daun muda sering berlurik atau strip berwarna hijau pucat
sampai putih dengan panjang berbeda sejajar dengan tulang daun.

Gambar 1 Gejala serangan penyakit tungro pada tanaman padi dengan gejala
menguning pada daun (Dokumentasi pribadi)
Penyakit tungro disebabkan oleh infeksi 2 virus, yaitu Rice tungro
bacilliform tungrovirus (RTBV) dan Rice tungro spherical wakaivirus (RTSV).
Kedua virus tersebut ditularkan terutama oleh wereng hijau Nephotettix virescens
Distant (Hemiptera: Cicadelidae) (Hibino dan Cabunagan 1986). Apabila tanaman
padi hanya terinfeksi oleh RTBV saja maka gejala yang ditimbulkan adalah gejala
khas tungro ringan sedangkan apabila tanaman padi hanya terinfeksi oleh RTSV
maka tanaman hampir tidak menunjukkan gejala atau kerdil sangat ringan (Hibino
1983). Dalam hal ini RTBV berfungsi sebagai penentu gejala sedangkan RTSV
adalah virus helper (Hibino 1996). Berdasarkan laporan dari Jones et al. (1991)
diketahui bahwa RTBV termasuk kedalam genus Badnavirus. Genom RTBV ini
memiliki DNA beruntai ganda dengan bentuk partikel bacilliform berdiameter 3035 nm dan panjangnya kira-kira 100-300 nm. Rice tungro spherical virus (RTSV)
termasuk kedalam genus Waikavirus. Beberapa sifat molekul virus yang
menunjukkan bahwa dan RTSV adalah virus dengan asam nukleat berupa RNA
(Hull 2002).
Serangga Vektor Wereng Hijau
Dua spesies wereng hijau N. malayanus dan N. virescens adalah serangga
utama yang menyebarkan virus tungro. Diantara vektor virus tungro di Indonesia,
N. virescens adalah vektor terpenting karena paling efektif dalam menularkan
virus tungro (Widiarta 2005). Efektivitas dari N. virescens asal populasi dari
wilayah endemik dalam menularkan virus tungro mencapai 81% sedangkan asal

5

wilayah non endemik 52% (Supriyadi et al 2008). Penelitian Rahim dan Nasrudin
(2010) menunjukkan efektivitas wereng hijau menularkan virus tungro dari
sumber inokulum pada umur inkubasi yang berbeda berhasil tertular sebesar 96%.
Penyakit ini ditularkan dari satu tanaman ke tanaman lain secara semi persisten
yaitu, periode makan akuisisi yang dibutuhkan untuk menularkan kembali
penyakit tungro berkisar antara 5-30 menit, tidak ada periode laten, dengan waktu
makan inokulasi 7-30 menit dan periode retensi hanya 6 hari.
Wereng hijau dewasa berwarna hijau kekuningan dengan bercak hitam pada
ujung sayapnya dan kadang bercak hitam pada bagian tengah sayap serta ujung
kepala meruncing, memiliki sepasang sayap dimana sepasang sayap belakang
tebal berwarna hijau dengan bercak hitam dan sepasang sayap belakang tipis
seperti selaput. Bagian tubuhnya meruncing ke arah belakang dan memiliki satu
deret duri pada bagian tibia tungkai belakang (Suwarno et al. 2010).
Wereng hijau betina meletakkan telurnya pada pelepah padi muda dan telur
diletakkan secara berkelompok, biasanya 8-16 butir. Umur serangga dewasa 2030 hari dan telur menetas dalam waktu 6-7 hari. Nimfa mengalami lima instar dan
lamanya stadium nimfa 16-18 hari. Nimfa menghisap cairan tanaman dari
jaringan xilem pada helai daun dan pelepah daun. Stadium nimfa dapat juga
berperan sebagai vektor penyakit virus (Baehaki dan Widiarta 2009).

Gambar 2 Imago wereng hijau (Nephotettix virescens Distant) (Pathak dan Khan
1994)
Kepadatan populasi wereng hijau biasanya rendah, sehingga jarang
menimbulkan kerusakan karena cairan tanaman dihisap oleh wereng hijau. Namun
karena kemampuan pemencaran (dispersal) yang tinggi, bila ada sumber inokulum
sangat efektif menyebarkan penyakit. Populasi wereng hijau hanya meningkat
pada saat tanam hingga pembentukan malai. Kepadatan populasi tertinggi
mencapai 1 ekor per rumpun. Awalnya populasi wereng hijau sangat rendah,
populasi kemudian mulai meningkat pada minggu ke-3 sampai minggu ke 4
sesudah tanam, dan populasi tertinggi pada tanaman yang berumur 6-11 minggu
setelah tanam. Pada satu musim tanam bisa mencapai 3 generasi (Baehaki dan
Widiarta 2009).

6

Karakteristik Penyakit Kerdil
Penyakit Kerdil Hampa
Penyakit kerdil hampa pada padi ditemukan pertama kali di Indonesia tahun
1976, selanjutnya ditemukan di Taiwan pada tahun 1978, dan kemudian menyebar
di beberapa negara di Asia. Penyakit ini disebabkan oleh Rice ragged stunt virus
(RRSV). Tanaman padi yang terserang kerdil hampa mengalami pengkerdilan,
daun menjadi berwarna gelap dengan tepi bergerigi atau ujung memutar, dan
vena mengalami pembengkakan atau benjolan di bagian bawah helai daun dan
dagian luar permukaan pelepah daun. Benjolan ini dihasilkan dari hiperplasia dan
hipertropi pada jaringan floem (Cabautan et al. 2009).

A

B

C

Gambar 3 Gejala serangan Rice ragged stunt virus pada tanaman padi. tepi
tanaman padi menjadi bergerigi (A), ujung tanaman padi memutar
(B) (Dokumentasi pribadi), Partikel RRSV dilihat melalui mikroskop
elektron (C) (Chen et al.1997)
Rice ragged stunt virus (RRSV) termasuk dalam Famili Reoviridae, Genus
Oryzavirus. Virus kerdil hampa ini mempunyai partikel yang berbentuk polihedral
dengan ukuran antara diameter 50-70 nm. Hibino et al. (1978) melaporkan bahwa
penyakit kerdil hampa disebabkan oleh virus yang berbentuk bulat dengan ukuran
60 nm. Penularan RRSV melalui wereng batang cokelat memerlukan periode
makan akuisisi minimal selama 24 jam, dengan periode laten 2 jam, periode
makan inokulasi 6 jam serta periode retensi selama hidup serangga vektor (IRRI
2002). Wereng batang cokelat dapat menularkan penyakit virus kerdil hampa
sampai akhir masa hidupnya, tetapi tidak dapat menularkan kepada keturunannya
lewat telur (Ling et al. 1978).
Penyakit Kerdil Rumput
Penyakit kerdil rumput dilaporkan pertama kali di temukan pada tahun 1970
di Taiwan (Chen dan Chiu 1982). Pada tahun 1982-1983 penyakit ini dilaporkan
ditemukan di Filipina (Hibino et al. 1985). Du et al. (2005) melaporkan bahwa
pada tahun 2000 negara Vietnam mengalami kerugian ekonomi yang cukup besar
akibat penyakit kerdil rumput, kerdil hampa dan akibat langsung serangan wereng
batang cokelat. Gejala pada tanaman yang terserang penyakit kerdil rumput ini

7

terlihat bahwa tanaman menjadi sangat kerdil, anakan banyak, daun hijau pucat
sampai kuning atau daun-daun sempit berwarna kuning sampai oranye, daun
sempit dengan bintik-bintik karat kecil (IRRI 2002).

A
Gambar 4

B

Gejala penyakit kerdil rumput pada rumpun tanaman padi yang
menunjukkan perubahan warna daun menjadi hijau pucat hingga
kuning (A) (Dokumentasi pribadi), Hasil pemurnian RGSV 2 dengan
pewarnaan uranil asetat, ukuran 100nm (B) (Hibino 1985)

Rice grassy stunt virus (RGSV) termasuk Famili Bunyaviridae, Genus
Tenuivirus (Hull 2002). Organisasi genom RGSV terdiri atas 6 segmen RNA yang
seluruhnya adalah molekul single stranded RNA yang ambisense (Miranda et al.
2000). Partikel RGSV berbentuk pleomorphic, dapat terlihat seperti filamen tipis
ataupun filamen yang melingkar dan seringkali membentuk konfigurasi spiral
(Toriyama et al. 1998). N. lugens mendapatkan virus dengan makan pada tanaman
padi sakit (periode makan akuisisi) selama 5 sampai 10 menit. Jumlah virus pada
tubuh N. lugens akan semakin meningkat jika periode makan akuisisi semakin
lama. Periode laten rata-rata 10 hari dan langsung dapat menularkan virus. Masa
retensi yang dibutuhkan RGSV di tubuh N. lugens selama siklus hidup vektornya
atau 24 hari (Reissig et al. 1986). Cabauatan et al. (2009) melaporkan bahwa
penularan RGSV bersifat transtadial yaitu virus tetap berada dalam tubuh vektor
selama siklus hidupnya. RGSV dapat ditularkan oleh nimfa maupun imago N.
lugens.
RRSV dan RGSV ditularkan oleh wereng batang cokelat secara persisten
propagatif (Chen et al. 1997). Hull (2002) menjelaskan bahwa virus yang
ditularkan secara persisten propagatif memperbanyak diri dalam vektornya
terlebih dahulu sebelum ditularkan pada tanaman inang dan waktu yang
dibutuhkan disebut sebagai periode laten.
Serangga Vektor Wereng Cokelat
N. lugens merupakan hama utama sekaligus vektor virus kerdil pada
tanaman padi di Asia Selatan dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Selain
berperan dalam penularan virus, wereng batang cokelat menyebabkan kerusakan
yang serius yang disebut hopper burn, dengan menghisap cairan tanaman, wereng
batang cokelat menyebabkan tanaman menguning diikuti pengeringan yang
cepat. Sebagian besar wereng batang cokelat dapat berkembang di bagian pangkal

8

batang tanaman (Mueller 1974). Panjang tubuh serangga dewasa 2 – 4.4 mm.
Serangga dewasa mempunyai 2 bentuk, yaitu bersayap pendek (brakhiptera) dan
bersayap panjang (makroptera). Serangga makroptera mempunyai kemampuan
untuk terbang, sehingga dapat bermigrasi cukup jauh. Wereng batang cokelat
adalah serangga monofag, inangnya terbatas pada padi dan padi liar (Oryza
parennis dan O. spontanea) (BPTP 2010).

A
B
Gambar 5 Imago N. lugens bersayap panjang (Makroptera) (A), Imago N. lugens
bersayap pendek (Brakhiptera) (B) (Dokumentasi Pribadi)
Wereng batang cokelat berkembangbiak secara seksual, masa pra
peneluran 3-4 hari untuk brakiptera (bersayap pendek) dan 3-8 hari untuk
makroptera (bersayap panjang). Satu ekor betina mampu meletakkan telur 100500 butir. Telur diletakkan berkelompok, satu kelompok telur terdiri dari 3-21
butir. Telur menetas setelah 9 hari di daerah tropis. Telur biasanya diletakkan
pada jaringan pangkal pelepah daun, tetapi jika populasinya tinggi telur diletakkan
di ujung pelepah daun dan tulang daun. Nimfa mengalami lima instar, dan ratarata waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan periode nimfa adalah 12-13 hari
(Badan litbangtan 2010). Wereng batang cokelat menyukai lingkungan dengan
kelembapan tinggi (70-80%), suhu siang hari optimum (28-30 oC), intensitas
cahaya matahari rendah, pemupukan N tinggi, tanaman rimbun, lahan basah,
angin lemah (BPTP 2010).

3 METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Balai Besar Penelitian Padi (BB Padi) Sukamandi,
Jawa Barat mulai November hingga Desember 2014, dan di Laboratorium Virologi
Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, mulai Februari hingga Mei 2015.
Pengamatan Insidensi Penyakit Kerdil dan Populasi Wereng Batang Cokelat
di Lapangan
Pengamatan dilakukan di lahan penanaman padi milik BB Padi di Desa
Sukamandi, Kecamatan Patok Beusi, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat.
Petak pengamatan berjumlah 3 plot, masing-masing berukuran 300 m2, jarak tanam
25 × 25 cm. Untuk menghitung populasi wereng setiap plot pengamatan terdiri atas
100 tanaman yang ditentukan menggunakan metode pengambilan sampel
diagonal . Insidensi penyakit dihitung berdasarkan rasio jumlah tanaman yang
menunjukkan gejala dengan jumlah seluruh tanaman yang diamati dikali 100%, dan
diamati mulai umur tanaman 1 minggu setelah tanam (MST) sampai 8 MST dengan
interval 7 hari.
Gejala penyakit kerdil yang diamati mencakup gejala kerdil rumput atau
kerdil hampa, yaitu penyempitan daun, warna daun berubah menjadi hijau pucat,
adanya daun yang menggulung, penurunan tinggi tanaman, jumlah anakan yang
lebih banyak, adanya pembengkakan pada pangkal daun. Selain gejala penyakit
diamati pula populasi wereng batang cokelat. Pengamatan serangga dimulai sejak
awal pindah tanam bibit padi sampai fase generatif awal dengan interval 7 hari.
Populasi wereng batang cokelat dihitung secara langsung dari pangkal batang
tanaman padi dalam unit contoh.
Uji Efisiensi Penularan Wereng Hijau dan Wereng Batang Cokelat
sebagai Vektor Virus Padi
Perbanyakan wereng hijau dan wereng batang cokelat
Populasi wereng hijau dan wereng batang cokelat yang digunakan untuk
percobaan di rumah kaca berasal dari populasi lapangan yang diambil di daerah
Subang. Sebanyak 20 ekor imago masing-masing wereng dari lapangan
dimasukkan ke dalam sungkup kasa terpisah berisi tanaman padi varietas IR64
berumur 10 hari setelah semai (HSS) sebagai pakan dan media peneluran. Tanaman
padi tersebut dikeluarkan dari dalam sungkup setelah 1 hari, kemudian dipindahkan
ke dalam kurungan yang berbeda di rumah kaca untuk mendapatkan imago wereng
yang bebas virus. Penggantian pakan dilakukan secara terus-menerus hingga
terbentuk populasi wereng dewasa.
Perbanyakan inokulum virus tungro dan kerdil
Sampel tanaman padi dengan gejala tungro dari lapangan di daerah
Purwakarta dan gejala kerdil dari daerah Sukamandi digunakan sebagai sumber

10

inokulum virus. Propagasi virus dilakukan di rumah kaca pada tanaman padi
varietas IR 64 dengan metode penularan tabung reaksi dengan serangga vektor
(Cabautan et al. 1994). Perbanyakan inokulum virus tungro dilakukan dengan
menginfestasikan imago serangga wereng hijau dan untuk virus kerdil dilakukan
dengan menginfestasikan nimfa instar 3-4 serangga wereng batang cokelat dengan
periode makan akuisisi, periode laten, dan periode makan inokulasi yang berbeda
(Tabel 1). Periode makan inokulasi dilakukan didalam tabung, setiap tabung
terdapat satu tanaman sehat dengan 2 ekor vektor viruliferous. Setelah periode
makan inokulasi serangga dimatikan dengan perlakuan insektisida berbahan aktif
buthylphenylmethyl carbomate (BPMC). Tanaman padi yang sudah terinfeksi virus
tungro atau virus kerdil dari hasil penularan dipelihara untuk digunakan sebagai
sumber inokulum.
Tabel 1 Tahapan penularan virus tungro oleh wereng hijau dan virus kerdil oleh
wereng batang cokelat
Tahapan penularan
Periode makan akuisisi (hari)
Periode laten (hari)
Periode makan inokulasi (hari)

Virus tungro
1
tidak dilakukan
1

Virus kerdil
2
4
1

Uji penularan
Sebanyak 10 bibit padi varietas IR64 berumur 10 HSS dipindahkan ke dalam
ember percobaan berdiameter 30 cm yang berisi tanah dengan kondisi menyerupai
sawah. Bibit padi ditanam dengan pola melingkar (Gambar 6), pada bagian tengah
dari lingkaran tersebut ditanam bibit padi yang terinfeksi virus sebagai sumber
penyakit. Masing-masing ember percobaan disungkup dengan kurungan yang
kedap serangga. Sebanyak 10 imago wereng hijau dan/atau wereng batang cokelat
hasil perbanyakkan diinfestasikan ke dalam setiap ember percobaan sesuai dengan
perlakuan (Tabel 2). Serangga wereng tersebut dibiarkan berada pada ember
percobaan selama 7 hari, kemudian dimusnahkan dengan perlakuan insektisida.
Peubah Pengamatan
Percobaan terdiri atas 10 perlakuan, masing-masing diulang sebanyak 3 kali.
Peubah pengamatan meliputi periode inkubasi, insidensi penyakit, dan keparahan
penyakit. Pengamatan dilakukan selama satu bulan sejak infestasi serangga ke
dalam ember percobaan, dengan interval pengamatan 7 hari. Periode inkubasi
ditentukan pada saat pertama gejala muncul. Insidensi penyakit dan keparahan
penyakit dihitung dengan rumus :
�� =


×


%

Dengan IP,insidensi penyakit (%); n, jumlah tanaman terserang; N, jumlah
seluruh tanaman yang diamati.

11

Dengan KP, keparahan penyakit; n, jumlah tanaman yang menunjukkan nilai
skor tertentu; v, nilai skor untuk setiap kategori gejala penyakit; N, jumlah sampel
yang diamati; Z, skor tertinggi kategori gejala penyakit. Keparahan penyakit
dievaluasi berdasarkan sistem skor sesuai dengan Standard Evaluation System for
Rice (SES) yang dimodifikasi (IRRI 2002) (Tabel 3).

Tanaman uji
Sumber inokulum

A

B

Gambar 6 Skema percobaan penularan virus dengan serangga vektor (A), Contoh
arena percobaan pengujian efisiensi wereng hijau dan wereng batang
cokelat sebagai vektor virus padi menggunakan ember (B)
Tabel 2 Perlakuan kombinasi virus dan serangga vektor pada uji efisiensi penularan
wereng hijau dan wereng batang cokelat sebagai vektor virus padi
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Sumber virus
Tungro
Kerdil
Tungro
Kerdil
Tungro dan kerdil
Tungro dan kerdil
Tungro dan kerdil
Tanaman sehat (tanpa inokulum)
Tanaman sehat (tanpa inokulum)
Tanaman sehat (tanpa inokulum)

Serangga vektor
Wereng hijau
Wereng batang cokelat
Wereng hijau dan wereng batang cokelat
Wereng hijau dan wereng batang cokelat
Wereng hijau dan wereng batang cokelat
Wereng hijau
Wereng batang cokelat
Wereng hijau dan wereng batang cokelat
Wereng hijau
Wereng batang cokelat

12

Tabel 3 Skor gejala penyakit tungro dan kerdil berdasarkan Standard Evaluation
System for Rice (SESR) yang dimodifikasi
Skor
0
3

5

7

9

Deskripsi gejala penyakit
Tungro
Tidak ada gejala serangan
Tinggi tanaman lebih pendek110%, perubahan warna daun dari
kuning ke kuning oranye tidak
nyata
Tinggi tanaman lebih pendek 1130%, perubahan warna daun dari
kuning ke kuning oranye tidak
nyata
Tinggi tanaman lebih pendek 3150%, perubahan warna daun dari
kuning ke kuning oranye nyata

Kerdil
Tidak ada gejala serangan
Terjadi penyempitan daun dan daun
berubah warna menjadi hijau pucat

Terjadi penurunan tinggi tanaman 110%, jumlah anakan banyak dan
kecil, daun berwarna hijau pucat

Terjadi penurunan tinggi tanaman
11-30%, jumlah anakan banyak dan
kecil, daun berwarna hijau pucat
atau beberapa daun menggulung
atau pembengkakan pangkal daun
Tinggi tanaman lebih pendek Terjadi penurunan tinggi tanaman >
>50%, perubahan warna daun dari 30% jumlah anakan yang banyak,
kuning ke k