Analisis kelembagaan jaringan tata air dalam meningkatkan efisiensi dan optimasi alokasi penyaluran air irigasi di wilayah pengembangan IP-Padi 300, Jawa Barat

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Air sebagai surnberdaya alam yang vital bagi kehidupan, sernakin langka
dan

sernakin

terbatas

sumberdaya

air

kepentingan

terus

ketersediaannya

terbatas,


sementara

meningkat,

untuk

pertanian.

kebutuhan

rnaka

akan

permintaan

air

Dalarn
untuk


terhadap

kondisi
berbagai

air

semakin

kompetitif. Bagi usahatani padi, ketersediaan air merupakan salah satu faktor
yang menentukan tingkat produktivitas. Namun pada kenyataannya masih
terkesan bahwa pemanfaatan air irigasi belurn efisien, seperti tercermin dari
intensitas tanaman yang rendah dan tidak merata.
Pengaturan air

irigasi untuk tanarnan padi s a w a h cenderung rnasih

konservatif, boros dan tidak rnempertimbangkan pola tanarn dalarn setahun.
M a k a jika terjadi kemarau panjang akibat fenomena alarn El-Nino, stok air d i

w a d u k tidak cukup untuk rnengairi padi rnusirn kemarau, atau pada rnusim
normal, stok air tidak cukup untuk mengairi palawija setelah padi M K .
Kernarau panjang tahun 1997 akibat El-Nino menyebabkan produksi padi
nasional

turun

drastis,

sehingga

mencapai 4 (ernpat) juta ton.
yang

menyebabkan curah

panjang.

defisit


antara

produksi dan

permintaan

Terjadinya El-Nino ternyata diikuti oleh La-Nina

hujan berada diatas

normal dan musirn

hujan

Stok air di waduk-waduk melebihi kapasitas normal pada MK, di

beberapa sentra produksi padi, palawija tidak dapat ditanarn karena lahan
basah.

Maka


diupayakan

untuk

rnenanarn

padi

setelah

MK

I

untuk

memanfaatkan ketersediaan air yang melimpah. Ini dikenal sebagai program 1PPadi 300 atau pola tanam padi-padi-padi.
Program
keberhasitannya.


IP-Padi

300

Pertama,

rnernerlukan
pemilihan

rnengantisipasi rnasalah "off-season",

persyaratan

daerah

untuk

sasaran,


mendukung

kedua,

untuk

antara lain teknik irigasi yang efisien,

penekanan populasi hamalpenyakit, varietas padi yang sesuai, ketiga, tanaman
padi M K t l tidak menganggu pola tanam musim berikutnya.
Keterbatasan

air

tidak

hanya

akan


berdampak

negatif

terhadap

kehidupan sosial ekonomi masyarakat, tetapi juga dapat menjadi pemicu konflik
antar sektor ekonomi dan antar kelas dalarn masyarakat. Konflik penggunaan
air, telah berkembang k e arah konflik air u n t u k berbagai kepentingan.

Tingkat

kebutuhan air d i luar sektor pertanian yang paling dominen adalah untuk
memenuhi konsumsi rumah tangga dan industri, yang cenderung meningkat
sejalan dengan kemajuan ekonomi.
Hasil studi Departemen Perindustrian

dalnm Pawitan (7996)mengung-

kapkan bahwa meningkatnya kebutuhan air untuk industri akibat pertumbuhan

ekonomi akan mempengaruhi ketersediaan air untuk sektor pertanian.

Dari

data statistik industri skala besar-sedang d i Indonesia tercatat 17.000 unit
dengan

konsentrasi

skala

besar

berada

di

Jawa

dan


Sumatera

Utara.

Diproyeksikan b a h w a hingga tahun 2020 kebutuhan air u n t u k industri akan
meningkat tiga kali lipat dari kebutuhan tahun 1990, atau meningkat menjadi

43-56 m3/detik. Hal ini menuntut sistem kelembagaan yang m a m p u mengatur
pengalokasian air secara efisien dan merata.
Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), sebagai s u a t u organisasi yang
mengatur air irigasi mulai dari saluran tersier, kuarter, hingga ke petak sawah,
diharapkan berperan aktif

dalam

Gema

Palagung


2001.

P 3 A diharapkan

m a m p u melaksanakan pembangunan, rehabilitasi, eksploitasi dan pemeliharaan
jaringan irigasi beserta bangunan pelengkapnya
dan irigasi pedesaan.

dalarn petak tersier, kuarter,

Dengan demikian, P 3 A sebagai suatu organisasi harus

tanggap terhadap program intensifikasi dan ekstensifikasi dan menyesuaikan
kegiatannya guna

mencapai performa yang diharapkan.

Dalam melakukan

penyesuaian-penyesuaian tentunya tidak terlepas dari unsur-unsur kelembagaan

2

seperti,

perubahan

dalam

baras

yurisdiksi,

property

rights

dan

aturan

representasi (Pakpahan, 7 99 7 ) .
Dalam konteks organisasi, batas yurisdiksi akan menentukan siapa dan
apa yang tercakup dalam organisasi tersebut. Bagi P3A, batas yurisdiksi ini
menyangkut batas wilayah kerja P3A, keanggotaan dan batas wewenang.
Perubahan batas yurisdiksi memiiiki irnplikasi penting terhadap kernampuan
P3A, untuk menginternalisasikan manfaat dan biaya. P 3 A sebagai organisasi
massa

mernerlukan

aturan

pengambilan keputusan.

representasi

guna

mengefisienkan

dalarn

Oleh karena itu, perlu penelitian yang menyangkut

aspek kelembagaan jaringan tata air dalam upaya meningkatkan efisiensi dan
optimasi pemanfaatan sumberdaya air.

1.2. Perumusan Masalah
Terbatasnya ketersediaan air irigasi, seringkali menirnbulkan persaingan
yang dapat mengakibatkan konflik antar petani dan antar institusi.

Kendatipun

ketersediaan air dapat dipenuhi dengan jalan memanfaatkan sumberdaya air
seperti, air permukaan dan air tanah, namun kenyataannya di sebagian wilayah
yang

berdekatan dengan kota-kota besar d i J a w a rnaupun d i luar Jawa

kerapkali air belum mencukupi kebutuhan (Kasryno dkk., 7997).
Disamping itu, masih ada kalangan rnasyarakat yang menganggap air
sebagai

barang

bebas

(public

goods),

yang

menyebabkan

masyarakat

cenderung menggunakan air secara bebas dan tidak efisien. Secara ekonomi,
ketidakjelasan tentang hak-hak dalam penggunaan air dan kewajiban dalam
pengelolaan air akan menyebabkan organisasi asosiasi pemakai air tidak efektif
dan mekanisme kelembagaan dalam alokasi surnberdaya air tidak berfungsi,
yang pada gilirannya akan menirnbulkan inefisiensi penggunaan air. Keadaan

tersebut menyebabkan ketidak-siapan menghadapi kelangkaan ketersediaan air
setiap kali terjadi fenornena

EL-Nino karena masyarakat belurn rnenyadari

bahwa air sebagai sesuatu kornoditi yang langka.
Beberapa pokok perrnasalahan kelernbagaan pengelolaan surnberdaya air
dalam upaya meningkatkan efisiensi,

khususnya yang berhubungan dengan

peningkatan intensitas tanarn (IP-Padi 300) dapat dirurnuskan sebagai berikut :
(1

Pengelolaan daerah pengairan merupakan upaya untuk rnendistribusikan
air secara adil.

Kenyataan yang dihadapi adalah (a) jurnlah daerah

golongan air bertarnbah tanpa kontrol, (6) letak petakan sawah relatif
dari

saluran tidak

diperhitungkan

dalarn

distribusi

air

dan

anjuran

teknologi yang berada d i bagian hilir (tail end), (c)penyadapan air secara
liar dengan pompa berlanjut tanpa sangsi, (dl pintu-pintu air banyak yang
tidak berfungsi, dan (e) produktivitas padi sangat beragam antara bagian
hulu dan hilir.

(2) Tata cara pernberian air secara terus rnenerus (continous flow) masih
diterapkan di wilayah POJ walapun kernarau panjang dan ketersediaan
air

kurang,

sehingga perlu mernpertirnbangkan sistim

pernberian air

secara berkala (intermittent) (Sinulingga, 7995).

(3) Kelernbagaan dan perangkat kebijaksanaan belum berfungsi secara
efektif

dalam

upaya

rnenyadarkan

rnasyarakat

pengelolaan air, akibat overlap dan gap

akan

pentingnya

fungsi dan tugas pokok antar

instansi terkait.
(4)

Kompetisi penggunaan air untuk berbagai kepentingan sektoral, belurn
mernihak kepada kepentingan petani.
air

(P3A)

cenderung

menunjukkan

menyangkut inisiatif dan teknologi.

Kelernbagaan formal pengelolaan
ketidak-berdayaan,

khususnya

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian
kelembagaan

ini

jaringan

bertujuan
tata

khususnya IP-Padi 300.

air

untuk
dalam

menganalisis
penerapan

keragaan

Gema

s~stem

Palagung

2001,

Secara spesifik penelitian ini diarahkan kepada aspek

berikut :

(1)

Mengkaji sistem kelembagaan pengelolaan jaringan tata air, khususnya

P3A.
(2)

Menganalisis tingkat efisiensi pemanfaatan air pada saluran irigasi,

( 3 ) Menganalisis

optimasi

pemanfaatan

lahan

bagi

IP-Padi

300

dalam

hubungannya dengan alokasi penyaluran air irigasi,

(4)

Mengembangkan model kelembagaan pada sistem irigasi.

1.4. Kegunaan Penelitian

( 11

Sebagai bahan rnasukan bagi penentu kebijaksanaan dalam merurnuskan
sistem kelernbagaan jaringan tata air secara efisien dan efektif

yang

m a m p u meningkatkan produktivitas pemanfaatan sumberdaya air, serta
pemanfaatan air irigasi.

(2) Sebagai bahan informasi bagi peneliti dalam rnelaksanakan penelitian
setanjutnya yang berkaitan dengan aspek kelembagaan tata air.

II. KERANGKA PEMlKlRAN
2.1. Konsepsi Pengembangan tP-Padi 300
Ketersediaan sumberdaya air dan lahan pertanian potensial sernakin
langka. Kecenderungan ini akan berakibat berkurangnya ketersediaan pangan
nasional.
rnenuntut

Langkanya surnberdaya
pengembangan

produktivitas

inovasi

usahatani seperti,

terhadap hama dan kekeringan,
Penerapan

IP-Padi

direkornendasikan,

300

air

teknologi

yang

varietas-varietas

rnampu

rneningkatkan

unggul padi yang

tahan

dengan durasi tanam yang relatif singkat.

dengan

dipandang

dan lahan potensial untuk pertanian

rnenggunakan

sebagai

salah

satu

paket

teknologi

yang

upaya terobosan

untuk

meningkatkan produksi padi saat ketersediaan air irigasi berlebihan (La-Nina).
IP-Padi 3 0 0 adalah suatu sistern usahatani padi dengan menerapkan pola
tanam tiga kali tanam padi pertahun. Penerapan sistem ini memerlukan teknik
budidaya padi yang sarat muatan teknologi, karena jarak w a k t u tanam dan
panen berikutnya sangat singkat dan penuh risiko. Penerapan teknologi ini
diarahkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan pertanian, khususnya d i
lahan sawah beririgasi yang memiliki potensi peningkatan indeks pertanaman
hingga 300 persen (Badan Litbang Pertanian, 7998). Penerapan IP Padi-300
sebagai salah satu inovasi teknologi pertanian rnerupakan langkah strategis
untuk meningkatkan produksi pangan terutarna beras, mengirnbangi penciutan
lahan subur pertanian dan meningkatkan taraf hidup masyarakat petani.
Lahan potensial yang sesuai dan layak u n t u k pelaksanaan IP-Padi 300
adalah lahan irigasi dengan IP-Padi 2 0 0 yang mempunyai durasi ketersediaan
air

1 0 bulan,

baik dengan irigasi teknis rnaupun sederhana.

Untuk lebih

rnenjarnin ketersediaan dan pendistribusian air, lahan yang diprioritaskan untuk
penerapan IP-Padi 3 0 0 adalah lahan yang berada di dekat saluran sekunder.

Selain itu, untuk memudahkan penyaluran saprodi, pembinaantpenyuluhan dan
pengawalan teknologi, dipertimbangkan pula agar lahan yang terpilih berada
dalarn suatu hamparan dengan luasan tertentu atau tidak terpencar dengan
kondisi

infrastruktur

dan

kelembagaan

yang

relatif

baik

(Badan Litbang

Pertanian, 7 998).

2.2. Konsepsi Kelembagaan Tata Air
Pada tingkat makro atau Satuan Wilayah Sungai (SWS), pengelolaan air
mencakup daerah aliran sungai hulu sampai daerah aliran sungai hilir. Dari
aspek mikro,

pengelolaan air meliputi cakupan u n t u k suatu petak tersier.

Kelembagaan pengelolaan air menyangkut P3A, kelompok tani, ulu-ulu, dan
Panitia Irigasi.
Salah

satu

rnasalah

yang

dihadapi

dalam

meningkatkan

efisiensi

penggunaan air irigasi adalah lemahnya sistem kelembagaan petani untuk
mengatur pengelolaan sistem alokasi pengairan dan rehabilitasi fasilitas irigasi.
Kelemahan lainnya tercermin dari pembinaannya yang kurang tepat. Banyak
kelembagaan

irigasi yang

kelembagaan

adat

dibangun

setempat

seperti,

secara

formal,

LKMD

dan

tanpa

memanfaatkan

Ulu-ulu

telah

banyak

mengalami harnbatan, sehingga investasi yang memakan dana yang besar
menjadi tidak bermanfaat. Adat dan pranata sosial lokal mempunyai potensi
yang besar jika arah pembinaannya d i dekati 'dari bawah'.

Demikian halnya

perlu diupayakan agar dalam penggunaan air yang bersifat kompetitif dapat
berurutan (sequential uses), yaitu bagaimana agar penyaluran yang berasal dari
seorang petani dapat merupakan ketersediaan air bagi petani tainnya. Dengan
dernikian, sehubungan dengan kebijaksanaan mengefisienkan penggunaan air,
maka penyesuaian harga air dipandang penting dari sudut pengelolaan pada sisi
perrnintaan.

Kegunaan
tertentu,

air

dipengaruhi

oleh

dimensi

lokasi,

waktu

maka faktor-faktor yang menentukannya seperti,

dan

kualitas

keadaan tanah,

iklim, dan musim akan mempengaruhi nilai dari proyek irigasi yang dibangun
dan karenanya akan menentukan tingkat keinginan masyarakat pengguna air
yang bersangkutan {user's willingness to p a y ) . Oleh karenanya, air harus diberi
harga yang sebanding dengan biaya marjinal penyediaannya yang rneliputi
opportunity cost dari sumberdaya airnya sendiri dan opportunity cost dari

sumberdaya lainnya yang digunakan untuk itu (modal, tenaga kerja dan lahan).
Dalam konsep organisasi terkandung makna elemen-elemen partisipan,
teknologi, tujuan, dan struktur dimana terdapat interdependensi satu sama lain
untuk menghasilkan output.

Organisasi pada u m u m n y a bertujuan ke arah

efisiensi, yaitu dengan mengurangi ongkos transaksi (transaction cost). Dalam
hubungan ini, Shui (7992)

mernberikan suatu analisis kelembagaan tentang

sistem irigasi dan biaya transaksi rnelalui tiga kaitan sifat yang secara nyata
mempengaruhi adanya perbedaan insentif dan pembatas bagi partisipan
sistem jaringan tata air, yaitu : ( 1 )

sifat-sifat

pada

fisik irigasi , (2) sifat-sifat

rnasyarakat partisipan dan (3) sistem kelembagaan (Gambar 1 ).
Kerangka analisis kelembagaan yang disajikan pada Garnbar 1 memberi
pemahaman

bahwa

terintegrasinya

aspek

teknis

irigasi

dan

sistem

kelembagaan dalam pengembangan irigasi merupakan unsur penting guna
menunjang partisipasi petani dalam pengelolaan sumberdaya air.
keterpaduan

ini

sudah

barang

tentu

akan

berpengaruh

kelembagaan organisasi irigasi dan sifat individu yang
pengertian

lain,

adanya

sifat

individu

yang

kondusif

terhadap

kooperatif.

opportunistic

rationality dari masyarakat petani dapat dihindari.

Terjadinya

dan

kinerja
Dengan

bounded

Terciptanya kondisi yang

sernacam ini akan memberikan kejelasan insentif

bagi partisipan

petani, untuk meningkatkan peran sertanya dalam pengelolaan irigasi.

Efektivitas

penerapan

institusi

kolektif

ditentukan

oleh

karakteristik

intrinksik sumberdaya air atau produknya. Semakin tinggi biaya transaksi, free
rider, resiko dan ketidakpastian, maka semakin sulit kemungkinan menerapkan
institusi kepemilikan dan menerapkan mekanisme harga sebagai instrumen
kearah efisiensi.

Alternatif lain dapat dapat ditempuh melalui pemberdayaan

institusi community management seperti,

Perkurnpulan Petani Pemakai Air

(P3A).
Kejelasan hak kepemilikan atas air irigasi merefleksikan akan hak dan
tanggung jawab dalarn operasi dan pemeliharaan sistern irigasi antara instansi
pernerintah dan masyarakat petani.

Kemudahan untuk akses

dan kontrol

terhadap pengelolaan sumberdaya air irigasi, tentunya akan membawa pada
pola interaksi antar partisipan yang harmoni.

Pola interaksi yang terjadi

diantara partisipan akan mempengaruhi hasil (outcomes), tingkat efisiensi dan
optimasi pengalokasian sumberdaya air.

Dengan kata lain, pola interaksi antara

partisipan dalam situasi yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda
pula.
Dengan memperhatikan berbagai aspek dalam pengelolaan air,

maka

beberapa azas pokok pikiran yang perlu dipertimbangkan yaitu (Pasandaran
dkk., 7 9 9 5 ) ; ( 1 ) azas efisiensi, (2) azas keadilan, (3) azas partisipasi, dan (4)
azas keberlanjutan. Strategi yang disusun dalam rangka pengelolaan sistem
irigasi hendaknya disesuaikan dengan unit manajemen d a n tujuan pengelolaan.
Kelembagaan pengelolaan tersebut hendaknya dijabarkan ke dalarn langkah
operasional

yang

dapat

dikategorikan

ke

dalam

demand

management

(penentuan saat tanam, pola tanam, dan penggunaan varietas), dan supply
management (perbaikan cara pemberian air, d a n pemanfaatan air tanah).

.

-

Areal ~ r ~ g a s ~
lumlah anggora
(pemakai air)
Ketersediaan air
Alternarif sumber air

-

-

Sumber pendapatan
anggota pemakai air
Tingkat partisipasi
Perbedaan-perbedaan
di antara anggota
(pemakai)

Aturan-acuran
operaslonal
Pilihan kelompuk
Aturan yang ada

Kinerja
Bounded rationality
Opponunistic

Fasilitas irigasi
Kelembagaan

G
Insentif

r---l
(
Pola lnteraksi

Biaya Transaksi

1

.
.

Hasil (outcomes)
Krcukuparl kcbutuhan air
Pengelolaan
Produksi rncningkat

Gambar 1 . Kerangka Analisis Kelernbagaan Jaringan Tata Air

Lembaga-lernbaga tradisional pengelola irigasi yang

sarnpai saat

ini

rnasih bertahan mernbuktikan betapa pentingnya organisasi dalarn pengelolaan
air tersebut.

Organisasi pengelola air bukan sekedar organisasi untuk kegiatan

teknis sernata, narnun lebih dari itu merupakan suatu lembaga sosial, bahkan di
pedesaan Indonesia kandungan kaidah-kaidah yang telah disepakati lebih sarat
daripada sarana fisiknya.

Jelas pengelolaan irigasi yang secara teknis dapat

dipertanggung-jawabkan dan secara sosial dapat diterirna,

diperlukan suatu

organisasi yang baik (Ambler, 7990).
H a yami

dan

Ruttan,

f 79841 rnengungkapkan

bahwa

institutional

innovation sebagai konsekuensi dari relatif langkanya suatu surnberdaya, dan
pada

gilirannya

kondisi

demikian

mewujudkan

technics/

dan

innovation

institutional innovation. Pernyataan senada, dikemukakan oleh Ruttan (79851
rnelalui teori induced innovation dan induced instirutional innovation yang
menggariskan bahwa kelangkaan relatif suatu sumberdaya (air) akan memacu
masyarakat untuk berusaha rnerespon sifat kelangkaannya. Atas dasar ini,
maka

penyesuaian

penguasaan yang

kelembagaan
pada akhirnya

akan

mernpengaruhi perubahan

menghadirkan

sistem

hak

kelernbagaan

dan
baru

terhadap pola pemanfaatan surnberdaya.
Dalarn upaya rnencapai pengelolaan surnberdaya air yang efisien dan
berdimensi pemberdayaan petani diperlukan penyesuaian kelernbagaan baik
untuk kelembagaan pemerintah, swasta rnaupun petani.

Pada tingkat petani,

dipandang penting untuk mengembangkan P 3 A menjadi suatu organisasi yang
m a m p u berperan ganda yakni bukan saja sebagai pengelola jaringan irigasi
tetapi juga kegiatan usaha ekonomi.

Bahkan adanya program PIK dan IPAlR

yang rnenuntut P3A untuk turut bertanggung j a w a b dalarn pembiayaan OP
jaringan irigasi, mernbawa konsekuensi P 3 A harus rnampu berperan ganda.
Peluang

P3A

untuk

melakukan

kegiatan

usaha

ekonorni

tertuang

dalarn

INMENDAGRI No. 72 Tahun 7992 tentang pembentukan dan pembinaan P3A
12

yang

menyebutkan

bahwa

dalam

rangka

mengembangkan

keuangan,

organisasi P 3 A dapat melakukan usaha-usaha ekonomi serta adanya kebebasan
petani dalam rnengusahakan jenis tanaman yang diinginkan sesuai dengan UU
No. 7 2 Tahun 7992.

Terbatasnya kernarnpuan pemerintah dari segi dana untuk menangani
kegiatan operasi dan perneliharaan (OP) irigasi, maka pemerintah sejak tahun

1987 mencanangkan kebijaksanaan IPAlR yaitu iuran dari petani atas jasa
pelayanan air.

Tujuan IPAlR adalah untuk mencapai pemulihan biaya secara

penuh atas biaya OP dari sistem jaringan irigasi yang luasnya lebih dari 500 ha.
Sejak

tahun

1989

pemerintah

telah

menetapkan

kebijaksanaan

untuk

menyerahkan kembali pengelolaan jaringan irigasi kecil ( 5 rnmlhari). Khusus di Jalur Pantura evaporasi

pada Bulan April-September

diperkirakan 480 m m (130 mmlbulan), padahal curah hujan rata-rata selama i t u
kurang dari 4 0 0 m m . Artinya peningkatan efisiensi dapat dilakukan di saluran
dan dipetakan sawah. Yamazaki /7992j menyatakan bahwa penataan sistern
sawah

yang

baik

selain

dapat

rneningkatkan

efisiensi

air,

juga

dapat

meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan lahan.
Kebiasan
tampaknya

petani

untuk

menggenangi

sawah

secara

terus-menerus

menemukan bahwa tidak
perlu diubah. Bermanakusumah (7995/,

ditemukan perbedaan yang nyata antara genangan setinggi 7 5 c m dengan
rnacak-macak ( 1 crnl, dan tinggi genangan justru sejajar dengan laju perkolasi.
Pendapat ini sesuai dengan penelitian Kusnadi {7997/,yang menyarankan
perubahan dari pola kontinyu (continuous flow) kepada pola pernberian secara
berkala (intermittent) dengan tinggi genangan
demikian,

1 sampai

1 0 cm.

Dengan

pola intermittent tampaknya sudah menjadi suatu yang mutlak

pada usahatani padi sawah sesuai dengan prinsip-prinsip efisiensi. Efisiensi d i
t i n g k a t petakan sawah tampaknya perlu mendapat perhatian, karena selain
tingkat

efisiensinya

cenderung berlebihan.

rendah,

juga

selarna

ini

penggunaan

air

di

sawah

3.4.

Aspek Kultural
Indonesia berada d i daerah tropik dengan c u r a h hujan yang relatif

tinggi,

sehingga tidak mengherankan jika timbul pendapat d i masyarakat

b a h w a air adatah surnberdaya yang melimpah. Secara u m u m diternukan
kebiasaan boros penggunaan air, atau akan sangat sulit u n t u k menimbulkan
kesadaran b a h w a air akan rnenjadi kornoditas langka d i masa mendatang.
Dengan

demikian,

kendala

sosial

budaya

yang

lebih

berat

untuk

mensukseskan gerakan hemat air ini datang darj aspek sosial dibandingkan
aspek ekonomi (Surrisno, 7995).

Tim PSI-Unand (79971 menernukan b a h w a alasan petani menggenangi
sawah

secara

berlebih

adalah

untuk

rnengharnbat turnbuhnya gulma,

mernpermudah

pengolahan

tanah,

mernperrnudah penyiangan, menyuburkan

tanah, mengurangi serangan hama (tikus), serta mengurangi tenaga kerja dan
rnenghemat biaya. Berhadapan dengan alasan-atasan yang rasional ini, rnaka
cara u n t u k mengubah pola pikir tersebut,

adalah menyangkut perubahan

individu per individu serta menyangkut perubahan kelernbagaan d i t i n g k a t
komunal yang dapat melalui lembaga formal.
Sebagai

peiaku

utama

kegiatan

produksi

pertanian,

petani

harus

melakukan pengaturan agar didapatkan jaminan b a h w a air rnenjadi kornponen
yang

harus

ada

dalam

kegiatan

usahataninya,

sementara

perangkat

pemerintah rnaupun pihak-pihak lain y a n g terkait dengan kegiatan produksi
pertanian d i tingkat petani harus juga mengarahkan kegiatan kerjanya u n t u k
mendukung

adanya

jaminan

ketersediaan

air

dalam

kegiatan

usahatani

(Pasandaran dan Taryo to, 7993).
Selain usaha perubahan d i t i n g k a t petani, keberhasilan pengelolaan air
irigasi ini juga tergantung kepada pengelolaan manajemen d i t i n g k a t jaringan
(distribusi) dan tingkat sungai (aiokasi). Dengan demikian, kelembagaan yang

perlu rnendapat perhatian adalah kelembagaan Panitia lrigasi (Tingkat I dan
Hal ini mengisyaratkan

II), Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA) dan P3A.

b a h w a P 3 A perlu diberi kesempatan u n t u k mengelola sumberdaya air yang
tidak hanya terbatas pada tingkat usahatani, n a m u n melibatkannya secara
lebih luas d i tingkat distribusi dan atokasi. Penelitian aksi d i Bali telah berhasil
melahirkan Subak A g u n g sebagai organisasi di atas P 3 A yang beranggotakan
pengurus P 3 A bersangkutan (Windya, 7997).
Lebih lanjut, Pasandaran dan Taryoto (79931 mengungkapkan b a h w a
sistern kemasyarakatan berkaitan dengan tatanan a t a u pranata kehidupan
masyarakat,

baik

sehubungan

dengan bentuk-bentuk

interaksi yang ada

diantara para pelaku interaksi anggota rnasyarakat, m a u p u n dalarn kaitannya
dengan

norma,

kelengkapan

tata

nilai,

berlaku pada masing-masing masyarakat.

maupun

adat-adat

istiadat yang

Dengan a c u a n ini, adalah penting

mernperhatikan kekhasan tiap-tiap satuan masyarakat beserta kelengkapan
t a t a kehidupan masyarakatnya.

Menekankan berbagai ha1 yang berorientasi

pada upaya generalisasi kebijaksanaan, tanpa memperhatikan norma-norma
setempat

seringkali

kemasyarakatan
kekhasan

menghadapi

majemuk

hambatan.

seperti yang

masing-masing

masyarakat

Karena

ada

di

atau

itu,

Indonesia,

wilayah

dalam

sistem

pertimbangan

seyogyanya

harus

mendapatkan perhatian yang rnemadai.
Berdasar kebijakan dan peraturan yang ada selama ini, P3A dipandang
sebagai

lembaga/organisasi

kontroversi
rnenghadapi

apakah
sistem

yang

bersifat

sosial

ini

pengelolaan

air

sifat

sosial.

masih

Hal

perlu

irigasi

yang

ini

mengundang

dipertahankan
semakin

dalam

kompetitif.

Kuswanto (19971 memandang dari fungsi dan keuntungannya, P 3 A masih

perlu mempertahankan sifat sosialnya, karena ( 1 ) pernilikan atas hak guna air
dan jaringan irigasi oleh para petani anggota P 3 A bersifat kolektif, (2) P 3 A
dapat

berfungsi

pernerataan

sebagai

ekonomi

di

instrumen
kalangan

untuk

petani,

menciptakan
dan

dan

menjaga

(3) secara teknis

akan

mernerlukan upaya perubahan kelembagaan yang sangat berat, mengingat
sifat sosial P3A yang telah tertanam dalarn kebijakan dan peraturan yang
menyangkut pengelolaan P 3 A .

Dengan demikian langkah alternatif adalah

memadukan perspektif bisnis dalarn kerangka visi P 3 A yang bersifat sosiat.
Sebagai
P3A.

implikasinya adalah adanya

penyesuaian struktural

kelembagaan

I V . M E T O D E PENELITIAN

4.1. Lokasi penelitian dan Waktu penelitian
Lokasi penelitian

Propinsi

Jawa

Barat

dipilih

sebagai

daerah

penelitian

atas

dasar

pertirnbangan sebagai berikut : ( 1 ) wilayah Jawa Barat merupakan salah satu
daerah sentra produksi pertanian, khususnya tanarnan pangan, (2)terrnasuk
dalam wilayah pengembangan IP-Padi 300, dan (3) ketersediaan sumberdaya
air untuk kepentingan irigasi dan sektor lainnya rnengalarni penurunan. Secara
mendalarn penelitian ini di fokuskan pada dua kabupaten yang terrnasuk
wilayah

pengembangan teknologi tersebut

kabupaten Cianjur.

yaitu,

kabupaten

Subang

dan

Pemilihan didasari pertimbangan bahwa sistem pengelolaan

sumberdaya air pada kedua kabupaten tersebut berbeda yaitu, untuk Kabupaten
Subang berada dibawah Perurn Otorita Jatiluhur

(POJ), sedangkan

Kabupaten Cianjur dibawah Pengelolaan Dinas PU Pengairan.

untuk

Pada setiap

kabupaten dipilih dua Daerah lrigasi (Dl), yaitu Dl Macan (Kecarnatan Binong)
dan D l Curug Agung (Kecamatan Kalijati) untuk kabupaten Subang, serta D l
Cikeris

(Kecamatan

Cugenang)

dan

Dl

Cipadang

Cibeleng

(Kecamatan

Warungkondang) untuk kabupaten Cianjur (Garnbar 4 dan 5).
Waktu penelitian

Penelitian dilakukan dalam ernpat tahapan yaitu,
pengumpulan data dan informasi,
penulisan dan konsultasi.

persiapan penelitian,

pengolahan data dan analisis data serta

Periode penelitian adalah selama 1 2 bulan rnulai

bulan Juli 1 9 9 8 hingga Juli 1 9 9 9 .

I

Gambar 4. Peta Kabupaten Subang Skala 1 : 250.000
.. .

.

Garnbar 5. Peta Kabupaten Cianjur Skala 1 : 250.000

Teknik Pengarnbilan Contoh

Responden peneiitian terdiri atas petani dan aparat yang dipilih secara
purposive. Khusus untuk responden petani dibedakan rnenjadi petani peserta
program pengembangan dengan pola tanarn padi-padi-padi, padi-padi-palawija
dan padi-padi-bera. Sementara responden aparat terdiri atas aparat d i tingkat
propinsi,

kabupaten,

kecamatan dan desa,

serta pengurus kelornpok P3A,

sebaran jenis dan jurnlah responden penelitian dijabarkan dalam Tabel 1.
Teknik
melakukan

pengarnbilan

review

data

contoh

sekunder,

dalarn

penelitian

sasarannya

adalah

ini

diawali

untuk

dengan

mengetahui

garnbaran urnurn kondisi lokasi yang akan diteliti, dan untuk rnendapatkan
informasi yang lebih konkrit tentang kondisi lokasi sebagai bahan pertirnbangan
dalarn penentuan lokasi penelitian.

Perolehan inforrnasi a w a l ini ditempuh

rnelalui diskusi dengan aparat dari dinas dan instansi yang ada relevansinya
dengan penelitian ini seperti, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, PU Pengairan,
dan Bappeda, baik d i tingkat propinsi rnaupun kabupaten.
Tabel 1 . Lokasi, nama P3A. nama DI, jenis irigasi, serta j e n i s dan jumlah responden penelitian

1 . Tingkat propinsi

4.2. Analisis data
Dalam
analisis

penelitian

lintas

(path

ini

ditempuh

analysis),

pendekatan

efisiensi

dan

analisis

analisis

kelembagaan,

kuantitatif

(goals

programming). Pendekatan kelembagaan dan analisis lintas, diarahkan untuk
mengkaji

secara

kualitatif

dari

sistem

kelembagaan

jaringan

tata

air,

perubahan sistem kelembagaan pedesaan, dan tingkat partisipasi petani dalarn
penatagunaan air irigasi serta faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
P3A. Pendekatan kuantitatif, diarahkan untuk menganalisis tingkat optimasi

pemanfaatan

lahan di

wilayah

pengembangan

IP-Padi

300 dan tingkat

efisiensi pada saluran irigasi.
Analisis optirnasi pemanfaatan lahan dalam penelitian ini menyandarkan
pada analisis goals programming.
keputusan,

seperti

dalam

Mengingat bahwa proses pengambilan

manajemen

usahatani

dengan

menggunakan

kerangka rancangan tinier yang konvensional akan memberikan generalisasi
kesimpulan yang bias (Field, 7 9 7 3 , dan Fljnn dan Jayasuria,

7 9 7 9 ) , maka

solusi yang disarankan adalah dengan kerangka tujuan berganda atau teknik
pendekatan yang sesuai dipergunakan dalam masalah tersebut adalah Linear

Goal Programming (Charnes and Cooper, 796 1).

4.2.1. Analisis deskriptif
Pendekatan analisis ini difokuskan pada tiga aspek utama yaitu, batas
yurisdiksi, hak kepernilikan atas air (water rights), dan aturan representasi.
Selain itu, ditelaah pula sifat-sifat fisik irigasi, masyarakat partisipan, dan
sistem kelembagaan.

Batas Yurisdiksi dan Kinerja Sarana Fisik
Banyak permasalahan dan isu dalam ekonomi berkaitan dengan struktur
dari

batas yurisdiksi.

Konsep

batas yurisdiksi dapat

memberi arti

batas

kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh

suatu lembaga dalam

mengatur

daerah

maupun

sumberdaya.
pengelolaan

Dalarn

di

kasus

tingkat

pengelolaan

pedesaan

(P3A),

batas

aliran

sungai,

yurisdiksi

juga

menunjukkan hal penting bagaimana suatu institusi menentukan siapa yang
tercakup dan apa yang diperoleh. Demikian pula batas yurisdiksi suatu Daerah
lrigasi (Dl) terkait dengan golongan pernberian air d a n pola tanamnya yaitu;
Go1 I

:

Padi - Padi - Padi
Padi

Go1 II

:

-

Padi

-

Kedelai

Padi - Padi - Kedelailjagung
Padi - Padi - Bera

Go1 III

:

Padi - Padi - Bera

Go1 I V

:

Padi - Padi - Bera

Hak Kepemilikan atas Air Irigasi