Pedogenesis Pada Beberapa Jenis Tanah Yang Disawahkan Di Bogor
PEDOGENESIS PADA BEBERAPA JENIS TANAH YANG
DISAWAHKAN DI BOGOR
KURNIATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pedogenesis pada Beberapa
Jenis Tanah yang Disawahkan di Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2016
Kurniati
NRP A151130011
RINGKASAN
KURNIATI. Pedogenesis pada Beberapa Jenis Tanah yang Disawahkan di Bogor.
Dibimbing oleh SUDARSONO dan SUWARDI.
Tanah sawah mempunyai sifat morfologi dan pedogenesis yang berbeda
dibandingkan tanah yang tidak disawahkan. Proses pembentukan tanah sawah
dimulai dari proses penggenangan secara terus menerus selama budidaya tanaman
padi. Penggenangan tanah akan mengubah kondisi tanah dari oksidatif menjadi
reduktif. Reaksi ini akan menyebabkan Fe dan Mn yang semula dalam keadaan
oksidatif akan berubah menjadi keadaan reduktif. Reaksi ini akan melibatkan Fe
dan Mn yang secara langsung seperti adanya karatan Fe dan Mn dan perubahan
warna tanah. Karatan Fe dan Mn ini akan mengeras jika teroksidasi kembali.
Proses pergantian oksidasi-reduksi dalam jangka waktu yang lama, akan
mengakibatkan terbentuknya lapisan yang bersifat padas dan keras, biasa dikenal
dengan lapisan tapak bajak.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan sifat-sifat
morfologi, fisik dan kimia dari tanah sawah dan tanah pada lahan kering;
mempelajari proses-proses pedogenesis; dan mengklasifikasikannya dengan
sistem klasifikasi Soil Taksonomy 1999. Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga
tahap penelitian. Pertama, penelitian lapangan pada empat lokasi (Dramaga,
Jasinga, Sukamantri dan Sindangbarang). Kedua, penelitian laboratorium dengan
menganalisis sifat-sifat fisik dan kimia tanah. Ketiga, analisis data yang dilakukan
secara deskriptif dan kuantitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kekerasan pada tanah sawah
lebih tinggi dibandingkan tanah pada lahan kering terutama di bawah lapisan olah.
Nilai tingkat kekerasan tanah di bawah lapisan topsoil berkisar 2.75 kg/cm2 - 4.5
kg/cm2 lebih tinggi dari lapisan olah dan lapisan bawah dengan kisaran antara 0
kg/cm2 – 2.5 kg/cm2. Hal ini menunjukkan bahwa adanya proses pembentukan
tapak bajak dalam kondisi penggenangan. Nilai pH tanah sawah cenderung lebih
tinggi daripada nilai pH tanah kering. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
nutrisi lain seperti C-organik, fosfor dan nitrogen. Sedangkan nilai Fe, Mn dan Al
diekstraksi dengan dithionite meningkat pada tanah sawah daripada tanah kering.
Begitupula ekstraksi dengan pirofosfat dan oksalat, cenderung lebih tinggi
dibandingkan tanah pada lahan kering. Pada keempat tanah jenis tanah sawah
yang diamati menunjukkan tingkat kekerasan tanah di lapisan tapak bajak lebih
tinggi dari lapisan atas (olah) atau lapisan lainnya. Tanah sawah memiliki sifat
yang unik dengan proses reaksi oksidasi-reduksi sehingga memberikan warna
tanah menjadi lebih gelap karena kelarutan Fe, Mn, dan Al tinggi.
Klasifikasi tanah berdasarkan Soil Taksonomy antara tanah kering dan tanah
sawah berubah mulai dari kategori suborder sampai kategori subgrup. Tanah
Latosol dari Typic Distrudepts menjadi Aeric Epiaquepts. Tanah Podsolik dari
Typic Hapludults menjadi Aeric Endoaquults. Tanah Andosol dari Thaptic
Hapludands menjadi Typic Epiaquands. Tanah Regosol dari Typic Udorthents
menjadi Mollic Epiaquents.
Kata kunci: konkresi Fe dan Mn, lapisan tapak bajak, tanah sawah
SUMMARY
KURNIATI. Pedogenesis for Several Paddy Soil Types in Bogor. Supervised by
SUDARSONO and SUWARDI.
Paddy soil has different morphological and pedogenesis characteristics
than dry land. Process of paddy soil formation was originated from flooding
which occurs continuously during rice cultivation. Subsequently these process
will change soil conditions and reaction of oxidative become reductive. This
reaction involved Fe and Mn which directly impact to concretion of Fe and Mn
and affects to the soil color in paddy soil. Concretion of Fe and Mn will harden if
oxidized again. Change of oxidation-reduction processes in the long term, will
lead to the layers formation that were pan and hard, commonly known as a plow
pan layer.
The purposes of this study are to understand the changing of
morphological, physical and chemical properties of paddy soil and soil at dry
land; to understand pedogenesis process in Podsolic, Latosol, Regosol and
Andosol, then to classify them based on Soil Taxonomy 1999’s classification
system. This research was conducted in three phases. First, was field research in
four locations (Dramaga, Jasinga, Sukamantri and Sindangbarang). Second was
laboratories research to analyze the physical and chemicals of soil properties.
Third was the data analysis descriptively and quantitatively to classify the soil.
The results showed that level of hardness in paddy soil was higher than
soil in dry land especially on the under processing layer. The number of hardness
level on the soil below topsoil about 2.75 kg/cm2 - 4.5 kg/cm2 was higher than the
topsoil and layers below it with range between 0 kg/cm2 - 2.5 kg/cm2. This was
indicated that there was plow pan layer formation processes in inundated situation.
The values of pH in paddy soil tended to be higher than pH values of dry land. No
significant differences in other nutrients such as C-organic, phosphorus and
nitrogen. While the content of Fe, Mn and Al were extracted with dithionite
increased in paddy soil than dry soil as well as extracted with pyrophosphate and
oxalate, tended to be higher compared to dry land. In fourth type of paddy soils
that had been observed shows the soil hardness level was higher than topsoil or
other layers. Paddy soil has unique properties by a process of oxidation-reduction
reaction thereby providing soil discoloration becomes darker due to the high
solubility of Fe, Mn, and Al.
Soil classification based on soil taxonomy between soil at dry land and
paddy soil changed in the sub-ordo until sub-group category. Latosol soil of Typic
Distrudepts be Aeric Epiaquepts. Podsolic soil of Typic Hapludults be Aeric
Endoaquults. Andosol soil of Thaptic Hapludands be Typic Epiaquands. Regosol
soil of Typic Udorthents be Molliic Epiaquents.
Key words: Fe and Mn concretion, paddy soil, plow pan layer.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PEDOGENESIS PADA BEBERAPA JENIS TANAH YANG
DISAWAHKAN DI BOGOR
KURNIATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Tanah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Ir Atang Sutandi, M.Si.PhD
Judul Tesis : Pedogenesis pada Beberapa Jenis Tanah yang Disawahkan di
Bogor
Nama
: Kurniati
NIM
: A151130011
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof.Dr Ir Sudarsono, MSc.
Ketua
Dr Ir Suwardi, MAgr.
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Tanah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Ir Atang Sutandi, MSi.PhD
Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 13 Mei 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini ialah
pedegenesis tanah sawah, dengan judul Pedogenesis Beberapa Jenis Tanah yang
Disawahkan di Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr Ir Sudarsono, M.Sc dan Dr Ir
Suwardi, M.Agr selaku pembimbing yang telah banyak memberi arahan dan saran
selama penulis melaksanakan penelitian hingga menjadi suatu bentuk karya
ilmiah. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orangtua tercinta,
ayahanda H. Muhammad Nur Hasan dan ibunda Mahani Muhammad, kakak
Suryani, Rostinah dan adik Mahfud atas segala doa dan kasih sayang yang tulus
dan tak ternilai harganya kepada penulis. Ungkapan terima kasih penulis
sampaikan pula kepada adek tersayang Arini Lukita Ismiranti yang selalu
menemani penulis dalam memberikan dukungan materi maupun moril serta
semangat yang tidak ternilai harganya. Ungkapan terima kasih juga penulis
ucapkan kepada tim survey pengambil sampel tanah Dicky, Aida, Ria, Ranti,
Inda, Aan dan Yaya. Terima kasih kepada murobbiyah tercinta Dewi Maghfirah
atas nasehat dan doanya. Terima kasih kepada sahabat saya Fauziah, Rahma,
Khairiah, Ajab, Kurnia, Hamda, Aryani, Rosita yang selalu memberikan
dukungan dan doanya. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada
Ditjen Dikti atas pemberian beasiswa selama menjalankan studi di Institut
Pertanian Bogor.Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada laboran
dan anggota Laboratorium Fisika dan Kesuburan Tanah Jurusan Ilmu Tanah
Fakultas Pertanian IPB.Teman-teman Ilmu Tanah SPs IPB angkatan 2013 Sri,
Asdiq, Fuadi, Prily, Lusi, Aci, Gilang, Syamsul, Dadan, kak Septi, yuyun dan
intan atas kebersamaannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
teman-teman di kost Bu Roma atas segala perhatian yang tulus layaknya keluarga
bagi penulis.Ungkapan terima kasih penulis sampaikan khusus kepada teman
seperjuangan Nirmala Juita. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Yaya,
Rika, Mas Anto, Ibu mimin yang telah membantu selama penyelesaian tugas akhir
ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2016
Kurniati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
1
1
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tanah Sawah
Morfologi Tanah Sawah
Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Profil Tanah Sawah
Tapak Bajak
Padas Besi/Mangan
Fe, Mn dan Al yang Diekstrak dengan Dithionit, Oksalat dan Pirofosfat
Klasifikasi Tanah Sawah
3
3
4
5
6
7
7
8
3 METODE
Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan
Metode
10
10
10
10
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Morgologi dan Fisik
Sifat Kimia Tanah
Pedogenesis
Pembahasan Umum Tanah Sawah
Klasifikasi Tanah
14
14
20
29
31
32
5 SIMPULAN
35
DAFTAR PUSTAKA
36
LAMPIRAN
38
RIWAYAT HIDUP
48
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
Analisis dan metode analisis sifat-sifat tanah
Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah Latosol, Dramaga
Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah Podsolik, Jasinga
Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah Andosol, Sukamantri
Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah Regosol, Sindangbarang
Klasifikasi tanah Latosol dan Podsolik berdasarkan Soil Taxonomy
Klasifikasi tanah Andosol dan Regosol berdasarkan Soil Taxonomy
13
22
23
24
25
32
33
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
Letak titik pengamatan dan pengambilan sampel tanah
12
Penampang profil tanah Latosol Dramaga
Penampang profil tanah Podsolik Jasinga
Penampang profil tanah Andosol Sukamantri
Penampang profil tanah Regosol Sindangbarang
15
16
17
18
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Deskripsi profil tanah Latosol yang disawah
Deskripsi profil tanah Latosol pada lahan kering
Deskripsi profil tanah Podsolik yang disawah
Deskripsi profil tanah Podsolik pada lahan kering
Deskripsi profil tanah Andosol yang disawah
Deskripsi profil tanah Andosol pada lahan kering
Deskripsi profil tanah Regosol yang disawah
Deskripsi profil tanah Regosol pada lahan kering
Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah Latosol
Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah Podsolik
Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah Andosol
Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah Regosol
Hasil analisis Fe, Mn dan Al dengan 3 pereaksi pada tanah Latosol
Hasil analisis Fe, Mn dan Al dengan 3 pereaksi pada tanah Podsolik
Hasil analisis Fe, Mn dan Al dengan 3 pereaksi pada tanah Andosol
Hasil analisis Fe, Mn dan Al dengan 3 pereaksi pada tanah Regosol
38
39
40
41
41
42
43
43
44
44
45
45
46
46
47
47
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanah sawah merupakan tanah yang terbentuk akibat adanya aktivitas
manusia yang mengubah sesuai syarat pertumbuhan tanaman padi. Tanah sawah
memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan bukan tanah sawah. Tanah
sawah mempunyai sifat morfologik dan pedogenik yang berbeda dibandingkan
tanah pada lahan kering, akibat pengaruh penggunaan tanah dimana terjadi
penggenangan selama beberapa bulan dalam satu tahun (Kawaguchi dan Kyuma
1977). Penggenangan dan pengeringan yang terjadi secara silih berganti (siklus
oksidasi-reduksi) pada tanah sawah dapat menimbulkan terbentuknya konkresi
atau karatan besi (Fe) dan mangan (Mn). Konkresi besi dan mangan ini terbentuk
sebagai akibat terlarutnya besi dan mangan pada saat penggenangan (reduksi) dan
kemudian terakumulasi pada horison B, selanjutnya pada saat tanah sawah
dikeringkan (re-oksidasi), akumulasi mangan tersebut akan membentuk kerak
yang kemudian disebut konkresi atau karatan. Bila proses penyawahan telah
berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama, maka pada profil tanah sawah
dapat dijumpai adanya lapisan tapak bajak.
Lapisan tapak bajak, merupakan lapisan padat dengan indeks pemadatan lebih
tinggi dari lapisan lainnya. Ketebalan lapisan ini berkisar antara 5 – 10 cm yang
terletak di antara kedalaman 10 dan 40 cm (Kanno 1978). Pemadatan ini tidak
hanya disebabkan oleh penggunaan bajak, tetapi juga oleh adanya faktor-faktor
lain seperti penggenangan yang terus menerus dilakukan dan siklus oksidasireduksi yang terjadi di dalamnya. Lapisan tapak bajak ini bisa terdiri dari horison
eluviasi A dan illuviasi B atau kedua-duanya (Moormann dan Van Breemen 1978).
Sifat morfologik dan pedogenik yang terdapat pada tanah yang disawahkan,
mungkin dapat menimbulkan masalah bagi tanaman lahan kering, bila
penanamannya menggunakan sistem pergiliran tanaman. Seperti yang
dikemukakan oleh Dei dan Maeda (1973) bahwa pada umumnya, lapisan atas
tanah sawah (10–20 cm) mempunyai sifat fisik yang kurang baik bagi
pertumbuhan tanaman lahan kering, karena struktur tanah pada lapisan atas
tersebut adalah pejal atau bersudut dan lempeng. Demikian pula dengan lapisan
tapak bajak. Meskipun lapisan tapak bajak mempunyai pengaruh positif terhadap
pengelolaan air dan pertumbuhan padi pada budidaya padi sawah, namun hal ini
tidak benar, bila pada lahan sawah tersebut digunakan untuk budidaya tanaman
lahan kering. Lapisan tapak bajak akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan
akar dan ketersediaan hara bagi tanaman lahan kering.
Winoto pada tahun 1985 telah meneliti tentang genesis dan
mengklasifikasikan tanah Latosol yang disawahkan pada beberapa tingkat
kedalaman air tanah, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tanah sawah yang
memiliki air tanah yang dangkal akan mengalami reduksi pada seluruh pedon.
Sedangkan pada tanah sawah yang air tanahnya dalam, proses reduksi hanya
diperlihatkan pada lapisan yang diolah saja. Kemudian. Rayes pada tahun 2000
meneliti tentang karakteristik, genesis dan klasifikasi tanah sawah berasal dari
bahan volkanik Merapi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan
2
tekstur tanah dan elevasi tidak menyebabkan terjadinya perubahan morfologi
tanah. Faktor utama perbedaan sifat fisik tanah sawah bukan tekstur tetapi
intensitas penanaman padi. semakin intensif tanah sawah diolah sepanjang tahaun
maka akan semakin tipis pembentukan tapak bajak, dan sebaliknya semakin tidak
intensif (1 kali/tahun) tanah disawahkan maka akan semakin tebal lapisan tapak
bajak yang terbentuk karena lamanya proses oksidasi terjadi. Perbedaan ini
menyebabkan perbedaan susunan mineral fraksi pasir dalam tanah tetapi tidak
menyebabkan perubahan mineralnya. Tidak semua tanah yang disawahkan
memiliki subordo akuik.
Penelitian yang banyak dilakukan para peneliti umumnya hanya fokus pada
satu jenis tanah sawah saja atau hanya meneliti tentang tanah sawah yang berasal
dari bahan induk yang sama seperti yang dilakukan oleh Rayes (2000), Winoto
(1985), Sutrisno (1988), Saswita (2000). Dalam penelitian ini dilakukan
pengamatan empat jenis tanah yang berbeda yaitu tanah Podsolik tanah Latosol,
tanah Andosol yang berbahan amorf, dan tanah dengan tingkat kekasaran
teksturnya yang tinggi yaitu tanah Regosol. Dari empat jenis tanah yang masingmasing memiliki karakteristik yang berbeda apakah memperlihatkan perbedaan
pula ketika tanah tersebut disawahkan, juga sejauh mana pengaruh proses
pedogenesis terhadap sifat-sifat tanah sawah tersebut.
Tujuan Penelitian
1. Mempelajari perubahan sifat-sifat morfologi, fisik dan kimia tanah sawah dan
tanah pada lahan kering.
2. Mempelajari proses pedogenesis pada Podsolik, Latosol, Regosol, dan
Andosol
3. Mengklasifikasikan tanah-tanah tersebut dengan sistem klasifikasi tanah
sesuai kunci Taxonomy Tanah 2014.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tanah Sawah
Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik
terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija.
Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi, tetapi merupakan istilah
umum yang digunakan oleh masyarakat seperti halnya penyebutan untuk tanah
pada penggunaan-penggunaan tertentu, misalnya tanah hutan, tanah perkebunan
dan lain sebagainya. Segala macam jenis tanah dapat disawahkan, asalkan yang
menjadi syarat utama terbentuknya tanah sawah itu terpenuhi yaitu dengan adanya
ketersediaan air yang cukup bagi tanaman padi (Rayes 2000).
Tanah sawah berasal dari tanah kering yang diairi kemudian disawahkan, atau
tanah yang sebelumnya adalah berasal dari tanah rawa-rawa yang dikeringkan
dengan cara membuatkan saluran drainase sehingga membentuk tanah sawah
sesuai dengan syarat tumbuhnya tanaman padi. Sawah yang airnya berasal dari air
irigasi disebut sawah irigasi, sedang yang menerima langsung dari air hujan
disebut sawah tadah hujan. Di daerah pasang surut ditemukan sawah pasang surut,
sedangkan yang dikembangkan di daerah rawa-rawa lebak disebut sawah lebak.
Penggenangan selama pertumbuhan padi dan pada saat melakukan pengolahan
tanah pada tanah kering yang akan dikonversi ke tanah sawah, dapat
menyebabkan berbagai perubahan sifat tanah, baik sifat morfologi, fisika, kimia,
mikrobiologi maupun sifat-sifat lain, sehingga sifat-sifat tanah akan berbeda
dengan sifat-sifat tanah asalnya atau sifat tanah sebelum disawahkan tersebut
(Rayes 2000).
Koenigs (1950), orang yang pertama kali melakukan penelitian sifat
morfologi tanah sawah sekitar Bogor, mengemukakan adanya profil tanah sawah
yang khas, pada tanah kering yang disawahkan di daerah tersebut. Namun
demikian, karena adanya perbedaan berbagai faktor yang berpengaruh dalam
proses pembentukan tanah sawah, ternyata profil tanah sawah yang khas tersebut
tidak selalu dapat terbentuk. Pada tanah rawa yang disawahkan, atau pada tanah
dengan air tanah yang dangkal, tidak terlihat adanya profil tanah yang khas seperti
yang dikemukakan oleh Koenigs (1950), meskipun bermacam-macam perubahan
sifat tanah akibat penyawahan telah terjadi. Bahkan pada tanah kering yang
disawahkanpun, seperti pada Vertisol dan beberapa jenis tanah lain, tidak
semuanya dapat membentuk profil tanah yang khas tersebut. Penggunaan tanah
kering untuk padi sawah dapat menyebabkan perubahan sifat morfologi dan sifat
fisiko-kimia tanah secara permanen, sehingga dapat menyebabkan perubahan
klasifikasi tanah. Dalam tulisan ini, disajikan uraian tentang beberapa macam sifat
morfologi dan profil tanah sawah, serta pengaruhnya dalam klasifikasi tanah,
khususnya dalam sistem Kunci Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff 2014).
4
Morfologi Tanah Sawah
Perubahan sifat morfologi tanah
Sebelum tanah digunakan sebagai tanah sawah, secara alamiah tanah telah
mengalami proses pembentukan tanah sesuai dengan faktor-faktor pembentuk
tanahnya, sehingga terbentuklah jenis-jenis tanah tertentu yang masing-masing
mempunyai sifat yang khas dari morfologi tanah itu sendiri. Pada awal tanah
mulai disawahkan dengan cara penggenangan air, baik pada waktu pengolahan
tanah maupun selama masa pertumbuhan tanaman padi, melalui perataan,
pembuatan teras, pembuatan pematang, pelumpuran, dan lain-lain, maka proses
pembentukan tanah secara alami yang sedang berjalan tersebut terhenti. Semenjak
itu, terjadilah proses pembentukan tanah baru, di mana air genangan di permukaan
tanah dan metode pengelolaan tanah yang diterapkan memegang peranan penting.
Karena itu tanah sawah sering dikatakan sebagai tanah buatan manusia atau manmade soil, anthropogenic soil (Prasetyo et al. 1996).
Apabila tanah yang disawahkan tersebut pada awalnya berasal dari tanah
kering, maka akan terjadi perubahan-perubahan sifat morfologi tanah yang cukup
jelas, tetapi bila berasal dari tanah basah seperti pada tanah rawa-rawa, maka
perubahan-perubahan tersebut umumnya tidak begitu terlihat dengan jelas.
Terkecuali karena penggunaan tanah sebagai sawah umumnya, tidak dilakukan
sepanjang tahun tetapi dilakukan rotasi/pergiliran tanaman dengan tanaman
palawija (tanah kering) atau dibera-kan setelah tanaman padi, maka perubahanperubahan tersebut dapat dibedakan menjadi: a) perubahan sementara dan b)
perubahan permanen (Prasetyo et al.1996).
Perubahan sementara
Perubahan sementara adalah perubahan-perubahan sifat fisik, morfologi dan
kimia tanah sebagai akibat penggenangan tanah yang dilakukan secara musiman,
baik pada waktu pengolahan tanah maupun selama pertumbuhan tanaman padi
sawah. Perubahan-perubahan tersebut terjadi di permukaan tanah atau lapisan olah
dan hanya bersifat sementara, karena setelah penyawahan selesai dan kemudian
diganti dengan tanaman palawija atau diberakan, terjadi perubahan kembali sifatsifat tanah tersebut akibat pengeringan tanah. Perubahan sifat sementara ini
berlaku pada tanah yang disawahkan 1 kali dalam setahun. Perubahan sementara
sifat fisik dan morfologi tanah sewaktu penyawahan, adalah berkaitan dengan
pelumpuran/pengolahan tanah dalam keadaan tergenang, sedangkan perubahanperubahan dalam sifat kimia adalah berkaitan dengan proses reduksi dan oksidasi.
Perubahan-perubahan sementara sifat-sifat kimia tanah tersebut secara kumulatif,
dapat menyebabkan perubahan yang permanen terhadap sifat morfologi tanah
(Prasetyo et al. 1996).
Perubahan permanen
Perubahan permanen terjadi akibat efek kumulatif perubahan sementara
karena penggenangan tanah musiman, atau praktek pengelolaan tanah sawah
seperti pembuatan teras, perataan tanah, pembuatan pematang, dan lain-lain.
Perubahan permanen pada tanah yang disawahkan, dapat dilihat pada sifat
5
morfologi dari penampang profil tanahnya, yang seringkali menjadi berbeda
dengan profil tanah asalnya yang tidak disawahkan. Praktek pengolahan tanah
sawah dalam keadaan tergenang, dapat menyebabkan terbentuknya lapisan tapak
bajak di bawah lapisan olah. Sedangkan penggenangan tanah selama pertumbuhan
padi, dapat mereduksi Fe dan Mn sehingga menjadi lebih larut dan meresap
bersama air perkolasi ke lapisan-lapisan bawah, sehingga terbentuk horison
iluviasi Fe di atas horison iluviasi Mn (Prasetyo 1995).
Perubahan sifat-sifat fisik dan kimia tanah yang terus berlangsung tersebut,
dicerminkan juga oleh perubahan sifat morfologi tanah, terutama di lapisan
permukaan. Menurut Hardjowigeno et al (2004) dalam keadaan tergenang, tanah
menjadi berwarna abu-abu (gley) akibat reduksi besi-feri (Fe-III) menjadi besifero (Fe-II). Akan tetapi pada tanah pasir atau tanah lain yang permeabel, warna
reduksi tersebut tidak terjadi, terkecuali pada penggenangan yang sangat lama. Di
lapisan permukaan horison tereduksi tersebut, dalam keadaan tergenang,
ditemukan lapisan tipis yang tetap teroksidasi berwarna kecokelatan, karena difusi
O2 dari udara, atau dari fotosintesis algae yang terus berlangsung.
Bila tanah dikeringkan, akan terjadi oksidasi kembali yaitu (besi-fero)
menjadi (besi-feri), sehingga terbentuklah karatan coklat pada rekahan-rekahan,
bekas saluran akar, atau tempat-tempat lain di mana udara dapat masuk. Pada
tanah pasir, karatan coklat pada bekas-bekas akar tidak terlalu jelas terlihat. Pada
tanah masam yang dalam keadaan tergenang mengandung besi-fero tinggi,
karatan besi menjadi lebih jelas setelah tanah dikeringkan. Kecuali, akibat proses
penyawahan yang berulang-ulang, dapat terbentuk horison baru yang khas
terdapat pada tanah sawah, seperti lapisan tapak bajak, horison iluviasi Fe, horison
iluviasi Mn, dan lain-lain (Prasetyo 1995).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan profil tanah sawah
Relief
Bila relief/topografi tanah asal berombak atau berlereng, maka terlebih
dahulu harus dibuat teras bangku. Sawah pada teras, sifatnya sangat berubah
dibandingkan dengan tanah asalnya, karena terjadinya penggalian dan
penimbunan pada waktu pembuatan teras. Cara pembuatan teras adalah dengan
jalan menggali lereng atas, dan menimbun lereng bawah. Akibatnya, susunan
horison tanah asalnya dapat hilang sama sekali. Makin curam lereng, maka teras
semakin sempit dan penggalian serta penimbunan semakin dalam. Dalam satu
petak sawah yang baru dibuat dengan cara ini, mungkin akan ditemukan lebih dari
satu jenis tanah, yaitu Entisol atau Inceptisol pada bagian tanah yang ditimbun
atau digali, selain tanah aslinya di bagian tengah petakan (Prasetyo 1995).
Perubahan sifat tanah selanjutnya, terjadi akibat pelumpuran/pengolahan
tanah dalam keadaan tergenang dan penggenangan lapisan olah selama
pertumbuhan padi, sehingga terjadi proses pembasahan dari lapisan atas ke lapisan
bawah. Lama-kelamaan tanah dalam satu petak sawah akan mempunyai sifat
morfologi dan sifat-sifat tanah lain, yang mendekati kesamaan terutama pada
lapisan atas, atau bila sudah berumur ratusan tahun, pada seluruh solum tanah
(Hardjowigeno et al 2004).
6
Hidrologi
Pembuatan sawah dari tanah rawa dilakukan dengan membuat saluransaluran drainase, agar tanah menjadi lebih kering, atau tidak terus-menerus
tergenang. Karena itu, sifat tanah akan berubah karena terjadi proses “pengeringan”
tanah, mulai dari lapisan atas ke lapisan bawah. Sebaliknya, pada tanah kering
yang disawahkan, akan terjadi proses “pembasahan” dari lapisan atas ke lapisan
bawah. Apabila tanah rawa yang “dikeringkan” tersebut banyak mengandung
bahan sulfidik (seperti pirit, FeS2), maka profil tanah sawah yang terbentuk
banyak mengandung karatan jarosit (KFe3 (SO4)2 (OH)6) pada pola tanam dengan
padi – palawija, setiap tahunnya mengalami masa tergenang yang lebih lama
dibandingkan dengan masa kering. Sedangkan sawah dengan pola tanam padi –
palawija – bera, mengalami masa tergenang lebih singkat dibandingkan masa
keringnya. Akibat adanya perbedaan pola tanam, yang menyebabkan perbedaan
lamanya penggenangan tersebut, maka terjadilah perbedaan sifat-sifat morfologi
tanah sawah. Sifat-sifat tanah sawah, termasuk sifat morfologinya, juga berubah
setiap musim akibat penggunaan tanah yang berbeda. Dalam hal ini, sifat tanah
pada saat ditanami padi sawah (basah), berbeda dengan waktu ditanami palawija
atau bera (Hardjowigeno, et al. 2004). Namun demikian, sawah-sawah yang
mempunyai profil tanah yang khas yang telah dikeringkan puluhan tahun, seperti
halnya (bekas) tanah sawah di sekitar Bogor, masih menunjukkan adanya lapisan
tapak bajak, lapisan Fe, dan lapisan Mn, meskipun lapisan atas tidak lagi berwarna
pucat, melainkan kecoklatan mendekati warna tanah asalnya. Sifat-sifat tanah
sawah yang tidak berubah, baik sewaktu digunakan untuk bertanam padi sawah
maupun waktu digunakan untuk bertanam palawija atau bera, disebut sifat tanah
sawah permanen (Rayes 2000)
Tapak Bajak
Tapak bajak (flow pan atau traffic pan) merupakan lapisan padat, terdapat
di bawah lapisan olah dalam profil tanah sawah, yang terbentuk karena pemadatan
selama pembajakan lapisan olah dalam keadaan basah, atau oleh pemadatan lain
(tekanan kaki manusia atau hewan). Pelumpuran pada tanah sawah menyebabkan
perusakan sebagian atau seluruh agregat tanah yang disebabkan oleh swelling
koloid atau oleh dampak mekanik. Selain itu, pori makro menghilang dan pori
mikro menjadi sangat meningkat, menyebabkan kapasitas menahan air tanah
melumpur ini lebih tinggi. Pengolahan yang berulang-ulang menyebabkan
pemadatan lapisan bawah dari lapisan atas yang diolah dan membentuk tapak
bajak atau padas traffic. Pemadatan menurunkan porositas dan perkolasi air ke
bawah melalui tanah, misalnya fragipan dan tapak bajak, dijumpai pada bagian
horison Ap. Padas tersementasi misalnya padas besi tipis (horison plakik), lapisan
konkresi besi di bawah lapisan olah dalam tanah sawah, duripan dan lain-lain.
Padas yang tidak atau sedikit tersementasi hancur dalam air, sedangkan yang
tersementasi tidak hancur (Prasetyo, et al. 1996)
7
Padas Besi/Mangan
Menurut Mormann dan van Breemen (1978) padas besi/mangan terbentuk dalam
tanah sawah di bawah lapisan olah. Pada tanah sawah dengan kandungan air tanah
yang relatif dangkal, terbentuk horison iluviasi Fe dan iluviasi Mn di atas garis
permukaan air tanah, akibat naik turunnya permukaan air tanah sesuai dengan
musim. Pada waktu permukaan air tanah naik ke lapisan yang lebih oksidatif di
atasnya, maka Fe2+ dan Mn2+ juga ikut terbawa. Fe lebih sukar larut daripada Mn,
maka Fe akan mengendap lebih dulu. Akibatnya, terbentuklah horison Bir (padas
besi) di bawah horison Bmn (padas mangan). Kedua horison ini kadang dapat
terpisah dengan jelas, tetapi kadang-kadang juga tidak jelas terpisah.
Fe, Mn dan Al yang diekstrak dengan Dithionit, Oksalat dan Pirofosfat
Menurut Mizota dan van Reeuwijk (1989), ekstraksi dengan larutan Nadithionit + Na-sitrat + Na-bikarbonat digunakan untuk menentukan oksida-oksida
besi bebas yang terkandung dalam tanah. Oksida-oksida besi bebas terdiri dari:
ferihidrit dan kristal goethite serta partikel-partikel hematit. Komponen tanah lain
yang dilarutkan dengan ektraksi ini adalah kompleks Al- dan Fe-humus dan Al(oksi) hidroksida yang tersusun buruk (poorly ordered). Alofan dan imogolit
sedikit terpengaruh. Keuntungan dari ekstraksi ini adalah dimungkinkan untuk
menduga tingkat pelapukan dalam tanah dengan membandingkan Fe-terekstrak
dithionit (Fed) dengan Fe terekstraksi oksalat masam (Feo).
Nisbah Feo/Fed atau disebut nisbah aktivitas digunakan sebagai indeks
tingkat kristalinitas atau umur dari oksida besi. Andisol muda mempunyai nilai
yang tinggi (>0.75), tanah-tanah yang lebih tua jauh lebih rendah dari 0.75 dan
oxisol mempunyai nisbah oksalat > pirofosfat. Berdasarkan urutan kekuatan ekstraksi tersebut
maka diasumsikan bahwa: (Fe, Mn) ekstrak oksalat - (Fe, Mn) ekstrak pirofosfat =
oksida-oksida (Fe, Mn) bebas yang bersifat amorf, sedangkan (Fe, Mn) ditionit (Fe, Mn) oksalat = oksida-oksida (Fe, Mn) bebas yang bersifat kristalin.
Metode
Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahap kegiatan, yaitu: 1) penelitian
lapangan, 2) penelitian laboratorium dengan menganalisis sifat-sifat fisik dan
kimia tanah, 3) analisis data yang dilakukan secara deskriptif dan kuantitatif.
Sebelum melakukan penelitian lapangan terlebih dahulu melakukan
pemilihan lokasi penelitian, dipilih berdasarkan jenis tanah yang akan diteliti.
Jenis tanah ini ditentukan berdasarkan peta Atlas sumberdaya tanah tingkat
eksplorasi skala 1:1.000.000, Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian,
Kementrian Pertanian tahun 2000. Lokasi profil tanah dipilih yang representatif
sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, yaitu dengan mengetahui sejarah
11
penggunaan lahan sebelumnya dengan mencari informasi dari pemilik lahan,
untuk 1 jenis tanah pada penggunaan lahan sawah dan lahan kering yang
berdekatan lokasinya, selengkapnya (Gambar 1).
1. Tanah Latosol, Dramaga: pengamatan dan pengambilan sampel tanah sawah
dilakukan pada koordinat 6o32‟58.9” LS – 106o43‟50.3” BT, di Desa
Cikarawang, Kecamatan Dramaga. Sedangkan untuk tanah pada lahan kering
pada koordinat 6o32‟44.3” LS – 106o43‟27.9” BT, di Desa Cikarawang,
Kecamatan Dramaga.
2. Tanah Podsolik Jasinga: pengamatan dan pengambilan sampel tanah sawah
dilakukan pada koordinat 6o27‟35.9”LS – 106o27‟34.6” BT, di Desa Cikopo
Mayang, kampung Ranca Buntung, Kecamatan Jasinga. Sedangkan tanah
tanah pada lahan kering pada koordinat 6o29‟14.3”LS – 106o28‟49.1” BT, di
Desa Sifak, Kecamatan Jasinga.
3. Tanah Andosol, Sukamantri: pengamatan dan pengambilan sampel tanah
sawah dilakukan pada koordinat 6o38‟55.9”LS – 106o46‟23.3” BT, di Desa
Sukamantri Kecamatan Tamansari. Sedangkan tanah tanah pada lahan kering
dilakukan pada koordinat 6o39‟17.9”LS – 106o45‟51.0” BT, Desa Sukamantri
Kecamatan Tamansari.
4. Tanah Regosol, Sindangbarang: pengamatan dan pengambilan sampel tanah
sawah dilakukan pada koordinat 6o37‟13.7”LS – 106o45‟47.9” BT, di Desa
Ciomas Rahayu, Kecamatan Sindangbarang. Sedangkan tanah tanah pada
lahan kering dilakukan pada koordinat 6o35‟20.9”LS – 106o46‟03.4” BT, di
Desa Sindangbarang (kebun percobaan IPB).
Setelah penentuan lokasi, kemudian dilakukan pembuatan profil tanah.
Profil tanah digali berdasarkan ketentuan standar pembuatan profil tanah untuk
pengamatan proses genesis tanah, yaitu dengan kedalaman 1,5 meter – 2 meter
dan panjang profil ± 1 meter. Untuk kedalaman profil tidak selamanya berpatokan
pada kedalaman tersebut, tetapi jika dijumpai bahan induk atau air tanahnya
dangkal maka dicukupkan sampai pada bahan induk itu saja.
Kemudian pembuatan profil tanah, dilanjutkan dengan melakukan
pengamatan profil tanah. Hal-hal yang diamati pada pengamatan ini disesuaikan
dengan mengumpulkan data terkait keperluan genesis tanah.
Khusus untuk pengamatan tapak bajak atau mengidentifikasi adanya tapak
bajak dilakukan dengan menggunakan alat penetrometer yang berfungsi untuk
mengukur tingkat kekerasan pada setiap lapisan tanah.
Setelah melakukan deskripsi profil tanah, maka kegiatan selanjutnya adalah
pengambilan contoh tanah untuk keperluan analisis sifat fisik maupun kimia
tanah. Contoh tanah untuk kajian genesis, morfologi dan klasifikasi tanah, diambil
dari lubang profil tanah tiap horison. Contoh tanah dibedakan atas contoh tanah
terganggu (disturbed soil sample) yang digunakan untuk menganalisis sifat fisika
dan kimia seperti tekstur, pH, kapasitas tukar kation (KTK), dan lain-lain, dan
contoh tanah tidak terganggu (undisturbed sample) untuk penentuan sifat fisika
khusus seperti bobot isi (BI). Pengambilan contoh tanah ini dilakukan dengan
ketentuan pengambilan contoh tanah yang sudah ada.
Analisis di Laboratorium dilakukan untuk melengkapi syarat-syarat untuk
klasifikasi tanah dan analisisnya dilakukan tiap lapisan/horison tanah. Analisis
terhadap sifat fisik dan kimia tanah secara keseluruhan adalah sebagai berikut:
12
2
2
1
1
4
4
3
3
Gambar 1 Letak titik pengamatan dan pengambilan sampel tanah
13
Tabel 1 Analisis dan metode analisis sifat-sifat tanah
No. Variabel analisis
Metode/ Alat
1
Kekerasan
Penetrometer
2
Bobot isi
Gravimetrik/ Ring
3
Tekstur 3 fraksi
Pipet
4
pH (H2O & KCl)
pH meter
5
C-Organik
Walkley dan Black
6
N-Total
Kjeldhal
7
P-tersedia
Bray I / Spektrofotometer
8
Ca dan Mg
NH4OAc 1 N pH 7.0 / AAS
9
K dan Na
NH4OAc 1 N pH 7.0 / Flamefotometer
10 KTK
NH4OAc 1 N pH 7.0 / Titrasi
11 Fe, Mn dan Al
(Dithionit, Pirofosfat dan Oksalat) / AAS
Klasifikasi tanah dengan sistem Soil Taxonomy. Data sekunder, data
pengamatan lapang serta data laboratorium dianalisis secara deskriptif dan
kuantatif, kemudian mengklasifikasikan tanah menurut Kunci Taksonomi Tanah
2014. Klasifikasi yang dilakukan sampai pada kategori Subgrup.
14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Morfologi dan Fisik
Morfologi dan sifat fisik tanah merupakan sifat yang diamati secara
langsung di lapangan dalam bentuk pengamatan profil tanah. Di antara sifat-sifat
tersebut adalah susunan horison, warna tanah dan bobot isi. Sifat-sifat tersebut
berbeda antara tanah yang disawahkan dan tanah pada lahan kering.
Penggenangan yang terjadi secara terus-menerus dan silih bergantinya reaksi
oksidasi dan reduksi memperlihatkan susunan horison yang berbeda, begitu pula
dengan warna dan bobot isi tanah juga ikut berubah.
Susunan Horison
Secara umum, terdapat perbedaan sifat morfologi, fisik serta kimia antara
tanah sawah dengan tanah pada lahan kering. Perubahan secara morfologi dan
fisik meliputi susunan horison tanah (Gambar 2, 3, 4 dan 5), warna, struktur,
tekstur (Lampiran 1, 2, 3 dan 4). Susunan horison pada tanah sawah berubah
karena ada penambahan horison Adg (tapak bajak). Warna tanah sawah lebih
terang dibandingkan tanah yang tidak disawahkan.
Tanah pada lahan kering mempunyai susunan A, B dan C, sedangkan
tanah sawah secara umum mempunyai susunan horison Apg, Adg, Bwg dan Cg
(Gambar 2, 3, 4 dan 5). Terdapat horison yang tidak ditemukan pada tanah lahan
kering, yaitu horison Adg atau biasa dikenal dengan lapisan tapak bajak.
Perubahan susunan horison tanah disebabkan karena terbentuknya lapisan tapak
bajak yang diakibatkan karena pengolahan tanah dalam kondisi tergenang
(pelumpuran). Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Munir (1987) bahwa selain
proses pelumpuran selama pengolahan tanah juga penggunaan traktor untuk
pengolahan tanah sawah dapat mempercepat pembentukan lapisan tapak bajak.
Kondisi tanah yang tergenang menjadikan tanah yang awalnya oksidatif berubah
menjadi reduktif. Sejalan dengan proses ini mengakibatkan kelarutan Fe dan Mn
meningkat pula. Apabila padi telah panen (kondisi bera) kembali oksidasi lagi,
sehingga terbentuk karatan besi dan mangan yang keras. Jika proses ini
berlangsung terus-menerus dalam waktu yang cukup lama akan terbentuklah
lapisan tapak bajak.
Warna Tanah
Warna tanah merupakan sifat morfologi tanah yang jelas terlihat
perbedaannya antara tanah yang satu dengan tanah lainnya, begitu pula antara
tanah sawah dengan tanah yang tidak disawahkan. Berdasarkan hasil pengamatan
warna bahwa kedua penggunaan lahan tersebut memperlihatkan warna yang
bervariasi. Warna tanah Latosol pada lahan kering lapisan pertama 7.5YR 3/4
(dark brown), sementara pada lapisan kedua 7.5YR 4/6 (strong brown), lapisan
ketiga sampai lapisan ke-enam 7.5YR 4/6 (brown). Warna tanah pada seluruh
15
lapisan cenderung sama ya itu berwarna cokelat, hal ini disebabkan karena tanah
pada lahan kering mengalami oksidasi sepanjang tahun pada seluruh profil tanah.
Hasil pengamatan warna tanah sawah Latosol menunjukkan bahwa pada
lapisan pertama dan ke-dua bebeda, sementara pada lapisan ke-tiga sampai lapisan
ke-delapan warna tanahnya sama (Lampiran 1). Pada lapisan pertama 2.5 YR 3/2
(dusky red) sedangkan lapisan ke-dua 2.5 YR 2.5/1 (reddish black). Terjadi
penurunan nilai value dan chroma, hal ini mengindikasikan bahwa warna tanah di
lapisan pertama lebih terang dibandingkan lapisan ke-dua. Hal ini disebabkan oleh
adanya proses reduksi pada lapisan olah sehingga menyebabkan warna tanah
menjadi lebih terang dibandingkan lapisan di bawahnya. Dilihat dari keterangan
warna, pada lapisan ini proses reduksinya tidak begitu kuat karena proses
penanaman padi maksimal 2 kali saja dilakukan dalam setahun dan lebih sering 1
kali saja dalam setahun, jadi proses oksidasi masih lebih dominan terjadi dalam
setahun dibandingkan kondisi reduksinya. Sedangkan pada lapisan ke-tiga 2.5YR
4/4 (reddish brown) mengalami peningkatan value dan chroma. Lapisan ke-empat
sampai lapisan ke-delapan yaitu 10YR 3/4 (dark yellowish brown). Warna tanah
mulai dari lapisan ke-tiga sampai lapisan ke-delapan jika dilihat dari keterangan
warna cenderung berwarna cokelat, hal ini menunjukkan bahwa pada lapisan yang
berada di bawah lapisan tapak bajak tidak terjadi lagi proses reduksi karena
sulitya air untuk menembus lapisan tersebut dan juga karena tidak adanya
pengaruh air tanah (air tanahnya dalam). Sementara pada tanah lahan kering nilai
value dan chroma lapisan pertama lebih rendah dibandingkan lapisan di bawahnya
(Lampiran 1). Semakin meningkat kedalaman tanah nilai value dan chroma tidak
berubah, perbedaan hanya terjadi pada lapisan atas saja. Hal ini erat kaitannya
dengan kandungan bahan organik tanah pada lapisan pertama lebih tinggi
dibandingkan lapisan yang ada di bawahnya (Gambar 2 dan Lampiran 9).
A1
Apg
A2
Adg
B1
Bwg
Cg
a
Gambar 2
b
B2
Penampang profil tanah Latosol: (a) tanah sawah, (b) tanah kering.
16
Tanah Podsolik pada lahan kering lapisan satu sampai lapisan empat
warnanya cokelat. Walaupun nilai value mengalami peningkatan 1 digit pada
lapisan tiga dan empat, tetapi tidak mempengaruhi keterangan pada warna yang
dihasilkan. Lapisan pertama dan ke-dua 7.5YR 4/6 (strong brown), lapisan ke-tiga
dan empat 7.5YR 5/6 (strong brown). Hal ini menjelaskan bahwa pada seluruh
profil tanah ini terjadi proses oksidasi sepanjang tahun.
Pada tanah sawah nilai hue, value dan chroma hanya berbeda pada lapisan
1 saja. Lapisan satu 2.5 YR 4/1 (dark reddish gley), sedangkan lapisan dua sampai
lapisan empat Gley2 4/1 (dark grenish grey). Perbedaan hue, value dan chroma
antara lapisan satu dengan lapisan lainnya karena pada lapisan satu masih ada
pengaruh kemungkinan oksidasi dapat terjadi karena difusi oksigen dari udara,
atau dari fotosintesis algae. Yoshida (1981) mengemuka
DISAWAHKAN DI BOGOR
KURNIATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pedogenesis pada Beberapa
Jenis Tanah yang Disawahkan di Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2016
Kurniati
NRP A151130011
RINGKASAN
KURNIATI. Pedogenesis pada Beberapa Jenis Tanah yang Disawahkan di Bogor.
Dibimbing oleh SUDARSONO dan SUWARDI.
Tanah sawah mempunyai sifat morfologi dan pedogenesis yang berbeda
dibandingkan tanah yang tidak disawahkan. Proses pembentukan tanah sawah
dimulai dari proses penggenangan secara terus menerus selama budidaya tanaman
padi. Penggenangan tanah akan mengubah kondisi tanah dari oksidatif menjadi
reduktif. Reaksi ini akan menyebabkan Fe dan Mn yang semula dalam keadaan
oksidatif akan berubah menjadi keadaan reduktif. Reaksi ini akan melibatkan Fe
dan Mn yang secara langsung seperti adanya karatan Fe dan Mn dan perubahan
warna tanah. Karatan Fe dan Mn ini akan mengeras jika teroksidasi kembali.
Proses pergantian oksidasi-reduksi dalam jangka waktu yang lama, akan
mengakibatkan terbentuknya lapisan yang bersifat padas dan keras, biasa dikenal
dengan lapisan tapak bajak.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan sifat-sifat
morfologi, fisik dan kimia dari tanah sawah dan tanah pada lahan kering;
mempelajari proses-proses pedogenesis; dan mengklasifikasikannya dengan
sistem klasifikasi Soil Taksonomy 1999. Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga
tahap penelitian. Pertama, penelitian lapangan pada empat lokasi (Dramaga,
Jasinga, Sukamantri dan Sindangbarang). Kedua, penelitian laboratorium dengan
menganalisis sifat-sifat fisik dan kimia tanah. Ketiga, analisis data yang dilakukan
secara deskriptif dan kuantitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kekerasan pada tanah sawah
lebih tinggi dibandingkan tanah pada lahan kering terutama di bawah lapisan olah.
Nilai tingkat kekerasan tanah di bawah lapisan topsoil berkisar 2.75 kg/cm2 - 4.5
kg/cm2 lebih tinggi dari lapisan olah dan lapisan bawah dengan kisaran antara 0
kg/cm2 – 2.5 kg/cm2. Hal ini menunjukkan bahwa adanya proses pembentukan
tapak bajak dalam kondisi penggenangan. Nilai pH tanah sawah cenderung lebih
tinggi daripada nilai pH tanah kering. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
nutrisi lain seperti C-organik, fosfor dan nitrogen. Sedangkan nilai Fe, Mn dan Al
diekstraksi dengan dithionite meningkat pada tanah sawah daripada tanah kering.
Begitupula ekstraksi dengan pirofosfat dan oksalat, cenderung lebih tinggi
dibandingkan tanah pada lahan kering. Pada keempat tanah jenis tanah sawah
yang diamati menunjukkan tingkat kekerasan tanah di lapisan tapak bajak lebih
tinggi dari lapisan atas (olah) atau lapisan lainnya. Tanah sawah memiliki sifat
yang unik dengan proses reaksi oksidasi-reduksi sehingga memberikan warna
tanah menjadi lebih gelap karena kelarutan Fe, Mn, dan Al tinggi.
Klasifikasi tanah berdasarkan Soil Taksonomy antara tanah kering dan tanah
sawah berubah mulai dari kategori suborder sampai kategori subgrup. Tanah
Latosol dari Typic Distrudepts menjadi Aeric Epiaquepts. Tanah Podsolik dari
Typic Hapludults menjadi Aeric Endoaquults. Tanah Andosol dari Thaptic
Hapludands menjadi Typic Epiaquands. Tanah Regosol dari Typic Udorthents
menjadi Mollic Epiaquents.
Kata kunci: konkresi Fe dan Mn, lapisan tapak bajak, tanah sawah
SUMMARY
KURNIATI. Pedogenesis for Several Paddy Soil Types in Bogor. Supervised by
SUDARSONO and SUWARDI.
Paddy soil has different morphological and pedogenesis characteristics
than dry land. Process of paddy soil formation was originated from flooding
which occurs continuously during rice cultivation. Subsequently these process
will change soil conditions and reaction of oxidative become reductive. This
reaction involved Fe and Mn which directly impact to concretion of Fe and Mn
and affects to the soil color in paddy soil. Concretion of Fe and Mn will harden if
oxidized again. Change of oxidation-reduction processes in the long term, will
lead to the layers formation that were pan and hard, commonly known as a plow
pan layer.
The purposes of this study are to understand the changing of
morphological, physical and chemical properties of paddy soil and soil at dry
land; to understand pedogenesis process in Podsolic, Latosol, Regosol and
Andosol, then to classify them based on Soil Taxonomy 1999’s classification
system. This research was conducted in three phases. First, was field research in
four locations (Dramaga, Jasinga, Sukamantri and Sindangbarang). Second was
laboratories research to analyze the physical and chemicals of soil properties.
Third was the data analysis descriptively and quantitatively to classify the soil.
The results showed that level of hardness in paddy soil was higher than
soil in dry land especially on the under processing layer. The number of hardness
level on the soil below topsoil about 2.75 kg/cm2 - 4.5 kg/cm2 was higher than the
topsoil and layers below it with range between 0 kg/cm2 - 2.5 kg/cm2. This was
indicated that there was plow pan layer formation processes in inundated situation.
The values of pH in paddy soil tended to be higher than pH values of dry land. No
significant differences in other nutrients such as C-organic, phosphorus and
nitrogen. While the content of Fe, Mn and Al were extracted with dithionite
increased in paddy soil than dry soil as well as extracted with pyrophosphate and
oxalate, tended to be higher compared to dry land. In fourth type of paddy soils
that had been observed shows the soil hardness level was higher than topsoil or
other layers. Paddy soil has unique properties by a process of oxidation-reduction
reaction thereby providing soil discoloration becomes darker due to the high
solubility of Fe, Mn, and Al.
Soil classification based on soil taxonomy between soil at dry land and
paddy soil changed in the sub-ordo until sub-group category. Latosol soil of Typic
Distrudepts be Aeric Epiaquepts. Podsolic soil of Typic Hapludults be Aeric
Endoaquults. Andosol soil of Thaptic Hapludands be Typic Epiaquands. Regosol
soil of Typic Udorthents be Molliic Epiaquents.
Key words: Fe and Mn concretion, paddy soil, plow pan layer.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PEDOGENESIS PADA BEBERAPA JENIS TANAH YANG
DISAWAHKAN DI BOGOR
KURNIATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Tanah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Ir Atang Sutandi, M.Si.PhD
Judul Tesis : Pedogenesis pada Beberapa Jenis Tanah yang Disawahkan di
Bogor
Nama
: Kurniati
NIM
: A151130011
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof.Dr Ir Sudarsono, MSc.
Ketua
Dr Ir Suwardi, MAgr.
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Tanah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Ir Atang Sutandi, MSi.PhD
Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 13 Mei 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini ialah
pedegenesis tanah sawah, dengan judul Pedogenesis Beberapa Jenis Tanah yang
Disawahkan di Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr Ir Sudarsono, M.Sc dan Dr Ir
Suwardi, M.Agr selaku pembimbing yang telah banyak memberi arahan dan saran
selama penulis melaksanakan penelitian hingga menjadi suatu bentuk karya
ilmiah. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orangtua tercinta,
ayahanda H. Muhammad Nur Hasan dan ibunda Mahani Muhammad, kakak
Suryani, Rostinah dan adik Mahfud atas segala doa dan kasih sayang yang tulus
dan tak ternilai harganya kepada penulis. Ungkapan terima kasih penulis
sampaikan pula kepada adek tersayang Arini Lukita Ismiranti yang selalu
menemani penulis dalam memberikan dukungan materi maupun moril serta
semangat yang tidak ternilai harganya. Ungkapan terima kasih juga penulis
ucapkan kepada tim survey pengambil sampel tanah Dicky, Aida, Ria, Ranti,
Inda, Aan dan Yaya. Terima kasih kepada murobbiyah tercinta Dewi Maghfirah
atas nasehat dan doanya. Terima kasih kepada sahabat saya Fauziah, Rahma,
Khairiah, Ajab, Kurnia, Hamda, Aryani, Rosita yang selalu memberikan
dukungan dan doanya. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada
Ditjen Dikti atas pemberian beasiswa selama menjalankan studi di Institut
Pertanian Bogor.Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada laboran
dan anggota Laboratorium Fisika dan Kesuburan Tanah Jurusan Ilmu Tanah
Fakultas Pertanian IPB.Teman-teman Ilmu Tanah SPs IPB angkatan 2013 Sri,
Asdiq, Fuadi, Prily, Lusi, Aci, Gilang, Syamsul, Dadan, kak Septi, yuyun dan
intan atas kebersamaannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
teman-teman di kost Bu Roma atas segala perhatian yang tulus layaknya keluarga
bagi penulis.Ungkapan terima kasih penulis sampaikan khusus kepada teman
seperjuangan Nirmala Juita. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Yaya,
Rika, Mas Anto, Ibu mimin yang telah membantu selama penyelesaian tugas akhir
ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2016
Kurniati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
1
1
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tanah Sawah
Morfologi Tanah Sawah
Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Profil Tanah Sawah
Tapak Bajak
Padas Besi/Mangan
Fe, Mn dan Al yang Diekstrak dengan Dithionit, Oksalat dan Pirofosfat
Klasifikasi Tanah Sawah
3
3
4
5
6
7
7
8
3 METODE
Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan
Metode
10
10
10
10
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Morgologi dan Fisik
Sifat Kimia Tanah
Pedogenesis
Pembahasan Umum Tanah Sawah
Klasifikasi Tanah
14
14
20
29
31
32
5 SIMPULAN
35
DAFTAR PUSTAKA
36
LAMPIRAN
38
RIWAYAT HIDUP
48
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
Analisis dan metode analisis sifat-sifat tanah
Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah Latosol, Dramaga
Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah Podsolik, Jasinga
Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah Andosol, Sukamantri
Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah Regosol, Sindangbarang
Klasifikasi tanah Latosol dan Podsolik berdasarkan Soil Taxonomy
Klasifikasi tanah Andosol dan Regosol berdasarkan Soil Taxonomy
13
22
23
24
25
32
33
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
Letak titik pengamatan dan pengambilan sampel tanah
12
Penampang profil tanah Latosol Dramaga
Penampang profil tanah Podsolik Jasinga
Penampang profil tanah Andosol Sukamantri
Penampang profil tanah Regosol Sindangbarang
15
16
17
18
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Deskripsi profil tanah Latosol yang disawah
Deskripsi profil tanah Latosol pada lahan kering
Deskripsi profil tanah Podsolik yang disawah
Deskripsi profil tanah Podsolik pada lahan kering
Deskripsi profil tanah Andosol yang disawah
Deskripsi profil tanah Andosol pada lahan kering
Deskripsi profil tanah Regosol yang disawah
Deskripsi profil tanah Regosol pada lahan kering
Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah Latosol
Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah Podsolik
Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah Andosol
Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah Regosol
Hasil analisis Fe, Mn dan Al dengan 3 pereaksi pada tanah Latosol
Hasil analisis Fe, Mn dan Al dengan 3 pereaksi pada tanah Podsolik
Hasil analisis Fe, Mn dan Al dengan 3 pereaksi pada tanah Andosol
Hasil analisis Fe, Mn dan Al dengan 3 pereaksi pada tanah Regosol
38
39
40
41
41
42
43
43
44
44
45
45
46
46
47
47
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanah sawah merupakan tanah yang terbentuk akibat adanya aktivitas
manusia yang mengubah sesuai syarat pertumbuhan tanaman padi. Tanah sawah
memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan bukan tanah sawah. Tanah
sawah mempunyai sifat morfologik dan pedogenik yang berbeda dibandingkan
tanah pada lahan kering, akibat pengaruh penggunaan tanah dimana terjadi
penggenangan selama beberapa bulan dalam satu tahun (Kawaguchi dan Kyuma
1977). Penggenangan dan pengeringan yang terjadi secara silih berganti (siklus
oksidasi-reduksi) pada tanah sawah dapat menimbulkan terbentuknya konkresi
atau karatan besi (Fe) dan mangan (Mn). Konkresi besi dan mangan ini terbentuk
sebagai akibat terlarutnya besi dan mangan pada saat penggenangan (reduksi) dan
kemudian terakumulasi pada horison B, selanjutnya pada saat tanah sawah
dikeringkan (re-oksidasi), akumulasi mangan tersebut akan membentuk kerak
yang kemudian disebut konkresi atau karatan. Bila proses penyawahan telah
berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama, maka pada profil tanah sawah
dapat dijumpai adanya lapisan tapak bajak.
Lapisan tapak bajak, merupakan lapisan padat dengan indeks pemadatan lebih
tinggi dari lapisan lainnya. Ketebalan lapisan ini berkisar antara 5 – 10 cm yang
terletak di antara kedalaman 10 dan 40 cm (Kanno 1978). Pemadatan ini tidak
hanya disebabkan oleh penggunaan bajak, tetapi juga oleh adanya faktor-faktor
lain seperti penggenangan yang terus menerus dilakukan dan siklus oksidasireduksi yang terjadi di dalamnya. Lapisan tapak bajak ini bisa terdiri dari horison
eluviasi A dan illuviasi B atau kedua-duanya (Moormann dan Van Breemen 1978).
Sifat morfologik dan pedogenik yang terdapat pada tanah yang disawahkan,
mungkin dapat menimbulkan masalah bagi tanaman lahan kering, bila
penanamannya menggunakan sistem pergiliran tanaman. Seperti yang
dikemukakan oleh Dei dan Maeda (1973) bahwa pada umumnya, lapisan atas
tanah sawah (10–20 cm) mempunyai sifat fisik yang kurang baik bagi
pertumbuhan tanaman lahan kering, karena struktur tanah pada lapisan atas
tersebut adalah pejal atau bersudut dan lempeng. Demikian pula dengan lapisan
tapak bajak. Meskipun lapisan tapak bajak mempunyai pengaruh positif terhadap
pengelolaan air dan pertumbuhan padi pada budidaya padi sawah, namun hal ini
tidak benar, bila pada lahan sawah tersebut digunakan untuk budidaya tanaman
lahan kering. Lapisan tapak bajak akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan
akar dan ketersediaan hara bagi tanaman lahan kering.
Winoto pada tahun 1985 telah meneliti tentang genesis dan
mengklasifikasikan tanah Latosol yang disawahkan pada beberapa tingkat
kedalaman air tanah, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tanah sawah yang
memiliki air tanah yang dangkal akan mengalami reduksi pada seluruh pedon.
Sedangkan pada tanah sawah yang air tanahnya dalam, proses reduksi hanya
diperlihatkan pada lapisan yang diolah saja. Kemudian. Rayes pada tahun 2000
meneliti tentang karakteristik, genesis dan klasifikasi tanah sawah berasal dari
bahan volkanik Merapi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan
2
tekstur tanah dan elevasi tidak menyebabkan terjadinya perubahan morfologi
tanah. Faktor utama perbedaan sifat fisik tanah sawah bukan tekstur tetapi
intensitas penanaman padi. semakin intensif tanah sawah diolah sepanjang tahaun
maka akan semakin tipis pembentukan tapak bajak, dan sebaliknya semakin tidak
intensif (1 kali/tahun) tanah disawahkan maka akan semakin tebal lapisan tapak
bajak yang terbentuk karena lamanya proses oksidasi terjadi. Perbedaan ini
menyebabkan perbedaan susunan mineral fraksi pasir dalam tanah tetapi tidak
menyebabkan perubahan mineralnya. Tidak semua tanah yang disawahkan
memiliki subordo akuik.
Penelitian yang banyak dilakukan para peneliti umumnya hanya fokus pada
satu jenis tanah sawah saja atau hanya meneliti tentang tanah sawah yang berasal
dari bahan induk yang sama seperti yang dilakukan oleh Rayes (2000), Winoto
(1985), Sutrisno (1988), Saswita (2000). Dalam penelitian ini dilakukan
pengamatan empat jenis tanah yang berbeda yaitu tanah Podsolik tanah Latosol,
tanah Andosol yang berbahan amorf, dan tanah dengan tingkat kekasaran
teksturnya yang tinggi yaitu tanah Regosol. Dari empat jenis tanah yang masingmasing memiliki karakteristik yang berbeda apakah memperlihatkan perbedaan
pula ketika tanah tersebut disawahkan, juga sejauh mana pengaruh proses
pedogenesis terhadap sifat-sifat tanah sawah tersebut.
Tujuan Penelitian
1. Mempelajari perubahan sifat-sifat morfologi, fisik dan kimia tanah sawah dan
tanah pada lahan kering.
2. Mempelajari proses pedogenesis pada Podsolik, Latosol, Regosol, dan
Andosol
3. Mengklasifikasikan tanah-tanah tersebut dengan sistem klasifikasi tanah
sesuai kunci Taxonomy Tanah 2014.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tanah Sawah
Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik
terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija.
Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi, tetapi merupakan istilah
umum yang digunakan oleh masyarakat seperti halnya penyebutan untuk tanah
pada penggunaan-penggunaan tertentu, misalnya tanah hutan, tanah perkebunan
dan lain sebagainya. Segala macam jenis tanah dapat disawahkan, asalkan yang
menjadi syarat utama terbentuknya tanah sawah itu terpenuhi yaitu dengan adanya
ketersediaan air yang cukup bagi tanaman padi (Rayes 2000).
Tanah sawah berasal dari tanah kering yang diairi kemudian disawahkan, atau
tanah yang sebelumnya adalah berasal dari tanah rawa-rawa yang dikeringkan
dengan cara membuatkan saluran drainase sehingga membentuk tanah sawah
sesuai dengan syarat tumbuhnya tanaman padi. Sawah yang airnya berasal dari air
irigasi disebut sawah irigasi, sedang yang menerima langsung dari air hujan
disebut sawah tadah hujan. Di daerah pasang surut ditemukan sawah pasang surut,
sedangkan yang dikembangkan di daerah rawa-rawa lebak disebut sawah lebak.
Penggenangan selama pertumbuhan padi dan pada saat melakukan pengolahan
tanah pada tanah kering yang akan dikonversi ke tanah sawah, dapat
menyebabkan berbagai perubahan sifat tanah, baik sifat morfologi, fisika, kimia,
mikrobiologi maupun sifat-sifat lain, sehingga sifat-sifat tanah akan berbeda
dengan sifat-sifat tanah asalnya atau sifat tanah sebelum disawahkan tersebut
(Rayes 2000).
Koenigs (1950), orang yang pertama kali melakukan penelitian sifat
morfologi tanah sawah sekitar Bogor, mengemukakan adanya profil tanah sawah
yang khas, pada tanah kering yang disawahkan di daerah tersebut. Namun
demikian, karena adanya perbedaan berbagai faktor yang berpengaruh dalam
proses pembentukan tanah sawah, ternyata profil tanah sawah yang khas tersebut
tidak selalu dapat terbentuk. Pada tanah rawa yang disawahkan, atau pada tanah
dengan air tanah yang dangkal, tidak terlihat adanya profil tanah yang khas seperti
yang dikemukakan oleh Koenigs (1950), meskipun bermacam-macam perubahan
sifat tanah akibat penyawahan telah terjadi. Bahkan pada tanah kering yang
disawahkanpun, seperti pada Vertisol dan beberapa jenis tanah lain, tidak
semuanya dapat membentuk profil tanah yang khas tersebut. Penggunaan tanah
kering untuk padi sawah dapat menyebabkan perubahan sifat morfologi dan sifat
fisiko-kimia tanah secara permanen, sehingga dapat menyebabkan perubahan
klasifikasi tanah. Dalam tulisan ini, disajikan uraian tentang beberapa macam sifat
morfologi dan profil tanah sawah, serta pengaruhnya dalam klasifikasi tanah,
khususnya dalam sistem Kunci Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff 2014).
4
Morfologi Tanah Sawah
Perubahan sifat morfologi tanah
Sebelum tanah digunakan sebagai tanah sawah, secara alamiah tanah telah
mengalami proses pembentukan tanah sesuai dengan faktor-faktor pembentuk
tanahnya, sehingga terbentuklah jenis-jenis tanah tertentu yang masing-masing
mempunyai sifat yang khas dari morfologi tanah itu sendiri. Pada awal tanah
mulai disawahkan dengan cara penggenangan air, baik pada waktu pengolahan
tanah maupun selama masa pertumbuhan tanaman padi, melalui perataan,
pembuatan teras, pembuatan pematang, pelumpuran, dan lain-lain, maka proses
pembentukan tanah secara alami yang sedang berjalan tersebut terhenti. Semenjak
itu, terjadilah proses pembentukan tanah baru, di mana air genangan di permukaan
tanah dan metode pengelolaan tanah yang diterapkan memegang peranan penting.
Karena itu tanah sawah sering dikatakan sebagai tanah buatan manusia atau manmade soil, anthropogenic soil (Prasetyo et al. 1996).
Apabila tanah yang disawahkan tersebut pada awalnya berasal dari tanah
kering, maka akan terjadi perubahan-perubahan sifat morfologi tanah yang cukup
jelas, tetapi bila berasal dari tanah basah seperti pada tanah rawa-rawa, maka
perubahan-perubahan tersebut umumnya tidak begitu terlihat dengan jelas.
Terkecuali karena penggunaan tanah sebagai sawah umumnya, tidak dilakukan
sepanjang tahun tetapi dilakukan rotasi/pergiliran tanaman dengan tanaman
palawija (tanah kering) atau dibera-kan setelah tanaman padi, maka perubahanperubahan tersebut dapat dibedakan menjadi: a) perubahan sementara dan b)
perubahan permanen (Prasetyo et al.1996).
Perubahan sementara
Perubahan sementara adalah perubahan-perubahan sifat fisik, morfologi dan
kimia tanah sebagai akibat penggenangan tanah yang dilakukan secara musiman,
baik pada waktu pengolahan tanah maupun selama pertumbuhan tanaman padi
sawah. Perubahan-perubahan tersebut terjadi di permukaan tanah atau lapisan olah
dan hanya bersifat sementara, karena setelah penyawahan selesai dan kemudian
diganti dengan tanaman palawija atau diberakan, terjadi perubahan kembali sifatsifat tanah tersebut akibat pengeringan tanah. Perubahan sifat sementara ini
berlaku pada tanah yang disawahkan 1 kali dalam setahun. Perubahan sementara
sifat fisik dan morfologi tanah sewaktu penyawahan, adalah berkaitan dengan
pelumpuran/pengolahan tanah dalam keadaan tergenang, sedangkan perubahanperubahan dalam sifat kimia adalah berkaitan dengan proses reduksi dan oksidasi.
Perubahan-perubahan sementara sifat-sifat kimia tanah tersebut secara kumulatif,
dapat menyebabkan perubahan yang permanen terhadap sifat morfologi tanah
(Prasetyo et al. 1996).
Perubahan permanen
Perubahan permanen terjadi akibat efek kumulatif perubahan sementara
karena penggenangan tanah musiman, atau praktek pengelolaan tanah sawah
seperti pembuatan teras, perataan tanah, pembuatan pematang, dan lain-lain.
Perubahan permanen pada tanah yang disawahkan, dapat dilihat pada sifat
5
morfologi dari penampang profil tanahnya, yang seringkali menjadi berbeda
dengan profil tanah asalnya yang tidak disawahkan. Praktek pengolahan tanah
sawah dalam keadaan tergenang, dapat menyebabkan terbentuknya lapisan tapak
bajak di bawah lapisan olah. Sedangkan penggenangan tanah selama pertumbuhan
padi, dapat mereduksi Fe dan Mn sehingga menjadi lebih larut dan meresap
bersama air perkolasi ke lapisan-lapisan bawah, sehingga terbentuk horison
iluviasi Fe di atas horison iluviasi Mn (Prasetyo 1995).
Perubahan sifat-sifat fisik dan kimia tanah yang terus berlangsung tersebut,
dicerminkan juga oleh perubahan sifat morfologi tanah, terutama di lapisan
permukaan. Menurut Hardjowigeno et al (2004) dalam keadaan tergenang, tanah
menjadi berwarna abu-abu (gley) akibat reduksi besi-feri (Fe-III) menjadi besifero (Fe-II). Akan tetapi pada tanah pasir atau tanah lain yang permeabel, warna
reduksi tersebut tidak terjadi, terkecuali pada penggenangan yang sangat lama. Di
lapisan permukaan horison tereduksi tersebut, dalam keadaan tergenang,
ditemukan lapisan tipis yang tetap teroksidasi berwarna kecokelatan, karena difusi
O2 dari udara, atau dari fotosintesis algae yang terus berlangsung.
Bila tanah dikeringkan, akan terjadi oksidasi kembali yaitu (besi-fero)
menjadi (besi-feri), sehingga terbentuklah karatan coklat pada rekahan-rekahan,
bekas saluran akar, atau tempat-tempat lain di mana udara dapat masuk. Pada
tanah pasir, karatan coklat pada bekas-bekas akar tidak terlalu jelas terlihat. Pada
tanah masam yang dalam keadaan tergenang mengandung besi-fero tinggi,
karatan besi menjadi lebih jelas setelah tanah dikeringkan. Kecuali, akibat proses
penyawahan yang berulang-ulang, dapat terbentuk horison baru yang khas
terdapat pada tanah sawah, seperti lapisan tapak bajak, horison iluviasi Fe, horison
iluviasi Mn, dan lain-lain (Prasetyo 1995).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan profil tanah sawah
Relief
Bila relief/topografi tanah asal berombak atau berlereng, maka terlebih
dahulu harus dibuat teras bangku. Sawah pada teras, sifatnya sangat berubah
dibandingkan dengan tanah asalnya, karena terjadinya penggalian dan
penimbunan pada waktu pembuatan teras. Cara pembuatan teras adalah dengan
jalan menggali lereng atas, dan menimbun lereng bawah. Akibatnya, susunan
horison tanah asalnya dapat hilang sama sekali. Makin curam lereng, maka teras
semakin sempit dan penggalian serta penimbunan semakin dalam. Dalam satu
petak sawah yang baru dibuat dengan cara ini, mungkin akan ditemukan lebih dari
satu jenis tanah, yaitu Entisol atau Inceptisol pada bagian tanah yang ditimbun
atau digali, selain tanah aslinya di bagian tengah petakan (Prasetyo 1995).
Perubahan sifat tanah selanjutnya, terjadi akibat pelumpuran/pengolahan
tanah dalam keadaan tergenang dan penggenangan lapisan olah selama
pertumbuhan padi, sehingga terjadi proses pembasahan dari lapisan atas ke lapisan
bawah. Lama-kelamaan tanah dalam satu petak sawah akan mempunyai sifat
morfologi dan sifat-sifat tanah lain, yang mendekati kesamaan terutama pada
lapisan atas, atau bila sudah berumur ratusan tahun, pada seluruh solum tanah
(Hardjowigeno et al 2004).
6
Hidrologi
Pembuatan sawah dari tanah rawa dilakukan dengan membuat saluransaluran drainase, agar tanah menjadi lebih kering, atau tidak terus-menerus
tergenang. Karena itu, sifat tanah akan berubah karena terjadi proses “pengeringan”
tanah, mulai dari lapisan atas ke lapisan bawah. Sebaliknya, pada tanah kering
yang disawahkan, akan terjadi proses “pembasahan” dari lapisan atas ke lapisan
bawah. Apabila tanah rawa yang “dikeringkan” tersebut banyak mengandung
bahan sulfidik (seperti pirit, FeS2), maka profil tanah sawah yang terbentuk
banyak mengandung karatan jarosit (KFe3 (SO4)2 (OH)6) pada pola tanam dengan
padi – palawija, setiap tahunnya mengalami masa tergenang yang lebih lama
dibandingkan dengan masa kering. Sedangkan sawah dengan pola tanam padi –
palawija – bera, mengalami masa tergenang lebih singkat dibandingkan masa
keringnya. Akibat adanya perbedaan pola tanam, yang menyebabkan perbedaan
lamanya penggenangan tersebut, maka terjadilah perbedaan sifat-sifat morfologi
tanah sawah. Sifat-sifat tanah sawah, termasuk sifat morfologinya, juga berubah
setiap musim akibat penggunaan tanah yang berbeda. Dalam hal ini, sifat tanah
pada saat ditanami padi sawah (basah), berbeda dengan waktu ditanami palawija
atau bera (Hardjowigeno, et al. 2004). Namun demikian, sawah-sawah yang
mempunyai profil tanah yang khas yang telah dikeringkan puluhan tahun, seperti
halnya (bekas) tanah sawah di sekitar Bogor, masih menunjukkan adanya lapisan
tapak bajak, lapisan Fe, dan lapisan Mn, meskipun lapisan atas tidak lagi berwarna
pucat, melainkan kecoklatan mendekati warna tanah asalnya. Sifat-sifat tanah
sawah yang tidak berubah, baik sewaktu digunakan untuk bertanam padi sawah
maupun waktu digunakan untuk bertanam palawija atau bera, disebut sifat tanah
sawah permanen (Rayes 2000)
Tapak Bajak
Tapak bajak (flow pan atau traffic pan) merupakan lapisan padat, terdapat
di bawah lapisan olah dalam profil tanah sawah, yang terbentuk karena pemadatan
selama pembajakan lapisan olah dalam keadaan basah, atau oleh pemadatan lain
(tekanan kaki manusia atau hewan). Pelumpuran pada tanah sawah menyebabkan
perusakan sebagian atau seluruh agregat tanah yang disebabkan oleh swelling
koloid atau oleh dampak mekanik. Selain itu, pori makro menghilang dan pori
mikro menjadi sangat meningkat, menyebabkan kapasitas menahan air tanah
melumpur ini lebih tinggi. Pengolahan yang berulang-ulang menyebabkan
pemadatan lapisan bawah dari lapisan atas yang diolah dan membentuk tapak
bajak atau padas traffic. Pemadatan menurunkan porositas dan perkolasi air ke
bawah melalui tanah, misalnya fragipan dan tapak bajak, dijumpai pada bagian
horison Ap. Padas tersementasi misalnya padas besi tipis (horison plakik), lapisan
konkresi besi di bawah lapisan olah dalam tanah sawah, duripan dan lain-lain.
Padas yang tidak atau sedikit tersementasi hancur dalam air, sedangkan yang
tersementasi tidak hancur (Prasetyo, et al. 1996)
7
Padas Besi/Mangan
Menurut Mormann dan van Breemen (1978) padas besi/mangan terbentuk dalam
tanah sawah di bawah lapisan olah. Pada tanah sawah dengan kandungan air tanah
yang relatif dangkal, terbentuk horison iluviasi Fe dan iluviasi Mn di atas garis
permukaan air tanah, akibat naik turunnya permukaan air tanah sesuai dengan
musim. Pada waktu permukaan air tanah naik ke lapisan yang lebih oksidatif di
atasnya, maka Fe2+ dan Mn2+ juga ikut terbawa. Fe lebih sukar larut daripada Mn,
maka Fe akan mengendap lebih dulu. Akibatnya, terbentuklah horison Bir (padas
besi) di bawah horison Bmn (padas mangan). Kedua horison ini kadang dapat
terpisah dengan jelas, tetapi kadang-kadang juga tidak jelas terpisah.
Fe, Mn dan Al yang diekstrak dengan Dithionit, Oksalat dan Pirofosfat
Menurut Mizota dan van Reeuwijk (1989), ekstraksi dengan larutan Nadithionit + Na-sitrat + Na-bikarbonat digunakan untuk menentukan oksida-oksida
besi bebas yang terkandung dalam tanah. Oksida-oksida besi bebas terdiri dari:
ferihidrit dan kristal goethite serta partikel-partikel hematit. Komponen tanah lain
yang dilarutkan dengan ektraksi ini adalah kompleks Al- dan Fe-humus dan Al(oksi) hidroksida yang tersusun buruk (poorly ordered). Alofan dan imogolit
sedikit terpengaruh. Keuntungan dari ekstraksi ini adalah dimungkinkan untuk
menduga tingkat pelapukan dalam tanah dengan membandingkan Fe-terekstrak
dithionit (Fed) dengan Fe terekstraksi oksalat masam (Feo).
Nisbah Feo/Fed atau disebut nisbah aktivitas digunakan sebagai indeks
tingkat kristalinitas atau umur dari oksida besi. Andisol muda mempunyai nilai
yang tinggi (>0.75), tanah-tanah yang lebih tua jauh lebih rendah dari 0.75 dan
oxisol mempunyai nisbah oksalat > pirofosfat. Berdasarkan urutan kekuatan ekstraksi tersebut
maka diasumsikan bahwa: (Fe, Mn) ekstrak oksalat - (Fe, Mn) ekstrak pirofosfat =
oksida-oksida (Fe, Mn) bebas yang bersifat amorf, sedangkan (Fe, Mn) ditionit (Fe, Mn) oksalat = oksida-oksida (Fe, Mn) bebas yang bersifat kristalin.
Metode
Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahap kegiatan, yaitu: 1) penelitian
lapangan, 2) penelitian laboratorium dengan menganalisis sifat-sifat fisik dan
kimia tanah, 3) analisis data yang dilakukan secara deskriptif dan kuantitatif.
Sebelum melakukan penelitian lapangan terlebih dahulu melakukan
pemilihan lokasi penelitian, dipilih berdasarkan jenis tanah yang akan diteliti.
Jenis tanah ini ditentukan berdasarkan peta Atlas sumberdaya tanah tingkat
eksplorasi skala 1:1.000.000, Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian,
Kementrian Pertanian tahun 2000. Lokasi profil tanah dipilih yang representatif
sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, yaitu dengan mengetahui sejarah
11
penggunaan lahan sebelumnya dengan mencari informasi dari pemilik lahan,
untuk 1 jenis tanah pada penggunaan lahan sawah dan lahan kering yang
berdekatan lokasinya, selengkapnya (Gambar 1).
1. Tanah Latosol, Dramaga: pengamatan dan pengambilan sampel tanah sawah
dilakukan pada koordinat 6o32‟58.9” LS – 106o43‟50.3” BT, di Desa
Cikarawang, Kecamatan Dramaga. Sedangkan untuk tanah pada lahan kering
pada koordinat 6o32‟44.3” LS – 106o43‟27.9” BT, di Desa Cikarawang,
Kecamatan Dramaga.
2. Tanah Podsolik Jasinga: pengamatan dan pengambilan sampel tanah sawah
dilakukan pada koordinat 6o27‟35.9”LS – 106o27‟34.6” BT, di Desa Cikopo
Mayang, kampung Ranca Buntung, Kecamatan Jasinga. Sedangkan tanah
tanah pada lahan kering pada koordinat 6o29‟14.3”LS – 106o28‟49.1” BT, di
Desa Sifak, Kecamatan Jasinga.
3. Tanah Andosol, Sukamantri: pengamatan dan pengambilan sampel tanah
sawah dilakukan pada koordinat 6o38‟55.9”LS – 106o46‟23.3” BT, di Desa
Sukamantri Kecamatan Tamansari. Sedangkan tanah tanah pada lahan kering
dilakukan pada koordinat 6o39‟17.9”LS – 106o45‟51.0” BT, Desa Sukamantri
Kecamatan Tamansari.
4. Tanah Regosol, Sindangbarang: pengamatan dan pengambilan sampel tanah
sawah dilakukan pada koordinat 6o37‟13.7”LS – 106o45‟47.9” BT, di Desa
Ciomas Rahayu, Kecamatan Sindangbarang. Sedangkan tanah tanah pada
lahan kering dilakukan pada koordinat 6o35‟20.9”LS – 106o46‟03.4” BT, di
Desa Sindangbarang (kebun percobaan IPB).
Setelah penentuan lokasi, kemudian dilakukan pembuatan profil tanah.
Profil tanah digali berdasarkan ketentuan standar pembuatan profil tanah untuk
pengamatan proses genesis tanah, yaitu dengan kedalaman 1,5 meter – 2 meter
dan panjang profil ± 1 meter. Untuk kedalaman profil tidak selamanya berpatokan
pada kedalaman tersebut, tetapi jika dijumpai bahan induk atau air tanahnya
dangkal maka dicukupkan sampai pada bahan induk itu saja.
Kemudian pembuatan profil tanah, dilanjutkan dengan melakukan
pengamatan profil tanah. Hal-hal yang diamati pada pengamatan ini disesuaikan
dengan mengumpulkan data terkait keperluan genesis tanah.
Khusus untuk pengamatan tapak bajak atau mengidentifikasi adanya tapak
bajak dilakukan dengan menggunakan alat penetrometer yang berfungsi untuk
mengukur tingkat kekerasan pada setiap lapisan tanah.
Setelah melakukan deskripsi profil tanah, maka kegiatan selanjutnya adalah
pengambilan contoh tanah untuk keperluan analisis sifat fisik maupun kimia
tanah. Contoh tanah untuk kajian genesis, morfologi dan klasifikasi tanah, diambil
dari lubang profil tanah tiap horison. Contoh tanah dibedakan atas contoh tanah
terganggu (disturbed soil sample) yang digunakan untuk menganalisis sifat fisika
dan kimia seperti tekstur, pH, kapasitas tukar kation (KTK), dan lain-lain, dan
contoh tanah tidak terganggu (undisturbed sample) untuk penentuan sifat fisika
khusus seperti bobot isi (BI). Pengambilan contoh tanah ini dilakukan dengan
ketentuan pengambilan contoh tanah yang sudah ada.
Analisis di Laboratorium dilakukan untuk melengkapi syarat-syarat untuk
klasifikasi tanah dan analisisnya dilakukan tiap lapisan/horison tanah. Analisis
terhadap sifat fisik dan kimia tanah secara keseluruhan adalah sebagai berikut:
12
2
2
1
1
4
4
3
3
Gambar 1 Letak titik pengamatan dan pengambilan sampel tanah
13
Tabel 1 Analisis dan metode analisis sifat-sifat tanah
No. Variabel analisis
Metode/ Alat
1
Kekerasan
Penetrometer
2
Bobot isi
Gravimetrik/ Ring
3
Tekstur 3 fraksi
Pipet
4
pH (H2O & KCl)
pH meter
5
C-Organik
Walkley dan Black
6
N-Total
Kjeldhal
7
P-tersedia
Bray I / Spektrofotometer
8
Ca dan Mg
NH4OAc 1 N pH 7.0 / AAS
9
K dan Na
NH4OAc 1 N pH 7.0 / Flamefotometer
10 KTK
NH4OAc 1 N pH 7.0 / Titrasi
11 Fe, Mn dan Al
(Dithionit, Pirofosfat dan Oksalat) / AAS
Klasifikasi tanah dengan sistem Soil Taxonomy. Data sekunder, data
pengamatan lapang serta data laboratorium dianalisis secara deskriptif dan
kuantatif, kemudian mengklasifikasikan tanah menurut Kunci Taksonomi Tanah
2014. Klasifikasi yang dilakukan sampai pada kategori Subgrup.
14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Morfologi dan Fisik
Morfologi dan sifat fisik tanah merupakan sifat yang diamati secara
langsung di lapangan dalam bentuk pengamatan profil tanah. Di antara sifat-sifat
tersebut adalah susunan horison, warna tanah dan bobot isi. Sifat-sifat tersebut
berbeda antara tanah yang disawahkan dan tanah pada lahan kering.
Penggenangan yang terjadi secara terus-menerus dan silih bergantinya reaksi
oksidasi dan reduksi memperlihatkan susunan horison yang berbeda, begitu pula
dengan warna dan bobot isi tanah juga ikut berubah.
Susunan Horison
Secara umum, terdapat perbedaan sifat morfologi, fisik serta kimia antara
tanah sawah dengan tanah pada lahan kering. Perubahan secara morfologi dan
fisik meliputi susunan horison tanah (Gambar 2, 3, 4 dan 5), warna, struktur,
tekstur (Lampiran 1, 2, 3 dan 4). Susunan horison pada tanah sawah berubah
karena ada penambahan horison Adg (tapak bajak). Warna tanah sawah lebih
terang dibandingkan tanah yang tidak disawahkan.
Tanah pada lahan kering mempunyai susunan A, B dan C, sedangkan
tanah sawah secara umum mempunyai susunan horison Apg, Adg, Bwg dan Cg
(Gambar 2, 3, 4 dan 5). Terdapat horison yang tidak ditemukan pada tanah lahan
kering, yaitu horison Adg atau biasa dikenal dengan lapisan tapak bajak.
Perubahan susunan horison tanah disebabkan karena terbentuknya lapisan tapak
bajak yang diakibatkan karena pengolahan tanah dalam kondisi tergenang
(pelumpuran). Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Munir (1987) bahwa selain
proses pelumpuran selama pengolahan tanah juga penggunaan traktor untuk
pengolahan tanah sawah dapat mempercepat pembentukan lapisan tapak bajak.
Kondisi tanah yang tergenang menjadikan tanah yang awalnya oksidatif berubah
menjadi reduktif. Sejalan dengan proses ini mengakibatkan kelarutan Fe dan Mn
meningkat pula. Apabila padi telah panen (kondisi bera) kembali oksidasi lagi,
sehingga terbentuk karatan besi dan mangan yang keras. Jika proses ini
berlangsung terus-menerus dalam waktu yang cukup lama akan terbentuklah
lapisan tapak bajak.
Warna Tanah
Warna tanah merupakan sifat morfologi tanah yang jelas terlihat
perbedaannya antara tanah yang satu dengan tanah lainnya, begitu pula antara
tanah sawah dengan tanah yang tidak disawahkan. Berdasarkan hasil pengamatan
warna bahwa kedua penggunaan lahan tersebut memperlihatkan warna yang
bervariasi. Warna tanah Latosol pada lahan kering lapisan pertama 7.5YR 3/4
(dark brown), sementara pada lapisan kedua 7.5YR 4/6 (strong brown), lapisan
ketiga sampai lapisan ke-enam 7.5YR 4/6 (brown). Warna tanah pada seluruh
15
lapisan cenderung sama ya itu berwarna cokelat, hal ini disebabkan karena tanah
pada lahan kering mengalami oksidasi sepanjang tahun pada seluruh profil tanah.
Hasil pengamatan warna tanah sawah Latosol menunjukkan bahwa pada
lapisan pertama dan ke-dua bebeda, sementara pada lapisan ke-tiga sampai lapisan
ke-delapan warna tanahnya sama (Lampiran 1). Pada lapisan pertama 2.5 YR 3/2
(dusky red) sedangkan lapisan ke-dua 2.5 YR 2.5/1 (reddish black). Terjadi
penurunan nilai value dan chroma, hal ini mengindikasikan bahwa warna tanah di
lapisan pertama lebih terang dibandingkan lapisan ke-dua. Hal ini disebabkan oleh
adanya proses reduksi pada lapisan olah sehingga menyebabkan warna tanah
menjadi lebih terang dibandingkan lapisan di bawahnya. Dilihat dari keterangan
warna, pada lapisan ini proses reduksinya tidak begitu kuat karena proses
penanaman padi maksimal 2 kali saja dilakukan dalam setahun dan lebih sering 1
kali saja dalam setahun, jadi proses oksidasi masih lebih dominan terjadi dalam
setahun dibandingkan kondisi reduksinya. Sedangkan pada lapisan ke-tiga 2.5YR
4/4 (reddish brown) mengalami peningkatan value dan chroma. Lapisan ke-empat
sampai lapisan ke-delapan yaitu 10YR 3/4 (dark yellowish brown). Warna tanah
mulai dari lapisan ke-tiga sampai lapisan ke-delapan jika dilihat dari keterangan
warna cenderung berwarna cokelat, hal ini menunjukkan bahwa pada lapisan yang
berada di bawah lapisan tapak bajak tidak terjadi lagi proses reduksi karena
sulitya air untuk menembus lapisan tersebut dan juga karena tidak adanya
pengaruh air tanah (air tanahnya dalam). Sementara pada tanah lahan kering nilai
value dan chroma lapisan pertama lebih rendah dibandingkan lapisan di bawahnya
(Lampiran 1). Semakin meningkat kedalaman tanah nilai value dan chroma tidak
berubah, perbedaan hanya terjadi pada lapisan atas saja. Hal ini erat kaitannya
dengan kandungan bahan organik tanah pada lapisan pertama lebih tinggi
dibandingkan lapisan yang ada di bawahnya (Gambar 2 dan Lampiran 9).
A1
Apg
A2
Adg
B1
Bwg
Cg
a
Gambar 2
b
B2
Penampang profil tanah Latosol: (a) tanah sawah, (b) tanah kering.
16
Tanah Podsolik pada lahan kering lapisan satu sampai lapisan empat
warnanya cokelat. Walaupun nilai value mengalami peningkatan 1 digit pada
lapisan tiga dan empat, tetapi tidak mempengaruhi keterangan pada warna yang
dihasilkan. Lapisan pertama dan ke-dua 7.5YR 4/6 (strong brown), lapisan ke-tiga
dan empat 7.5YR 5/6 (strong brown). Hal ini menjelaskan bahwa pada seluruh
profil tanah ini terjadi proses oksidasi sepanjang tahun.
Pada tanah sawah nilai hue, value dan chroma hanya berbeda pada lapisan
1 saja. Lapisan satu 2.5 YR 4/1 (dark reddish gley), sedangkan lapisan dua sampai
lapisan empat Gley2 4/1 (dark grenish grey). Perbedaan hue, value dan chroma
antara lapisan satu dengan lapisan lainnya karena pada lapisan satu masih ada
pengaruh kemungkinan oksidasi dapat terjadi karena difusi oksigen dari udara,
atau dari fotosintesis algae. Yoshida (1981) mengemuka