Kajian penentuan tingkat bahaya kebakaran menggunakan sistem fire weather index

KAJIAN PENENTUAN TINGKAT BAHAYA KEBAKARAN
MENGGUNAKAN SISTEM FIRE WEATHER INDEX

DWI YOGA PRIMARTONO

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

ABSTRAK
DWI YOGA PRIMARTONO. Kajian Penentuan Tingkat Bahaya Kebakaran
Menggunakan Sistem Fire Weather Index. Dibimbing oleh AHMAD BEY dan
EDI SANTOSO .
Sistem Fire Weather Index (Sistem FWI) merupakan salah satu sub sistem
utama dari suatu sistem pemeringkat bahaya kebakaran regional yang berasal dari
Kanada. Sistem FWI tengah dicobakan sebagai sistem peringatan dini di kawasan
Asia Tenggara. Dalam penghitungannya beberapa komponen Sistem FWI
mempertimbangkan faktor panjang hari, Le, dan panjang hari terkoreksi, Lf. Lf
merupakan fungsi dari rataan bulanan suhu maksimum dan evapotranspirasi
potensial. Kanada dan Asia Tenggara merupakan kawasan dengan perbedaan letak

lintang yang signifikan. Kondisi tersebut mengakibatkan Kanada dan Asia
Tenggara memiliki nilai Le, dan Lf yang tidak sama. Perbedaan tersebut selama
ini baru diantisipasi dengan merubah selang kelas bahaya kebakaran dari
komponen Sistem FWI.
Dalam penelitian ini selain dilakukan penghitungan komponen kode
kelembaban dari Sistem FWI berdasarkan adopsi dari persamaan asalnya, juga
dilakukan modifikasi, dengan cara memasukan nilai Le, dan Lf lokal. Komponen
kode kelembaban tadi meliputi komponen kode kelembaban pada sarasah
(FFMC), lapisan humus (DMC), dan lapisan organik padat (DC). Penggunaan
nilai Le dan Lf lokal dilakukan dengan harapan agar hasil yang didapat dari
penghitungan Sistem FWI akan lebih menggambarkan nilai-nilai sebenarnya dari
tingkatan potensi kebakaran relatif yang didasarkan pada data observasi cuaca
harian setempat. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan Sistem FWI
sebagai alat bantu dalam pengambilan keputusan mengenai penentuan selang
waktu periode kritis yaitu periode pada saat model bahan bakar di suatu daerah
memiliki resiko terbakar yang tinggi. Dalam penelitian ini dilakukan evaluasi
apakah perbedaan faktor – faktor tadi juga akan mengakibatkan perbedaan label
kelas bahaya kebakaran dari komponen FFMC, DMC, dan DC.
Hasil penelitian dengan menggunakan kedua metode menunjukkan bahwa di
daerah kajian, periode kritis pada FFMC terjadi di sepanjang tahun, sedangkan

periode kritis pada komponen DMC terjadi pada bulan Juli, Agustus dan
September, kecuali di Tanjungselor dan Tanjungredep. Pada kedua stasiun
tersebut periode kritis juga dijumpai pada pertengahan bulan Januari hingga awal
bulan Maret. Periode kritis pada DC pada umumnya terjadi pada bulan September.
Koreksi yang dilakukan menghasilkan nilai kode kelembaban yang berbeda,
kecuali pada komponen FFMC. Koreksi akan menghasilkan nilai kode
kelembaban yang lebih tinggi, kecuali pada bulan April, Mei, Juni, dan Juli, untuk
komponen DMC. Komponen DC terkoreksi akan menghasilkan nilai yang lebih
tinggi hanya pada bulan September, kecuali di Tanjungredep dan Tanjungselor.
Pada kedua daerah tersebut nilai DC yang lebih tinggi juga dijumpai pada bulan
Maret dan April. Peningkatan nilai kode kelembaban Sistem FWI akan semakin
terlihat ketika tidak terjadi hujan pada selang waktu yang telah disebutkan tadi.
Pada periode itu tidak jarang peningkatan nilai tadi berhasil menaikkan label kelas
bahaya dari komponen FWI. Koreksi yang dilakukan juga menginformsikan
resiko kebakaran pada kelas yang lebih tinggi akan terjadi lebih awal.

KAJIAN PENENTUAN TINGKAT BAHAYA KEBAKARAN
MENGGUNAKAN SISTEM FIRE WEATHER INDEX

Skripsi


sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor

Oleh:

DWI YOGA PRIMARTONO
G02498008

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

RIWAYAT HIDUP
Dwi Yoga Primartono dilahirkan di Purbalingga pada 4 Maret 1980. Penulis
merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Aspono dan Ibu Tati Surati.
Penulis menamatkan Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Purbalingga, dan
berhasil mas uk ke Institut Pertanian Bogor pada tahun 1998 melalui jalur USMI.

Selama masa perkuliahan, penulis melaksanakan praktik lapang di PT.
PAGILARAN pada bulan Juli-Agustus 2001. Selain itu penulis juga pernah
bekerja di PT. WIFA EKATAMA sebagai wakil manager dan penanggung jawab
bagian produksi pada tahun 2002–2003.

PRAKATA
Bismillahir rahmanir rahim
Segala Puji bagi Allah SWT, Shalawat serta salam semoga terlimpahkan
kepada Rasulullah SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Alhamdulillah,
setelah sekian lama, akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi, sungguh hanya
Alloh Maha Pengatur yang telah menata jalan hambaNya. Semua itu juga tidak
lepas dari berbagai pihak yang telah membantu jalannya penelitian ini. Untuk it u
penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ahmad Bey dan Dr. Edi Santoso, atas segala bimbingan
dan arahannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
2. Bapak dan Ibu yang selalu memberikan motivasi, serta dorongan material
dan spiritual
3. Bapak Kusnadi Prabakusuma yang telah berkenan menampung penulis
4. M. Taufik yang telah mengijinkan penulis mengakses data sekunder dari 5
buah stasiun AWS di Kaltim

5. Seluruh Staff Pengajar dan Pegawai di Fakultas MIPA dan di Departemen
Geofisika dan Meteorologi
6. Seluruh keluarga, dan teman-teman yang telah berkenan memberikan
dorongan dalam menyelesaikan skripsi ini
Semoga segala bimbingan, motivasi, dan segala bantuan tadi diberikan balasan
yang berlipatganda. Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada
seluruh pihak yang telah terbebani oleh penulis selama penyusunan skripsi ini
berlangsung. Kebenaran hanya datang dari Allah SWT semata, sedangkan
kesalahan dan kekhilafan kembali kepada penulis. Semoga skripsi ini mampu
member ikan manfaat, baik bagi penulis sendiri maupun bagi pihak-pihak yang
berkenan membacanya, dan menjadi motivator untuk membuat karya yang lebih
berguna. Akhirul kalam, semoga Allah SWT senantiasa memberikan taufik dan
hidayah serta limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Amin.

Bogor, Januari 2006

Dwi Yoga Primartono

DAFTAR ISI
Halaman


DAFTAR TABEL ...........................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... x
PENDAHULUAN
Latar Belakang ....................................................................................... 1
Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 1
TINJAUAN PUSTAKA
Pengetahuan Dasar Kebakaran ..............................................................
Bahan Bakar ............................................................................................
Lingkungan Kebakaran...........................................................................
Kondisi Atmosfer dan Kebakaran ..........................................................
Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran......................................................
Sistem FWI .............................................................................................

2
3
5
6
8

8

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat ......................................................................................
Asumsi ....................................................................................................
Pengisian Data Kosong ..........................................................................
Penghitungan Sistem FWI dengan Formulasi Adopsi............................
Penghitungan Le dan Lf .........................................................................
Penghitungan Sistem FWI dengan Penyesuaian Faktor Le dan Lf ........

12
12
12
13
14
15

HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Daerah Kajian.........................................................................
FFMC .....................................................................................................

DMC ......................................................................................................
DC ..........................................................................................................

22
23
24
26

SIMPULAN .................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 27
LAMPIRAN..................................................................................................... 29

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Pengkelasan bahaya kebakaran ..........................................................

8

2 Tabulasi time-lag pada Sistem FWI ...................................................


9

3 Interpretasi nilai-nilai FFMC ..............................................................

10

4 Interpretasi nilai-nilai DMC................................................................

10

5 Interpretasi nilai-nilai DC....................................................................

11

6 Interpretasi nilai-nilai FWI..................................................................

11

7 Lokasi pengamatan AWS....................................................................


12

8 Daftar nilai Lf asli ...............................................................................

14

9 Daftar nilai Lf lokal.............................................................................

15

10 Selang kelas pada beberapa komponen FWI.......................................

23

11 Prosentase kelas FFMC di Tanjungredep............................................

23

12 Perbandingan prosentase kelas DMC di Tanjungredep......................


25

13 Perubahan nilai Le pada DMC............................................................

25

14 Pebandingan prosentase kelas DC di Tanjungselor ............................

26

15 Perubahan nilai Lf pada DC ................................................................

27

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Konsep segitiga api (Borrow, 1951) ..................................................

3

2 Distribusi vertikal dari komponen bahan bakar (Pyne, 1996) ...........

5

3 Distribusi suhu sesuai ketinggian ......................................................

6

4 Distribusi radiasi matahari pada sistem bumi-atmosfer ....................

6

5 Struktur Sistem FWI ..........................................................................

9

6 Skema penghitungan FFMC................................................................

16

7 Skema penghitungan DMC ...............................................................

18

8 Skema penghitungan DC ...................................................................

19

9 Skema penghitungan ISI, BUI, FWI ...................................................

21

10 Sebaran geografis daerah kajian .........................................................

22

11 Perbandingan hasil penghitungan dari beberapa komponen Sistem
FWI......................................................................................................

22

12 Pengaruh Curah Hujan pada FFMC. ...................................................

23

13 Hasil penghitungan DMC dengan menggunakan dua metode
berbeda. ...............................................................................................

24

14 Windowing anomali curah hujan tahun 2000 sampai dengan 2002. ...

25

15 Windowing DMC dan anomali curah hujan bulan Januari sampai
dengan Maret 2002. .............................................................................

26

16 Hasil penghitungan DC berdasarkan penggunaan dua metode
berbeda. ...............................................................................................

26

17 Windowing anomali DC dan curah hujan bulan Januari sampai
dengan Maret 2002. .............................................................................

27

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Contoh format data mentah dari Statiun AWS di Loajanan................

29

2 Contoh format masukan data pada Sistem FWI untuk Stasiun
Loajanan..............................................................................................

30

3 Prosentase kelas FFMC di Loajanan...................................................

31

4 Prosentase kelas FFMC di Marangkayu..............................................

31

5 Prosentase kelas FFMC di Samuntai...................................................

31

6 Prosentase kela s FFMC di Tanjungredep............................................

31

7 Prosentase kelas FFMC di Tanjungselor .............................................

31

8 Perbandingan prosentase kelas DMC di Loajanan .............................

32

9 Perbandingan prosentase kelas DMC di Marangkayu ........................

32

10 Perbandingan prosentase kelas DMC di Samuntai .............................

32

11 Perbandingan prosentase kelas DMC di Tanjungredep ......................

32

12 Perbandingan prosentase kelas DMC diTanjungselor ........................

33

13 Perbandingan prosentase kelas DC di Loajanan.................................

33

14 Perbandingan prosentase kelas DC di Marangkayu ............................

33

15 Perbandingan prosentase kelas DC di Samuntai.................................

33

16 Perbandingan prosentase kelas DC di Tanjungredep..........................

34

17 Perbandingan prosentase kelas DC di Tanjungselor ...........................

34

18 Perbandingan DMC di Loajanan. ........................................................

35

19 Perbandingan DMC di Marangkayu ...................................................

35

20 Perbandingan DMC di Samuntai.........................................................

36

21 Perbandingan DMC di Tanjungredep.................................................

36

22 Perbandingan DMC di Tanjungselor ...................................................

37

23 Perbandingan DC di Loajanan ............................................................

37

24 Perbandingan DC d Marangkayu ........................................................

38

25 Perbandingan DC di Samuntai............................................................

38

26 Perbandingan DC di Tanjungredep.....................................................

39

27 Perbandingan DC di Tanjungselor ......................................................

39

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebakaran hutan di Indonesia seringkali
terjadi, beberapa kejadian kebakaran besar
diantaranya terjadi pada tahun 1982, 1983,
1991, 1994, 1997, 1998, 1999 sampai dengan
awal tahun 2001 (Wardhani 2001). Kebakaran
hutan tahun 1998 oleh Los Angeles Times
edisi 23 Maret 1998 bahkan dinyatakan
sebagai bencana yang telah merusak hutan
hujan tropis terbesar di dunia. Bencana
tersebut mengakibatkan sebagian kawasan
Asia Tenggara diselimuti dengan asap, dan
diperkirakan telah menyebabkan kerugian
yang nilainya melampaui 9 milyar USD
(www.encarta.msn.com). Selain Indonesia,
beberapa negara di kawasan Asia Tenggara
seperti Brunei, Malaysia, dan Singapura juga
mengalami bencana asap dan kebakaran
hutan.
Mengingat besarnya kerugian dan dampak
negatif yang telah ditimbulkan ole h bencana
tersebut, ke empat negara di kawasan Asia
Tenggara tadi kemudian bersama-sama
menyetujui
untuk
melakukan
tindak
pengawasan terhadap bahaya asap dan
kebakaran. Salah satu langkah yang ditempuh
yaitu melalui penerapan Sistem Fire Weather
Index. (Sistem FWI). Sistem FWI merupkan
salah satu sub sistem utama dari Fire Danger
Rating Sytem (FDRS). FDRS merupakan
suatu sistem pemeringkat bahaya kebakaran
regional yang berasal dari Kanada, dalam hal
ini sistem tersebut tengah dicobakan sebagai
sistem peringatan dini di kawasan Asia
Tenggara.
Sistem FWI memberikan informasi
tingkatan dari potensi kebakaran relatif
berdasarkan data observasi cuaca harian.
Beberapa komponen Sistem FWI juga
mempertimbangkan faktor panjang hari, Le,
dan panjang hari terkoreksi, Lf. Lf merupakan
fungsi dari rataan bulanan suhu maksimum
dan rataan bulanan evapotranspirasi potensial.
Kanada dan Asia Tenggara merupakan
kawasan dengan perbedaan letak lintang yang
signifikan. Letak lintang merupakan salah satu
faktor pengendali unsur–unsur cuaca dan
iklim. Perbedaan letak lintang tentunya akan
membuat perbedaan selang waktu penerimaan
radiasi matahari pada kedua kawasan. Kondisi
tersebut diantaranya mengakibatkan Kanada
dan kawasan Asia Tenggara memiliki
perbedaan panjang hari yang cukup besar .
Perbedaan tersebut selama ini baru
diantisipasi dengan merubah selang kelas

bahaya kebakaran dari komponen Sistem
FWI.
Dalam penelitian ini selain dilakukan
penghitungan Sistem FWI berdasarkan adopsi
dari persamaan asalnya, juga akan dilakukan
modifikasi, dengan cara memasukan nilai Le,
dan Lf lokal menggantikan nilai Le dan Lf
asalnya. Hal tersebut dilakukan dengan
harapan agar hasil yang didapat dari
penghitungan Sistem FWI yang telah
dimodifikasi
tersebut
akan
lebih
menggambarkan nilai-nilai sebenarnya dari
tingkatan potensi kebakaran relatif yang
berdasarkan pada data observasi cuaca harian
setempat. Penelitian ini bertujuan untuk turut
mengembangkan Sistem FWI sebagai alat
bantu
dalam
pengambilan
keputusan
mengenai penentuan periode kritis yaitu
selang waktu ketika model bahan bakar pada
suatu daerah terindikasi memiliki resiko
terbakar yang tinggi. Dalam penelitian ini
akan dilihat apakah perbedaan faktor – faktor
tadi, juga akan mengakibatkan perubahan
pada penentuan label kelas bahaya kebaka ran
dari Sistem FWI.
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan mulai Juli 2002
sampai dengan September 2005, bertempat di
Lab. TSI Gedung BPP Teknologi dan Asrama
IPB Sukasari, Bogor.

TINJAUAN PUSTAKA
Pengetahuan Dasar Keba karan
Tanaman
ataupun
bagian-bagiannya
merupakan komponen dari biomassa hutan
yang paling banyak dilalap api. Komponen
biomassa yang paling banyak terbakar tadi,
pada umumnya berupa tumbuhan hijau yang
mampu melakukan proses fotosintesis. Pada
proses fotosintesis terjadi reaksi kimia yang
melibatkan karbondioksida, air dan energi dari
matahari, hingga menghasilkan selulosa,
lignin, amilum dan berbagai komponen kimia
lainnya. Seluosa, lignin, amilum merupakan
hasil fotosintesis yang dapat ditemukan pada
set iap
bagian tanaman. Berdasarkan hal
tersebut dapat dikatakan bahwa komponen
tanaman merupakan bagian dari manifestasi
energi kimia yang dihasilkan dalam proses
fotosintesis.
Proses
fotosintesis
dan
kebakaran
memiliki hubungan yang unik. Kebakaran
pada tanaman ataupun komponennya, akan
melangsungkan perubahan energi. Energi
kimia
yang
diwujudkan
dari
proses
fotosintesis akan dirubah menjadi energi
termal, energi radiasi, dan energi kinetik.
Secara sepintas proses kebakaran dan
fotosintesis, merupakan dua proses yang
saling berkebalikan. Pada proses fotosintesis
terjadi pemusatan energi, dalam hal ini terjadi
pemusatan energi kimia yang berlangsung
secara perlahan–lahan sedangkan dalam
kejadian
kebakaran,
energi
kerapkali
dilepaskan secara spontan. Hubungan antara
kedua proses tersebut dapat ditampilkan
melalui formulasi berikut:
Fotosintesis

CO2 + H 2O + energi matahari → (C 6 H 10O 6 )n + O

Kebakaran

(C H
6

10

O6 )n + O + suhu pemicu → CO2 + H 2O + bahang

Reaksi bahan bakar dengan oksigen hanya
akan berlangsung pada kondisi tertentu.
Kondisi tersebut akan tercapai ketika
komposisi kadar air yang terdapat pada bahan
bakar mencapai suatu nilai yang mendukung
terbakarnya bahan bakar tersebut. Sagala
(1988) menyatakan agar suatu bahan bakar
terbakar maka suhu bahan bakar tersebut
harus ditingkatkan hingga mencapai suhu
pemicu kebakaran yang lazim dikenal sebagai
titik bakar. Titik bakar suatu bahan bakar
bervariasi, namun Merril dan Alexander
(1987) dalam Alexander (1988) menyatakan
nilai suhu tersebut berada pada kisaran nilai

350 °C. Pencapaian suhu kritis tadi et rjadi
setelah bahan bakar terlebih dahulu
mendapatkan bahang yang cukup dari suatu
sumber pemanasan. Sumber pemanasan bahan
bakar dapat berupa petir, bunga api, api
unggun, ataupun dari puntung rokok.
Merril dan Alexander (1987) dalam
Alexander (1988) menyatakan meskipun
banyak ahli melihat kebakaran hanya terdiri
dari dua fase namun pada hakekatnya ia terdiri
dari tiga fase atau lebih yang saling overlap.
Ketiga fase tersebut adalah fase prapemanasan,
fase
destilasi,
dan
fase
pembentukan arang. Sormin dan Hartono
(1986) menyatakan kebakaran terbagi atas
fase pemanasan, fase penguraian, dan fase
pembakaran.
Berbagai
pendapat
tadi
sebenarnya menyatakan hal yang relatif sama
Proses
kebakaran
pada
awalnya
merupakan suatu reaksi yang bersifat
endotermal karena ia membutuhkan energi.
Dalam hal ini dibutuhkan pasokan bahang
untuk meningkatkan suhu bahan bakar hingga
suhu pemicu pengapian tercapai. Ketika
pemanasan belum mencapai suhu pengapian,
pada sebagian jenis bahan bakar hutan
pemanasan
akan
terlebih
dahulu
mengakibatkan volatilisasi sejumlah resin
yang bersifat atsiri. Zat astiri tadi memiliki
titik didih disekitar suhu kamar. Pyne (1996)
menyatakan hal tersebut merupakan salah satu
sebab timbulnya bau yang khas pada
ekosistem hutan. Selanjutnya peningkatan
suhu yang terus terjadi seiring dengan
berlangsungnya pemanasan bahan bakar akan
mengakibatkan terjadinya pengeringan. Air
yang terjerap pada bahan bakar secara
bertahap akan terevaporasikan, dengan kata
lain kelembaban bahan bakar akan terus
berkurang.
Kelembaban bahan bakar sangat beragam,
bahan bakar dari vegetasi yang telah mati
memiliki kelembaban 1 hingga 300 % dari
bobot keringnya, sedangkan bahan bakar dari
vegetasi hidup pada umumnya memiliki
kelembaban yang lebih besar dari 300 %.
Peningkatan
suhu
selanjutnya
akan
mengakibatkan berlangsungnya pirolisis. Pyne
(1996) mendefinisikan pirolisis sebagai
penguraian molekul atau polimer zat karena
panas. Proses pirolisis akan menghasilkan
arang, karbonmonoksida, karbondioksida, uap
air, tar dan sejumlah zat dari keluarga
hidrokarbon yang mudah terbakar seperti
methana, methanol dan propana. Ketika
pemanasan bahan bakar telah mencapai suhu
pengapian, zat-zat produk dari pirolisis akan
beraksi dengan oksigen.

Oksidasi tar, dan zat-zat dari keluarga
hid rokarbon akan memicu timbulnya nyala
api, selanjutnya oksidasi dari produk pirolisis
lainnya akan menimbulkan bara api. Kedua
proses tadi akan menyuplai bahang lebih
banyak lagi. Pada tahap ini reaksi tidak lagi
bersifat endotermal, akan tetapi telah bersifat
eksotermal. Ketika api pada suatu bahan bakar
telah terbentuk, peningkatan suhu tidak hanya
berasal dari sumber pemanasan awal saja.
Keberadaan api tadi juga akan turut berperan
dalam menghasilkan bahang sendiri. Bahang
yang dihasilkan selanjutnya akan turut
berperan sebagai sumber pemanasan bagi
bahan bakar lainnya melalui mekanisme
radiasi, konduksi ataupun konveksi. Ketika
bahan bakar mengalami kebakaran yang tidak
sempurna, sebagian dari zat volatil yang
dihasilkan akan menyisakan jelaga, selain itu
juga dihasilkan partikel hasil pembakaran
tidak sempurna yang melayang di udara yang
dikenal sebagai asap. Api akan padam ketika
bahan bakar tidak lagi tersedia ataupun ketika
bahang yang tersedia tidak cukup lagi untuk
mempertahankan kebakaran (Pyne, 1996).
Untuk menjelaskan faktor-faktor yang
berperan dalam pembentukan kebakaran
digunakan konsep segitiga api. Konsep
tersebut menyatakan terjadinya kebakaran
dipengaruhi oleh tiga hal utama yaitu bahan
bakar yang sesuai, kadar oksigen yang
memadai, dan ju mlah bahang yang mencukupi
untuk memulai kebakaran (Sullivan, 1997).
Konsep segitiga api itu sendiri dapat
digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1 Konsep segitiga api (Borrow,
1951).
Dalam konsep segitiga api tersebut suatu
daerah tidak akan mengalami kebakaran,
ketika semua hal tadi tidak terkumpul secara
bersamaan. Oleh karena itu syarat dari konsep

segitiga api tadi juga dapat digunakanan
dalam
tindak
pencegahan
kebakaran.
Singkatnya, kejadian kebakaran akan dapat
dihindarkan dengan mencegah terkumpulnya
ketiga komponen dalam konsep segitiga api.
Hal tersebut diantaranya adalah dengan
mengurangi bahan bakar hutan yang potensial
maupun sumber panas yang mungkin timbul
baik karena faktor alam ataupun manusia
(Sormin dan Hartono, 1986).
Bahan Bakar
Bahan bakar dari tumbuhan tidak hanya
berupa vegetasi yang masih hidup (living
fuel), ia dapat pula berujud bahan bakar mati
(dead fuel). Dead fuels adalah tanaman yang
telah mati ataupun bagian dari tanaman yang
telah terpisah. Bagian tanaman yang telah
terpisah tadi dapat berupa dahan, ranting,
daun, pucuk tanaman, ataupun buah yang
telah berguguran, bisa pula berupa batang
tanaman yang tumbang, juga potongan sulur,
serta
akar
tanaman.
Hal
tersebut
memperlihatkan variasi kondisi bahan bakar
yang tampak sangat beragam baik dari segi
jenis, ukuran, ataupun distribusinya. Menurut
Clar dan Chatten (1954), hal-hal penting dari
bahan bakar yang dapat mempengaruhi
kebakaran meliputi ukuran bahan bakar,
susunan bahan bakar, volume, jenis,
kerapatan, dan kadar air dari bahan bakar.
Pyne (1996) juga menyebutkan hal yang
hampir senada dengan apa yang dinyatakan
oleh Clar dan Chatten (1954). Pyne (1996)
menyatakan jumlah bahan bakar, kepadatan,
susunan, bentuk dan ukuran bahan bakar
sebagai sifat ekstrinsik dari bahan bakar yang
berpengaruh pada kebakaran selain sifat -sifat
intrinsik seperti kadar zat kimia dan potensi
bahang yang dimiliki oleh suatu jenis bahan
bakar.
Bahan bakar dengan ukuran yang lebih
kecil akan lebih mudah terbakar dibandingkan
dengan bahan bakar yang memiliki ukuran
yang lebih besar. Hal tersebut terjadi karena
pengeringan bahan bakar yang berukuran
kecil hingga mencapai suhu pengapian, akan
membutuhkan jumlah bahang yang lebih
sedikit daripada melakukan hal yang sama
pada bahan bakar yang berukura n lebih besar.
Bahan bakar yang berdiameter kurang dari 0.5
inchi dikenal sebagai bahan bakar halus (light
fuels/fine fuels ), sedangkan bahan bakar yang
memiliki ukuran diameter lebih dari 0.5 inchi
dinamakan bahan bakar kasar (heavy fuels ).
Pada umumnya heavy fuels kering akan
menyediakan materi yang dapat terbakar
dalam jumlah yang lebih banyak dari fine

fuels . Fine fuels memang lebih mudah
mengering, selain itu dibandingkan heavy
fuels ia juga lebih mudah menyerap air.
Karena sifatnya itu ketika fine fuels terbakar,
api akan menyebar dengan cepat, akan tetapi
kebakaran yang ditimbulkannya juga relatif
lebih cepat padam, karena materi yang dapat
terbakar yang ada padanya relatif sedikit. Pada
umumnya fine fuels memegang peranan yang
dominan pada periode awal kebakaran.
Adapun kadar air yang terdapat pada heavy
fuels relatif stabil. Heavy fuels relatif lebih
sulit terbakar, akan tetapi ketika sudah tersulut
api, heavy fuels mampu menimbulkan
kebakaran dengan periode yang relatif lama.
Kerapatan bahan bakar menyatakan jarak
antar partikel dari bahan bakar. Bahan bakar
dengan kerapatan yang rendah akan lebih
cepat
bereaksi
terhadap
perubahan
kelembaban, selain itu angin dengan mudah
melakukan penetrasi dan turut berperan dalam
mengurangi kelembaban bahan baka r. Ia juga
memiliki potensi pasokan oksigen yang lebih
banyak, karena memiliki lebih banyak ruang
kosong sehingga dapat menampung lebih
banyak oksigen. Dengan kata lain ia memiliki
potensi jumlah oksigen yang lebih banyak
pada setiap luasan penampangnya. Kebakaran
akan merambat lebih cepat jika terjadi pada
bahan bakar yang memiliki tingkat kerapatan
yang rendah. Penjalaran api pada bahan bakar
yang memiliki tingkat kerapatan yang rendah
akan berperilaku seperti halnya pada fine
fuels , sedangkan penjalaran api pada bahan
bakar yang memiliki tingkat kerapatan yang
tinggi/padat akan berperilaku seperti halnya
heavy fuels.
Susunan bahan bakar meliputi orientasi
arah secara vertikal ataupun horisontal. Bahan
bakar yang tersusun kontinyu akan semakin
mempercepat perambatan api. Jika bahan
bakar tersusun vertikal secara kontinyu
kebakaran tajuk (aerial fire) akan terjadi lebih
cepat,
demikian
pula
bila
terdapat
kekontinyuan susunan bahan bakar dalam arah
horisontal, dalam hal ini perambatan api
secara horisontal lebih cepat terjadi.
Berdasarkan distribusi vertikalnya, komponen
bahan bakar dikelompokkan ke dalam tiga
kelas, yaitu bahan bakar bawah (ground
fuels ), bahan bakar permukaan (surface fuels),
dan bahan bakar tajuk (aerial fuels ). Ground
fuels meliputi semua bahan bakar yang
terdapat di bawah lapisan sarasah.
Ground fuels didominasi oleh akar
tanaman, dan bongkahan kayu yang tengah
ataupun telah membusuk dan terkubur di
dalam permukaan tanah. Jenis bahan bakar ini

lebih mungkin untuk menimbulkan kebakaran
yang berupa bara api daripada nyala api.
Ground fuels pada umumnya memiliki kadar
air yang lebih banyak daripada surface fuels
ataupun aerial fuels. Pada umumnya sebelum
kadar air yang dikandung oleh ground fuels
jumlahnya kurang dari 20% dari bobot
keringnya, kebakaran akan susah timbul. Api
pada umumnya berasal dari terbakarnya
lapisan sarasah di atasnya, yang kemudian
merambat membakar bahan-bahan organik
yang berada pada lapisan di bawahnya. Begitu
terjadi, kebakaran yang lazim disebut sebagai
ground fire tersebut akan susah untuk
dipadamkan.
Surface fuels meliputi seluruh sarasah
yang terdapat pada lantai hutan. Pada
umumnya surface fuels terdiri atas pucuk
daun ataupun dedaunan, ranting, kulit kayu,
buah, dan cabang kecil yang telah jatuh
berguguran di permukaan tanah. Selain itu
surface fuels juga meliputi rerumputan, semak
belukar, dan bibit ataupun tumbuhan hutan
yang masih muda. Pada umumnya sarasah
akan membentuk suatu lapisan bahan bakar
yang sangat mudah dilalap api. Komponen
bahan bakar ini pada umumnya memiliki
diameter yang besarnya kurang dari 0.5 inchi,
sehingga dapat dikategorikan sebagai fine
fuels. Kebakaran yang terjadi di permukaan
tanah yang mengkonsumsi surface fuels
dengan ketinggian maksimum 1.2 meter
dikenal sebagai surface fire. Pada umumnya
kebakaran ini tidak mencapai tajuk karena
pohon-pohonnya jarang atau dari jenis yang
sulit terbakar. Surface fuels yang tersusun
secara kontinyu dan terekspos secara langsung
dengan udara, seperti rerumputan dan semak
belukar, ketika mati kadar kelembabannya
akan sangat dipengaruhi oleh perubahan cuaca
harian. Kadar kelembaban komponen bahan
bakar tersebut sangat sensitif terhadap
perubahan nilai suhu, angin dan kelembaban
udara disekitarnya.
Aerial fuels meliputi semua zat yang dapat
terbakar baik hidup ataupun mati yang
terdapat pada kanopi hutan, serta terpisah dari
permukaan tanah dengan jarak minimal sejauh
1,2 meter. Aerial fuels biasanya didominasi
oleh cabang, daun, pucuk, buah tanaman,
lumut kerak, lumut daun, serta tanaman epifit
lainnya. Pada umumnya bahan bakar ini
terbakar setelah sebelumnya mengalami
penambahan bahang yang bersumber dari
surface fire terutama melalui mekanisme
konveksi. Distribusi vertikal dari komponen
bahan bakar dapat diilustrasikan dengan
gambar berikut:

Gambar 2 Distribusi vertikal dari komponen.
bahan bakar (Pyne, 1996).
Lingkungan Kebakaran
Kebakaran yang telah terbentuk akan
saling berinteraksi dengan lingkungan di
sekitarnya. Countryman (1972) menuliskan
hubungan
antara
lingkungan
dengan
kebakaran yang terjadi. Konsep tersebut
menggambarkan kondisi lingkungan sekitar
yang
mempengaruhi,
merubah,
dan
menentukan perilaku api yang terjadi.
Perilaku api didefinisikan oleh De Bano
(1998) sebagai suatu respon atau kebiasaan
api yang terbentuk sebagai hasil interaksi api
dengan lingkungannya. Baik Countryman
(1972) maupun De Bano (1998) menyatakan
kondisi dan perubahan komponen-komponen
lingkungan sekitar akan mempengaruhi
kebakaran. Komponen–komponen utama dari
lingkungan tersebut terdiri atas kondisi cuaca,
topografi, dan bahan bakar. Interaksi
ketiganya dengan kebakaran yang ada juga
akan menentukan karakteristik dan perilaku
dari kebakaran.
Bahan bakar, topografi, cuaca dan
interaksi ketiganya merupakan tiga buah
komponen
lingkungan
yang
sangat
mempengaruhi perilaku kebakaran. Bahan
bakar menentukan potensi penyebaran api,
potensi kerusakan yang dapat terjadi, serta
potensi hambatan dalam pengendalian
kebakaran. Topografi suatu wilayah pada
umumnya memiliki kondisi yang relatif lebih
konstan. Secara alamiah kondisi topografi
akan berperan dalam penentuan kondisi iklim
di suatu wilayah. Topografi merupakan salah
satu faktor pengendali unsur-unsur iklim dan
cuaca. Perbedaan ketinggian, aspek dan
kelerengan suatu daerah akan menimbulkan

keragaman nilai unsur-unsur cuaca, selain itu
pada umumnya juga dijumpai kekhasan
vegetasi di suatu daerah. Topografi juga
berperan cukup penting pada proses
penyebaran aerial fire, kelerengan yang terjal
akan mempercepat penyebaran aerial fire.
Akan tetapi ketika terjadi anomali cuaca
seperti angin yang bertiup dengan kencang
akan mampu membuat pengaruh topografi di
suatu daerah tidak lagi mendominasi
penyebaran aerial fire.
Cuaca menentukan kebakaran seperti apa
yang terjadi,
kecepatan penyebaran api,
tingkat kerusakan aktual yang ditimbulkan,
serta tingkat kesulitan dalam pengendalian
kebakaran, singkatnya cuaca menentukan
level dari kebakaran yang terjadi. Ketika
tidak dijumpai bahan bakar, kebakaran
memang tidak akan pernah terjadi. Akan
tetapi ketersediaan bahan bakar saja tidak bisa
menjamin terjadinya kebakaran. Meskipun di
suatu daerah terdapat bahan bakar yang
berlimpah, misalnya dijumpai timbunan sisa
hasil penebangan hutan, akan tetapi ketika
pada periode tersebut daerah itu senantiasa
diguyur hujan maka lazimya di daerah tadi
kebakaran pada periode itu tidak akan terjadi.
Kontrol terhadap bahan bakar relatif lebih
mungkin dan mudah untuk dilakukan daripada
tindak pengendalian unsur-unsur cuaca.
Tindak management hutan dapat dilakukan
guna mengontrol ketersediaan bahan bakar.
Tindak penjarangan tanaman, pembuatan
sekat bakar, bahkan pengaturan pola tanam
dapat dilakukan pada kawasan agroforestri
ataupun hutan, terutama pada kawasan hutan
tanaman industri. Selain itu secara alamiah,
perubahan ketersediaan bahan bakar yang
signifikan berlangsung dengan lambat,
kejadiannya
mengikuti
siklus
hidup
tumbuhan, yang juga dipengaruhi oleh iklim
dan topografi setempat. Berbeda dengan hal
tersebut, unsur-unsur cuaca kondisinya dapat
berubah secara drastis dalam hitungan hari,
jam bahkan dalam hitungan menit. Perubahan
unsur cuaca tadi akan mempengaruhi kondisi
bahan bakar, ataupun kondisi kebakaran itu
sendiri baik secara langsung atau tidak
(Brown dan Davis, 1975). Chandler (1983)
menyatakan cuaca dan iklim mempengaruhi
kebakara n melalui beberapa cara sebagai
berikut:
• Iklim menentukan jumlah total bahan bakar
yang tersedia.
• Iklim menentukan selang waktu dan level
dari musim kebakaran.

• Cuaca menentukan kadar air/kelembaban
bahan bakar dan kemudahan bahan bakar
untuk terbakar.
• Cuaca mempengaruhi proses pengapian
dan penyebaran bahan bakar.
Kondisi Atmosfer dan Kebakaran
Cuaca adalah keadaan fisis atmosfer dan
perubahannya di suatu tempat tertentu dalam
selang waktu yang relatif pendek. Atmosfer
sendiri dapat didefinisikan sebagai lapisan gas
atau campuran gas yang menyelimuti dan
terikat pada bumi oleh gaya gravitasi bumi.
Campuran gas tersebut dinamakan udara. Di
dalam atmosfer terdapat udara kering, uap air,
dan aerosol.
Gas–gas lain yang membentuk udara
kering di atmosfer kadarnya sangat kecil
dalam hal ini campuran udara kering dan uap
air tidak jenuh dikenal sebagai udara lembab.
Meskipun kadar uap air di udara sangat kecil,
uap air memainkan peranan yang penting di
dalam proses termodinamika. Dalam kisaran
suhu atmosfer, uap air dapat berubah fasa
menjadi cair, atau padat. Uap air masuk ke
atmosfer dari permukaan bumi melalui
penguapan air di permukaan bumi, ataupun
melalui transpirasi yang terjadi pada tanaman.
Jika mengalami pendinginan, uap air berubah
fasa menjadi padat (es), dan membentuk awan
atau kabut yang kemudian turun ke
permukaan sebagai gerimis, hujan, hujan
deras, salju, ataupun batu es. Tidak jarang
perubahan fasa uap air terjadi di permukaan
bumi dan membentuk embun atupun embun
beku.
Atmosfer dapat dibagi men jadi lapisanlapisan yang berbeda berdasarkan perbedaan
suhu pada berbagai ketinggian. Berdasarkan
distribusi suhu dan ketinggiannya, atmosfer
dapat dibagi menjadi 4 lapisan utama seperti
dinyatakan dalam ilustrasi berikut:

Sumber: http://www.clas.ufl.e du

Gambar 3 Distribusi suhu sesuai ketinggian.

Dari
ke empat lapisan tersebut lapisan
troposfer merupakan satu-satunya lapisan
tempat fenomena meteorologi terjadi.
Hampir
semua
pemanasan
pada
permukaan bumi dan atmosfer berasal dari
radiasi matahari, meskipun hanya sebagian
kecil dari radiasi yang dipancarkan oleh
matahari diterima bumi. Pendekatan distribusi
radiasi matahari pada sistem bumi-atmosfer
dapat dinyatakan sebagai berikut:

Sumber: http://www.clas.ufl.edu.

Gambar 4 Distribusi radiasi matahari pada
sistem bumi-atmosfer.
Geiger (1959) menyatakan radiasi matahari
yang sampai di permukaan bumi, nilainya
hanyalah setengah dari radiasi matahari yang
diterima di puncak atmosfer. Sebagian dari
radiasi matahari tersebut akan diserap, dan
dipantulkan kembali ke angkasa luar oleh
atmosfer bumi.
Penerimaan radiasi matahari di permukaan
bumi sangat bervariasi menurut ruang ataupun
waktu. Keragaman radiasi menurut ruang
disebabkan oleh perbedaan letak lintang dan
kondisi atmosfer di suatu daerah. Keragaman
penerimaan radiasi matahari menurut waktu
terjadi karena adanya perbedaan sudut datang
dari radiasi matahari, dan jarak antara bumi
dengan matahari pada saat bumi berevolusi
mengelilingi matahari pada orbitnya yang
berbentuk elips. Perbedaan jarak tersebut
membuat perbedaan kerapatan fluks radiasi
matahari yang sampai di permukaan bumi
yang
besarnya
sebanding
dengan
perbandingan kuadrat jarak antara bumi dan
matahari. Perbedaan sudut datang akan
mengakibatkan perbedaan selang waktu
penerimaan radiasi matahari. Selang waktu
penerimaan radiasi matahari juga dipengaruhi
oleh tingkat penutupan awan di atmosfer, serta
perbedaan tempat menurut letak lintang.
Dalam skala mikro jumlah radiasi matahari
yang diterima dipengaruhi oleh faktor
topografi
lahan
seperti
faktor
arah

kelerengan/aspek, dan ketinggian lahan
(Handoko, 1993).
Perbedaan penerimaan radiasi matahari
mengakibatkan
perbedaan
pemanasan
permukaan bumi. Fuller (1991) menyatakan
perbedaan pemanasan oleh matahari pada
permukaan
bumi
berperan
dalam
pembentukan
keragaman
iklim
yang
memberikan
kontribusi
pada
bahaya
kebakaran hutan karena bersama dengan angin
penyinaran matahari memegang peranan yang
penting pada perubahan suhu dan pengeringan
bahan bakar. Jumlah panas yang dapat
dikandung oleh suatu benda et rgantung dari
kapasitas panas benda tersebut C . Semakin
besar kapasitas panas C semakin besar energi
panas yang dapat dimiliki benda tersebut.
Kapasitas panas merupakan fungsi dari massa
m dan panas jenis suatu benda c . Udara
memiliki panas jenis yang paling rendah bila
dibandingkan dengan panas jenis tanah
ataupun
dengan
panas
jenis
air,
cTanah = 800 Jkg −1K −1 , cAir = 4200 Jkg −1 K −1 ,
c Udara = 717 Jkg − 1K −1 . Meskipun nilai panas
jenis udara hampir sama dengan panas jenis
tanah, massa tanah nilainya seribu kali massa
udara karena kerapatan tanah nilainya hampir
seribu kali kerapatan udara, ñ Tanah = 1200 kgm 3
sedangkan,
Faktor
ñ Udara = 1,275 kgm 3 .
tersebut menjadikan udara sebagai penyimpan
panas yang paling buruk ketika dibandingkan
dengan ke dua zat tadi, oleh karena itu udara
lebih cepat menjadi panas ataupun menjadi
dingin dibandingkan dengan daratan dan
lautan.
Rendahnya
kapasitas
panas
udara
menjadikan udara cukup peka terhadap
perubahan energi di permukaan bumi.
Permukaan bumi merupakan bidang aktif
dalam hal penerimaan radiasi matahari. Hal
tersebut menjadikan permukaan bumi sebagai
pemasok panas pada udara, sehingga semakin
tinggi tempat semakin rendah suhu nya
(Prawirowardoyo, 1996). Karena sebab yang
senada pula, maka suhu di permukaan bumi
juga semakin rendah dengan bertambahnya
letak lintang seperti halnya dengan penurunan
suhu menurut ketinggian. Pada penyebaran
suhu menurut lintang sumber pemasok bahang
terasa berasal dari daerah tropika (Handoko,
1996).
Daerah dengan suhu yang tinggi akan
mempercepat terjadinya pengeringan bahan
bakar, ataupun mempermudah terjadinya
kebakaran.
Hal
tersebut
dikarenakan
perubahan suhu bahan bakar dicapai melalui

penyerapan radiasi matahari secara langsung
ataupun melalui mekanisme konduksi, dan
konveksi dari lingkungan termasuk dari udara
di sekitar bahan bakar (Brown dan Davis,
1973).
Suhu udara menentukan kapasitas udara
untuk menampung uap air. Semakin tinggi
suhu udara maka kapasitas udara dalam
menampung uap air akan semakin besar.
Kapasitas udara untuk menampung uap air
dinyatakan sebagai tekanan uap jenuh es ,
sedangkan kadar/kandungan uap air aktual di
udara dinyatakan dengan tekanan aktual ea .
Perbandingan antara tekanan uap aktual ea
dengan tekanan uap jenuh es pada suhu yang
sama dinyatakan sebagai kelembaban relatif
rh.

Kelembaban relatif menunjukan derajat
kejenuhan udara, ia menunjukan jauh
dekatnya kondisi udara dari keadaan
jenuhnya. Pada siang dan malam hari dengan
tekanan uap aktual yang relatif tetap, nilai
kelembaban relatif pada siang hari akan lebih
kecil daripada kelembaban relatif pada malam
hari. Hal tersebut diakibatkan karena kapasitas
udara dalam menampung uap air akan
membesar seiring dengan naiknya suhu udara,
sedangkan pada pola suhu diurnal kondisi
suhu udara pada siang hari pada umumnya
lebih panas daripada suhu udara pada malam
hari.
Selain
kelembaban
udara,
kondisi
kelembaban bahan bakar secara langsung
dipengaruhi oleh adanya hujan. Hujan akan
seketika itu juga membasahi permukaan bahan
bakar,
sehingga
tidak
memungkinkan
timbulnya
kebakaran.
Semakin
besar
intensitas hujan semakin cepat kelengasan
bahan bakar mencapai nilai maksimumnya.
Pola hujan di suatu daerah akan menentukan
selang waktu terjadinya kebakaran. Selama
periode atau musim penghujan kebakaran
akan sangat sulit terjadi. Selama musim hujan
walaupun hujan turun dengan intensitas yang
rendah, pada umumnya ia terjadi pada selang
waktu yang relatif panjang.
Seiring dengan pergantian musim,
hujanpun berkurang baik intensitas ataupun
periodenya. Pada masa ini, pengeringan bahan
bakar dimulai kembali. Pengeringan tersebut
diakib atkan oleh penerimaan radiasi surya
yang memicu peningkatan devisit tekanan uap
yang terjadi seiring dengan meningkatnya
suhu udara dan dipercepat oleh angin sebagai
pembawa air yang sudah diuapkan oleh bahan
bakar. Angin turut memicu terjadinya
kebakaran dan juga memasok oksigen yang

merupakan salah satu komponen penyebab
terjadinya kebakaran. Selain itu Affan (2002)
menyatakan bahwa angin juga menentukan
arah penjalaran api. Kondisi cuaca yang
mempengaruhi timbulnya api, perilaku
kebakaran dan pengendalian terhadapnya
dikenal dengan cuaca kebakaran (fire
weather), sedangkan periode ketika seringkali
dijumpai kebakaran dahsyat yang menyebar
dengan cepat, serta mengakibatkan kerusakan
yang cukup parah disebut sebagai musim
kebakaran (fire season) (The Glossary Team,
2002). Brown dan Davis (1973) juga
menyatakan bahwa pola, selang waktu, dan
intensitas dari musim kebakaran merupakan
fungsi dari iklim, yang juga dipengaruhi oleh
karakteristik bahan bakar.
Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran
Bahaya kebakaran merupakan suatu
istilah yang komprehensif. Ia digunakan untuk
menyatakan penilaian dari berbagai peubahpeubah
lingkungan
yang
menentukan
kemudahan terpicunya api (ease of ignition),
laju penyebaran kebakaran, kesulitan dalam
pengendalian api dan dampak dari kebakaran
itu sendiri (Merrill, 1987). Peubah–peubah
lingkungan, baik peubah bebas maupun
peubah tak bebas terdiri dari komponen–
komponen dalam konsep segitiga lingkungan
yang menentukan terjadinya berbagai hal tadi.
Peringkat bahaya kebakaran merupakan
sistem
manajemen
kebakaran
yang
mengintegrasikan dampak dari faktor–faktor
lingkungan kebakaran tertentu ke dalam suatu
daftar nilai atau peringkat nilai kualitatif. Pada
umumnya
unsur-unsur
cuaca
cukup
diperhitungkan
pada
berbagai
sistem
peringkat bahaya kebakaran yang ada (Pyne,
1996). Sistem klasifikasi bahaya kebakaran
dinyatakan
dalam
kelas -kelas
bahaya
kebakaran dengan masing-masing kode warna
yang khas. Contoh kelas -kelas bahaya
kebakaran tersebut dapat diinterpretasikan
sebagai berikut:
Tabel 1. Pengkelasan bahaya kebakaran
Bahaya Kebakaran
Kelas
Karakteristik
Kebakaran
Rendah Api permukaan
merambat

Kesulitan Pemadaman
Kebakaran
Tak ada masalah
pengendalian kecuali
kebakaran dalam tanah

Sedang

Api permukaan
bisa menyebar
pesat atau dengan
intensitas sedang

Api dapat dikendalikan
dengan menggunakan
peralatan sederhana dan
air

Tinggi

Menyebar cepat
atau intensitas api

Pengendalian api
dengan menggunakan

Ekstrim

sedang sampai
tinggi

pompa air kuat dan/atau
pembuatan sekat bakar
menggunakan peralatan
mekanis

Menyebar cepat
atau intensitas api
tinggi

Sangat sulit untuk
dikendalikan.
Pemadaman
menggunakan drip
torches dari garis
pengendalian dapat
digunakan

Sumber: http://www.bmg.go.id

Peringkat
dari
penaksiran
bahaya
kebakaran dapat digunakan sebagai saran
prakiraan yang digunakan untuk menilai
resiko terjadinya kebakaran, penyebaran api
serta kerugian yang dapat ditimbulkannya.
Sehingga dalam aplikasinya ia dapat dijadikan
sebagai acuan dalam sistem peringatan dini
tentang adanya bahaya kebakaran. Salah satu
sistem peringkat bahaya kebakaran yang ada
adalah sistem indeks cuaca kebakaran atau
Sistem Fire Weather Index , yang disingkat
dengan Sistem FWI (Beck, 2002 ).
Sistem FWI
Sistem FWI telah digunakan di Kanada
sejak tahun 1960an, meskipun dikembangkan
di Kanada Sistem FWI telah diaplikasikan di
daerah yang lain (contoh, di New Zealand,
Alaska, Swedia, Argentina). Sistem FWI
terdiri
atas
enam
komponen
yang
menggambarkan pengaruh dari cuaca pada
kelembaban bahan bakar dan perilaku
kebakaran. Tiga komponen Sistem FWI yang
pertama, merupakan kode kelembaban pada
tiga model bahan bakar. Dua komponen
Sistem FWI selanjutnya berupa petunjuk
kualitatif dari laju penyebaran api dan tingkat
ketersediaan
bahan
bakar,
sedangkan
komponen terakhir dari Sistem FWI berupa
indikator kualitatif untuk intensitas ke bakaran.
Kode kelembaban merupakan suatu teknik
perhitungan kadar kelambaban bahan bakar
pada periode kering dan periode hujan.
Adapun kadar kelembaban bahan bakar
merupakan suatu perbandingan antara massa
air yang terdapat pada bahan bakar dengan
berat kering bahan bakar tersebut. Bahan
bakar pada Sistem FWI dimodelkan terbagi
atas tiga jenis model bahan bakar, yaitu fine
fuel, lapisan humus/fermentasi tanah, dan
lapisan organik padat.
Ketiga kode kelembaban dalam Sistem
FWI
masing-masing berupa pering kat
numerik kelembaban fine fuel, rataan kadar
kelembaban dari bagian atas lapisan duff yang
mewakili lapisan fermentasi tanah/humus, dan
rataan kadar kelembaban pada lapisan organik

padat. Kode kelembaban dalam Sistem FWI
berbanding terbalik dengan kadar kelembaban
pada model bahan bakarnya . Peningkatan nilai
pada ketiga kode kelembaban menyatakan
terjadinya pengeringan pada ketiga model
bahan bakar. Kode-kode kelembaban dalam
Sistem FWI nilainya akan berubah mengikuti
laju pengeringan dari masing-masing model
bahan bakar.
Kejadian
hujan
akan
menambah
kelembaban suatu model bahan bakar hanya
ketika terjadi hujan yang lebih besar daripada
ambang batas pembasahan model bahan bakar
tersebut.
Ambang
batas
pembasahan
merupakan fungsi intersepsi dari lapisan yang
ada di atas model bahan bakar. Kenaikan
kadar kelembaban suatu model bahan bakar
ditunjukkan dengan menurunnya kode
kelembaban model bahan bakar untuk
menyatakan menurunnya bahaya kebakaran
pada model bahan bakar tersebut (Beck 2002).
Laju pengurangan kelembaban pada suatu
model bahan bakar berlangsung secara
eksponensial. Penurunan kadar kelembaban
suatu model bahan bakar ditunjukkan dengan
bertambah besarnya nilai kode kelembaban
model bahan bakar untuk menyatakan
terjadinya peningkatan peringkat bahaya
kebakaran pada model bahan bakar tersebut .
Selang waktu terjadinya proses pengurangan
kelembaban bahan bakar sebesar 2/3 bagian
dari kadar kelembaban aktualnya pada kondisi
standar (kisaran suhu 21 °C, kelembaban
relatif 45%, kecepatan angin 13 km/jam) yang
konstan dikenal sebagai time lag. Time lag
menyatakan kecepatan suatu model bahan
bakar mencapai tingkat kesetimbangan
kelembabannya . Kesetimbangan kelembaban
merupakan suatu kondisi ketika kadar
kelembaban bahan bakar sama dengan kondisi
kelembaban lingkungannya. Setiap model
bahan bakar dalam Sistem FWI memiliki nilai
time lag yang berbeda. Besarnya time lag dan
ambang batas pembasahan (wetting threshold)
dari ketiga model bahan bakar tadi adalah
sebagai berikut:
Tabel 2. Tabulasi time lag pada Sistem FWI
Kode
kelembaban
FFMC
DMC
DC

Model bahan
bakar
Sarasah
Humus
Organik padat

Wetting
threshold
0.5 mm
1.4 mm
2.8 mm

Time
lag
18 jam
15 hari
53 hari

Sumber : Alexander, 1988

Komponen -komponen dari Sistem FWI,
dan hubungan diantara komponen-komponen
tersebut, ditunjukkan pada gambar berikut:

Sumber: http://www.cwfis.cfs.nrcan.gc.ca

Gambar 5. Struktur Sistem FWI.
Penghitungan setiap komponen didasarkan
dari pengamatan harian beberapa parameter
cuaca pada tengah hari waktu setempat.
Parameter cuaca tersebut meliputi kecepatan
angin pada ketinggian 10 meter dari
permukaan tanah, suhu udara, kelembaban
relatif, dan curah hujan yang terakumulasikan
selama 24 jam. Selain itu juga diperlukan nilai
dari komponen FWI hari sebelumnya, beserta
informasi
tanggal
ketika
pengukuran
dilakukan. Gambaran umum dari setiap
komponen FWI adalah sebagai berikut:
Fine Fuel Moisture Code
Fine Fuel Moisture Code (FFMC)
merupakan
peringkat
numerik
kadar
kelembaban dari sarasah, lumut, rerumputan,
paku-pakuan, dedaunan, cabang, batang,
ranting dan bagian tanaman lainnya yang telah
berguguran, yang lazim disebut sebagai bahan
bakar h