Ayat Gharibah dan Sujud Tilawah.docx

BAB II
PEMBAHASAN

A.

Pengertian Gharaib al-Qur’an

Lafadz gharaib berasal dari bahasa arab, yakni bentuk jamak dari lafadzgharibah
yang berarti asing, tersembunyi, samar atau sulit pengertiannya.Sedangkan
menurut istilah Ulama qurra’, gharib artinya sesuatu yang perlu penjelasan khusus
dikarenakan samarnya pembahasan atau karena peliknya permasalahan baik dari
segi huruf, lafadz, arti maupun pemahaman yang terdapat dalam Al-Qur’an. Jika
dihubungkan dengan al qur’an maka yang dimaksud dengan Gharaib al-Qur’an
adalah ayat-ayat al qur’an yang sukar pemahamannya sehingga hampir-hampir
tidak dapat dimengerti maknanya, seperti lafadz ‫ أ أببا‬dalam ayat 31 dari surat ‘Abasa
(‫ة وب أ أببا‬
‫)وأأفاك كهأ ة‬.[1]
Banyak lafadz dalam ayat-ayat Al-qur’an yang aneh bacaannya. Maksud aneh
adalah ada beberapa bacaan tulisan Alqur’an yang tidak sesuai dengan kaidah
aturan membaca yang umum atau yang biasa berlaku dalam kaidah bacaan bahasa
arab. Hal ini menunjukkan adanya keistimewaan Alqur’an yang mengandung

kemukjizatan yang sangat tinggi, disinilah letak kehebatannya sehingga kaum
sastrawan tidak mampu menandinginya. Dari segi tulisan, mushaf yang kita terima
ini tidak ada masalah karena telah dipersatukan tulisannya oleh khalifah Usman.[2]
Hal ini bukanlah hal yang baru, pernah terjadi pada masa Nabi SAW. sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Anas, sesungguhnya Umar bin Khottob RA. membaca ayat
‫ة وب أ أببا‬
‫ وأأفاك كهأ ة‬diatas mimbar, lalu beliau berkata “Adapun buah (fakihah) telah kita
ketahui, sedang apa yang dimaksud dengan al abba?” lalu beliau berfikir,
kemudian beliau mengembalikan pada dirinya sendiri dan ada yang berkata “hal ini
terlalu berberat diri wahai Umar”. Beliau tidak mengetahui makna dari kata “al
abba”, padahal beliau adalah orang arab yang ahli dalam bidang sastra arab dan
yang memiliki bahasa yang paling fasih serta al qur’an diturunkan kepada manusia
dengan menggunakan bahasanya.
Dari peristiwa di atas dapat diketahui bahwa gharaib al qur’an bukanlah hal yang
baru, dan memang suatu hal yang sangat sulit dipahami secara langsung, bahkan
ulama’ tedahulu tidak mau memberi makna apalagi menafsiri ayat yang sulit
dipahami. Mereka lebih memilih untuk me-mauqufkan-nya dan tidak berpendapat
sedikitpun, karena keterhati-hatiannya. Seperti ungkapannya shahabat Abu Bakar
RA. saat ditanya tentang firman Allah yang berbunyi ‫ة وب أ أببا‬
‫ وأأفاك كهأ ة‬, beliau berkata “ di

langit mana aku berteduh dan di bumi mana aku tinggal, jika aku berkata sesuatu di
dalam al qur’an yang aku tidak mengetahuinya”.[3]

Menurut Abu Sulaiman al-Khotthobi : Gharib al qur’an adalah suatu hal yang samar
dan jauh dari kepahaman. Beliau membagi gharib al qur’anmenjadi dua, yang
pertama adalah hal yang jauh makananya serta samar, yang hanya dapat dipahami
setelah melalui proses pemikiran yang mendalam. Sedangkan yang kedua adalah
perkataan seseorang yang rumahnya jauh dari kabilah arab sehingga jika kalimat
tersebut diungkapkan kepada kita (orang arab) maka otomatis kita langsung
menganggapnya aneh.
Sedangkan menurut Muchotob Hamzah Gharib al qur'an adalah Ilmu al-qur’an yang
membahas mengenai arti kata dari kata-kata yang ganjil dalam al-qur’an yang tidak
biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari.[4]
Dari ketiga definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Gharib al-qur’an adalah ilmu
yang membahas suatu makna kata dari ayat al-qur’an yang dianggap aneh (tidak
cocok) dan sulit dipahami.
B.

Macam-macam Bacaan Gharib dalam al-Qur’an


Di dalam al-qur’an banyak dijumpai bacaan gharib, diantara macam-macamnya
adalah sebagai berikut:
1.

Saktah

Saktah menurut bahasa artinya diam, tidak bergerak. Sedangkan menurut istilah
ilmu qira’ah, saktah yaitu berhenti sejenak sekedar satu alif tanpa bernafas dengan
niat melanjutkan bacaan. Di dalam Al-Qur'an ada 4 bacaan saktah, yaitu: (1) Surat
al-Kahfi: ayat 1-2, (2) Surat Yasin: ayat 52, (3) Surat al-Qiyamah: ayat 27, dan (4)
Surat al-Muthaffifin: ayat 14.[5]Berikut ini contoh-contoh bacaan saktah dalam
sebuah ayat yang lengkap:
‫جعأ ل‬
‫ذي أ أن لأز أ‬
‫ما ل كي هن لذ كأر‬
‫ه ك‬
‫مد ه ل كل بهك ال ب ك‬
‫عو أ أ‬
‫م يأ ل‬
‫ل ع أألى ع أب لد كهك ال لك كأتا أ‬

‫ال ل أ‬
‫( قأي ي ة‬1) ‫جا‬
‫ل لأ ه‬
‫ب وأل أ ل‬
‫ح ل‬
‫ملرقأد كأنا هأ أ‬
(52) ‫ن‬
‫ن ب أعأث أأنا ك‬
‫سهلو أ‬
‫ما وأع أد أ البر ل‬
‫ملر أ‬
‫صد أقأ ال ل ه‬
‫ح أ‬
‫ذا أ‬
‫ن أ‬
‫أقاهلوا أيا وأي لل أأنا أ‬
‫ن وأ أ‬
‫م ه‬
‫م ل‬
‫م ل‬

‫وأكقي أ‬
(27) ‫ق‬
‫ل أ‬
‫م ل‬
‫ن أرا ق‬
‫ما أ‬
‫ك أل ب ب أ ل‬
(14) ‫ن‬
‫كاهنوا ي أك ل ك‬
‫سهبو أ‬
‫ل أرا أ‬
‫م أ‬
‫ن ع أألى قههلوب كهك ل‬
Saktah pada QS. Al-Kahfi: 1, menurut segi kebahasaan susunan kalimatnya sudah
sempurna. Dengan kata lain, jika seorang qari’ membaca waqaf pada lafadz ‫جا‬
‫ ك‬,
‫عو أ ة‬
sebenarnya sudah tepat karena sudah termasukwaqaf tamm. Namun apabila dilihat
dari kalimat sesudahnya, ternyata ada lafadz ‫ما‬
‫ قأي ي أ‬sehingga arti kalimatnya menjadi

rancu atau kurang sempurna.
Lafadz ‫ما‬
‫ ك‬, melainkan menjadi hal
‫عو أ ة‬
‫ قأي ي أ‬bukanlah menjadi sifat/na’at dari lafadz ‫جا‬
atau maf’ul bihnya lafadz lafadz ‫جا‬
‫ ك‬. Apabila lafadz ‫ما‬
‫عو أ ة‬
‫ قأي ي أ‬menjadina’atnya lafadz
‫جا‬
‫ ك‬akan mempunyai arti : “Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang
‫عو أ ة‬
bengkok serta lurus”. Sedangkan apabila menjadi hal atau maf’ul bih akan menjadi :
“Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok, melainkan

menjadikannya sebagai ajaran yang lurus “. Menurut Ad-Darwisy, kata ‫ما‬
‫قأي ي ة‬
‫أ‬
‫أ‬
‫ل‬

dinashabkan sebagai hal(penjelas) dari kalimat ‫جا‬
‫و‬
‫ع‬
‫ه‬
‫ل‬
‫ل‬
‫ع‬
‫ج‬
‫ي‬
‫م‬
‫ل‬
‫و‬
,
sedang
Az‫ك‬
‫ه أ ة‬
‫أ ل أ ل أ‬
Zamakhsyari berpendapat bahwa kata tersebut dinashabkan lantaran menyimpan
fi’il berupa ” ‫ه‬
‫“ أ‬. Berbeda juga dengan pendapat Abu Hayyan, menurutnya kata

‫جعأل أ ه‬
‫جعأ ل‬
‫ما‬
‫ه ك‬
‫عو أ ة‬
‫م يأ ل‬
‫ قأي ي ة‬itu badal mufrad dari badal jumlah “ ‫جا‬
‫ل لأ ه‬
‫“ وأل أ ل‬. Tidak mungkin seorang
qari’memulai bacaan (ibtida’) dari ‫ما‬
‫قأي ي ة‬, sebagaimana juga tidak dibenarkan
meneruskan bacaan (washal) dari ayat sebelumnya. Dengan pertimbangan alasanalasan diatas, baik diwaqafkan maupun diwashalkan sama-sama kurang tepat,
maka diberikanlah tanda saktah.
‫ملرقأد كأنا سكتة هأ أ‬
Pada saktah QS. Yaasiin: 52 di dalam kalimat: ‫ن‬
‫ ك‬.
‫ما وأع أد أ البر ل‬
‫ح أ‬
‫ذا أ‬
‫ن أ‬

‫م ه‬
‫م ل‬
‫ هه أ‬itu mubtada’ dan khabarnya adalah lafadz ‫ما وأع أد أ‬
Menurut Ad-Darwisy lafadz ‫ذا‬
‫أ‬
‫ن‬
‫م‬
‫ح‬
‫ر‬
‫ال‬
.
Berbeda
halnya
dengan
pendapat
Az-Zamakhsyari
yang
menjadikan
lafadz
‫ل‬

‫أ‬
‫ه‬
‫ب‬
‫ هه أ‬itu na’at dari ‫ملرقأد ك‬
‫ذا‬
‫ أ‬, sedangkan ‫ما‬
‫ أ‬sebagai mubtada’ yang khabarnya tersimpan,
‫هه أ‬. Dari segi makna, kedua alasan penempatan saktah
yaitu lafadz ‫ حق‬atau ‫ذا‬
tersebut sama-sama tepat. Pertama, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu
mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan dari tempat tidur kami (yang) ini. Apa
yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar”. Kedua, orang
yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan
kami dari tempat tidur kami. Inilah yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para
rasul ini pasti benar”. Dengan membaca saktah, kedua makna yang sama-sama
benar tersebut bisa diserasikan, sekaligus juga untuk memisahkan antara ucapan
malaikat dan orang kafir.
‫بأ ل‬
Adapun lafadz ‫ن‬
‫ أ‬dalam QS. Al-Qiyamah: 27 pada kalimat ‫ق‬

‫ أ‬dan lafadz ‫ل‬
‫م ل‬
‫م ل‬
‫ن سكتة أرا ق‬
‫ ب أ ل‬adalah untuk menjelaskan
dalam QS. Al-Muthafifin: 14 pada kalimat ‫ن‬
‫ل سكتة أرا أ‬
‫ ب أ ل‬sebagai penegas dan juga untuk
fungsi ‫ن‬
‫ أ‬sebagai kata tanya dan fungsi ‫ل‬
‫م ل‬
memperjelas idharnya lam dan nun, sebab apabilalam dan nun bertemu dengan ra’
‫ ب أ ل‬dalam kalimat ‫ن سكتة‬
seharusnya dibaca idgham, namun karena lafadz ‫ن‬
‫ أ‬dan ‫ل‬
‫أ‬
‫م ل‬
‫م ل‬
‫ل‬
‫ق‬
‫را‬
dan
‫ن‬
‫را‬
‫سكتة‬
‫ل‬
‫ب‬
mempunyai
makna
yang
berbeda,
maka
perlu
dipisahkan
‫أ‬
‫أ‬
‫أ‬
‫أ‬
‫ق‬
(diidharkan) dengan waqafsaktah.[6]
2.

Imalah

Imalah artinya memiringkan bunyi fathah pada kasroh, dan dari huruf alif ke ya’
(Kecenderungan fathah kepada kasrah sehingga seolah-olah dibaca re). Imalah
hanya terdapat 1 lafadz dalam Al-Qur'an, yakni surat Huud ayat 41, Juz 12.[7]
‫وأأقا أ‬
(41) ‫م‬
‫ن أريبي ل أغأ ه‬
‫فومر أر ك‬
‫سا أ‬
‫جأرا أ‬
‫ها إ ك ب‬
‫م ل‬
‫ملر أ‬
‫ل الرك أهبوا كفيأها ب ك ل‬
‫حي م‬
‫ها وأ ه‬
‫سم ك الل بهك أ‬
Sebab-sebab di-Imalahkannya lafadz “‫جهرىأها‬
‫م ل‬
‫ ” أ‬diantaranya adalah untuk
membedakan antara lafadz “‫جهرىأها‬
‫م‬

yang
artinya
berjalan di darat dengan lafadz “
‫أ ل‬
‫جهرىأها‬
‫م ل‬
‫ ” أ‬yang artinya berjalan di laut. Dalam salah satu kamus bahasa arab dijelaskan
bahwa lafadz “‫جهرىأها‬
‫م ل‬
‫ ” أ‬yang artinya berjalan atau mengalir
‫ ” أ‬berasal dari lafadz “‫جهرى‬
dan lafadz tersebut dapat dipakai dalam arti berjalan di atas daratan maupun
berjalan di atas lautan (air), namun kecenderungan perjalanan di permukaan laut
(air) tidak stabil seperti halnya di daratan. Terkadang diterjang ombak kecil dan
besar atau terhempas angin, sehingga sangat tepat apabila lafadz “‫جهرىأها‬
‫م ل‬
‫ ” أ‬tersebut
di-Imalahkan.[8]

3.

Isymam

Isymam yaitu isyarah dlommah di tengah-tengah dengung. Isymam di dalam AlQur'an hanya ada 1, yaitu di surat Yusuf ayat 11, Juz 12.[9]
‫ل‬
‫أ‬
‫ما ل أ أ‬
(11) ‫ن‬
‫س أ‬
‫ه ل أأنا ك‬
‫حو أ‬
‫ص ه‬
‫مبنا ع أألى هيو ه‬
‫ف وأإ كبنا ل أ ه‬
‫ك ل ت أأ أ‬
‫أقاهلوا أيا أأباأنا أ‬
yaitu pada waktu membaca lafadz tersebut, gerakan lidah seperti halnya
‫ل‬
mengucapkan lafadz “‫من هأنا‬
‫ ”أل ت أأ أ‬sehingga hampir tidak ada perubahan bunyi antara
‫ل‬
‫ل‬
mengucapkan lafadz “‫مبنا‬
‫ ”أل ت أأ أ‬dengan mengucapkan “‫من هأنا‬
‫”أل ت أأ أ‬. Dengan kata lain, asal
‫ل‬
‫ل‬
dari lafadz “‫مبنا‬
‫ ”أل ت أأ أ‬adalah lafadz “‫من هأنا‬
‫”أل ت أأ أ‬. Kalau diteliti lebih dalam, ternyata rasm
utsmani hanya menulis satu nun yang bertasydid. Ada pertanyaan muncul, dimana
letak dammahnya? Sehingga untuk mempertemukan kedua lafadz tersebut
dipilihlah jalan tengah yaitu bunyi bacaan mengikuti rasm, sedangkan gerakan bibir
mengikuti lafadz asal.[10]
4.

Badal (Mengganti)

Badal menurut bahasa artinya mengganti, mengubah, sedangkan maksud badal
disini adalah mengganti huruf hijaiyah satu dengan hurufhijaiyah lainnya.[11]
Diantara lafadz-lafadz yang di badal dalam Al-Qur’an menurut Imam Ashim riwayat
Hafs yaitu[12] :
a.

Badal ‫ ء‬dengan (‫ي‬
‫موه ك‬
‫ي )كفي ال ب‬
‫س ه‬
‫ت ائ لت هولن ك ل‬

Yaitu mengganti hamzah mati dengan ya’, sebagian besar imamqira’ah sepakat
mengganti hamzah qatha’ yang tidak menempel dengan lafadz sebelumnya dan
jatuh sesudah hamzah washal dengan alif layyinah (‫)ى‬. Contoh pada QS. Al-Ahqaf :
4.
‫تتى ٱل ستستم تو ك‬
‫تتتبب‬
‫أ تئم ل تته ئم كش ئر كك كف‬
‫تٱتتتتتتئئ وكنى كب كك بتت‬
Cara membacanya, yaitu apabila seorang qari’ membaca waqaf pada lafadz ( ‫كفى‬
‫ت‬
‫لسسس ٱ‬
‫) فكسس‬
‫ت سسسي لا ك‬
‫موهأ ك‬
‫ ) سسٱل ب‬maka huruf ta’ mati dan hamzah mati diganti ya’ (‫سسسهتوكنى‬
‫ىب‬
‫سسس هأ‬
‫مو ه ل‬
‫س ه‬
sedangkan apabila dibaca washal tidak ada perubahan.
b.

‫ص ه‬
Badal ‫ ص‬dengan ‫س‬
‫ط‬
‫ ت ص‬dan
‫صٱ ٱٱ وأي أب لسسس( ه‬

‫تتتت ةتةطتتت‬
‫)ئ ص‬
‫تتص بت‬

Yaitu mengganti shad dengan siin, sebagian imam qira’ahtermasuk Imam Ashim
‫ص ه‬
mengganti ‫ ص‬dengan ‫ س‬pada lafadz
‫ط‬
‫ت ص‬dalam QS. Al-Baqarah : 245 dan
‫صٱ ٱٱ وأي أب لسسس ه‬
lafadz ‫بصتطةة‬
‫ ت ئ ص‬dalam QS. Al-A’raf : 69. Sebab-sebab digantinya huruf shad dengan siin
‫س أ‬
pada kedua lafadz tersebut karena mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu ‫ط‬
‫بأ أ‬
‫سطه‬
‫– ي أب ل ه‬.
Sedangkan pada lafadz ‫صي لط كرق‬
‫ ب ك ه‬dalam QS. Al-Ghasyiyah : 22, huruf ‫ ص‬tetap dibaca
‫م أ‬
shad karena sesuai dengan tulisan dalam mushaf (rasm utsmani) dan
menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha’)yang mempunyai sifat
isti’la’. Adapun pada lafadz ‫ن‬
‫صٱلٱ لٱ هٱ‬
‫ ت ص‬dalam QS. At-Thur : 37, huruf ‫ ص‬boleh tetap
‫صي ل ك‬
‫طسسهرو أ‬
‫م سس أ‬
dibaca shad dan boleh dibaca siinkarena, pertama, mengembalikan pada asal

lafadznya, yaitu ‫سي لط كهر‬
‫سي لط أأر – ي ه أ‬
‫ أ‬, kedua, menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf
sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat isti’la’.[13]
5.

Ba’ di idgham ke Mim

Yaitu huruf Ba’ Mati (disukun) ketika bertemu Mim diidghamkan ke huruf Mim
tersebut. Dalam ilmu tajwid, bacaan ini termasuk bacaan Idgham Mutaqoribain. Di
dalam Al-Qur'an hanya terdapat 1 kali, yaitu di surat Huud ayat 42 Juz 12.[14]
‫مع أ ال ل أ‬
‫ه وأ أ‬
‫مولقج أ‬
)‫ن‬
‫ي الرك أ ل‬
‫كا أ‬
‫دى هنو م‬
‫ل وأأنا أ‬
‫ي تأ ل‬
‫ن أ‬
‫ب أ‬
‫ن كفي أ‬
‫ح اب لن أ ه‬
‫كال ل ك‬
‫م كفي أ‬
‫ري ب كهك ل‬
‫ري أ‬
‫معأأنا أول ت أك ه ل‬
‫ل أيا ب هن أ ب‬
‫معلزك ق‬
‫جأبا ك‬
‫وأه ك أ‬
‫كافك ك‬
‫ج ك‬
(42
6.

Naql

‫ق ه‬
‫ق أ‬
Naql menurut bahasa berasal dari lafadz ‫قةل‬
‫ل – نأ ل‬
‫ ن أ أ‬yang artinya memindah,
‫ل – ي أن ل ك‬
sedangkan menurut istilah ilmu qira’ah artinya memindahkan harakat ke huruf
sebelumnya. Yaitu lam alif (‫ )ل‬dibacakasroh lam-nya , sedangkan kata ismun (‫م‬
‫)ا ك ل‬
‫س م‬
hamzah-nya tidak dibaca.Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs ada satu bacaan
naql yaitu lafadz ‫م‬
‫س الل ك ل‬
‫س ه‬
‫ ب كئ ل أ‬dalam surat al-Hujuraat ayat 11 Juz 26.
(11) ‫ن‬
‫م ال ل ه‬
‫أول ت أأناب أهزوا كبالل ل أ‬
‫ف ه‬
‫س ال ل‬
‫سوقه ب أعلد أ الي أ‬
‫س ه‬
‫ب ب كئ ل أ‬
‫قا ك‬
‫ما ك‬
Alasan dibaca naql pada lafadz ‫م‬
‫ الل ك ل‬adalah karena adanya dua hamzah washal,
‫س ه‬
yakni hamzah al ta’rif dan hamzah ismu yang mengapitlam, sehingga kedua
hamzah tersebut tidak terbaca apabila disambung dengan kata sebelumnya.
Faidahnya bacaan naql ialah untuk memudahkan dalam mengucapkannya atau
membacanya.[15]
7.

Tiga model bacaan

Yaitu, 3 (tiga) macam bacaan yang terjadi karena washal dan waqaf. Ketiga hukum
bacaan tersebut adalah :
a.

Bila washal, Ra’-nya dibaca pendek keduanya.

b.

Bila waqaf pada kalimat pertama, Ra’ dibaca panjang 1 alif / 2 harakat.

c. Bila Waqaf pada kalimat kedua, Ra’ kalimat pertama dibaca qasr (pendek) dan
Ra’ kalimat kedua dibaca sukun (mati).
3 (tiga) buah model bacaan asing ini hanya terdapat dalam surat al-Insaan ayat 1516. [16]
‫أ‬
‫وأي ه أ‬
‫ب أ‬
(16) ‫ديةرا‬
‫ها ت أ ل‬
‫ضةق قأد بهرو أ‬
‫طا ه‬
‫ق ك‬
‫واكريأر ك‬
‫م كبآن كي أةق ك‬
‫ن فك ب‬
‫ن فك ب‬
‫كان أ ل‬
‫ف ع أل أي لهك ل‬
‫وا ق‬
‫م ل‬
‫( قأ أ‬15) ‫واكريأرا‬
‫ت قأ أ‬
‫ضةق وأأك ل أ‬
‫م ل‬

8.

Tashiil

Tashil artinya lunak, yakni hamzah pertama dibaca tahqiq (jelas) dan pendek,
sedangkan hamzah kedua dibaca tashiil, yaitu meringankan bacaan antara Hamzah
dan Alif. Di dalam Al-Qur'an hanya terdapat 1 kali, yaitu di Surah Fussilaat, ayat 44:
[17]
‫قاهلوا ل أول فهصل أت آيات أ أ‬
‫أ‬
(44) ‫ي‬
‫مييا ل أ أ‬
‫ج ك‬
‫ج ك‬
‫ه أأع ل أ‬
‫جعأل لأناه ه قهلرآةنا أع ل أ‬
‫وأل أول أ‬
‫ي ل أ ه ه‬
‫ي وأع أأرب ك ي‬
‫م ي‬
‫ل‬
Alasan lafadz ‫ى‬
‫ج ك‬
‫ أءا أع ل أ‬dibaca tashil, karena apabila ada dua hamzahqatha’ bertemu
‫م ي‬
dan berurutan pada satu lafadz, bagi lisan orang Arab merasa berat
melafadzkannya, sehingga lafadz tersebut bisa ditashilkan (diringankan).[18]
C.

Cara Menafsirkan Ayat-ayat yang Gharib

Permasalahan ini menjadi persoalan yang sangat rumit, khususnya setelah Nabi
SAW. wafat, sebab saat beliau masih hidup semua permasalahan yang timbul
langsung ditanyakan kepadanya. Tentu tidak semua persoalan sosial dan
kemasyarakatan serta keagamaan muncul saat beliau masih hidup karena umur
beliau relatif singkat, sementara pesoalan kemasyarakatan tersebut berkembang
sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri.
Namun Rasulullah sebelum wafat telah meninggalkan dua pusaka yang sangat
ampuh dan mujarab serta berharga, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul. Nabi
menjamin barang siapa yang berpedoman kepada keduanya niscaya dia tidak akan
sesat selama-lamanya.
‫ت كفسي ل ه‬
‫م أ‬
(‫سسبنسكتى )رواه الحكم‬
‫وا بـلعسد أ ه‬
‫ما ك‬
‫ن تـ ك‬
‫كستـا أ‬
‫ب اللهك وأ ه‬
‫هس أ‬
‫كس ل‬
‫تـأركـ ه‬
‫ضسللس ل‬
‫ن لأ ل‬
‫شسليسأئسليس ك‬
“Aku meninggalkan dua perkara pada diri kalian yang kalian tidak akan tersesat
setelahnya yaitu Kitab Allah dan Sunnahku”.

Hadits ini dikuatkan oleh firman Allah yang tertera pada surat al Nisa’ ayat 59:
‫يا أ أيها ال بذين آمنوا أ أطيعوا الل به وأ أطيعوا الرسو أ ه‬
‫م كفي أ‬
‫دوه ه إ كألى الل بهك‬
‫مر ك ك‬
‫ك أ أ ه‬
‫يقء فأهر ل‬
‫م فأإ ك ل‬
‫أ أ ك ه‬
‫ك ه‬
‫ب ه‬
‫ن ت أأناأزع لت ه ل‬
‫من لك ه ل‬
‫ل وأأوكلي ال ل‬
‫أ لأ‬
‫ش ل‬
‫ل‬
‫أ‬
‫ل‬
‫ب‬
‫ه‬
‫أ‬
‫أ‬
‫ل‬
(59) ‫ن ت أأكويل‬
‫س‬
‫ح‬
‫أ‬
‫و‬
‫ر‬
‫ي‬
‫خ‬
‫ك‬
‫ل‬
‫ذ‬
‫ر‬
‫خ‬
‫ال‬
‫م‬
‫و‬
‫ي‬
‫ل‬
‫وا‬
‫ه‬
‫ل‬
‫بال‬
‫ن‬
‫نو‬
‫م‬
‫ؤ‬
‫ت‬
‫م‬
‫ت‬
‫ن‬
‫ك‬
‫ن‬
‫إ‬
‫ل‬
‫سو‬
‫ر‬
‫وال‬
‫أ‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ه‬
‫ك‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ل‬
‫ل‬
‫ل‬
‫أ‬
‫أ‬
‫ل‬
‫أ‬
‫ه‬
‫ك‬
‫ل‬
‫ه‬
‫م أ‬
‫أ ب‬
‫ك‬
‫ك ك‬
‫أ ل ك‬
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
(pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah persoalan tersebut kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Secara teoritis kembali kepada al qur’an dan hadits boleh dikatakan tidak ada
masalah, tetapi problema muncul lagi dan terasa memberatkan pikiran ketika teori
itu diterapkan untuk memecahkan berbagai kasus yang terjadi di masyarakat. Oleh
karena hal itu cara yang digunakan oleh ulama’ dalam memahami gharib al qur’an,

- dan ini disebut juga “Ahsana al Thuruq”oleh sebagian ulama - adalah sebagi
berikut :
1.

Menafsirkan al qur’an dengan al qur’an

Contoh Surat al An’am ayat 82

‫م ب كظ هل لم ق هأول أئ ك أ‬
(82) ‫ن‬
‫ال ب ك‬
‫دو أ‬
‫مهلت أ ه‬
‫م ي أل لب ك ه‬
‫م ه‬
‫ن وأهه ل‬
‫م ال ل‬
‫ك ل أهه ه‬
‫مان أهه ل‬
‫سوا كإي أ‬
‫مهنوا وأل أ ل‬
‫نآ أ‬
‫م ه‬
‫ذي أ‬
Kata ‫ ظلم‬dalam ayat tersebut jika diartikan secara tekstual maka terasa membawa
pemahaman yang asing dan tidak cocok dengan kenyataan sebab hampir tidak
ditemukan orang-orang yang beriman yang tidak pernah melakukan perbuatan
dzalim sama sekali. Jika begitu maka tidak ada orang mukmin yang hidupnya
tentram dan tidak akan mendapat petunjuk.
Oleh karena itu sahabat bertanya kepada Rasulullah, lalu Rasul menafsirkan kata
dzulm dengan syirk berdasarkan pada surat Luqman ayat 13:
‫شلر أ‬
‫شرك ل‬
‫وأإ كذ ل أقا أ‬
‫ن ال ي‬
‫ي ل ته ل‬
(13) ‫م‬
‫ل له ل‬
‫م عأ ك‬
‫ك كبالل بهك إ ك ب‬
‫ما ه‬
‫ظي م‬
‫ك ل أظ هل ل م‬
‫ن لب لن كهك وأههوأ ي أعكظ ه ه‬
‫ق أ‬
‫ه أيا ب هن أ ب‬
“Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar".
Dari penjelasan Nabi di atas dapat diketahui bahwa kata dzulm dalam surat al
An’am berarti syirk bukan ke-dzaliman biasa, dengan penjelasan itu selesailah
persoalannya. Dan berdasarkan penjelasan Nabi itulah maka surat al An’am ayat 82
diterjemahkan sebagai berikut: “orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kedzaliman (syirik) mereka itulah yang
mendapatkan keamanan dan mereka adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk”.[19]
2.

Menafsirkan al qur’an dengan sunnah rasul

As-Sunnah adalah penjelas dari al qur’an, dimana al qur’an telah menjelaskan
bahwa semua hukum (ketetapan) Rasulullah berasal dari Allah. Oleh karena itu
Rasulullah bersabda:
‫ه‬
‫أ‬
‫ة‬
‫ت ال ه‬
‫سن ب أ‬
‫ن وأ ك‬
‫قرآ أ‬
‫ه ي أعلكني ال ه‬
‫معأ ه‬
‫ه أ‬
‫مث لل أ ه‬
‫أل أ إيني أولت كي ل ه‬
“Ketahuilah bahwa telah diberikan kepadaku Qur’an dan bersamanya pula sesuatu
yang serupa dengannya” yaitu sunnah.[20]

3. Jika tidak ditemukan di dalam hadits maka dicari dalam atsar (pendapat)
shahabat.
Pendapat para sahabat lebih akurat dari pada lainnya dikarenakan mereka telah
berkumpul dengan Rasulullah dan mereka telah meminum air pertolongan beliau
yang bersih. Mereka menyaksikan wahyu dan turunnya, mereka tahu asbabun nuzul
dari sebuah ayat maupun surat dari al qur’an, mereka mempunyai kesucian jiwa,
keselamatan fitrah dan keunggulan dalam hal memahami secara benar dan selamat
terhadap kalam Allah SWT. bahkan menjadikan mereka mampu menemukan
rahasia-rahasia al qur’an lebih banyak dibanding siapapun orangnya.[21]
4. Jika masih belum didapati pemecahannya maka sebagian ulama memeriksa
pendapat tabi’in.
Diantara tabi’un ada yang menerima seluruh penafsiran dari sahabat, namun tidak
jarang mereka juga berbicara tentang tafsir ini denganistinbath (penyimpulan) dan
Istidlal (penalaran dalil) sendiri. Tetapi yang harus menjadi pegangan dalam hal ini
adalah penukilan yang shohih.[22]
5.

Melalui sya’ir

Walaupun sebagian besar ulama nahwu mengingkari cara yang kelima ini dalam
menafsirkan ayat yang gharib namun cobalah kita melepaskan diri dari perbedaan
itu dan melihat penjelasan dari Abu Bakar Ibnu Anbari yang berkata “telah banyak
riwayat yang menyebutkan bahwa sahabat dan tabi’in berhujjah dengan sya’ir-syair
dengan kata-kata yang asing bagi al qur’an dan yang musykil (yang sulit)”.
Syair-syair itu bukanlah dijadikan sebagi dasar al qur’an untuk berhujjah melainkan
dijadikan sebagai penjelas dari huruf-huruf asing yang ada di al qur’an, karena Allah
berfirman dalam surat az Zukhruf ayat 3 “Sesungguhnya Kami menjadikan al-qur’an
dalam bahasa arab”.
Syair-syair itu sebagai perbendaharaan bangsa arab. Jika salah satu huruf dalam al
qur’an tidak diketahui dalam bahsa arab maka dikembalikan pada perbendaharaan
mereka (bangsa arab), dan dicari maknanya.
Ibnu Abbas berkata “ jika kalian bertanya kepadaku tentang sebuah kata asing di
dalam al qur’an maka carilah maknanya pada syair-syair. Sesungguhnya syair-syair
itu adalah perbendaharaan bangsa arab”.
Contoh: ketika Ibnu Abbas sedang duduk-duduk di halaman ka’bah, dia dikelilingi
oleh sekelompok kaum dan bertanya kepadanya tentang penafsiran beberapa ayat,
diantaranya mereka bertanya tentang tafsir ayat ‫ وابتغو اليه الوسيلة‬yang ada pada
surat al Maidah ayat 35. Kata ‫ الوسيلة‬diartikan oleh Ibnu Abbas dengan
“kebutuhan” , kemudian dia mengambil dasar dari syair yang dikatakan oleh
Antarah yang berbunyi[23]:
‫ان يأخذوك تكحاي و تخضبي‬

‫ان الرجال لهم اليك وسيلة‬

Sesungguhnya para laki-laki itu membutuhkanmu
Jika mereka hendak mengambilmu
Maka pakailah celak dan semir
D.

Faedah Mengetahui Gharaib al-Qur’an

Banyak faedah yang dapat dipetik dengan mengetahui dan mempelajari ayat-ayat
yang gharibat antara lain sebagai berikut:
1. Mengundang tumbuhnya penalaran ilmiah. Artinya, mempelajari ayat-ayat
yang sulit dalam pemahamannya itu akan melahirkan berbagai upaya guna
memahaminya.
2. Mengambil perhatian umat. Dengan diketahuinya ke-gharib-an ayat-ayat
Alqur’an, maka terasa mendalam ketinggian bahasa yang dibawa oleh Alqur’an.
3. Memperoleh keyakinan eksistensi Alqur’an sebagai kalam ilahi. Dengan
diketahui maksud yang terkandung dalam ayat-ayat gharibat, maka akan diperoleh
suatu pemahaman yang mendalam dari ayat tersebut.[24]

________________________________________
[1]Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
h. 267.
[2]Abdul Majid Khan, Praktikum Qira’at (Jakarta: Amzah, 2008), h. 100.
[3]Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Itqon fi Ulumil Qur’an, diterjemahkan oleh Farikh
Marzuqi Ammar dan Imam Fauzi Ja’iz dengan judul Samudra Ulumul Qur’an {AlItqan fi Ulumil Qur’an} (Surabaya: PT Bina Ilmu Surabaya, 2006), h. 2.
[4]Muchotob Hamzah, Studi Al-Qur'an Komprehensif (Yogyakarta: Gama Media,
2003), h. 167.
[5]Koordinator Kecamatan Purwosari, Pegangan Guru TPQ Metode Qiraati (Pasuruan:
Perc. Plassa 9 Tejowangi, 2005), h. 10.
[6]Ar-Raghib al-Ashfahany, al-Mufrodat Fii Ghoribi al-Qur’an (Beirut : Dar al-Ma’rifah,
t.t.), h. 17-19.
[7]Koordinator Kecamatan Purwosari, Pegangan, h. 7.

[8]Ar-Raghib al-Ashfahany, al-Mufrodat, h. 20.
[9]Koordinator Kecamatan Purwosari, Pegangan, h. 8.
[10]Ar-Raghib al-Ashfahany, al-Mufrodat, h. 21.
[11]Koordinator Kecamatan Purwosari, Pegangan, h. 4.
[12]Ar-Raghib al-Ashfahany, al-Mufrodat, h. 23-25.
[13]Ulin Nuha Arwani, dkk., Thoriqoh Baca Tulis dan Menghafal al-Qur’an (Kudus:
BAPENU Arwaniyyah, 2010), h. 42-44.
[14]Ibid., h. 38.
[15]Ibid., h. 29-30.
[16]Koordinator Kecamatan Purwosari, Pegangan, h. 14.
[17]Ibid., h. 12.
[18]Ar-Raghib al-Ashfahany, al-Mufrodat, h. 28.
[19]Nashruddin Baidan, Wawasan, h. 270.
[20]Manna Khalil al Qattan, Mabahitsi fi Ulumil Qur’an, diterjemahkan oleh Mudzakir
AS dengan judul Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 1992),
h. 458.
[21]Ali as Shabuni, Al Tibyaan fi Ulumil Qur’an, diterjemahkan oleh Muhammad
Qodirun Nur dengan judul Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis (Jakarta: Pustaka Amani,
2001), h. 105.
[22]Manna Khalil al Qattan, Mabahitsi, h. 459.
[23]Al-Syatiby, Al-Muwafaqat (Beirut : Dar al-Ma’rifah, t.t.), h. 18-20.
[24]Nasruddin Baidan, Wawasan, h. 270-271.
Pengertian Sujud Tilawah, Tatacara dan Bacaannya
‫حيم‬
‫ﷲما ك‬
‫سسسسسسسسسسسسسسسسس ك ك‬
‫ن اابر ك‬
‫سسسسالبر ل‬
‫بك ل‬
‫ح أ‬
‫م ك‬

Sujud Tilawah adalah gerakan sujud yang dilakukan ketikamembaca ayat-ayat
sajadah dalam Quran. Barangsiapa membaca suatu ayat sajadah atau
mendengarnya, disunnatkan untuk sujud satu kali. Caranya: bertakbir - sujud -

bertakbir lagi untuk bangun dari sujudnya itu. Inilah yang disebut Sujud Tilawah,
tetapi tidak perlu membaca tasyahud (bacaan tahiyat) ataupunsalam. Pengertian
ayat Sajadah adalah ayat-ayat tertentu dalam Al Qur'an yang bila dibaca
disunnahkan bagi yang membaca dan mendengarnya untuk melakukan sujud
tilawah.

1. Bacaan Dalam Sujud Tilawah

Boleh membaca do'a apa saja sekehendaknya, sementara yang diakui
berasal dari tuntunan Rasulullah saw. misalnya sebuah hadits dari 'Aisyah r.a.,
katanya: 'Rasulullah saw. di dalam sujud Tilawah membaca ayat al-Qur'an: ‫سجد‬
‫ فتبارك الله أحسن الخالقين‬، ‫ وجهي للذي خلقه وشق بصره وسمعه بحوله وقوته‬Sujudlah wajahku
kepada Allah. Dzat yang menciptakannya, yang membuka pendengaran serta
penglihatannya dengan daya dan Kuasa-Nya. Maka Maha Mulialah Allah, sebaik-baik
Dzat Yang Mencipta'."[1].

Dari Hudzaifah, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan ketika sujud beliau membaca: “Subhaana robbiyal a’laa”. Artinya:
Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi. [2].

2. Keutamaannya
1.
Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah saw. bersabda:'Apabila seorang
anakAdam membaca ayat sajadah, maka menyingkirlah setan sambil menangis dan
berkata: Celakalah aku! ia diperintah bersujud lalu sujud, maka untuknyalah surga,
sedang saya diperintah bersujud, tetapi saya menolak, maka untukku adalah
neraka,'" [3].
2.
Diriwayatkan dari Nafi' dari Ibnu Umar r.a., katanya: "Rasulullah saw.
membacakan al-Qur'an untuk kami. Jikalau melalui ayat sajadah terus saja beliau
bertakbir dan sujud dan kami pun sujud pula." [4]. Menurut Abu Daud ia pun tertarik
pula oleh sebab itu ia pun bertakbir pula.
3.
Abdullah bin Mas'ud berkata: "Apabila Anda membaca ayat sajadah, maka
bertakbirlah dan sujudlah. Kemudian di waktu mengangkat kepala, maka
bertakbirlah sekali lagi."

3. Hukumnya
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa sujud Tilawah itu sunat dilakukan
oleh orang yang membaca atau yang mendengarkan.


Ini berdasarkan keterangan yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari
'Umar r.a., bahwa ia pada hari Jum'at membaca surat An-Nahl di atas mimbar.
Ketika sampai pada ayat as-Sajadah, ia pun turunlah dan sujud, kemudian orangorang lain pun sujud pula. Pada hari Jum'at berikutnya dibacanya pula surat itu
sekali lagi dan ketika sampai pada ayat sajadah, ia berkata: "Wahai manusia, kita
bukanlah diwajibkan untuk sujud Tilawah itu, maka barang siapa yang sujud,
benarlah ia, sedang yang tidak sujud, tidak pula berdosa."

Riwayat lain: "Bahwa Allah tidak memfardhukan kita untuk sujud, maka
baiknya kita melakukan sekehendak kita saja."

Jama'ah selain Ibnu Majah meriwayatkan pula dari Zaid bin Tsabit, katanya:
"Saya membaca surat Wan-Najmi di hadapan Nabi saw. tetapi pada ayat sajadah,
beliau tidak sujud." Diriwayatkan oleh Daruquthni dan ia berkata: "Juga tidak
seorang pun yang sujud di antara hadirin."

Dan dalam kitab Al-Fath, Hafidz menguatkan pendapat bahwa ditinggalkan
sujud itu adalah suatu tanda bolehnya. Demikian pula pendapat Syafi'i. Dikuatkan
pula oleh hadits yang diriwayatkan oleh Bazzar dan Daruquthni dari Abu Hurairah
r.a., katanya: "Nabi saw. sujud dalam surat Wan-Najmi dan kami pun sujud pula
bersama-sama." Hafizh berkata bahwa hadits ini perawi-perawinya dapat dipercaya.

4. Letak Ayat-Ayat Sajadah
Di dalam al-Qur'an, ada 15 tempat - atau ada yang berpendapat 10 - ayat yang
memuat ayat-ayat sajadah, untuk mengetahui tulisan dan bunyinya, klik Al-Qur'an
Online.
1. Q.S Al-A'raf ayat 206
2. QS Ar-Ra'd ayat 15
3. QS An-Nahl ayat 49
4. QS Al-Isra ayat 107
5. QS Maryam ayat 58
6. QS Al-Haj ayat 18
7. QS An-Naml ayat 25
8. QS As-Sajadah ayat 15
9. QS Al-Furqan ayat 60
10. QS Fussilat ayat 38

11. QS Al-Haj ayat 77
12. QS An-Najm ayat 62
13. QS Al-Insyiqaq ayat 21
14. QS Al-Alaq ayat 19
15. QS Shad ayat 28.

Keterangan:
1. Ayat Sajadah Berulang. Jika seseorang membaca atau mendengar lebih dari 1 kali
ayat sajadah dalam satu masjid, cukuplah ia sujud satu kali saja dalam bacaan yang
terakhir, tetapi sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa pada bacaan pertama
juga sudah mencukupi.
2. Mengqada Sujud Tilawah. Jumhur ulama berpendapat, sekiranya sujud itu
diundurkan waktunya, maka tidak gugur kesunahan melakukannya selama tidak
terlalu lama jaraknya.
Sebarkan !!! insyaallah bermanfaat.
‫شهد ﺃ أﻥ ل أ ﺇله ﺇل ب ﺃ أنت ﺃ أستغفر أ أ‬
‫ك ﺍلل بهم ﻭبحمد أ أ‬
‫حان أ أ‬
‫ﺏ ﺇ كل أليك‬
‫ه ب أك أ ل ك‬
‫ﻙ ﻭأﺃت هول ه‬
‫ﻙﺃ ل أ ه ل‬
‫سب ل أ‬
‫“ ه‬
‫ك أ ك ل أ‬
‫ل أل ك ه‬
Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada
Tuhan melainkan
Engkau. Aku mohon ampun dan
bertaubat kepada-Mu”
Keutamaan Sujud Tilawah

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ه‬
‫أ‬
‫أ‬
‫شي ل أ‬
‫قو ه‬
‫جد أ اع لت أأز أ‬
‫ل ال ب‬
‫إك أ‬
‫مأر‬
‫كى ي أ ه‬
‫ب أيا وأي لكلى – أ ك‬
‫ن ي أب ل ك‬
‫طا ه‬
‫س أ‬
‫س ل‬
‫ن آد أ أ‬
‫جد أة أ فأ أ‬
‫م ال ب‬
‫ل أيا وأي لل أ ه‬
‫ه – وأكفى ركأواي أةك أكبى ك هأري ل ق‬
‫ذا قأأرأ اب ل ه‬
‫أ‬
‫ه‬
‫ل‬
‫أ‬
‫أ‬
‫أ‬
‫أ‬
‫أ‬
‫ى البناهر‬
‫ل‬
‫ف‬
‫ت‬
‫ي‬
‫ب‬
‫أ‬
‫ف‬
‫د‬
‫جو‬
‫س‬
‫بال‬
‫ت‬
‫ر‬
‫م‬
‫أ‬
‫و‬
‫ة‬
‫ن‬
‫ج‬
‫ل‬
‫ا‬
‫ه‬
‫ل‬
‫ف‬
‫د‬
‫ج‬
‫س‬
‫ف‬
‫د‬
‫جو‬
‫س‬
‫بال‬
‫م‬
‫د‬
‫آ‬
‫ن‬
‫ب‬
‫ا‬
‫ك‬
‫ه‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ب‬
‫ك‬
‫ل‬
‫أ‬
‫ه‬
‫أ‬
‫أ‬
‫أ‬
‫ه‬
‫أ‬
‫ل‬
‫أ‬
‫أ ل ه ك ل‬
‫أ‬
‫ك ل‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ه‬
‫أ‬

“Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan akan
menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan berkata-kata: “Celaka aku. Anak
Adam disuruh sujud, dia pun bersujud, maka baginya surga. Sedangkan aku sendiri
diperintahkan untuk sujud, namun aku enggan, sehingga aku pantas mendapatkan
neraka.” (HR. Muslim no. 81)

Begitu juga keutamaan sujud tilawah dijelaskan dalam hadits yang membicarakan
keutamaan sujud secara umum.

Dalam hadits tentang ru’yatullah (melihat Allah) terdapat hadits dari Abu Hurairah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫خرج برحمت كه من أ أراد من أ أهلل النار أ أمر ال لمل أئ كك أ أ أ‬
‫أ‬
‫أ‬
‫حبتى إ ك أ‬
‫جوا‬
‫ن ال ل أ‬
‫ن يه ل‬
‫ه ك‬
‫خر ك ه‬
‫ةأ ل‬
‫ن ال لعكأباد ك وأأأراد أ أ ل‬
‫ق أ‬
‫أ‬
‫أ‬
‫ذا فأأرغ أ الل ب ه‬
‫ك ب ك أ أ‬
‫ن يه ل ك أ ك أ ل أ أ ك أ ل أ أ ك ل‬
‫ضاكء ب أي ل أ‬
‫م أ‬
‫أ‬
‫ب‬
‫أ‬
‫أ‬
‫ب‬
‫ب‬
‫ن أ‬
‫ب‬
‫أ‬
‫ه‬
‫أ‬
‫قو ه‬
‫شركك كباللهك أ‬
‫ن ل يه ل‬
‫م كفى‬
‫ن يأ ه‬
‫م‬
‫م‬
‫م‬
‫ن البناكر‬
‫م‬
‫ه ك‬
‫شي لةئا ك‬
‫ك‬
‫ن ي ألر أ‬
‫ه ت أأعالى أ ل‬
‫كا أ‬
‫ ل فأي أعلركهفون أهه ل‬.‫ه‬
‫ه إ كل الل ه‬
‫ل ل إ كل أ‬
‫م ب‬
‫م ه‬
‫ح أ‬
‫ن أأراد أ الل ه‬
‫م ب‬
‫أ‬
‫ل‬
‫ل‬
‫ل‬
‫أ‬
‫النار يعرهفونهم بأ أث أر السجود تأ ل‬.
‫ل النار من ابن آدم إل ب أ أث أر السجود حرم الل به ع أألى النار أ أن تأك ه أ أ‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ك‬
‫جود ك‬
‫ب ك ل أ‬
‫ك‬
‫ب‬
‫أ‬
‫ك‬
‫أ‬
‫ب‬
‫س ه‬
‫أ‬
‫ل‬
‫ه‬
‫ل‬
‫أ‬
‫ل ه ك أ ب أ‬
‫أ‬
‫ل أث أأر ال ل‬
‫ل‬
‫ه‬
‫ك‬
‫ل‬
‫ه‬
‫أ‬
‫ه‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ك‬

“Hingga Allah pun menyelesaikan ketentuan di antara hamba-hamba-Nya, lalu Dia
menghendaki dengan rahmat-Nya yaitu siapa saja yang dikehendaki untuk keluar
dari neraka. Dia pun memerintahkan malaikat untuk mengeluarkan dari neraka
siapa saja yang sama sekali tidak berbuat syirik kepada Allah. Termasuk di antara
mereka yang Allah kehendaki adalah orang yang mengucapkan ‘laa ilaha illallah’.
Para malaikat tersebut mengenal orang-orang tadi yang berada di neraka melalui
bekas sujud mereka. Api akan melahap bagian tubuh anak Adam kecuali bekas
sujudnya. Allah mengharamkan bagi neraka untuk melahap bekas sujud tersebut.”
(HR. Bukhari no. 7437 dan Muslim no. 182)

Dalam shahih Muslim, An Nawawi menyebutkan sebuah Bab “Keutamaan sujud dan
dorongan untuk melakukannya”.

Dari Tsauban, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia ditanyakan
oleh Ma’dan bin Abi Tholhah Al Ya’mariy mengenai amalan yang dapat
memasukkannya ke dalam surga atau amalan yang paling dicintai di sisi Allah.
Tsauban pun terdiam, hingga Ma’dan bertanya sampai ketiga kalinya. Kemudian
Tsauban berkata bahwa dia pernah menanyakan hal ini pada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab,

‫عن ئتك كبتها تخكطيئتةة‬
‫جوكد لكل ستكه تفكإن ستتك ل ت تتئس ت‬
‫عل تي ئتك كبك تثئتركة ال ستس ت‬
‫جتدةة كإل ست ترتفتعتك الل ستته كبتها تدترتجةة توتح ستط ت‬
‫جتد لكل ستكه تس ئ‬
‫ت‬

“Perbanyaklah sujud kepada Allah. Sesungguhnya jika engkau bersujud sekali saja
kepada Allah, dengan itu Allah akan mengangkat satu derajatmu dan juga
menghapuskan satu kesalahanmu”.

Ma’dan berkata, “Kemudian aku bertemu Abud Darda, lalu menanyakan hal yang
sama kepadanya. Abud Darda’ pun menjawab semisal jawaban Tsauban kepadaku.”
(HR. Muslim no.488)

Juga hadits lainnya yang menceritakan keutamaan sujud yaitu hadits Robi’ah bin
Ka’ab Al Aslamiy. Dia menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai
amalan yang bisa membuatnya dekat dengan beliau di surga. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

‫أ‬
‫س أ‬
‫عينى ع أألى ن أ ل‬
‫فأأ ك‬
‫جود ك‬
‫ف ك‬
‫س ه‬
‫ك ب كك أث لأرةك ال ل‬

“Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud
(shalat).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sujud Tilawah Wajib Ataukah Sunnah?

Para ulama sepakat (beijma’) bahwa sujud tilawah adalah amalan yang
disyari’atkan. Di antara dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar:

‫قرآن فأي ل ه‬
‫كان ي ل ه‬
‫م أ‬
‫جب لهأت كهك‬
‫مو ل ك‬
‫ن أ‬
‫جد ه ب أعل ه‬
‫ه أ‬
‫س ه‬
‫س ه‬
‫س ل‬
‫قأرأ ال ل ه ل أ أ‬
‫أ أ أ‬
‫جد ه وأن أ ل‬
‫جد أة م فأي أ ل‬
‫سوأرة ة كفيأها أ‬
‫قأرأ ه‬
‫ضةعا ل ك أ‬
‫ضأنا أ‬
‫ما ي أ ك‬
‫حبتى أ‬
‫معأ ه‬
‫جد ه أ‬
‫كا ك‬

“Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca Al Qur’an yang di dalamnya
terdapat ayat sajadah. Kemudian ketika itu beliau bersujud, kami pun ikut bersujud
bersamanya sampai-sampai di antara kami tidak mendapati tempat karena posisi
dahinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kemudian para ulama berselisih pendapat apakah sujud tilawah wajib ataukah
sunnah.

Menurut Ats Tsauri, Abu Hanifah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, sujud tilawah itu wajib.

Sedangkan menurut jumhur (mayoritas) ulama yaitu Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i, Al
Laitsi, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Daud dan Ibnu Hazm, juga pendapat sahabat Umar
bin Al Khattab, Salman, Ibnu ‘Abbas, ‘Imron bin Hushain, mereka berpendapat
bahwa sujud tilawah itu sunnah dan bukan wajib.

Dalil ulama yang menyatakan sujud tilawah adalah wajib, yaitu firman Allah Ta’ala,

‫ن وأإ ك أ‬
‫ن‬
‫م ال ل ه‬
‫م أل ي هؤ ل ك‬
‫دو أ‬
‫ج ه‬
‫س ه‬
‫قلرآ ه‬
‫مهنو أ‬
‫ن أل ي أ ل‬
‫ذا قهركئأ ع أل أي لهك ه‬
‫ما ل أهه ل‬
‫فأ أ‬

“Mengapa mereka tidak mau beriman? dan apabila Al Quraan dibacakan kepada
mereka, mereka tidak bersujud.” (QS. Al Insyiqaq: 20-21).

Para ulama yang mewajibkan sujud tilawah beralasan, dalam ayat ini terdapat
perintah dan hukum asal perintah adalah wajib. Dan dalam ayat tersebut juga
terdapat celaan bagi orang yang meninggalkan sujud. Namanya celaan tidaklah
diberikan kecuali pada orang yang meninggalkan sesuatu yang wajib.

Yang lebih tepat adalah sujud tilawah tidaklah wajib, namun sunnah (dianjurkan).
Dalil yang memalingkan dari perintah wajib adalah hadits muttafaqun ‘alaih
(diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

Dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata,

‫قأأرأ ل ه أ‬
‫جد ل كفيأها‬
‫س ه‬
‫ى – صلى الله عليه وسلم – ) أوالن ب ل‬
‫م يأ ل‬
‫جم ك ( فأل أ ل‬
‫ت ع ألى الن بب ك ي‬

“Aku pernah membacakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam surat An Najm,
(tatkala bertemu pada ayat sajadah dalam surat tersebut) beliau tidak bersujud.”
(HR. Bukhari dan Muslim).

Bukhari membawakan riwayat ini pada Bab “Siapa yang membaca ayat sajadah,
namun tidak bersujud.”

Dalil lain yang memalingkan dari perintah wajib adalah perbuatan Umar bin Khattab
dan perbuatan beliau ini tidak diingkari oleh para sahabat lainnya ketika khutbah
Jum’at.
Pada hari Jum’at Umar bin Khattab pernah membacakan surat An Nahl hingga
sampai pada ayat sajadah, beliau turun untuk sujud dan manusia pun ikut sujud
ketika itu. Ketika datang Jum’at berikutnya, beliau pun membaca surat yang sama,
tatkala sampai pada ayat sajadah, beliau lantas berkata,

‫يا أ أيها الناس إنا نمر بالسجود فأمن سجد فأ أ أ‬
‫م ع أل أي لهك‬
‫س ه‬
‫صا أ‬
‫ب ه كب أ ه ل ك ل ه ك أ ل أ أ أ‬
‫م يأ ل‬
‫جد ل فأل أ إ كث ل أ‬
‫ن لأ ل‬
‫ وأ أ‬، ‫ب‬
‫قد ل أ أ‬
‫أ لأ‬
‫م ل‬
“Wahai sekalian manusia. Kita telah melewati ayat sajadah. Barangsiapa bersujud,
maka dia mendapatkan pahala. Barangsiapa yang tidak bersujud, dia tidak
berdosa.” Kemudian ‘Umar pun tidak bersujud. (HR. Bukhari no. 1077)

Dari sinilah Ibnu Qudamah mengatakan bahwa hukum sujud tilawah itu sunnah
(tidak wajib) dan pendapat ini merupakan ijma’ sahabat (kesepakatan para
sahabat). (Lihat Al Mughni, 3/96)

Tata Cara Sujud Tilawah

[Pertama]

Para ulama bersepakat bahwa sujud tilawah cukup dengan sekali sujud.

[Kedua]
Bentuk sujudnya sama dengan sujud dalam shalat.

[Ketiga]
Tidak disyari’atkan -berdasarkan pendapat yang paling kuat- untuk takbiratul ihram
dan juga tidak disyari’atkan untuk salam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,

‫حكلي م‬
‫ هأ أ‬: ‫ل‬
‫ن أل ي ه ل‬
‫م‬
‫جود ه ال ل ه‬
‫معلهروفأ ه‬
‫سن ب ه‬
‫م وأأل ت أ ل‬
‫شأرع ه كفيهك ت أ ل‬
‫س ه‬
‫ه ع أل أي لهك وأ أ‬
‫ذا ههوأ ال ل‬
‫وأ ه‬
‫سل ب أ‬
‫صبلى الل ب ه‬
‫ة ال ل أ‬
‫ري م‬
‫ي أ‬
‫ن الن بب ك ي‬
‫ة عأ ل‬
‫قلرآ ك‬
‫ح ك‬
‫أ‬
‫ل‬
‫ل‬
‫ل‬
‫أ‬
‫أ‬
‫ل‬
‫ن‬
‫ري‬
‫هو‬
‫ش‬
‫م‬
‫ل‬
‫ا‬
‫ة‬
‫م‬
‫ئ‬
‫ل‬
‫ا‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ص‬
‫صو‬
‫ن‬
‫م‬
‫ل‬
‫ا‬
‫و‬
‫ه‬
‫و‬
‫ف‬
‫ل‬
‫س‬
‫ال‬
‫ة‬
‫م‬
‫عا‬
‫ه‬
‫ي‬
‫ل‬
‫ع‬
‫و‬
‫أ‬
‫أ‬
‫أ‬
‫ك‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ك‬
‫ل‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ل‬
‫ب‬
‫ب‬
‫ب‬
‫ه‬
‫أ أ أ ه‬
‫أ ه ك أ‬
‫ل‬
‫أ‬

“Sujud tilawah ketika membaca ayat sajadah tidaklah disyari’atkan untuk takbiratul
ihram, juga tidak disyari’atkan untuk salam. Inilah ajaran yang sudah ma’ruf dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga dianut oleh para ulama salaf, dan inilah
pendapat para imam yang telah masyhur.” (Majmu’ Al Fatawa, 23/165)

[Keempat]
Disyariatkan pula untuk bertakbir ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud. Hal
ini berdasarkan keumuman hadits Wa-il bin Hujr, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir. Beliau pun bertakbir ketika
sujud dan ketika bangkit dari sujud.” (HR. Ahmad, Ad Darimi, Ath Thoyalisiy. Hasan)

[Kelima]
Lebih utama sujud tilawah dimulai dari keadaan berdiri, ketika sujud tilawah ingin
dilaksanakan di luar shalat. Inilah pendapat yang dipilih oleh Hanabilah, sebagian

ulama belakangan dari Hanafiyah, salah satu pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, dan
juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Dalil mereka adalah:
‫جدا ة‬
‫عل تي ئكهئم ي تكخ ستروتن لكل تئذتقاكن تس ست‬
‫كإتذا ي تتئتلى ت‬
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al
Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil
bersujud.” (QS. Al Isro’: 107). Kata mereka, yang namanya yakhirru (menyungkur)
adalah dari keadaan berdiri.
Namun, jika seseorang melakukan sujud tilawah dari keadaan duduk, maka ini
tidaklah mengapa. Bahkan Imam Syafi’i dan murid-muridnya mengatakan bahwa
tidak ada dalil yang mensyaratkan bahwa sujud tilawah harus dimulai dari berdiri.
Mereka mengatakan pula bahwa lebih baik meninggalkannya. (Shahih Fiqih Sunnah,
1/449)

Apakah Disyariatkan Sujud Tilawah (Dil Luar Shalat) Dalam Keadaan Suci
(Berwudhu)?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa dalam sujud tilawah disyari’atkan untuk
berwudhu sebagaimana shalat. Oleh karena itu, para ulama mensyariatkan untuk
bersuci (thoharoh) dan menghadap kiblat dalam sujud sahwi sebagaimana berlaku
syarat-syarat shalat lainnya.

Namun, ulama lain yaitu Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan
bahwa tidak disyari’atkan untuk thoharoh karena sujud tilawah bukanlah shalat.
Namun sujud tilawah adalah ibadah yang berdiri sendiri. Dan diketahui bahwa jenis
ibadah tidaklah disyari’atkan thoharoh. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu
‘Umar, Asy Sya’bi dan Al Bukhari. Pendapat kedua inilah yang lebih tepat.

Dalil dari pendapat kedua di atas adalah hadits dari Ibnu ‘Abbas. Beliau radhiyallahu
‘anhuma mengatakan,

‫أ‬
‫م ل‬
‫س‬
‫شركك هول أ‬
‫مو ل أ‬
‫س أ‬
‫جد أ كبالن ب ل‬
‫س أ‬
‫أ ب‬
‫م ل‬
‫جم ك وأ أ‬
‫م أ‬
‫ه ع أل أي لهك وأ أ‬
‫ن أوال ك‬
‫ن أوال ه‬
‫سل ك ه‬
‫ه ال ه‬
‫معأ ه‬
‫جد أ أ‬
‫سل ب أ‬
‫صبلى الل ه‬
‫ن أوال كن ل ه‬
‫ي أ‬
‫ج ل‬
‫ن الن بب ك ب‬

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan sujud tilawah tatkala
membaca surat An Najm, lalu kaum muslimin, orang-orang musyrik, jin dan
manusia pun ikut sujud.” (HR. Bukhari)

Al Bukhari membawa riwayat di atas pada Bab “Kaum muslimin bersujud bersama
orang-orang musyrik, padahal kaum musyrik itu najis dan tidak memiliki wudhu.”
Jadi, menurut pendapat Bukhari berdasarkan riwayat di atas, sujud tilawah tidaklah
ada syarat berwudhu. Dalam bab tersebut, Al Bukhari juga membawakan riwayat
bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berwudhu dalam keadaan tidak berwudhu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,

‫حكلي م‬
‫ هأ أ‬: ‫ل‬
‫ن أل ي ه ل‬
‫م‬
‫جود ه ال ل ه‬
‫معلهروفأ ه‬
‫سن ب ه‬
‫م وأأل ت أ ل‬
‫شأرع ه كفيهك ت أ ل‬
‫س ه‬
‫ه ع أل أي لهك وأ أ‬
‫ذا ههوأ ال ل‬
‫وأ ه‬
‫سل ب أ‬
‫صبلى الل ب ه‬
‫ة ال ل أ‬
‫ري م‬
‫ي أ‬
‫ن الن بب ك ي‬
‫ة عأ ل‬
‫قلرآ