Perlindungan terhadap korban dalam suatu perkara pidana sudah semestinya harus diberikan jaminan perlindungan hukum oleh Negara,
sebagaimana salah satu ciri dari Negara hukum itu sendiri, yaitu harus didasarkan atas asas kesamaan di depan hukum equality before the law.
Dari aspek hak asasi manusia, Arif Gosita menyebutkan bahwa “Perlindungan terhadap korban merupakan kewajiban asasi manusia baik
seseorang, sebagai anggota keluarga, masyarakat, maupun pemerintah “.
18
2. Pandangan Aparat Penegak Hukum
Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih
sedikitnya hak-hak korban kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan nasional. Menurut Evi Fitriastuti, Hakim Pengadilan
Negeri Sukoharjo memberikan pandangan mengenai perlunya upaya-upaya konkrit perlindungan hak dan kepentingan korban tindak pidana yang dapat
dilakukan, yaitu:
19
a Dengan cara penggabungan perkara ganti rugi, untuk memberikan perlindungan hukum hak-hak korban, maka hakim melalui jaksa
untuk menjembatani kedua belah pihak agar melakukan perdamaian dan kesepakatan ganti kerugian yang terjadi dengan menceritakan kronologi
kejadian dan hukuman yang akan di kenakan kepada pelakuterdakwa. Dengan cara seperti itu diharapkan keluarga terdakwa mau mencicil ganti
kerugian yang dialami korban atau keluarganya; b Perlunya upaya hukum lebih lanjut mengenai perlindungan korban dengan melihat kondisi si korban
tersebut demi terwujudnya restoratif justice.
18
Arif Gosita, 2000, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Penerbit Akademika Pressindo, hal. 41.
19
Evi Firtiastuti, Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo, Wawancara Pribadi, Sukoharjo, 7 Oktober 2013, pukul 08:00 WIB.
Mengingat bahwa korban dalam hukum pidana berada dalam posisi sentral, karena korban adalah orang yang paling dirugikan dengan adanya
tindak pidana tersebut. Dengan demikian, sudah seharusnya posisi korban dan masyarakat dalam hukum pidana haruslah berada dalam sistem peradilan
pidana dan juga menjadi tujuan dari pemidanaan untuk dilibatkan dalam proses penyelesaian perkara pidana. Penyelesaian perkara pidana diharapkan
menguntungkan bagi semua pihak antara pelaku, korban, dan masyarakatpun menjadi wacana yang menarik dalam hukum pidana di Indonesia.
Berdasarkan hal itu maka diperlukan adanya perubahan pandangan baru dalam sistem hukum pidana, yang dimana dengan melihat dari sikap dan
perilaku tersangkaterdakwa terhadap korban sesudah terjadinya tindak pidana, kepribadian keseharian tersangkaterdakwa, serta komitmen terhadap
penyelesaian kasus yang dihadapinya. Sikap dan perilaku tersangkaterdakwa dapat dilihat bagaimana tersangkaterdakwa menghargai korban, menyesali
perbuatan yang telah dilakukan, meminta maaf terhadap korban dan memberikan santunan atau bantuan. Kepribadian keseharian, pernah
melakukan perbuatan tindak pidana atau tidak. Sementara itu, perilaku tersangkaterdakwa dalam proses peradilan pidana dapat menjadi
pertimbangan hukuman yang meringankan atau memberatkannya.
Penutup
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis dapat disimpulkan bahwa: 1 Perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses
penyelesaian perkara pidana di kabupaten Sukoharjo yaitu hanya diberikan pada urgensi kasusnya atau bergantung kepada penderitaankerugian yang
diderita oleh korban tindak pidana, seperti kasus terhadap anak, KDRT, penganiayaan luka ringan, kecelakaan lalu lintas baik luka ringan. Untuk
penganiayaan luka berat dan kecelakaan lalu lintas dengan meninggalnya seseorang, berkas perkara tetap berjalan walaupun sudah terjadi perdamaian
antara kedua belah pihak. Sementara itu, dalam kasus-kasus pembunuhan, asusila atau pemerkosaan, perampokan dan lain sebagainya, belum
sepenuhnya para aparat penegak hukum memberikan perlindungan terhadap korbankeluarga korban tindak pidana; 2 Kendala-kendala yang timbul
dalam perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses penyelesiaan perkara pidana di kabupaten Sukoharjo: a Pelaku kriminal sendiri, dimana
pelaku kejahatan tersebut sangat pandai dalam melakukan kejahatan sehingga tidak ketahuan atau tidak tertangkap; b Sikap masyarakat, dimana sikap
masyarakat yang acuh tak acuh dalam menghadapi kriminalitas yang terjadi di lingkungannya, sehingga masyarakat kurang peka dalam menghadapi
kejahatan yang terjadi; c Ganti kerugian yang diberikan pelaku terhadap si korban tidak sesuai dengan apa yang diharapkan si korban karena
keterbatasan ekonomi pelaku tindak pidana; d Untuk kerugian immateriil dalam perkara pidana tidak bisa dilakukan. 3 Selama ini para aparat penegak
hukum belum bersikap pro-aktif dalam pemberian perlindungan hak dan kepentingan korban tindak pidana. Para korban tindak pidana tidak
mengetahui tentang adanya gugatan ganti kerugiaan yang dapat mereka ajukan dalam proses penyelesaian perkara pidana. Masih banyak masyarakat
yang tidak tahu tentang apa saja hak-haknya sebagai korban tindak pidana dan bagaimana cara mendapatkan hak-haknya tersebut sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4 Perlindungan hak dan
kepentingan korban tindak pidana dapat dilakukan dengan cara, yaitu: penggabungan perkara gugatan ganti rugi dan upaya hukum mengenai
perlindungan korban dengan meminta bantuan perlindungan baik dari aparat penegak hukum maupun dari lembaga swadaya masyarakat yang bergerak
dalam perlindungan korban tindak pidana. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka penulis
dapat memberikan saran sebagai berikut: 1 Dengan minimnya komponen hukum maupun mengenai pendanaan dalam penegakkan perlindungan korban
hendaknya tidak menjadikan hukum itu lemah dan tidak efektif; 2 Khusus mengenai formulasi hukum perlindungan hak-hak korban, hendaknya
dijadikan satu dalam sebuah undang-undang yang mencakup semua perlindungan hukum bagi semua orang dalam satu sistem hukum yang
namanya adalah hukum perlindungan masyarakat, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat tentang apa-apa yang dilindungi oleh hukum; 3
Perlindungan hukum bagi korban dalam proses peradilan pidana sangat diperlukan, karena selama ini korban merasa tidak mendapat perlindungan
oleh hukum, di sini diperlukan peran aktif para aparat penegak hukum dalam menyampaikan informasi kepada korban tentang apa saja hak-haknya dan
bagaimana cara memperoleh hak-haknya tersebut; 4 Penegak hukum harus lebih memperhatikan kondisi dan keadaan korban, karena seorang korban
telah mendapat kerugian immateriil dan materiil. Kerugian immateriil dan materiil ini dapat dilakukan dan diberikan kepada korban atau keluarganya
tinggal bagaimana kebijaksanaan aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan kepada korban tindak pidana, untuk meringankan beban
penderitaan korban atau keluarganya.
DAFTAR PUSTAKA
Adi Nugroho, Susanti, 2009, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Telaga Ilmu Indonesia.
Asshiddiqie, Jimly, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.
Atmasasmita, Romli, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Chaerudin Syarif Fadillah, 2004, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi Hukum Pidana Islam, Jakarta: Grahadhika Press.
Gosita, Arif, 2000, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Penerbit Akademika Pressindo.
Gosita, Arif, 2004, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer – Kelompok Gramedia.
Howard Zehr Barb Toews eds, 2004, Critical Issues in Restorative Justice, New York: Criminal Justice Press.
Manan, Bagir, 2006, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam Varia Peradilan No. 248 Juli 2006.
Muhammad, Rusli, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Muladi, 2005, HAM Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, dalam Muladi, ed., Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam
Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung: Refika Aditama. Raharjo, Satjipto, 2010, Masalah Penegakan Hukum, Yogyakarta: Genta
Publishing. Reksodiputro, Mardjono, 2007, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana,
Jakarta: Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia. Robert Bodgan Steven J. Taylor, 1993, Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian
Diterjemahkan oleh A. Khizin Afandy, Surabaya: Usaha Nasioanal. Soekanto, Soerjono, 2010, Faktor-faktor Yang Memengaruhi Penegakan Hukum,
Yogyakarta: Genta Publishing. Soerjono dan Abdulrahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka
Cipta.
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto da Fakultas Hukum UNDIP.
Sadli, Saparinah, 2000, Pemberdayaan Peremouan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Dalam T.O. Ihromi dkk Eds., Penghapusan Diskriminasi
Terhadap Wanita, Bandung: Alumni. Sudaryono Natangsa Surbakti, 2005, Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana,
Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sunggono, Bambang, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja grafindo
Persada. Serikat Putra Jaya, Nyoman, 2006, Sistem Peradilan Criminal Justice System,
Bahan Kuliah, Porgram Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. Syamsudin, M., 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
Persada. Termorshuizen, Marjane, 1999, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Jakarta:
Penerbit Djambatan. Wisnubroto, Al., 2002, Praktek Peradilan Pidana Proses Persidangan Perkara
Pidana, Jakarta: PT. Galaxy Puspa Mega. Zehr, Howard, 2002, The Little Book of Restorative Justice, Pennsylvania:
Intercourse. Zehr,Howard, 2001, Transcending Reflcxions of Crime victims, Pennsylvania:
Intercourse. Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 Tentang
Kompensasi, Restituti, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat.