Funcional Interaction of Squid (Loligo chinensis. Gray 1849) Egg Attachment on Atractor Squid Aggregate Device in Tuing Sea Bangka Regency

INTERAKSI FUNGSIONAL PENEMPELAN TELUR CUMI (Loligo
chinensis. Gray, 1849) PADA MODIFIKASI RUMPON ATRAKTOR
CUMI DI PERAIRAN TUING KABUPATEN BANGKA

INDRA AMBALIKA SYARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul : “Interaksi Fungsional
Penempelan Telur Cumi (Loligo chinensis, Gray. 1849) pada Modifikasi
Rumpon Atraktor Cumi di Perairan Tuing Kabupaten Bangka” adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar

Pustaka di bagian akhir thesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Indra Ambalika Syari
NIM C55110011

RINGKASAN
INDRA AMBALIKA SYARI. Interaksi Fungsional Penempelan Telur Cumi (Loligo
chinensis. Gray, 1849) pada Modifikasi Rumpon Atraktor Cumi di Perairan Tuing
Kabupaten Bangka. Dibimbing oleh MUJIZAT KAWAROE and MULYONO S.
BASKORO

Jumlah armada dan modernisasi alat tangkap tidak diiringi dengan program
pengkayaan stok cumi-cumi. Rumpon atraktor cumi merupakan salah satu teknologi tepat
guna untuk pengembangan program pengkayaan stok cumi di masa yang akan datang.
Bentuk dan bahan pembuat rumpon atraktor cumi saat ini kurang aplikatif dengan kondisi
nelayan kecil dan di daerah terpencil. Oleh karena itu dirancang modifikasi model
rumpon atraktor cumi yang lebih sederhana menggunakan bahan yang relatif murah dan
mudah diperolah sesuai dengan potensi lokal di daerah.

Penelitian ini dilakukan di Perairan Tuing Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung pada bulan Oktober 2012 – Juni 2013 dengan menggunakan 12 unit
rumpon atraktor cumi. Rumpon atraktor cumi yang digunakan terdiri dari dua jenis yaitu
bentuk kotak dari bahan kayu dan bentuk silindris dari bahan drum bekas dengan jumlah
masing-masing tiap jenis 6 unit. Rumpon atraktor cumi ditenggelamkan pada kedalaman
3 meter dan 5 meter dengan waktu pengamatan sebanyak 5 kali.
Hasil uji-t menunjukkan bahwa faktor waktu pengamatan dan bentuk rumpon yang
paling mempengaruhi penempelan telur cumi-cumi pada rumpon. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penempelan telur cumi-cumi lebih efektif pada rumpon bentuk
silindris, kedalaman 3 meter dan pada waktu November – Desember 2012. Waktu
pengamatan pada November – Desember 2012 diprediksi sebagai waktu pemijahan cumicumi di lokasi penelitian karena banyak kapsul telur cumi-cumi yang menempel pada
rumpon atraktor cumi bentuk silindris. Rumpon atraktor cumi bentuk silindris lebih
tertutup dan terlindung sehingga cumi-cumi lebih menyukai untuk menempelkan telurnya
dibanding rumpon atraktor bentuk kotak. Selama lima kali pengamatan penelitian, dari 12
unit rumpon atraktor cumi yang diteliti ditemukan sebanyak 3.449 kapsul telur yang
menempel dengan jumlah telur sebanyak 3 – 6 telur cumi-cumi. Jenis ikan yang selalu
ditemui pada lokasi penenggelaman rumpon atraktor cumi adalah Lutjanus lutjanus.
Kata kunci : cumi-cumi, pengkayaan stok, rumpon atraktor cumi, telur cumi-cumi

SUMMARY

INDRA AMBALIKA SYARI. Funcional Interaction of Squid (Loligo chinensis. Gray
1849) Egg Attachment on Atractor Squid Aggregate Device in Tuing Sea Bangka
Regency. Supervised by MUJIZAT KAWAROE and MULYONO S. BASKORO

Numbers of armada and fishing gear modernisation are not accompanied by squid
stock enrichment program. Atractor squid aggregate device is one of the efficient
technology for squid stock enrichment program development in the future. Atractor squid
aggregate device form and material recently are less applicative for fisherman condition
in the remote area. Therefore atractor squid aggregate device model modified to become
less complicated by using cheaper and easy to find material based on local potency in the
area.
This research was conducted in Tuing Sea, Bangka Regency, Bangka Belitung
Province since October 2012 until June 2013 by using 12 units of atractor squid
aggregate device. There are two type of squid aggregates devices in this research which
are 6 units square form with wood material and 6 units cylindrical form made from used
drum. Each atractor squid aggregate device drowned in 3 meter and 5 meter depth and
monitored 5 times.
The result of t-test show that time of monitoring factor and atractor squid
aggregate device form are two factors which most influenced the squid eggs attachment
to aggregate device. The result of research shows that squid eggs attach effectively to

cylindrical form Squid aggregatee device, 3 meter depth and in November – Desember
2012. Monitoring in November-December 2012 was predicted as time of squid spawning
in the study site because of many egg capsules of squid attached. Atractor squid
aggregate device that cylindrical form was more enclosed and protected so squids prefer
to attach their eggs than rumpon atractor that box form. During the five times monitoring
of the study, from 12 units of atractor squid aggregate device that surveyed were found
as many as 3,449 egg capsules attached with the number of capsules as many as 3-6 eggs
of squid. Spesies of fish that are always found in the location of the drowned of atractor
squid aggregate device is Lutjanus lutjanus.

Key words : squid, stock enrichment, atractor squid aggregate device, squid egg

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB


INTERAKSI FUNGSIONAL PENEMPELAN TELUR CUMI (Loligo
chinensis. Gray, 1849) PADA MODIFIKASI RUMPON ATRAKTOR
CUMI DI PERAIRAN TUING KABUPATEN BANGKA

INDRA AMBALIKA SYARI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Dietriech G Bengen, DEA

Judul Tesis : Interaksi Fungsional Penempelan Telur Cumi (Loligo chilensis. Gray,

1849) pada Modifikasi Rumpon Atraktor Cumi di Perairan Tuing
Kabupaten Bangka
Nama

: Indra Ambalika Syari

NIM

: C551110011

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Mujizat Kawaroe, MSi
Ketua

Prof Dr Ir Mulyono S. Baskoro, MSc
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi
Ilmu Kelautan

Dr Ir Neviaty Putri Zamani, MSc

Tanggal Ujian : 27 Desember 2013

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Lulus : 27 Desember 2013

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
izinNya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul penelitian Interaksi
Fungsional Penempelan Telur Cumi (Loligo chinensis. Gray, 1849) pada
Modifikasi Rumpon Atraktor Cumi di Perairan Tuing Kabupaten Bangka.
Tesis ini tidak akan terwujud tanpa ada sumbangan pikiran dan tenaga dari

berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :








Dr Ir Mujizat Kawaroe, MSi sebagai Pembimbing I dan Prof Dr Ir
Mulyono S. Baskoro MSc sebagai Pembimbing II penelitian tesis.
Keluarga tersayang (orang tua, mertua, istri dan anak) sebagai sumber
motivasi dalam berjuang.
Dr Ir Neviaty P. Zamani, MSc dan Prof. Dr. Ir Dietriech G. Bengen,
DEA yang banyak memberikan masukan untuk kesempurnaan tesis
ini.
Teman-teman senasib sesama mahasiswa program studi Ilmu Kelautan
– IPB 2011 atas kebersamaan dan keceriaan, spesial untuk Tim
”Scientific Mistake”.
Saudara seperantauan di Ikatan Mahasiswa Bangka (ISBA) Bogor

untuk sharing semangat dan inspirasi.
Universitas Bangka Belitung, Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung dan Yayasan Sayang Babel Kite (SBK) atas bantuan selama
kuliah dan penelitian.
Tiko Pajri, Marwazi dan Bapak Wawan Oktariza yang banyak
membantu selama pengambilan data di lapangan.

Penulis menyadari bahwa isi tesis ini masih jauh dari sempurna. Namun,
terlepas dari kesempurnaan tersebut, penulis berharap tesis ini setidaknya bisa
memberikan sedikit sumbangan bagi perkembangan penelitian cumi-cumi di
Indonesia. Penulis mohon maaf apabila ada kesalahan di dalam tesis ini. Semoga
tesis ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2014

Indra Ambalika Syari

ii

DAFTAR ISI


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Distribusi Cumi-cumi
Reproduksi Cumi-cumi
Rumpon Atraktor Cumi
3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Alat dan Bahan Penelitian
Prosedur Penelitian
Penentuan Lokasi Penelitian
Penenggelaman Rumpon Atraktor Cumi

Waktu Pengamatan
Prosedur Pengambilan Data
Pengukuran Parameter Oseanografi
Pengambilan Data Telur Cumi-cumi
Pengambilan Data Ikan
Prosedur Analisis Data
Tingkat Keefektifan Rumpon Atraktor Cumi
Uji Perbedaan Jenis, Waktu Pengamatan, Kedalaman dan Faktor
Lingkungan Terhadap Penempelan Telur Cumi-cumi
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Perairan Tuing
Titik Penenggelaman Rumpon Atraktor Cumi
Parameter Oseanografi
Penempelan Telur Cumi-cumi pada Rumpon Atraktor Cumi
Ikan Pada Rumpon Atraktor Cumi
Tingkat Keefektifan Rumpon Atraktor Cumi
Analisis Pengaruh Kedalaman, Waktu Pengamatan, dan Jenis Rumpon
Atraktor Cumi Terhadap Penempelan Telur Cumi-cumi
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT PENULIS

iii

ii
iii
iii
iv
1
1
2
3
3
5
5
6
8
9
9
10
12
12
13
13
14
14
14
15
15
15
15
17
17
18
18
19
26
27
29
32
32
32
33
40

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Parameter físika dan kimia perairan dan substrat yang diukur
Alat bantu dalam penelitian
Form input data penempelan kapsul telur cumi-cumi
Parameter fisika kimia Perairan Tuing
Tekstur Substrat di Perairan Tuing
Jumlah penempelan kapsul telur cumi-cumi pada rumpon atraktor cumi
Jenis ikan yang ditemukan pada lokasi penenggelaman rumpon
Tingkat keefektifan rumpon atraktor cumi
Analisa pengaruh waktu pengamatan, kedalaman dan jenis rumpon
terhadap penempelan telur cumi-cumi
10 Hasil analisa Two-way Anova untuk faktor perlakuan waktu pengamatan
dan jenis rumpon
11 Hasil analisa Two-way Anova untuk faktor perlakuan kedalaman dan
jenis rumpon
12 Hasil analisa Two-way Anova untuk faktor perlakuan waktu pengamatan
dan kedalaman

11
12
16
18
19
19
26
27
30
39
39
39

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

8
9
10
11
12
13
14

Kerangka Pikir Penelitian
Foto Loligo chinensis. Gray, 1849. tampak dorsal (A) dan ventral (B)
Peta lokasi penelitian (ditunjukkan pada titik merah).
Desain bentuk kotak dari rangka kayu dan penutup waring
Desain bentuk silindris dari bahan drum bekas
Pola susunan rumpon atraktor cumi dalam kawasan perairan
Kondisi rumpon pada pengamatan ke 3 (A; rumpon atraktor cumi bentuk
kotak yang tersisa. B; rumpon bentuk silindris yang tertimbun substrat. C;
atraktor dari tali rami yang rusak. D; telur cumi-cumi yang sebagian
kondisinya telah rusak dimakan predator)
Jumlah penempelan kapsul telur cumi-cumi tiap waktu pengamatan
Jumlah penempelan kapsul telur cumi-cumi di kedalaman 3 dan 5 meter
Kapsul telur cumi-cumi yang belum hancur
Kerusakan yang terjadi pada rumpon saat pengamatan ke 4 di kedalaman
3 meter
Jumlah penempelan kapsul telur cumi pada rumpon atraktor cumi bentuk
kotak dan silindris
Rumpon atraktor cumi bentuk kotak (kiri) dan silindris (kanan) yang
ditempel oleh telur cumi-cumi pada hasil pengamatan ke 5
Diagram lingkaran korelasi antara parameter fisika kimia perairan dan
komposisi substrat dengan waktu monitoring penempelan telur cumi
dengan proyeksi sumbu faktor 1 dan 2 (kiri) serta faktor 1 dan 3 (kanan)

iv

4
5
9
10
11
12

19
21
22
23
24
25
26

33

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Foto pembuatan dan penenggelaman rumpon cumi di Perairan Tuing
Kondisi telur cumi-cumi yang menempel pada rumpon atrkator cumi
Biota-biota yang hidup disekitar dan yang menempel pada rumpon
atraktor cumi
4 Hasil Ujit t untuk pengaruh masingmasing faktor perlakuan; waktu
pengamatan, kedalaman dan jenis rumpon
5 Tabel Two-way Anova : Two Faktor With Replication

v

35
36
37
38
39

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan sektor
perikanan cumi-cumi. Hal ini karena Indonesia memiliki laut yang luas sebagai
kawasan tangkap maupun pengembangan budidaya cumi-cumi. Cumi-cumi
termasuk jenis makanan laut favorit bagi banyak orang sehingga harga cumi-cumi
di pasaran relatif tinggi dan stabil. Cumi-cumi merupakan komoditi ekspor
Indonesia dengan nilai tertinggi kedua untuk komoditi non ikan setelah udang.
Permintaan cumi-cumi tertinggi adalah dari negara Italia dan Korea kemudian
diikuti oleh Taiwan dan Jepang. Nilai ekspor cumi-cumi Tahun 2005 Indonesia
sebesar US$ 42.380 (Samudera, Edisi 48, September 2006). Saat musim cumicumi melimpah, komoditi ini dapat diolah menjadi produk olahan cumi kering
atau cumi asin dengan harga yang lebih tinggi dan memiliki waktu pemanfaatan
yang lebih lama. Selain itu, cumi-cumi merupakan bahan baku utama untuk
berbagai produk olahan makanan khas seperti kerupuk dan beberapa jenis
makanan lainnya.
Kerusakan ekosistem pesisir di Indonesia telah menjadi permasalahan yang
tak dapat dipungkiri. Tingginya aktivitas yang berhubungan dengan ekosistem
pesisir membuat laju kerusakan ekosistem pesisir semakin meningkat dari waktu
ke waktu. Padahal ekosistem ini merupakan daerah pemijahan (spawning ground)
dan daerah pembesaran (nursery ground) yang sangat penting bagi cumi-cumi.
Kerusakan habitat ini mengakibatkan hasil tangkapan cumi-cumi di daerah pesisir
cenderung semakin berkurang. Selain permasalahan diatas, teknologi
penangkapan cumi-cumi di Indonesia pun sampai saat ini masih relatif tradisional
terutama yang diterapkan oleh nelayan tradisional di daerah terpencil atau pulaupulau kecil. Cumi-cumi masih diperoleh dari hasil tangkapan di alam sehingga
jumlahnya sangat bergantung dengan kondisi alam. Budidaya cumi-cumi hingga
saat ini masih dalam tahap penelitian belum pada tahap ekonomis karenanya
dibutuhkan suatu teknologi tepat guna dan aplikatif oleh masyarakat sehingga
dapat memperkaya sumberdaya perikanan khususnya cumi-cumi di suatu kawasan
perairan.
Rumpon atraktor cumi merupakan salah satu jenis rumpon dasar yang awalnya
dikembangkan di Negara Jepang dengan tujuan utama memperkaya sumberdaya
cumi-cumi di suatu kawasan perairan (Baskoro dan Mustaruddin 2006). Beberapa
penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa rumpon atraktor cumi telah berhasil
menjadi tempat menempel telur cumi-cumi. Selain itu, rumpon atraktor cumi
berfungsi sebagai artificial reef yang menjadi daerah baru bagi tempat ikan,
karang lunak dan makroalga sehingga menjadi suatu ekosistem baru di suatu
perairan. Namun, bentuk dan bahan pembuat rumpon atraktor cumi saat ini dinilai
kurang aplikatif dengan kondisi nelayan kecil di daerah-daerah terpencil.
Karenanya perlu dirancang modifikasi bentuk rumpon atraktor cumi yang lebih
sederhana dengan menggunakan bahan yang relatif murah dan mudah diperolah
sesuai dengan potensi lokal di daerah masing-masing. Berdasar urairan diatas,
penelitian interaksi fungsional penempelan telur cumi-cumi dengan modifikasi
rumpon atraktor cumi di lokasi penenggelaman rumpon menjadi sangat penting

2

untuk dilakukan sehingga dapat menjadi rekomendasi bahwa hasil modifikasi
rumpon atraktor cumi ini dapat diterapkan kepada masyarakat nelayan pesisir.
Penelitian ini dilakukan di Pulau Bangka yang sudah dikenal sebagai
penghasil Cumi Bangka (Loligo chinensis). Spesies cumi ini sebenarnya terdapat
pula di perairan lain di Indonesia tapi karena ditangkap di perairan Pulau Bangka
sehingga dikenal dengan nama dagang “Cumi Bangka”. Harga Cumi Bangka
dijual lebih mahal di swalayan-swalayan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) dengan selisih hingga Rp 10.000/kg
jika dibandingkan dengan cumi jenis yang sama namun ditangkap di daerah lain.
Hal ini menunjukkan bahwa peminat Cumi Bangka cukup banyak meskipun
kondisinya sudah tidak segar saat dijual di swalayan. Selain harganya yang lebih
mahal, Cumi Bangka pun menjadi bahan baku utama dalam pembuatan berbagai
produk makanan khas Pulau Bangka dan Belitung seperti kripik cumi (kricu),
getas dan kerupuk.
Laporan pendaratan komoditi perikanan di Pelabuhan Perikanan Nusantara
(PPN) Sungailiat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mulai dari Januari 2007
sampai Juli 2012 menunjukkan hasil tangkapan yang cenderung menurun secara
berturut-turut adalah 166.567 kg (2007), 189.527 kg (2008), 166.517 kg (2009),
246.262 kg (2010), 24.681 kg (2011) dan 58.687 kg (Juli 2012). Ironisnya,
meskipun terkenal dengan penghasil Cumi Bangka, laju kerusakan ekosistem
pesisir di Pulau Bangka sangat tinggi terutama sejak izin pertambangan timah
diberlakukan dengan izin pemerintah daerah dan penambangan illegal yang
dilakukan oleh masyarakat di laut menyebabkan sedimentasi yang semakin tinggi
di perairan Pulau Bangka akibat tailing tambang yang langsung dibuang ke laut.
Hasil penelitian Firdaus et al. 2010 menunjukan nilai rata-rata Total Suspended
Solid di perairan Pulau Bangka diambang batas baku mutu untuk kehidupan biota
karang yaitu 41,5 mg/L. Hal ini menyebabkan laju kerusakan ekosistem pesisir
dibeberapa lokasi di Pulau Bangka semakin tinggi dan membuat Cumi Bangka
pun semakin sedikit dan harganya semakin mahal. Karenanya, penelitian melihat
interaksi fungsional antara penempelan telur cumi-cumi dengan rumpon atraktor
cumi modifikasi menjadi sangat penting untuk dilakukan sebagai solusi dari
permasalahan di daerah Pulau Bangka khususnya dan daerah-daerah lain pada
umumnya di Indonesia.

Perumusan Masalah
Salah satu indikator kunci dalam menilai interaksi fungsional penempelan
telur cumi-cumi dengan modifikasi rumpon atraktor cumi di suatu perairan adalah
keberhasilan penempelan telur cumi-cumi pada rumpon atraktor cumi. Selain itu
rumpon atraktor cumi menjadi habitat baru bagi berbagai biota laut lainnya. Oleh
Karena itu bentuk, jenis bahan, musim dan kedalaman penenggelaman menjadi
faktor yang sangat penting untuk diketahui dan dianalisis. Dari uraian diatas,
dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah perbedaan jenis rumpon, kedalaman, dan waktu penenggelaman
rumpon atraktor cumi berpengaruh terhadap penempelan telur cumi-cumi?
2. Apakah rumpon atraktor cumi dapat menjadi artificial reef yang baik
sebagai tempat berkumpulnya ikan dan biota laut lainnya?

3

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengkaji efektifitas rumpon atraktor cumi berdasarkan modifikasi bentuk
dan bahan rumpon atraktor cumi.
2. Mengkaji kedalaman yang disukai oleh cumi-cumi untuk menempelkan
telurnya.
3. Mengkaji pengaruh waktu pengamatan terhadap penempelan telur cumicumi pada rumpon atraktor cumi.
4. Menentukan faktor perlakuan yang paling mempengaruhi terhadap
penempelan telur cumi-cumi pada rumpon termasuk interaksi antar
perlakuan.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai :
1. Model rumpon atraktor cumi yang dapat berfungsi untuk penempelan telur
cumi-cumi sehingga dapat digunakan sebagai sarana pengkayaan stok
cumi-cumi maupun jenis ikan dasar.
2. Memberikan informasi pengaruh kedalaman, dan waktu yang disukai oleh
cumi-cumi untuk menempelkan telur.
3. Memberikan informasi rumpon atraktor cumi yang efektif sebagai
artificial reef.
4. Memperkaya khasanah penelitian untuk program pengkayaan stok dan
budidaya cumi-cumi di Indonesia.

4

- Stok cumi-cumi yang semakin menurun
- Belum ada usaha pengkayaan stok cumi-cumi
- Habitat bertelur cumi-cumi banyak yang rusak
Rumpon Atraktor Cumi (2 tipe)

Kedalaman

Waktu

Kondisi
Lingkungan

Habitat
cumi-cumi

Penenggelaman

Pemantauan

Jumlah penempelan
telur cumi-cumi

jenis ikan

Kedalaman, Musim dan Jenis
rumpon atraktor cumi yang paling
sesuai
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi dan Distribusi Cumi-Cumi
Cumi-cumi termasuk dalam class Cephalopoda subclass Coleoidea (termasuk
pula sotong dan gurita) famili Loligonidae. Famili ini terdiri dari lima genus dan
ditemukan lebih dari 40 spesies di perairan dunia (Norman 2003). Sebanyak 13
spesies cumi-cumi dijumpai di Indonesia. Beberapa jenis cumi-cumi yang ada di
Indonesia yang mempunyai nilai jual cukup tinggi seperti Loligo duvaucelli,
Loligo edulis, dan Sepioteuthis lessoniana (Hamzah 1991 dalam Baskoro et al.
2011). Sepiotheutis lessoniana termasuk dalam jenis cumi-cumi dalam famili
Loliginidae tapi bentuk mantelnya sekilas hampir sama dengan sotong sehingga
cumi S. lessoniana atau bigfin squid ini lebih dikenal dengan nama sotong. Siklus
hidupnya relatif singkat yaitu: 4 bulan, dan pertumbuhannya meningkat drastis
setelah berumur lebih dari 10 minggu (Delianis dan Murdjani 2008).
Cumi Bangka (Loligo chinensis) merupakan jenis cumi-cumi yang menjadi
tangkapan utama bagi nelayan di Indonesia. Cumi-cumi ini memiliki panjang
tubuh rata-rata 30 cm. Secara lengkap klasifikasi Cumi Bangka menurut Norman
2003 adalah sebagai berikut:
Phylum
Kelas
Ordo
Family
Genus
Spesies
Nama Lokal

: Mollusca
: Cephalopoda
: Decapoda
: Loligonidae
: Loligo
: Loligo chinensis. Gray, 1849.
: Cumi Bangka

Gambar 2. Foto Loligo chinensis. Gray, 1849. tampak dorsal (A) dan ventral (B).

6

Famili Loligonidae merupakan perenang cepat dan ditemukan pada perairan
pantai hingga kedalaman maksimum sekitar 400 meter. Beberapa spesies cumicumi hidup sampai di perairan payau. Cumi-cumi digolongkan sebagai organisme
damersal karena sering berada di dasar perairan. Cumi-cumi melakukan
pergerakan diurnal, yaitu pada siang hari akan berkelompok dekat dasar perairan
dan akan menyebar pada kolom perairan pada malam hari (Brodziak and
Rosenberg 1993).
Anderson and Rodhouse (2001) menyatakan bahwa populasi cumi-cumi tidak
dipengaruhi secara langsung oleh kejadian atau peristiwa yang terjadi pada
perairan skala luas tapi lebih dipengaruhi oleh kondisi mereka dalam lingkungan
lokal. Cumi-cumi menghuni perairan dengan suhu antara 8 - 32 oC dan salinitas
8,5 - 30 o/oo. Terjadinya kelimpahan cumi-cumi ditunjang oleh adanya zat hara
yang terbawa oleh arus dari daratan (run off). Zat hara tersebut dimanfaatkan oleh
fithoplankton yang selanjutnya dimanfaatkan oleh zooplankton, juvenil ikan
ataupun ikan-ikan kecil yang merupakan makanan cumi-cumi (Tasywiruddin
1999 dalam Tallo 2006). Setiap setiap jenis cumi-cumi memiliki selang ketahanan
yang berbeda-beda. Illex argentinus tidak ditemukan pada perairan dengan suhu
dibawah 11,5 oC (Sakai et al. 1998 dalam Anderson and Rodhouse 2001). Pada
usaha pembesaran S. lessoniana yang telah dibudidayakan skala laboratorium
diketahui bahwa konsentrasi amonia dan nitrit tidak lebih dari 0,1 mg/L, nitrat
tidak lebih dari 50 mg/L dan pH 7,9 – 8,1 merupakan selang yang baik untuk
ketahanan dan reproduksi cumi jenis ini (Walsh et al. 2002).
Cumi-cumi biasanya bermigrasi secara bergerombol (schooling). Migrasi
harian cumi-cumi dipengaruhi pula oleh kehadiran predator dan penyebaran
makanan. Cumi-cumi dewasa pada umumnya bermigrasi ke daerah pemijahan
secara bergerombol. Genus Ommastrephid diketahui memijah di daerah lepas
pantai sedangkan Loligonidae memijah di dekat pantai (in shore). Pada waktu
bermigrasi ke daerah dekat pantai untuk memijah, cumi-cumi jantan dari genus
Loligo tiba lebih dahulu di pantai dari betina. Cumi-cumi akan segera
meninggalkan suatu lingkungan perairan yang telah tercemar dan mencari
perairan yang lebih baik (Sauer et al. 1999).
Secara vertikal Loligo chinensis hidup mulai dari perairan pantai hingga
kedalaman 170 meter. Cumi ini tersebar di perairan bagian barat Samudera
Pasifik; Laut Cina Selatan dan Timur hingga Jepang, Laut Arafuru, bagian timur
laut perairan Australia hingga New South Wales (Roper et al. 1984). Loligo
chinensis banyak menjadi tangkapan nelayan Thailand, Hongkong dan China
(Norman 2003).
Reproduksi Cumi-cumi
Iwata et al. 2010 mengemukakan bahwa pada Cephalopoda, selain dari
Nautilus, adalah monocyclic atau bereproduksi sekali dalam musim bertelur. Jenis
ini kemudian dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu : (1) Peneluran
terminal simultan (simultaneous terminal spawning) dimana spesies ini membuahi
telur-telur dengan serentak. Pada kelompok ini, berat mantel menurun saat cumi
berkembang selama proses pematangan telur. Tidak ada pertumbuhan somatik
namun terjadi pematangan oocyte selama masa bertelur. (2) Peneluran berkali-kali
(multiple spawning), spesies ini membuahi sebagian dari telurnya dan kemudian

7

membuahi telurnya pada beberapa kumpulan yang terpisah. Pertumbuhan somatik
terus berlanjut dan terpisah antara aktivitas peneluran (terjadi sehari dalam sebuah
kumpulan hamparan telur). (3) Peneluran yang terjadi sedikit-sedikit (Intermittent
terminal spawning), hampir sama dengan pola reproduksi jenis ke-2, tapi
pertumbuhan somatik tidak teramati antara hari-hari saat proses peneluran. (4)
Peneluran berlanjut (continous spawning), spesies ini menghasilkan telur dalam
kantung/kapsul telur secara terus menerus dan tidak berhenti setelah proses
peneluran. Pertumbuhan somatis tetap terjadi selama masa peneluran. Spesies dari
famili Loligonidae seperti L. bleekeri termasuk dalam intermittent terminal
spawning kecuali pada L. opalescens yang termasuk dalam simultaneous terminal
spawning (Rocha et al. 2001).
Reproduksi Loligo spp. berlangsung secara seksual, dimana memiliki organ
reproduksi berumah dua (dioseus). Alat reproduksinya terpisah, masing-masing
dengan gonad yang terletak dekat ujung rongga mantel bagian dorsal. Organ
reproduksi jantan terdiri dari testis dan struktur untuk melepaskan sperma dalam
paket yang disebut dengan spermatofor. Organ reproduksi betina menghasilkan
telur yang besar dengan yolk dan termodifikasi oleh kelenjar khusus dimana akan
mengeluarkan gel yang akan membungkus telur (kapsul). Kapsul tersebut akan
mengeras setelah terekspos air laut (Miller and Harley. 2001).
Sudjoko (1989) dalam Omar (2002) menemukan bahwa cumi-cumi sirip besar
(Sepiotheutihis lessoniana) yang hidup di Teluk Banten mencapai 50% matang
gonad pada bulan April dan Oktober. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
pemijahan cumi sirip besar terjadi pada awal musim penghujan dan awal musim
kemarau. Berbeda halnya di Perairan Bojo Sulawesi Selatan, musim pemijahan
cumi sirip besar terjadi pada Juni-Juli (Danakusumah et al. 1995 dalam Omar
2002). Hal ini menyimpulkan bahwa musim pemijahan cumi-cumi dapat berbedabeda tergantung dimana lokasi cumi-cumi tersebut hidup. Hasil penelitian
Anderson and Rodhouse 2001 menyatakan bahwa waktu reproduksi cumi-cumi
lebih dipengaruhi oleh kondisi lingkungan lokal dibandingkan dengan pengaruh
dari kondisi perairan global atau skala luas seperti suhu perairan setempat dan
komposisi spesies dan populasi dalam komunitas di suatu kawasan perairan.
Secara umum, cumi-cumi diduga memiliki karakteristik daerah pemijahan yang
relatif bersuhu hangat. Di derah subtropis, cumi-cumi jenis Illex argentinus
memijah saat musim dingin dan gugur di daerah perairan yang dilalui oleh arus
Perairan Brazil yang hangat. Pada musim panas, cumi-cumi ini memijah di daerah
dimana mereka berada.
Telur yang telah dibuahi dibungkus dengan albumin, kemudian dilapisi zat
semacam agar yang mengeras apabila terkena air laut. Oviduct bermuara di
rongga mantel. Kapsul telur cumi-cumi biasanya besar dapat mencapai 20 cm, dan
mengandung banyak kuning telur. Jumlah telur yang dihasilkan bervariasi, jumlah
telur pada Sepioteuthis 300-1500 butir (Delianis dan Murdjani 2008). S.
lessoniana mulai bertelur pada kisaran usia 146 - 224 hari (4,9 – 7,5 bulan), ratarata pada usia 171 hari atau 5,7 bulan (Walsh et al. 2002).
Telur cumi-cumi memiliki permukaan lengket yang memungkinkannya untuk
menempel pada substrat keras didasar perairan. Embrio cumi-cumi memakan sari
makanan yang telah tersedia dalam telur (yolk) hingga siap menetas. Embrio ini
memecah selubung telur dengan cabang kecil mirip sikat pada bagian ekornya.
Hasil penelitian Tallo (2006) di perairan Teluk Mutiara Kabupaten Alor Provinsi

8

Nusa Tenggara Timur mendapatkan hasil bahwa telur cumi-cumi yang diambil
langsung dari rumpon atraktor cumi yang kemudian dipindahkan ke keramba
jaring apung menetas pada usia 28 - 30 hari. Spesies laut dalam dan cumi-cumi
pelagis murni melepaskan telurnya satu per satu ke air atau telur tetap melayang
sebagai plankton. Pada Cephalopoda tidak ada stadium larva, telur menetas
menjadi anak dengan bentuk seperti dewasa dan langsung mampu berenang dan
mencari makan (Roper et al. 1984).
Rumpon Atraktor Cumi
Rumpon atraktor cumi mulai dikembangkan di Jepang dengan tujuan utama
memperkaya sumberdaya cumi-cumi di suatu kawasan perairan. Hal ini
dikarenakan fungsi dari rumpon atraktor cumi tersebut sebagai tempat cumi-cumi
menempelkan telurnya pada rumpon dan pada akhirnya menetas. Selain sebagai
tempat memijah, rumpon juga berperan sebagai daerah pengasuhan dan
pembesaran. Berbagai jenis ikan akan mencari makan dan bermain di sekitar
rumpon tersebut. Hal inilah yang kemudian menjadikan daerah penenggelaman
rumpon atraktor cumi sebagai daerah penangkapan yang potensial. Dengan
pengelolaan dan pengembangan penangkapan ikan berbasis masyarakat nelayan,
fungsi rumpon tersebut sangat potensial untuk dikembangkan membantu nelayan
yang terlibat di dalam suatu kawasan untuk melakukan efisiensi usaha,
pengembangan mata pencaharian alternative dan pengkayaan sumberdaya cumicumi dengan cara alami.
Rumpon atraktor cumi memiliki manfaat antara lain : (1) Dapat berperan
sebagai terumbu buatan sehingga membentuk ekosistem baru. (2) Sebagai alat
pengumpul cumi-cumi dan sebagai tempat cumi-cumi melepaskan telurnya
sehingga pemasangan rumpon ini pada suatu kawasan perairan akan menciptakan
pemandangan bawah air yang unik, yaitu pemandangan hamparan telur cumicumi. (3) Dapat menjadi daerah asuhan dan pembesaran yang pada akhirnya dapat
berkembang menjadi daerah penangkapan yang potensial. (4) Dengan adanya
rumpon atraktor cumi pada suatu perairan dapat menjadi daerah yang menarik
untuk dikembangkan sebagai daerah ekowisata pantai dengan kegiatan
penyelaman dan pemancingan. (5) Alih teknologi yang mudah kepada masyarakat
dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir, meningkatkan keterampilan
masyarakat pesisir dalam berpartisipasi pada pengelolaan ekowisata di kawasan
pantai. (6) Dapat dipadukan dengan kegiatan budidaya cumi-cumi yang berbasis
sumberdaya alam. (7) Pengembangan penelitian (Baskoro et al. 2011).
Penelitian rumpon atraktor cumi di Indonesia telah dilakukan oleh Baskoro
dan Mustaruddin (2006) di Teluk Pelabuhan Ratu, Jawa Barat dengan nilai tingkat
keefektifan rumpon berbentuk lingkaran bunga mekar (+) dan dari ban bekas
berturut-turut 66,67% (sangat efektif) dan 50% (efektif). Selain itu, penelitian
rumpon atraktor cumi dilakukan di Teluk Mutiara Kabupaten Alor, Nusa
Tenggara Timur oleh Tallo (2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa cumicumi hanya menempelkan telurnya pada rumpon yang diletakkan di dasar perairan
(4-5 meter) dan pada rumpon yang ditutup (yang tanpa penutup tidak ditempeli
telur cumi-cumi). Jumlah rata-rata telur cumi-cumi yang menempel pada rumpon
selama penelitian adalah 100,75 terdiri dari 5 kelompok telur.

9

3 METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitin dilakukan di Perairan Tuing Kecamatan Riau Silip Kabupaten
Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mulai dari bulan Oktober 2012
hingga awal Juni 2013. Secara geografis, lokasi penelitian terletak pada 01o35.4’
LS dan 106o01,8’ BT. Kegiatan penelitian di lapangan dibagi menjadi dua tahap
masa pelaksanaan (temporal) yaitu pada bulan Oktober – Desember 2012 untuk
waktu pengamatan tahap 1dan bulan Maret – Mei 2013 untuk waktu pengamatan
tahap 2. Kegiatan terdiri dari survei lokasi penelitian, pembuatan modifikasi
rumpon atraktor cumi, penenggelaman rumpon atraktor cumi, waktu pengamatan
hasil penenggelaman dan analisis labratoium. Analisis data dilakukan di
Laboratorium Perikanan Universits Bangka Belitung (UBB) dan Laboratorium
Lingkungan Departemen Budidaya Perikanan (BDP) Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan – IPB.
Dusun Tuing yang tersaji pada Gambar 3 merupakan dusun terpencil dengan
ekosistem mangrove dan terumbu karang yang masih alami. Ekosistem daratan di
sekitar pesisir masih sangat baik karena merupakan kawasan hutan lindung.
Perairan Tuing terdapat di sebelah timur laut Pulau Bangka yang berbatasan
langsung dengan Laut Cina Selatan.

Sumber : Peta dasar BAKOSURTANAL 2007
Gambar 3. Peta lokasi penelitian (ditunjukkan pada titik merah).

10

Alat dan Bahan Penelitian
Bahan utama penelitian ini adalah rumpon atraktor cumi yang telah
dimodifikasi. Jenis modifikasi rumpon atraktor cumi terdiri dari 2 jenis yaitu
rumpon atraktor cumi bentuk kotak dengan ukuran 75 x 50 x 35 cm3 dengan
kerangka dari bahan kayu. Biasanya, rumpon atraktor cumi menggunakan rangka
besi namun bagi nelayan terpencil seperti Dusun Tuing sangat sulit memperoleh
bahan tersebut. Karenanya, rangka berbahan kayu merupakan salah satu alternatif
yang dapat dijadikan sebagai bahan pengganti karena jumlahnya masih banyak
terdapat di lokasi penelitian. Rumpon atraktor cumi model kotak ini menggunakan
penutup waring. Jenis kedua adalah dari drum bekas yang dirancang menjadi
rumpon atraktor cumi. Drum-drum ini adalah bekas dari aspal yang biasanya
digunakan untuk wadah aspal curah jalan raya. Setiap jenis rumpon atraktor cumi
akan diberikan 6 buah pemikat (atraktor) dari bahan tali rami (organik) agar cumicumi tertarik meletakkan telurnya di dalam rumpon atraktor cumi yang telah
ditenggelamkan. Desain dari modifikasi rumpon atraktor cumi sederhana dapat
dilihat pada Gambar 4 dan 5. Bahan yang digunakan untuk pembuatan rumpon
atraktor cumi adalah :
 24 batang kayu dengan diameter sekitar 10 cm
 Tali Polyethylen (PE) diameter 5 mm, 10 mm dan 20 mm.
 Tali dari bahan sabut kelapa : 100 meter
 Waring (mesh size 2 mm) : 24 meter
 Pemberat (7,5 kg) : 24 buah
 Paku (panjang 15 cm) : 4 kg
 Drum bekas aspal : 12 buah

Atraktor
35 cm

50 cm
75 cm

Gambar 4. Desain bentuk kotak dari rangka kayu dan penutup waring

11

Atraktor

Gambar 5. Desain bentuk silindris dari bahan drum bekas
Ada dua jenis kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu kegiatan di
lapangan berupa pengambilan data jumlah kapsul telur dan pengamatan beberapa
parameter fisika kimia air secara in situ, serta kegiatan di laboratorium berupa
pengamatan lebih lanjut terhadap data dan sampel yang diperoleh di lapangan.
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian untuk mengukur parameter
fisika kimia perairan dan substrat beserta fungsinya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter físika dan kimia perairan dan substrat yang diukur
No
Parameter
Unit
Alat/Metode
Fisika Air
o
C
1.
Suhu Perairan
Termometer Hg
2.
Kecerahan
cm Secchi disk
3.
Kecepatan Arus
m/s Current meter
4.
Total Suspended Solid*
mg/L Spektrofotometer
5.
TDS*
mg/L Spektrofotometer
Kimia Air
1.
Derajat Keasaman (pH)*
pH meter
o
2.
Salinitas*
/oo Refraktometer
Fisika Substrat
1.
Tekstur*
% Saringan Bertingkat/Hydrometri
Keterangan : * Substrat dianalisis di Laboratorium Lingkungan Departemen
Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - IPB
Pengambilan data Total Suspended Solid (TSS) akan menjadi data dasar bagi
penelitian lebih lanjut di perairan Pulau Bangka mengingat di pulau ini sedang
marak terjadi penambangan timah lepas pantai yang menyebabkan terjadinya
peningkatan sedimentasi di perairan pada kawasan-kawasan tertentu. Alat dan
perlengkapan tambahan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 2.

12

Tabel 2. Alat bantu dalam penelitian
No
Alat
Fungsi
1. Alat scuba diving
Penenggelaman dan pengamatan underwater
2. GPS
Penentuan titik koordinat dan posisi
3. Jangkar
Penguat ikatan pada rangkaian rumpon
4. Perahu
Transportasi selama di laut
5. Alat tulis underwater
Pencatatan data pengamatan
6. Kamera underwater
Dokumentasi kegiatan
7. Peralatan pertukangan Pembuatan rumpon atraktor cumi
Prosedur Penelitian
Penentuan Lokasi Penelitian
Lokasi pengambilan contoh data terdiri dari 2 (dua) titik penenggelaman
dimana setiap titik terdiri dari 6 unit rumpon atraktor cumi dengan 3 unit tiap jenis
rumpon atraktor cumi sehingga total rumpon atraktor cumi sebanyak 12 unit. Titik
1 pada kedalaman sekitar 3 meter dan Titik 2 pada kedalaman sekitar 5 meter
yang diukur saat surut terendah. Kedua titik berada pada satu kawasan perairan
dengan kondisi perairan dianggap homogen antara titik penenggelaman. Setiap
titik, rumpon akan dipasang secara berkelompok tiap jenis rumpon. Tujuan
pengelompokan ini adalah agar dapat dilihat tingkat keberhasilan rumpon atraktor
cumi dari penempelan telur cumi-cumi, dan ikan yang terdapat di sekitar rumpon
atraktor cumi sesuai dengan jenis rumpon atraktor cumi. Setiap unit rumpon
atraktor cumi berjarak sekitar 3 meter untuk jenis yang sama dan 5 meter untuk
jenis yang berbeda. Jarak antar rumpon atraktor cumi yang berbeda jenis lebih
jauh agar perbedaan pengelompokan untuk kedua jenis rumpon atraktor cumi
yang berbeda dapat lebih terlihat. Tiap rumpon atraktor cumi terhubung oleh tali
untuk memudahkan dalam pengamatan. Pola penyusunan rumpon atraktor cumi
pada setiap titik digambarkan pada Gambar 6.

Model Kotak
3m

5m
Model Silindris

Kedalaman 3 m

Kedalaman 5 m

Gambar 6. Pola susunan rumpon atraktor cumi dalam kawasan perairan

13

Penenggelaman Rumpon Atraktor Cumi
Rumpon yang telah dibuat sesuai dengan jenisnya ditenggelamkan di dasar
perairan setelah dilakukan observasi daerah penenggelaman dengan melakukan
penyelaman untuk melihat langsung kontur dan substrat dasar perairan. Empat
kategori yang harus dipenuhi dalam penentuan lokasi penenggelaman rumpon
atraktor cumi yaitu : (1) Kondisi perairan yang jernih atau tidak keruh. (2) Dasar
perairan tidak berlumpur atau dasar perairan haruslah berpasir atau pada bekas
terumbu karang rusak. (3) Arus saat penenggelaman tidak kuat atau tidak lebih
dari 0,5 knot untuk memudahkan dalam proses penenggelaman. (4) Daerah
penenggelaman merupakan daerah ruaya atau migrasi cumi (Baskoro et al. 2011).
Karenanya perlu dilakukan wawancara langsung dengan nelayan cumi lokal untuk
mengetahui daerah yang banyak ditemukan cumi-cumi. Rumpon atraktor cumi
tidak ditempatkan di permukaan dan di kolom perairan karena berdasarkan hasil
penelitian Tallo (2006) di Perairan Teluk Mutiara Kabupaten Alor Nusa Tenggara
Timur menunjukkan bahwa tidak ditemukan telur cumi-cumi yang menempel
pada rmpon atraktor cumi pada bagian perairan tersebut. Telur cumi-cumi hanya
ditemukan menempel pada rumpon atraktor cumi di dasar perairan.
Setiap rumpon atraktor cumi ditenggelamkan dengan pemberat (sinker) sekitar
10 kg untuk memudahkan proses penenggelaman dan rumpon atraktor cumi tidak
mudah bergeser terbawa arus dan gelombang. Penenggelaman rumpon dilakukan
pada dua kedalaman yaitu pada kedalaman 3 meter dan 5 meter pada saat air surut
dan perairan tenang sehingga memudahkan dalam proses penenggelaman. Semua
kegiatan penenggelaman rumpon atraktor cumi dilakukan di satu kawasan
perairan yang dibedakan sesuai kedalaman masing-masing. Setiap titik
penenggelaman akan disimpan titik koordinantnya menggunakan GPS untuk
memudahkan dalam proses pengamatan. Penenggelaman rumpon atraktor cumi
dilakukan dua kali yaitu pada tanggal 15 Oktober 2012 untuk pengamatan bulan
November - Desember 2012 (sebelum musim barat di perairan timur pulau
Bangka). Penenggelaman kedua dilakukan pada tanggal 1 April 2013.
Penenggelaman rumpon atraktor cumi kedua dilakukan karena berdasarkan hasil
pengamatan ke 3 pada tanggal 30 Maret 2013 menunjukkan bahwa rumpon cumi
yang lama sebagian besar hilang dan tertimbun substrat akibat hempasan
gelombang dan arus yang kuat selama musim barat. Pembuatan rumpon baru dan
penenggelaman rumpon yang hilang dan rusak dilakukan untuk mendapatkan data
pada pengamatan April – Mei 2013. Foto pembuatan dan penenggelaman
modifikasi rumpon atraktor cumi tersaji pada Lampiran 1.
Waktu Pengamatan
Waktu pengamatan data dilakukan sebanyak lima kali yaitu pada tanggal 18
November 2012, 8 Desember 2012, 30 Maret 2013, 20 April 2013 dan 25 Mei
2013. Pengamatan tidak dilakukan pada bulan Januari – Februari 2013 karena di
perairan pesisir Tuing saat itu kondisi gelombang tinggi, arus kuat dan perairan
yang keruh. Kondisi ini tidak memungkinkan untuk dilakukan penyelaman
pengambilan video dan foto bawah laut. Waktu pengamatan dibagi menjadi dua
kelompok utama yaitu pengamatan tahap 1 yaitu pengamatan ke 1 dan 2
(November – Desember 2012) dan pengamatan tahap 2 yaitu pengamatan ke 3, 4
dan 5 (Maret – Mei 2013).

14

Pengamatan sebenarnya sudah dapat dilakukan seminggu setelah
penenggelaman, namun pada penelitian ini pengamatan dilakukan pada minggu
keempat dengan pertimbangan agar rumpon atraktor cumi telah dikenal dan siap
digunakan oleh biota laut. Umumnya, periode pengamatan dilakukan setiap empat
minggu dengan pertimbangan telur cumi-cumi telah menetas atau berubah
menjadi larva pada selang waktu jarak antar periode tersebut sehingga
meminimalisir terjadinya perhitungan ganda. Pengamatan dilakukan saat air laut
surut dan arus lemah sehingga memudahkan dalam pelaksanaan kegiatan.
Pengamatan dilakukan minimal oleh 2 orang penyelam, satu orang
menghitung dan mencatat data dan seorang lainnya melakukan pengambilan foto
underwater untuk dokumentasi kegiatan dan koleksi data untuk pengecekan data
identifikasi lanjutan di laboratorium. Selain pengambilan data parameter fisika
kimia perairan dan data tekstur substrat, data yang diambil adalah jumlah dan
jenis telur cumi-cumi yang menempel pada rumpon dan jenis ikan yang terdapat
disekitar spot titik penenggelaman rumpon atraktor cumi. Identifikasi jenis cumi
menggunakan buku ”Cephalopods a World Guide” Norman 2003 dan Roper et
al. 1984 “FAO species catalogue. Cephalopods of the world. An annotated and
illustrated catalogue of species of interest to fisheries. FAO Fish Synop. 3“ serta
analisis contoh preparat cumi langsung di Museum Zoologi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong – Bogor.
Prosedur Pengambilan Data
Pengukuran Parameter Oseanografi
Parameter oseanografi di lokasi penelitian yang diukur meliputi parameter
fisika dan kimia perairan dan tipe substrat. Parameter fisika adalah suhu, arus,
kecerahan dan Total Suspended Solid (TSS) sedangkan parameter kimia adalah
TDS, salinitas dan keasaman perairan (pH). Data substrat adalah tekstur substrat
di lokasi penenggelaman sehingga dapat di analisis jenis tipe substratnya.
Pengukuran parameter oseanografi dilakukan bersamaan saat pengamatan
pengambilan data penempelan telur cumi-cumi pada daerah penenggelaman
rumpon atraktor cumi.
Pengambilan Data Telur Cumi-cumi
Data telur cumi-cumi yang dicatat adalah telur yang menempel pada rumpon
atraktor cumi yang ditenggelamkan. Data yang dicatat tidak hanya sebatas telur
cumi-cumi dari Genus Loligo tetapi juga dari jenis sotong atau genus Sephia. Data
telur cumi-cumi diambil dengan mencatat jumlah kantong telur (kapsul) per
masing-masing jenis. Nilai ini kemudian dibandingkan antara kepadatan telur
yang melekat pada masing-masing jenis rumpon atraktor cumi dan komposisi
jenis telur antara Loligo chinensis dan Sephia sp. Selain jenis rumpon atraktor
cumi, lokasi dan kedalaman penenggelaman pun akan menjadi acuan
perbandingan komposisi jumlah dan jenis telur yang melekat pada rumpon
atraktor cumi. Dalam penelitian ini, telur cumi-cumi tetap dibiarkan sampai
menetas di rumpon dan tidak akan diambil karena penghitungan jumlah telur
dilakukan langsung secara visual dan fotografi bawah laut untuk dokumentasi dan
identifikasi jenis telur.

15

Pengambilan Data Ikan
Pengambilan data ikan menggunakan metode Underwater Visual Census
(UVC) dengan radial transek (Hill and Wilkinson 2004). Data ikan diambil
dengan mengidentifikasi jenis ikan yang terdapat di radius 2,5 meter dari titik
penelitian termasuk tinggi 5 meter dari dasar titik penenggelaman rumpon atraktor
cumi. Pengambilan data dilakukan oleh dua orang penyelam dengan satu orang
sebagai pencatat dan satu orang sebagai fotografer bawah laut. Pengambilan foto
dilakukan untuk mengurangi kesalahan dalam identifikasi jenis ikan sehingga
dapat diperiksa lagi di laboratorium. Durasi pengambilan data ikan sekitar 10
menit per titik penenggelaman rumpon. Semua jenis ikan yang masuk dalam
radius tersebut pada lokasi penenggelaman rumpon diidentifikasi. Identifikasi
jenis ikan mengunakan buku “Indonesian Reef Fishes” Jilid 1, 2 dan 3, Kuiter,
Rudi and Tonozuka 2003 dan buku “Marine Fishes of South-East Asia” Allen
1999.
Prosedur Analisis Data
Tingkat Keefektifan Rumpon Atraktor Cumi
Tingkat keefektifan rumpon atraktor cumi dianalisis dengan menghitung
tingkat keberhasilan rumpon dalam mengumpulkan cumi-cumi. Indikator tingkat
keefektian adalah dengan menghitung prosentase jumlah rumpon (EA) yang
terdapat telur cumi-cumi dengan menggunakan formula berdasar Baskoro dan
Mustaruddin 2006 :
EA =

Jumlah _ blok _ atraktor _ yang _ ditempeli _ telur _ cumi  cumi
X 100%
Total _ blok _ atraktor

Dimana :

EA > 60%
= sangat efektif
30% < EA < 60% = efektif
EA < 30%
= kurang efektif

Uji Perbedaan Bentuk, Waktu Pengamatan, Kedalaman dan Faktor
Lingkungan Terhadap Penempelan Telur Cumi-cumi
Pengolahan data telur cumi-cumi yang menempel pada rumpon akan dianalisis
dengan membandingkan data berdasarkan faktor perlakuan yaitu : bentuk rumpon
atraktor cumi (kotak dengan silindris), waktu pengamatan dan kedalaman
penenggelaman (3 meter dengan 5 meter). Pengolahan data untuk melihat
pengaruh masing-masing faktor perlakuan (jenis, waktu dan kedalaman) dianalisis
dengan Uji t-student sehingga diketahui faktor perlakuan yang paling
mempengaruhi terhadap penempelan telur cumi-cumi pada rumpon (Bengen
2000). Uji t-student dianalisis untuk selang keparcayaan 95%. Untuk menganalisis
pengaruh dua faktor perlakuan terhadap penempelan telur cumi-cumi pada
rumpon digunakan Uji Two-Way Anova (Two Faktor With Replication) yang
merupakan analisis ragam dua arah (Matjik dan Sumertajaya 2002). Analisis
pengujian dilakukan dengan program Microsoft Excel 2007. Analisis Komponen
Utama (Principle Componen Analysis) digunakan untuk melihat pengaruh dari

16

faktor lingkungan yaitu parameter fisika kimia perairan dan komposisi substrat
pada lokasi penenggelaman rumpon dengan penempelan telur cumi-cumi (Bengen
2000). Pengolahan data Analisis Komponen Utama menggunakan program
software STATISTICA 6. Form input data pada penelitian ini tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3. Form input data penempelan kapsul telur cumi-cumi
Waktu Pengamatan : ...................................................
Jumlah telur cumi-cumi per kedalaman
Jenis
Rumpon
3m
5m
X1a
X1b
Kotak
X2a
X2b
X3a
X3b
Y1a
Y1b
Silindris
Y2a
Y2b
Y3a
Y3b
Keterangan : X
: Rumpon atraktor cumi bentuk kotak
Y
: Rumpon atraktor cumi bentuk silindris
1, 2, 3 : Unit rumpon atraktor cumi ke –
a
: Kedalaman 3 meter
b
: Kedalaman 5 meter

17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Perairan Tuing
Tuing adalah dusun terpencil dan jarang dikenal oleh masyarakat Pulau
Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dusun ini terletak di Kecamatan
Riau Silip Kabupaten Bangka. Perairan Tuing merupakan benteng terakhir dari
sumberdaya perikanan laut di Kabupaten Bangka karena hampir semua laut dari 0
– 4 mil laut sebagian besar telah dikeluarkan izin usaha pertambangan (IUP) laut
oleh kepala daerah kabupaten ini untuk operasi penambangan timah dengan
menggunakan kapal isap produksi. Akses menuju Dusun Tuing dari Kota
Pangkalpinang ditempuh sekitar sekitar 100 km atau 2,5 jam perjalanan. Jarak
Dusun Tuing dari Kota Sungailiat hanya sekitar 70 km, namun karena kondisi
jalan kurang baik akibat aspal banyak yang rusak karena banyak truk bermuatan
tandan buah kelapa sawit yang melewati jalan menuju dusun ini setiap hari.
Dusun Tuing berjarak sekitar 350 meter dari pantai. Kondisi hutan disekitar pantai
masih alami karena merupakan kawasan hutan lindung pantai. Pantai di pesisir
Perairan Tuing merupakan pantai berpasir putih dengan hamparan karang tepi
(fringging reef). Dengan hutan yang masih alami, pasir putih dan karang tepi yang
terdapat disekitarnya membuat pantai di kawasan ini sangat potensial untuk
dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari.
Ada sekitar 110 kepala keluarga di dusun ini. Sekitar 75% kepala keluarga
berprofesi sebagai nelayan. Nelayan Tuing adalah nelayan tradisional dengan
perahu kecil dan penangkapan tak lebih dari sehari (one day fishing). Pasokan
utama Cumi Bangka di Kabupaten Bangka sebagian besar berasal dari hasil
tangkapan di perairan daerah ini. Saat malam tiba, tampak perahu-perahu nelayan
berjejer menangkap cumi-cumi dan ikan. Perairan Tuing merupakan daerah
penangkapan (fishing ground) dari berbagai daerah nelayan di sekitarnya. Hal ini
karena Perairan Tuing masih tergolong alami dan sehat jika dibandingkan dengan
perairan di bagian timur dan utara Pulau Bangka yang telah banyak rusak akibat
penambangan timah lepas pantai. Cumi-cumi ditangkap oleh nelayan di Perairan
Tuing dengan menggunakan pancing cumi (squid jigging) dan bagan tancap yang
terdapat disekitar perairan ini. Hal ini mengindikasikan besarnya potensi cumi di
Perairan Tuing.
Perairan Tuing terletak pada bagian timur laut dari Perairan Pulau Bangka.
Perairan di daerah ini merupakan Perairan Laut Cina Selatan yang berhadapan
dengan laut lepas. Sama seperti kondisi di Perairan Kepulauan Seribu DKI
Jakarta, Perairan Tuing mengalami siklus musim barat dan musim timur. Pada
waktu puncak musim barat dan timur