Sintesis Nanopartikel Karbon Berfluoresens dari Jelaga Kerosen dan Fine Coal

SINTESIS NANOPARTIKEL KARBON BERFLUORESENS
DARI JELAGA KEROSEN DAN FINE COAL

MUHAMAD IQBAL

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sintesis Nanopartikel
Karbon Berfluoresens dari Jelaga Kerosen dan Fine Coal adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015
Muhamad Iqbal
NIM G44100085

ABSTRAK
MUHAMAD IQBAL. Sintesis Nanopartikel Karbon Berfluoresens dari Jelaga
Kerosen dan Fine Coal. Dibimbing oleh SRI SUGIARTI dan NOVIYAN
DARMAWAN.
Nanopartikel karbon (C-dot) merupakan salah satu material yang memiliki
kemampuan untuk berfluoresens. C-dot dapat disintesis dari berbagai bahan yang
memiliki kandungan karbon yang tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menyintesis dan mencirikan C-dot dari bahan awal jelaga kerosen dan fine coal. Cdot disintesis menggunakan metode oksidasi asam dengan HNO3 sebagai bahan
pengoksidasi. Sintesis C-dot telah berhasil dilakukan dengan pembuktian melalui
analisis visual, UV-Vis, fluoresens, dan FTIR. Hasil yang diperoleh menunjukkan
pendaran C-dot semakin meningkat seiring bertambahnya konsentrasi C-dot di
bawah lampu ultraviolet 336 nm dengan variasi konsentrasi dari masing-masing Cdot adalah 100, 250, 500, dan 1000 ppm. Pengukuran UV-Vis menghasilkan
munculnya serapan baru yang menunjukkan terjadinya transisi elektronik dari
π→π* di pada panjang gelombang 234 nm untuk C-dot jelaga kerosen dan 245 nm

untuk C-dot fine coal. Emisi maksimum yang dihasilkan dari pengukuran
fluoresens adalah pada panjang gelombang 521 nm untuk C-dot jelaga kerosen dan
516 nm untuk C-dot fine coal. Spektrum inframerah memperlihatkan perbedaan
yang nyata antara C-dot dengan bahan awalnya yang menunjukkan keberhasilan
fungsionalisasi pada permukaan C-dot.
Kata kunci: C-dot, fluoresens, fine coal, jelaga kerosen

ABSTRACT
MUHAMAD IQBAL. Synthesis of Fluorescent Carbon Nanoparticle from
Kerosene Soot and Fine Coal. Supervised by SRI SUGIARTI and NOVIYAN
DARMAWAN.
Carbon nanoparticles (C-dot) are among the materials which have
fluorescence ability. C-dot can be synthesized from various materials with high
carbon composition. The purposes of this research were to synthesize and
characterize C-dot from kerosene soot and fine coal. C-dot was synthesized using
the acid oxidation method with HNO3 as an oxidizing agent. The synthesized of Cdot has been conducted successfully with verification through out visual analysis,
UV-Vis, fluorescence, and FTIR. The results showed that C-dot luminescence
under 336 nm ultraviolet lamp increased with increasing concentrations of C-dot
from both sources at 100, 250, 500, and 1000 ppm. UV-Vis measurement showed
new absorption peaks indicating electronic transition from π→π* at 234 nm for Cdot from kerosene soot and 245 nm for C-dot from fine coal. The maximum

emission obtaining from fluorescent measurement was 521 nm for C-dot from
kerosene soot and 516 nm for C-dot from fine coal. Infrared spectrum showed real
differences between C-dot and the starting material which indicated the success of
functionalization at C-dot surface.
Key words: carbon nanoparticle, fluorescence, fine coal, kerosene soot

SINTESIS NANOPARTIKEL KARBON BERFLUORESENS
DARI JELAGA KEROSEN DAN FINE COAL

MUHAMAD IQBAL

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2015

Judul Skripsi: Sintesis Nanopartikel Karbon Berfluoresens dari Jelaga Kerosen dan
Fine Coal
Nama
: Muhamad Iqbal
NIM
: G44100085

Disetujui oleh

Sri Sugiarti, PhD
Pembimbing I

Dr rer nat Noviyan Darmawan, MSc
Pembimbing II

Diketahui oleh


Prof Dr Dra Purwantiningsih Sugita, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Sintesis Nanopartikel Karbon
Berfluoresens dari Jelaga Kerosen dan Fine Coal berhasil diselesaikan. Karya
ilmiah ini disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis di Laboratorium
Terpadu Institut Pertanian Bogor yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 sampai
Januari 2015.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Sri Sugiarti, PhD dan Bapak
Dr rer nat Noviyan Darmawan, MSc selaku pembimbing yang telah banyak
memberikan saran dan masukannya selama proses penelitian. Selain itu penulis
juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Laboratorium Terpadu Institut
Pertanian Bogor yang telah menyediakan tempat untuk melaksanakan penelitian
dan kepada PT Adaro yang telah memberikan sampel untuk dapat dianalisis pada
penelitian ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada analis Laboratorium
Terpadu yang tidak bosan-bosannya membantu dalam proses penelitian ini.

Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Yusuf Bramastya
Apriliyanto, Muhammad Fajar, Ika Nurmeilia, dan Awalia Khairun Nisa yang telah
memberikan memberikan dukungan dan masukannya sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah,
ibu, serta seluruh keluarga yang senantiasa memberikan doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2015
Muhamad Iqbal

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Lingkup Kerja
Preparasi sampel jelaga kerosen dan fine coal
Sintesis C-dot
Karakterisasi C-dot
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Preparasi Sampel Jelaga Kerosen dan Fine Coal
Hasil Sintesis C-dot
Karakteristik C-dot
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
1
2
2
3
3
3
4
4
4

5
8
12
12
12
13
22

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Sumber karbon yang digunakan untuk sintesis C-dot
Hasil C-dot murni: (A) C-dot jelaga kerosen, (B) C-dot fine coal

Gambar hasil penyinaran menggunakan lampu UV 366 nm
Spektrum serapan C-dot fine coal 10 ppm dan jelaga
Spektrum fluoresens C-dot jelaga kerosen dalam berbagai konsentrasi
Spektrum fluoresens C-dot fine coal dalam berbagai konsentrasi
Spektrum FTIR C-dot jelaga kerosen dengan jelaga kerosen murni
Spektrum FTIR C-dot fine coal dengan fine coal murni

5
6
7
8
9
10
11
12

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

4
5
6
7

Diagram alir penelitian
Rangkaian alat spektroskopi fluoresens
Proses dialisis
Contoh perhitungan rendemen
Contoh perhitungan pengenceran
Spektrum UV-Vis dari kontrol
Puncak serapan FTIR

15
16
17
18
19
20
21


PENDAHULUAN
Teknologi yang mulai berkembang pada saat ini telah memunculkan berbagai
macam inovasi dalam banyak bidang. Salah satu teknologi yang telah
dikembangkan dan mengalami pengaruh yang sangat besar di dalam dunia ilmu
pengetahuan adalah teknologi nanosains. Nanosains merupakan suatu ilmu yang
mempelajari berbagai macam gejala alam yang berukuran nano. Sedangkan
nanoteknologi merupakan teknik manipulasi atau rekayasa suatu benda yang
berukuran nano untuk dapat dimanfaatkan di berbagai bidang (Abdullah et al.
2008). Pemanfaatan senyawa berukuran nano hingga saat ini telah mencapai
material dengan ukuran terkecil yaitu sekitar 3-25 nm. Senyawa tersebut sering
dikenal sebagai quantum dots (QDs) (Baker dan Baker 2010). QDs merupakan
suatu nanokristal yang terbuat dari bahan semikonduktor dan memiliki ukuran yang
sangat kecil sehingga dapat menghasilkan sifat mekanika kuantum yang tidak
ditemukan pada ukuran besarnya (Lu 2008). Salah satu sifat yang sangat menarik
dari QDs adalah kemampuan untuk berfluoresens, sehingga QDs banyak
diaplikasikan sebagai bioimaging.
QDs mempunyai beberapa kekurangan diantaranya sifat beracun, tidak ramah
lingkungan, mempunyai harga yang relatif mahal, dan sulit disintesis. Berdasarkan
sifat tersebut maka dilakukan alternatif lain untuk mengganti fungsi dari QDs, yaitu
dengan menggunakan nanopartikel berbasis karbon atau yang sering dikenal
dengan karbon nanodot (C-dot). C-dot merupakan salah satu nanomaterial yang
memiki struktur 0 dimensi, dan merupakan hasil samping dari karbon nanotube
(Baker dan Baker 2010). Selain mempunyai sifat yang hampir mirip dengan QDs
yaitu kemampuan untuk berfluoresens, C-dot juga mempunyai sifat kelarutan tinggi
di dalam air, inert, ramah lingkungan, memiliki toksisitas yang rendah, mudah
difungsionalisasi, dan mempunyai harga yang terjangkau (Baker dan Baker 2010).
Sifat fluoresens dapat ditemukan pada beberapa bahan yang mengandung senyawa
aromatik, heterosiklik, ataupun molekul dengan sistem konjugasi (Setianingrum
2011).
Sumber karbon yang dapat digunakan sebagai bahan awal C-dot diantaranya
jelaga hasil pembakaran lilin (candle soot) (Liu et al. 2007), jelaga hasil
pembakaran tanaman (plant soot) (Tan et al. 2013), dan batu bara (Ye et al. 2014).
Selain itu, C-dot juga dapat disintesis dari bahan-bahan organik seperti asam sitrat
(Qu et al. 2012) dan asam askorbat (Nisa 2014). Bahan utama yang digunakan pada
penelitian ini adalah limbah batu bara (fine coal) dan jelaga hasil pembakaran
minyak tanah (jelaga kerosen). Fine coal merupakan salah satu batu bara dengan
ukuran kecil yaitu kurang dari 1 µm dan merupakan produk samping dari batu bara
yang tidak digunakan karena mempunyai ukuran yang tidak sesuai dengan kriteria
produksi (Khayatun 2014). Fine coal yang digunakan berasal dari jenis batu bara
bituminus yang merupakan hasil produksi dari PT Adaro. Jenis batu bara ini
memiliki kandungan karbon yang tinggi dengan kelembaban yang rendah sekitar
kurang dari 20% (Yustanti 2012). Sedangkan minyak tanah merupakan minyak
mentah yang telah dilakukan distilasi fraksinasi pada suhu 170-350 ˚C. Minyak
tersebut tersusun dari gabungan rantai karbon dengan jumlah karbon antara C9-C23,
dan sebagian besar termasuk dalam golongan parafin, naftalena, dan hidrokarbon
dengan struktur aromatik (Shooto dan Dikio 2011). Berbagai metode untuk sintesis

2
C-dot telah dikembangkan oleh para ilmuan. Secara umum metode-metode untuk
sintesis C-dot didasarkan pada 2 pendekatan, yaitu pendekatan top-down dan
bottom-up. Pendekatan bottom-up (secara kimia) merupakan suatu proses
mendapatkan molekul dengan ukuran nano melalui senyawa prekursor, sedangkan
pendekatan top-down (secara fisika) merupakan proses mendapatkan molekul
dengan ukuran nano dengan cara penghancuran molekul yang lebih besar (Abdullah
et al. 2008). Pendekatan bottom-up meliputi sintesis elektrotermal,
mikrogelombang atau ultrasonik, hidrotermal, dan oksidasi asam. Pendekatan topdown meliputi pelucutan latu (arc discharge), ablasi laser, pasivasi, dan
penggunaan plasma (Liu et al. 2012)
Sintesis C-dot pada penelitian ini menggunakan pendekatan bottom-up yaitu
melalui metode oksidasi asam. Senyawa asam yang umum digunakan adalah
HNO3. Penambahan asam tersebut bertujuan untuk mendispersi dengan cara
mengoksidasi molekul-molekul berukuran nano yang telah mengalami aglomerasi
dan memunculnya gugus OH dan karbonil berupa gugus karboksilat pada
permukaan C-dot. Selain itu penambahan asam juga bertujuan untuk dopping atom
N dan O pada permukaan C-dot (Ray et al. 2009). Gugus-gugus tersebut akan
menyebabkan struktur C-dot bermuatan negatif dan bersifat hidrofilik, sehingga Cdot dapat larut di dalam air (Liu et al. 2007). Selain perlakuan asam oleh HNO3,
pada sintesis C-dot juga dilakukan proses pemurnian dengan sentrifugasi, dialisis
ataupun teknik pemisahan lainnya (Liu et al. 2007).
Semua proses tersebut merupakan cara yang dapat dilakukan untuk
memperoleh C-dot dari suatu jelaga karbon hasil pembakaran kerosen. Berdasarkan
uraian di atas, pada penelitian ini akan disintesis C-dot dari bahan jelaga karbon
hasil pembakaran minyak tanah (jelaga kerosen) dan fine coal. Penelitian bertujuan
sintesis nanopartikel karbon berfluoresens berbahan dasar jelaga kerosen dan fine
coal dengan metode oksidasi asam.

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah seperangkat lampu tempel berbahan bakar
minyak tanah, alumunium foil, kuas, gelas piala, gelas pengaduk, Erlenmeyer,
cawan petri, sudip, kertas saring, saringan 100 mesh, neraca analitik Denver
instrument, seperangkat refluks, plat penangas, sentrifusa 4000 rpm, lampu UV 366
nm, spektrofotometer UV-Vis 1700 Shimadzu, spektrofotometer inframerah
tranformasi Fourier (FTIR) prestige-21 Shimadzu, dan spektrometer Ocean Optic
USB4000. Bahan yang digunakan adalah 0,1 g jelaga karbon hasil pembakaran
menggunakan lampu tempel berbahan bakar minyak tanah, 0.1 g fine coal, HNO3
5 M, larutan NaOH 5 M, akuades, dan membran dialisis 1000 dalton molecular
weight cut-off (MWCO).

3
Lingkup Kerja
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2014 sampai Januari 2015, di
Laboratorium Terpadu IPB. Penelitian dilakukan dalam 3 tahap. Tahap pertama
dilakukan preparasi sumber karbon yang akan digunakan. Tahap kedua dilakukan
sintesis menggunakan sampel yang telah dipreparasi. Sintesis dilakukan dengan
cara pengasaman menggunakan HNO3 dan dilanjutkan dengan proses pemurniaan
menggunakan membran dialisis. Tahap ketiga dilakukan pencirian terhadap sampel
C-dot yang telah disintesis. Pencirian dilakukan dengan spektrofotometer UV-Vis,
spektrometer fluoresens, dan FTIR. Secara umum bagan alir penelitian dapat dilihat
pada Lampiran 1.

Preparasi sampel jelaga kerosen dan fine coal
Lampu tempel berbahan bakar minyak tanah terlebih dahulu ditutup dengan
foil alumunium pada bagian atasnya. Hal tersebut bertujuan agar karbon yang
dihasilkan dari pembakaran tertampung pada foil alumunium. Kemudian lampu
dinyalakan, proses pembakaran dilakukan selama 1 jam. Setelah itu jelaga yang
terdapat pada foil alumunium dikumpulkan dengan menggunakan kuas. Proses
tersebut dilakukan berulang sampai diperoleh jelaga karbon dengan bobot 0.1 g
(Hossain dan Islam 2013). Sedangkan untuk sampel fine coal preparasi tidak
dilakukan dengan cara pembakaran dan cukup dilakukan penyaringan.

Sintesis C-dot
Jelaga karbon yang telah dikumpulkan ditimbang sebanyak 0.1 g, kemudian
dicampurkan ke dalam 20 mL HN03 5 M. Setelah itu campuran tersebut direfluks
di atas hot plate dengan suhu 110 ˚C selama 12 jam. Hasil refluks didinginkan pada
suhu ruang, setelah itu dipusingkan menggunakan sentrifusa dengan kecepatan
4500 rpm selama 30 menit, kemudian dari proses tersebut akan didapatkan 2 fase
yaitu fase supernatan yang berwarna kecoklatan dan fase padatan berupa endapan
berwarna hitam, kemudian ke-2 fase tersebut dipisahkan dan dinetralkan dengan
NaOH 5 M (Liu et al. 2012).
Penetralan dilakukan sampai pH mendekati 7, setelah itu hasil dari penetralan
tersebut disaring menggunakan kertas saring dan kemudian didialisis menggunakan
akuades melalui membran dialisis 1000 dalton selama 24 jam dengan terus
mengganti air akuades selama 30 menit sekali sebanyak 5 kali pada awal dialisis.
Hasil dialisis kemudian dikeringkan menggunakan hot plate selama 30 menit dan
diuapkan di dalam oven selama 12 jam. Selain dilakukan untuk sampel jelaga
kerosen, dilakukan juga sintesis C-dot menggunakan fine coal dengan komposisi
yang sama (Liu et al. 2012).

4
Karakterisasi C-dot
Pengukuran Absorpsi C-dot
Sampel C-dot 10 ppm yang telah disiapkan dilakukan analisis menggunakan
spektrofotometer UV-Vis. Pengukuran dilakukan pada panjang gelombang 700200 nm. Selain sampel C-dot dilakukan juga pengukuran kontrol positif dari
masing-masing sampel C-dot dengan komposisi dan cara yang sama.
Pengukuran Intensitas Fluoresens C-dot
Pengukuran dilakukan pada larutan C-dot 100, 250, 500, dan 1000 ppm
dengan menggunakan spektrometer Ocean Optic dan diukur pada panjang
gelombang 350-1000 nm (Lampiran 2).
Pengukuran Menggunakan FTIR
Proses analisis diawali dengan dilakukan pengukuran C-dot. Preparasi sampel
dilakukan sebelum tahap pengukuran yaitu sebanyak 0.002 g C-dot ditumbuk di
dalam 0.1 g KBr sampai sampel berbentuk pelet, kemudian sampel tersebut
disimpan di dalam oven selama 10 jam, setelah itu dilakukan pengukuran sampel
menggunakan FTIR.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Preparasi Sampel Jelaga Kerosen dan Fine Coal
Preparasi jelaga karbon dilakukan menggunakan seperangkat alat lampu
tempel berbahan bakar minyak tanah (jelaga kerosen). Preparasi dilakukan dengan
menyalakan lampu tersebut dan menampung hasil jelaga karbon dengan alumunium
foil. Pengambilan jelaga kerosen dilakukan berulang kali sampai didapatkan bobot
yang diperlukan untuk tahap berikutnya. Hasil dari preparasi jelaga karbon dapat
dilihat pada Gambar 1. Selain jelaga kerosen, pada tahap ini juga disiapkan sampel
fine coal, namun tidak dilakukan preparasi seperti jelaga kerosen. Hal tersebut
dikarenakan fine coal yang disiapkan sudah dalam bentuk serbuk, tidak seperti
jelaga kerosen yang pada awalnya berbentuk cair (minyak tanah), sehingga perlu
dilakukan proses pembakaran.
Sampel fine coal yang disiapkan hanya dilakukan proses penyaringan
menggunakan saringan 100 mesh, hal tersebut bertujuan untuk mengambil bagian
terkecil dari sampel fine coal untuk dapat diteruskan ke tahap berikutnya. Hasil
penyaringan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Preparasi jelaga kerosen
menghasilkan warna jelaga karbon berwarna hitam dan mempunyai ukuran yang
kecil. Sedangkan sampel fine coal menghasilkan warna coklat kehitaman dengan
ukuran sampel yang lebih besar dibandingkan dengan sampel jelaga kerosene.
Selain itu sampel jelaga kerosen terlihat lebih halus dibandingkan dengan sampel
fine coal (Gambar 1).

5
A

B

Gambar 1 Sumber karbon yang digunakan untuk sintesis C-dot: (A) jelaga
kerosen murni, (B) fine coal murni

Hasil Sintesis C-dot
Sintesis C-dot dilakukan menggunakan metode oksidasi asam yang
merupakan salah satu bagian dari pendekatan bottom-up. Pendekatan bottom-up
merupakan suatu proses mendapatkan molekul dengan ukuran nano melalui
senyawa prekursor, dengan kata lain pembentukan yang diawali dari molekul yang
berukuran lebih kecil dari nano menjadi ukuran nano (Abdullah et al. 2008). Asam
yang digunakan pada sintesis ini adalah HNO3 5 M.
Sintesis diawali dengan cara melarutkan sampel karbon ke dalam HNO3 dan
dilakukan refluks selama 12 jam pada suhu 110 ˚C. Penambahan HNO3 bertujuan
untuk mendispersi dengan cara mengoksidasi molekul-molekul berukuran nano
yang telah mengalami aglomerasi. Selain itu penambahan asam tersebut juga
bertujuan untuk memurnikan karbon nanopartikel yang terbentuk (Liu et al. 2007).
Sedangkan proses pemanasan bertujuan untuk mempercepat reaksi yang terjadi
pada proses pembentukan C-dot. Setelah proses tersebut, dilakukan tahap
pemurnian. Tahap tersebut diawali dengan memisahkan hasil dari proses yang
pertama menggunakan sentrifusa. Proses pemisahan bertujuan untuk mengambil
salah satu fase dengan cara memisahkan fase endapan dan fase surpernatannya.
Fase yang diambil dari proses pemisahan adalah fase supernatan, karena fase
tersebut mempunyai ukuran partikel yang lebih kecil dibandingkan dengan fase
endapannya. Hal itu bertujuan untuk mendapatkan struktur nano yang diharapkan.
Setelah diperoleh fase supernatan, tahap selanjutnya adalah tahap penetralan
menggunakan NaOH 5 M. Penetralan menggunakan basa tersebut bertujuan untuk
menghilangkan sifat asam pada sampel C-dot yang terbentuk. Hal ini dilakukan
karena C-dot harus dalam keadaan stabil, bebas dari sifat yang dapat
membahayakan sel hidup, seperti sifat asam dan basa. Tahap berikutnya adalah
tahap penyaringan, yang bertujuan untuk menghomogenkan larutan C-dot yang
terbentuk.
Setelah didapatkan sampel yang homogen, tahap selanjutnya adalah
pemurnian menggunakan membran dialisis dengan ukuran pori 1000 dalton. Proses
dialisis dilakukan selama 24 jam dengan menggunakan akuades (Lampiran 3).
Selain itu, pada tahap ini akuades harus terus diganti dengan akuades yang baru
sebanyak 5 kali pada awal dialisis. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar proses
dialisis berjalan dengan baik. Proses dialisis bertujuan untuk menghilangkan ion-

6
ion seperti H+, Na+, dan OH- yang terdapat di dalam larutan C-dot melalui
membran. Sehingga hanya komponen C-dot yang terdapat pada larutan tersebut.
Selanjutnya, setelah diperoleh larutan C-dot dengan kemurnian yang baik,
larutan tersebut dikeringkan di atas plat penangas pada suhu 90 ˚C dan dijaga
suhunya di dalam oven selama 12 jam. Hal tersebut dikarenakan sampel C-dot
memiliki sifat higroskopis. Setelah tahap tersebut selesai, didapatkan rendemen
sampel kering C-dot untuk bahan jelaga kerosen sebesar 19.23% dan untuk C-dot
fine coal sebesar 26.80% (Lampiran 4). Hasil tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
Namun walaupun memiliki rendemen lebih besar dari C-dot jelaga kerosen,
rendemen C-dot fine coal masih di bawah hasil yang telah dilaporkan oleh Hu et al.
(2014), yaitu sebesar 30% untuk bahan awal menggunakan batu bara. Sedangkan
besar rendemen dari jelaga kerosen tidak terlalu berbeda dengan yang telah
dilaporkan oleh Ray et al. (2009) bahwa rendemen hasil pembakaran jelaga lilin
kurang dari 20%. C-dot fine coal mempunyai rendemen yang lebih besar
dibandingkan dengan C-dot jelaga kerosen, hal ini dapat disebabkan bahan awal
fine coal yang digunakan untuk sintesis memiliki kandungan karbon lebih banyak
dibandingkan dengan jelaga kerosen.
Selain rendemen yang dihasilkan, C-dot juga menghasilkan warna sampel
kering yang berbeda dengan sampel awalnya. C-dot jelaga kerosen menghasilkan
warna coklat yang berbeda dengan sampel awalnya, sedangkan C-dot fine coal
menghasilkan warna hitam kecoklatan yang hampir sama dengan sampel awalnya.
Jika dilihat dari keduanya, sampel C-dot jelaga kerosen menghasilkan warna yang
lebih terang dibandingkan dengan sampel C-dot fine coal (Gambar 2). Hal tersebut
dapat disebabkan karena kandungan karbon dari jelaga kerosen yang lebih kecil
dibandingkan dengan kandungan karbon yang terdapat pada fine coal. C-dot fine
coal mempunyai rendemen yang lebih besar dibandingkan dengan C-dot jelaga
kerosen. Hal ini dimungkinkan bahan awal fine coal yang digunakan untuk sintesis
memiliki kandungan karbon lebih banyak dibandingkan dengan jelaga kerosen.
A

B

Gambar 2 Hasil C-dot murni: (A) C-dot jelaga kerosen, (B) C-dot fine coal
Keberhasilan sintesis C-dot dapat terlihat dari analisis visual menggunakan
lampu UV 366 nm. Analisis tersebut dilakukan dengan cara melakukan penyinaran
terhadap larutan C-dot baik dari jelaga kerosen maupun C-dot fine coal. Penyinaran
dilakukan pada larutan C-dot dengan konsentrasi 100, 250, 500, dan 1000 ppm
(Lampiran 5) yang dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil tersebut memperlihatkan
pendaran berwarna hijau dan sesuai dengan hasil yang telah dilaporkan oleh Ray et
al. (2009). Larutan C-dot jelaga kerosen dengan konsentrasi 100 ppm tidak
menghasilkan adanya fluoresens. Fluoresens baru dihasilkan ketika konsentrasi
ditingkatkan menjadi 250, 500, dan 1000 ppm. Berbeda dengan yang terjadi pada

7
larutan C-dot fine coal, pada konsentrasi 100 ppm sudah dihasilkan fluoresens
dengan intensitas yang tinggi. Intensitas tersebut akan semakin meningkat seiring
dengan bertambahnya konsentrasi C-dot (Gambar 3).
Selain mempunyai intensitas fluoresens yang baik, C-dot juga memiliki
kelarutan yang tinggi di dalam air (Liu et al. 2007). Hal tersebut dapat terlihat pada
Gambar 3 yang menunjukkan bahwa C-dot dari masing-masing sampel mempunyai
kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol negatifnya. Kontrol
negatif yang dibuat merupakan larutan dari jelaga kerosen murni dan fine coal
murni sebelum dilakukan oksidasi, yang dilarutkan di dalam air dengan konsentrasi
1000 ppm (Lampiran 5). Kelarutan yang tinggi dari C-dot disebabkan karena
keberhasilan dari proses fungsionalisasi pada permukaan C-dot. Proses
fungsionalisasi akan memunculkan gugus fungsi seperti hidroksil dan karboksilat
yang akan menyebabkan permukaan C-dot bermuatan negatif, sehingga C-dot akan
bersifat hidrofilik.
Kelarutan C-dot tergolong ke dalam partikel berbentuk koloid. Hal tersebut
dikarenakan C-dot mempunyai ukuran partikel kurang dari 2 nm (Liu et al. 2007).
Sedangkan koloid merupakan campuran homogen yang masih dapat dibedakan dan
memiliki ukuran partikel terlarut yang lebih besar dibandingkan dengan larutannya.
Ukuran butir koloid di alam bervariasi dengan orde nanometer hingga mikrometer
(Sriwahyuni dan Suryantoro 2010). Sampel C-dot yang telah disintesis termasuk ke
dalam larutan berbentuk koloid. Hal tersebut dapat terlihat pada Gambar 3 yang
menunjukkan masih adanya perbedaan antara pelarut akuades dengan larutan Cdot.
A

B

C

D

E

F

G

H

I

J

Gambar 3 Gambar hasil penyinaran menggunakan lampu UV 366 nm: (A): kontrol
negatif C-dot jelaga kerosen, (B): C-dot jelaga kerosen 100 ppm, (C):
C-dot jelaga kerosen 250 ppm, (D): C-dot jelaga kerosen 500 ppm, (E):
C-dot jelaga kerosen 1000 ppm, (F): kontrol negatif C-dot fine coal,
(G): C-dot fine coal 100 ppm, (H): C-dot fine coal 250 ppm, (I): C-dot
fine coal 500 ppm, (J): C-dot fine coal 1000 ppm.

8
Karakteristik C-dot

Absorbansi

Spektrum UV-Vis dan Spektrum Fluoresens
Selain dari analisis visual dan kelarutan di dalam air, keberhasilan sintesis Cdot juga dapat dilihat dari hasil pengukuran UV-Vis. Spektrum UV-Vis akan
menunjukkan munculnya serapan baru yang dihasilkan oleh C-dot pada panjang
gelombang tertentu jika dibandingkan dengan kontrol negetifnya. Spektrum dari
kontrol negatif C-dot jelaga kerosen tidak menghasilkan serapan baru pada panjang
gelombang tertentu (Lampiran 6). Berbeda dengan hasil spektrum C-dot jelaga
kerosen yang menghasilkan serapan baru pada panjang gelombang 234 nm. Daerah
serapan tersebut menunjukkan terjadinya transisi elektronik dari π→π*. Hasil yang
sama juga ditunjukkan oleh C-dot fine coal yang menghasilkan serapan baru pada
panjang gelombang 245 nm (Gambar 4) jika dibandingkan dengan kontrol
negatifnya yang tidak menghasilkan serapan (Lampiran 5). Serapan pada panjang
gelombang tersebut menunjukkan transisi elektronik dari π→π*. Hal tersebut sama
dengan yang terjadi pada C-dot jelaga kerosen. Berdasarkan Gambar 4 panjang
gelombang 234 nm pada sampel C-dot kerosen dan 245 nm pada sampel C-dot fine
coal merupakan panjang gelombang dari daerah ultraviolet.
Transisi elektronik yang terjadi pada C-dot jelaga kerosen dan C-dot fine coal
menunjukkan perpindahan elektron dari pita valensi ke pita konduksi. Perpindahan
tersebut membutuhkan energi yang sesuai dengan lebar band gap dari masingmasing senyawa. Semakin lebar band gap dari suatu senyawa, maka semakin besar
energi yang dibutuhkan untuk mengeksitasi elektron dan semakin rendah panjang
gelombang yang diserap oleh suatu elektron (Lakowicz 2006). Elektron yang
berada di π* akan terelaksasi ke π akibat ketidakstabilan elektron pada tingkat
energi yang terlalu tinggi. Peristiwa relaksasi tersebut diiringi dengan emisi cahaya
pada panjang gelombang yang komplementer dengan panjang gelombang yang
diserap saat eksitasi. Peristiwa tersebut yang sering dikenal sebagai fluoresens.
1.8
1.6
1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0

: C-dot fine coal 10 ppm
: C-dot jelaga kerosin 10 ppm

200

300

400

500

600

700

λ (nm)
Gambar 4 Spektrum serapan C-dot fine coal 10 ppm dan jelaga
kerosen 10 ppm
Keberhasilan sintesis C-dot juga dapat telihat dari hasil pengukuran
fluoresens. Pengukuran fluoresens akan menghasilkan intensitas fluoresens pada
panjang gelombang emisi maksimum. Hasil pengukuran fluoresens menunjukkan
panjang gelombang emisi maksimum yang dipancarkan untuk sampel jelaga

9
kerosen sebesar 521 nm. Hasil tersebut tidak berbeda jauh dari emisi maksimum
yang telah dilaporkan oleh Liu et al. (2007) dari jelaga lilin, yaitu sebesar 527 nm.
Emisi tersebut menunjukkan relaksasi elektron dari keadaan π*→π. Hal tersebut
mirip dengan yang terjadi pada QDs, namun berbeda pada letak level energinya.
Selain itu panjang gelombang tersebut tergolong ke dalam panjang gelombang
cahaya tampak dengan warna hijau yang merupakan warna komplementer dari
warna ungu. Warna hijau tersebut sesuai dengan yang dilaporkan oleh Qu et al.
(2012). Hasil tersebut dapat dibuktikan pada Gambar 3 yang merupakan hasil
penyinaran menggunakan lampu UV 366 nm. Gambar tersebut memperlihatkan
warna hijau yang terus meningkat seiring bertambahnya konsentrasi C-dot. Hal ini
juga diperkuat pada saat dilakukan pengukuran fluoresens, bahwa semakin tinggi
konsentrasi C-dot maka intensitas fluoresens yang dihasilkan juga semakin tinggi
(Gambar 5).
:
:
:
:

12000

Intensitas

10000
8000

C-dot jelaga kerosin 100 ppm
C-dot jelaga kerosin 250 ppm
C-dot jelaga kerosin 500 ppm
C-dot jelaga kerosin 1000 ppm

6000
4000
2000
0
430

530

630

730

830

930

λ (nm)
Gambar 5 Spektrum fluoresens C-dot jelaga kerosen dalam berbagai konsentrasi
Selain dilakukan pengukuran sampel C-dot jelaga kerosen, intensitas
fluoresens juga diukur terhadap sampel C-dot fine coal. Panjang gelombang emisi
maksimum yang dipancarkan untuk sampel tersebut sebesar 516.25 nm (Gambar
6). Hasil yang diperoleh berbeda dari emisi maksimum yang telah dilaporkan oleh
Ye et al. (2014) yaitu sebesar 460 nm untuk bahan awal batu bara. Panjang
gelombang ini juga tergolong ke dalam panjang gelombang cahaya tampak dengan
warna hijau, sama seperti yang terjadi pada C-dot kerosen. Hasil tersebut juga dapat
ditunjukkan pada Gambar 3 yang memperlihatkan warna hijau ketika disinari
menggunakan lampu UV 366 nm. Namun pada pengukuran C-dot fine coal,
intensitas fluoresens yang dihasilkan jauh lebih besar dibandingkan dengan C-dot
jelaga kerosen. Hal tersebut dapat terlihat pada Gambar 6. Intensitas fluoresens
yang dihasilkan pada C-dot fine coal mencapai 30000 untuk sampel dengan
konsentrasi 1000 ppm, sedangkan pada sampel C-dot jelaga kerosen hanya
mencapai 10000 untuk C-dot dengan konsentrasi 1000 ppm (Gambar 5).

Intensitas

10
35000

: C-dot fine coal 100 ppm

30000

: C-dot fine coal 250 ppm

25000

: C-dot fine coal 500 ppm

20000

: C-dot fine coal 1000 ppm

15000
10000
5000
0
430

530

630

730

830

930

λ (nm)
Gambar 6 Spektrum fluoresens C-dot fine coal dalam berbagai konsentrasi
Penelitian sebelumnya telah banyak yang melaporkan mengenai mekanisme
fluoresent dari C-dot. Berdasarkan penelitian yang dilaporkan oleh Sun et al. (2006)
peristiwa fluoresens yang terjadi pada C-dot berawal dari proses pasifasi
permukaan dengan molekul organik sederhana berupa asam kuat yang akan
meningkatkan tingkat fluoresens. Hal tersebut disebabkan oleh adanya perangkap
energi permukaan yang menghasilkan kestabilan emisi. Hal ini dipicu oleh adanya
peristiwa terperangkapnya energi emisi di dalam kurungan kuantum yang terdapat
pada permukaan C-dot, dimana semakin besar perbandingan antara luas permukaan
dan volume partikel yang terpasifasi maka semakin besar fluoresens yang
dihasilkan.
Spektrum FTIR
Pembuktian terakhir dari keberhasian sintesis C-dot yaitu melalui analis
FTIR. Hasil pengukuran menggunakan FTIR mengambarkan terjadi perubahan
puncak serapan antara C-dot jelaga kerosen dengan kerosen murni (Gambar 7).
Perubahan tersebut diantaranya munculnya serapan C=O pada bilangan gelombang
1788 cm-1, selain itu didapatkan pula serapan pada bilangan gelombang 3421 cm-1
yang merupakan puncak serapan dari O-H asam. Selain muncul serapan O-H asam,
didapatkan pula 2 serapan C-H aldehida pada bilangan gelombang 2848 dan 2761
cm-1. Hasil tersebut telah menjelaskan bahwa di dalam struktur C-dot yang telah
disintesis terdapat gugus fungsi karboksilat dan aldehida (Pavia et al. 2009). Hal ini
sesuai dengan hasil yang telah dilaporkan oleh Liu et al. (2007) yang menyatakan
apabila setelah terbentuk C-dot maka permukaan dari karbon akan
terfungsionalisasi oleh gugus hidroksil dan karboksilat.
Selain hasil tersebut, didapatkan serapan lain seperti munculnya serapan C=C
pada bilangan gelombang 1591 cm-1, serapan C-O pada bilangan gelombang 1182
cm-1, dan serapan C-H dari CH3 pada bilangan gelombang 1384 dan 1350 cm-1
(Lampiran 7). Hasil tersebut hampir sesuai dengan yang dilaporkan oleh Liu et al.
(2007) walaupun mengalami sedikit pergeseran yaitu serapan C=C pada bilangan
gelombang 1630 cm-1, serapan C-O pada bilangan gelombang 1256 cm-1, dan
Serapan C-H dari CH3 pada bilangan gelombang 1349 cm-1.

11

Intensitas Ternormalisasi

140
120

: C-dot jelaga kerosen
: jelaga kerosen murni

100
80
60

C≡C
C-H

C-O

40
20

C≡C
O-H

C=C
C=O
R2C=RH
C-H

0

3,398

2,398

1,398

398

Bilangan Gelombang (cm-1)
Gambar 7 Spektrum FTIR C-dot jelaga kerosen dengan jelaga kerosen murni
Selain dilakukan pengukuran untuk sampel C-dot jelaga kerosen, pengukuran
FTIR juga dilakukan untuk sampel C-dot fine coal. Hal ini dapat terlihat pada
Gambar 8, dan interpretasi gugus fungsi dapat dilihat pada Lampiran 7. Gambar
tersebut menjelaskan bahwa adanya perbedaan puncak serapan antara sampel C-dot
fine coal dengan fine coal murni. Fine coal murni menghasilkan puncak serapan OH pada bilangan gelombang 3618 cm-1. Hal tersebut dimungkinkan akibat fine coal
yang digunakan untuk sintesis C-dot telah mengalami oksidasi di alam tidak seperti
jelaga kerosen yang belum mengalami oksidasi, sehingga tidak terlihat serapan OH
pada jelaga kerosen murni.
C-dot fine coal menghasilkan puncak serapan pada bilangan gelombang 1788
-1
cm yang merupakan puncak dari serapan C=O. Selain itu dihasilkan pula serapan
O-H asam pada bilangan gelombang 3439 cm-1 Spektrum di atas juga
memperlihatkan 2 serapan C-H aldehida pada bilangan gelombang 2850 dan 2763
cm-1. Hasil tersebut telah menjelaskan bahwa di dalam struktur C-dot fine coal yang
telah disintesis terdapat gugus fungsi karboksilat dan aldehida (Pavia et al. 2009)
Hal tersebut sesuai dengan hasi pada C-dot jelaga kerosen. Berdasarkan percobaan
yang dilaporkan oleh Hu et al. (2014) batu bara juga mempunyai serapan C=C pada
bilangan gelombang 1597 cm-1. Hasil tersebut hampir sesuai dengan C-dot fine coal
yang telah disintesis, walaupun mengalami sedikit pergeseran yaitu pada bilangan
gelombang 1585 cm-1 untuk serapan C=C. Selain itu didapatkan pula serapan lain
seperti serapan C≡C dan pada bilangan gelombang 2426 dan 2092 cm-1 serta pada
bilangan gelombang 1384 dan 835 cm-1 untuk serapan C-H dari CH3 dan R2C=RH.

12
180

: C-dot fine coal

Intensitas Ternormalisasi

160

: fine coal murni

140
120
100

C-H

80
O-H
C≡C

60
C-H

40
20

C≡C
O-H

C=O
C=C

0

3,398

2,398

R2C=RH
C-H

1,398

398

Bilangan Gelombang (cm-1)
Gambar 8 Spektrum FTIR C-dot fine coal dengan fine coal murni

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Sintesis nanopartikel karbon berfluoresens berbahan dasar jelaga kerosen dan
fine coal telah berhasil dilakukan. Sintesis menggunakan C-dot berbahan fine coal
menghasilkan intensitas fluoresens yang lebih tinggi dibandingkan dengan C-dot
berbahan dasar jelaga kerosen. Selain intensitas yang dihasilkan, C-dot berbahan
dasar fine coal juga memiliki rendemen yang lebih besar dibandingkan dengan Cdot jelaga kerosen. Pola serapan larutan C-dot jelaga kerosen dan C-dot fine coal
menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan. Emisi yang dihasilkan C-dot jelaga
kerosen dan C-dot fine coal memiliki puncak maksimum berturut-turut 521 dan
516 nm. Sedangkan hasil pengukuran FTIR menunjukkan perbedaan yang tidak
signifikan antara C-dot jelaga kerosen dan C-dot fine coal serta berbeda secara
signifikan dengan sampel awalnya.

Saran
Perlu dilakukan karakterisasi lebih lanjut dengan menggunakan mikroskop
transmisi elektron (TEM) untuk mengetahui apakah senyawa yang telah disintesis
sudah berukuran nano.

13

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah M, Virgus Y, Nirmin, Khairurrijal. 2008. Review: Sintesis nanomaterial.
Jurnal Nanosains dan Nanoteknologi. 1(2):33-57.
Baker SN, Baker GA. 2010. Luminescent carbon nanodots: Emergent nanolights.
Angewandte
Chemie
International
Edition.
49:672667:44.
doi:10.1002/anie.200906623.
Hossain MA, Islam S. 2013. Synthesis of carbon nanoparticles from kerosene and
their characterization by SEM/EDX, XRD and FTIR. American Journal of
Nanoscience and Nanotechnology. 1(2):52-56.
Hu C, Yu C, Li M, Wang X, Yang J, Zhao Z, Eychmuller A, Sun YP, Qiu J. 2014.
Chemically tailoring coal to fluorescent carbon dots with tuned size and their
capacity
for
Cu(II)
detection.
Small
Journal.
1:18.doi:10.1002/smll.201401328.
Khayatun LA. 2014. Karakterisasi dan pengolahan fine coal dengan poliakrilamida
sebagai flokulan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Lakowicz JR.2006. Principles of Fluorescence Spectroscopy. New York (US):
Springer.
Liu H, Ye T, Mao C. 2007. Preparation of fluorescent carbon nanoparticles from
candle soot. Angewandte Chemie International Edition. 46:6473-6475.doi:
10.1002/anie.200701271.
Lu HC. 2008. Luminescent semiconductor quantum dots [disertasi]. Dortmund
(DE) : Technische Universität Dortmund.
Nisa AK. 2014. Sintesis nanopartikel karbon berfluoresent [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Pavia DL, Lampman GM, Kriz GS, Vyvyan JR. 2009. Introduction to
Spectroscopy. Washington (US): Cengage Learning.
Qu SG, Wang X, Lu Q, Liu X, Wang L. 2012. A biocompatible fluorescent ink
based on water-soluble luminescent carbon nanodots. Angewandte Chemie.
124:1-5.doi:10.1002/ange.201206791.
Ray SC, Saha A, Jana NR, Sarkar R. 2009. Fluorescent carbon nanoparticles:
synthesis, characterization, and bioimaging application. Journal Physical
Chemistry. 113(43):18546–18551.doi:10.1021/jp905912n. Shooto ND,
Dikio ED. 2012. Synthesis and characterization of diesel, kerosene and candle
wax soot’s. International Journal Electrochemical Science. 7:4336-4344.
Setianingrum VM. 2011. Peningkatan fluoresensi pada komposis europium
trietilenaglikolpikrat/polimetilmetakrilat untuk aplikasi fotosensor [skripsi].
Depok (ID): Universitas Indonesia.
Shooto ND, Dikio ED. 2012. Synthesis and characterization of diesel, kerosene and
candle wax soot’s. International Journal of Electrochemical Science. 7:43364344.
Sriwahyuni H, Suryantoro. 2010. Pengaruh ukuran butir koloid terhadap deposisi
koloid pada tanah sekitar fasilitas penyimpanan lestari limbah radioaktif.
Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VII; 2010 Jun 22;
Tangerang, Indonesia. Puspitek Serpong (ID): Pusat Teknologi Limbah
Radioaktif-BATAN. hlm 211-116.

14
Sun YP, Zhou B, Lin Y, Wang W, Fernando KAS, Pathak P, Meziani MJ, Harruff
BA, Wang X, Wang H et al. 2006. Quantum-sized carbon dots for bright and
colorful photoluminescence. Journal American Chemical Society.
128(24):7756-7757.doi:10.1021/ja062677d.
Tan M, Zhang L, Tang R, Song X, Li Y, Wu H, Wang Y, Lv G, Liu W, Ma X.
2013. Enhanced photoluminescence and characterization of multicolor
carbon dots using plant soot as a carbon source. Talanta. 115:950-956.
Wilson WL, Szajowski PF, Brus LE. 1993. Quantum confinement in size-selected,
surface-oxidized silicon nanocrystals. Science. 262:1242-1244.
Ye R, Xiang C, Lin J, Peng Z, Huang K, Yan Z, Cook NP, Samuel ELG, Hwang
CC, Ruan G et al. 2014. Coal as an abundant source of graphene quantum
dots. Nature Communication. 4:2943.doi:10.1038/ncomms3943.
Yustanti E. 2012. Pencampuran batubara coking dengan batubara lignite hasil
karbonisasi sebagai bahan pembuatan kokas. Jurnal Teknologi Pengelolaan
Limbah. 15:1410-9565.

15
Lampiran 1 Diagram alir penelitian
Fine Coal
Ditambahkan
HNO3 5 M

Jelaga Kerosin

Direfluks
selama 12
jam

C-dot Tahap
pertama
Dinginkan pada suhu ruang
Pusingkan dengan
sentrifusa pada 4000
rpm selama 30 menit

Fase
Supernatan
(berwarna
coklat)

Fase
padatan
(endapan
hitam)

Dinetralkan dengan
NaOH (3 M)
Disaring dengan
kertas saring
C-dot
ternetralkan
Dialisis menggunakan
membran 1000 dalton

C-dot Kering

Diuapkan di
dalam oven
selama 12 jam

Analisis dengan
UV-Vis

Uji spektrofotometri
fluoresens

Larutan C-dot
murni

Analisis dengan
FTIR

16
Lampiran 2 Rangkaian alat spektroskopi fluoresens
C

A
B

A : tempat sampel yang akan diukur dengan kuvet
B : laser sebagai sumber sinar (400 nm)
C : monitor (tempat terekamnya hasil)

17
Lampiran 3 Proses dialisis
C-dot jelaga kerosen

C-dot fine coal

18
Lampiran 4 Contoh perhitungan rendemen

Bobot (g)
Sampel

Kerosen
Ulangan 1
Kerosen
Ulangan 2
Fine coal
Ulangan 1
Fine coal
Ulangan 2

Sampel
Awal

Gelas Piala
Kosong

Gelas
Piala +
Sampel

Sampel
Akhir

0.1025

63.8489

63.8699

0.0210

63.8568

63.8748

0.0180

17.98

0.1014

61.3308

61.3596

0.0288

28.40

0.1004

61.3335

61.3588

0.0253

25.19

26.80

Rendemen (%)

Bobot akhir sampel C − dot
.

.

Bobot sampel awal
g

g

× 100 %

× 100 %

= 28.4023 %
Sintesis kerosin ulangan 1
Bobot gelas piala + sampel : 63.8699 g
Bobot piala gelas kosong : 63.8489 g
=
Bobot akhir sampel C − dot : .
g
Rendemen (%)

=
=

Bobot akhir sampel C − dot
.

20.48

0.1007

Bobot gelas piala + sampel : 61.3596 g
Bobot piala gelas kosong : 61.3308 g
=
Bobot akhir sampel C − dot : . 88 g

=

Rerata
Rendemen
(%)

19.23

Sintesis fine coal ulangan 1

=

Rendemen
(%)

Bobot sampel awa�
g

× 100 %
.
g
= 20.4878 %

× 100 %

19
Lampiran 5 Contoh perhitungan pengenceran
Larutan 1000 ppm :
mg sampel
=
mL labu takar
Larutan 500 ppm :
�� = ��
� ×
ppm =
� =

� =

� =

� =

� =

� =

� =

mL ×

ppm

mL ×

ppm

. mL

Larutan 10 ppm
�� = ��
� ×
ppm =
� =

ppm

mL

Larutan 50 ppm :
�� = ��
� ×
ppm =
� =

mL ×

. mL

Larutan 100 ppm :
�� = ��
� ×
ppm =

mL

mL ×

×

ppm

. mL

Larutan 250 ppm
�� = ��
� ×
ppm =
� =

mL ×

mg
=
mL

ppm

mg



L

=

ppm

20
Lampiran 6 Spektrum UV-Vis dari kontrol
Kontrol jelaga kerosen
1.8
1.6

Intensitas

1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
200

300

400

500

600

700

λ (nm)
Kontrol fine coal
1.8
1.6

Intensitas

1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
200

300

400

λ (nm)

500

600

700

21
Lampiran 7 Puncak serapan FTIR
(Pavia et al. 2009)
C-dot jelaga kerosen
Serapan
O-H
C-H (aldehida)
C-H (aldehida)
C≡C
C≡C konjugasi
R2C=O, aldehida, keton,ester atau amida.
C=O
C=C, alifatik dan aromatik
C-H dari CH3
C-H dari CH3
C-O
R2C=RH
benzena atau aromatik

Bilangan Gelombang
(cm-1)
3421
2848
2761
2426
2092
1899
1788
1591
1384
1350
1182
835
725

C-dot fine coal
Serapan
O-H
C-H (aldehida)
C-H (aldehida)
C≡C
C≡C konjugasi
C=O
C=C, alifatik dan aromatik
C-H dari CH3
C-O
R2C=RH
Aromatik meta

Bilangan Gelombang
(cm-1)
3439
2850
2763
2426
2092
1788
1585
1384
1182
835
779

Fine coal murni
Serapan
O-H
C-H (aldehida)
C-H (aldehida)

Bilangan Gelombang
(cm-1)
3618
2924
2850

22

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 Desember 1991 dari pasangan
Abdul Ghofir dan Sri Wilujeng Yanuarti. Penulis merupakan anak terakhir dari 4
bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2
Banjarnegara dan melanjutkan studi di Departemen Kimia, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama mengikuti perkuliahan penulis menjadi asisten praktikum Kimia B
(2012-2013) dan asisten Kimia B dan Kimia Dasar I (2013-2014). Penulis pernah
aktif dalam organisasi Koran Kampus sebagai anggota divisi kartunis (2012-2013)
dan sebagai divisi kominfo dalam organisasi Bina Desa IPB. Penulis juga
berkesempatan melakukan Praktik Lapangan di Pusat Teknologi Bahan Industri
Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional (PTBIN-BATAN) Serpong pada bulan JuliAgustus 2013.