Cascading Arima Dan Jaringan Syaraf Tiruan Pada Prediksi Awal Musim Hujan (Studi Kasus: Wilayah Waingapu, Nusa Tenggara Timur).

CASCADING ARIMA DAN JARINGAN SYARAF TIRUAN
PADA PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN
(Studi Kasus: Wilayah Waingapu, Nusa Tenggara Timur)

AMARTA SINARDI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Cascading Arima dan
Jaringan Syaraf Tiruan pada Prediksi Awal Musim Hujan (Studi Kasus: Wilayah
Waingapu, Nusa Tenggara Timur) adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016

Amarta Sinardi
NRP G651140191

RINGKASAN
AMARTA SINARDI. Cascading ARIMA dan Jaringan Syaraf Tiruan pada
Prediksi Awal Musim Hujan (Studi Kasus: Wilayah Waingapu, Nusa Tenggara
Timur). Dibimbing oleh AGUS BUONO dan IRMAN HERMADI.
Kejadian awal musim hujan (AMH) yang tidak menentu berdampak negatif
di berbagai sektor, khususnya pada sektor pertanian sering terjadi kegagalan panen.
Oleh karena itu, prediksi AMH perlu dilakukan sebagai suatu strategi untuk
meningkatkan hasil produksi pertanian. Informasi prediksi AMH dapat
dimanfaatkan untuk menentukan waktu tanam, persiapan sistem pengairan,
pemilihan bibit, dan pemupukan.
Hujan di Indonesia dipengaruhi oleh fenomena global El Nino Southern
Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD). Namun, besar kecilnya
pengaruh tersebut beragam di setiap wilayah (Fadholi 2013). Data Sea Surface
Temperature (SST) Nino 3.4 digunakan sebagai acuan untuk menentukan seberapa

besar kejadian ENSO dan data Dipole Mode Indeks (DMI) sebagai acuan untuk
menentukan seberapa besar kejadian IOD (Fadholi 2013).
Penelitian ini bertujuan untuk membangun sebuah model Cascading ARIMA
dan JST untuk memprediksi AMH pada wilayah Waingapu provinsi Nusa Tenggara
Timur. Data yang digunakan terdiri atas: data curah hujan harian, SST Nino 3.4 dan
DMI. Metode Liebmann digunakan untuk melakukan penentuan AMH dengan
melakukan perhitungan terhadap data curah hujan harian. Berdasarkan metode
Liebmann AMH wilayah Waingapu terjadi antara bulan September sampai bulan
Desember. Pemodelan ARIMA menghasilkan model terbaik yaitu model ARIMA
(3,1,0) dengan persamaan � = ,
�− + ,
�− − ,
�− +
,
. Pemilihan prediktor untuk input pada pemodelan JST
�− − ,
dilakukan dengan perhitungan korelasi antara data AMH dengan data SST Nino 3.4
dan DMI. Lebih lanjut, data SST Nino 3.4 bulan Juni, Juli, Agustus dan DMI bulan
Agustus dijadikan sebagai input dan nilai error dari prediksi ARIMA sebagai target
pada pemodelan JST. Prediksi AMH berdasarkan Cascading ARIMA dan JST

adalah hasil dari prediksi ARIMA dijumlahkan dengan hasil keluaran dari JST.
Prediksi AMH menggunakan Cascading ARIMA dan JST lebih baik dibandingkan
hanya menggunakan ARIMA saja. Hasil pengujian dan evaluasi prediksi AMH
menggunakan menggunakan Cascading ARIMA dan JST diperoleh nilai r= 0,76
dan RMSE= 21,75, sedangkan hasil prediksi AMH hanya menggunakan ARIMA
saja diperoleh nilai r = 0.14 dan RMSE = 32.53.
Kata kunci: Awal Musim Hujan, ARIMA, JST, SST Nino 3.4, DMI.

SUMMARY
AMARTA SINARDI. Cascading ARIMA and Artificial Neural Network in Onset
of Rainy Season Prediction (Case Study in Waingapu, East Nusa Tenggara
Province). Supervised by AGUS BUONO dan IRMAN HERMADI.
Uncertain onset of rainy season has a negative impact in many sectors. In
agriculture, it causes crop failure happen frequently. Therefore, onset prediction
needs to be done to increase agricultural production. Information obtained through
the onset prediction can be used to determine the time of planting, watering system
preparation, seed selection and fertilization.
The rainfall in Indonesia are affected by the global phenomenon El Nino
Southern Oscillation (ENSO) and Indian Ocean Dipole (IOD). However, the size
of these effects varies in each region. Sea Surface Temperature (SST) Nino 3.4 is

used as a reference for determining how much of El Nino and Dipole Mode Index
(DMI) which was used as reference to determine how big the IOD events.
The aim of this study is for establishing a cascading Autoregressive Integrated
Moving Average (ARIMA) and Artificial Neural Network (ANN) model to predict
the onset in Waingapu region, East Nusa Tenggara Province. The data used consist
of: daily rainfall data, SST Nino 3.4 and DMI. Liebmann method was used to
determine onset by calculating the daily rainfall data. Based on Liebmann method,
the onset in Waingapu region occurred between September to December. ARIMA
modeling produced ARIMA (3,1,0) as the best model with equation yt =
,
yt− + ,
yt− − ,
yt− + ,
yt− − ,
. Selection of
predictors as ANN modeling input was done by correlating onset with SST Nino
3.4 and DMI. Furthermore, SST Nino 3.4 in June, July, August and DMI in August
used as input and the value of the ARIMA prediction error used as target. The onset
prediction based on cascading ARIMA and ANN was an addition of ARIMA
prediction value and ANN output. The testing and evaluation of onset prediction by

cascading ARIMA and ANN results obtained r = 0.76 and RMSE = 21.75, while
onset prediction by ARIMA results obtained r = 0.14 and RMSE = 32.53.
Keywords: Onset of Rainny Season, ARIMA, ANN, SST Nino 3.4, DMI.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

CASCADING ARIMA DAN JARINGAN SYARAF TIRUAN
PADA PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN
(Studi Kasus: Wilayah Waingapu, Nusa Tenggara Timur)

AMARTA SINARDI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Komputer
pada
Program Studi Ilmu Komputer

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Sri Wahjuni, MT

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah yang Maha Kuasa atas
segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian
Cascading Arima dan Jaringan Syaraf Tiruan pada Prediksi Awal Musim Hujan
(Studi Kasus: Wilayah Waingapu, Nusa Tenggara Timur) mulai dilaksanakan pada
bulan September 2015. Penelitian ini dilakukan sebagai syarat untuk memperoleh
gelar Magister Ilmu Komputer pada Program Ilmu Komputer pada Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan

penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. Dr Ir Agus Buono, Msi Mkom dan Bapak Irman Hermadi, SKom MS PhD selaku
komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran sehingga
tesis ini dapat diselesaikan.
2. Dr Ir Sri Wahjuni, MT selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan dan
masukan untuk perbaikan tesis ini.
3. Semua dosen dan staf Departemen Ilmu Komputer-FMIPA Institut Pertanian
Bogor yang telah membantu selama proses penelitian.
4. Keluarga tercinta yang selalu memberikan dukungan dan doa untuk kelancaran
penyusunan laporan tesis ini.
5. Rekan-rekan seperjuangan Pascasarjana Ilmu Komputer 2014 yang setia
berdiskusi dan membantu dengan ikhlas.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis
ini, namun demikian penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat untuk bidang ilmu
komputer, bidang pendidikan dan bidang umum lainnya.

Bogor, Agustus 2016
Amarta Sinardi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1

1
2
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Awal Musim Hujan (AMH)
El Nino Southern Oscillation (ENSO)
Indian Ocean Dipole (IOD)
Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA)

2
2
3
3
3

Jaringan Syaraf Tiruan (JST)


6

3 METODE
Area Studi dan Waktu Penelitian
Tahapan Penelitian

8
8
8

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan AMH
Pemilihan Prediktor AMH
Pemodelan ARIMA
Pemodelan JST
Pengujian dan Evaluasi

11
11
12

13
16
17

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

18
18
18

DAFTAR PUSTAKA

19

LAMPIRAN

21

RIWAYAT HIDUP

32

DAFTAR TABEL
1 Korelasi data AMH dengan data SST Nino 3.4 dan DMI
2 Karakteristik dan spesifikasi pada arsitektur JST

13
16

DAFTAR GAMBAR
1 Model JST (Sumber: Elsafi 2014)
2 Diagram alir penelitian
3 Proses input output Cascading ARIMA dan JST
4 Grafik Akumulasi curah hujan harian Waingapu 1973
5 Grafik data AMH Waingapu 1973-2013
6 Grafik Trend Analysis data AMH training
7 Grafik Trend Analysis data differencing ke-1
8 Plot ACF data differencing ke-1
9 Plot PACF data differencing ke-1
10 Grafik perbandingan hasil prediksi dan data training
11 Grafik perbandingan hasil prediksi dan data testing

6
9
11
12
12
14
14
15
15
17
17

DAFTAR LAMPIRAN
1 Data AMH 1973-2013 berdasarkan metode Liebmann
2 Hasil differencing ke-1 data AMH training
3 Estimasi parameter model ARIMA
4 Pengecekan diagnostik model
5 Kode pemodelan JST
6 Perbandingan data hasil prediksi dengan data training
7 Perbandingan data hasil prediksi dengan data testing

22
23
24
27
29
30
31

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kejadian awal musim hujan (AMH) yang tidak menentu berdampak negatif
di berbagai sektor, khususnya pada sektor pertanian sering terjadi kegagalan panen.
Oleh karena itu, prediksi AMH perlu dilakukan sebagai suatu strategi untuk
meningkatkan hasil produksi pertanian. Informasi yang diperoleh melalui prediksi
AMH dapat dimanfaatkan untuk menentukan waktu tanam, persiapan sistem
pengairan, pemilihan bibit, dan pemupukan. Persiapan dan perencanaan yang baik
dapat mengurangi terjadinya resiko gagal panen.
Faktor iklim sangat berpengaruh terhadap hasil produksi pertanian, terutama
bagi wilayah yang beriklim ekstrim (Otok dan Suhartono 2009). Beberapa hasil
penelitian (Estiningtyas et al. 2007; Fadholi 2013; Surmaini dan Susanti 2008; Qian
et al. 2010) menunjukkan bahwa iklim di Indonesia dipengaruhi oleh fenomena
global El Nino Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD).
Namun, besar kecilnya pengaruh tersebut beragam di setiap wilayah (Fadholi
2013). Data Sea Surface Temperature (SST) Nino 3.4 digunakan sebagai acuan
untuk menentukan seberapa besar kejadian ENSO dan data Dipole Mode Indeks
(DMI) sebagai acuan untuk menentukan seberapa besar kejadian IOD (Fadholi
2013).
Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) dan jaringan syaraf
tiruan (JST) merupakan metode yang populer saat ini digunakan untuk melakukan
prediksi. Penelitian terkait metode ARIMA pernah dilakukan oleh Kaushik dan
Singh (2008), Indriani et al. (2011), dan Zakaria et al. (2012) untuk memprediksi
curah hujan. Hasil dari beberapa penelitian tersebut mengungkapkan bahwa metode
ARIMA baik diterapkan untuk melakukan prediksi.
Penelitian terkait JST pernah dilakukan oleh Desylvia et al. (2015) dan Lubis
dan Buono (2012), JST digunakan untuk memprediksi AMH. Hasil dari penelitian
Desylvia et al. tahun 2015 model JST terbaik diperoleh pada alpha 0,15 dengan
nilai RMSE sebesar 32,0546. Hasil dari penelitian Lubis dan Buono tahun 2012
menunjukkan bahwa pada taraf nyata 5% dengan input SST bulan Juni, Juli dan
Agustus diperoleh tingkat akurasi masing-masing sebesar 51%, 48% dan 75%.
Elwasify (2015) melakukan penelitian dengan menggabungkan metode
ARIMA dan JST untuk memprediksi indek pasar saham. Hasil dari penelitian
Elwasify tahun 2015 mengungkapkan bahwa akurasi prediksi dari kombinasi
ARIMA dan JST lebih baik dibandingkan hasil prediksi ARIMA dan JST secara
terpisah.
Lebih lanjut, penelitian ini bertujuan membangun sebuah model dengan
menggabungkan metode ARIMA dan JST untuk memprediksi AMH dengan
indikator data global SST Nino 3.4 dan DMI. Penelitian berfokus pada wilayah
Waingapu Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak diantara 119°45 – 120°52
Bujur Timur dan 9°16–10°20 Lintang Selatan. Wilayah Waingapu merupakan
wilayah yang memiliki tingkat curah hujan ekstrim, kejadian musim hujan relatif
lebih pendek dibanding musim kemarau. AMH wilayah Waingapu dapat diprediksi
menggunakan metode ARIMA dan JST secara terintegrasi, sehingga informasi
yang diperoleh lebih akurat.

2
Perumusan Masalah
Bagaimana membangun model Cascading ARIMA dan JST untuk
memprediksi AMH dengan indikator data SST Nino 3.4 dan DMI ?

Tujuan Penelitian
Membangun sebuah model Cascading ARIMA dan JST untuk memprediksi
AMH dengan indikator data global SST Nino 3.4 dan DMI.

Manfaat Penelitian
Mendapatkan sebuah model prediksi Cascading ARIMA dan JST. Informasi
prediksi AMH dapat digunakan untuk menentukan waktu tanam, mempersiapkan
sistem pengairan, pemilihan bibit dan pemupukan untuk membantu meningkatkan
hasil produksi pertanian.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini fokus dilakukan pada wilayah Waingapu Provinsi Nusa
Tenggara Timur menggunakan data curah hujan harian tahun 1973-2013, SST Nino
3.4 tahun 1973-2013, dan DMI tahun 1973-2013.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Awal Musim Hujan (AMH)
Berdasarkan ketentuan yang dibuat oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG), AMH di wilayah Indonesia ditandai dengan jumlah curah
hujan dasarian (10 harian) lebih dari 50 mm dan diikuti minimal dua dasarian
berikutnya (Lubis 2012).
Liebman et al. (2008) mendefinisikan AMH merupakan akumulasi curah
hujan minimum dalam setahun berdasarkan Persamaan 1.
��

= ∑[�
=

− �̅]

A(day)= akumulasi curah hujan dalam setahun; R(n)= curah hujan harian dari
̅= rataan curah hujan dalam setahun.
hari pertama sampai hari ke-n dalam setahun; R

Data curah hujan harian pada tanggal 29 Februari dihilangkan dari setiap
perhitungan, sehingga jumlah hari dalam setahun diasumsikan 365 hari (Liebmann
et al. 2007). Perhitungan dimulai 10 hari sebelum bulan terkering, kecuali bulan

3
tersebut terjadi antara bulan Juli dan Januari, maka perhitungan dimulai pada 1
Januari setiap tahunnya (Liebmann et al. 2008).

El Nino Southern Oscillation (ENSO)
ENSO merupakan penyimpangan iklim di kawasan Samudera Pasifik yang
ditandai dengan terjadinya kenaikan atau penurunan suhu permukaan laut (Fadholi
2013). Terdapat dua kejadian pada fenomena ENSO yaitu El Nino dan La Nina.
Kejadian El Nino ditandai dengan terjadinya kenaikan suhu permukaan laut di
kawasan Samudra Pasifik, sedangkan La Nina sebaliknya. Ketika El Nino
berlangsung angin pasat barat lebih kuat dari angin pasat timur, sehingga
pembentukan awan di kawasan Timur Pasifik lebih aktif dibandingkan kawasan
Barat Pasifik (Indonesia), yang menyebabkan curah hujan di Indonesia mengalami
penurunan dibandingkan kondisi normal. Sebaliknya, ketika La Nina berlangsung
angin pasat timur lebih kuat dari angin pasat barat, sehingga pembentukan awan di
kawasan Barat Pasifik lebih aktif dibandingkan kawasan Timur Pasifik yang
menyebabkan curah hujan di Indonesia mengalami peningkatan dibanding kondisi
normal. SST Nino 3.4 sangat berpengaruh terhadap hujan di Indonesia (Surmaini
dan Susanti 2008). Data SST Nino 3.4 digunakan sebagai acuan untuk menentukan
seberapa besar kejadian El Nino (Fadholi 2013).

Indian Ocean Dipole (IOD)
IOD merupakan penyimpangan iklim yang disebabkan oleh interaksi laut dan
atmosfer yang terjadi di Samudra Hindia (Fadholi 2013). IOD positif memberikan
dampak terjadinya penurunan curah hujan di Indonesia, disebabkan suhu
permukaan laut di pantai Timur Afrika (Samudra Hindia bagian barat) lebih tinggi
dibanding suhu permukaan laut di pantai Sumatra (Samudra Hindia bagian timur).
Sedangkan, IOD negatif sebaliknya. Data DMI digunakan sebagai acuan untuk
menentukan seberapa besar kejadian IOD positif (Fadholi 2013).

Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA)
ARIMA merupakan pendekatan model kuantitatif yang dikembangkan oleh
George Box dan Gwilym Jenkins (Singh dan Mishra 2015). ARIMA memanfaatkan
data masa lalu untuk memprediksi masa yang akan datang (Rumagit dan Azhari
2013). Arima lebih dapat mengikuti fluktuasi data dibandingkan dengan metode
lain (Indriani et al. 2011).
Model ARIMA adalah gabungan dari model Autoregressive (AR) ordo p dan
model Moving Average (MA) ordo q yang mengalami differencing ordo d, yang
dinotasikan sebagai ARIMA (p,d,q).
Autoregressive (AR)
Bentuk umum model AR dengan ordo p (AR(p)) atau model ARIMA (p,0,0)
ditampilkan pada Persamaan 2.

4
�=

+�

�−

+�

�−

+ ...... �

�−

+ ��

(2)

= variabel dependen; = konstanta koefisien; �− ... yt− = variabel
independen atau nilai masa lampau; θ …. θ = koefisien AR � ≠ 0; et = residual
pada waktu .
t

Moving Average (MA)
Model MA adalah metode analisis sederhana dengan mencari rataan bergerak
dari suatu variabel selama beberapa periode yang dipengaruhi oleh kesalahan atau
residual pada saat ini dan masa lalu. Bentuk umum model MA ordo q (MA(q)) atau
ARIMA (0,0,q) ditampilkan pada Persamaan 3.


=

+ �� − � ��− - � ��− - .... � ��−

(3)

t = variabel dependen; = konstanta koefisien; � = residual pada waktu t;
� ... � = koefisien MA; �− ...et− = nilai residual sebelumnya.

Perbedaan model AR dan MA terletak pada jenis variabel independen. Pada
model AR variabel independen adalah nilai sebelumnya dari variabel dependen ( t )
itu sendiri. Sedangkan, pada model MA variabel independennya adalah nilai
residual pada periode sebelumnya (Rumagit dan Azhari 2013).
Autoregressive Moving Average (ARMA)
Model ARMA adalah gabungan dari model AR dan MA yang tidak melalui
proses differencing. Bentuk umum dari model ARMA atau ARIMA (p,0,q)
ditampilkan pada Persamaan 4.


=

+�

�−

+ ⋯+ �

�−

+ �� − � ��− … − � ��−

(4)

= variabel dependen; = konstanta koefisien; �− ... yt− = variabel
independen atau nilai masa lampau; θ …. θ = koefisien AR � ≠ 0; et = residual
pada waktu ; � ... � = koefisien MA; �− ...et− = nilai residual sebelumnya.
t

Autocorrelation Function (ACF) dan Partial Autocorrelation Function (PACF)
ACF merupakan korelasi antara variabel yang sama pada periode waktu atau
lag yang berbeda, sedangkan PACF merupakan korelasi antar deret pengamatan
yang mengukur tingkat keeratan antar pengamatan suatu deret waktu. ACF dan
PACF adalah alat untuk menduga model ARIMA yang akan dapat digunakan untuk
melakukan prediksi. Plot ACF digunakan untuk menentukan nilai q dan plot PACF
untuk menentukan nilai p. Nilai p dan q dinyatakan sebagai banyaknya nilai ACF
dan PACF sejak lag 1 hingga lag ke-k yang terletak di luar selang kepercayaan.
Differencing
Pemodelan ARIMA harus menggunakan data yang stasioner (Rumagit dan
Azhari 2013). Data dikatakan stasioner apabila tidak terdapat pertumbuhan atau
penurunan pada data sepanjang sumbu waktu. Jika data yang digunakan belum
stasioner maka dilakukan differencing agar data menjadi stasioner (Lusiani 2011).

5
Differencing adalah menghitung perubahan atau selisih nilai observasi, secara
umum dirumus pada Persamaan 5.
Differencing orde d =
,




=

=
=
=

�−


�−
�−





(5)



, untuk differencing pertama dirumuskan pada Persamaan 6.
(6)





�−

B= operator shift mundur (Backword shift); �, = Differencing pertama;
Nilai X pada orde ke t; �− = Nilai X pada orde ke t-1.

�=

Gabungan model AR ordo p dan model MA ordo q yang mengalami
differencing ordo d dinotasikan sebagai model ARIMA (p,d,q), p menyatakan nilai
AR, d menyatakan nilai berapa kali differencing dilakukan, dan q menyatakan nilai
MA. Bentuk umum dari ARIMA (p,d,q) dengan satu kali differencing (d=1)
ditampilkan pada Persamaan 7.
� ��−



= +�
- .... � ��−

�−

+ � −�

�−

+ ⋯− �

�− −

+

+ � ��− −

(7)

� = variabel dependen (nilai yang akan diprediksi); � .... � = koefisien
parameter AR ke-p; �− ... �− = variabel independen (nilai masa lalu); =
konstanta koefisien; � …. � = koefisien parameter MA ke-q; �− ...et− = nilai
residual pada waktu t-q.

Metode ARIMA terdiri atas empat tahap (Elwasify 2015) yaitu:
1. Identifikasi model
Sebelum melakukan identifikasi model, terlebih dahulu dilakukan
pengecekan kestasioneran data. Setelah data stasioner identifikasi model
dilakukan dengan mengamati plot ACF dan PACF. Nilai p ditentukan dengan
mengamati plot PACF dan nilai q ditentukan dengan mengamati plot ACF.
2. Estimasi parameter
Pendugaan parameter dengan melakukan uji hipotesis untuk menentukan
parameter yang layak digunakan untuk membuat model. Apabila model
memenuhi syarat estimasi parameter, tahap selanjutnya akan dilakukan
pengecekan diagnostik pada masing-masing model.
3. Pengecekan diagnostik
pengecekan diagnostik dilakukan dengan melihat kenormalan residual pada
masing-masing model yang ditandai dengan nilai P-Value lebih besar dari
0,05.
4. Prediksi
Prediksi dilakukan menggunakan model terbaik yang memenuhi syarat
estimasi parameter dan pemeriksaan diagnostik.

6

Jaringan Syaraf Tiruan (JST)
JST merupakan konsep pengetahuan di bidang kecerdasan buatan yang
mengadopsi sistem syaraf manusia (Mislan et al. 2015). JST merupakan pendekatan
yang cepat dan fleksibel untuk integrasi data dan pengembangan model (Elsafi
2014). Menurut Kusumadewi (2004) JST terdiri atas beberapa neuron input.
Informasi diproses oleh neuron-neuron tersebut dengan bobot tertentu. Setiap
neuron JST mempunyai sebuah nilai ambang. Jumlah bobot dari input kemudian
dikurangi dengan nilai ambang akan mendapatkan suatu fungsi aktivasi untuk
menghasilkan output, seperti yang ditampilkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Model JST (Sumber: Elsafi 2014)
Pembelajaran Backpropagation
Backpropagation merupakan algoritma pembelajaran untuk meminimalkan
error dengan memperbaiki bobot pada setiap lapisan JST ( Litta et al. 2013).
Algoritma backpropagation terdiri dari tiga tahapan. Tahapan pertama yaitu fase
maju, ketika jaringan diberikan input untuk pelatihan, pola tersebut menuju ke unitunit lapisan tersembunyi menggunakan fungsi aktivasi yang telah ditentukan, lalu
diteruskan ke unit-unit lapisan output. Tahapan kedua yaitu fase mundur, unit-unit
lapisan output akan memberikan tanggapan dengan membandingkan hasil output
dengan target. Selisih output dan target merupakan nilai error yang terjadi. Jika
nilai error yang dihasilkan lebih kecil dari batas toleransi yang ditentukan, maka
iterasi dihentikan. Jika tidak, output akan menyebar mundur pada lapisan
tersembunyi dan diteruskan ke unit pada lapisan input. Tahapan ketiga yaitu
perbaikan bobot pada semua unit lapisan yang bertujuan untuk meminimalkan error.
Algoritma backpropagation (Kusumadewi 2004):
1. Inisialisasi bobot ambil bobot awal dengan nilai kecil secara random.
2. Kerjakan langkah-langkah berikut selama kondisi berhenti bernilai FALSE.



Feedforward:
Unit input ( i= 1,2,3,...,n) menerima sinyal
tersebut ke semua unit pada lapisan tersembunyi.

dan meneruskan sinyal

Unit tersembunyi ( j= 1,2,3,...,p) menjumlahkan sinyal-sinyal input terbobot,
menggunakan Persamaan 8.

7
_�

+∑=

=

(8)

Fungsi aktivasi digunakan untuk menghitung sinyal output dengan Persamaan
9.
=

_�

(9)

Sinyal tersebut dikirimkan ke semua unit lapisan output.


Unit output ( , k=1,2,3,...,m) menjumlahkan sinyal-sinyal input terbobot
menggunakan Persamaan 10.
_�

+∑=

=

(10)

Fungsi aktivasi digunakan untuk menghitung sinyal output dengan Persamaan
11.
=

_�

(11)

dan sinyal tersebut dikirimkan ke semua unit lapisan output.






Backpropagation:
Unit output ( , k= 1,2,3,...,m) menerima pola target yang berhubungan
dengan pola input pembelajaran, informasi error di hitung menggunakan
Persamaan 12.
� =



′ _�

(12)

Hitung korelasi bobot, yang akan digunakan untuk memperbaiki nilai
dengan persamaan �
=��
. Hitung juga korelasi bias, yang akan
digunakan untuk memperbaiki nilai
dengan persamaan �
=�� .
Kirim � pada unit lapisan tersembunyi.

Unit tersembunyi ( , j=1,2,3,...,p) menjumlahkan delta input dari unit lapisan
output, menggunakan Persamaan 13.
�_�

= ∑



(13)

′ _�

(14)

=

Kemudian, hasil nilainya dikalikan dengan fungsi aktivasinya untuk
menghitung informasi error menggunakan Persamaan 14.



� = �_�

Hitung korelasi bobot, yang akan digunakan untuk memperbaiki nilai
dengan persamaan �
= � � . Hitung juga korelasi bias, yang akan
digunakan untuk memperbaiki nilai
dengan persamaan �
=��.

8




Unit output ( , k=1,2,3,...,m) memperbaiki bobot dan bias (j= 0,1,2,....,m)
menggunakan Persamaan 15.


=



=

+ �

(15)

Unit tersembunyi ( , j=1,2,3,...,p) memperbaiki bobot dan bias (i=0,1,2,...,n)
menggunakan Persamaan 16.
+ �

(16)

Uji kondisi pemberhentian (akhir iterasi).

3 METODE
Area Studi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Wilayah Waingapu Nusa Tenggara Timur yang
terletak diantara 119°45 – 120°52 Bujur Timur dan 9°16–10°20 Lintang Selatan
dengan luas wilayah 7000,5 Km2. Waingapu merupakan wilayah yang memiliki
tingkat curah hujan ekstrim dan sering mengalami kekeringan, musim hujan relatif
lebih pendek dibandingkan musim kemarau. Penelitian dimulai pada bulan
September 2015 sampai bulan Juni 2016.

Tahapan Penelitian
Tahapan-tahapan penelitian meliputi: Studi literatur, Pengumpulan data,
Penentuan AMH, Pemilihan prediktor, Pemodelan ARIMA, Pemodelan JST,
Cascading ARIMA dan JST, Pengujian dan Evaluasi. Diagram alir penelitian
ditampilkan pada Gambar 2.
Studi literatur
Studi literatur dilakukan dengan menelaah artikel, jurnal, dan buku terkait
penelitian yang meliputi prediksi AMH, metode ARIMA, JST, SST Nino 3.4 dan
DMI.
Pengumpulan data
Data yang digunakan terdiri atas:
 Data curah hujan harian wilayah Waingapu tahun 1973-2013, diperoleh dari
Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia
Pasific (CCROM - SEAP) Institut Pertanian Bogor.
 Data SST Nino 3.4 tahun 1973-2013 (sumber: http://www.esrl.noaa.gov).
 Data DMI tahun 1973-2013 (sumber: http://www.jamstec.go.jp).

9

Gambar 2 Diagram alir penelitian

Penentuan AMH
Penentuan AMH menggunakan metode Liebmann (Persamaan 1).
Perhitungan dilakukan terhadap data curah hujan harian wilayah Waingapu (19732013). AMH merupakan hari ke-n yang memiliki nilai akumulasi curah hujan
minimum dalam setahun.
Pemilihan Prediktor
Pemilihan prediktor bertujuan untuk menentukan input yang akan digunakan
pada pemodelan JST. Pemilihan prediktor dilakukan dengan melakukan
perhitungan korelasi antara data AMH dengan data SST Nino 3.4 dan DMI tahun
1973-2013. Bulan-bulan yang memiliki nilai korelasi tertinggi terhadap AMH akan
digunakan sebagai input pada pemodelan JST. Rumus menghitung korelasi (r)
dapat dilihat pada Persamaan 17.
�=



[

∑�
�=

∑�
�=

�−

= jumlah data;



∑�
�=



− ∑�
�=


][



∑�
�=

∑�
�=

= variabel 1;




� −∑�=



]

= variabel 2

(17)

10
Pemodelan ARIMA
Pemodelan ARIMA menggunakan aplikasi minitab 17. Data AMH akan
dibagi menjadi data training dan data testing. Data training digunakan untuk
membangun model dan data testing digunakan untuk melakukan pengujian
terhadap model. Langkah pertama dimulai dengan memplot data training ke dalam
aplikasi minitab 17. Selanjutnya, pengecekan kestasioneran data dilakukan dengan
melihat pola grafik Trend analysis, data yang stasioner akan membentuk trend
sejajar terhadap garis tengah dengan sumbu horizontal. Apabila data yang
digunakan tidak stasioner, maka akan dilakukan differencing supaya data menjadi
stasioner.
Identifikasi model dilakukan pada data yang sudah stasioner dengan melihat
pola ACF dan PACF untuk pendugaan model. Selanjutnya, estimasi parameter
dilakukan pada masing-masing model hasil identifikasi, model yang memenuhi
syarat estimasi parameter kemudian akan dilakukan pengecekan diagnostik dengan
melihat kenormalan residual (P-Value > 0,05). Model yang digunakan untuk
melakukan prediksi adalah model yang memenuhi syarat estimasi dan pengecekan
diagnostik. Model terbaik adalah model yang memiliki nilai means of square (MS)
terkecil.
Pemodelan JST
Pemodelan JST bertujuan untuk menjelaskan variabel yang tidak tertangkap
oleh model ARIMA yang diduga disebabkan oleh fenomena global. Pemodelan
ARIMA hanya menggunakan data masa lalu untuk memprediksi masa yang akan
datang, sedangkan AMH juga dipengaruhi oleh fenomena global ENSO dan IOD.
Data SST Nino 3.4 dan data DMI hasil pemilihan prediktor dijadikan sebagai input
dan nilai error dari prediksi ARIMA sebagai target.
Pemodelan JST menggunakan pembelajaran backpropagation yang akan
meminimal nilai error dengan memperbaiki bobot pada semua unit lapisan.
Tahapan pertama yaitu fase maju, nilai input akan dihitung maju dimulai dari
lapisan input hingga lapisan output menggunakan fungsi aktivasi. Tahapan kedua
yaitu fase mundur, lapisan output akan memberikan tanggapan dengan
membandingkan hasil output dengan target. Selisih output dan target merupakan
nilai error yang lebih akan sebar mundur pada lapisan tersembunyi dan diteruskan
ke unit lapisan input. Tahapan ketiga yaitu perbaikan bobot pada semua unit lapisan
untuk meminimalkan error.
Cascading ARIMA dan JST
Cascading ARIMA dan JST merupakan penggabungan metode ARIMA dan
JST. Prediksi AMH pertama dilakukan menggunakan pemodelan ARIMA,
kemudian dilanjutkan dengan pemodelan JST menggunakan data fenomena global
SST nino 3.4 dan DMI hasil pemilihan prediktor sebagai input dan nilai error dari
prediksi ARIMA sebagai target. Hasil prediksi AMH berdasarkan Cascading
ARIMA dan JST adalah nilai prediksi ARIMA dijumlahkan dengan output JST.
Proses Cascading ARIMA dan JST seperti yang ditampilkan pada Gambar 3.

11

Gambar 3. Proses input output Cascading ARIMA dan JST

Pengujian dan Evaluasi
Pengujian dilakukan dengan membandingkan hasil prediksi dengan data
testing (2003-2013). Evaluasi menggunakan koefisien korelasi (r) untuk
pengukuran akurasi dan Root Mean Square Error (RMSE) untuk pengukuran galat.
Model dikatakan baik jika nilai r mendekati 1 dan RMSE mendekati 0. Rumus
untuk menghitung r (Persamaan 17) dan RMSE menggunakan Persamaan 18.
∑nt=1 Xt - Ft 2

RMSE = √

n

(18)

Xt = nilai aktual pada waktu ke-t; Ft = nilai dugaan pada waktu ke-t; n =
banyak data.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan AMH

Perhitungan dilakukan terhadap data curah hujan harian Waingapu (19732013) menggunakan metode Liebmann (Persamaan 1). Data curah hujan harian dari
hari pertama sampai hari ke 365 dikurangi dengan rataan curah hujan dalam setahun,
sehingga diperoleh nilai akumulasi curah hujan.
AMH berdasarkan metode Liebmann adalah hari yang memiliki nilai
akumulasi curah hujan minimum. Sebagai contoh, untuk menentukan data AMH
1973, perhitungan dilakukan terhadap data curah hujan harian 1973. Langkah
pertama yang dilakukan, menghitung rataan curah hujan tahun 1973. Selanjutnya,
data curah hujan harian dari hari pertama sampai hari ke 365 dikurangi dengan
rataan curah hujan. Setelah diperoleh akumulasi curah dari hari pertama sampai hari
ke 365, AMH dapat ditentukan dengan melihat nilai akumulasi curah hujan
minimum. Berdasarkan grafik akumulasi curah hujan harian wilayah Waingapu
tahun 1973 yang ditampilkan pada Gambar 4, AMH terjadi pada hari ke-330.
Lebih lanjut, penentuan AMH tahun 1974-2013 dilakukan sama seperti
penjelasan diatas. Data AMH hasil perhitungan menggunakan metode Liebmann
ditampilkan pada Lampiran 1, dimana dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa

12
AMH wilayah Waingapu terjadi antara bulan September sampai Desember. Grafik
data AMH wilayah Waingapu 1973-2013 ditampilkan pada Gambar 5.
Grafik Akumulasi Curah Hujan
300
200
100
00
1
11
21
31
41
51
61
71
81
91
101
111
121
131
141
151
161
171
181
191
201
211
221
231
241
251
261
271
281
291
301
311
321
331
341
351
361

Akumulasi curah hujan

400

-100
-200
-300
Hari

330

Gambar 4. Grafik Akumulasi curah hujan harian Waingapu 1973

AMH Waingapu 1973-2013
370

Hari ke

350
330
310
290
270
250

Tahun

Gambar 5. Grafik data AMH Waingapu 1973-2013

Pemilihan Prediktor AMH
Pemilihan prediktor bertujuan untuk menentukan input yang akan digunakan
pada pemodelan JST. Pemilihan prediktor diperoleh berdasarkan perhitungan
korelasi (Persamaan 17) antara data AMH dengan data SST Nino 3.4 dan DMI.
Hasil perhitungan tersebut ditampilkan pada Tabel 1.

13
Tabel 1. Korelasi data AMH dengan data SST Nino 3.4 dan DMI
Month
SST Nino 3.4
DMI
Jan
-0.191
0.038
Feb
-0.166
0.120
Mar
-0.207
-0.042
Apr
-0.097
-0.233
Mei
0.118
-0.153
Jun
0.310
-0.007
Jul
0.387
0.067
Agt
0.410
0.171
Sep
0.442
0.355
Okt
0.408
0.429
Nov
0.407
0.394
Des
0.431
0.236
Prediktor adalah bulan-bulan sebelum AMH yang memiliki nilai korelasi tertinggi.
AMH wilayah Waingapu terjadi antara bulan September sampai Desember. Oleh
karena itu, data SST Nino 3.4 yang diambil sebagai prediktor adalah SST Nino 3.4
bulan Juni, Juli, Agustus, sedangkan untuk data DMI hanya bulan Agustus yang
diambil sebagai prediktor karena nilai korelasi data DMI pada bulan-bulan sebelum
AMH sangat lemah.
Pemodelan ARIMA
Pemodelan ARIMA menggunakan aplikasi Minitab 17. Data AMH (19732013) dibagi menjadi data training (1973-2002) dan data testing (2003-2013).
Langkah pertama dilakukan dengan memplot data training kedalam aplikasi
Minitab 17.
Sebelum melakukan pemodelan ARIMA, harus dipastikan bahwa data yang
digunakan bersifat stasioner. Pengecekan kestasioneran data dilakukan dengan
melihat grafik Trend analysis, dengan memilih menu stat – Time Series – Trend
Analisys pada aplikasi Minitab 17. Data yang stasioner akan membentuk grafik
Trend analysis sejajar pada nilai tengah dengan sumbu horizontal. Grafik Trend
analysis yang ditampilkan pada Gambar 6, menunjukkan bahwa data tidak
stasioner. Differencing (Persamaan 6) dilakukan untuk menstasionerkan data
dengan memilih menu stat – Time Series – Differences. Data hasil differencing
ditampilkan pada Lampiran 2. Grafik Trend analysis data yang telah dilakukan
differencing ditampilkan pada Gambar 7 menunjukkan bahwa data sudah stasioner.
Identifikasi Model
Setelah data stasioner, identifikasi model dilakukan dengan mengamati plot
ACF dan PACF. Plot ACF untuk menentukan nilai MA(q) dan PACF untuk
menentukan nilai AR(p). Plot ACF data differencing ke-1 ditampilkan pada Gambar
8 dengan memilih menu Stat – Time Series – Autocorellation, dan plot PACF data
differencing ke-1 ditampilkan pada Gambar 9 dengan memilih menu Stat – Time
Series – Partial Autocorellation.

14

Gambar 6. Grafik Trend Analysis Data AMH Training

Gambar 7. Grafik Trend Analysis data differencing ke-1
Plot ACF ( Gambar 8 ) menunjukkan nilai MA signifikan pada lag ke-1 dan
plot PACF ( Gambar 9 ) menunjukkan nilai AR signifikan pada lag ke-1 dan ke-3.
Sehingga, model sementara berdasarkan plot ACF dan PACF yaitu model ARIMA
(3,1,0), ARIMA (3,1,1), (1,1,0), ARIMA (1,1,1), dan ARIMA (0,1,1).

Estimasi Parameter
Syarat-syarat yang harus terpenuhi pada estimasi paramater model adalah
sebagai berikut:
1. Residual peramalan bersifat white noise yaitu nilai P-value pada indikator
Ljung-Box lebih besar dari 0,05.

15
2. Nilai P-value parameter yang diestimasi kurang dari 0,05.
3. Kondisi stasioneritas terpenuhi yang ditandai dengan nilai koefisien MA atau
AR masing-masing kurang dari 1.
Hasil estimasi parameter model ditampilkan pada Lampiran 3. Model yang
memenuhi syarat estimasi parameter yaitu model ARIMA (3,1,0), (1,1,0), dan
ARIMA (0,1,1).
Autocorrelation Function Differencing ke-1
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
1,0
0,8

Autocorrelation

0,6
0,4
0,2
0,0
-0,2
-0,4
-0,6
-0,8
-1,0
1

2

3

4

5

6

7

Lag

Gambar 8. Plot ACF data differencing ke-1
Partial Autocorrelation Differencing ke-1
(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
1,0

Partial Autocorrelation

0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
-0,2
-0,4
-0,6
-0,8
-1,0
1

2

3

4

5

6

7

Lag

Gambar 9. Plot PACF data differencing ke-1

Pengecekan Diagnostik
Pengecekan diagnostik dilakukan dengan melihat kenormalan residual dari
masing-masing model. Hasil pengecekan diagnotik masing-masing model
ditampilkan pada Lampiran 4. Pengecekan diagnostik menyisakan dua model yang
residualnya berdistribusi dengan nilai P-Value > 0,05 yaitu model ARIMA (3,1,0)

16
dan ARIMA (1,1,0). Kemudian, dari kedua model tersebut akan dipilih satu model
terbaik. Model terbaik adalah model memiliki tingkat kesalahan prediksi terkecil,
nilai means of square (MS) adalah acuan untuk memilih model terbaik. Nilai MS
model ARIMA (3,1,0) dan ARIMA (1,1,0) masing-masing sebesar 157,76 dan
230,53. Model ARIMA (3,1,0) merupakan model terbaik yang digunakan untuk
melakukan prediksi karena memiliki nilai MS terkecil.
Melakukan Prediksi
Model ARIMA (3,1,0) merupakan model terbaik yang akan digunakan untuk
melakukan prediksi, yang memiliki nilai koefisien AR 1 (θ )= -0,6838, AR 2 (θ )=
-0,5554, AR 3(θ ): -0,7434, dan Konstanta ( )= -0,934. Persamaan model ARIMA
(3,1,0) mengacu pada Persamaan 7, seperti yang ditampilkan dibawah ini.




=

,

− ,

= ,

�−

�−

+ − ,
− − ,
�−

�−

+ ,
− ,

�−

+ − ,

+

atau disederhanakan menjadi,

+ ,

�−

− ,

�−

+ ,

�−

− ,

Pemodelan JST
Pemodelan JST terdiri atas 1 lapisan input, 2 hidden layer dan 1 lapisan
output. input pada pemodelan JST adalah data SST Nino 3.4 dan data DMI hasil
pemilihan prediktor dan target adalah nilai error dari prediksi ARIMA. Pemodelan
JST menggunakan aplikasi MATLAB R2010a. Kode pemograman pemodelan JST
ditampilkan pada Lampiran 7. Spesifikasi arsitektur pemodelan JST ditampilkan
pada Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik dan spesifikasi pada arsitektur JST

Karakteristik
Arsitektur
Neuron input
Hidden neuron
Neuron output
Fungsi aktivasi
Toleransi galat
Maksimum epoch
Learning rate
Algoritma JST

Spesifikasi
2 hidden layer (10 dan 5 neuron)
4 Neuron (SST Nino 3.4 Juni, Juli, Agustus, dan
DMI Agustus
10 dan 5
1
Tansig, Purelin
0.001
1000
0.02
Levenberg-Marquardt

Pemodelan JST menggunakan pembelajaran Backpropagation yang akan
meminimal nilai error dengan memperbaiki bobot pada semua unit lapisan.

17
Hasil Prediksi AMH Cascading ARIMA dan JST
Prediksi AMH berdasarkan Cascading ARIMA dan JST adalah nilai dari
prediksi ARIMA dijumlahkan dengan hasil keluaran JST. Perbandingan data hasil
prediksi dengan data training dapat dilihat pada Lampiran 9. Grafik perbandingan
prediksi dan data aktual ditampilkan pada Gambar 10.

Hari ke

Perbandingan Hasil Prediksi dan Data Aktual
360
350
340
330
320
310
300
290
280

Tahun
Aktual

ARIMA

Cascading ARIMA & JST

Gambar 10. Grafik perbandingan hasil prediksi dan data training
Pengujian dan Evaluasi
Pengujian dilakukan menggunakan data testing (2003-2013). Data hasil
pengujian menggunakan dapat dilihat pada Lampiran 10. Perbandingan hasil
prediksi dan data testing ditampilkan pada Gambar 11.
Perbandingan Hasil Prediksi dan data aktual 2003-2013
370

Hari ke

350
330
310
290
270
250
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tahun
Aktual

ARIMA

Cascading ARIMA & JST

Gambar 11. Grafik perbandingan hasil prediksi dan data testing

18
Hasil pengujian dan evaluasi prediksi AMH Cascading ARIMA dan JST
diperoleh nilai r= 0,76 dan RMSE= 21,75, jika dibandingkan dengan prediksi AMH
yang hanya menggunakan metode ARIMA dengan nilai r= 0,14 dan RMSE= 32,53
dapat disimpulkan bahwa prediksi AMH berdasarkan Cascading ARIMA dan JST
lebih baik dari pada prediksi AMH hanya menggunakan ARIMA saja.

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan perhitungan data Curah hujan harian menggunakan metode
Liebmann, AMH wilayah Waingapu terjadi antara bulan September sampai bulan
Desember.
Pemilihan prediktor menggunakan perhitungan korelasi data AMH data SST
Nino 3.4 dan DMI, Data SST Nino 3.4 bulan Juni, Juli, Agustus dan DMI bulan
Agustus diambil sebagai input JST.
Model (3,1,0) merupakan model terbaik dari pemodelan ARIMA yang
digunakan untuk melakukan prediksi dengan persamaan � = ,
�− +
,
. Nilai error dari prediksi
�− − ,
�− + ,
�− − ,
ARIMA dijadikan sebagai target pada pemodelan JST.
Hasil prediksi AMH berdasarkan Cascading ARIMA dan JST yaitu nilai
prediksi ARIMA dijumlahkan dengan output JST. Berdasarkan hasil pengujian dan
evaluasi diperoleh nilai r= 0,76 dan RMSE= 21,75.
Hasil prediksi AMH menggunakan Cascading ARIMA dan JST lebih baik
jika dibandingkan dengan hasil prediksi AMH hanya menggunakan ARIMA saja.
Saran
Penulis menyarankan untuk penelitian selanjutnya, agar bisa membangun
sistem berbasis web untuk prediksi AMH menggunakan model yang telah dibangun
agar lebih bermanfaat.

19

DAFTAR PUSTAKA
Desylvia SN, Djatna T, Buono A. 2015. A Monsoon Onset and Offset Prediction
Model Using Backpropagation and Moron Method: A Case in Drought
Region. ICACSIS. 113-118.
Elsafi SH. 2014. Artificial Neural Networks (ANNs) for flood forecasting at
Dongola Station in the River Nile, Sudan. Alexandria Engineering Journal.
53:655-662.
Elwasify AI. 2015. A Combined Model between Artificial Neural Networks and
ARIMA Models. IJRRCEM. 2(2): 134-140.
Estiningtyas W, Ramadhani F, Aldrian E. Analisis Korelasi Curah Hujan dan Suhu
Permukaan Laut Wilayah Indonesia, Serta Implikasinya untuk Prakiraan
Curah Hujan (studi kasus kabupaten cilacap). Agromet. 21 (2):46-60.
Fadholi A. 2013. Studi Dampak El Nino dan indian ocean Dipole (IOD) Terhadap
Curah Hujan di Pangkalpinang. Jurnal Ilmu Lingkungan. 11(1):43-50.
Indriani O, Wiresyamsi A, Sukmawati. 2011. Penetapan Pola Tanam Berdasarkan
Model Arima Di Kecamatan Praya Timur Lombok Tengah. Agroteksos.
21(1):1-8.
Kaushik I, Singh SM. 2008. Seasonal Arima Model for Forecasting of Monthly
Rainfall and Temperature. JERD. 3(2):506-514.
Kusumadewi S. 2004. Membangun Jaringan Syaraf Tiruan menggunakan
MATLAB dan EXCEL LINK. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Liebmann B, Camargo SJ, Seth A, Marengo JA, Carvalho LMV, Allured D, Fu R,
Vera CS. 2007. Onset and End of the Rainy Season in South America in
Observations and the ECHAM 4.5 Atmospheric General Circulation Model.
Journal Of Climate. 20.2037-2050
Liebmann B, Blade I, Bond NA, Gochis D, Allured D, Bates GT. 2008.
Characteristics of North American Summertime Rainfall with Emphasis on
the Monsoon. Journal Of Climate. 21. 1277-1294
Litta AJ. Idicula SM. Mohanty UC. 2013. Artificial Neural Network Model in
Prediction of Meteorological Parameters during Premonsoon Thunderstorms.
International Journal of Atmospheric Sciences. 1-14.
Lubis LS, Buono A. 2012. Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Untuk Memprediksi
Awal Musim Hujan Berdasarkan Suhu Permukaan Laut. IKAI. 1(2):52-61.
Lusiani A, Habibuddin E. 2011. Pemodelan Autoregressive Integrated Moving
Average (Arima) Curah Hujan Di Kota Bandung. Sigma-MU. 3(2):9-25
Mislan, Haviluddin, Hardwinarto S, Sumaryono, Aipassa M. 2015. Rainfall
Monthly Prediction Based on Artificial Neural Network : A Case Study in
Tenggarong Station, East Kalimantan – Indonesia. Procedia Computer
Science. 59. 142 – 151
Otok BW, Suhartono. 2009. Development of Rainfall Forecasting Model in
Indonesia by using ASTAR, Transfer Function, and ARIMA Methods.
EuroJournals. 38(3):386-395.
Qian JH, Robertson AW, Moron V. 2010. Interactions among ENSO, the Monsoon,
and Diurnal Cycle in Rainfall Variability over Java, Indonesia. JAS. 67: 35093524.

20
Rumagit SE, Azhari SN. 2013. Prediksi Pemakaian Listrik Kelompok Tarif
menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan dan Arima. IJCCS. 7 (2): 189-198.
Singh A, Mishra GC. 2015. Application Of Box-Jenkins Method And Artificial
Neural Network Procedure For Time Series Forecasting Of Prices. Statistics
In Transition. 16 (1): 83-96
Surmaini E, Susanti E. 2008. Indikator Iklim Global dan Pengaruhnya Terhadap
Kejadian Iklim Ekstrim di Indonesia. Jurnal Tanah Dan Iklim. No. 28/2008.
Zakaria S, Al-ansari N, Knutsson S, Al-Badrany T. 2012. ARIMA Models for
weekly rainfall in the semi-arid Sinjar District at Iraq. Journal of Earth
Sciences and Geotechnical Engineering. 2(3): 25-55.

21

LAMPIRAN

22
Lampiran 1. Data AMH 1973-2013 berdasarkan metode Liebmann
Tahun
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013

AMH
330
325
295
338
336
339
333
341
316
343
321
338
325
340
320
332
334
338
323
324
346
336
333
322
343
318
320
292
314
328
318
352
292
357
345
329
350
259
350
343
322

Tanggal
27-Nov
21-Nov
22-Okt
04-Des
02-Des
05-Des
29-Nov
07-Des
12-Nov
09-Des
17-Nov
04-Des
21-Nov
06-Des
16-Nov
28-Nov
30-Nov
04-Des
19-Nov
20-Nov
12-Des
02-Des
29-Nov
18-Nov
09-Des
14-Nov
16-Nov
19-Okt
10-Nov
24-Nov
14-Nov
18-Des
19-Okt
23-Des
11-Des
25-Nov
16-Des
16-Sep
16-Des
09-Des
18-Nov

23
Lampiran 2. Hasil differencing ke-1 data AMH training
Data AMH Training
330

Differencing ke-1
*

325

-5

295

-30

338

43

336

-2

339

3

333

-6

341

8

316

-25

343

27

321

-22

338

17

325

-13

340

15

320

-20

332

12

334

2

338

4

323

-15

324

1

346

22

336

-10

333

-3

322

-11

343

21

318

-25

320

2

292

-28

314

22

328

14

24
Lampiran 3. Estimasi parameter model ARIMA
Syarat-syarat yang harus terpenuhi pada estimasi paramater:
1. Residual peramalan bersifat white noise yaitu nilai P-value pada indikator
Ljung-Box lebih besar dari 0,05.
2. Nilai P-value parameter yang diestimasi kurang dari 0,05.
3. Kondisi stasioneritas terpenuhi yang ditandai dengan nilai koefisien MA atau
AR masing-masing kurang dari 1.

Estimasi parameter model ARIMA (3,1,0)

25
Lanjutan
Estimasi parameter model ARIMA (3,1,1)

Estimasi parameter model ARIMA (1,1,0)

26
Lanjutan
Estimasi parameter model ARIMA (1,1,1)

Estimasi parameter model ARIMA (0,1,1)

27
Lampiran 4. Pengecekan diagnostik model
Pengecekan dignostik terhadap model ARIMA yang memenuhi syarat
estimasi parameter dengan melihat kenormalan residual yang ditandai dengan nilai
P-Value > 0,05.
Pengecekan diagnostik model ARIMA (3,1,0)

Pengecekan diagnostik model ARIMA (1,1,0)

28
Pengecekan diagnostik model ARIMA (0,1,1)

Pengecekan dignostik menyisakan dua model yang residualnya berdistribusi
normal (P-Value > 0,05) yaitu model ARIMA (3,1,0) dan ARIMA (1,1,0). Dari
kedua model tersebut akan dipilih satu model terbaik yang akan digunakan untuk
melakukan prediksi. Model terbaik adalah model memiliki tingkat kesalahan
prediksi terkecil, nilai means of square (MS) adalah acuan untuk memilih model
terbaik. Nilai MS model ARIMA (3,1,0) dan ARIMA (1,1,0) masing-masing
sebesar 157,76 dan 230,53. Model ARIMA (3,1,0) merupakan model terbaik yang
digunakan untuk prediksi karena memiliki nilai MS terkecil.

29
Lampiran 5. Kode pemodelan JST
%Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan
%input dan target data Training
P = [
26.99
26.58
26.56
-0.20;
26.43
25.99
25.72
-0.05;
27.69
27.38
27.18
0.40;
28.05
27.67
27.13
0.03;
27.23
26.75
26.26
0.09;
27.72
27.02
27.09
0.07;
28.05
27.25
26.65
-0.51;
27.54
26.79
26.7
-0.32;
28.61
27.86
27.8
0.55;
28.31
27.11
26.75
0.65;
26.79
26.82
26.47
-0.19;
26.93
26.62
26.38
-0.15;
27.61
27.38
27.11
-0.10;
28.92
28.56
28.36
0.59;
26.23
25.69
25.43
0.01;
27.04
26.76
26.29
-0.01;
27.69
27.37
27.05
-0.09;
28.34
27.84
27.3
0.35;
28.22
27.5
26.73
-0.46;
28.33
27.55
27.04
-0.01;
27.96
27.38
27.4
1.10;
27.77
27.26
26.5
0.16;
27.57
27.08
26.58
-0.37;
28.84
28.83
28.81
0.93;
27.3
26.49
26.04
-0.26;
26.74
26.39
25.89
0.32;
26.93
26.65
26.52
0.44;
27.58
27.24
26.8
0.005;
28.37
27.8
27.57
0.09];
T = [ -4; -15; 11; 8; 4; 28; 5; -20; 11; -11; -1; 7; 0; -3; -2; 11; -2; 1; -5; 18; -5; 4; -1;5;-18; -11; -24; -14; 16];
%preprocessing
[pn,meanP,stdP,tn,meanT,stdT]=prestd(P',T')
%membangun jaringan
net = newff(P',T',[10 5],{ 'tansig''purelin'},'trainlm');
net.trainparam.epochs = 1000;
net.trainparam.lr = 0.02;
net.trainparam.goal = 0.001;
%proses pembelajaran/pelatihan
net = train(net,P',T');
%melihat nilai bobotAwal_input
bobotAwal_input=net.IW{1,1}
bobotAwal_bias_input=net.b{1,1}
bobotAwal_lapisan=net.LW{2,1}
bobotAwal_bias_lapisan=net.b{2,1}
%melakukan simulasi
Z = sim(net,P');
Z = round(Z);
Z = Z';
%input data testing
G = [27.5
27.37
26.92
0.41;
27.82
27.64
27.54
0.17;
27.91
27.22
26.83
-0.04;
27.78
27.25
27.25
0.53;
27.52
26.86
26.31
0.54;
27.24
27.19
26.83
0.42;
28.17
27.91
27.49
0.20;
27.07
26.34
25.55
0.25;
27.43
27
26.22
0.65;
27.82
27.66
27.54
0.95;
27.36
26.94
26.59
0.10];
%melakukan simulasi
y = sim(net,G');
y = round(y);
y = y';
%r = rmse(y,T)
r = rmse(Z,T)
R = rmse(y,H)

30
Lampiran 6. Perbandingan data hasil prediksi dengan data training
Tahun

Aktual

1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002

330
325
295
338
336
339
333
341
316
343
321
338
325
340
320
332
334
338
323
324
346
336
333
322
343
318
320
292
314
328

Prediksi
ARIMA
*
329
310
327
328
335
305
336
336
332
332
339
318
340
323
334
323
340
324
329
328
341
329
323
338
336
331
316
328
312

Error
*
-4
-15
11
8
4
28
5
-20
11
-11
-1
7
0
-3
-2
11
-2
-1
-5
18
-5
4
-1
5
-18
-11
-24
-14
16

Output
JST
*
-3
-10
14
13
-1
7
3
-2
8
14
5
-3
8
2
0
-1
8
12
7
15
12
7
-1
-6
-10
-6
14
5
17

Prediksi
AMH
*
326
300
341
341
334
312
339
334
340
346
344
315
348
325
334
322
348
336
336
343
353
336
322
332
326
325
330
333
329

Error
*
-1
-5
-3
-5
5
21
2
-18
3
-25
-6
10
-8
-5
-2
12
-10
-13
-12
3
-17
-3
0
11
-8
-5
-38
-19
-1

31
Lampiran 7. Perbandingan data hasil prediksi dengan data testing
Tahun

Aktual

Prediksi
ARIMA

2003
2004
2005
2006

318
352
292
357

326
302
308
318

2007
2008

345
329

325
309

2009

350

308

2010

259

311

2011
2012

350
343

320
312

2013

322

309

12
15
6
18

Prediksi
ARIMA
+ JST
338
317
314
336

7
12

332
321