Kajian Pelapukan Pedokimia (A?B) Andisol Berdasarkan Mineral Liat Di Desa Tongkoh Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo

(1)

KAJIAN PELAPUKAN PEDOKIMIA (A

B) ANDISOL

BERDASARKAN MINERAL LIAT DI DESA TONGKOH

KECAMATAN TIGA PANAH KABUPATEN KARO

SKRIPSI

OLEH

YUN ADRIANA BARUS

030303010 / I . TANAH

DEPARTEMEN ILMU TANAH

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KAJIAN PELAPUKAN PEDOKIMIA (A

B) ANDISOL

BERDASARKAN MINERAL LIAT DI DESA TONGKOH

KECAMATAN TIGA PANAH KABUPATEN KARO

SKRIPSI

OLEH

YUN ADRIANA BARUS

030303010 / I . TANAH

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapat Gelar Sarjana Di Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian,

Universitas Sumatera Utara, Medan.

DEPARTEMEN ILMU TANAH

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

2007

JUDUL : KAJIAN PELAPUKAN PEDOKIMIA (A B)

ANDISOL BERDASARKAN MINERAL LIAT DI DESA TONGKOH KECAMATAN TIGA PANAH KABUPATEN KARO

NAMA : YUN ADRIANA BARUS

NIM : 030303010

DEPARTEMEN : ILMU TANAH

PROGRAM STUSI : KLASIFIKASI DAN EVALUASI LAHAN

KOMISI PEMBIMBING

(Ir.Purba Marpaung,SU) (Ir.Razali,MP)

Pembimbing Utama Anggota

DISETUJUI OLEH,

(Dr. Ir. Abdul Rauf, MP) Ketua Departemen


(4)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

ABSTRACT ... iii

ABSTRAK ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Bahan Induk ... 4

Genesa Tanah ... 6

Pelapukan Pedokimia ... 9

Mineral Liat ... 15

Andisol ... 21

BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu ... 22

Bahan dan Alat ... 22

Metoda penelitian ... 22

Persiapan ... 23

Survei Lapangan ... 23

Analisa Laboratorium ... 23

Analisa Data ... 24

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi Penelitian ... 26

Iklim ... 26

Topografi ... 27


(5)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Profil Tanah... 28

Analisa Laboratorium ... 32

Mineral Liat ... 36

Tingkat Pelapukan dengan Kriteria Pelapukan Pedokimia ... 40

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 41

Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(6)

ABSTRACT

Pedochemical weathering process is stated in soil solum by oxidation-reduction, discharging Al from clay crystal become hidroxide through changing cation, Potashium removal from the mica, and forming Al vein on 2:1 clay mineral.

This observation supposed to study pedochemical weathering in Andisol soil at Tongkoh, Tiga Panah municipality. Method of this observation was soil analysis that consisted of survey and laboratorium analysis on some important compound in pedochemical wheatering.

Field research consisted of compited datas from the field that are soil colour, soil structur, soil consistency and the dept solum. Laboratory research was done to get data’s of soil texture, cation exchange capasity (CEC), soil pH (NaF), soil pH (H2O), Al exchageable, K exachageable, and clay minerals.

For the morphology analize that pedon, has respectively A, Bw1, Bw2 horizon and for the clay minerals were get that the A and Bw1, Bw2 horizon are dominated by A Allophane minerals clay.


(7)

ABSTRAK

Proses pelapukan Pedokimia merupakan pelapukan yang terjadi di dalam solum tanah dengan reaksi yang terjadi diantaranya oksidasi-reduksi, pelepasan Al dari kristal liat menjadi Hidroksida melalui pertukaran kation, pemindahan K dari Mika, dan pembentukan lapisan Al pada mineral liat 2:1.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pelapukan pedokimia pada tanah Andisol, Desa Tongkoh, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo. Metode penelitian terdiri dari analisis tanah meliputi servei dan analisis laboratorium terhadap beberapa senyawa penting dalam pelapukan pedokimia.

Penelitian di lapangan mencakup pengumpulan data-data yang ada di lapangan yang terdiri dari warna tanah, struktur tanah, konsistensi tanah dan kedalaman solum. Penelitian di laboratorium untuk memperoleh data tekstur, kapasitas tukar kation (KTK), pH (NaF), pH (H2O), Al-dd, K- dd, dan mineral liat.

Dari analisis morfologi pedon, memiliki horizon A, Bw1, Bw2 dan dari analisis mineral liat didapat bahwa horizon A dan Bw1, Bw2 didominasi oleh mineral liat Alofan A.


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Penen, pada tanggal 20 Juni 1984 dari ayah H. Barus dan ibu E. Sirait. Penulis merupakan putri ketiga dari empat bersaudara.

Tahun 2002 penulis lulus dari SMU Cahaya Medan dan pada tahun 2003 lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara (USU) melalui jalur SPMB. Penulis memilih program studi Klasifikasi Tanah dan Evaluasi Lahan, Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan Rahmat-Nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Adapun judul dari usulan penelitian ini adalah “Kajian Pelapukan

Pedokimia (A B) Andisol Berdasarkan Mineral Liat Di Desa Tongkoh

Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo” Yang merupakan salah satu syarat untuk mendapat gelar sarjana di Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. P. Marpaung, SU selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan kepada Ir. Razali, MP selaku Anggota komisi Pembimbing, dan kepada teman-teman

semua yang telah membantu penulis dalam memberikan arahan dan masukan-masukan sehingga penulis dapat menyelesikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, mengingat keterbatasan penulis dan kurangnya sarana pendukung. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak demi penyempurnaan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Medan, Desember 2007


(10)

DAFTAR TABEL

Hal 1. Komposisi mineral-mineral pada permukaan bumi ... 7 2. Puncak endotermik dan puncak eksotermik dari beberapa

mineral liat ... 24 3. Hasil Analisa Laboratorium untuk Sifat Fisik dan Kimia Tanah ... 32 4. Puncak endotermik dan puncak eksotermik tanah ... 39


(11)

DAFTAR GAMBAR

Hal

1. Karatan pada Horizon Bw2 ... 30

2. Termogram Horizon A ... 36

3. Termogram Horizon Bw1 ... 37


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

1. Hasil Analisa Laboratorium ... 42

2. Data Curah Hujan Daerah Penelitian ... 43

3. Peta Lokasi Penelitian ... 44

4. Peta Geologi Sumatera Utara ... 45

5. Peta Ketinggian Tempat ... 46

6. Peta Jenis Tanah ... 47

7. Prosedur Pemakaian DTA ... 48


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanah sangat penting artinya bagi usaha pertanian karena kehidupan dan perkembangan tumbuh-tumbuhan dan segala makhluk hidup di dunia sangat memerlukan tanah. Akan tetapi arti yang penting ini kadang-kadang diabaikan oleh manusia, sehingga tanah tidak berfungsi lagi sebagai mana mestinya. Tanah menjadi sangat gersang dan menimbulkan berbagai bencana, tidak lagi menjadi sumber bagi segala kehidupan.

Tanah merupakan benda alam yang terus berubah, sehingga akibat pelapukan dan pencucian maka tanah semakin tua dan semakin miskin unsur hara. Pembentukan tanah yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pembentuk tanah yang saling mempengaruhi dan saling bekerja sama antar faktor yang satu dengan yang lainnya. Faktor-faktor pembentuk tanah itu adalah bahan induk (pm), iklim (cl), topografi (r), organisme (o), dan waktu (t) yang akan membentuk tanah dengan sifat-sifat tertentu (Hakim, dkk, 1986).

Pelapukan adalah proses penghancuran, perubahan batuan karena mineral-mineral dalam batuan tidak dalam keadaan seimbang pada suhu, tekanan dan kelembaban. Gaya fisika akan memecah batuan menjadi bahan-bahan yang berukuran lebih kecil, tanpa mengubah komposisi kimianya. Gaya kimia merubah susunan kimia bahan yang dilapukkan. Reaksi kimia tersebut meliputi pelarutan, hidrasi, oksidasi dan reduksi (Foth, 1998).

Pelapukan sudah terjadi sebelum proses pembentukan tanah terjadi, dan berjalan terus bersama proses pembentukan tanah berlangsung sampai tidak ada


(14)

lagi bahan-bahan yang dapat dilapuk. Pelapukan pedokimia (pedochemical weathering) adalah pelapukan kimia yang terjadi pada horizon C ke horizon A atau horizon A ke horizon B (Buol, 1980).

Pada proses pelapukan, mineral-mineral dalam batuan akan melapuk melepaskan unsur-unsur yang dikandungnya, yang sebagian merupakan sumber unsur hara bagi tanaman, sebagian tercuci bersama air perkolasi atau erosi, sedangkan sebagian lagi berubah menjadi mineral sekunder. Pelapukan akan berjalan terus hingga pada tanah-tanah tua hanya tertinggal mineral – mineral sukar lapuk seperti kuarsa dan mineral sekunder seperti oksida besi (hematite, gaetit), oksida Al (gibsit) (Hardjowigeno, 1993).

Mineral liat mengalami perubahan selama pelapukan pedokimia berlangsung. Perubahan ini berpengaruh terhadap sifat penting tanah seperti kapasitas tukar kation yang penting dalam pertanian. Dapatlah dikatakan bahwa pengelolaan tanah pertanian juga dipengaruhi oleh jenis dan jumlah mineral liat penyusun tanah.

Tongkoh merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo. Penggunaan lahan di desa ini pada umumnya adalah pertanian rakyat dengan komoditi jeruk (Cytrus sp) dan padi (Oryza sativa). Yang menurut sepengetahuan peneliti belum pernah diteliti tentang pelapukan pedokimianya berdasarkan mineral liat. Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik meneliti pelapukan pedokimia di desa Tongkoh Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo berdasarkan mineral liat.


(15)

Tujuan Penelitian

Untuk mengkaji pelapukan pedokimia (AB) Andisol berdasarkan mineral liat di Desa Tongkoh Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo.

Kegunaan Penelitian

1. Sebagai bahan informasi untuk pengelolaan tanah bagi masyarakat petani di Desa Tongkoh kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo.

2. Sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.


(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Bahan Induk

Bahan induk tanah penting dalam mendeterminasi karakteristik tanah. Bahan induk dianggap sebagai pembentuk tanah yang penting oleh para perintis pedologi. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau klasifikasi tanah dan survei tanah pada masa itu didasarkan pada bahan induk, sehingga dinamakan andesit, abu vulkan dan sebagainya (Hardjowigeno, 1993).

Sifat-sifat bahan induk akan menimbulkan pengaruh yang kuat terhadap perkembangan tanah meliputi tekstur, susunan mineralogi dan derajat stratifikasi. Keadaan bahan induk akan mempunyai efek yang menentukan pada tanah. Tanah muda terdapat 5 tahap dalam perkembangan tanah yaitu tahap awal : bahan induk yang terkikis, tahap Yuwana (muda): pengikisan sudah mulai, tahap dewasa: mineral yang mudah terkikis sebagian besar sudah berombak, tahap tua: perombakan sampai pada tahap akhir dan hanya kebanyakan mineral yang paling resisten dapat bertahan hidup , tahap akhir : perkembangan tanah telah selesai dan tanah terkikis habis dibawah keadaan yang berlaku (Foth, 1994).

Bahan induk dianggap sebagai faktor pembentuk tanah yang amat penting. Bahan induk memiliki pengaruh terhadap sifat tanah yaitu antara lain: tekstur bahan induk mempunyai pengaruh langsung terhadap tekstur tanah muda, permeabilitas bahan induk menentukan banyaknnya air infiltrasi, bahan induk dengan tekstur halus membentuk tanah dengan bahan organik lebih tinggi dibandingkan dengan bahan induk dengan bertekstur kasar, mudah tidaknya bahan induk mengalami pelapukan tergantung dari jenis mineral yang dikandungnya (Hardjowigeno, 1993).


(17)

Bentukan vulkanis terjadi disebabkan karena adanya peletusan dari suatu gunung dan umumnya terjadi pada zaman kuarter dimana proses vulkanisme mencapai puncak kegiatannya. Beberapa satuan petrografi dari bentukan vulkanis yaitu (1) Tuff liparit, (2) Tuff Dasito Liparit, (3) Tuff Dasit Tua, (4) Tuff dasit Muda, (5) Andesito Dasit (Druif, 1969).

Dataran tinggi tanah karo merupakan kawasan penyebaran Tuff Dasit dari lahar Gunung Sibayak. Namun semakin keselatan tanah-tanah dataran tinggi Karo dipengaruhi juga oleh penyebaran tuff liparit yang berasal dari Gunung Toba (Tan, 1984).

Abu vulkan berasal dari gunung api di Indonesia yang biasanya bersifat andesitik sampai basalt. Yang bersifat andesitik ditemukan didaerah Banten berasal dari Gunung Danau Purba, sedang di Sumatera Utara di sekitar Gunung Sibayak ditemukan tuff liparit, dasit (masam) dan andesit. Tuff adalah batuan porus, biasanya berlapis-lapis, terdiri dari akumulasi scoria (loose cinderlike lava) dan abu disekitar gunung berapi yang terikat bersama membentuk suatu massa padat. Kadang-kadang tuff terdiri dari abu vulkanik dan pasir yang diangkut dan diendapkan oleh air hujan (Hardjowigeno, 1993).

Andesit merupakan rangkaian intrusi batuan andesit yang tersingkap jelas pada puncak-puncak perbukitan. Andesit berwarna abu-abu kehijauan, berkomposisi antara hipersten hingga andesit-augit-hornblende dan trakiandesit. Kekerasan umumnya sangat keras. Hasil pelapukan berupa lanau, berwarna coklat kehitaman, plestisitas sedang, lunak. Bahan galian andesit ini umumnya

menempati daerah pemukiman, perkebunan, perladangan dan hutan (Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Sumatera Utara, 2004).


(18)

Breksi Andesit umumnya melapuk sedang berwarna kuning kecoklatan, komponen batuan andesitik (4-45 cm) agak segar, menyudut tanggung, tertanam pada masa dasar pasir tufa berbutir kasar, agak padat sebagian mudah hancur. Lava andesit umumnya melapuk ringan berwarna abu-abu tua, padu, bertekstur kasar dan porfiritik, terkekarkan cukup intensif dan terisi oleh mineral kuarsa (Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Sumatera Utara, 2004).

Genesa Tanah

Proses pembentukan tanah merupakan perkembangan horizon-horizon dalam profil tanah secara alami. Perkembangan meliputi akumulasi bahan organik, pergerakan koloid dari bawah keatas dalam profil dan tempat yang paling banyak liat, karbonat, besi oksida, humus dan akumulasi gypsum. Ada 5 faktor pembentuk tanah, yaitu:

1. Bahan Induk (Pasif) 2. Iklim (aktif)

3. Biosfer (aktif) 4. Topografi (pasif) 5. Waktu (netral) (Hakim, dkk, 1986).

Genesa tanah atau differensiasi horizon, termasuk didalamnya proses-proses yang berkaitan dengan penambahan (addition), kehilangan (losses), transformasi dan translokasi. Pada semua tanah, mineral-mineral sekunder dan senyawa-senyawa lainnya dengan sifat kelarutan yang berbeda, dapat bergerak dari satu horizon ke horizon lainnya (Hakim ,dkk, 1986).


(19)

Ada dua peristiwa yang terjadi dalam perkembangan tanah yaitu: horisonisasi dan haplodisasi. Horisonisasi adalah proses proanisotrop dimana terjadi pembentukan profil tanah dengan pembentukan beberapa macam horizon. Haploidisasi adalah proisotrop dimana pembentukan horizon dihalangi atau terjadi pencampuran horizon misalnya pada tanah vertisol (Hardjowigeno, 1993).

Karena proses pembentukan tanah terus berjalan, maka bahan induk tanah berubah berturut-turut menjadi tanah muda, tanah dewasa, tanah tua. Ciri dari masing-masing tingkatan perkembangan tanah adalah sebagai berikut:

1. Tanah muda (perkembangan awal). Terjadinya proses perkembangan tanah terutama proses pelapukan bahan organik dan bahan mineral, pencampuran bahan organik dan bahan mineral di permukaan tanah dan pembentukan struktur tanah karena pengaruh dari bahan organik tersebut (sebagai perekat). Hasilnya adalah pembentukan horizon A dan horizon C.

2. Tanah dewasa (perkembangan sedang). Dengan proses lebih lanjut terbentuk horizon B akibat penimbunan liat (illuviasi) dari lapisan atas ke lapisan bawah atau perubahan warna menjadi lebih merah pada horizon C di bawahnya. Pada tingkat ini tanah mempunyai kemampuan berproduksi tinggi karena unsur hara dalam tanah cukup tersedia sebagai hasil dari pelapukan mineral, sedangkan pencucian unsur hara belum lanjut.

3. Tanah tua (perkembangan lanjut). Dengan meningkatnya unsur hara, maka proses pembentukan profil tanah berjalan lebih lanjut sehingga terjadi perubahan yang lebih nyata pada horizon A dan horizon B. Tanah menjadi sangat masam, sangat lapuk, dan kandungan bahan organik lebih rendah dari pada tanah dewasa. Akumulasi liat atau sesquioksida di horizon B sangat


(20)

nyata sehingga membentuk horizon argilik (Bt). Apabila tidak terjadi penimbunan liat maka horizon E tidak terbentuk, sedang di horizon B tidak terjadi sesquioksida. Tetapi proses pelapukan akan berjalan terus dan terbentuklah banyak oksida-oksida besi dan aluminium

(Hardjowigeno, 1993).

Proses pembentukan tanah menimbulkan ciri-ciri yang terjadi atas proses akumulasi bahan organik dipermukaan tanah yang membentuk horizon O, antara lain termasuk proses yang menimbulkan ciri khas seperti pembentukan humus dan gambut. Proses elluviasi sambil membentuk horizon A termasuk proses pencucian, latolisasi, dan pedsolisasi. Proses illuviasi sambil membentuk horizon B terdiri atas akumulasi kapur, lempung dan besi (Darmawidjaya, 1997).

Penilaian tingkat perkembangan tanah ditentukan berdasarkan morfologis dan genetis tanah. Secara morfologis ditetapkan berdasarkan kelengkapan-kelengkapan horizon-horizon genetis dan kedalaman solum sedangkan secara genetis ditetapkan berdasarkan tingkat pelapukan baik secara kualitatif maupun

kuantitatif sebagai hasil analisa fisika, kimia, mineralogi tanah (Hakim, dkk, 1986).

Relief adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah, termasuk didalamnya adalah perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Daerah yang berlerang curam terjadi erosi yang terus – menerus sehingga tanah-tanah tempat ini bersolum dangkal, kandungan bahan organik rendah dan perkembangan horizon lambat jika dibandingkan dengan tanah-tanah didaerah datar (Hardjowigeno, 1993).


(21)

Pengaruh iklim terhadap pembentukan tanah tejadi langsung atau tidak langsung. Pengaruh langsung antara lain proses pelapukan dan pencucian. Pengaruh tidak langsung melalui kemampuan iklim mengendalikan flora fauna

(biosfir) yang menyediakan sumber energi dalam bahan organik (Poerwowidodo, 1991).

Dampak curah hujan dalam pembentukan tanah yaitu dengan mempercepat pelapukan kimia dan fisika dan mengendalikan sifat produksi bahan organik dan dekomposisi. Jika curah hujan bertambah, erosi batuan bertambah dan terjadi sedimentasi. Penambahan curah hujan juga mempercepat pelapukan kimia dengan mempercepat pencucian dan mempercepat proses kimia tanah.

Pelapukan pedokimia

Pelapukan adalah desintegrasi kimia dan fisik dan dekomposisi batuan karena mineral mineral penyusun tidak seimbang (equilibrium) pada kondisi suhu, tekanan, dan kelembaban di antara atmosfer dan litosfer. Pelapukan pedokimia adalah desintegrasi dan modifikasi kimia mineral yang terjadi didalam horizon A dan horizon B. Reaksi-reaksi pada pelapukan pedokimia terdiri atas:siklus oksidasi – reduksi, pemuntalan (Shuttling) aluminium dari kisi liat menjadi oksida terhidrat (Hydrous oxide) melalui reaksi pertukaran, pelepasan kalium dari Mika dan pelapisan Al mineral liat 2:1 (Marpaung, 2006 – 2007).

Pelapukan sudah dimulai sebelum proses pembentukan tanah yang dan berjalan terus selama proses pembentukan tanah berlangsung. Pelapukan ini terdiri dari pelapukan geokimia dan pedokimia. Pelapukan geokimia (Geochemical Weathering), meliputi:


(22)

1. Oksidasi

Penting untuk tanah-tanah dengan tata udara tanah yang baik.Yang terpenting adalah oksidasi besi ferro menjadi ferri.

Fe++ Fe+++ + e -2. Reduksi

Proses ini merubah besi ferri menjadi besi ferro yang sangat mudah bergerak (mobil). Dalam bentuk ini, besi dapat hilang dari tanh apabila pencucian terjadi.

3. Oksidasi - Reduksi

Hal yang umum terjadi pada horizon C adalah pergantian oksidasi dan reduksi. Stabilitas Fe dan Mn dipengaruhi oleh pH dan Eh (potensial redoks). Potensial redoks menunjukkan besarnya konsentrasi electron (e-) didalam larutan.

4. Hidrasi

Hidrasi adalah asosiasi molekul air atau hidroksil dengan mineral seiring atau tanpa dekomposisi atau modifikasi dari mineral tersebut.

5. Hidrolisis

Terjadi karena serangan ion hidrogen terhadap struktur kristal, sehingga terjadi pertukaran kation-kation didalam struktur kristal oleh hydrogen, serta struktur rusak dan hancur.

6. Pelarutan (Solution)

Pelarutan garam-garam dengan struktur sederhana seperti kabonat, klorida, dan lain-lain.


(23)

Lanjutan dari pelapukan Geokimia adalah pelapukan Pedokimia (Pedochemical Weathering) yang meliputi:

1. Oksidasi - Reduksi

Perubahan-perubahan keadaan oksidasi dan reduksi menghasilkan pelapukan Fe dan Mn dari mineral-mineral primer, yang kemudian membentuk karatan atau konkresi dalam solum tanah.

2. Pelepasan Al dari kristal liat menjadi Hidroksida

Terjadi proses penghancuran dan perusakan liat (khususnya liat montmorillonit) dalam solum tanah.

3. Pemindahan K dari Mika

Penggantian sedikit K+ dari interlayer mika H+ tidak menyebabkan distorsi kehilangan keseimbangan (allignment) yang berarti. Kapasitas Tukar Kation sedikit meningkat dan terbentuk mineral liat illit.

4. Pembentukan lapisan Al pada mineral liat 2 : 1

Suatu modifikasi mineral secara pedogenik pada tanah masam adalah pengendapan gugus hidroksil – Al di ruang-ruang antar lapisan dari vermikulit (atau kadang – kadang montmorillonit). Liat dengan Al – interlayer disebut liat 2 : 1 intergrade. Interlayer Al mempengaruhi kemasaman tanah.

(Hardjowigeno, 1993).

Telah diketahui bahwa pasir dan debu terutama berasal dari butir-butir mineral tanah dengan jenis tanah yang lain. Luas permukaan debu jauh lebih besar dari luas permukaan pasir per gram. Tingkat pelapukan debu dan pembebasan unsur-unsur hara untuk diserap akar lebih besar dari pasir. Pasir dan debu pada


(24)

beberapa tanah, umumnya terdiri dari mineral-mineral yang kaya akan unsur-unsur esensial, sedangkan pada kasus lain mereka didominasi oleh kwarsa. Tidak suburnya tanah-tanah berpasir biasanya berhubungan erat dengan kandungan kwarsa yang tinggi (Hakim, dkk, 1986).

Nilai pH menunjukkan banyaknya konsistensi ion hidrogen di dalam tanah. Telah ditandai bahwa pH tanah tertentu cenderung dikaitkan dengan kumpulan bagian kondisi tanah. Tanah dengan pH 8 dan di atasnya biasanya didominasi oleh hidrosa karbonat dan mereka terutama dikembangkan dari bahan induk yang berkapur. Pelapukan dan pencucian berlangsung minimal. pH menurun atau kemasaman meningkat maka tingkat perkembangan tanah lebih lanjut (Foth, 1998).

Pengukuran pH NaF merupakan metode yang konvensional dan sederhana untuk menguji ada tidaknya bahan andik. pH NaF >9,4 merupakan suatu indikator adanya bahan andik (alofan) yang mendominasi kompleks pertukaran. Hal ini didasarkan kepada pertukaran ligan antara F- dengan OH- yang dipinggiran alofan sehingga OH- bebas dan akan cepat meningkatkan pH larutan (Mukhlis, 2002).

Karena adanya muatan tergantung pada pH tanah, maka dalam menentukan Kapasitas Tukar Kation (KTK) di laboratorium harus didasarkan pada pH larutan yang telah ditentukan. Oleh karenanya KTK merupakan fungsi tanah. Selama pencucian dan pelapukan terus menerus dan pH tanah menurun, KTK menurun, sebagian besar disebabkan reduksi yang tergantung pH bahan organik. Hidrogen dapat ditukar pada daerah yang tergantung pH bahan organik memperlihatkan kecenderungan ionisasi yang kecil sesuai dengan pH yang menurun (Foth, 1998).


(25)

Tingkat pelapukan lanjut suatu tanah tercermin dari sifat fisik, kimia dan mineraloginya. Tanah dengan pelapukan lanjut umumnya mempunyai nilai KTK yang rendah. Dan sifat terakhir dicerminkan oleh kadar besi Oksida dan Aluminium Hidroksida tinggi dalam tanah (Poerwidodo, 1991).

Dari berbagai pengamatan ciri tekstur tanah, ternyata KTK berbanding lurus dengan jumlah butir liat. Semakin tinggi jumlah liat suatu tanah yang sama maka KTK juga bertambah. Makin halus tekstur tanah makin besar pula jumlah koloid liat organiknya, sehingga KTKnya semakin besar. Sebaliknya, tekstur kasar seperti pasir atau debu, jumlah koloid relati kecil demikian pula koloid organiknya, sehingga KTK juga relatif lebih kecil daripada tanah bertekstur halus (Hakim, dkk, 1986).

Tanda-tanda yang dipakai untuk menyatakan tanah telah mencapai tingkat perkembangan lebih lanjut adalah profil terbagi dalam horizon-horizon yang lebih banyak dan masing-masing horizon lebih tebal serta lebih nyata terbentuk, tekstur tanah lebih halus, pH menurun atau kemasaman meningkat , kadar N dan bahan organik lebih banyak, warna tanah lebih cerah. Tanda-tanda yang tercantum di atas tidak berarti harus semuanya tampak bersamaan dalam sebuah profil (Notohadiprawiro, 1995).

Tanah muda umumnya mempunyai KTK rendah sesuai dengan tekstur bahan induk. KTK mula-mula akan meningkat dengan meningkatnya pelapukan, tetapi KTK akan menjadi rendah pada tanah dengan tingkat pelapukan lanjut. Hal ini akibat melapuknya mineral liat mudah lapuk (mineral 2:1;alofan) dan terbentuk mineral liat yang lebih rendah KTKnya (kaolinit, oksida-oksida). Batas


(26)

Lama sebelum proses penghancuran bahan-bahan organik dimulai, maka boleh dikatakan bahwa senyawa K dan kebanyakan dari senyawa Ca telah tercuci dari daun-daun. Penyelidikan dengan lysimeter menunjukkan naiknya angka pH setelah daun-daun jatuh ke tanah (Wisaksono, 1963). Kadar K dan Ca dan senyawa basa lain naik dalam pencucian pada masa ini. Bilamana penghancuran dimulai maka banyak ditemukan asam-asam organik dan asam anorganik yang menyebabkan reaksi masam. Jadi banyaknya K yang dikandung dalam tanah yang

melapuk dapat meningkatkan pH, sehingga pelapukan akan rendah (Dardak, 1993).

Faktor tanah yang mempengaruhi fiksasi kalium seperti kemampuan dari berbagai koloid tanah dalam memfiksasi kalium yang berbeda. Hal ini sangat tergantung dari jenis dan sifat koloid itu sendiri misalnya: kaolinit atau lebih sedikit meningkatkan kalium jika dibandingkan mineral tipe 2:1 seperti montmorilonit dan illit (Abdullah, 1993).

Oksidasi biasanya disertai dengan penambahan volume, sehingga mempertinggi larutan terhadap pelapukan. Lanjutan reaksi oksidasi disatu pihak sebaiknya terjadi reduksi ditempat lain. Proses reduksi banyak terjadi didarah rawa atau daerah yang mengandung bahan organik. Oksidasi bahan organik dari senyawa tertentu seperti oksidasi-reduksi besi yang mengandung ferro menjadi ferri, sulfat di reduksi menjadi sulfida. Di daerah yang sering tereduksi senyawa Fe dan Mn, meningkat mobilitasnya (Darmawijaya, 1997).

Kondisi redoks tanah mempengaruhi stabilitas senyawa-senyawa besi dan manga. Baik kondisi oksidasi maupun reduksi dapat terjadi bersamaan di dalam pedon. Tanah-tanah dengan kondisi redoks yang berbeda dapat mempunyai reaksi


(27)

yang berbeda terhadap pemupukan N. Dalam tanah berdrainase baik, N-amonium berada di bawah pengaruh nitrifikasi (Tan, 1998).

Intensitas pelapukan dipengarhi olah iklim, drainase, vegetasi dan waktu. Dalam hal ini iklim merupakan faktor yang terpenting dalam terjadinya pelapukan, iklim tidak hanya mengontrol tingkat reaksi tanah akibat perbedaan iklim setiap tempat tetapi juga berperan selama proses pelapukan. Air hujan dan drainase merupakan faktor kedua yang mempengaruhi tingkat dekomposisi dan berperan dalam pembentukan mineral sekunder (Darmawijaya, 1997).

Mineral Liat

Mineral adalah sebagian zat-zat hablur (kristal) yang ada dalam kerak bumi dan bersifat homogen baik fisik maupun kimiawi. Mineral merupakan persenyawaan anorganik asli serta mempunyai susunan kimia yang tetap. Persenyawaan kimia asli adalah bahwa mineral itu harus terbentuk di alam. Banyak zat yang mempunyai sifat yang sama dengan mineral dapat dibuat di laboratorium. Jadi mineral inilah yang merupakan bagian dari batuan (Munir,1995).

Mineral dikelompokkan berdasarkan komposisi, warna, kekuatan, struktur, dan berat jenisnya. Mineral-mineral utama yang terdapat dalam kerak bumi, disajikan dalam tabel 1.

Tabel 1. komposisi mineral-mineral pada permukaan bumi

Nama Mineral Persentase Komposisi

Feldspar 57,8

Amfibol dan Piroksin (mineral feromagnesium) 16,0

Kwarsa 12,7

Mika 3,6

Mineral asesoris apatit, magnetit, pirit, titanit, zircon, ilemenit, rutil)


(28)

Dari tabel dapat kita ketahui bahwa mineral yang paling penting dalam pembentukan tanah adalah feldspar kemudian diikuti oleh mineral ferromagnesium. Ada mineral – mineral tertentu yang tidak terpengaruh oleh pelapukan dan tidak tergantikan oleh mineral lain di dalam tanah, misalnya kwarsa, magnetit, titanit, dan ilmenit (besi tua titan), dll. Mineral – mineral non-silikat yang penting dalam pembentukan tanah adalah kalsit, magnetit, gypsum, dan dolomit. Semua mineral diatas termasuk mineral primer (Buol, 1980).

Mineral liat merupakan sekumpulan mineral berbentuk kristal , yang tersusun atas aluminium silikat dengan beberapa logam tertentu sebagai pendukung atau penggantinya. Dengan memperhatikan komponen lapisan silikat dan aluminium penyusun liat, maka didapatlah beberapa tipe mineral liat yang berperan besar dalam mengatur tentang keadaan / susunan tanah, misalnya: montmorillonit tipe 2:1, kaolinit tipe 1:1, dll (Sutedjo dan Kartasapoetra, 2002).

Mineral liat kristalin dibedakan berdasarkan jumlah lapis kristal tetrahedron dan oktahedron yaitu : (Marpaung, 1992).

a. Tipe 2 lapis (1:1) yang tersusun atas 1 lapis silikat tetrahedron dan 1 lapisan aluminium oktahedron

b. Tipe 3 lapis (2:1) yang tersusun oleh masing-masing 2 lapis silikat aluminium tetrahedron dan 1 lapis dioktahedron atau trioktahedron

c. Tipe 4 lapis (2:1:1) yang tersusun oleh masing-masing 2 lapis silika dan 2 lapis aluminium

Tanah muda mempunyai kandungan liat rendah dan kandungan mineral primer tinggi, dapat dicirikan dengan tingginya laju pembentukan liat. Pada tanah


(29)

matang atau tua dimana sebagian mineral primernya siap melapuk, pembentukan liat silikat akan menjadi rendah. Kandungan liat yang tinggi menunjukkan laju dekomposisi yang relatif tinggi (Foth, 1998).

Dari berbagai pengamatan ciri tekstur tanah, ternyata Kapasitas Tukar Kation (KTK) berbanding lurus dengan jumlah butir liat. Semakin tinggi jumlah liat suatu tanah yang sama, maka KTK juga bertambah. Makin halus tekstur tanah makin besar pula jumlah koloid liat organiknya, sehingga KTKnya semakin besar. Sebaliknya tekstur kasar seperti pasir atau debu, jumlah koloid relatif kecil demikian pula koloid organiknya, sehingga KTK juga relatif lebih kecil dari pada tanah bertekstur halus (Hakim dkk, 1986).

Alofan memiliki muatan peubah yang besar. Alofan juga bersifat amfoter dan dilaporkan dapat memfiksasi sejumlah fosfat tanah. Nilai KTK kira – kira antara 20 – 50 me / 100 gr, sedangkan KTA (Kapasitas Tukar Anion) berkisar antara 5 – 30 me / 100 gr. Kebanyakan tanah-tanah yang mengandung alofan umumnya memiliki horizon A berwarna hitam, mengandung bahan organik yang tinggi, dan terdapat di beberapa tempat di Kabupaten Karo, Langkat di Sumatera Utara. Identifikasi mineral-mineral ini umumnya dilakukan dengan DTA (Differential Thermal Analysis) (Lubis, 1989).

Alofan adalah bahan yang susunan kimianya terdiri atas sejumlah O2-, OH-, Al3+, dan Si4+ yang beragam; dan dicirikan oleh order rentang pendek dan didominasi oleh ikatan Si-O-Al. Mineral ini membentuk bola-bola kecil (3,5 - 5,0 nm), suatu stuktur yang tidak dapat dideterminasi. Bola-bola ini menggumpal secara bersamaan membentuk agregat yang tidak beraturan dengan kapasitas tukar kation (KTK) 20-50 me/100 g (Mukhlis, 2002).


(30)

Kurva DTA (Differential Thermal Analysis) alofan umumnya dicirikan oleh punak endotermik yang besar dan tajam antara 50-200 0C (323 dan 473 0K) yang diakibatkan hilangnya air terjerap, dan suatu puncak eksotermik yang tajam 800 0C hingga 900 0C (1173-1273 0K) akibat pembentukan alumina atau mulit. Alofan kebanyakan terdapat dalam tanah yang berasal dari bahan vulkanik, tetapi ada juga tanah-tanah yang mengandung alofan secara umum diklasifikasikan kedalam andept (inseptisol) (Tan, 1998).

Secara umum sifat-sifat tanah yang kaya akan alofan dan terbentuk dari gelas vulkanik adalah sebagai berikut .

1. Biasanya profil tanahnya dalam lapisan atas gembur

2. Terdapat lapisan permukaan yang hitam yang terdiri dari senyawa-senyawa humik yang tahan terhadap dekomposisi mikroorganisme

3. Lapisan subsoil berwarna kecoklatan dan terasa licin bila digosok diantara jari-jari

4. Bulk density sangat rendah (< 0,85 g/cc) 5. Daya memegang air tinggi

6. Perkembangan struktur tanah baik, tapi agak lemah dan porous 7. Tidak ada sifat lekat dan kenyal (plastis) bila lembab

8. Kalau dikeringkan menjadi sukar dibasahi kembali, dan dapat mengapung di atas air

9. Kapasitas tukar kation tinggi

10.Sulit melakukan analisis tekstur pada tanah ini karena sulit didispersi 11.Cenderung mempunyai retensi P yang tinggi


(31)

Mineral liat silikat yang terpenting adalah alofan. Mineral ini terdapat pada tanah berasal dari abu volkan (Andisol) dan diperkirakan berasal dari pelapukan gelas volkanik atau mineral feldspar. Mineral ini mempunyai kapasitas tukar kation tinggi, tetapi dapat memfiksasi P dengan kuat. Tanah yang banyak mengandung alofan terasa licin bila dipirit (smearyt) dan umumnya mempunyai bulk density yang rendah (kurang dari 0,90 g / cc) (Hardjowigeno, 2003).

Mineral liat merupakan salah satu kompleks tanah yang sangat penting karena dapat menentukan sifat fisik dan kimia tanah. Tanah dapat mengembang dan mengerut, muatan tanah (KTK) dan konsistensi tanah disebabkan oleh mineral liat dominan. Beberapa metode penetapan mineral liat di Laboratorium antara lain: (Munir, 1995)

1. Analisa Difraksi sinar – x (x – ray Diffraction) 2. Differential Analysis thermal (DTA)

3. Termografmetrik Analisis (TGA) 4. Scanning Elektron mikroskop (SEM)

Analisa mineral liat yang memakai metoda DTA (Differential Thermal Analysis) merupakan teknik yang digunakan secara luas dan sangat bermanfaat terutama dalam mengidentifikasi mineral amorf. Selain dengan DTA mineral liat juga dapat diukur dengan menggunakan sinar x (x – ray) akan tetapi hanya dapat mengidentifikasi mineral primer saja. Analisa Thermal mengukur perbedaan yang timbul antara contoh tak dikenal dan contoh baku, sehingga akibat pemanasan bersama pada laju yang dikendalikan dari 0 hingga 1000 (Tan, 1991).

DTA mengukur perbedaan suhu yang berkembang antara contoh yang akan diselidiki (unkown sample) dan contoh rujukan (refrence sample) pada saat


(32)

keduanya dipanaskan berdampingan dengan tingkat pemanasan yang dikendalikan antara 0 – 10000 C. Bahan rujukan juga disebut standard material (bahan baku). Persenyawaan – persenyawaan yang biasa digunakan sebagai contoh bahan baku adalah calcined Al2O3 dan coalinit (dipanaskan pada 10000 C). Pemanasan haruslah dikendalikan seseragam mungkin dengan jumlah yang tetap selama analisis berlangsung. Suhu pemanasan bervariasi dari 0,1 – 20000 C/ menit

(Lubis, 1989).

Kurva DTA kaolinit oleh puncak endotermik yang kuat pada suhu antara 450 – 6000C dan oleh puncak eksotermik yang kuat pada suhu 900 – 10000 C. Munculnya puncak endotermik disebabkan oleh dehidroksilasi, sedangkan puncak eksotermik disebabkan pembentukan alumina atau mullit. Kurva halloysit hampir mirip dengan kaolinit tetapi memiliki puncak endotermik bersuhu rendah (100 – 2000 C). Montmorillonit memperlihatkan kurva DTA dengan puncak endotermik bersuhu rendah (100 – 2000 C), sebuah puncak endotermik lagi antara 600 -7500 C, dan bagian kurva yang menurun antara 800 – 9000 C diikuti oleh puncak eksotermik lemah antara 900 – 10000 C. Gibsit dan geothit biasanya dicirikan oleh puncak endotermik yang kuat antara 290 dan 3500 C. Tidak jarang geothit dan mineral besi oksida lainnya memiliki reaksi endotermik yang suhunya lebih tinggi dari gibsit (Lubis, 1989).

Andisol

Andisol adalah tanah yang berkembang dari bahan vulkanik seperti abu vulkan, batu apung, silinder, lava dan sebagainya, dan / atau bahan volkanik lastik, yang fraksi koloidnya didominasi oleh mineral “Short-range order” (alofan, imogolit, ferihidrit) atau kompleks Al-humus. Dalam keadaan lingkungan


(33)

tertentu, pelapukan alumino silikat primer dalam bahan induk nonvulkanik dapat menghasilkan mineral “Short range order”, sebagian tanah seperti ini yang termasuk dalam Andisol (Hardjowigeno, 1993).

Tanah Andisol (Andosol) adalah tanah yang berwarna hitam kelam, sangat porous, mengandung bahan organik dan lempung tipe amorf, terutama alofan serta sedikit silika, alumina atau hodroxida-besi. Tanah yang terbentuk dari abu vulkanik ini umumnya ditemukan didaerah dataran tinggi (> 400 m dari permukaan laut) (Darmawijaya, 1997).

Proses pembentukan tanah yang utama pada andisol adalah pelapukan dan transformasi (perubahan bentuk). Proses pemindahan bahan (translokasi) dan penimbunan bahan-bahan tersebut di dalam solum sangat sedikit. Akumulasi bahan organik dan terjadinya kompleks bahan organik dengan Al merupakan sifat khas pada beberapa andisol (Hardjowigeno, 1993).


(34)

BAHAN DAN METODA

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Tongkoh Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo, dengan ketinggian tempat 1447 m di atas permukaan laut (dpl) dan berjarak ± 68 km dari kota Medan, Laboratorium Riset dan Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara Medan, dan Laboratorium PTKI (Pendidikan Teknologi Kimia Industri ). Penelitian ini dimulai pada bulan April 2007 sampai dengan September 2007.

Bahan dan Alat

Adapun bahan yang digunakan adalah sampel tanah, aquadest, NH4OAc (pH 7), KCl, dan Merc Indikator Paper.

Adapun alat yang digunakan adalah peta geologi Kabupaten Karo skala 1: 50.000, peta ketinggian tempat skala 1: 50.000, peta lokasi penelitian skala 1: 50.000, peta jenis tanah skala 1 : 50.000, GPS, meteran, kertas label, kantongan plastik, Munsell Soil Colour Chart, kamera, spidol, karet gelang, formulir isian profil, cangkul, bor tanah, karton manila.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis termogram dan memakai kriteria pelapukan pedokimia.


(35)

Persiapan

Sebelum dilakukan penelitian, terlebih dahulu dilakukan konsultasi dengan dosen pembimbing, telaah pustaka, penyusunaan usulan penelitian dan penyediaan bahan serta peralatan yang digunakan di lapangan.

Survai Lapangan

Penentuan titik lubang tanah dengan menggunakan GPS berdasarkan analisa topografi, geologi, jenis tanah dan peta Kab. Karo. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada horizon A dan horizon B.

Analisa Laboratorium

Analisa laboratorium terdiri atas:

− Analisa tekstur tanah dengan menggunakan metode Hydrometer

− Kapasitas Tukar Kation (KTK) dengan menggunakan metoda ekstraksi NH4OAc pH 7 , dengan kriteria:

o Rendah <5 me/100 g

o Agak rendah 5 – 16 me/100 g

o Sedang 17 – 24 me/100 g

o Agak tinggi 25 -40 me/100 g

o Tinggi >40 me/100 g

− pH (H2O) dan pH (NaF) dengan menggunakan metoda electrometry

− Al dd dengan NH4OAc pH 7

− K tukar dengan NH4OAc pH 7

− Analisa mineral liat dengan menggunakan alat Differential Thermal Analysis (DTA)


(36)

Analisisia Data

 Analisis mineral dengan interpretasi termogram puncak endotermik – eksotermik beberapa mineral-mineral liat

 Menentukan tingkat pelapukan dengan memakai kriteria pelapukan pedokimia.

Tabel 2 : Puncak Endotermik dan Puncak Eksotermik dari beberapa mineral liat (Tan, 1998)

Mineral liat Puncak Endotermik (0C) Puncak Eksotermik (0C) Kaolinit Montmorilonit Halloisit Illit Vermikulit Gibsit Goethid Alofan - A - B

500 – 600 100 - 250 100 - 200 500 - 600 100 - 200

600 150 850 250 - 350 300 - 400 100 - 200

-

900 -1000 900 - 1000 900 - 1000

920 - 950

800 - 900

800 - 900 800 - 900

- 800 - 1000

Kriteria pelapukan pedokimia menurut Hardjowigeno (1993) adalah: 1. Oksidasi - Reduksi

Perubahan-perubahan keadaan oksidasi dan reduksi menghasilkan pelapukan Fe dan Mn dari mineral-mineral primer, yang kemudian membentuk karatan


(37)

atau konkresi dalam solum tanah. Pergantian keadaan oksidasi – reduksi dapat menyebabkan terjadinya kerusakan mineral.

Dalam keadaan reduksi dimana Fe++ mudah larut menjadi penggantian exchangeable Al+++ oleh Fe++, sedang dalam keadaan oksidasi, Al+++ keluar dari kisi-kisi kristal dan mengganti Fe++ dalam kompleks pertukaran kation. Keluarnya Al++ dari kristal-kristal dapat merusak struktur liat.

2. Pelepasan Al dari kristal liat menjadi Hidroksida melalui pertukaran kation. Liat mula-mula jenuh Ca++ dan Mg,++ kemudian diganti K+ dan pelapukan masam. Karena pergantian H+ ini menjadi liat tidak stabil, sehingga Al+++ dapat terlepas dari kristal liat. Akibatnya menjadi licin dan menjadi hancur (rusak).

3. Pemindahan K dari Mika

Penggantian sedikit K+ dari interlayer mika H+ tidak menyebabkan distorsi kehilangan keseimbangan (allignment) yang berarti. Kapasitas Tukar Kation sedikit meningkat dan terbentuk mineral liat illit.

4. Pembentukan lapisan Al pada mineral liat 2 : 1

Suatu modifikasi mineral secara pedogenik pada tanah masam adalah pengendapan gugus hidroksil – Al di ruang-ruang antar lapisan dari vermikulit (atau kadang – kadang montmorillonit). Liat dengan Al – interlayer disebut liat 2 : 1 intergrade. Interlayer Al mempengaruhi kemasaman tanah.


(38)

KEADAAN UMUM DERAH PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa tongkoh Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo pada satu profil tanah, dengan koordinat 98032’20,7” LU dan 03012’23,2” BT dengan ketinggian tempat 1447 m di atas permukaan laut (dpl).

Iklim

Data iklim yang digunakan adalah data curah hujan selama 10 tahun terakhir dari tahun 1997 sampai tahun 2006 yang tertera pada lampiran 1. Data curah hujan ini di peroleh dari badan Meteorologi dan Geofisika Sampali, Medan, Sumatera Utara.

Iklim merupakan salah satu faktor penting dalam proses pembentukan tanah. Jika suatu daerah memiliki curah hujan yang cukup tinggi maka proses pembentukan tanah akan semakin cepat pada daerah tersebut, hal ini disebabkan karena pada keadaan basah tanah akan semakin cepat terdekomposisi dan membentuk lapisan–lapisan tanah baru.

Berdasarkan pendapat Schmitd dan Ferguson dalam Guslim (1997) bahwa bulan basah terjadi jika curah hujan > 100 mm / tahun dan bulan kering terjadi jika curah hujan ≤ 60 mm / tahun, dengan harga Q yang diperoleh dari perbandingan antara bulan kering dan bulan basah. Dapat dituliskan dengan rumus:

Q = Rata-Rata Bulan Kering X 100%


(39)

Daerah penelitian di Desa tongkoh Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo mempunyai tipe iklim D (sedang). Dimana rata-rata bulan kering adalah 4,3 dan rata-rata bulan basah adalah 4,6 da nilai Q yang diperoleh adalah 93 % dengan harga Q terletak pada range 60 < Q ≤ 100.

Topografi

Pada umumnya relief di Desa Tongkoh Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo adalah landai sampai dengan berombak. Pada daerah penelitian reliefnya adalah landai dengan kemiringan lereng 5 %.

Vegetasi

Penggalian profil tanah di desa Tongkoh Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo dilakukan pada kawasan hutan Pinus (Pinus merkusii) yang ditanam oleh Dinas Kehutanan. Dari pengamatan langsung di lapangan dapat dilihat vegetasi yang ada pada daerah penelitian adalah sayur- sayuran dan buah-buahan yaitu cabe merah (Capsicum annum L.), singkong (Manihot utilisima ), jeruk (Citrus aurantium), ketimun (Cucumis sativus), kentang (Solanum tuberosum L.), ubi jalar (Ipomoea batatas L.) dan rumput-rumputan (Graminae).


(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi profil tanah

Sifat tanah yang diteliti secara langsung di lapangan meliputi warna tanah, tekstur tanah, stuktur tanah, konsistensi tanah, kedalaman efektif tanah, batuan singkapan, dan corak-corak lain ada pada morfologi tanah. Deskripsi profil tanah daerah penelitian adalah sebagai berikut:

Lokasi : Desa Tongkoh Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo Koordinat : 98032’20,7” LU dan 03012’23,2” BT

Ketinggian Tempat : 1447 m di atas permukaan laut Bahan Induk : Andesit

Jenis Tanah : Andisol Kemiringan Kereng : 5 % Topografi : Landai Drainase : Baik Kedalaman efektif : 56 cm

Vegetasi :Hutan pinus (Pinus merkusii), Rumput-rumputan


(41)

Morfologi Tanah di Desa Tongkoh Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo

Horizon Kedalaman (cm) Uraian

A 0 - 16/18 Hitam gelap kecoklatan (10 YR 2/2). pasir berlempung, sedang, remah, gembur, terdapat batuan, perakaran banyak, beralih nyata berombak ke...

Bw1 16/18 - 28/40 Coklat kekuningan (10 YR 5/6), lempung, halus, gumpal, teguh, terdapat batuan, sedikit perakaran, beralih nyata berombak ke...

Bw2

C

28/40 - 40/68

40/60 - >150

Kuning kecoklatan (10 YR 6/6), lempung berpasir, sedang, gumpal bersudut, teguh, tidak terdapat batuan, terdapat sedikit perakaran, terdapat sedikit karatan, beralih nyata berombak ke...

Coklat kuning keabu-abuan (10YR 4/8), lempung berpasir, sedang, gumpal bersudut, teguh, tidak terdapat batuan, tidak ada perakaran, terdapat corak berwarna kuning merah kecoklatan pada kedalaman 59 cm.

Pada pengamatan langsung di lapangan, maka diperoleh behwa pedon memiliki horizon A, Bw1, Bw2, dan C dimana pada setiap horizon memiliki warna, tekstur, struktur dan konsistensi yang berbeda. Penentuan notasi warna pdilakukan berdasarkan buku pedoman penciri warna tanah yaitu buku Munsell


(42)

soil Colour Chart. Warna disusun tiga variabel yaitu Hue, Value, chroma. Value menunjukkan gelap terangnya warna sesuai dengan banyaknya sinar yang dipantulkan. Chroma menunjukkan kemurnian atau kekuatan dari warna spektrum. Hue menunjukkan warna spektrum yang dominan, sesuai dengan panjang gelombang. Menurut Munir (1996) warna tanah yang semakin terang menunjukkan kandungan bahan organik yang semakin sedikit dan jika warna tanah semakin gelap maka kandungan bahan organik semakin tinggi, sangat porous, mengandung bahan organik, dan liat tipe amorf, terutama alofan, serta sedikit silikat dan alumina atau hidroksida besi.

Gambar 1 : Karatan pada horizon Bw2

Dari gambar dapat dilihat perubahan warna yang jelas dimana warna tanah semakin kebawah semakin terang. Hal ini dapat menunjukkan kandungan bahan organik yang semakin sedikit dari horizon atas ke horizon di bawahnya, dan ini merupakan ciri tanah andisol. Pada horizon Bw2 terdapat karatan atau konkresi. Karatan ini menunjukkan telah terjadi proses oksidasi, sehingga dari

Bw1

Bw2 C


(43)

sifat morfologisnya dapat dilihat proses pelapukan pedokimia dari horizon A B yang termasuk dalam kriteria pelapukan pedokimia yang pertama yaitu oksidasi reduksi.

Dari deskripsi morfologi tanah pada horizon A, Bw1 dan Bw2 dapat dilihat bahwa tekstur tanah yang ditentukan dengan metoda by feeling yaitu pasir berlempung, lempung dan lempung berpasir. Struktur tanah pada horizon A adalah sedang, remah, sedangkan pada horizon Bw1 adalah halus, gumpal, dan horizon Bw2 adalah sedang, gumpal bersudut. Penyifatan struktur tanah tersebut ditentukan berdasarkan ukuran struktur tanah dan bentuk struktur tanah. Konsistensi tanah pada horizon A adalah gembur, horizon Bw1 dan Bw2 adalah teguh. Pada keadaan lembab terbentuk konsistensi gembur karena berkurangnya kandungan liat. Sedangkan terbentuknya konsistensi teguh karena meningkatnya kandungan liat yang membentuk gumpalan agregat. Ketahanan tanah berbeda-beda dari yang mudah hancur (tingkat perkembangan lambat), sedang (tingkat perkembanagan sedang), dan sampai yang sulit hancur (tingkat perkembangan lanjut).

Dari data yang diperoleh maka tanah andisol termasuk ke dalam tingkat pelapukan lanjut (tanah tua). Hal ini ditandai dengan horizon tanah yang lengkap horizon A, Bw1, Bw2, C dan R dan horizon yang tebal, didominasi oleh tekstur pasir berlempung dan lempung berpasir, warna tanah yang lebih cerah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Notohadiprawiro (1998) yang menyatakan bahwa tanah yang mencapai tingkat pelapukan lanjut adalah horizon yang banyak, tekstur halus dan warna yang lebih terang.


(44)

Analisa laboratorium

Berdasarkan analisis laboratorium, untuk sifat fisik (tekstur tanah) dan sifat kimia tanah (pH H2O, pH NaF, KTK, Al-dd dan K-dd) dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini.

Tabel 3 : Hasil Analisa Laboratorium untuk Sifat Fisik dan Kimia Tanah

Horizon Kedalaman Partikel Tanah (%) pH KTK Al-dd K-dd

Pasir Debu Liat H2O NaF (me/100g) (me/100g) (me/100g) A 0-16/18 82,4 11,4 6,2 4,83 10,74 44,60 1,34 0,36 Bw1 16/18-28/40 82,4 9,4 8,2 4,94 9,12 49,58 0,10 0,33 Bw2 28/40-40/68 70,4 21,4 8,2 4,84 9,72 37,81 0,00 0,18

Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa persen pasir dari horizon A ke Bw1 tetap sedangkan dari horizon Bw1 ke Bw2 terjadi penurunan persen pasir dari 82,4% menjadi 70,4 % dan terjadi peningkatan persen debu yaitu dari 9,4% menjadi 21,4%. Hal ini menunjukkan bahwa dari horizon Bw1 ke Bw2 terjadi pelapukan pasir menjadi debu. Dari horizon A ke Bw1 terjadi penurunan persen debu yaitu dari 11,4% menjadi 9,4%. Hal ini menunjukkan bahwa dari dari horizon A ke Bw1 terjadi pelapukan debu. Dari horizon A ke Bw1 terjadi peningkatan persen liat yakni dari 6,2% menjadi 8,2%. Hal ini disebabkan karena liat pada horizon A sebagian mengalami pencucian (tereluviasi) ke horizon Bw1 sehingga % liat pada horizon Bw1 menjadi lebih tinggi dibanding dengan horizon A (liat terilluviasi). Dengan adanya pencucian liat ini maka % debu akan lebih banyak pada horizon A dibandingkan dengan horizon Bw1. Menurut Harjowigeno (1993) eluviasi adalah pemindahan bahan-bahan tanah dari satu horizon ke horizon lain sedangkan iluviasi adalah penimbunan bahan-bahan tanah dari satu horizon. Tekstur tanah


(45)

pada horizon A dan Bw1 adalah pasir berlempung, sedangkan pada horizon Bw2 adalah lempung berpasir.

Dari hasil analisa laboratorium untuk pH tanah dari horizon A ke Bw1 terjadi peningkatan pH H2O yaitu dari 4,83 menjadi 4,94, dimana peningkatan disebabkan karena pada horizon A Al-dd tinggi yaitu 1,34 me/100g sehingga dapat memfiksasi P dengan kuat melalui pertukaran anion, dimana pertukaran anion menyumbangkan OH- sehingga menyebabkan pH tanah meningkat. Sedangkan pada Bw1 ke Bw2 pH tanah mengalami penurunan yakni dari 4,94 menjadi 4,84. menurunnya pH pada horizon Bw2 ini disebabkan banyak terdapat ion H+ yang dapat dipertukarkan dalam larutan tanah. Sehingga ion H ini menyumbangkan H+ ke larutan yang menyebabkab konsentrasi H meningkat dan membuat tanah menjadi masam. Menurut Tan (1994) H yang dapat dipertukarkan disosiasi dan menyumbangkan H+ ke larutan tanah dimana H yang dapat dipertukarkan ini adalah sumber utama H+ sampai pH menjadi di bawah 6. menurut Hardjowigeno (1993) pH yang semakin masam akan semakin banyak Al dapat dipertukarkan yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Penurunan pH ini juga dapat disebabkan karena curah hujan yang tinggi sehingga pencucian juga tinggi . Pada lampiran 2 dapat dilihat bahwa di lokasi penelitian memiliki curah hujan yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Foth ( 1998) selama pencucian terus menerus dan pH tanah menurun, kapasitas tukar kation menurun, sebagian disebabkan reduksi muatan yang tergantung pH bahan organik.

Pengukuran pH NaF merupakan salah satu indikator mineral alofan. Menurut Mukhlis (2004) pH NaF > 9,4 merupakan indikator adanya bahan andik atau alofan. Dari hasil analisa laboratorium pH NaF horizon A dan Bw2 yaitu


(46)

10,74 dan 9,72 menunjukkan bahwa pada horizon ini terdapat mineral liat alofan. Sedangkan pada horizon Bw1 terjadi penurunan yaitu menjadi 9,12, hal ini disebabkan karena kandungan alofannya lebih sedikit dibanding horizon A dan Bw2. Hal ini sesuai dengan pernyataan Foth (1998) bahwa andisol memiliki pH NaF yang diukur dengan 1 g tanah halus adalah sebesar 9,2 atau lebih yang menunjukkan adanya mineral liat alofan dalam tanah tersebut.

Berdasarkan hasil analisa laboratorium (tabel 3) untuk kapasitas tukar kation (KTK) bahwa pada tanah lokasi penelitian memiliki mineral alofan A. Nilai KTK pada horizon A, Bw1, dan Bw2 adalah 44,60 me/100g, 49,58 me/100g dan 37,81 me/100g. Menurut Hardjowigeno (1993) alofan memberikan sifat yang khas pada tanah abu vulkan. Dimana salah satu ciri tanah yang memiliki mineral alofan adalah muatan tidak tetap karena tergantung pH. Nilai KTKnya berkisar antara 20-50 me/100g, sedangkan KTAnya berkisar 5-30 me/100g. Pada horizon A ke Bw1 terjadi peningkatan KTK yaitu dari 44,60 menjadi 49,58 me/100g. Tingginya KTK pada horizon Bw1 ini disebabkan karena terjadi peningkatan persen liat. Selain itu tingginya KTK ini disebabkan karena adanya penimbunan liat (illuviasi) yang berasal dari horizon A yaitu 6,2% menjadi 8,2% pada horizon Bw1. Sedangkan pada horizon Bw1 ke Bw2 nilai KTK semakin menurun yaitu dari 49,58me/100g menjadi 37,81me/100g. pH berbanding lurus dengan KTK , jika pH menurun maka KTK menurun dan sebaliknya. Hakim dkk (1986) menyatakan bahwa besarnya KTK juga dipengaruhi oleh reaksi tanah. Penurunan KTK ini juga disebabkan oleh kandungan bahan organik yang semakin ke bawah semakin menurun. Hal ini dapat terlihat pada gambar prodil tanah, dimana semakin ke bawah warna tanah semakin terang, hal ini sesuai dengan pernyataan


(47)

Hardjowigeno (1993) yaitu nilai KTK dipengaruhi oleh kandungan liat dan bahan organik.

Pada tabel 3 diperoleh bahwa nilai Al yang dipertukarkan (Al-dd) dari horizon A ke Bw2 menurun yaitu dari 1,34 me/100g menjadi 0,00 me/100g. penurunan nilai Al-dd ini menunjukkan terjadi pelapukan pedokimia pada horizon A, Bw1 dan Bw2, karena pelapukan pedokimia ini salah satunya ditandai dengan adanya pelepasan Al yang berasal dari alofan, dimana alofan berasal, dari hidrat Al dan Si amorf. Jumlah Al yang paling tinggi terdapat pada horizon A dimana hal ini disebabkan karena basa tukar Al yang memiliki valensi besar yaitu Al3+ yang menyebabkan Al3+ ini tidak mengalami pencucian seperti basa-basa tukar lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Foth (1998) yang menyatakan bahwa kation-kation dengan valensi lebih besar diadsorbsi lebih kuat daripada kation dengan valensi yang lebih rendah, atau dengan kata lain bahwa kation yang bervalensi lebih rendah akan lebih mudah mengalami pencucian dengan kation yang bervalensi besar. Dengan adanya Al-dd ini maka tanah menjadi lebih masam. Hal ini ditandai pada horizon A yang memiliki pH H2O yang lebih masam dibandingkan horizon yang lainnya karena Al-dd merupakan sumber ion H+ akibat adanya hidrolisis dalam tanah.

Untuk nilai K yang dapat dipertukarkan (K-dd) diperoleh pada horizon A lebih besar dibanding horizon yang lainnya yaitu sebesar 0,36 me/100g. Hal ini disebabkan karena K yang dapat dipertukarkan belum mengalami pencucian seluruhnya sehingga pada horizon A masih terdapat K yang jumlahnya cukup banyak. Menurut Foth (1998) kation-kation yang bervalensi lebih rendah akan mudah mengalami pencucian dibanding dengan kation yang bervalensi besar.


(48)

Pada sejumlah besar tanah, kation dapat ditukar berdasarkan seri kemampuan penempatan kembali pertukarannya biasanya adalah Al > Ca > Mg > K > Na.

Mineral Liat

Hasil interpretasi daripada horizon A, Bw1 dan Bw2 dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2 : Termogram Horizon A

Horizon : A Berat sampel : 30 mg Bahan Pembanding : Al2O3 Temperatur : 26-9500C Thermocouple/mV : PR/15mV DTA Range : ±100 µV Heating Speed : 100C Chart Speed : 2,5 mm/mnt


(49)

Horizon : Bw1 Berat sampel : 30 mg Bahan Pembanding : Al2O3 Temperatur : 26-9500C Thermocouple/mV : PR/15mV DTA Range : ±100 µV Heating Speed : 100C Chart Speed : 2,5 mm/mnt


(50)

Horizon : Bw2 Berat sampel : 30 mg Bahan Pembanding : Al2O3 Temperatur : 26-9500C Thermocouple/mV : PR/15mV DTA Range : ±100 µV Heating Speed : 100C Chart Speed : 2,5 mm/mnt

Gambar 4 : Termogram Horizon Bw2


(51)

Penentuan mineral liat berdasarkan puncak endotermik yang dimiliki mineral pada setiap horizon terdapat pada tabel 4.

Tabel 4. Puncak Endotermik dan Eksotermik Tanah

Pedon Horizon Kedalaman (cm)

Puncak Endotermik

(0C) Jenis Mineral Liat

A 0 - 16/18 100 Alofan A

P Bw1 16/18 - 28/40 90 Alofan A

Bw2 28/40 - 40/68 90 Alofan A

Interpretasi termogram pada horizon, Bw1 dan Bw2 mempunyai puncak endotermik 1000C, 900C, dan 900C serta mengandung mineral liat yang sama yaitu alofan A. Penentuan mineral liat ini dilakukan dengan mencocokkan puncak endotermik dari sampel dengan jenis mineral liat yang terdapat pada tabel 2. menurut Sudo and Shimuda (1978), Differensial Thermal Analysis (DTA) telah digunakan dalam penentuan alofan dalam suatu liat. Memiliki puncak endotermik antara 100-3000 C dan eksotermik antara 800-10000 C. Terdiri dari dua jenis alofan yaitu alofan A memilki puncak endotermik yaitu 100- 2000 C, dan tidak memiliki puncak eksotermik, kaya akan Al sedangkan alofan B memiliki puncak eksotermik yang tinggi yaitu 800-1000 C dan tidak memiliki puncak endotermik tetapi mempunyai ciri tersendiri yaitu kaya akan Si.

Penentuan puncak eksotermik tidak dijadikan dalam penentuan mineral liat karena pada sampel tanah yang dianalisis terdapat bahan organik yang masih melekat dalam sampel tanah sehingga bahan organik bebas tersebut menyebabkan nilai puncak eksotermik yang rendah pada setiap horizon. Tan (1998) mengatakan andisol merupakan tanah-tanah mineral dimana fraksi aktifnya dicirikan oleh bahan-bahan amorf (minimal 50%). Tanda-tanda ini mempunyai kapasitas sorbsi


(52)

tinggi, kandungan bahan organik yang tinggi, bulk density rendah dan bersifat tidak lekat atau lengket.

Tingkat Pelapukan Dengan Kriteria Pelapukan Pedokimia

Dari penelitian yang dilakukan, didapat bahwa tingkat pelapukan pedokimia dari horizon A B termasuk ke dalam 2 kriteria berdasarkan kriteria pedokimia yaitu:

1. Oksidasi Reduksi

Perubahan keadaan oksidasi dan reduksi menghasilkan pelapukan Fe dan Mn dari mineral-mineral primer yang kemudian membentuk karatan atau konkresi dalam solum tanah, yang dapat dilihat pada horizon Bw2 (gambar 1). Dalam keadaan reduksi Fe2+ diganti oleh Al3+ dan dalam keadaan oksidasi Al3+ keluar dari kisi-kisi kristal. Keluarnya Al3+ dari kisi –kisi kristal dapat merusak struktur kimia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hardjowigeno (1993) yang menyatakan bahwa pergantian keadaan oksidasi-reduksi yang kuat dapat menyebabkan kerusakan mineral. Kerusakan mineral ini merupakan proses pelapukan tanah tersebut.

2. Pelepasan Al dari kristal liat menjadi Hidroksida melalui pertukaran kation Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa pH horizon A, Bw1 dan Bw2 adalah 4,83 , 4,94 , 4,84 sedangkan kandungan Al-dd adalah 1,34 me/100g, 0,10 me/100g dan 0,00 me/100g. Ini menunjukkan bahwa semakin masam tanah, Al-dd semakin tinggi. Sehingga liat yang mula-mula jenuh dengan Ca++ dan Mg++ kemudian diganti oleh H+ dalam pelapukan masam. Karena pergantian H+ ini, maka liat menjadi tidak stabil, sehingga Al3+ dapat terlepas dari kristal liat. Akibatnya liat menjadi hancur (rusak).


(53)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Jenis mineral yang diperoleh dari pembacaan Termogram pada setiap horizon adalah mineral liat Alofan A.

2. Kriteria pelapukan pedokimia A B yang terjadi yaitu Oksidasi Reduksi dan pelepasan Al dari kristal menjadi Hidroksida.

Saran

Penentuan jenis mineral liat di Desa Tongkoh Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo dapat dijadikan dasar dalam penggunaan suatu lahan sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal.


(54)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S. T ., 1996. Survey Tanah dan Evaluasi Lahan, Penebar Swadaya, Jakarta.

Buol, S.W.D., F.D. Hole, and R.J. Mc. Craken, 1980, Soil Genesis and Classification, Second Edition, The Lowa State University Press.

Darmawidjaya, I, 1997. Klasifikasi Tanah.Gajah Mada University Press, Yogyakarta

Dardak, A., 1993. Prosiding Kongres Nasional V Himpunan Ilmu Tanah Indonesia. Buku II. Medan, Indonesia.

Druif, J. H., 1969. Tanah-Tanah di Deli, Medan

Foth, H.D., 1994. Dasar- Dasar Ilmu Tanah.Diterjemahkan oleh Adisoemarto Soenartono.Erlangga.Jakarta.

,1998. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Diterjemahkan Oleh Endang Purbayanti, Dwi Retno Lukiwati, dan Rahayuningsih Trimulatsih. Gadjah Mada University Press., Yogyakarta.

Guslim, 1997.Klimatologi Pertanian.Cetakan K- XI. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Hakim, N., M. Y. Nyakpa, A.M.Lubis, S. G. Nugroho, M. R. Saul, M.A.Diha, G.B. Hong, dan H.H. Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung

Hardjowigeno, S., 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo, Jakarta.

., 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta.

Lubis, A. M., 1989. Azas-Azas Kimia Tanah. Fakultas Pertanian. UISU, Medan. Munir, M., 1995. Geologi dan Mineralogi Tanah. Pustaka Jaya, FP. Universitas

Brawijaya, Malang.

Marpaung, P.,1992. Pola Distribusi mineral liat dalan Dua Pedon Berbahan Induk Liparit Andesit. Fakultas Pertanian - USU ,Medan.

Mukhlis., 2004. Kimia Tanah. Penuntun Praktikum. Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.


(55)

Poerwidodo., 1991. Genesa Tanah, Batuan Pembentuk Tanah. Rajawali Press, Jakarta

Sutedjo, M. M., dan A. G. Kartasapoetra., 2002. Pengantar Ilmu Tanah.Rineka Cipta, Jakarta.

Tan, K. H. 1984. Klasifikasi Tubuh Tanah Hitam di daerah Humid di Indonesia. FP-IPB Bogor, C.V. Wijaksana, Jakarta.

.,1991. Dasar - Dasar Kimia Tanah. Diterjemahkan Oleh Goenadi. Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.

.,1998. Kimia Tanah. Diterjemahkan Oleh Didiek, H. D. Dan Disunting Oleh Bostang Rajagukguk. Cetakan-5. Gadjah Mada Universiyt Press, Yogyakarta.

Warman., 1994. Penuntun Praktikum Laboratorium Differential Thermal Analysis. Pendidikan Teknilogi Kimia Industri (PTKI), Medan.


(56)

Lampiran 1 : Hasil Analisa Laboratorium

Horizon Kedalaman Partikel Tanah (%) pH KTK Al-dd K-dd

Pasir Debu Liat H2O NaF (me/100g) (me/100g) (me/100g) A 0-16/18 82,4 11,4 6,2 4,83 10,74 44,60 1,34 0,36 Bw1 16/18-28/40 82,4 9,4 8,2 4,94 9,12 49,58 0,10 0,33 Bw2 28/40-40/68 70,4 21,4 8,2 4,84 9,72 37,81 0,00 0,18


(57)

Lampiran 2 : Informasi Curah Hujan Bulanan Pos Pengamatan /Stasiun Tiga Panah Tahun 1997-2006

Tahun Bulan

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des 1997 91 135 322 81 26 47 110 186 62 186 126 110 1998 55 61 28 46 25 41 54 77 97 41 34 - 1999 67 32 43 21 38 19 18 56 85 37 18 45 2000 115 57 67 52 12 16 23 28 93 66 33 40 2001 28 35 13 74 28 - - - - 600 185 382

2002 42 18 46 - 54 7 26 71 - - - -

2003 250 152 484 242 676 205 107 173 220 - - - 2004 65 2106 1402 1240 521 275 125 205 314 - 1300 390 2005 70 110 350 142 39 135 57 110 276 - 127 107 2006 57 210 260 205 46 26 360 236 306 110 - 165 Sumber : Badan Meteorologi Dan Geofisika, Sampali Medan.


(58)

(59)

(60)

(61)

(62)

Lampiran 7 : PROSEDUR PEMAKAIAN DTA

- Unit control dan amplifier dihidupkan selama 30 menit sebelum analisa dimulai.

- Timbang bahan pembanding (serbuk alumina) sebanyak 30 mg dengan menggunakan mangkok platina sebagai tempat sampel

- Timbang bahan yang akan diuji (sampel) sebanyak 30 mg dengan menggunakan mangkok platina sebagai tempat sampel

- Bahan pembanding dan sampel diletakkan kedalam gagang sampel (bahan pembanding ditempatkan di sebelah kiri dan sampel di sebelah kanan)

- DETEKTOR, set pada DTG dan Thermocouple set PR

- PROGRAM MODE, set UP dan kecepatan pemanasan set 5 s/d 20 0C (biasanya set 10 0C).

- TEMPERATUR, K, 0C, mV, set pada 0C - LIMIT TEMPERATUR, set dibawah 1000 0C

- Saklar amplifier DTA, switch ON dan RANGE ± 250 µV, set sesuai dengan yang diinginkan (± 100µV)/. Selektor set TG.

- RECORDER:

• Pen 1 (temperatur), POWER switch ON dan RANGE set “S”

• ZERO, set pen 1 pada titik nol

• RANGE, seleksi sesuai dengan temperatur percobaan, thermocouple PR (biasanya set 15 mV)

• Pen 2, (DTA), POWER switch ON dan RANGE set “S”, dan set pen 2 pada titik awal DTA dan RANGE DTA set 20 mV (lihat perubahan


(63)

pen 2). Jika pen DTA bergerak set kembali ke titik awal dengan memutar tobol ZERO pada amplifier DTA

• Unit control, ST-BY switch ON

• START TEMPERATUR, set 2∞3 0C lebih kecil dari temperatur yang terbaca pada digital panel meter

• RECORDER, CHART SPEED, dipilih dari 1,25 s/d 40 mm/menit dan CHART SW, switch ON

• Unit control, START SW, switch ON


(64)

Lampiran 8 : Profil Tanah Daerah Penelitian

Bw

1

Bw

2


(1)

(2)

(3)

(4)

Lampiran 7 : PROSEDUR PEMAKAIAN DTA

- Unit control dan amplifier dihidupkan selama 30 menit sebelum analisa dimulai.

- Timbang bahan pembanding (serbuk alumina) sebanyak 30 mg dengan menggunakan mangkok platina sebagai tempat sampel

- Timbang bahan yang akan diuji (sampel) sebanyak 30 mg dengan menggunakan mangkok platina sebagai tempat sampel

- Bahan pembanding dan sampel diletakkan kedalam gagang sampel (bahan pembanding ditempatkan di sebelah kiri dan sampel di sebelah kanan)

- DETEKTOR, set pada DTG dan Thermocouple set PR

- PROGRAM MODE, set UP dan kecepatan pemanasan set 5 s/d 20 0C (biasanya set 10 0C).

- TEMPERATUR, K, 0C, mV, set pada 0C - LIMIT TEMPERATUR, set dibawah 1000 0C

- Saklar amplifier DTA, switch ON dan RANGE ± 250 µV, set sesuai dengan yang diinginkan (± 100µV)/. Selektor set TG.

- RECORDER:

• Pen 1 (temperatur), POWER switch ON dan RANGE set “S”

• ZERO, set pen 1 pada titik nol

• RANGE, seleksi sesuai dengan temperatur percobaan, thermocouple PR (biasanya set 15 mV)

• Pen 2, (DTA), POWER switch ON dan RANGE set “S”, dan set pen 2 pada titik awal DTA dan RANGE DTA set 20 mV (lihat perubahan


(5)

pen 2). Jika pen DTA bergerak set kembali ke titik awal dengan memutar tobol ZERO pada amplifier DTA

• Unit control, ST-BY switch ON

• START TEMPERATUR, set 2∞3 0C lebih kecil dari temperatur yang terbaca pada digital panel meter

• RECORDER, CHART SPEED, dipilih dari 1,25 s/d 40 mm/menit dan CHART SW, switch ON

• Unit control, START SW, switch ON


(6)

Lampiran 8 : Profil Tanah Daerah Penelitian

Bw

1

Bw

2