Quantification of Organic Impurity Compounds in Biethanol Product

KUANTIFIKASI SENYAWA PENGOTOR ORGANIK PADA
PRODUK BIOETANOL

EKO PRABOWO

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

ABSTRAK
EKO PRABOWO. Kuantifikasi Senyawa Pengotor Organik pada Produk
Bioetanol. Dibimbing oleh ETI ROHAETI dan YOSI ARISTIAWAN.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam penghematan konsumsi
minyak bumi ialah penggunaan bahan bakar nabati (BBN). Gasohol adalah salah
satu jenis BBN yang merupakan campuran bensin dengan dengan bioetanol. Mutu
gasohol dikendalikan dengan suatu bahan standar yang saat ini masih dalam tahap
pengembangan. Penentuan kemurnian bioetanol merupakan tahapan dalam
pengembangan bahan standar. Salah satu bagian dari penentuan kemurnian secara
tidak langsung ialah penentuan pengotor organik. Penelitian ini bertujuan

mendapatkan data pengotor organik pada 2 buah sampel bioetanol menggunakan
kromatografi gas. Metode analisis diverifikasi dengan parameter linearitas,
ketelitian, ketepatan, dan limit deteksi. Hasil analisis pengotor organik
menunjukkan bahwa dalam kedua sampel bioetanol terdapat 8 senyawa pengotor
organik berupa metanol, aseton, 2-propanol, 1-propanol, etil asetat, isobutanol, 1butanol, dan isoamil alkohol. Sampel 1 memiliki kemurnian sebesar 99.86% dan
konsentrasi metanol sebesar 294.40 ppm, sedangkan sampel 2 memiliki
kemurnian sebesar 99.85% dan konsentrasi metanol sebesar 178.26 ppm. Hasil
tersebut menunjukkan kedua sampel memenuhi syarat SNI 7390:2008 sebagai
bahan dasar pembuatan bahan standar.
Kata kunci: verifikasi metode, kemurnian bioetanol, pengotor organik,
kromatografi gas.

ABSTRACT
EKO PRABOWO. Quantification of Organic Impurity Compounds in Biethanol
Product. Supervised by ETI ROHAETI and YOSI ARISTIAWAN.
One effort in decreasing petroleum consumption is using gasohol. Gasohol
is one of biofuel which is a mixture of gasoline and bioethanol. Gasohol quality is
controlled by reference material which is now in developing process. Purity
assessment of bioethanol is a step in developing the reference material.
Quantification of organic impurity is part of indirect purity assessment. The aim

of this study was to obtain organic impurity data in bioethanol using gas
chromatography. The analysis method was verified based on parameters of
linearity, precision, accuracy, and detection limit. The result shows that organic
impurities in 2 bioethanol samples contain were 8 organic impurities, namely
methanol, acetone, 2-propanol, 1-propanol, ethyl acetate, isobutanol, 1-butanol,
and isoamyl alcohol. The purity of sample 1 was 99.86% and containing
294.40ppm methanol, and that of sample 2 was 99.85% with methanol contain of
178.26 ppm. The results showed that the quality of both samples met SNI
7390:2008 as base material to make reference material.
Keywords: purity of bioethanol, organic impurity, gas chromatography,
verification method.

KUANTIFIKASI SENYAWA PENGOTOR ORGANIK PADA
PRODUK BIOETANOL

EKO PRABOWO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada

Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Judul skripsi : Kuantifikasi Pengotor Senyawa Organik pada Produk Bioetanol
Nama
: Eko Prabowo
NIM
: G44080018

Disetujui
Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. Eti Rohaeti, M.S

NIP 19600807 198703 2 001

Yosi Aristiawan, S.Si
NIP 19850915 200912 1 002

Diketahui
Ketua Departemen Kimia

Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, M.S
NIP 19501227 197603 2 002

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan berkat dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul
“Kuantifikasi Senyawa Pengotor Organik pada Produk Bioetanol”. Penelitian ini
dilakukan dari bulan April sampai Juli 2012 di Laboratorium Kimia Analitik dan
Standar, Pusat Penelitian Kimia, LIPI, Kawasan Puspiptek Serpong.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Eti Rohaeti, MS selaku

pembimbing pertama dan Yosi Aristiawan SSi selaku pembimbing kedua yang
telah memberikan arahan dan dorongan semangat kepada penulis selama
penelitian. Ucapan terima kasih juga diberikan kepada Ibu Eka Sajekti atas
bantuan dan masukan selama penelitian berjalan.
Terima kasih tak terhingga kepada ayah, ibu, dan seluruh keluarga atas doa,
dukungan, dan kasih sayang yang telah diberikan. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Viola Monik, Rizki Septiani, Mutiara Wide, Rofiiqoh Inayati,
dan M Wahyu yang telah memberikan bantuan serta dukungan.
Penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan.
Bogor, Desember 2012

Eko Prabowo

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Rejang Lebong Bengkulu pada tanggal 7 Februari
1990 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari ayah Jalinus dan ibu Suprapti.
Tahun 2008, penulis lulus dari SMA Negeri 1 Curup dan pada tahun yang sama
lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI) pada Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, IPB.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum
Kimia TPB tahun ajaran 2009/2010 dan asisten praktikum Kimia Analitik layanan
tahun ajaran 2011/2012. Penulis pernah bergabung dalam Organisasi Ikatan
Mahasiswa Kimia (Imasika) sebagai staf Pengembangan Sumber Daya
Mahasiswa tahun 2009/2010. Penulis juga sempat aktif mengajar mata pelajaran
Kimia Dasar di bimbingan belajar MS Collage (2010). Pada bulan Juli-Agustus
2011, penulis mengikuti kegiatan Praktik Lapangan di Balai Penelitian Tanah,
Bogor, Jawa Barat dengan judul Analisis Unsur Hara Makro Primer sebagai
Rekomendasi Pemupukan Tanaman Karet.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vii
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAHAN DAN METODE ....................................................................................... 1
Alat dan Bahan ................................................................................................... 1
Metode ................................................................................................................ 1

HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 4
Identifikasi Senyawa berdasarkan kromatogram GC ......................................... 4
Optimasi Pengukuran ......................................................................................... 4
Verifikasi Metode ............................................................................................... 4
Penentuan Pengotor Organik pada Bioetanol ..................................................... 6
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................... 9
Simpulan............................................................................................................. 9
Saran ................................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 9
LAMPIRAN ..........................................................................................................11

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Hasil pengujian ketelitian ............................................................................... 5

2

Pengujian limit deteksi metode ........................................................................ 5


3

Identifikasi puncak pengotor bioetanol ........................................................... 7

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Kromatogram standar NIST etanol dalam bahan bakar ................................... 3

2

Kurva regresi linear (a) split 1:200 dan (b) split 1:100 ................................... 4

3

Kromatogram sampel bioetanol (a) sampel 1 dan (b) sampel 2 ...................... 7

4


Struktur polidimetilsiloksana .......................................................................... 8

5

Perbandingan konsentrasi pengotor sampel bioetanol .................................... 9

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Diagram alir penelitian .........................................................................................12

2

Nilai SBR masing-masing split ratio .................................................................13

3

Pengujian linearitas .......................................................................................13


4

Pengujian ketepatan ...................................................................................... 13

5

Jumlah puncak pengotor berdasarkan volume injeksi .................................. 14

6

Waktu retensi standar senyawa pengotor organik bioetanol ..........................15

7

Konsentrasi pengotor dan kemurnian sampel ............................................. 15

PENDAHULUAN
Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia
terus mengalami peningkatan. Berdasarkan

data dari Badan Pusat Statistik (2010), pada
tahun 1987 jumlah kendaraan bermotor
Indonesia hanya sebesar 7 981 480. Jumlah
tersebut terus meningkat hampir 10 kali lipat
pada tahun 2009, yaitu sebesar 70 714 569.
Peningkatan jumlah kendaraan bermotor tidak
diikuti dengan peningkatan produksi minyak
mentah tanah air. Produksi minyak mentah
Indonesia pada tahun 1996 sebesar 485
573.80 barel, sedangkan pada tahun 2010
turun menjadi 300 923.30 barel (BPS 2011).
Jumlah cadangan minyak bumi Indonesia
berdasarkan data Januari 2011 ialah sebesar
7.41 miliar barel, sehingga dengan tingkat
produksi saat ini maka cadangan minyak bumi
Indonesia akan habis dalam jangka waktu 12
tahun (BPMIGAS 2011). Oleh sebab itu,
diperlukan suatu langkah untuk menghemat
konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dalam
negeri.
Penggunaan bahan bakar nabati (BBN)
atau dikenal juga dengan istilah biofuel
merupakan salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk mengatasi permasalahan
tersebut. BBN merupakan campuran antara
BBM dengan bahan bakar alternatif yang
dapat
diperbarui.
Meskipun
tidak
menggantikan
secara
keseluruhan,
penggunaan bahan tersebut dapat menghemat
penggunaan BBM yang berasal dari minyak
bumi. Sumber BBN dapat berupa tanaman
pertanian terutama kelapa sawit dan jarak
pagar yang menghasilkan biodisel serta ketela
pohon dan tebu yang menghasilkan bioetanol.
Biodisel digunakan sebagai bahan komposisi
solar yang dikenal sebagai biosolar,
sedangkan bioetanol digunakan sebagai
komposisi bensin yang dikenal sebagai
gasohol (Balat & Balat 2009). Produksi
bioetanol saat ini sudah berkembang ke arah
penggunaan bahan yang mengandung
lignoselulosa berupa hasil hutan dan limbah
pengolahan hasil hutan (EREC 2007).
Saat ini penggunaan biosolar secara luas di
Indonesia telah dilakukan, namun penggunaan
gasohol masih sangat terbatas. Menurut
Prihanandana dan Hendroko (2007) program
pemanfaatan bioetanol untuk bahan bakar
kendaraan bermotor di Indonesia sudah dikaji
sejak tahun 1980 hingga pada tingkat
pengujian kendaraan dengan bahan bakar
gasohol. Namun, rendahnya harga minyak
mentah dan naiknya harga bahan baku
bioetanol pada saat itu menyebabkan program

tersebut kemudian dihentikan. Saat ini harga
minyak mentah dunia terus mengalami
peningkatan dan cadangan minyak Indonesia
jumlahnya semakin terbatas. Oleh sebab itu,
program tersebut dilanjutkan kembali.
Menurut Ballat dan Ballat (2009),
komposisi yang paling umum ialah 10%
bioetanol dan 90% bensin yang dikenal
dengan istilah E10. Komposisi tersebut tidak
memerlukan
modifikasi
pada
mesin.
Modifikasi
pada
mesin
kendaraan
memungkinkan penggunaan bioetanol dengan
proporsi yang lebih banyak. Yuksel dan
Yuksel
(2004)
melakukan
modifikasi
sederhana pada karburator kendaraan dan
menghasilkan mesin yang dapat menggunakan
komposisi 60% bioetanol dan 40% bensin
sebagai bahan bakar. Penggunaan bioetanol
sebagai pengganti atau substitusi bensin telah
dilakukan di berbagai negara. Amerika Serikat
telah memulai program penggunaan bietanol
sebagai bahan bakar sejak tahun 1980 dan saat
ini Amerika Serikat telah mengembangkan
teknologi kendaraan dengan sistem dual fuel
atau Flexible Fuel Vehicle. Tekonologi ini
memungkinkan penggunaan E85 yang
merupakan komposisi antara 85% bioetanol
dan 15% bensin (Ulmer et al. 2004).
Konsentrasi etanol dalam BBN perlu
dianalisis, sebab berpengaruh
terhadap
fungsinya
sebagai
bahan
bakar.
Ketidaksesuaian konsentrasi etanol dengan
jenis mesin dapat mengakibatkan kerusakan
pada mesin kendaraan. Analisis secara
kuantitatif etanol BBN membutuhkan bahan
standar, namun harga bahan standar tersebut
sangat mahal. Oleh sebab itu, perlu dilakukan
pengembangan bahan standar tersebut di
dalam negeri. Ketentuan mengenai standar
bioetanol terdenaturasi (bioetanol yang sudah
diracuni) sebagai gasohol yang berlaku di
Indonesia tercantum dalam SNI 7390:2008
yang menyaratkan biotanol yang digunakan
sebagai gasohol harus memiliki konsentrasi
99.5% yang lazim dikenal sebagai fuel grade
ethanol (Prihandana & Hendroko 2007).
Kemurnian bioetanol merupakan hal yang
sangat penting untuk diperhatikan karena akan
berpengaruh
terhadap
kinerja
mesin
kendaraan. Oleh sebab itu, dibutuhkan data
analisis kemurnian bioetanol yang valid
sebagai acuan kualitas bioetanol. Penentuan
pengotor organik merupakan salah satu tahap
dalam
penentuan
kemurnian
dengan
pendekatan tidak langsung. Penelitian
bertujuan mendapatkan data pengotor organik
yang valid dari dua sampel bioetanol
menggunakan kromatografi gas (GC).

Validitas data dijamin dengan verifikasi
metode menggunakan bahan standar yang
diakui secara internasional. Hasil analisis
pengotor organik tersebut selanjutnya dapat
digunakan untuk memutuskan kelayakan
bioetanol tersebut sebagai bahan baku standar
etanol dalam bahan bakar.

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini
berupa seperangkat alat kromatografi gas GC
Shimadzu 17-A, dengan spesifikasi kolom
Equity™ -1 100m×0.25mm, detektor FID, gas
helium, gas nitrogen, gas argon, compressor
udara, dan syringe. Selain itu juga digunakan
alat lain berupa neraca analitik dan alat-alat
gelas.
Bahan yang digunakan berupa standar
National Institute of Standard and Technology
(NIST) etanol 10% dalam bahan bakar yang
digunakan dalam proses optimasi pengukuran
dan verifikasi metode. Selain itu, digunakan
juga standar metanol, etanol, aseton, isopropil
alkohol, 1-propanol, 2-butanol, etil asetat,
isobutanol, 1-butanol, dan isoamil alkohol
yang digunakan untuk penentuan konsentrasi
pengotor organik sampel bioetanol. Bahan
lain yang digunakan berupa heksana dan dua
buah sampel bioetanol yang berasal dari Unit
Produksi bioetanol Pusat Penelitian KimiaLIPI Serpong.
Metode
Metode yang dilakukan pada penelitian
mengikuti diagram alir pada Lampiran 1,
meliputi optimasi pengukuran, verifikasi
metode analisis, serta penentuan pengotor
organik pada sampel bioetanol.
Optimasi pengukuran (Nuryatini et al.
2011)
Optimasi pengukuran berupa optimasi split
ratio dilakukan dengan cara penginjeksian
sebanyak 0.1 µl standar NIST etanol dalam
bahan bakar ke dalam sistem GC dengan
kondisi sebagai berikut, (1) suhu injektor
300°C, (2) suhu detektor 300°C, (3) oven
40°C selama 10 menit kemudian suhu
dinaikkan 30°C/menit sampai 250°C dan
ditahan selama 19 menit, (4) gas pembawa
helium dengan laju alir 1 ml/menit. Split ratio
divariasikan dengan nilai 1:50, 1:75, 1:100,
1:125, 1:150, 1:175, 1:200. Injeksi dilakukan
masing-masing sebanyak lima kali ulangan
untuk tiap split ratio dan dihitung nilai
simpangan baku relatif (SBR) luas puncak

etanol dari setiap split ratio. Kemudian dipilih
split ratio dengan nilai SBR paling kecil.
Verifikasi metode
Parameter-parameter yang diukur dalam
verifikasi adalah linearitas, ketelitian,
ketepatan, dan limit deteksi. Sebelum
dilakukan verifikasi terlebih dahulu dilakukan
preparasi larutan standar NIST.
Preparasi larutan standar NIST.
Larutan standar NIST yang digunakan
memiliki konsentrasi etanol 10%. Pembuatan
standar dengan konsentrasi yang lebih rendah
dilakukan dengan cara mengencerkan standar
NIST dengan menggunakan pelarut heksana.
Linearitas. Linearitas diukur dengan cara
injeksi 0.1 µl standar NIST etanol dalam
bahan bakar dengan konsentrasi 0.5%, 1%,
2%, 4%, 6%, 8%, dan 10% ke dalam sistem
GC dan dilakukan sebanyak dua kali
pengulangan.
Ketelitian. Ketelitian diukur dengan cara
injeksi sebanyak 0.1 µl larutan standar NIST
etanol dalam bahan bakar dengan konsentrasi
4% sebanyak tujuh kali ulangan.
Ketepatan. Ketepatan diukur dengan cara
menginjeksikan 0.1 µl standar NIST etanol
dalam bahan bakar 4% sebanyak tiga kali
ulangan. Konsentrasi etanol kemudian
dihitung dengan menggunakan kurva standar.
Ketepatan pengukuran dihitung dengan cara
membandingkan
konsentrasi
etanol
berdasarkan pengukuran dengan konsentrasi
etanol sebenarnya berdasarkan penimbangan.
Limit deteksi. Limit deteksi ditentukan
dengan cara menginjeksikan 0.1 µl standar
NIST etanol dalam bahan bakar 0.1% ke
dalam sistem GC dan dilakukan pengamatan
terhadap puncak etanol. Jika masih terdapat
puncak etanol diinjeksikan lagi larutan standar
dengan konsentrasi yang lebih kecil.
Penginjeksian dilakukan sampai puncak
etanol tidak terdeteksi lagi.
Penentuan pengotor organik pada sampel
bioetanol (Wong et al. 2011)
Penentuan
pengotor
organik
pada
bioetanol diawali dengan preparasi larutan
standar campuran pengotor. Selanjutnya,
dilakukan identifikasi semua kemungkinan
pengotor organik pada sampel. Setelah semua
pengotor
teridentifikasi,
dilakukan

pengukuran konsentrasi tiap pengotor dan
penghitungan kemurnian sampel.

yang dihasilkan dari standar ini dapat dilihat
pada Gambar 1.

Preparasi standar campuran. Standar
campuran dibuat dengan cara mengambil
standar metanol, etanol, aseton, isopropil
alkohol, 1-propanol, 2-butanol, etil asetat,
isobutanol, 1-butanol, dan isoamil alkohol
masing-masing sebanyak 1% berdasarkan
bobot. Standar-standar tersebut kemudian
dicampurkan ke dalam vial dan dilarutkan
menggunakan
etanol. Standar dengan
konsentrasi lebih kecil dibuat dengan cara
mengencerkan standar campuran stok tersebut
menggunakan pelarut etanol.
Identifikasi senyawa pengotor organik
pada produk bioetanol. Sebanyak 0.3 µl
bioetanol diinjeksikan ke dalam sistem GC,
kemudian diamati puncak-puncak pada
kromatogram. Penginjeksian dilakukan lagi
dengan menambahkan volume injeksi sampai
tidak ada lagi puncak pengotor yang muncul
pada kromatogram. Selanjutnya puncakpuncak tersebut diidentifikasi menggunakan
standar pengotor bietanol. Volume injeksi
yang menghasilkan puncak terbanyak dan
volume paling kecil selanjutnya digunakan
untuk pengukuran konsentrasi pengotor
organik pada sampel bioetanol.
Pengukuran
Konsentrasi
Senyawa
Pengotor
Organik
dan
Penentuan
Kemurnian Sampel. Pengukuran konsentrasi
pengotor
organik
dilakukan
dengan
menggunakan standar eksternal. Standar
campuran dari semua pengotor organik
disiapkan dengan konsentrasi 15, 50, 100,
150, 300, dan 1000 ppm. Standar pengotor
organik dan sampel bioetanol kemudian
diinjeksikan ke dalam sistem GC. Konsentrasi
pengotor dalam sampel bioetanol kemudian
diukur berdasarkan kurva standar eksternal.
Pengukuran konsentrasi pengotor organik
pada sampel bioetanol dilakukan sebanyak
tiga kali ulangan. Konsentrasi total dari semua
pengotor digunakan untuk menghitung
kemurnian sampel.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Senyawa berdasarkan
kromatogram GC
Bahan standar etanol dalam bahan bakar
yang digunakan berasal dari National Institute
of Standards and Technology (NIST) yang
terdiri atas tiga senyawa penyusun, yaitu
etanol, isooktana, dan heptana. Kromatogram

Gambar 1 Kromatogram standar NIST
etanol dalam bahan bakar
Waktu retensi puncak suatu senyawa
dipengaruhi oleh titik didih senyawa dan
kepolaran dari senyawa tersebut. Kolom yang
digunakan pada instrumen GC adalah
polidimetilsiloksana yang bersifat nonpolar,
sehingga senyawa yang bersifat nonpolar akan
tertahan lebih lama pada kolom dibandingkan
senyawa polar. Etanol memiliki waktu retensi
sebesar 13.5 menit. Waktu retensi yang kecil
tersebut disebabkan etanol memiliki titik didih
yang rendah, yaitu sebesar 78˚C. Selain itu
etanol juga bersifat polar, sehingga tidak
tertahan terlalu lama pada kolom. Kedua
komponen lainnya memiliki titik didih yang
lebih besar dibandingkan etanol, yaitu
keduanya memiliki titik didih sebesar 99˚C .
Kedua komponen tersebut juga merupakan
hidrokarbon yang bersifat nonpolar. Oleh
sebab itu, kedua komponen tersebut memiliki
waktu retensi yang lebih besar dari etanol.
Titik didih yang sama tersebut menyebabkan
puncak isooktana dan puncak heptana tidak
terpisah
dengan
baik.
Berdasarkan
penginjeksian standar didapatkan waktu
retensi isooktana ialah sebesar 26.9 menit.
Berdasarkan hasil tersebut didapatkan untuk
puncak kedua merupakan puncak isooktana,
sedangkan untuk puncak ketiga merupakan
puncak heptana. Heptana memiliki struktur
yang lebih lurus dibandingkan isooktana,
sehingga
sifatnya
lebih
nonpolar
dibandingkan isooktana. Sifat heptana yang
cenderung
lebih
nonpolar
tersebut
menyebabkan waktu retensi heptana lebih
besar dari isooktana.

4

luas puncak
(×102)

Verifikasi Metode
Verifikasi metode digunakan untuk
menjamin suatu metode menghasilkan data
yang memiliki arti dan dapat dipercaya
(Taverniers et al. 2004). Pada penelitian ini
dilakukan verifikasi untuk menjamin bahwa
hasil analisis pengotor organik yang
didapatkan dengan kolom GC baru bersifat
valid. Hasil analisis yang didapatkan harus
dapat dipercaya karena data pengotor organik
ini akan digunakan untuk menentukan
kemurnian dari sampel bioetanol yang
selanjutnya akan digunakan sebagai acuan
kualitas dari bioetanol. Verifikasi ini
dilakukan dengan menggunakan standar NIST
etanol dalam bahan bakar. Hal ini dilakukan
karena pada penelitian selanjutnya akan
dikembangkan bahan standar etanol dalam
bahan bakar. Verifikasi merupakan pengujian
kembali keabsahan suatu metode yang pernah
divalidasi sebelumnya. Oleh sebab itu,
parameter yang diujikan hanya meliputi
pengujian linearitas, ketelitian, ketepatan, dan
limit deteksi.

Linearitas
Linearitas
merupakan
kemampuan
prosedur analisis untuk menghasilkan suatu
hasil pengujian yang sebanding dengan
konsentrasi analat yang terdapat di dalam
sampel (Chan et al. 2004). Berdasarkan data
optimasi pengukuran didapatkan bahwa split
ratio 1:200 memiliki nilai keterulangan yang
paling baik. Menurut Eiceman et al. (2004)
split ratio yang besar cocok digunakan untuk
analat dengan konsentrasi yang besar dan
kurang baik untuk konsentrasi kecil. Semakin
besar nilai split ratio semakin banyak pula
sampel yang dibuang. Oleh sebab itu, jika
nilai split ratio yang besar digunakan untuk
menganalisis sampel dengan konsentrasi
rendah, maka puncak tidak akan dapat
dideteksi.
Pengujian linearitas selain menggunakan
split ratio 1:200 dilakukan juga dengan
menggunakan split ratio 1:100. Split ratio
1:100 dipilih karena pada verifikasi
sebelumnya yang dilakukan oleh Nuryatini et
al. (2011), split ratio ini menghasilkan
pemisahan paling baik. Meskipun berdasarkan
hasil optimasi pengukuran, split ratio yang
memiliki keterulangan yang paling baik
setelah split ratio 1:200 ialah split ratio
1:150, namun split ratio tersebut dinilai masih
terlalu besar dan dikhawatirkan menghasilkan
respon yang kurang baik. Kurva regresi linear
hasil pengujian linearitas untuk kedua nilai
split ratio ditampilkan pada Gambar 2,
sedangkan data pengujian linearitas masingmasing split ratio dicantumkan pada
Lampiran 3.
4
2

y = 3931,x - 2210,
R² = 0.988

0
0
-2

5

10

konsentrasi (%)
(a)

10
luas puncak
(×102)

Optimasi Pengukuran
Optimasi pengukuran pada percobaan
dilakukan dengan cara mengubah split ratio.
Split ratio merupakan fasilitas pada GC yang
memungkinkan pengguna untuk mengatur
banyaknya sampel yang masuk ke dalam
kolom. Angka pada split ratio merupakan
perbandingan antara banyaknya sampel yang
masuk ke dalam kolom dengan sampel yang
dibuang. Semakin besar nilai split ratio, maka
semakin sedikit sampel yang masuk ke dalam
kolom (Eiceman et al. 2002). Optimasi
pengukuran bertujuan untuk mendapatkan
kondisi instrumen yang memberikan puncak
etanol yang baik. Puncak yang baik ini
ditunjukkan dengan keterpisahannya dengan
puncak lain. Selain itu, puncak yang baik juga
dapat dilihat dari keterulangan nilai luas
puncaknya.
Berdasarkan kromatogram pada Gambar 1,
terlihat bahwa puncak etanol sudah terpisah
dengan baik dari kedua puncak lainnya. Oleh
sebab itu, optimasi dilakukan untuk
mendapatkan puncak etanol dengan luas
puncak yang memiliki keterulangan paling
baik (nilai SBR paling kecil). Data nilai SBR
dari 5 kali pengulangan tiap variasi split ratio
disajikan pada Lampiran 2. Hasil dari
optimasi memperlihatkan bahwa split ratio
1:200 memiliki nilai SBR yang paling kecil,
sehingga untuk proses verifikasi metode
digunakan split ratio 1:200.

5

y = 8646,x - 4890,
R² = 0.998

0

-5

0

5
konsentrasi (%)
(b)

10

Gambar 2 Kurva regresi linear (a) split
1:200 dan (b) split 1:100

5

Hasil tersebut menunjukkan bahwa split
ratio 1:100 memiliki respon yang lebih linear
dari split ratio 1:200. Hal tersebut dapat
dilihat dari nilai R2 split ratio 1:100 sebesar
0.998, sedangkan untuk split ratio 1:200
memiliki nilai R2 hanya sebesar 0.988. Batas
penerimaan linearitas berdasarkan AOAC
(1998) ialah nilai R2 minimal 0.997. Oleh
sebab itu, linearitas dari split ratio 1:100
masih diterima, sedangkan linearitas split
ratio 1:200 tidak diterima. Berdasarkan hasil
tersebut, proses verifikasi selanjutnya hanya
dilakukan dengan split ratio 1:100.
Ketelitian
Ketelitian merupakan ukuran kedekatan
setiap hasil analisis yang dilakukan berulang
kali untuk sampel yang homogen pada kondisi
analisis yang sama. Ketelitian diukur dari nilai
simpangan baku relatif (SBR) dari
pengukuran berulang (Chan et al. 2004). Hasil
pengujian ketelitian dapat dilihat pada Tabel
1.
Tabel 1 Hasil pengujian ketelitian
Ulangan
luas puncak
30283
1
30203
2
29717
3
29672
4
30621
5
29982
6
30520
7
Rerata
30142.5714
Simpangan baku
370.3714
SBR (%)
1.2287
Dari hasil pengujian sebanyak 7 kali
pengulangan didapatkan nilai RSD sebesar
1.2287%. Berdasarkan AOAC (1998), batas
penerimaan ketelitian untuk sampel dengan
konsentrasi 1 – 10% ialah maksimum sebesar
1.5%, sehingga pengujian ketelitian yang
dilakukan masih diterima. Hasil pengujian
ketelitian tersebut menunjukkan bahwa
metode analisis dapat memberikan hasil
analisis dengan keterulangan yang baik.
Ketepatan
Ketepatan merupakan ukuran kedekatan
nilai yang diperoleh dari hasil analisis dengan
nilai sebenarnya (Chan et al. 2004). Hasil
pengujian ketepatan disajikan pada Lampiran
4. Berdasarkan hasil tersebut, pengujian
terhadap ketepatan didapatkan sebesar
99.1442%. Batas penerimaan nilai ketepatan
untuk sampel dengan konsentrasi 1% – 10%

sebesar 95% – 102% (AOAC 1998), sehingga
hasil pengujian ketepatan tersebut masih
diterima. Nilai ketepatan yang besar tersebut
menunjukkan bahwa nilai yang didapatkan
dari pengukuran dengan nilai yang sebenarnya
sangat dekat.
Limit deteksi
Limit deteksi ialah konsentrasi analat yang
terendah yang masih dapat dideteksi oleh
sistem (Chan et al. 2004). Hasil pengujian
limit deteksi disajikan pada Tabel 2. Hasil
pengujian terhadap limit deteksi menunjukkan
bahwa limit deteksi sistem ialah sebesar
0.02%. AOAC (1998) menyaratkan nilai SBR
yang baik untuk sampel dengan konsentrasi di
bawah 0.1% ialah kurang dari 10%.
Berdasarkan hasil tersebut, pengujian terhadap
konsentrasi tersebut juga masih memiliki
keterulangan yang baik.Keterulangan yang
baik tersebut menunjukkan bahwa metode
analisis masih dapat mendeteksi puncak
dengan stabil meskipun dengan konsentrasi
kecil.
Tabel 2 Pengujian limit deteksi
Luas
SBR
Konsentrasi Ulangan
puncak
0.10%
1
660
1.38%
2
673
0.05%
1
123
1.75%
2
120
0.04%
1
144
1.93%
2
148
0.03%
1
99
8.32%
2
88
0.02%
1
20
9.86%
2
23
0.01%
1
2
Hasil pengujian linearitas, ketepatan, dan
ketelitian yang dilakukan pada penelitian ini
lebih baik dari verifikasi yang dilakukan
sebelumnya oleh Nuryatini et al. (2011). Pada
verifikasi sebelumnya menghasilkan nilai
ketepatan 98.94% % dan ketelitian 3.7605%.
Verifikasi pada tahun sebelumnya yang
menggunakan kolom innowax dengan panjang
kolom 30 meter. Hasil ini menunjukkan
bahwa penggunaan kolom baru dengan fase
diam polidimetilsiloksana dan panjang 100
meter memberikan hasil analisis yang lebih
baik. Hasil verifikasi ini dapat digunakan
untuk menjamin validitas hasil analisis
pengotor organik pada sampel produk
bioetanol.

6

Penentuan Pengotor Organik pada Produk
Bioetanol
Bioetanol merupakan etanol (C2H5OH)
yang dihasilkan dari fermentasi biomassa
yang dapat diperbarui, contohnya hasil
pertanian dan hasil hutan (Yunoki & Saito
2009). Bioetanol yang diproduksi dari hasil
pertanian yang mengandung pati dan gula
disebut sebagai bioetanol generasi pertama,
sedangkan bioetanol yang dihasilkan dari
bahan yang mengandung lignoselulosa disebut
bioetanol generasi kedua (EREC 2007). Saat
ini produksi bioetanol dari bahan pangan
perlahan-lahan mulai ditinggalkan karena
mencuatnya isu mengenai ketahanan pangan.
Sebagai gantinya produksi bioetanol saat ini
terus diupayakan dari bahan nonpangan, yaitu
dari
biomassa
yang
mengandung
lignoselulosa. Selain potensinya yang sangat
besar produksi bioetanol dari biomasa ini juga
dapat mengatasi permasalahan pencemaran
akibat limbah pabrik yang masih mengandung
lignoselulosa (Balat & Balat 2009 ). Bioetanol
yang dianalisis pada penelitian ini dihasilkan
dari fermentasi tandan kosong kelapa sawit
(TKKS). TKKS merupakan limbah dari
pabrik pengolahan kelapa sawit yang
dihasilkan dalam jumlah besar. Bahan ini
masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
pembuatan bioetanol karena mengandung
lignoselulosa.
Salah satu syarat bioetanol agar dapat
digunakan sebagai gasohol berdasarkan SNI
7390:2008 ialah harus memiliki kemurnian
yang sangat tinggi, yaitu sebesar 99.5%.
Kemurnian yang tinggi tersebut agar sifat dari
campuran bensin dan etanol yang dihasilkan
sesuai dengan harapan. Jika konsentrasi
pengotor terlalu tinggi, dikhawatirkan akan
mengganggu proses pembakaran bahkan dapat
merusak mesin kendaraan bermotor (Yuksel
& Yuksel 2004). Selain itu, SNI 7390:2008
juga menyaratkan konsentrasi metanol yang
terkandung dalam bietanol tidak boleh
melebihi 300 ppm. Konsentrasi metanol
dalam bioetanol yang akan digunakan sebagai
bahan bakar tidak boleh terlalu tinggi karena
menurut Prihandana dan Hendroko (2007),
metanol bersifat sangat korosif bahkan
terhadap alumunium yang biasanya digunakan
sebagai pelapis antikarat, sehingga jika
konsentrasi metanol terlalu tinggi akan
menyebabkan korosi sehingga akan merusak
mesin kendaraan bermotor. Sifat korosif ini
disebabkan metanol bersifat asam dengan
keberadaan air dan memiliki nilai pKa sebesar
15.5 (Fessenden & Fessenden 1997). Sifat

asam ini menyebabkan metanol mudah
melepaskan proton dan bereaksi dengan
logam. Pengotor organik lain sifat asamnya
lebih lemah dibandingkan metanol.
Secara umum, penentuan kemurnian
senyawa kimia organik kemurnian tinggi
dilakukan dengan pendekatan tidak langsung,
yaitu dengan cara mengkuantifikasi semua
kemungkinan pengotor yang terdapat pada
sampel. (Wong et al. 2011). Pendekatan tidak
langsung digunakan pada penelitian untuk
menentukan kemurnian bioetanol karena
pendekatan secara langsung menggunakan
kromatografi gas tidak mungkin dilakukan
karena konsentrasi bioetanol yang sangat
besar. Teknik lain yang dapat dilakukan untuk
menentukan
kemurnian
etanol
secara
langsung ialah dengan metode titrimetri.
Metode ini juga tidak dapat digunakan karena
hasil yang akan didapat hanya berupa profil
dari bioetanol. Berdasarkan SNI 7390:2008
selain menyaratkan kemurnian dari bioetanol,
disyaratkan pula batas dari konsentrasi
metanol. Oleh sebab itu, penentuan kemurnian
bioetanol lebih tepat dilakukan dengan
pendekatan secara tidak langsung.

Identifikasi senyawa pengotor organik
pada produk bioetanol
Langkah pertama yang dilakukan dalam
penentuan pengotor organik pada produk
bioetanol
ialah
identifikasi
semua
kemungkinan senyawa pengotor organik yang
terdapat pada sampel. Sebelumnya ditentukan
terlebih dahulu volume injeksi yang
menghasilkan jumlah puncak pengotor
maksimum. Setelah didapatkan jumlah puncak
pengotor maksimum, kemudian ditentukan
volume injeksi minimum yang menghasilkan
jumlah puncak pengotor maksimum tersebut.
Pemilihan
volume
injeksi
minimum
dimaksudkan untuk menghemat sampel dan
standar yang diinjeksikan. Selain itu, dengan
volume injeksi yang minimum diharapkan
puncak pengotor dapat terpisah dengan lebih
baik. Data jumlah puncak pengotor pada
sampel bioetanol disajikan pada Lampiran 5.
Berdasarkan hasil tersebut, baik sampel
bietanol 1 maupun sampel bioetanol 2
memiliki delapan puncak pengotor. Volume
injeksi minimum yang menghasilkan delapan
puncak pengotor tersebut ialah sebesar 0.7 µl.
Volume injeksi ini selanjutnya digunakan
untuk injeksi standar dan sampel bioetanol.
Kromatogram kedua sampel dapat dilihat pada
Gambar 3.

7

(a)

(b)
Gambar 3 Kromatogra
ram sampel bioetanol
(a) sampell 1 dan (b) sampel 2
Setelah didapatkan
an jumlah
maksimum yang terda
dapat dalam
bioetanol,
langkah
berikutnya
identifikasi puncak-punca
cak pengotor
Puncak tersebut diid
iidentifikasi
membandingkan waktuu retensi
pengotor dengan waktu
ktu retensi

puncak
sampel
ialah
tersebut.
dengan
puncak
standar

senyawa pengotor yang umum
um
terdapat pada
bioetanol yang disajikan pada Lampiran 6.
Hasil identifikasi menunju
jukkan bahwa kedua
sampel memiliki pengoto
tor organik dengan
jenis yang sama. Pengotor
or organik dari kedua
sampel berupa metanol, ase
aseton, 2-propanol, 1propanol, etil asetat, isob
sobutanol, 1-butanol,
dan isoamil alkohol. Hasil
il iidentifikasi tersebut
disajikan pada Tabel 3.
Besarnya waktu rete
tensi puncak suatu
senyawa dipengaruhi oleh
ole titik didihnya.
Selain itu, dipengaruhi jjuga oleh interaksi
antara senyawa dengann fase diam yang
berkaitan dengan kepolaran
rannya. Secara umum
titik didih suatu senyawa bberhubungan dengan
nilai bobot molekulnya. Seemakin besar bobot
molekul, maka semakin bbesar gaya London
yang bekerja antar molek
lekul suatu senyawa.
Akibatnya semakin ting
nggi titik didihnya.
Namun terdapat pengecual
ualian untuk senyawa
golongan alkohol. Terlih
lihat pada Tabel 3
metanol dengan bobot m
molekul yang lebih
kecil dari aseton memilik
liki titik didih yang
lebih besar dari aseton ya
yang memiliki bobot
molekul yang lebih besar.
r. Hal ini disebabkan
karena terdapat ikatan hidro
drogen antar senyawa
pada alkohol. Ikatan hidro
drogen ini lebih kuat
dibandingkan gaya Londoon. Akibatnya titik
didih alkohol akan tinggii meskipun
m
memiliki
bobot molekul kecil. Hal te
tersebut dapat dilihat
pula pada etil asetat dan
an isoamail alkohol.
Meskipun memiliki bob
obot molekul yang
hampir sama, titik didih etil
eti asetat berada jauh
di bawah isoamil alkoho
hol. Perbedaan titik
didih tersebut terjadi kare
rena isoamil alkohol
memiliki ikatan hidrogenn antar molekulnya.
Senyawa yang memiliki titi
titik didih yang tinggi
akan memiliki waktu re
retensi yang makin
besar. Hal tersebut dapat di
dilihat pada senyawa
2-propanol, 1-propanol, iso
isobutanol, 1-butanol,
dan isoamil alkohol. U
Urutan munculnya
puncak senyawa-senyawa
wa tersebut sesuai
dengan titik didihnya.

Tabel 3 Identifikasi puncak pengotor sampel
Waktu retensi
(menit)
no
S1*
S2*
12.0
1 11.9
14.7
2 14.6
15.1
3 15.0
17.6
4 17.5
21.1
5 20.9
22.1
6 22.2
24.0
7 23.8
28.1
8 28.0
*

Senyawa

BM (g mol-1)
(CRC 1981)

Td (ºC)
(CRC 1981)

Kepolaran relatif
K
(
(Reichardt
2003)

Metanol
Aseton
2-propanol
1-propanol
Etil asetat
Isobutanol
1-butanol
Iso
Isoamil
alkohol

32.04
58.08
60.10
60.10
88.11
74.12
74.12
88.15

64.7
56.2
82.5
97.0
77.1
107.9
118.0
131.1

0.762
0.648
0.546
0.617
0.228
0.552
0.586
-

S1: Sampel 1, S2: Sampel 2

8

Pengecualian terjad
adi pada senyawa
metanol, aseton, dan etil
il aasetat. Waktu retensi
ketiga senyawa tersebutt tidak sesuai dengan
pertambahan titik didi
idih. Waktu retensi
metanol lebih kecil di
dibandingkan aseton.
Padahal metanol memili
iliki titik didih yang
lebih tinggi dibandingkan
an aseton. Hal tersebut
juga terjadi pada etil
il asetat. Etil asetat
memiliki waktu retensi
si yang besar. Jika
didasarkan pada titikk didih, seharusnya
puncak etil asetat akan kkeluar setelah aseton.
Pada kromatogram puncak
cak etil asetat memiliki
waktu retensi sebesar 20.
0.8 menit dan muncul
setelah puncak 1-propano
nol.
Perbedaan waktu rete
etensi tersebut terjadi
akibat interaksi senyawa
wa dengan fase diam
penyusun kolom. Fase diam
di
yang digunakan
pada penelitian berupaa polidimetilsiloksana
yang
bersifat
no
nonpolar.
Struktur
polidimetilsiloksana dapat
da
dilihat pada
Gambar 4. Senyawa yang
ng memiliki kesamaan
kepolaran dengan fase dia
diam akan berinteraksi
kuat, sehingga akan terta
rtahan lebih lama pada
kolom. Pada Tabel 3 disajikan kepolaran
relatif dari masing-masin
ing senyawa. Semakin
polar senyawa nilainyaa akan mendekati 1,
sedangkan semakin no
nonpolar maka akan
semakin mendekati 0. Ase
seton cenderung lebih
bersifat nonpolar diba
bandingkan metanol.
Akibatnya dengan titik
ik didih yang lebih
rendah aseton tertahan leb
lebih lama pada kolom
dibandingkan metanol,
l, sehingga waktu
retensinya lebih besar dib
dibandingkan metanol.
Hal tersebut juga dapat
at dilihat dari waktu
retensi etil asetat. Me
Meskipun etil asetat
memiliki titik didih yang
ng rendah tapi waktu
retensinya besar karena eetil asetat ini bersifat
non polar, sehingga ditah
tahan lebih lama pada
kolom.

Gambar 4 Struktur
ur polidimetilsiloksana

Suhu injektor dan suh
uhu detektor GC diatur
pada suhu tinggi, yaitu ssebesar 300ºC. Suhu
yang tinggi pada injekto
tor dimaksudkan agar
semua senyawa yang terdapat
ter
dalam sampel
teruapkan dan dapat dibaw
awa oleh fase gerak ke
dalam kolom. Suhu detekt
ektor juga dibuat tinggi
dengan tujuan yang sam
ma, yaitu agar semua

senyawa dalam sampel teta
etap dalam bentuk gas
dan terdeteksi oleh detekt
ektor (Harvey 2000).
Pemanasan oven GC dilakukan dengan
temperatur terprogram deng
engan suhu awal 40˚C
yang ditahan selama 10 me
menit, kemudian suhu
dinaikkan 30˚C permen
enit sampai suhu
mencapai 250˚C dan ditah
ahan 19 menit. Suhu
awal harus lebih rendah
ah dari titik didih
senyawa yang memilikii titik didih paling
rendah, dengan tujuan senyawa tersebut
terkondensasi lagi setelah
ah mencapai kolom.
Suhu akhir diatur pada suhu
s
tinggi dengan
tujuan untuk memastikan
an semua senyawa
yang terkandung dalam
lam sampel dapat
teruapkan.
Pada puncak metanoll ddan isoamil alkohol
terlihat bahwa kedua pun
uncak tersebut tidak
ideal. Kedua puncak terse
rsebut pada sisi kiri
sangat tajam, sedangkan
an pada sisi kanan
landai. Kondisi puncak seperti
s
ini dikenal
dengan istilah tailing. T
Tailing disebabkan
karena salah satu sisi padaa fase diam menahan
analat lebih kuat dibandi
dingkan sisi lainnya
(Harvey 2000). Hal ini da
dapat dijelaskan dari
struktur polidimetilsiloksa
ksana. Sisi oksigen
pada polidimetilsiloksana
na bersifat polar,
sedangkan sisi metil bersifat nonpolar.
Perbedaan kepolaran ters
rsebut menyebabkan
perbedaan interaksi denga
gan analat. Metanol
dan isoamil alkohol yangg bersifat polar akan
tertahan lebih kuat pada
pa
sisi oksigen
dibandingkan pada sisi metil.
m
Hal tersebut
menyebabkan tailing pad
ada puncak metanol
dan isoamil alkohol.
ampel bioetanol
Kuantifikasi pengotor sam
Pengukuran konsentra
trasi pengotor pada
sampel dilakukan deng
ngan menggunakan
standar eksternal. Hasil analisis terhadap
pengotor sampel disajikan
an pada Gambar 5,
sedangkan data analisiss dapat dilihat pada
Lampiran 7. Berdasarka
rkan hasil tersebut
terlihat bahwa pengotor
or pada sampel 1
sebagian besar berupaa isobutanol, yaitu
sebesar 26.53% darii total pengotor,
sedangkanuntuk sampel 2 pengotor terbanyak
berupa isoamil alkohol, yai
yaitu sebesar 34.68%
dari total pengotor. Selain
ain itu, terlihat pula
bahwa sampel 2 memilik
liki jumlah pengotor
yang lebih besar dari ssampel 1. Jumlah
pengotor pada sampel 1 se
sebesar 1366.87 ppm
dan memiliki kemurnian
an sebesar 99.86%,
sedangkan sampel 2 men
engandung pengotor
sebesar 1488.96 ppm dann kemurnian sebesar
99.85%. Konsentrasi meta
etanol pada sampel 1
sebesar 249.40 ppm, sedan
angkan untuk sampel
2 sebesar 178.26 ppm.

6
kadar pengotor organik (×102 ppm)

sampel 1
5

sampel 2

4

sampel yang diujikan di atas 99.5% dengan
kadar metanol kurang dari 300 ppm. Hasil ini
menunjukkan bahwa kedua sampel bioetanol
masih layak digunakan sebagai bahan baku
untuk membuat standar etanol dalam bahan
bakar.

SIMPULAN DAN SARAN

3
2
1
0

jenis pengotor organik
Gambar 5 Perbandingan konsentrasi
pengotor sampel bioetanol
Konsentrasi pengotor organik produk
bioetanol dari unit produksi bioetanol yang
sama sebelumnya pernah dilaporkan oleh
Nuryatini et al. (2011). Analisis dilakukan
dengan kolom innowax 30 m berdasarkan
metode kalibrasi satu titik dan tidak dilakukan
identifikasi jenis pengotornya. Hasil dari
analisis tersebut menunjukkan bahwa sampel
mengandung
lima
pengotor
dengan
konsentrasi total sebesar 0.06%. Berdasarkan
hasil tersebut terlihat bahwa konsentrasi
pengotor organik yang didapatkan dari hasil
penelitian ini lebih kecil dari hasil analisis
sebelumnya. Hasil yang didapatkan juga lebih
akurat karena penentuannya dilakukan dengan
menggunakan standar dari masing-masing
pengotor. Jenis pengotor yang teridentifikasi
juga lebih banyak dibandingkan hasil
sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa
limit deteksi dengan menggunakan kolom
polidimetilsiloksana 100 m lebih kecil
dibandingkan dengan menggunakan kolom
innowax 30m. Limit deteksi yang lebih kecil
ini berkaitan dengan kemampuan kolom
polidimetilsiloksana 100 m untuk menampung
sampel dalam jumlah yang lebih banyak.
Berdasarkan hasil analisis tersebut,baik
sampel 1 maupun sampel 2 masih memenuhi
syarat SNI 7390:2008. Kemurnian dari kedua

Simpulan
Konsentrasi pengotor organik pada sampel
bioetanol
dapat
ditentukan
dengan
menggunakan kromatografi gas. Metode
analisis tersebut telah diverifikasi untuk
menjamin bahwa hasil analisis yang
didapatkan valid dan menghasilkan ketelitian
1.2287%, ketepatan 99.2927%, linearitas
0.998, dan limit deteksi 0.02%. Sampel 1
memiliki kemurnian sebesar 99.86% dan
konsentrasi metanol sebesar 294.40 ppm,
sedangkan sampel 2 memiliki kemurnian
99.85% dan konsentrasi metanol sebesar
178.26 ppm. Persyaratan bioetanol yang
digunakan sebagai gasohol di Indonesia
tercantum dalam SNI 7390:2008, yaitu harus
memiliki konsentrasi etanol minimum sebesar
99.5% dan memiliki konsentrasi metanol
maksimum sebesar 300 ppm. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa kedua sampel masih
memenuhi syarat SNI 7390:2008 untuk
digunakan sebagai bahan baku standar etanol
dalam bahan bakar.
Saran
Perlu dilakukan pengujian lanjut berupa
penentuan konsentrasi pengotor anorganik dan
konsentrasi air pada kedua sampel untuk
mengetahui kemurnian sebenarnya dari
sampel tersebut sebelum digunakan sebagai
bahan baku untuk membuat standar etanol
dalam bahan bakar.

DAFTAR PUSTAKA
[AOAC]
Association
of
Analytical
Communities.
1998.
Peer-Verified
Methods Program, Manual on policies and
procedures. Arlington: AOAC.
[BPMIGAS] Badan Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. 2011.
Dari minyak, terbitlah gas. Buletin
BPMIGAS 73: 2-5.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010.
Perkembangan
Jumlah
Kendaraan
Bermotor Menurut Jenis tahun 19872009[internet]. [diacu 20 Februari 2012].

10

Tersedia dari http://www.bps.go.id/tab_
sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_suby
ek=17¬ab=12
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Produksi
Minyak Bumi dan Gas Alam, 1996-2010
[internet]. [diacu 20 Februari 2012].
Tersedia dari: http://www.bps.go.id/tab_
sub/view.php?kat=3&tabel=1&daftar=1&i
d_subyek=10¬ab=1.
[CRC] Chemical Rubber Company. 1981.
Handbook of Chemistry and Physics.
Florida: CRC Press.

Nuryatini, Aristiawan Y, Sujarwo, Styarini D.
Verifikasi analisis kemurnian bioetanol
untuk pembuatan bahan acuan. Di dalam:
Prosiding PPI Standardisasi 2011; Jakarta
16 November 2011.
Prihandana P, Hendroko R. 2007. Energi
Hijau Pilihan Bijak Menuju Mandiri
Energi. Jakarta: Penebar Swadaya.
Reichardt C. 2003. Solvents and Solvent
Effects in Organic Chemistry. New York:
Willey.

[EREC] European Renewable Energy
Council. 2007. Bioethanol Production and
Use. Brusel: European Biomass Industry
Association.

Taverniers I, Loose MD, Bockstaele EV.
2004. Trends in quality in the analytical
laboratory.
II.
Analytical
method
validation and quality assurance. Trends
Anal Chem 23: 535-552.

Balat M, Balat H. 2009. Recent trends in
global production and utilization of bioethanol fuel. Applied Energy 86: 2273–
2282.

Ulmer JD, Huhnke RL, Bellmer DD, Dwayne
D, Cartmell. 2004. Acceptance of ethanolblended gasoline in Oklahoma. Biomass
and Bioenergy 27: 437–444.

Chan CC, Lam H, Lee YC, Zhang XM. 2004.
Analytical Method Validation and
Instrument Performance Verification. New
York: J Willey.

Wong Siu-kay, Law Tin-yau, Wong Yee-lok.
2011. Purity assessment for 17 -estradiol.
Accred Qual Assur 16:245-252. doi:
10.1007/s00769-011-0762-5.

Eiceman GA. 2004. Encyclopedia Anal Chem.
New York: J Willey.

Yuksel F, Yuksel B. 2004. The use of
ethanol–gasoline blend as a fuel in an SI
engine. Renewable Energy 29: 1181–
1191.

Fessenden RJ, Fessenden JS. Kimia Organik
Jilid 1. Pudjaatmaka AH, penerjemah;
Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari:
Organic Chemistry.
Harvey D. 2000. Modern Analytical
Chemistry. New York : Mc Graw Hill.

Yunoki S, Saito M. 2009. A simple method to
determine bioethanol content in gasoline
using two-step extraction and liquid
scintillation
counting.
Bioresource
Technol 100: 6125–6128.

LAMPIRAN

Lampiran 1 Diagram alir penelitian
Optimasi pengukuran berupa optimasi split ratio
(1:50, 1:75, 1:100, 1:200, dan 1:300)

Preparasi standar NIST
etanol dalam bahan bakar

Kondisi optimum

Verifikasi metode analisis
meliputi pengujian
linearitas, ketelitian,
ketepatan, dan limit
deteksi

Preparasi standar
campuran

Pengukuran konsentrasi
pengotor organik sampel

Penetapan kemurnian
sampel

12

13

Lampiran 2 Nilai SBR masing-masing split ratio
split ratio
SBR (%)
1:50
4.7675
1:75
4.2500
1: 100
3.1990
1: 125
3.8996
1:150
2.0783
1:175
4.3104
1:200
1.9221
Lampiran 3 Pengujian linearitas
Konsentrasi
Luas puncak
(%)
Split ratio 1:100
Split ratio 1:200
0.5
1812.7
920.5
1
3862.5
1763.5
2
10336.5
4434
4
28762.33
11996
6
46475.5
24010.5
8
64584
27681.7
10
82293
37562
R² = 0.998
R² = 0.988

luas area (×104)

Lampiran 4 Pengujian ketepatan
Pengukuran luas puncak deret standar etanol dalam bahan bakar
konsentrasi
luas puncak
1
4536
2
13251
5
38180
8
65887
10
82703
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0

y = 8713,x - 4400
R² = 0.999

0

2

4

6

8

10

konsentrasi (%)

Kurva standar etanol dalam bahan bakar

12

14

Hasil analisis konsentrasi etanol berdasarkan pengukuran
Ulangan
Luas puncak
26281
26606
26701
Rerata

1
2
3

Konsentrasi etanol
(%)
3.5219
3.5586
3.5695
3.5498

Contoh perhitungan
• Ulangan 1 : y = 8713 x - 4400
26281 = 8713 x – 4400
26281 + 4400 = 8713 x
x = 3.5219%
• bobot SRM etanol dalam bahan bakar = 138.266 gram,
bobot larutan = 392.344 gram,
konsentrasi etanol berdasarkan penimbangan =
=

bobot SRM
bobot etanol

×10.08%

138.266 gram
392.344 gram

×10.08%

= 3.5523%


ketelitian = 1= 1-

konsentrasi sebenarnya-konsentrasi percobaan
konsentrasi sebenarnya

.

.

.

×100%

×100%

= 99.1442%

Lampiran 5 Jumlah puncak pengotor berdasarkan volume injeksi
Volume injeksi (µl)
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0

Jumlah puncak pengotor
Sampel 1
Sampel 2
3
3
4
4
5
5
6
6
6
6
7
7
8
8
8
8
8
8
8
8

15

Lampiran 6 Waktu retensi standar senyawa pengotor
no
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

waktu retensi (menit)
12.0
13.9
14.5
14.9
17.5
20.1
20.8
22.2
24.0
28.1

senyawa
Metanol
etanol
Aseton
2-propanol
1-propanol
2-butanol
Etil asetat
Isobutanol
1-butanol
Isoamil alkohol

Lampiran 7 Konsentrasi pengotor dan kemurnian sampel
a. Metanol
Konsentrasi
15.07
41.71
93.18
159.79
317.18
1001.72

Luas puncak
2851
4139
4621
7429
11906
32183

3,5
luas area (×104)

3
2,5
2

y = 29,66x + 2468,
R² = 0.999

1,5
1
0,5
0
0

200

400

600

800

konsentrasi (ppm)

Kurva standar metanol

1000

1200

16

Konsentrasi metanol pada sampel
sampel

ulangan

1

1
2
3
1
2
3

2

Konsentrasi
(ppm)
317.87
319.49
310.92
221.48
225.93
230.38

Luas puncak
11896
11944
11690
9037
9169
9301

Contoh perhitungan
• Contoh 1 ulangan 1:

Rerata konsentrasi
(ppm)
316.09

225.93

y = 29.66x + 2468
11896 = 29.66x + 2468
(11896 – 2468)
x=
29.66
= 317.87 ppm

Rerata konsentrasi metanol sampel 1 =

317.87+319.49+310.92

3
= 316.09 ppm

b. Aseton

luas puncak (×104)

Konsentrasi
18.47
41.41
92.52
158.64
315.42
994.49

Luas puncak
458
832
1223
2446
4872
15467

18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

y = 15,48x + 33,04
R² = 0.999

0

200

400

600

800

konsentrasi (ppm)

Kurva standar aseton

1000

1200

17

Konsentrasi aseton pada sampel
sampel

Konsentrasi
(ppm)
76.94
75.64
79.26
80.36
78.10
81.84

Luas puncak

ulangan

1

1
2
3
2
1
2
3
Contoh perhitungan
• Contoh 1 ulangan 1:

1224
1204
1260
1277
1242
1300

Rerata konsentrasi
(ppm)
77.28

80.10

y = 15.48x + 33.04
1224 = 15.48x + 33.04
(1224 – 33.04)
x=
15.48
= 76.94 ppm

Rerata konsentrasi aseton sampel 1 =

76.94 + 75.64 + 79.26

3
= 77.28 ppm

c. 2-propanol

luas puncak (×104)

Konsentrasi
13.59
37.65
84.12
144.24
286.79
904.24

Luas puncak
295
679
1409
2807
4916
16045

18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

y = 17,68x + 23,72
R² = 0.999

0

200

400

600

konsentrasi (ppm)

Kurva standar 2-propanol

800

1000

18

Konsentrasi 2-propanol pada sampel
sampel

ulangan

1

Konsentrasi
(ppm)
51.94
56.18
54.82
53.52
50.30
51.88

Luas puncak

1
2
3
2
1
2
3
Contoh perhitungan
• Contoh 1 ulangan 1:

942
1