Pilihan kebijakan pengelolan Taman Nasional Danau Sentarum Provinsi Kalimantan Barat

PILIHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN
TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM
PROVINSI KALIMANTAN BARAT

EMI ROSLINDA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pilihan Kebijakan
Pengelolaan Taman Nasioanal Danau Sentarum Provinsi Kalimantan Barat adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2013
Emi Roslinda
NIM E161090011

RINGKASAN
EMI ROSLINDA. Pilihan Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional Danau
Sentarum Provinsi Kalimantan Barat. Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN,
DIDIK SUHARJITO, DODIK RIDHO NURROCHMAT.
Pengelolaan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) dilakukan oleh
pemerintah melalui Balai TNDS. Sampai saat ini kegiatan pengelolaan belum
mencapai tujuan yang diharapkan yaitu kelestarian kawasan dan kesejahteraan
masyarakat. Kondisi ini menunjukkan pengelolaan tunggal oleh pemerintah tidak
mampu untuk mencapai tujuan pengelolaan. Penelitian ini bertujuan untuk
merumuskan pilihan kebijakan pengelolaan TNDS melalui pendekatan ekonomi,
sosial dan kebijakan, sehingga diperoleh pilihan kebijakan yang lebih baik secara
ekonomi (pengetahuan nilai ekonomi juga manfaat yang dihasilkan), lebih baik
secara sosial (mengurangi konflik, secara kultural cocok) dan lebih baik secara
kebijakan (governance: efisien/efektif, less cost). Tujuan tersebut akan dicapai
melalui beberapa kajian yaitu: 1) menduga manfaat dan potensi nilai ekonomi

total TNDS; 2) menganalisis pemangku kepentingan dalam pengelolaan TNDS; 3)
menguraikan modal sosial dan kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS;
dan 4) menganalisis kebijakan pengelolaan TNDS.
Penelitian dilaksanakan di kawasan TNDS Provinsi Kalimantan Barat.
Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan pendekatan/teknik: 1)
penelusuran dokumen, 2) wawancara, 3) observasi langsung. Jumlah contoh untuk
masyarakat ditetapkan secara quota sebanyak 60 rumah tangga pada setiap lokasi
penelitian (3 SPTN) yang ditentukan secara random sampling. Untuk melengkapi
informasi yang diperoleh dari para responden, dilakukan wawancara dengan
informan kunci pada setiap lokasi penelitian. Sementara untuk pemangku
kepentingan yang lain dilakukan wawancara tersendiri yang dilakukan dengan
cara snowball. Analisis data dilakukan secara kuantitatif (kategorisasi) dan
kualitatif .
TNDS menghasilkan berbagai manfaat dengan NET yang tinggi. NET
TNDS sebesar Rp 139,1 milyar per tahun. Hasil ini bila dibandingkan dengan
besarnya biaya pengelolaan TNDS sebesar Rp 6,7 milyar pada tahun 2010, berarti
hanya 4,82 persen dari manfaat yang dihasilkan. Berarti TNDS sebagai kawasan
konservasi yang selama ini dianggap sebagai pusat pengeluaran (cost center)
adalah tidak benar. Potensi nilai ekonomi TNDS ini bisa menjadi nyata dengan
menerapkan mekanisme insentif dalam pengelolaan TNDS, dimana untuk saat ini

mekanisme insentif yang mungkin untuk dijalankan adalah dari jasa lingkungan
air untuk rumah tangga. Berbagai manfaat yang dihasilkan dan tingginya nilai
ekonomi yang terkandung di TNDS menarik berbagai pemangku kepentingan
untuk memanfaatkan serta mengelolanya.
Terdapat 18 pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan TNDS,
yang terdiri dari pihak pemerintah, masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) dan Lembaga Penelitian. Berdasarkan pengaruh dan kepentingannya,
pemangku kepentingan tersebut berkedudukan sebagai subject, key players,
contex setter, dan crowd, dan hubungan yang terjadi diantara mereka adalah
konflik,
kerjasama dan saling mengisi. Keberadaan berbagai pemangku

kepentingan ini membawa konsekuensi pengelolaan yang dilakukan di TNDS
perlu mengalami perubahan dari pengelolaan tunggal oleh pemerintah menjadi
pengelolaan yang melibatkan pemangku kepentingan. Adapun bentuk pelibatan
pemangku kepentingan dapat dilihat dari modal sosial pada tingkat masyarakat
dan kapabilitas pemerintah dalam mengelola TNDS.
Modal sosial masyarakat di dalam kawasan TNDS yang dinilai dari
kepercayaan (trust), norma dan jaringan sosial (social networks) menunjukkan
kuat/tingginya modal sosial masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap peran

tokoh masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam sangat tinggi, ini
menunjukkan bahwa masyarakat lebih mematuhi apa yang diperintahkan oleh
pemimpin mereka. Norma-norma yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam
baik yang tertulis dan tidak tertulis sangat memperhatikan kelestarian, dan karena
sudah dilakukan secara turun temurun maka sangat jarang terjadi pelanggaran.
Sementara jaringan sosial yang terbentuk ditujukan untuk kesejahteraan bersama
dan lebih pada kepentingan ekonomi. Apa yang sudah ada di masyarakat ini
menunjukkan bahwa semua tatanan pengelolaan sudah berjalan secara fungsional
di masyarakat dan terjamin keberlanjutannya. Sementara kapabilitas pemerintah
yang diukur dari indikator karakteristik intrinsik dan indikator hubungan antar
negara dan masyarakat menunjukkan rendahnya kapabilitas pemerintah dalam
pengelolaan TNDS. Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya pemerintah secara
tunggal tidak mampu untuk mengelola TNDS. Berarti ada permasalahan dalam
kebijakan yang diterapkan dalam pengelolaan TNDS saat ini.
Ada 31 (tiga puluh satu) buah kebijakan (regulasi) yang digunakan oleh
Balai TNDS sebagai dasar pengelolaan TNDS saat ini. Regulasi tersebut berupa
Undang-undang (UU) yang terkait, Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan
Menteri, Keputusan Presiden (Keppres), Keputusan Menteri (Kepmen), Peraturan
Daerah (Perda), Keputusan dan Peraturan Direktur Jenderal, Keputusan Bupati.
Umumnya masih bersifat sentralistik, berbentuk perintah dan pengawasan

(command and control) dan seragam untuk semua kawasan konservasi. Kondisi
ini menjadi penyebab tidak efektifnya pengelolaan, oleh karena itu perlu
perubahan kebijakan pengelolaan yang spesifik lokasi kawasan konservasi.
Devolusi pengelolaan TNDS diperlukan karena akan lebih mengefektifkan
pengelolaan sumberdaya alam dan memberikan keadilan kepada masyarakat
sebagai pemangku kepentingan. Mensinkronkan kepentingan masyarakat dan
pemerintah dalam kawasan TNDS merupakan solusi yang optimal dalam kegiatan
pengelolaan. Kolaborasi pengelolaan TNDS akan meminimalkan beban biaya
pengelolaan yang ditanggung pemerintah dan pada saat yang sama akan
membangkitkan rasa tanggungjawab masyarakat dalam pengelolaan TNDS.
Kata kunci: devolusi pengelolaan, modal sosial, kapabilitas pemerintah,
kolaborasi, pemangku kepentingan

SUMMARY
EMI ROSLINDA. Management Policy Options of Danau Sentarum National Park
West Kalimantan Province. Supervised by DUDUNG DARUSMAN, DIDIK
SUHARJITO, DODIK RIDHO NURROCHMAT.
Management of Danau Sentarum National Park (DSNP) is conducted
through DSNP Unit. Until now, the management has not achieved the expected
objectives, namely the preservation of the area and welfare of the community.

This condition indicates the single management by the government is not able to
achieve the management objectives. This study aims to formulate the policy
options of DSNP management through economic, social and policy approaches, in
order to obtain better policy options economically (knowledge of economy as well
as benefits generated), socially (reducing conflicts, culturally appropriate), and
policy (governance; efficient/effective, less cost). These goals will be achieved
through several studies, namely: 1) suspecting benefits and total economic
potential of DSNP; 3) analyzing the stakeholders in the management of DSNP; 3)
outlining the government’s social capital and capabilities in the management of
DSNP; and 4) analyzing policy of DSNP management.
The research had been conducted in the area of DSNP in the West
Kalimantan Province. The data was collected using the techniques of: 1)
Document research, 2) interview, 3) direct observation. The number of
community samples quota is 60 (sixty) households in each location (3 SPTN)
which was determined by random sampling. To comply with information obtained
from the respondents, interviews were conducted with key informants in each
study site. As for other stakeholders, the interviews were carried out with a
snowball method. The data were analyzed quantitatively (categorization) and
qualitatively.
There were many kind of benefits in DSNP with high economic value. The

TEV of DSNP covers Rp 139 billion per year. This result when compared with
the cost of managing DSNP that covered Rp 6.7 billion in 2010 shows that only
4.82 percent of the benefits generated. It means that DSNP as conservation area
that have been considered as a cost center is not true. This potential economic
value of DSNP could be real by implementing incentive mechanism in the
management of DSNP, where for the current time the incentive mechanism that is
likely to run is water for environmental service for households. Various benefits
and the high economic value contained in DSNP attract various stakeholders to
utilize and manage them.
There are 18 (eighteen) stakeholders involved in the management of
DSNP, consisting of government, community, Non-Governmental Organization
(NGO) and research institution. Based on their influence and importance, the
stakeholders serve as subjects, key players, context setter and crowd; and the
relation among them is conflicts, complementary and cooperation. The existence
of these various stakeholders brings along the consequence that the management
conducted in DSNP needs to be changed from a single management by the
government to management involving the stakeholders. The form of stakeholders’

involvement can be seen from social capital at the community level and capability
of the government in managing DSNP.

Social capital in the community within the area of DSNP which is assessed
from trust, norms and social networks shows the strong/high of social capital of
the community. Public trust to the role of community leaders in managing natural
resources is very high, which indicates that more people obey what is commanded
by their leader. The norms governing the management of natural resources both
written and unwritten are very concerned about sustainability, and since they have
been done for generations that the infraction rarely happens; while social networks
are formed to gain common welfare and more to the interest of economy. What
already exists in the community shows that all orders are running a functional
management and secure its sustainability. Meanwhile, the capability of the
government measured from the intrinsic characteristic indicators and relation
between state and community indicators shows the weak capability of the
government in managing DSNP. It shows the fact that government is not able to
manage DSNP, and it means there are problems in the policies implemented in the
management of DSNP today.
There are 31 (thirty-one) policies/regulations used by DNSP Unit as a
foundation in DSNP management. The regulations are in the forms of relevant
Statute, Government Regulation, Ministerial Regulation, Presidential Decree,
Ministerial Decree, Regional Regulation, Decree and Regulation of Directorate
General, and Decree of the Head of District. These regulations are mostly

centralized, in the forms of command and control, and all the same for the whole
conservation areas. The condition causes the ineffective of the management,
therefore the management policies need to be changed specifically at location in
the conservation areas.
Devolution of the management of DSNP is necessary because it will
further streamline the management of natural resources and will provide justice to
the community as the stakeholder. Synchronizing the interests of community and
government in the areas of DSNP is indeed an optimal solution in the activities of
management. Collaboration in managing DSNP will minimize management cost
borne by the government and in the same time will generate a sense of
responsibility of the community in the management of DSNP.

Key words: devolution of management, social capital, government capability,
collaboration, stakeholders

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PILIHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN
TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM
PROVINSI KALIMANTAN BARAT

EMI ROSLINDA

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2013

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Iin Ichwandi, MSc F Trop.
Prof. Dr.Ir.Sambas Basuni, MS

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS
Dr. Ir. Tahrir Fathoni, MSc

Judul Disertasi: Pilihan Kebijakan Pengelolan Taman Nasional Danau Sentarum
Provinsi Kalimantan Barat
Nama
: Emi Roslinda
NIM
: E161090011

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Dudung Darusman, MA
Ketua

Dr Ir Didik Suharjito, MS
Anggota

Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, MSc
Anggota
Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Pengelolaan Hutan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 21 Maret 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan
sejak bulan September 2011 ini berjudul Pilihan Kebijakan Pengelolaan Taman
Nasional Danau Sentarum Provinsi Kalimantan Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Dudung Darusman, MA, Dr
Ir Didik Suharjito, MS. dan Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, MSc, selaku
pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam
penyusunan dan penyempurnaan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada Bapak Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS selaku Ketua
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan berserta segenap jajarannya yang telah
banyak membantu dan memfasilitasi penulis selama menempuh pendidikan di
SPs-IPB.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Direktorat Jenderal
Perguruan Tinggi melalui beasiswa yang diberikan, SEAMEO-BIOTROP,
Universitas Tanjungpura dan Pemda Provinsi Kalimantan Barat atas bantuan dana
penelitian yang diberikan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Pemda Kapuas Hulu, Kepala Balai TNDS beserta staf, WWF KalBar, temanteman LSM dan masyarakat TNDS yang menjadi responden dan sumber data bagi
penulis, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah
banyak membantu dalam pengumpulan data dan informasi.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus secara khusus
disampaikan kepada suami (Sarwo Sugeng, SH), anak (Tsaqif dan Mahira), orang
tua dan adik-adik, serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak. Amin.
Bogor, Mei 2013
Emi Roslinda

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

iv

DAFTAR GAMBAR

iv

DAFTAR LAMPIRAN

v

1

1
1
4
5
5
5

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Novelty

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Kawasan Konservasi
Konsep Nilai dan Penilaian Sumberdaya Alam
Konsep Pemangku Kepentingan
Konsep Modal Sosial dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam
Konsep Kapabilitas Pemerintah
Konsep Kebijakan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam

6
6
11
14
16
19
20

3

22
22
23
25
25
27

METODE
Kerangka Pemikiran
Pendekatan Penelitian
Tempat dan Waktu Penelitan
Pengumpulan Data
Lingkup Kajian

4 KEADAAN UMUM TNDS
Letak dan Luas
Potensi TNDS
Kondisi Masyarakat
Pengelolaan TNDS Saat Ini

35
35
36
39
42

5 MANFAAT DAN NILAI EKONOMI TNDS
Manfaat TNDS
Nilai Ekonomi TNDS
Nilai Ekonomi Total TNDS

46
46
49
57

6 PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM PENGELOLAAN TNDS
Identifikasi Pemangku Kepentingan
Pengelompokkan dan Pengkategorian Pemangku Kepentingan
Hubungan antara Pemangku Kepentingan

62
63
66
71

7 MODAL SOSIAL MASYARAKAT DAN KAPABILITAS PEMERINTAH
DALAM PENGELOLAAN TNDS
75
Unsur-unsur Pembentuk Modal Sosial Masyarakat
75
Kapabilitas Pemerintah dalam Pengelolaan TNDS
90

8 KEBIJAKAN PENGELOLAAN TNDS
Peraturan Perundangan Pengelolaan TNDS
Kewenangan Pengelolaan TNDS
Perkembangan Kebijakan Pengelolaan TNDS
Kebijakan Pengelolaan TNDS

96
96
103
104
107

9

109
110
113
121
123

PILIHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN TNDS
Mekanisme Insentif Jasa Ekosistem
Pelibatan Pemangku Kepentingan
Devolusi PengelolaanTNDS
Pilihan Kebijakan Pengelolaan TNDS

10 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

130
130
131

DAFTAR PUSTAKA

132

LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

144-163
165

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi
Tujuan penelitian, variabel, teknik pengumpulan dan sumber data
Jenis dan sumber data penunjang yang digunakan dalam penelitian
Metode dan macam nilai ekonomi yang dihitung
Ukuran kuantitatif terhadap kepentingan dan pengaruh pemangku
kepentingan
Variabel, indikator dan kategori modal sosial
Variabel,indikator dan kategori kapabilitas pemerintah
Definisi operasional unsur-unsur indikator kapabilitas pemerintah
Jenis ikan yang umum ditangkap dan diperdagangkan dari perairan
TNDS
Hasil penjualan madu dari hasil tikung di TNDS melalui APDS
Kondisi pemanfaatan air di TNDS
Ringkasan hasil perhitungan nilai ekonomi total TNDS
Ringkasan hasil perhitungan nilai ekonomi total TNDS tanpa nilai
simpanan karbon
Pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan TNDS
Tingkat kepentingan pemangku kepentingan pada pengelolaan TNDS
Tingkat pengaruh pemangku kepentingan pada pengelolaan TNDS
Tingkat kepercayaan responden di TNDS
Tingkat norma sosial responden di TNDS
Tingkat jaringan sosial responden di TNDS
Tingkat modal sosial masyarakat di dalam kawasan TNDS
Tingkat karakteristik intrinsik pemerintah dalam pengelolaan TNDS
Rekapitulasi sebaran pegawai Balai TNDS tahun 2010
Tingkat hubungan pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan
TNDS
Tingkat kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS
Peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan TNDS
Point kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan TNDS
Penilaian tingkat kekuatan pemangku kepentingan
Strategi pengelolaan berdasarkan kekuatan dan pengaruh
Luas wilayah kerja periau per zona di TNDS
Pilihan pola pengelolaan TNDS

8
26
26
28
29
31
32
32
50
51
54
58
59
63
65
66
76
79
85
89
90
91
93
95
96
102
115
116
126
127

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Kategori nilai ekonomi lingkungan hutan tropis
Hubungan antara modal sosial dan kapabilitas pemerintah
Skema alur pemikiran penelitian
Matriks pengaruh dan kepentingan analisis pemangku kepentingan
Proses metodologi penelitian
Peta wilayah seksi pengelolaan
Profil dan tipe hutan di kawasan TNDS
Distribusi responden berdasarkan pendidikan formal

12
19
24
29
34
35
36
41

9 Distribusi responden berdasarkan mata pencaharian
10 Klasifikasi jenis barang dan jasa yang dihasilkan oleh TNDS
berdasarkan kegunaan dan pasar yang tersedia
11 Produksi madu dari hasil tikung anggota periau di TNDS
12 Data perkembangan jumlah pengunjung TNDS 2007-2010
13 Biaya dan nilai manfaat ekonomi pengelolaan TNDS
14 Nilai ekonomi TNDS berdasarkan penggunaannya
15 Matriks kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan
16 Matriks hubungan antara pemangku kepentingan
17 Peta kerja periau yang ada di TNDS
18 Jaringan sosial antara tengkulak dan nelayan di TNDS
19 Diagram sebaran pegawai Balai TNDS berdasarkan pendidikan
20 Peta rencana zonasi TNDS
21 Hirarki kebijakan pengelolaan TNDS provinsi Kalimantan Barat
22 Matriks kekuatan dan pengaruh pemangku kepentingan
23 Posisi pemangku kepentingan berdasarkan pengaruh, kepentingan dan
kekuatan
24 Tahapan pengembangan mekanisme insentif
25 Tumpang tindih rencana zonasi TNDS dengan wilayah kerja periau
APDS

42
48
51
53
60
61
67
74
82
88
92
106
108
115
117
120
125

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Perhitungan nilai ekonomi perikanan tangkap
Perhitungan nilai ekonomi karet
Perhitungan nilai ekonomi padi ladang
Perhitungan nilai ekonomi kayu bakar
Perhitungan nilai ekonomi air rumah tangga
Perhitungan nilai ekonomi air transportasi
Perhitungan nilai ekonomi air untuk perikanan budidaya
Perhitungan nilai ekonomi simpanan karbon
Perhitungan nilai ekonomi nilai pilihan
Aturan nelayan Pulau Majang
Aturan pengelolaan sumberdaya alam di kampung Kedungkang
Aturan periau APDS

144
145
146
147
148
149
150
151
152
153
155
157

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengelolaan taman nasional (TN) di Indonesia masih menghadapi berbagai
permasalahan yang mengancam kelestariannya. Masalah pengelolaan TN di
Indonesia terkait erat dengan berbagai aspek seperti masalah kelembagaan,
masalah kawasan, konflik kawasan serta rendahnya komitmen para pihak dalam
mendukung keberhasilan kegiatan konservasi (Kementerian Kehutanan, 2011).
Masalah pengelolaan yang berakar pada masalah kelembagaan ditemui di
beberapa TN di Indonesia seperti di TN Komodo, TN Siberut, TN Tanjung
Putting, TN Leuser; dan TN Boganani Nani Wartabone (Iskandar 1992; Soekmadi
2002; Wiratno et al. 2004). Sementara terkait permasalahan kawasan/alokasi
ruang ditemui di TN Gunung Halimun Salak, TN Kelimutu, TN Batang Gadis,
TN Lore Lindu, TN Gunung Merapi, TN Kayan Mentarang dan TN Wasur
(Harada et al. 2001; Muda 2005; Ikhsan et al.2005; Golar 2007; Kuswijayanti et
al. 2007; Kosmaryadi 2012).
Pengelolaan TN tidak terlepas dari kebijakan yang ditetapkan oleh
pemerintah. Berkaitan dengan kebijakan yang sudah diterapkan dalam
pengelolaan TN mengacu pada Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 yang
menyatakan sistem pengelolaan TN dilaksanakan oleh pemerintah dan dikelola
dengan sistem zonasi. Sistem zonasi lebih mengatur hal yang bersifat teknis,
padahal permasalahan pengelolaan di TN tidak semata masalah teknis saja. Tetapi
juga menyangkut interaksi antara masyarakat yang ada di dalam kawasan
misalnya menyangkut hak penguasaan (property right) dan pengelolaan
sumberdaya alam, antara pemerintah dan masyarakat lokal (Padge et al. 2006;
Telfer & Garde 2006; Golar 2007).
Untuk mengakomodir sifat non teknis dan menyadari banyaknya
kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi, serta sesuai
dengan perubahan paradigma pembangunan kehutanan dan fungsi kawasan yang
dilindungi, maka di TN diperkenalkan dan diterapkan pengelolaan kolaborasi (comanagement). Hal ini didukung dengan dikeluarkannya kebijakan berupa
Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang
Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Namun demikian, pendekatan yang digunakan masih dengan cara pandang bahwa
masyarakat adalah sebagai obyek pengelolaan atau berperan sebagai partisipan
dalam pencapaian tujuan konservasi formal. Pengelolaan kolaborasi semacam ini
sudah diterapkan di beberapa TN, seperti TN Bunaken, TN Komodo dan TN
Lore Lindu. Namun sampai saat ini pengelolaan kolaborasi (co-management)
belum memberikan hasil yang memuaskan. Kendala utama yang dihadapi pada
umumnya adalah lemahnya dukungan kebijakan pemerintah, lemahnya
koordinasi, kapasitas sumberdaya manusia (SDM), keterbatasan sarana prasarana
dan dana, dan adanya tekanan pihak luar, sehingga masih terus diuji cobakan dan
dikembangkan (Purwanti 2008; Kassa 2009).
Belum tuntas pengembangan pola pengelolaan kolaborasi, pada tahun
2006 dimunculkan kebijakan pengelolaan TN model. Ada 20 TN yang ditetapkan
untuk menjadi TN mandiri. Namun sampai saat ini belum ditindaklanjuti dengan

2

pedoman pelaksanaannya, sehingga belum ada TN yang bisa mandiri. Kemudian
dimunculkan kebijakan pengelolaan TN berbasis resort, mencontoh sistem
pengelolaan hutan yang dilakukan oleh Perum Perhutani dalam bentuk Kesatuan
Pengelolaan Hutan Konservasi.
Apapun kebijakan pengelolaan yang diterapkan, ternyata sampai saat ini
pengelolaan oleh pemerintah belum menunjukkan hasil yang diharapkan dalam
pembentukan TN yaitu kelestarian kawasan. Bila dikaji ternyata kebijakan
pengelolaan sumberdaya alam yang diambil oleh pemerintah adalah menerapkan
pendekatan yang seragam dimana satu kebijakan diterapkan untuk semua kondisi
dan keadaan. Ini dirasakan tidak tepat, karena beda situasi, kondisi dan tempat
tentunya memerlukan perlakuan dan kebijakan pengelolaan yang berbeda pula.
Kondisi ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan pengelolaan
sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyarakat di beberapa TN pada daerah
kelola masing-masing yang sudah menunjukkan keberhasilannya (best practise).
Sebagai contoh: sistem pengelolaan hutan di Pulau Wangi-wangi TN Laut
Wakatobi (Arafah 2009), tata ruang masyarakat Sinduru di TN Lore Lindu
(Andriani 2007 diacu dalam Pokja Kebijakan Konservasi 2008), konsep hutan
rarangan di TN Batang Gadis (Ikhsan et al.2005), konsep keseimbangan alam
pada masyarakat Malind-anim dan masyarakat Dayak di TN Kayan Mentarang
(Kosmaryandi 2012). Lebih spesifik dalam pengelolaan hutan, kehutanan lokal
mampu mewujudkan keseimbangan sosial, daya tahan ekonomi dan
keberlanjutan fungsi lingkungan dan konservasi hutan (Darusman 2001;
Anshari et al. 2005; Golar 2007; Arafah 2009). Hal ini menunjukkan
masyarakat memiliki kemampuan yang perlu dipertimbangkan dalam
berperanserta mengelola hutan/sumberdaya alam.
Pengelolaan TN oleh pemerintah belum berjalan secara efektif, belum
dapat memberikan kontribusi yang berarti untuk meningkatkan kehidupan
masyarakat lokal. UU No 5 tahun 1990 sebagai UU pokok dalam pengelolaan TN,
masih sangat konservatif, lebih berat kepada perlindungan sistem penyangga
kehidupan serta pengawetan plasma nutfah. Sementara pengaturan aspek
pemanfaatan belum mendapat perhatian yang cukup. Pola pengelolaan yang
dominan pemerintah, tidak membuka peluang kerjasama atau pengelolaan oleh
berbagai pemangku kepentingan terhadap TN. Kondisi ini menyebabkan
terbatasnya peluang pemanfaatan potensi ekonomi TN bagi kesejahteraan
masyarakat, serta meningkatkan beban negara untuk membiayai pengelolaan TN.
Sementara itu sumberdaya pemerintah sangat terbatas, baik sumberdaya manusia
maupun sumberdaya finansial, sehingga TN dianggap sebagai cost centre.
Situasi tersebut terjadi juga di TN Danau Sentarum (TNDS) di Kalimantan
Barat, menyusul ditetapkannya kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi1.
Masyarakat dalam kawasan yang umumnya adalah nelayan dan periau2 yang
memanfaatkan dan mengelola danau, sungai dan hutan sebagai sumber mata
1

Kawasan Danau Sentarum ditunjuk sebagai kawasan konservasi awalnya sebagai Cagar Alam
dengan luas 80 ha berdasarkan SK Dirjen Kehutanan No 2240/DJ/I/1981 tgl 15 Juni 1981; pada 12
Oktober 1982 berdasarkan SK Menteri Pertanian No 757/Kpts-II/Um/10/1982, status kawasan tsb
ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa; dan berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan
Nomor 34/Kpts-II/1999 tgl 4 Pebruari 1999, kawasan Danau sentarum ditetapkan sebagai Taman
Nasional dengan luas 132.000 ha.
2
Periau adalah petani madu tradisional di TNDS

3

pencaharian dan urat nadi perekonomian menjadi terbatas ruang geraknya.
Keberadaan masyarakat dan aktivitas kehidupannya menjadi sesuatu hal yang
salah atau illegal dalam kawasan konservasi, padahal mereka telah lebih dahulu
ada, sebelum kawasan tersebut ditetapkan menjadi kawasan konservasi.
Akibatnya aktivitas ekonomi terhambat dan kesejahteraan masyarakat terabaikan.
Padahal, masyarakat dengan kelembagaan yang mereka miliki telah memiliki
aturan, sanksi, nilai-nilai serta kepercayaan yang kuat dan dipatuhi di antara
mereka dalam mengelola sumberdaya alam dan terbukti mampu menjaga
kelestarian sumberdaya alam yang ada (Basuni 2003; Flint dan Liloff 2005; Pagde
et al. 2006).
Penetapan kawasan konservasi yang pengelolaannya dipegang oleh
pemerintah dengan sistem zonasi, ternyata tidak menjadikan kawasan menjadi
lebih baik. Dari berbagai hasil penelitian dan kajian, terbukti selalu ada konflik
antara masyarakat dan pemerintah di dalam kawasan konservasi, yang berakibat
juga terhadap kelestarian dan keberlanjutan kawasan tersebut. Penerapan pola
pengelolaan TN oleh pemerintah sebagai state property regimes terbukti tidak
mampu untuk mengelola sumberdaya alam secara optimal dan memunculkan
berbagai permasalahan pengelolaan. Sebagai contoh di TNDS mengalami
berbagai permasalahan pengelolaan yang mendasar yang berkaitan dengan kondisi
biofisik TNDS dan yang berkenaan dengan pengelolaan. Bertambahnya penduduk
dalam kawasan, masih adanya kegiatan penebangan, terjadinya konversi hutan,
perubahan kualitas air, penurunan populasi ikan, terjadinya introduksi spesies
eksotik, seringnya terjadi kebakaran lahan dan hutan, kegiatan perburuan liar,
perubahan iklim global dan adanya rencana pembangunan bendungan merupakan
permasalahan yang berkaitan dengan kondisi biofisik TNDS (Yuliani et al. 2007;
Heri et al. 2010; Balai TNDS 2011). Sementara permasalahan dalam pengelolaan,
Balai TNDS 2011 menyatakan masih lemahnya Rencana Pengelolaan (RP) yang
dibuat baik dalam bentuk RPJP dan RPJM, selain itu antara RKL dan RKT
seringkali tidak sinkron dan ini diakui sebagai kelemahan pusat dan daerah,
kurangnya SDM, konflik pemanfaatan kawasan karena beberapa sebab (belum
ditetapkannya zonasi, batas kawasan masih belum mantap, batas digugat pihak
lain, pal batas hilang/dipindahkan/dirusak, dan atau tidak diakui masyarakat),
konflik kontradiksi kebijakan (antara kebijakan pusat dan kebijakan daerah),
perlengkapan yang belum memadai, lemahnya penegakan hukum, keterisolasian
kawasan dan penelitian yang masih terbatas dilakukan.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka fokus penelitian ini mengkaji
kembali kebijakan pengelolaan yang diterapkan oleh pemerintah dalam mengelola
TN, khususnya mengenai pola pengelolaan yang diterapkan berupa state property
regimes. Untuk memperoleh hasil yang lebih komprehensif, penelitian ini juga
memasukkan aspek ekonomi dan sosial. Aspek ekonomi dilakukan melalui
valuasi ekonomi, hal ini dikarenakan pengelolaan kawasan tidak terlepas dari
kepentingan ekonomi dan mencari jalan keluar agar TN dapat mandiri. Sementara
itu dari aspek sosial dilihat keterlibatan pemangku kepentingan dalam pengelolaan
TNDS serta modal sosial dan kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS.
Oleh karena itu penelitian ini juga menggunakan konsep nilai ekonomi total untuk
membahas nilai ekonomi yang dikandung TNDS; konsep pemangku kepentingan
untuk membahas keterlibatan berbagai pihak dalam pengelolaaan TNDS; konsep

4

modal sosial untuk membahas modal sosial masyarakat dan konsep kapabilitas
pemerintah untuk melihat kemampuan pemerintah dalam mengelola TNDS.

Perumusan Masalah
Seiring dengan terjadinya perubahan paradigma pengelolaan sumberdaya
hutan yang memperhatikan masalah ekologis, ekonomi dan sosial, serta
berjalannya desentralisasi dalam pengelolaan negara maka muncul berbagai
permasalahan antara pemangku kepentingan dalam pengelolaan TNDS.
Permasalahan pada sisi ekonomi ekologi adalah adanya kontradiksi antara fungsi
TNDS yang memiliki manfaat ekonomi dan juga manfaat ekologi. Danau
sentarum dari sisi ekologi berfungsi sebagai bendungan alam, sementara dari sisi
ekonomi menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat dan sumber untuk
memacu pendapatan asli daerah (PAD) bagi pemerintah daerah (Pemda)
Kabupaten Kapuas Hulu. Kepentingan yang sama terhadap sumberdaya TNDS
menimbulkan berbagai konflik, sehingga perlu diketahui nilai ekonomi manfaat
kawasan untuk menjawab masalah ekonomi ekologi ini.
Pada aspek sosial penetapan pengelolaan TNDS secara tunggal oleh
pemerintah menyebabkan keberadaan masyarakat dan pemangku kepentingan
lainnya terabaikan. Kenyataannya masyarakat nelayan di TNDS di setiap
kampungnya memiliki rukun nelayan, yaitu institusi yang mengatur
pemanfaatan sumberdaya perikanan. Sementara masyarakat peladang juga
memiliki aturan-aturan dalam pengelolaan SDA berupa lahan dan hutan.
Masyarakat mengelola sumberdaya di TNDS sebagai sumberdaya bersama
(common pool resources), dengan tetap mengakui hak-hak individu. Hak-hak
untuk memanfaatkan SDA diputuskan melalui musyawarah, dan bersifat
dinamis dan adaptif terhadap perubahan. Aturan-aturan tersebut terbukti sudah
mampu untuk mengelola SDA yang ada, yang sebenarnya merupakan modal
untuk pengelolaan yang berkelanjutan. Namun ada kesulitan dalam
menjatuhkan sanksi adat karena aturan-aturan adat tersebut belum diakui
secara resmi oleh pemerintah. Tanpa pengakuan pemerintah, aturan-aturan adat
secara perlahan mengalami degradasi, dan menyebabkan melemahnya
kemampuan masyarakat adat sebagai institusi untuk mengantisipasi perubahanperubahan akibat kemajuan teknologi dan pola hidup yang konsumtif.
Lemahnya institusi adat akan berdampak terhadap tingkat pengelolaan SDA,
yang kemungkinan mempercepat proses-proses tanpa aturan atau open
access.
Dari sisi kebijakan, pengelolaan TNDS lebih banyak mengacu pada
kebijakan dari pusat. Sementara kedudukan TNDS di daerah dengan
keberadaan penduduk di dalam kawasan sangat tergantung pada aturan-aturan
di daerah. Kebijakan dari pusat lebih banyak mengatur hal-hal yang bersifat
biofisik saja dan sangat sedikit memperhatikan masalah-masalah sosial yang
ada di dalam kawasan. Padahal kenyataannya timbulnya masalah-masalah
dalam pengelolaan SDA termasuk TN dikarenakan masalah sosial yang
menyangkut interaksi antara manusia di dalam suatu kawasan. Berbagai
keterbatasan kebijakan pusat yang menjadi acuan kerja Balai TNDS diduga
sebagai penyebab lemahnya pengelolaan yang saat ini berjalan.

5

Dengan berbagai potensi dan permasalahan yang telah diuraikan, maka
permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah pilihan kebijakan
pengelolaan yang bagaimana yang harus diterapkan dalam pengelolaan TNDS
agar pengelolaan menjadi efektif dan optimal? Pilihan kebijakan pengelolaan
dalam penelitian ini akan didekati dengan melakukan pendugaan manfaat dan
NET TNDS sebagai dasar dalam menentukan kebijakan pengelolaan dari sisi
kepentingan ekonomi ekologi, modal sosial masyarakat dan kapabilitas
pemerintah dalam pengelolaan yang kemudian dilakukan analisis bersama
dengan kebijakan yang berjalan selama ini dalam membentuk pilihan kebijakan
pengelolaan TNDS. Berdasarkan uraian diatas maka pertanyaan penelitian ini
adalah: a) Berapa potensi nilai ekonomi total dari kawasan ekosistem TNDS?;
b)Bagaimana keterlibatan dan kedudukan pemangku kepentingan dalam
pengelolaan di TNDS?; c) Bagaimana kondisi modal sosial dan kapabilitas
pemerintah dalam pengelolaan TNDS; dan d) Kebijakan apa yang saat ini
diterapkan pada pengelolaan TNDS sehingga masih menyebabkan tujuan dari
pembentukan TNDS tidak tercapai?

Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk merumuskan pilihan
kebijakan pengelolaan TNDS melalui pendekatan ekonomi, sosial dan kebijakan.
Tujuan umum dicapai melalui beberapa kajian dengan tujuan khusus, yaitu:
1 Menduga potensi nilai ekonomi total TNDS.
2 Menjelaskan pemangku kepentingan dalam pengelolaan TNDS.
3 Menguraikan modal sosial dan kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan
TNDS.
4 Mengkaji kebijakan dalam pengelolaan TNDS.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat pada aspek ilmu pengetahuan
berupa pengayaan dalam metodologi penilaian sumberdaya alam, analisis
pemangku kepentingan, kajian modal sosial, kajian kapabilitas pemerintah dan
pengelolaan TN. Pada aspek praktis pengelolaan TN diharapkan dapat menjadi
masukan bagi pembuat kebijakan untuk mengakui/melegalkan pemangku
kepentingan dalam pengelolaan TN, menerapkan pola pengelolaan berdasarkan
kondisi yang ada dan dalam pengelolaan TN didukung dengan kebijakan yang
berbasis insentif dan kebijakan daerah (Peraturan Daerah).

Novelty
Pengelolaan kawasan konservasi sering mengalami kegagalan karena masih
dikelola secara tunggal oleh pemerintah, menitikberatkan pengelolaan yang
bersifat biofisik berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
Penelitian ini mencoba menghasilkan pilihan kebijakan pengelolaan kawasan
konservasi menggunakan analisis yang holistik dan terpadu dalam pengelolaan

6

kawasan konservasi, dengan menggunakan pendekatan ekonomi, sosial dan
kebijakan. Dilakukan melalui penggalian manfaat dan pendugaan nilai ekonomi
kawasan, menganalisis pemangku kepentingan, menggali modal sosial masyarakat
yang tinggal di dalam kawasan, mengukur kapabilitas pemerintah serta analisa
kebijakan yang berjalan saat ini untuk menghasilkan pilihan kebijakan
pengelolaan kawasan konservasi yang optimal. Pilihan kebijakan pengelolaan
kolaborasi, pemerintah dan masyarakat merupakan ragam pengelolaan yang
diambil berdasarkan keadaan spesifik lokal, mensikronkan kepentingan
pemerintah dan masyarakat, meminimalkan resistensi dan memaksimalkan
sinergitas pemangku kepentingan diharapkan dapat diimplementasikan dalam
mendukung pengelolaan kawasan konservasi yang berkelanjutan.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Kawasan Konservasi
Ada tiga perbedaan utama pengelolaan SDA, yaitu preservationist,
conservationist, dan exploiter. Menurut preservationist, SDA sebanyak
mungkin harus dilindungi dan dilestarikan tanpa ada kegiatan pembangunan,
alam sebaiknya dibiarkan untuk mengatur dirinya. Sebaliknya bagi para exploiter,
SDA dimanfaatkan sebagai sumber energi dan sumber ekonomi. Sedangkan
paham konservasi berada pada kedua paham tersebut di atas, dimana konservasi
menghendaki pemanfaatan SDA yang arif sesuai dengan tuntutan kelestarian
tatanan ekosistem dan lingkungannya. Hal ini berarti perlu pendekatan
ekologi dan ekonomi yang berimbang dalam pemanfaatan sumberdaya alam,
sehingga dapat dikatakan conservationist mengembangkan advokasi pengelolaan
dengan prinsip-prinsip kelestarian (Alikodra 2000).
Dalam UU no.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya, sistem pengelolaan TN dilaksanakan oleh pemerintah dan
dikelola dengan sistem zonasi. Ada tiga zonasi dalam pengelolaan TN, yaitu :
1 Zona inti yaitu bagian kawasan TN yang mutlak dilindungi dan tidak
diperbolehkan adanya perubahan apa pun oleh aktivitas manusia.
2 Zona pemanfaatan yaitu bagian dari kawasan TN yang dijadikan pusat
rekreasi dan kunjungan wisata; dan
3 Zona lain diluar kedua zona tersebut karena fungsi dan kondisinya
ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan
traditional, zona rehabilitasi, dan sebagainya.
Dalam Permenhut No.56 tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi TN
disebutkan bahwa zonasi TN adalah suatu proses pengaturan ruang dalam TN
menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan
dan analisis data, penyusunan draft rancangan, rancangan zonasi, konsultasi
publik, perancangan, tata batas, dan penetapan, dengan mempertimbangkan
kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.
Adapun tujuan dari zonasi adalah untuk membatasi tipe-tipe habitat penting untuk
perlindungan keanekaragaman hayati dan konservasi sumberdaya ekonomi.

7

Adanya zonasi diharapkan pemanfaatan SDA dapat dikontrol secara efektif guna
mencapai sasaran dan tujuan dari suatu kawasan konservasi (Salm et al. 2000).
Sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai, prinsip-prinsip yang harus
diadopsi dalam pengelolaan TN adalah: prinsip kemantapan kawasan, kelestarian
fungsi ekologi, kelestarian fungsi ekonomi sumberdaya, dan kelestarian fungsi
sosial budaya. Prinsip-prinsip tersebut dijabarkan menjadi dimensi hasil yang
kemudian dinyatakan sebagai kriteria kinerja pencapaian pengelolaan TN
lestari (WWF 2006).
Desentralisasi telah membawa implikasi dalam pengelolaan sumberdaya
alam dimana masyarakat setempat dapat berpartisipasi aktif dalam proses
pengelolaan kawasan konservasi. Perubahan paradigma pengelolaan kawasan
konservasi (Tabel 1) terjadi setelah implementasi UU No.22 tahun 1999
(kemudian diganti dengan UU No.32 tahun 2004) tentang Pemerintahan Daerah.
Sebenarnya proses desentralisasi telah dimulai pada awal tahun 1990-an ketika
Dirjen PHKA mengadopsi konsep Integrated Conservation and Development
Program (ICDP). Program ICDP didanai oleh USAID, Bank Dunia dan beberapa
LSM internasional yang mengkaitkan program konservasi dengan
pengembangan alternatif kegiatan ekonomi masyarakat sekitar kawasan dengan
merangkul seluruh pemangku kepentingan dan mengakomodasi seluruh dimensi
pembangunan yang menjadi tujuan bersama (Well et al. 1999).
Konsep ICDP merupakan pendekatan pengelolaan secara multidisiplin
yang mengaitkan pelestarian keanekaragaman hayati di kawasan lindung
dengan pembangunan sosial ekonomi masyarakat setempat (Wiratno et al.
2004). Sebelumnya, konservasi dan pembangunan dianggap sebagai dua hal yang
terpisah bahkan saling bertentangan. Konsep ini diterima dengan baik karena
menawarkan pendekatan alternatif bagi pengelolaan kawasan lindung yang
layak secara politis, dan memberi kontribusi bagi pencapaian tiga sasaran utama
agenda pembangunan berkelanjutan yaitu konservasi keanekaragaman hayati yang
efektif, peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam konservasi dan
pembangunan, serta pengembangan ekonomi masyarakat miskin di pedesaan
(Well et al. 1999; Wiratno et al. 2004). Hal ini disikapi pemerintah dengan
mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19 tahun 2004 tentang
Kolaborasi Pengelolaan KSA dan KPA.
Co-management atau pengelolaan kolaboratif menurut Borrini-Feyerabend
(2000) diartikan sebagai kesepakatan dua atau lebih pemangku kepentingan untuk
membagi informasi, peran, fungsi dan tanggung jawab dalam suatu hubungaan
dan mekanisme kemitraan (partnership) yang disetujui secara bersama. Comanagement dalam mengelola kawasan konservasi di Indonesia memang
diperlukan, karena menyangkut kompleksnya sub-sistem ekologi, budaya,
ekonomi dan politik dengan berkaitan berbagai isu dan keterlibatan banyak
kelompok kepentingan dalam masing-masing subsistemnya. Kerjasama dari
seluruh pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan konservasi akan
meringankan beban biaya yang dibutuhkan karena para pemangku kepentingan
yang terkait akan saling bahu membahu menyumbangkan sumberdaya yang
dimilikinya berupa pengetahuan, tenaga, informasi maupun pembiayaan.

8

Tabel 1 Pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi
Topik
Tujuan

-

Paradigma lama
Hanya untuk tujuan konservasi
semata
Dibangun utamanya untuk
perlindungan hidupan liar yang
istimewa
Dikelola khusus untuk
pengunjung wisatawan
Nilai utamanya : wild life
About protection

Pengelolaan

-

Oleh pemerintah pusat

-

Masyarakat
setempat

-

Perencanaan dan pengelolaan
―memusuhi‖ masyarakat
setempat
Pengelolaan tanpa
memperdulikan opini pendapat
masyarakat
Dikembangkan terpisah
Dikelola seperti pulau biologi

-

-

-

-

Cakupan
pengelolaan

-

-

-

-

-

Persepsi

-

Teknik
pengelolaan

-

-

Pendanaan

-

Kemampuan
manajemen

-

Dipandang utamanya sebagai
asset nasional (milik
pemerintah)
Dipandang hanya untuk
kepentingan nasional
Pengelolaan kawasan
konservasi sebagai respon
jangka pendek
Orientasi pengelolaan hanya
difokuskan pada orientasi
teknis
Dibayarkan hanya dari pajak
(taxpayer) pemerintah

Dikelola oleh ilmuwan dan
para ahli sumberdaya
Pemimpin ―ahli‖

-

-

-

-

Paradigma baru
Mencakup tujuan konservasi dan
ekonomi
Dikembangkan juga untuk alasan
ilmiah, ekonomi dan budaya
Dikelola bersama masyarakat
setempat
Mencakup juga nilai budaya dan
wild life yang dilindungi
Also about restoration,
rehabilitation and socio-economic
purposes
Melibatkan para pihak yang
berkepentingan
Dikelola bersama, untuk dan
dikelola oleh masyarakat setempat
Dikelola dengan mengakomodasi
kepentingan masyarakat setempat

Direncanakan dan dikembang-kan
sebagai bagian dari system nasional,
regional dan internasional
dikembangkan dalam bentuk
‗jaringan‘ (Protected Area Network)
merupakan
koridor jalur hijau
Dipandang sebagai asset publik
(milik masyarakat)
Dipandang juga sebagai kepentingan
internasional
Pengelolaan diadaptasi menurut
perspektif jangka panjang
Orientasi pengelolaan juga
mempertimbangkan aspek politik

Dibiayai dari berbagai sumber
keuangan yang memungkinkan
(pemerintah, swasta, masyarakat
nasional – internasional)
Dikelola oleh multi-skilled
individual
Dikembangkan dari kearifan lokal
(local knowledge)

Sumber : dimodifikasi dari IUCN dalam Purwanti 2008
Transformasi pola pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat,
pemerintah, swasta, dan kemudian kolaborasi antara pemerintah dengan
masyarakat lokal agaknya merupakan tuntutan universal, yang berlaku bukan
cuma di Indonesia. Di India telah terjadi empat tahap evolusi pola pengelolaan
sumberdaya alam, khususnya hutan, dari kolonialisme, komersialisme, konservasi,
dan sekarang kolaborasi, sementara di Nepal terjadi tiga tahap evolusi yakni
privatisasi, nasionalisasi, dan populisme (David et al. 2003). Bahkan pergeseran

9

juga terjadi di beberapa bagian Amerika Serikat tempat asal muasal pengelolaan
eksklusif kawasan konservasi yang mulai bergeser menuju co-management.
Peranserta masyarakat yang meluas dan tidak sekedar simbolik ternyata
menunjukkan hasil yang baik dimana produktifitas tercapai tanpa menyampingkan
kepentingan kelestarian lingkungan dan eksistensi masyarakat sekitar. Pemerintah
di Negara India dan Nepal, berkeyakinan bahwa masyarakat berkemampuan,
memiliki pengetahuan, dan kearifan yang handal untuk mengelola sumberdaya
alam secara produktif dan lestari. Kolaborasi dengan masyarakat adalah
merupakan kebutuhan dan keharusan, karena tujuan produksi dan pelestarian
dapat dicapai secara lebih efektif dan pada saat yang sama tercipta suatu
mekanisme resolusi konflik yang interaktif dan dialogis (Means et al. 2002).
Beberapa contoh co-management yang telah berhasil dilaksanakan dalam
pengelolaan TN (disarikan dari Merrill dan Effendi 2001 dan Putro et al. 2012)
diantaranya adalah:
Co-management di TN Bunaken, Sulawesi Utara yang wadahnya dikenal
dengan Dewan Pengelolaan TN Bunaken (DPTNB). Salah satu hasil
rumusannya adalah penentuan tiket masuk TN Bunaken dan pendistribusian
hasil pungutan tiket masuk tersebut yang diperkirakan sekitar Rp 750 juta per
tahun. Pendistribusian tersebut yakni: 5 persen untuk dana pembangunan
propinsi, 5 persen untuk pembiayaan pembangunan daerah-kota, 5 persen
untuk pusat yang diperuntukkan untuk pembangunan KSDA dan
ekosistemnya melalui Dephut cq. Ditjen PKA), dan 85 persen untuk dana
pendukung pengelolaan TN Bunaken.
Co-management di TN Kutai, Kalimantan Timur yang dikenal dengan Mitra
Kutai, berhasil memberikan kontribusi bantuan keuangan bagi pengelolaan
TN Kutai melalui rencana kerja tahunan senilai US$ 100.000 – US$150.000
per tahun.
Co-management di TN Kayan Mentarang, Kalimantan Timur, yang hingga
saat ini merupakan satu-satunya TN yang secara legal dinyatakan sebagai TN
Kolaboratif, dan mempresentasikan hubungan formal antara pemerintah
dengan pemerintah kabupaten, serta perwakilan masyarakat adat dalam proses
pengambilan kebijakannya. Implementasi pengelolaan kolaboratif TNKM
adalah diperolehnya peta tata guna lahan 10 wilayah adat dan menjadi konsep
awal zonasi, dilakukan devolusi pengelolaan kepada Badan Pengelola Tanah
Ulen (BPTU), kesepakatan menyatukan zonasi versi negara dan versi
masyarkat adat dan membangun kesepakatan mengenai tema pengelolaan
TNKM.
Co-management di TN Gunung Halimun Salak, Jawa Barat dalam
pengusahaan ekowisata berbasis masyarakat. Kolaborasi antara Balai TNGHS
dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Warga Salutu dan Yayasan
Ekowisata Halimun. Kolaborasi ini telah meningkatkan jumlah kunjungan ke
TNGHS ± 4000 orang per tahun sehingga secara bertahap perekonomian
masyarakat mengalami peningkatan. Distribusi pendapatan dari ekowisata
Halimun diatur sebagai berikut: 20 persen manajemen KSM, 20 persen
perawatan infrastruktur, 20 persen dana sosial, 10 persen promosi, 10 persen
konservasi, 10 persen pendidikan KSM, dan 10 persen keamanan
wilayah/lingkungan

10

Co-management di TN Bukit Duabelas, Jambi dalam usaha pelestarian
kehidupan Orang Rimba. Sejak tahun 2002, LSM WARSI, Balai TNBD, dan
BKSDA Jambi memfasilitasi pembentukan lembaga kemandirian Orang
Rimba. Capaian yang diperoleh adalah hak wilayah hidup Orang Rimba seluas
60.500 ha telah diakui, ―hompongan‖ (bentuk penataan ruang dan alternatif
pemanfaatan lahan berupa pembuatan agroforestri berbasis tanaman karet)
sangat efektif untuk menahan tekanan perambahan dan menjadi sumber
ekonomi orang rimba, dukungan riil dari pemda berupa pemberian fasilitas
kartu sehat, bantuan bibit dan alat pertanian serta pembangunan wanatani
untuk desa.
Co-management di Great Barrier Reef Marine Park, Australia yang dikelola
oleh badan otorita khusus dengan mempekerjakan ratusan orang dan
memperoleh lebih dari 1 (satu) juta Dollar Australia setiap tahunnya. Dalam
pengelolaan TN ini Kepala TN selalu berkonsultasi dengan kelompokkelompok yang berkepentingan termasuk masyarakat di sekitar TN yang
kehidupannya tergantung dari sumberdaya TN tersebut. Selain itu workshop
diantara para kelompok yang berkepentingan sering pula dilaksanakan untuk
menyetujui keputusan pengelolaan yang spesifik seperti pengaturan
peruntukan (zoning). Keberhasilan co-management tersebut akhirnya diikuti
oleh Kakadu National Park dan Coburg National Park.
Berdasarkan contoh co-management yang telah berhasil dilakukan tersebut,
dapat diketahui bahwa pengelolaan kolaborasi tidak dapat mencakup semua aspek
kegiatan di dalam TN, namun hanya terbatas untuk kegiatan-kegiatan tertentu.
Berarti perlu dukungan bentuk pengelolaan lain agar dapat mengelola TN dengan
efektif, bisa berupa pengelolaan oleh masyarakat, pemerintah maupun swasta.
Desentralisasi pengelolaan kawasan konservasi merupakan