Anemia dan Transfusi Sel Darah Merah pada Pasien Kritis

Harris Hasan dkk.

Hubungan Mikroalbuminuria dengan Penyakit…

TINJAUAN PUSTAKA

Anemia dan Transfusi Sel Darah Merah pada Pasien Kritis
Achsanuddin Hanafie
SMF-Anestesi dan Reanimasi
FK-USU/RSUP Hají Adam Malik, Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan

Abstrak: Anemia sering terdapat pada pasien kritis, dengan insiden antara 29% sampai 37%. Pasien
dengan penyakit jantung iskhemia mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk menderita akibat
konsekwensi dari keadaan anemia. Penelitian secara random dengan jelas menunjukkan bahwa
strategi membatasi transfusi dapat menurunkan kebutuhan dalam pemberian transfusi sel darah
merah dan tidak mengakibatkan konsekwensi klinis yang berubah. Penelitian lebih lanjut diperlukan
bagi populasi dengan resiko tinggi (seperti pasien dengan sindroma koroner akut dan syok septik dini)
dan juga pada anak-anak.
Abstract: Anemia is very common among critically ill patients, ranking in incidence from 29% to
37%. Patients with ischemic heart disease may appear to be at increased risk for adverse
consequences from anemia. Randomized trials clearly indicate that restrictive transfusion strategies

decreased the need for red blood cell transfusion and do not result in adverse clinical consequences.
Further studies are required in high-risk populations (acute coronary syndromes and early septic
shock) as well as children.

PENDAHULUAN
Anemia adalah masalah yang sering terjadi
pada pasien kritis yang dirawat di ruangan
intensip (ICU). Pada penelitian “crosssectional”, 29% pasien dengan kadar Hb di
bawah nilai normal dan 37% pasien
membutuhkan transfusi sel darah merah.
Keputusan untuk pemberian transfusi sel darah
merah (RBC) dalam pengobatan karena anemia
dan perdarahan membutuhkan pengertian yang
jelas tentang resiko dan keuntungan. Walaupun
telah dikembangkan lebih jelas tentang resiko
infeksi dan immunomodulasi dari transfusi sel
darah merah selama dua dekade lalu, resiko
anemia dan keuntungan transfusi RBC masih
belum mempunyai kharakteristik yang jelas.
Dugaan bahwa resiko anemia adalah

berhubungan dengan buruknya kapasitas
transport oksigen dan penurunan volume
plasma. Konsekuensi keadaan klinis yang
memburuk akibat anemia bergantung kepada
kapasitas individu dalam mengkompensasi
perubahan keadaan diatas.Keuntungan tambahan
dari manfaat transfusi sel darah merah selain
memperbaiki resiko tersebut diatas adalah
meningkatkan oksigen transport diatas normal.

Kerangka acuan tertentu ada yang mengenai
konsep resiko dan manfaat. Dengan adanya
pengecualian pada pasien yang menolak
transfusi darah oleh karena alasan religius,
adalah tidak mungkin, di luar pengujian secara
acak, untuk menghilangkan secara jelas diantara
pertentangan resiko dan manfaat terhadap si
pasien.1
ANEMIA YANG TIDAK TERKOREKSI
Sejumlah besar penelitian laboratorium

menyatakan adanya hemodilusi ekstrem dapat
ditoleransi dengan baik pada hewan- hewan yang
sehat. Hewan- hewan dengan hemodilusi akut
mentoleransi penurunan kadar Hb hingga 50 – 30
g/L, dengan adanya perubahan elektrokardiografik
iskemik dan fungsi ventrikel yang tertekan, yang
mana terjadi masing- masing pada tingkat kadar Hb
ini. Memang, hemodilusi akut kurang tertoleransi
pada model hewan percobaan dengan stenosis
koroner,
dengan
perubahanperubahan
elektrokardiografik iskemik dan penekanan fungsi
jantung yang terjadi pada kadar Hb antara 70 dan
100 g/L. Pada manusia batas toleransi anemia
adalah tidak adekwat dan kadang-kadang
bertentangan. Leung dkk menemukan perubahan

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006


243

Tinjauan Pustaka

pada
elektrokardiografik
yang
mungkin
menunjukkan miokardial iskemi pada 3 dari 55
sukarelawan yang didapati adanya hemodilusi
isovolemik akut dengan kadar Hb 50 g/L.2
Bila diteliti respon fisiologis manusia
terhadap anemia akut, data percoban di atas
sangat terbatas artinya dalam aplikasinya untuk
keadaan perioperatif, yang mana banyak faktorfaktor yang mempengaruhi konsumsi oksigen
termasuk perubahan-perubahan pada aktifitas
otot, suhu tubuh, frekuensi nadi, aktifitas
simpatetik, dan keadaan metabolik. Karena itu,
kita harus menentukan resiko penundaan
transfusi sel darah merah saat perioperatif. Dari

sebuah tinjauan sistematik yang lengkap oleh
Canadian Guidelines on Red cells, Herbert dkk
mengidentifikasi banyak laporan anemia berat
yang cukup tertoleransi pada pasien- pasien
bedah. Laporan- laporan tambahan atau banyak
kasus menggambarkan hasil yang sukses pada
pasien anemia kronis sebagai akibat dari gagal
ginjal. Akhirnya, penelitian deskriptif pada
pasien yang menolak transfusi sel darah merah
dan dari bagian- bagian yang mengalami
keterbatasan suplai darah telah menunjukkan
bahwa pasien- pasien bisa bertahan terhadap
intervensi bedah dengan kadar Hb serendah 45
g/L.3
Di dalam memeriksa beberapa penelitian ini
secara lebih detil, telah muncul hubungan antara
Hb pre- bedah, kehilangan darah pada saat operasi,
dan mortalitas post- operasi. Sebenarnya, tidak ada
kematian yang dilaporkan pada lebih dari 100
pasien yang sedang mengalami bedah mayor

elektif saat Hb pra- bedah > 80 g/L dan perkiraan
kehilangan darah < 500 ml. Pada suatu pusat
penelitian ada 542 kasus pasien- pasien Jehovah’s
yang menjalani prosedur bedah jantung, tingkat
kematian seluruhnya adalah 10,7% ; hanya 2,2%
kematian yang dianggap sebagai konsekuensi
anemia. Laporan terakhir, Viele dan Weiskopf
melaporkan 134 pasien Jehovah’s dengan Hb < 80
g/L atau Ht < 24% yang diobati untuk berbagai
kondisi medis dan bedah tanpa pemberian transfusi
darah ataupun komponen darah. Dilaporkan 50
kasus kematian, yang mana 23 kasus dihubungkan
dengan anemia (kematian dengan kadar Hb < 50
g/L). Bagi pasien yang meninggal karena anemia,

244

60% adalah yang berusia di atas 50 tahun. 27 kasus
yang selamat dengan Hb < 50 g/L, 65% adalah
yang berusia di bawah 50 tahun. Walaupun bias

publikasi harus diyakini, di dalam pemeriksaan
data- data ini, pasien muda yang sehat dapat
bertahan tanpa transfusi pada kadar Hb di kisaran
50 g/L. Dari data ini, jelas bahwa anemia yang
ekstrim sering ditoleransi pada saat perioperatif,
tapi juga menunjukkan meningkatnya resiko
kematian. Penelitian ini tidak boleh diartikan
sebagai untuk mendukung terhadap strategi
restriktif atau konservatif, terutama karena
kebanyakan literatur berhubungan dengan toleransi
anemia tidak menjelaskan karakteristik pasien
dengan kemungkinan hasil yang buruk terhadap
keadaan anemia yang sedang sampai berat.5
ANEMIA PADA KELOMPOK RISIKO
TINGGI
Sejumlah faktor resiko mengenai akibat
buruk yang berhubungan dengan anemia telah
diidentifikasi dalam penuntun praktis klinis dan
tinjauannya. Anemia diyakini sedikit ditoleransi
pada pasien yang lebih tua usianya, pada yang

berpenyakit parah, dan pada pasien dengan
kondisi klinis tertentu, seperti penyakit
pembuluh darah, penyakit serebrovaskular,
ataupun penyakit pernafasan. Begitupun, tidak
ada bukti klinis yang mengkonfirmasi bahwa
faktor- faktor diatas berhubungan dengan
meningkatnya resiko hasil yang buruk. Satu
laporan penelitian dari bedah jantung - vaskular
resiko tinggi menyatakan bahwa ada
peningkatan terjadinya resiko gangguan jantung
post-operatif akibat kejadian anemia. Pada dua
laporan penelitian perioperatif dan pasien yang
kritis, telah mencatat bahwa peningkatan derajat
anemia berkaitan dengan peningkatan yang tidak
sesuai dalam tingkat kematian pada sub grup
pasien dengan penyakit jantung. Pada tahun
1958, pasien Jehovah’s, pergeseran odds
kematian meningkat dari 2,3 (95% interval
konfiden, 1,4 - 4,0) sampai dengan 12,3 (95%
interval konfiden, 2,5 – 62,1) sebagaimana kadar

Hb preoperatif menurun dari (100 – 109 g/L) –
(60 - 69g/L) pada pasien dengan penyakit
jantung (gambar-1).4,5

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

Achsanuddin Hanafie

Anemia dan Transfusi Sel Darah Merah...

Gambar 1. Odds rasio terkoreksi mengenai kematian oleh karena penyakit kardiovaskular dan Hb
preoperatif (Hgb)

Tidak ada peningkatan bermakna dalam
mortalitas pada pasien non kardiak dengan
perbandingan pada tingkat anemianya. Pada
penelitian yang terpisah mengenai penyakit yang
kritis, yang berpenyakit jantungdan Hb < 95 g/L
umumnya meningkatkan angka mortalitas (55%
banding 42% ; p= 0.09) sebagaimana

dibandingakn dengan pasien- pasien anemia
dengan diagnosa yang lain. Walaupun penelitian
cohort tersebut bersifat retrospektif dan tidak
mempunyai kontrol terhadap sejumlah temuan
yang baru, bukti menyatakan bahwa anemia
meningkatkan resiko kematian pada pasienpasien dengan penyakit jantung yang
bermakna.6
Beratnya penyakit juga merupakan
faktor resiko pada pasien yang sakit kritis. Dua
laporan penelitian retrospektif menunjukkan
bahwa
banyaknya
kehilangan
darah
berhubungan dengan mortalitas perioperatif.
Tetapi, tidak ada penelitian yang meneliti
kontribusi
independen
usia,
penyakit

serebrovaskular, dan penyakit paru di dalam
meningkatkan resiko kematian pada pasienpasien anemia. Hubungan ini mungkin cukup
kompleks,
terkait
usia
dan
penyakit
serebrovaskular merupakan faktor- faktor resiko
yang berkaitan dengan penyakit arteri koronaria.
Penyakit paru yang berhubungan dengan
merokok mungkin punya kemiripan dengan
penyakit jantung. Sehingga, hubungan antara
anemia dengan peningkatan hasil yang buruk ini
merupakan suatu spekulatif . 8
RISIKO DAN MANFAAT DARI TRANSFUSI
Empat penelitian besar yang secara khusus
dibuat untuk membandingkan akibat klinis pada
kadar Hb yang beragam pada pasien yang
ditransfusi dan pasien yang tidak ditransfusi yang
telah dilakukan di berbagai tempat klinis. Pada
awal dari semua ini, Hébert dan kawan- kawan

menggunakan desain retrospektif dan cohort
prospektif untuk meneliti 4470 pasien kritis yang
diopname di 6 ICU tingkat tertier di Canada
selama tahun 1993. Pada pasien dengan diagnosa
jantung (penyakit jantung iskemi, aritmia, henti
jantung atau prosedur bedah vascular dan jantung),
ada sebuah tren kenaikan mortalitas saat kadar Hb
< 95 g/L. Selanjutnya, analisa sub grup 202 pasien
dengan anemia, dengan nilai Acute Physiology and
Chronic Health Evaluation (APACHE) II lebih
besar dari 20, dan diagnosa jantung menyatakan
bahwa transfusi 1 – 3 unit atau 4 – 6 unit sel darah
merah dikaitkan dengan tingkat kematian yang
lebih rendah secara bermakna dibandingkan
dengan pasien- pasien yang tidak mendapatkan
transfusi (55% [tanpa transfusi] dibanding 35% [1
– 3 unit] atau 32% [4 – 6 unit] ; p=0.01). Walaupun
desain analisa bertujuan untuk mencari hubungan
dari beratnya penyakit, jumlah transfusi dan derajat
anemia telah menghasilkan hubungan yang erat
antara diagnosa kardiovaskular dengan laporan
resiko kematian akibat anemia.7
Wu dkk secara retrospektif meneliti 78.974
pasien yang berusia di atas 65 tahun yang
dirawat dengan diagnosa miokard infark akut.
Penulis kemudian mengkategorikan pasien
menurut kadar Ht saat masuk. Walaupun
anemia, yang digambarkan dalam penelitian
dengan Ht di bawah 39%, yang terdapat pada
hampir pada setengah jumlah pasien, hanya
3680 pasien yang menerima transfusi sel darah
merah. Kadar rendahnya Ht dikaitkan dengan
meningkatnya tingkat kematian pada 30 hari,
dengan tingkat mortalitas mendekati 50%
diantara pasien dengan Ht 27% atau lebih
rendah yang tidak mendapat transfusi sel darah
merah. Sayangnya, penelitian ini tidak memiliki
data apapun pada Hb nadir dan hubungannya
dengan kematian. Menariknya , transfusi sel
darah merah dikaitkan dengan menurunnya
angka kematian 30 hari pada pasien yang

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

245

Tinjauan Pustaka

memperoleh sedikitnya satu unit transfusi darah
bila pada waktu masuknya keruangan dengan
kadar hematokrit 33%, sementara transfusi sel
darah merah berhubungan dengan meningkatnya
angka kematian 30 hari pada pasien yang pada
waktu masuk ke ruangan dengan kadar
hematokrit 36,1% atau lebih tinggi. Dalam
analisa, hubungan ini ada bahkan saat perubahan
dibuat pada faktor klinis si pasien, termasuk
nilai APACHE II, lokasi dari miokard infark,
dan adanya gagal jantung kongesti serta faktor
terapi, termasuk pemakaian reperfusi terapi,
aspirin, dan pengahambat beta adrenergik.9
Dalam penelitian yang hanya memfokuskan
pada periode perioperatif, Carson dan
serikatmengusahakan untuk mendeterminasikan
efek transfusi perioperatif pada 30 dan 90 hari
post operatif
mortalitas dengan penelitian
kohort retrospektif yang melibatkan 8787 pasien
dengan fraktur panggul yang sedang mengalami
perbaikan antara tahun 1983 – 1993 di 20 rumah
sakit yang berbeda di Amerika. Ini merupakan
suatu populasi yang besar, beresiko tinggi, lebih
tua (usia median 80,3 tahun) dengan penyakit
yang muncul berbarengan secara ekstensif dan
dengan keseluruhan tingkat kematian 30 hari
sebesar 4,6%. Keseluruhan 3699 pasien (42%)
menerima transfusi perioperatif dalam 7 hari
perbaikan pra bedah. Setelah mengendalikan
pemicu kadar Hb, penyakit kardiovaskular , dan
faktor resiko kematian lainnya, hasilnya
menyatakan bahwa pasien dengan kadar Hb 80
g/L dan tidak mendapat transfusi tidak akan
segera meninggal
dibanding dengan yang
mendapat transfusi (dengan Hb < 80 g/L, hampir
semua pasien mendapat transfusi , sehingga
penyidik tidak mampu mengambil kesimpulan
mengenai efek transfusi pada Hb yang lebih
rendah ini). Memang, seperti yang ditegaskan
penulis, selain sampel yang besar, kekuatan
yang tidak adekuat masih menjelaskan
ketidakmampuan untuk mendeteksi suatu
reduksi kematian yang berkaitan dengan
transfusi dan mereka menghitung bahwa
penelitian akan memerlukan 10 kali lebih besar
untuk mendeteksi 10% perbedaan dalam
mortalitas 30 hari dengan kekuatan 80%.
Yang lebih baru lagi, Vincent dan rekan
melengkapi penelitian “ cross- sectional” dengan
pengamatan prospektif yang melibatkan 3534
pasien di 146 ICU di Eropa Barat selama
periode 2 minggu pada November 1999. 37%
pasien mendapat transfusi sel darah merah
selama di ICU, dengan tingkat transfusi
keseluruhan meningkat hingga 41,6% dalam 28
hari. Bagi pasien yang mendapat transfusi, kadar
246

Hb rata- rata per transfusi 84 ± 13 g/L. Dalam
usaha mengontrol faktor- faktor yang
berbarengan ada yang diakibatkan penyakit yang
parah dan kebutuhan transfusi, penyidikpenyidik ini memakai suatu strategi pencocokan
pasien yang ditransfusi dan yang tidak
ditransfusi, berdasarakan propensitas untuk
menerima transfusi, yakni pembedaan 2 grup
yang balansnya bagus (516 pasien, masingmasing grup) untuk mendeterminasi pengaruh
transfusi sel darah merah terhadap mortalitas.
Pemakaian pendekatan ini, kaitan resiko
kematian yang mendapat transfusi walaupun
turun pada 33% pasien yang mendapat transfusi
daripada yang mana pasien tersebut tidak
mendapat transfusi. Tetapi, seperti yang
ditunjukkan, akibat mungkin telah dibedakan
bila nilai propensitas dibedakan secara terpisah
kategori kadar Hb per transfusi (contoh : < 80,
80 – 100, dan > 100g/L) selain Hb di ICU.
Contohnya : bila seseorang dipertimbangkan
grup pasien dengan Hb per transfusi < 60 g/L,
adalah tidak sama dengan yang 33% yang
meningkat dalam hal mortalitas yang akan terus
nyata
ataupun
tidak
akan
pernah
direkomendasikan untuk transfusi.
Sayang sekali, seperti yang dibuktikan oleh
tinjauan sistematik yang baru, terdapat pausitas
uji klinik yang membandingkan restriktif
tehadap penelitian transfusi liberal untuk
menyidik efikasi transfusi sel darah merah.
Carson dan rekan (gambar- 2) mampu
mengetahui hanya 10 uji klinis acak dari kualitas
metodologik adekuat yang berbeda dari pemicu
transfusi sela darah merah yang dinilai tersebut.
Termasuk 1780 pasien bedah, pasien trauma,
dan pasien ICU yang berperan dalam uji yang
diperkuat dalam 40 tahun terakhir. Pemicu
transfusi dinilai dalam beragam uji ini antara 70
dan 100 g/L. data mortalitas atau lama opname
tersedia hanya 6 dari uji- uji ini. Pemicu
transfusi konservatif (Hb rendah) tidak
berhubungan dengan kenaikan tingkat kematian,
pada rerata, tingkat kematian adalah 1/5 resiko
yang lebih rendah (resiko relatif, 0.80; 95% Cl,
0,63 – 1,02) dengan konservatif daripada dengan
pemicu transfusi liberal. Seperti, morbiditas
jantung dan lama tinggal (opname) di rumah
sakit tidak tanpak secara buruk dipengaruhi
tingkat lebih rendah dari transfusi sel darah
merah. Ada data yang tidak cukup, dalam hal
akibat klinis yang relevan secara potensial,
seperti
stroke,
tromboembolisme,
gagal
multiorgan, delirium, infeksi dan luka yang
tidak sembuh untuk dilakukan pooling analisa
manapun. Carson dan rekan menyatakan adanya

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

Achsanuddin Hanafie

data yang pincang mengenai resiko penuh dan
manfaat yang dikaitkan dengan ambang
transfusi yang berbeda, khususnya pada pasien
yang ada penyakit sebelumnya. Mereka juga
mencatat bahwa analisa meta- nya didominasi
oleh uji tunggal: uji Kebutuhan Transfusi pada

Anemia dan Transfusi Sel Darah Merah...

Rawatan Kritis (TRICC) yang melibatkan 838
pasien dan hanya uji individual yang
diidentifikasi secara adekuat diperkuat untuk
menilai dampak strategi transfusi yang berbeda
strategi transfusi pada mortalitas dan morbiditas.

Gambar 2. Efek restriktif dari transfusi yang bisa memicu pemakaian transfusi darah alogenik (Carson,
et al, 2002, p. 187-199)

Penelitian TRICC mencatat keseluruhan
trend yang tidak bermakna terhadap penurunan
mortalitas 30 hari (18,7% banding 23,3%;
p=0,11) dan penurunan yang bermakna dalam
mortalitas diantara pasien- pasien yang
penyakitnya kurang akut (8,7% banding 16,1% ;
p=0,03) dalam kelompok yang diobati memakai
pemicu transfusi Hb 70 g/L dibandingkan
dengan kelompok transfusi yang lebih liberal

pada kelompok yang mendapat lebih banyak
transfusi sel darah merah sebanyak 54%.
Penyidik juga mencatat bahwa tingkat kematian
30 hari lebih rendah secara bermakna dengan
adanya strategi trnasfusi restriktif diantara
pasien- pasien yang kurang akut penyakitnya
(nilai APACHE II