Women conservation movement in Nyungcung : a result of an interaction between poverty, patriarchy and NGO's influence

GERAKAN KONSERVASI PEREMPUAN NYUNGCUNG:
HASIL INTERAKSI ANTARA KEMISKINAN,
BUDAYA PATRIARKI, DAN PENGARUH ORNOP
(Women Conservation Movement in Nyungcung: A Result of An
Interaction between Poverty, Patriarchy and NGO’s Influence)

ULFA HIDAYATI

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

“Kekuatan kami adalah kekuatan alam. Kekuatan kami untuk melawan Gujral1 berasal
dari sumber di dalamnya dan diperkuat oleh usaha mereka untuk menindas dan
mengubur kami dengan kekuatan palsu mereka, yaitu uang”
(Itwari Devi, perempuan dari Desa Nahi-Kala, dalam Shiva dan Mies 1993)

“Perempuan mah tidak pernah berhenti bekerja, walaupun badan lagi enggak enak,
tetap saja bekerja. Kalau sudah mati, baru perempuan berhenti bekerja....”
(On dari Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Bogor, 2002)


“Untuk mengetahui sesuatu, seseorang harus mengubahnya”
(Mies 1991)

1

Pemilik perusahaan pertambangan batu kapur yang beroperasi di Desa Nahi-Kala, India

PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Gerakan Konservasi Perempuan
Nyungcung: Hasil Interaksi antara Kemiskinan, Budaya Patriarkhi, dan Pengaruh
ORNOP (Women Conservation Movement in Nyungcung: A Result of An
Interaction between Poverty, Patriarchy and NGO’s Influence) adalah karya saya
sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun.
Sumber informasi yang berasal dari para subjek penelitian, saya sendiri, dan
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini
Bogor, Januari 2007


Ulfa Hidayati
NIM A152040061

ABSTRACT
ULFA HIDAYATI. Women Conservation Movement in Nyungcung: A Result of An
Interaction between Poverty, Patriarchy and NGO’s Influence. Under the supervision of
SOERYO ADIWIBOWO, and DARMIYANTI MUCHTAR
Over the decades, people’s ability to fulfill the basic needs has been eroding with
the decline in land and other natural resources, due both to degradation and to shifts in
tenurial rights away from community hands to state and business parties hands. The
formation of community-based natural resources management (CBNRM) groups in
recent years represents various resistances to processes of privatization. While there are
many ‘success’ stories related to such groups, numerous CBNRM groups’ initiatives have
failed for a variety of reasons. In particular, a number of ground experiences shows that
those initiatives often lead to the exacerbation of inequalities within the group involved.
This condition applies with special force to the issue of gender equity. To contribute to
the understanding of the causes of success or failure for the CBNRM groups’ initiatives
and movement from feminist perspective, this research focused on the local women
peasants’ initiative in re-nurturing bare lands in Nyungcung Hamlet, Malasari Village,

Bogor District. This raises some critical questions, such as: who are the women peasant
and how they carried out their initiative? What are the factors determine their initiative?
What are the results of their initiative?
This research demonstrates that the growing initiative on the part of women -who
are mainly from social groups of landless and tenant - as they respond to ecological
distress and livelihood security, caused by PERUM PERHUTANI Unit III, and to Decree
of Forestry Minister No. 175/Kpts-II/2003 that expands the area of Gunung Halimun
National Park (from 40,000 ha to 113,357 ha, covering the Halimun and Salak mountain
ranges). Together with men peasants, they worked collectively to re-nurture the PERUM
PERHUTANI’s bare lands through a series of planting and mapping activities, currently
known in local term as Leuweung Hejo Masyarakat Ngejo or, in public advocacy terms,
as the Kampung dengan Tujuan Konservasi (KDTK) movement. However, in order to
gain public support, assert elements of basic rights, and secure Nyungcung People’s
genuine benefits from the presence of the Gunung Halimun – Salak National Park and
PT. Aneka Tambang, those women peasants have not actively participated as much as
before. In these further activities, men peasants take a lead. This current performance of
local conservation movement is becoming a masculine pattern.
I argue that the interaction between poverty, some forms of patriarchy like
gender segregation of public space, female behavioral norms and gender division of
labor, and the absence of women empowerment activity (through ‘sekolah perempuan’)

facilited by local NGO, RMI, as well as the existence of ‘unworkable’ contextual factors
in ecological and political aspects take them out from their further participation in the
Leuweung Hejo Masyarakat Ngejo movement. Those women peasants are becoming
increasingly distanced from their gendered knowledge; gendered rights to land and
forest resources, both in quality and quantity; as well as gendered environmental politics
and grassroots conservation that had been articulated in their distinctive agenda and
demonstrated by the leadership from some of them during their participation in the
Leuweung Hejo Masyarakat Ngejo movement.

GERAKAN KONSERVASI PEREMPUAN NYUNGCUNG:
HASIL INTERAKSI ANTARA KEMISKINAN,
BUDAYA PATRIARKI, DAN PENGARUH ORNOP
(Women Conservation Movement in Nyungcung: A Result of An
Interaction between Poverty, Patriarchy and NGO’s Influence)

ULFA HIDAYATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada Program Studi Sosiologi Pedesaan,

Departemen Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

Judul Tesis
Nama
NIM

: Gerakan Konservasi Perempuan Nyungcung: Hasil Interaksi
antara Kemiskinan, Budaya Patriarkhi, dan Pengaruh ORNOP
: Ulfa Hidayati
: A152040061

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS

Ketua

Dra. Darmiyanti Muchtar M.Phil
Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi
Sosiologi Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. M.T. Felix Sitorus, MS.

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Berbicara pengelolaan kekayaan alam berarti berbicara setidaknya tentang
dua kepentingan: ekonomi dan konservasi yang dalam pengejawantahannya

sangat sering tidak selaras. Mengapa demikian? Dalam proses pembangunan,
kehilangan kekayaan alam dan kerusakan lingkungan hidup yang terus melaju
dinilai sebagai suatu konsekuensi. Statistik Lingkungan Hidup Indonesia Tahun
2000 menggambarkan bahwa ekspansi puluhan ribu industri ke desa-desa telah
menyebabkan belasan ribu desa mengalami ganggungan lingkungan dan
menyingkirkan rakyatnya dari sumberdaya dan hasil produksi lokal mereka.
Tanpa ada pilihan lain, mereka terpaksa harus menjemput resiko sosial, menjadi
kaum pengungsi, di kota-kota besar. Kehidupan di kota-kota besar tersebut
ternyata hanya mempertajam proses dehumanisasi yang mereka alami. Apakah
ada upaya pemecahan? Bagaimana dengan konservasi? Suatu fakta yang belum
terbantahkan bahwa konservasi masih merupakan upaya eksklusif dan setengah
hati untuk ‘melindungi dan melestarikan’ sebagian komponen dari ekosistem:
flora, fauna beserta habitatnya. Komponen manusia masih dinilai sebagai
ancaman bahkan di beberapa kawasan konservasi dianggap sebagai perusak
ekosistem. Dihadapkan dengan kepentingan ekonomi, konservasi tidak berdaya
untuk bernegosiasi. Diantara ekonomi dan konservasi itu, rakyat yang bermukim
di sekitar dan atau di dalam kawasan yang sarat dengan kekayaan alamnya,
terutama perempuan dan kelompok marjinal lainnya, merasakan wilayah hidup
mereka semakin sempit.
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya

karena saya mendapatkan kesempatan untuk mencoba mempelajari dan
memahami situasi di atas melalui penelitian karya ilmiah ini. Tema yang dipilih
dalam penelitian ini, yang pelaksanaannya mulai sejak Mei sampai Agustus
kemudian dilanjutkan kembali pada Nopember 2006, adalah gerakan konservasi
lokal berbasis perempuan.
Karya ilmiah ini dapat dihadirkan karena interaksi saya dengan berbagai
pihak penting di bawah ini. Untuk itu, saya sampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan kepada mereka:
• Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS, dan Ibu Dra. Darmiyanti Muchtar,
M.Phil selaku komisi pembimbing. Dengan kesabaran dan arahan dari Beliau
berdua saya berusaha untuk menyampaikan dan menganalisa temuan dari
penelitian ini mendekati suatu hasil yang lengkap;
• Ibu Ir. Melani A. Sunito, MSc selaku Dosen Penguji yang telah memberikan
kritikan dan asupan yang konstruktif terhadap penajaman bahasan tesis ini;
• Para subjek utama penelitian, petani dan atau buruh tani perempuan yang
tergabung dalam Kelompok Cepak Nangka dan Andam yang telah bersedia
berbagi pendapat, harapan, dan kesulitan dalam memahami dan
mengungkapkan kembali inisiatif mereka untuk memperjuangkan konservasi
berbasis rakyat;
• Para subjek penelitian lainnya dari Kelompok Rimba Lestari dan pengurus

KSM Nyungcung;
• Kawan-kawan lain, perempuan dan laki-laki, dari komunitas di Kampung
Nyungcung, Malasari, dan Cisangku yang tidak dapat saya sebutkan satu per
satu;

• Aparat Pemerintah Desa Periode 1998 – 2006, terutama Bapak Sarmat, Bapak
Kandar, dan Bapak Engkus yang telah mengizinkan saya untuk melakukan
penelitian dan mengakses data dari Monografi Desa 2005 dan beberapa
dokumen lainnya;
• Pengurus Harian dan semua staf RMI – the Indonesian Institute for Forest and
Environment yang telah menyediakan fasilitas, bersedia berdiskusi, dan
membantu selama proses pengkajian dokumen pertemuan dan fasilitasi di
Malasari;
• Dewan Eksekutif dan semua staf KAPAL (Lingkar Pendidikan Alternatif)
Perempuan yang telah menyediakan fasilitas, memberikan kontribusi
pemikiran, dan dengan keunikan masing-masing memberikan semangat ketika
saya merasa lelah berpikir selama masa perbaikan tesis.
• Ibunda Aslamiyah Arsyad tercinta. Diantara sakit dan kesendiriannya, Beliau
selalu memberikan aliran doa, kasih sayang, semangat, kontribusi pemikiran,
dan mengingatkan saya untuk menjaga kesehatan, yang kesemuanya itu

merupakan sumber semangat dan kekuatan saya melakukan penelitian dan
penulisan tesis ini;
• Almarhum Ayahanda Andjera tercinta yang juga merupakan sumber kekuatan
saya untuk selalu memberikan perhatian penting pada setiap pengetahuan dan
pengalaman, terutama dari pihak-pihak yang terzolimi;
• Adinda Ahmad Taufik dan Dian Angraini, yang walaupun jauh, tetap
memberikan doa dan semangat kepada saya;
• Bibi (Tante Aina dan Bik Cik), Paman (Jujuk Ilman dan Om Kir), dan Saudarasaudara saya yang lain, yang juga memberikan doa dan mengingatkan saya
untuk menjaga kesehatan selama penelitian, penulisan dan perbaikan tesis ini;
• Para dosen dan staf TU di Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD) yang
selama perkuliahan dan pengurusan administrasi penelitian, seminar, ujian,
dan perbaikan tesis membantu saya melalui semua proses dengan baik.
• Lembaga WWF USA yang telah mempercayakan sebagian dananya untuk
saya akses dalam rangka melanjutkan pendidikan formal di Program Studi
Sosiologi Pedesaan, Pascasarjana IPB.
• Kawan-kawan kos di KPP IPB C-22, terutama Diana dan Eka, yang selalu
memberikan semangat kepada saya selama penulisan dan perbaikan tesis.
• Kawan-kawan di SPD, terutama Kak Roosganda, Sindu, Anton, dan Rais.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kawan-kawan petani dan atau
buruh tani yang tergabung dalam KSM Nyungcung, terutama anggota

perempuannya dari Kelompok Cepak Nangka, Andam, dan Anggek, Pemerintah
Desa Malasari yang baru terpilih, RMI selaku ORNOP yang masih memfasilitasi
proses penyelesaian konflik di Malasari, saya sendiri, dan pihak-pihak lain yang
berminat untuk bersama-sama kita semua mampu melakukan penguatan terhadap
apa yang kita perjuangkan.

Bogor, Januari 2007

Ulfa Hidayati
NIM A152040061

RIWAYAT HIDUP
Saya dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 7 Oktober 1970 sebagai anak
pertama dari dua bersaudara dari Ayahanda Andjera (almarhum) dan Ibunda
Aslamiyah Arsyad. Kedua orang tua saya berasal dari keluarga petani kebun –
sawah di Sumatera Selatan. Pendidikan sarjana S1 ditempuh di Jurusan Ilmu
Tanah, Fakultas Pertanian IPB sejak tahun 1990, dan lulus pada tahun 1993. Pada
tahun 2004, dengan dukungan beasiswa dari WWF USA saya melanjutkan
pendidikan strata S2 di Program Studi Sosiologi Pedesaan, Pascasarjana IPB.
Selain menjalani pendidikan S2, sejak September 2004 saya merupakan
salah satu anggota Badan Pengurus RMI – the Indonesian Institute for Forest and
Environment. Sebelumnya, sejak Desember 1996 – Agustus 2004, saya
merupakan bagian dari Badan Pelaksana (Pengurus Harian) RMI.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL …………………………………………………..…...….

x

DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………..……....

xi

PENDAHULUAN
Latar Belakang ........... ……………………………………..….......…
Perumusan Masalah ..............................................................................
Tujuan Penelitian ..................................................................................
Manfaat Penelitian ................................................................................
Batasan Terma yang Digunakan ...........................................................
Sistematika Penulisan Tesis .................................................................
Catatan Kaki ..........................................................................................

1
11
11
12
12
18
22

KERANGKA PEMIKIRAN
Pembangunanisme dan Feminisasi Kemiskinan ..................................
Budaya Patriarkhi dan Partisipasi Politis Perempuan ..........................
Intervensi Gerakan Lingkungan dan
Tumbuhnya Gerakan Konservasi Lokal Berbasis Perempuan ..............
Catatan Kaki ..........................................................................................

41
50

METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi Feminis .............................................................................
Pendekatan dan Metode Penelitian .......................................................
Keterbatasan Penelitian ........................................................................
Catatan Kaki ..........................................................................................

51
55
60
61

GAMBARAN UMUM LOKASI DAN SUBJEK PENELITIAN
Letak dan Posisi Desa Malasari ............................................................
Sejarah Desa Malasari ..........................................................................
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Malasari ....................................
Kondisi dan Situasi Perempuan Malasari – Nyungcung .......................
Profil Subjek Penelitian ........................................................................
Catatan Kaki ..........................................................................................

62
65
68
73
86
97

TUMBUHNYA GERAKAN KONSERVASI LOKAL
BERBASIS PEREMPUAN DI KAMPUNG NYUNGCUNG
Politik Perlawanan Rakyat Malasari: Sebuah Konteks .........................
Feminisasi Kemiskinan dalam Konteks Perlawanan Rakyat ...............
Budaya Patriarki: Faktor Penentu Tingkat Militansi Perempuan ..........
Intervensi ORNOP dengan Komunitas Malasari-Nyungcung
dalam Konflik Tenurial .......................................................................
Menjadi Perintis Konservasi: Menggerakkan yang Lain .....................
Catatan Kaki ..........................................................................................

24
32

99
104
110
113
126
135

GERAKAN KONSERVASI PEREMPUAN NYUNGCUNG:
HASIL INTERAKSI ANTARA KEMISKINAN,
BUDAYA PATRIARKI, DAN PENGARUH ORNOP
(Women Conservation Movement in Nyungcung: A Result of An
Interaction between Poverty, Patriarchy and NGO’s Influence)

ULFA HIDAYATI

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

“Kekuatan kami adalah kekuatan alam. Kekuatan kami untuk melawan Gujral1 berasal
dari sumber di dalamnya dan diperkuat oleh usaha mereka untuk menindas dan
mengubur kami dengan kekuatan palsu mereka, yaitu uang”
(Itwari Devi, perempuan dari Desa Nahi-Kala, dalam Shiva dan Mies 1993)

“Perempuan mah tidak pernah berhenti bekerja, walaupun badan lagi enggak enak,
tetap saja bekerja. Kalau sudah mati, baru perempuan berhenti bekerja....”
(On dari Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Bogor, 2002)

“Untuk mengetahui sesuatu, seseorang harus mengubahnya”
(Mies 1991)

1

Pemilik perusahaan pertambangan batu kapur yang beroperasi di Desa Nahi-Kala, India

PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Gerakan Konservasi Perempuan
Nyungcung: Hasil Interaksi antara Kemiskinan, Budaya Patriarkhi, dan Pengaruh
ORNOP (Women Conservation Movement in Nyungcung: A Result of An
Interaction between Poverty, Patriarchy and NGO’s Influence) adalah karya saya
sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun.
Sumber informasi yang berasal dari para subjek penelitian, saya sendiri, dan
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini
Bogor, Januari 2007

Ulfa Hidayati
NIM A152040061

ABSTRACT
ULFA HIDAYATI. Women Conservation Movement in Nyungcung: A Result of An
Interaction between Poverty, Patriarchy and NGO’s Influence. Under the supervision of
SOERYO ADIWIBOWO, and DARMIYANTI MUCHTAR
Over the decades, people’s ability to fulfill the basic needs has been eroding with
the decline in land and other natural resources, due both to degradation and to shifts in
tenurial rights away from community hands to state and business parties hands. The
formation of community-based natural resources management (CBNRM) groups in
recent years represents various resistances to processes of privatization. While there are
many ‘success’ stories related to such groups, numerous CBNRM groups’ initiatives have
failed for a variety of reasons. In particular, a number of ground experiences shows that
those initiatives often lead to the exacerbation of inequalities within the group involved.
This condition applies with special force to the issue of gender equity. To contribute to
the understanding of the causes of success or failure for the CBNRM groups’ initiatives
and movement from feminist perspective, this research focused on the local women
peasants’ initiative in re-nurturing bare lands in Nyungcung Hamlet, Malasari Village,
Bogor District. This raises some critical questions, such as: who are the women peasant
and how they carried out their initiative? What are the factors determine their initiative?
What are the results of their initiative?
This research demonstrates that the growing initiative on the part of women -who
are mainly from social groups of landless and tenant - as they respond to ecological
distress and livelihood security, caused by PERUM PERHUTANI Unit III, and to Decree
of Forestry Minister No. 175/Kpts-II/2003 that expands the area of Gunung Halimun
National Park (from 40,000 ha to 113,357 ha, covering the Halimun and Salak mountain
ranges). Together with men peasants, they worked collectively to re-nurture the PERUM
PERHUTANI’s bare lands through a series of planting and mapping activities, currently
known in local term as Leuweung Hejo Masyarakat Ngejo or, in public advocacy terms,
as the Kampung dengan Tujuan Konservasi (KDTK) movement. However, in order to
gain public support, assert elements of basic rights, and secure Nyungcung People’s
genuine benefits from the presence of the Gunung Halimun – Salak National Park and
PT. Aneka Tambang, those women peasants have not actively participated as much as
before. In these further activities, men peasants take a lead. This current performance of
local conservation movement is becoming a masculine pattern.
I argue that the interaction between poverty, some forms of patriarchy like
gender segregation of public space, female behavioral norms and gender division of
labor, and the absence of women empowerment activity (through ‘sekolah perempuan’)
facilited by local NGO, RMI, as well as the existence of ‘unworkable’ contextual factors
in ecological and political aspects take them out from their further participation in the
Leuweung Hejo Masyarakat Ngejo movement. Those women peasants are becoming
increasingly distanced from their gendered knowledge; gendered rights to land and
forest resources, both in quality and quantity; as well as gendered environmental politics
and grassroots conservation that had been articulated in their distinctive agenda and
demonstrated by the leadership from some of them during their participation in the
Leuweung Hejo Masyarakat Ngejo movement.

GERAKAN KONSERVASI PEREMPUAN NYUNGCUNG:
HASIL INTERAKSI ANTARA KEMISKINAN,
BUDAYA PATRIARKI, DAN PENGARUH ORNOP
(Women Conservation Movement in Nyungcung: A Result of An
Interaction between Poverty, Patriarchy and NGO’s Influence)

ULFA HIDAYATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada Program Studi Sosiologi Pedesaan,
Departemen Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

Judul Tesis
Nama
NIM

: Gerakan Konservasi Perempuan Nyungcung: Hasil Interaksi
antara Kemiskinan, Budaya Patriarkhi, dan Pengaruh ORNOP
: Ulfa Hidayati
: A152040061

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS
Ketua

Dra. Darmiyanti Muchtar M.Phil
Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi
Sosiologi Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. M.T. Felix Sitorus, MS.

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Berbicara pengelolaan kekayaan alam berarti berbicara setidaknya tentang
dua kepentingan: ekonomi dan konservasi yang dalam pengejawantahannya
sangat sering tidak selaras. Mengapa demikian? Dalam proses pembangunan,
kehilangan kekayaan alam dan kerusakan lingkungan hidup yang terus melaju
dinilai sebagai suatu konsekuensi. Statistik Lingkungan Hidup Indonesia Tahun
2000 menggambarkan bahwa ekspansi puluhan ribu industri ke desa-desa telah
menyebabkan belasan ribu desa mengalami ganggungan lingkungan dan
menyingkirkan rakyatnya dari sumberdaya dan hasil produksi lokal mereka.
Tanpa ada pilihan lain, mereka terpaksa harus menjemput resiko sosial, menjadi
kaum pengungsi, di kota-kota besar. Kehidupan di kota-kota besar tersebut
ternyata hanya mempertajam proses dehumanisasi yang mereka alami. Apakah
ada upaya pemecahan? Bagaimana dengan konservasi? Suatu fakta yang belum
terbantahkan bahwa konservasi masih merupakan upaya eksklusif dan setengah
hati untuk ‘melindungi dan melestarikan’ sebagian komponen dari ekosistem:
flora, fauna beserta habitatnya. Komponen manusia masih dinilai sebagai
ancaman bahkan di beberapa kawasan konservasi dianggap sebagai perusak
ekosistem. Dihadapkan dengan kepentingan ekonomi, konservasi tidak berdaya
untuk bernegosiasi. Diantara ekonomi dan konservasi itu, rakyat yang bermukim
di sekitar dan atau di dalam kawasan yang sarat dengan kekayaan alamnya,
terutama perempuan dan kelompok marjinal lainnya, merasakan wilayah hidup
mereka semakin sempit.
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
karena saya mendapatkan kesempatan untuk mencoba mempelajari dan
memahami situasi di atas melalui penelitian karya ilmiah ini. Tema yang dipilih
dalam penelitian ini, yang pelaksanaannya mulai sejak Mei sampai Agustus
kemudian dilanjutkan kembali pada Nopember 2006, adalah gerakan konservasi
lokal berbasis perempuan.
Karya ilmiah ini dapat dihadirkan karena interaksi saya dengan berbagai
pihak penting di bawah ini. Untuk itu, saya sampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan kepada mereka:
• Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS, dan Ibu Dra. Darmiyanti Muchtar,
M.Phil selaku komisi pembimbing. Dengan kesabaran dan arahan dari Beliau
berdua saya berusaha untuk menyampaikan dan menganalisa temuan dari
penelitian ini mendekati suatu hasil yang lengkap;
• Ibu Ir. Melani A. Sunito, MSc selaku Dosen Penguji yang telah memberikan
kritikan dan asupan yang konstruktif terhadap penajaman bahasan tesis ini;
• Para subjek utama penelitian, petani dan atau buruh tani perempuan yang
tergabung dalam Kelompok Cepak Nangka dan Andam yang telah bersedia
berbagi pendapat, harapan, dan kesulitan dalam memahami dan
mengungkapkan kembali inisiatif mereka untuk memperjuangkan konservasi
berbasis rakyat;
• Para subjek penelitian lainnya dari Kelompok Rimba Lestari dan pengurus
KSM Nyungcung;
• Kawan-kawan lain, perempuan dan laki-laki, dari komunitas di Kampung
Nyungcung, Malasari, dan Cisangku yang tidak dapat saya sebutkan satu per
satu;

• Aparat Pemerintah Desa Periode 1998 – 2006, terutama Bapak Sarmat, Bapak
Kandar, dan Bapak Engkus yang telah mengizinkan saya untuk melakukan
penelitian dan mengakses data dari Monografi Desa 2005 dan beberapa
dokumen lainnya;
• Pengurus Harian dan semua staf RMI – the Indonesian Institute for Forest and
Environment yang telah menyediakan fasilitas, bersedia berdiskusi, dan
membantu selama proses pengkajian dokumen pertemuan dan fasilitasi di
Malasari;
• Dewan Eksekutif dan semua staf KAPAL (Lingkar Pendidikan Alternatif)
Perempuan yang telah menyediakan fasilitas, memberikan kontribusi
pemikiran, dan dengan keunikan masing-masing memberikan semangat ketika
saya merasa lelah berpikir selama masa perbaikan tesis.
• Ibunda Aslamiyah Arsyad tercinta. Diantara sakit dan kesendiriannya, Beliau
selalu memberikan aliran doa, kasih sayang, semangat, kontribusi pemikiran,
dan mengingatkan saya untuk menjaga kesehatan, yang kesemuanya itu
merupakan sumber semangat dan kekuatan saya melakukan penelitian dan
penulisan tesis ini;
• Almarhum Ayahanda Andjera tercinta yang juga merupakan sumber kekuatan
saya untuk selalu memberikan perhatian penting pada setiap pengetahuan dan
pengalaman, terutama dari pihak-pihak yang terzolimi;
• Adinda Ahmad Taufik dan Dian Angraini, yang walaupun jauh, tetap
memberikan doa dan semangat kepada saya;
• Bibi (Tante Aina dan Bik Cik), Paman (Jujuk Ilman dan Om Kir), dan Saudarasaudara saya yang lain, yang juga memberikan doa dan mengingatkan saya
untuk menjaga kesehatan selama penelitian, penulisan dan perbaikan tesis ini;
• Para dosen dan staf TU di Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD) yang
selama perkuliahan dan pengurusan administrasi penelitian, seminar, ujian,
dan perbaikan tesis membantu saya melalui semua proses dengan baik.
• Lembaga WWF USA yang telah mempercayakan sebagian dananya untuk
saya akses dalam rangka melanjutkan pendidikan formal di Program Studi
Sosiologi Pedesaan, Pascasarjana IPB.
• Kawan-kawan kos di KPP IPB C-22, terutama Diana dan Eka, yang selalu
memberikan semangat kepada saya selama penulisan dan perbaikan tesis.
• Kawan-kawan di SPD, terutama Kak Roosganda, Sindu, Anton, dan Rais.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kawan-kawan petani dan atau
buruh tani yang tergabung dalam KSM Nyungcung, terutama anggota
perempuannya dari Kelompok Cepak Nangka, Andam, dan Anggek, Pemerintah
Desa Malasari yang baru terpilih, RMI selaku ORNOP yang masih memfasilitasi
proses penyelesaian konflik di Malasari, saya sendiri, dan pihak-pihak lain yang
berminat untuk bersama-sama kita semua mampu melakukan penguatan terhadap
apa yang kita perjuangkan.

Bogor, Januari 2007

Ulfa Hidayati
NIM A152040061

RIWAYAT HIDUP
Saya dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 7 Oktober 1970 sebagai anak
pertama dari dua bersaudara dari Ayahanda Andjera (almarhum) dan Ibunda
Aslamiyah Arsyad. Kedua orang tua saya berasal dari keluarga petani kebun –
sawah di Sumatera Selatan. Pendidikan sarjana S1 ditempuh di Jurusan Ilmu
Tanah, Fakultas Pertanian IPB sejak tahun 1990, dan lulus pada tahun 1993. Pada
tahun 2004, dengan dukungan beasiswa dari WWF USA saya melanjutkan
pendidikan strata S2 di Program Studi Sosiologi Pedesaan, Pascasarjana IPB.
Selain menjalani pendidikan S2, sejak September 2004 saya merupakan
salah satu anggota Badan Pengurus RMI – the Indonesian Institute for Forest and
Environment. Sebelumnya, sejak Desember 1996 – Agustus 2004, saya
merupakan bagian dari Badan Pelaksana (Pengurus Harian) RMI.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL …………………………………………………..…...….

x

DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………..……....

xi

PENDAHULUAN
Latar Belakang ........... ……………………………………..….......…
Perumusan Masalah ..............................................................................
Tujuan Penelitian ..................................................................................
Manfaat Penelitian ................................................................................
Batasan Terma yang Digunakan ...........................................................
Sistematika Penulisan Tesis .................................................................
Catatan Kaki ..........................................................................................

1
11
11
12
12
18
22

KERANGKA PEMIKIRAN
Pembangunanisme dan Feminisasi Kemiskinan ..................................
Budaya Patriarkhi dan Partisipasi Politis Perempuan ..........................
Intervensi Gerakan Lingkungan dan
Tumbuhnya Gerakan Konservasi Lokal Berbasis Perempuan ..............
Catatan Kaki ..........................................................................................

41
50

METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi Feminis .............................................................................
Pendekatan dan Metode Penelitian .......................................................
Keterbatasan Penelitian ........................................................................
Catatan Kaki ..........................................................................................

51
55
60
61

GAMBARAN UMUM LOKASI DAN SUBJEK PENELITIAN
Letak dan Posisi Desa Malasari ............................................................
Sejarah Desa Malasari ..........................................................................
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Malasari ....................................
Kondisi dan Situasi Perempuan Malasari – Nyungcung .......................
Profil Subjek Penelitian ........................................................................
Catatan Kaki ..........................................................................................

62
65
68
73
86
97

TUMBUHNYA GERAKAN KONSERVASI LOKAL
BERBASIS PEREMPUAN DI KAMPUNG NYUNGCUNG
Politik Perlawanan Rakyat Malasari: Sebuah Konteks .........................
Feminisasi Kemiskinan dalam Konteks Perlawanan Rakyat ...............
Budaya Patriarki: Faktor Penentu Tingkat Militansi Perempuan ..........
Intervensi ORNOP dengan Komunitas Malasari-Nyungcung
dalam Konflik Tenurial .......................................................................
Menjadi Perintis Konservasi: Menggerakkan yang Lain .....................
Catatan Kaki ..........................................................................................

24
32

99
104
110
113
126
135

ix

AGENDA, STRATEGI, DAN KEPEMIMPINAN
GERAKAN KONSERVASI LOKAL BERBASIS PEREMPUAN DI
KAMPUNG NYUNGCUNG
Agenda Gerakan Konservasi Lokal berbasis Perempuan ......................
Strategi Gerakan Konservasi Lokal berbasis Perempuan .....................
Kepemimpinan Perempuan dalam Gerakan Konservasi Lokal
berbasis Perempuan ..............................................................................
Intervensi ORNOP: Belum Tuntas, Belum Memandirikan Kelompok
Petani Perempuan .................................................................................
Pembelajaran ke Depan bagi ORNOP ..................................................
Catatan Kaki ..........................................................................................

159
163
167

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ............................................................................................
Saran ......................................................................................................

168
170

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

174

139
142
147

DAFTAR TABEL
Halaman
1.

Populasi Penduduk Desa Malasari Tahun 2005 ...................................

68

2.

Tata Guna Lahan di Desa Malasari
Sebelum SK MenHut No. 175/Kpts-II/2003 ........................................

69

3.

Tingkat Pendidikan Penduduk Malasari Tahun 2005 ..........................

69

4.

Jenis Matapencaharian Penduduk Malasari Tahun 2005 .....................

70

5.

Tata Guna Lahan di Kampung Nyungcung ..........................................

71

6.

Struktur Warga Kampung Nyungcung
Berdasarkan Penguasaan Lahan ...........................................................

72

Jenis-jenis Pekerjaan Domestik
yang Dilakukan oleh Perempuan dan Laki-laki ..................................

77

8.

Tahapan Pekerjaan Tani antara Perempuan dan Laki-laki ...................

77

9.

Pekerjaan dengan Imbalan (Padi, Ternak, atau Uang)
yang Biasa Dilakukan oleh Perempuan dan Laki-laki .........................

78

Sebaran Posisi Subjek Penelitian
dalam Kelompok Petani Perempuan ....................................................

86

Hubungan antara Tingkat Pendidikan
dengan Posisi dalam Kelompok ...........................................................

87

Hubungan antara Status Perkawinan dengan Tingkat Pendidikan
Subjek Penelitian dalam Kelompok .....................................................

89

Hubungan antara Jumlah Anak dengan Tingkat Pendidikan
Subjek Penelitian dalam Kelompok .....................................................

89

14.

Jenis – Jenis Pekerjaan Sembilan Subjek Penelitian ............................

90

15.

Hubungan antara Arena Partisipasi Politik Domestik dan Publik
dengan Tingkat Pendidikan Subjek Penelitian .....................................

92

16.

Kategori Kepemilikan Tanah Subjek Penelitian .................................

93

17.

Profil Singkat Enam Kelompok Petani (Perempuan dan Laki-laki),
Anggota KSM Nyungcung ...................................................................

132

7.

10.
11.
12.
13.

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.

Panduan Pertanyaan Wawancara ...........................................................

183

2.

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 175/Kpts-II/2003 ...................

184

3.

Profil Organisasi RMI – the Indonesian Institute for Forest
and Environment .................................................................................

186

Profil Subjek Penelitian: Pengurus dan Anggota Kelompok
Cepak Nangka dan Andam ...................................................................

189

5.

Letak Kampung Nyungcung .................................................................

192

6.

Peta Tata Ruang Wilayah Nyungcung, Desa Malasari
Kecamatan Nanggung ...........................................................................

193

4.

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

1.1. Latar Belakang Umum
Meskipun telah 60 tahun merdeka, sebagian besar rakyat Indonesia,
terutama yang berada di pedesaan masih berada dalam kemiskinan yang
sepertinya

tidak

memungkinkan

mereka

untuk

bangkit

kembali1.

Kondisi kemiskinan ini dapat mengakibatkan tiga jenis krisis, yaitu krisis
keadilan, krisis alam, dan krisis produktifitas (lihat Sangkoyo 2000, dan Zakaria
2001, yang dikutip Fauzi 2003). Krisis keadilan mempersoalkan tentang
ketidakadilan penguasaan berbagai kelompok sosial di masyarakat – berdasarkan
klas, gender dan etnis – terhadap teknologi, informasi, tanah, kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dan sumberdaya pendukung lainnya.

Krisis keadilan

pulalah yang membawa pada kemiskinan dan kesenjangan sosial yang semakin
signifikan dan kompleks yang dialami oleh mayoritas rakyat.

Krisis alam

menyoroti tentang hancurnya lingkungan ekosistem yang ditandai dengan
berbagai bencana alam dan kelangkaan kekayaan alam sebagai akibat dari
pelaksanaan proyek-proyek pembangunan selama ini. Pada krisis produktivitas,
sebagian besar rakyat mengalami proses marjinalisasi lanjutan sehingga tidak
memampukan mereka untuk secara kreatif memenuhi berbagai kebutuhan hidup
mereka.
Ketiga krisis di atas pada tingkat tertentu telah menimbulkan perlawanan
rakyat miskin yang terindikasi dari berbagai perlawanan yang dikaji secara ilmiah
(lihat Scott 1976, 1985, Popkin 1978, Peluso dan Watts 2001, Santoso 2004).
Kajian-kajian ini menganalisis perlawanan rakyat miskin dalam komunitas tanpa
mempertimbangkan jenis kelamin para pelaku yang berada di dalamnya, dilihat
sebagai suatu yang dapat diwakilkan dalam entitas tunggal yang dapat
digeneralisir. Padahal, menurut Simatauw (2001), sebagaimana yang dia temukan
dalam perjuangan komunitas Amungme Komoro (salah satu masyarakat adat di
Papua Barat), terdapat perbedaan kepentingan antara kelompok laki-laki dan

2

perempuan dalam gerakan perlawanan.

Simatauw menyampaikan bahwa

LEMASA atau Lembaga Musyarawah Adat Suku Amungme gagal memahami
persoalan alkoholisme yang menurut perempuan Amungme Komoro juga harus
diperangi karena merupakan sumber kekerasan. LEMASA hanya memfokuskan
pada tujuan perlawanan rakyat untuk mendapatkan dana kompensasi dari PT.
Freeport sebesar satu persen.

Karena tidak diperhatikan, pada akhirnya

perempuan Amungme Komoro terpaksa berjuang sendiri pada tiga arena
sekaligus, yaitu mengatasi kekerasan dalam rumahtangga akibat alkoholisme,
memerangi alkoholisme dalam komunitas, dan melawan eksploitasi dan
pencemaran oleh PT. Freeport terhadap wilayah hidup mereka, Ninggok2.
Demikian juga yang terjadi dengan perempuan Arso.

Mereka mengingatkan

suami-suami mereka untuk tidak tergoda dengan barang-barang modern dan
melepaskan tanah mereka demi sejumlah uang yang ditawarkan oleh perusahaan
perkebunan kelapa sawit.
Penegasian suara perempuan seperti yang ditunjukkan oleh kasus Amungme
Komoro di atas memperlihatkan secara nyata masih kurangnya telaah relasi
gender dan perbedaan seks dalam menganalis perlawanan rakyat miskin.
Sesungguhnya pola relasi kekuasaan, peran, posisi, dan pengetahuan serta tingkat
kesadaran antara perempuan dan laki-laki akan mempengaruhi perspektif, isu, dan
strategi gerakan (lihat Matsui 1996, Jackson dan Pearson 1998, dan Muchtar
1999). Menjadi jelas bagi kita bahwa pola tumbuhnya inisiatif serta dinamika
gerakan rakyat sangat dipengaruhi oleh relasi kekuasaan antara laki-laki dan
perempuan.
Selain relasi gender, gerakan rakyat juga dipengaruhi oleh budaya lokal
sebagaimana yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan rakyat di Filipina, Amerika
Latin, India, dan lain-lain (lihat Rocheleau et al 1996, Agarwal 2001, dan Fauzi
2005).

Budaya lokal ini pada tingkat tertentu mempengaruhi keterbukaan,

militansi, dan jangkauan gerakan rakyat tersebut. Disamping itu -- faktor-faktor
internal seperti heterogenitas kelompok (dalam hal ini gender), dan budaya lokal - bentuk dan dinamika gerakan dipengaruhi juga oleh faktor eksternal. Salah satu
faktor eksternal yang cukup signifikan dalam konteks gerakan rakyat miskin
adalah intervensi yang dilakukan oleh organisasi non pemerintah/ORNOP (lihat

3

Dietz 1996, Katoppo dalam Manning dan van Diermen 2000, dan Aditjondro
2003).

1.2. Latar Belakang Khusus: Gerakan Perlawanan Rakyat dalam Konteks
Pengelolaan Kekayaan Hutan Di Kawasan Halimun
a. Kebijakan Negara dalam Pengelolaan Kekayaan Hutan di Halimun
Diketahui bahwa landasan kebijakan untuk pengelolaan kekayaan alam di
Indonesia adalah UUD 1945, pasal 33, yang menyatakan, “Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Penjabaran dari isi
pasal ini lebih ditekankan pada eksploitasi sumberdaya alam untuk kesejahteraan
rakyat, namun sampai saat ini ternyata belum mampu mensejahterakan rakyat.
Justru, yang paling menonjol adalah penerjemahan ‘hak menguasai oleh negara’
(HMN) atas sumberdaya alam tersebut.
Pada tataran peraturan perundang-undangan, jiwa HMN dapat dilihat jelas
dalam kebijakan sektoral seperti UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 jo UU
No. 41 Tahun 1999, terutama Pasal 4, Ayat 2, menyatakan bahwa negara
berwenang untuk:
• Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan
hutan, dan hasil hutan;
• Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan
hutan sebagai bukan kawasan hutan;
• Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan
hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Peraturan perundang-undangan semacam itu dijadikan sebagai instrumen
utama bagi pemerintah dalam pengambil-alihan sumber-sumber penghidupan
rakyat untuk ‘kepentingan pembangunan’.

Kawasan hutan dibagi-bagi untuk

proyek perkebunan skala besar, HPH (Hak Pengusahaan Hutan), HTI (Hutan
Tanaman Industri), konsesi hutan PERUM PERHUTANI3 yang ditujukan khusus
untuk Pulau Jawa, ‘konservasi’4, konsesi pertambangan dan eksploitasi hasil kayu
yang saat ini tetap berlangsung dengan cara lain, illegal logging.

4

Pasca Orde Baru, untuk mengatasi krisis ekonomi melalui pinjaman luar
negeri, pemerintah melakukan perubahan kebijakan yang disyaratkan oleh
International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan Consultative Group on
Indonesia (CGI).

Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) menyampaikan bahwa

dalam Letter of Intent (LoI), IMF menuntut agar pemerintah, selain untuk
merealisasikan sepuluh paket kebijakan5, penyelenggaraan pemerintahan yang
bersih (good governance), yang didalamnya mengharuskan pencabutan kebijakan
Dana Reboisasi untuk kepentingan non kehutanan. Sejalan dengan IMF, Bank
Dunia juga mengajukan persyaratan pembaruan kebijakan dan institusi kehutanan
seperti pengembangan pendekatan kerjasama, deregulasi harga hasil hutan,
pengembangan konsesi hutan bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di
sekitar hutan, penerapan perlindungan hutan oleh masyarakat, reformasi institusi
dan desentralisasi, serta pengelolaan proses reformasi institusi.
Seymour dan

Kartodihardjo (2000), dikutip oleh

Kartodihardjo dan

Jhamtani (ibid), menilai bahwa kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh IMF dan
Bank Dunia ini hanya berhasil menghentikan monopoli pemasaran hasil hutan,
tetapi tidak dapat mendorong penyelesaian masalah mendasar.

Selain, rasa

kepemilikan yang lemah di kalangan pemerintah Indonesia atas proyek kebijakan
reformasi itu, kebijakan-kebijakan yang disyaratkan oleh IMF dan Bank Dunia
tersebut juga tidak konsisten, tidak lengkap, tidak layak untuk dioperasionalkan,
dan tidak efektif. Penilaian tidak konsisten dapat kita ketahui dari pengharusan
liberalisasi pengusahaan perkebunan kelapa sawit, yang tentunya berlawanan
dengan pengharusan yang lain, yaitu moratorium konversi hutan alam. Ketidaklengkapan dinilai dari paradigma kehutanan lama yang masih dipakai, yaitu
berdasarkan usaha kehutanan skala besar serta tidak menyentuh masalah
penguasaan (tenure) dan hak-hak milik (property rights) atas kekayaan hutan.
Ketidak-layakan dinilai dari ketiadaan prasyarat efisiensi seperti ketersediaan
informasi akurat dan kelemahan kelembagaan pembangunan kehutanan. Ketidakefektifan dinilai dari pengabaian keadaan defisit kayu bulat sehingga efisiensi
yang diberlakukan hanya menambah insentif untuk pihak-pihak yang melakukan
penebangan liar (illegal logging).

5

Menjawab persyaratan dari CGI tentang pentingnya reformasi kebijakan
kehutanan, pemerintah melalui Keppres No. 80/2000 menetapkan Komite InterDepartemen tentang Kehutanan (Inter Departement Committee on Forest/IDCF)
yang merumuskan 12 program aksi kehutanan6. Dalam perjalanannya, tiga tahun
dari perumusan program tersebut, pemerintah hanya menjalankan 5 program aksi
saja, yaitu pengendalian penebangan liar, percepatan pelaksanaan rehabilitasi
hutan dan lahan, desentralisasi, pengendalian kebakaran hutan, dan restrukturisasi
sektor kehutanan. Lima program aksi ini dituangkan dalam Keputusan Menteri
Kehutanan No. 7501/Kpts-II/2002 tentang Lima Kebijakan Prioritas Bidang
Kehutanan dalam Program Pembangunan Nasional. Menurut Kartodihardjo dan
Jhamtani (ibid), kebijakan seperti ini tidak berorientasi jangka panjang, bersifat
teknis, dan tidak mendasar untuk memecahkan masalah institusional seperti
progam aksi penyelesaian masalah kepemilikan/penguasaan lahan (tenure) dan
penguatan institusi pengelolaan hutan yang sesungguhnya merupakan prasyarat
untuk menjalankan kebijakan lain.
Penerapan kebijakan tersebut di lapang dapat ditemukan tidak jauh dari
pusat kekuasaan negara, Jakarta, yaitu kawasan ekosistem Halimun, membentang
antara Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak. Kawasan ini -- yang pada masa
Kerajaan Padjajaran merupakan daerah pedalaman kerajaan, dan pada masa
Kolonial Belanda dianggap bagian dari kawasan jungle wood bagian Barat -adalah satu-satunya kawasan di Pulau Jawa bagian Barat yang masih memiliki
kekayaan ekosistem hutan hujan tropis yang berperan sebagai salah satu
penyanggah/pendukung penting sistem kehidupan di daerah-daerah padat di
sekitar Halimun, termasuk Jakarta dan Tangerang mengingat fungsinya sebagai
kawasan resapan air (water-catchment area) (Simbolon dan Edi 1997).
Kekayaan ekosistem ini dilengkapi dengan kekayaan nilai sosial-budayaekonomi yang masih tergambarkan dalam keseharian kehidupan masyarakat
tradisi di Halimun, Masyarakat Kanekes dan Kasepuhan. Bagi mereka, kawasan
ekosistem Halimun dipahami sebagai kawasan Tutugan/Leuweung Sanggabuana
yang artinya gunung penyangga bumi. Gunung Halimun merupakan salah satu
gunung tertinggi dalam kawasan Tutugan Sanggabuana.

Menurut keyakinan

Masyarakat Kasepuhan Sirnaresmi dan Citorek, kawasan ini harus selalu dijaga

6

dari segala kegiatan yang merusak seperti menggarap dan menebang pohon,
sesuai dengan kewajiban “jeulma salapan anu boga Gunung Halimun dititipkeun
ka jeulma tilu dititah ngareksa Sanggabuana” [“ada sembilan manusia
(komunitas) yang memiliki Gunung Halimun, dititipkan pada tiga orang
(komunitas) yang diperintahkan menjaga Sanggabuana”].

Kegiatan yang

diperbolehkan di kawasan ini hanya pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti
rotan, madu, jamur dan tumbuhan obat (Hanavi et al 2004).
Dalam proses pembangunan, selain konservasi yang diberlakukan pada
sebagian kawasan ekosistem Halimun, kegiatan ekonomi eksploitatif yang dimulai
sejak zaman VOC terus dikembangkan. Bukan suatu hal yang aneh jika dalam
satu hamparan ekosistem, masyarakat (adat dan lokal) di Halimun hidup secara
‘berdampingan’ dengan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), Badan Usaha
Milik

Negara

(BUMN)

dan

perusahaan

swasta

perkebunan,

PERUM

PERHUTANI Unit III, dan PT. Aneka Tambang. Sementara itu, pertambahan
populasi mereka tidak dapat diserap oleh berbagai sektor ekonomi dan konservasi
tersebut.

b. Perlawanan rakyat di Halimun terhadap Kebijakan Negara tentang
Pengelolaan Kekayaan Hutan yang Meminggirkan dan Memiskinkan
Rakyat
Bersamaan dengan pemberlakuan agenda pembangunan berdasarkan
serangkaian kebijakan seperti di atas, pada aras bawah, sebagian dari rakyat
mempertanyakan dan atau menolak agenda pembangunan tersebut, bahkan tidak
jarang sebagian massa rakyat menantang secara terbuka dengan aksi kolektif yang
relatif terus menerus.

Reaksi penolakan ini dapat kita lihat dari munculnya

beragam konflik dan sengketa.

Sejak rezim Orde Baru sampai tahun 2001,

Konsorsium Pembaruan Agraria, yang dikutip oleh Kartodihardjo dan Jhamtani
(ibid), mencatat setidaknya terdapat 1,753 kasus sengketa tanah dan hutan yang
bersifat struktural.
Sengketa-sengketa tersebut tersebar di 2,834 desa/kelurahan dari 1,355
kecamatan di 286 Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota).

Luas tanah yang

dipersengketakan mencakup ± 10,892,203 ha yang melibatkan 1,189,482 Kepala
Keluarga. Sementara itu, dalam konteks konflik, tercatat kurang lebih 1,830

7

kasus. Khusus untuk bidang kehutanan, penelitian Wulan et al (2004) atas 359
kasus konflik kehutanan pada tahun 1997 – 2003 menunjukkan 36% dari konflik
berhubungan dengan perbedaan persepsi mengenai batas-batas dan akses pada
hutan serta hasil hutan, termasuk yang berhubungan dengan kawasan konservasi
seperti taman nasional. Kemudian, 26% dari konflik berkaitan dengan pembukaan
hutan, dan 23% dengan pencurian kayu. Penelitian ini juga menyampaikan bahwa
komunitas-komunitas yang terlibat dalam konflik-konflik tersebut umumnya
kecewa terhadap upaya penyelesaian konflik yang mengabaikan keberlanjutan
sumber penghidupan mereka dalam jangka panjang.
Dijelaskan

oleh

Sztompka

(1993)

bahwa

reaksi

kolektif

untuk

mempertanyakan, menolak, menyatakan ketidakpuasan/kekecewaan atas suatu
intervensi dari pihak yang dominan dan berupaya untuk melakukan perubahan
dapat dimaknai sebagai suatu gerakan sosial.

Gerakan yang dilakukan oleh

kelompok-kelompok dari arus bawah/akar rumput, menurut Rucht (1988) dalam
Sztompka (ibid), berkaitan erat dengan perubahan struktural mendasar dari hasil
modernisasi dalam semua segi kehidupan. Perubahan yang ingin diwujudkan ini
menurut Sunardi (2002) memuat narasi tandingan yang di dalamnya terdapat
pelaku-pelaku, ruang dan waktu, alur, imajinasi, suara, harapan, dan lain-lain.
Semua unsur ini ditujukan untuk memeriksa asal usul yang membuat kita berada
dalam posisi saat ini, dan digunakan untuk merancang masa depan yang lebih
baik, suatu perubahan sosial, melalui gerakan perlawanan.
Dalam konteks kehidupan rakyat di kawasan ekosistem Halimun, pada
awalnya, persoalan kemiskinan dalam bentuk ketersisihan, pengambil-alihan
objek dan jenis hak ke beberapa subjek hak lainnya (selain rakyat), dan ketiadaan
pelayanan sosial dari pemerintah dalam hal kesehatan dan pendidikan, secara
umum direspon oleh masyarakat dengan cara yang tidak konfrontatif.

Bagi

generasi tuanya, perjuangan memastikan ketersediaan pangan dilakukan melalui
se