Penguasaan Lahan Penggunaan Uang Hasil Penjualan Tanah

BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN DI DESA BATUJAJAR

7.1 Penguasaan Lahan

Penguasaan lahan dapat mengggambarkan kemampuan ekonomi rumahtangga responden. Perubahan luas peguasaan lahan antara sebelum dan sesudah terjadinya konve rsi pada rumahtangga responden yang melakukan konversi dapat dilihat pada tabel 19. Sebelum konversi, responden yang memiliki luas lahan di bukit lebih dari 0,5 hektar sebanyak 15 persen yang menguasai antara 0,25 hektar hingga 0,5 hektar sebanyak 45 persen, sedangkan yang kurang dari 0,25 hektar 40 persen. Setelah konversi, hampir 45 persen responden tidak memiliki lahan tegalan lagi. Penguasaan luas lahan persawahan setelah konversi mengalami peningkatan Walaupun tidak terlalu signifikan. Rata -rata penguasaan lahan persawahan sebelum konversi 0,12 hektar meningkat menjadi 0,17 hektar. Sebaliknya penguasaan lahan tegalan mengalami penurunan dari rata-rata 0,4 hektar sebelum konversi menjadi 0,08 hektar. Disamping itu penguasaan lahan pekarangan responden relatif tidak berubah, tidak ada petani yang memiliki lahan lebih dari 0,25 hektar. Tabel 19. Rata-rata Perkembangan Penguasaan Lahan Responden Sebelum dan Sesudah Konversi. Sebelum Konversi Sesudah Konversi Luasan Lahan Jumlah Persen Jumlah Persen Sawah 3 15 4 20 0,25 14 70 12 60 0,25-0,5 1 5 2 10 0,5 2 10 2 10 Jumlah Tegalan - - 9 45 0,25 8 40 8 40 0,25 – 0,5 9 45 3 15 0,5 3 15 - - Jumlah Pekarangan - - - - 0,25 20 100 20 - 0,25 – 0,5 - - - - 0,5 - - - - Jumlah Sumber : Data primer, 2005 Lanjutan Tabel 19

7.2 Adaptasi Rumahtangga Petani Yang Terkonversi Lahannya

Tekanan ekonomi yang dialami rumahtangga petani lapisan bawah yang terkonversi lahannya memunculkan cara-cara untuk bertahan hidup, yakni dengan melakukan optimalisasi tenaga kerja rumahtangga dan juga pola nafkah ganda. Selain itu petani juga pemanfaatan jaringan sosial lewat kelembagaan yang sudah ada di desa. Kasus yang terjadi di desa Batujajar menunjukkan hal yang sama seperti uraian di atas. Terbatasnya penguasaan lahan, pendidikan yang rendah mendorong rumahtangga kasus untuk mencari terobosan-terobosan agar tetap bisa memenuhi kebutuhan hidup rumahtangganya.

7.2.1 Pola Nafkah Ganda

Penelitian yang dilakukan oleh White 1991 dan Sayogjo 1991 di dalam penelaahan ekonomi masyarakat tani, yang dimaksud nafkah ganda yakni usaha di luar sektor pertanian yang bertujuan menutupi kekurangan dari sektor pertanian. Sitorus 1991 dan Istiani 1992 menunjukkan bahwa peranan nafkah ganda yang tidak hanya menggantungkan pada satu mata pencaharian saja, bisa membantu rumahtangga miskin untuk tetap bertahan hidup. Kalau melihat rumahtangga kasus yang menunjukkan bahwa penguasaan rata- rata lahan sawah 1.705m2 dan tegalan 847,5m2, tidaklah menjamin rumahtangga tersebut untuk untuk mampu mencukupi kebutuhan sehari-harinya, apalagi dengan kondisi perekonomian Indonesia saat ini yang mengalami tekanan, akibat naiknya harga minyak yang berimbas pada peningkatan harga semua kebutuhan sembako yang sangat vital bagi rumahtangga petani miskin. Oleh sebab itu rumahtangga petani berusaha mendorong setiap anggota rumahtangga untuk produktif. Sayogjo 1979 juga menjelaskan bahwa bagi rumahtangga petani miskin, penguasaan aset produksi umumnya bersifat terbatas, bila dilihat dari pola penguasaan lahan pedesaan, petani lapisan bawah merupakan buruh tani tak bertanah, petani lapisan menengah merupakan petani yang penguasaan lahannya antara 0,25 - 0,5 ha dan petani lapisan atas adalah petani yang penguasaan lahannya lebih dari 0,5 ha. Berkaitan dengan tingkat pendidikan anggota keluarga petani dari rumahtangga petani miskin kebanyakan berpendidikan rendah. Dari hasil penelitian Prasodjo 1993 di daerah pedesaan Jawa, tingkat pendidikan anggota rumahtangga umumnya hanya sampai SD. Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh anggota rumahtangga petani miskin , merupakan faktor penting mengapa rantai kemiskinnan sulit diputus. Dengan tingkat pendidikan rendah, para petani tidak bisa bersaing di pasar tenaga kerja dengan mereka yang memiliki pendididkan yang lebih tinggi. Sehingga bila dikaitkan dengan tingkat upah yang diterimanya, akan tetap rendah. Dari 20 responden yang diwawancarai hampir 80 persen menyatakan bahwa istri juga bekerja walaupun uang yang diperoleh tidak terlalu besar. Pekerjaan seorang istri hanya sebatas pada buruh tani, membuka warung ataupun membuat kue. Sedangkan tenaga kerja anak-anak dari 20 responden hanya 60 persen yang dioptimalkan untuk membantu tambahan pendapatan bagi keluarga. Sebagai gambaran adalah keluarga Pak Saih 57 tahun Pak Saih 45 bekerja sebagai buruh tani, selain mengerjaka n sawahnya sendiri Pak Saih juga mengerjakan sawah milik orang lain seluas 1500m2. Sebagai buruh tani perharinya dia bisa memperoleh antara Rp7.500-Rp15.000 namun pekerjaan sebagai buruh tani tidak sepanjang tahun ada, tergantung dari permintaan masyarakat. Untuk itu selain mengusahakan lahan sawah Pak Saih juga mengolah lahan milik PT seluas 4000m², yang ditanami pisang, dan kopi. Istrinya, bekerja dengan membuka warung kecil yang menjual jajanan ringan, seperti minuman es limun, dengan penghasilan perharinya antara Rp4.000-10.000. Sebagaimana penuturannya “... Kalau kerja cuma ngandelin satu pekerjaan saja, tidak akan cukup untuk hidup. Sepertinya kalau sambil tani meskipun hasilnya sedikit, tapi kedepannya tak usah mikirin beras lagi. Kalau istr i ikutan bekerja meski tambahan dari istri kecil tapi sangat membantu. Tentang hasil panen padi warga disini kebanyakan dimakan sendiri dan sebagian besar gak ada yang dijual. Tebasan padi didaerah sini hampir jarang ditemui...” Lain halnya yang dila kukan oleh Pak tohir 50, sebagai rumahtangga petani miskin, untuk menambah penghasilannya ia bekerja apa saja menebang pohon, mencangkul, kuli bangunan, bahkan makelar sedangkan istrinya terkadang membuat kue kalau ada pesanan dari orang. “... Hidup keluarga kami susah, penghasilan perhari tak tentu.Kadang ada kadang enggak. Dulu saya pernah kerja di Jakarta sebagai sopir, tapi sekarang tidak lagi, pingin kumpul bersama keluarga didesa. Sebenarnya saya tidak pernah menyuruh istri kerja, apapun keadaannya, saya seharusnya yang bertanggung jawab. Tapi istri saya kerja yang ringan-ringan saja seperti membuat kue. ..” Namun demikian, kontribusi pendapatan dari luar usaha pertanian juga tidak lebih baik dari kontribusi pendapatan sektor pertanian. Kondisi tersebut mengakibatkan rumah tangga petani lapisan bawah cenderung mengunakan strategi hidup survival atau mengutamakan selamat safety first dengan cara memilih jenis pekerjaan lebih aman walaupun hasilnya sedikit, dari pada memulai usaha baru tetapi mengundang resiko kerugian yang dapat menghancurkan mata pencahariannya. Pilihan alternatif yang ditetapkan adalah melakukan beragam pekerjaan bagi petani dan menjadi buruh tani atau membuka warung kecil. Pilihan ini juga dilakukan oleh istri-istri yang tidak tertarik untuk pergi ke kota karena faktor pengalaman dan pendididkan. Akan tetapi bagi rumahtangga petani yang tidak memiliki barang-barang berharga, jaringan sosial merupakan satu-satunya strategi adaptasi yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kesulitan hidup sehari-hari. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bu Wati 37 tahun “ Saya terkadang ngutang ke Bu bidan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Karena menurut saya dialah yang mampu dalam segi keuangan. Biasanya tidak ada perjannjian pengembalian, asal saya punya uang , pasti saya bayar. Selain itu terkadang saya minjem keemak saya. ” .

7.2.2 Optimalisasi Penggunaan Tenaga Kerja 1. Kerja Reproduksi

Optimalisasi penggunaan tenaga kerja dibagi menjadi dua yakni kerja produksi dan kerja reproduksi. Menurut Sitorus 1989 kerja reproduksi lebih terkait dengan urusan rumahtangga, yaitu urusan konsumsi dan urusan non-konsumsi. Urusan konsumsi bisa berwujud memasak, mencuci, mengambil air, belanja ataupun mengolah bahan makanan. Sedangkan urusan non-konsumsi bisa dalam bentuk kegiatan membersihkan rumah, mencuci, memperbaiki perabotan dan juga kegiatan pengasuhan anak. Menurut Hubeis 1985 dalam Nurmalinda 2002 , urusan konsumsi punya cakupan yang sangat luas, tidak hanya tertuju pada kegiatan konsumtif saja, melainkan mempunyai arti yang lebih luas yakni terkait juga dengan kecukupan pangan dan gizi dan juga kesehatan rumahtangga. Di rumahtangga kasus di desa Batujajar, kecenderungan kegiatan yang bersifat reproduksi baik itu konsumsi maupun non konsumsi dilakukan oleh kaum perempuan. Tidak menutup kemungkinan bahwa kegiatan memasak, mengambil air, belanja kebutuhan makan dan mengasuh anak adalah terkait masalah gender, dimana dalam hal ini kaum lelaki tidak “wajar” untuk melakukannya sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibu responden berikut ini: “.. Tugas perempuan memasak, nyuci, momong anak sedangkan suami bekerja dan jarang mau kalau disuruh mencuci pakaiannya sendiri. Kerja suami biasanya di Sawah, benerin rumah sepe rti buat pagar, benerin genteng yang bocor. Sedangkan anak-anak kalau laki- laki biasanya bekerja membantu Bapaknya di Sawah dan kalau perempuan bantu-bantu di dapur atau menjaga adiknya yang masih kecil..” Bila merujuk pada teori tindakan yang dikemukakan oleh Weber dalam Caupbell,1994. Maka pembagian pekerjaan di rumahtangga petani, di mana seorang wanita diharuskan melakukan pekerjaan di dapur atau kerja reproduksi domestik, dapat dikatakan bahwa motivasi rumahtangga cenderung pada tindakan tradisional di sini mengacu pada kegiatan yang dilakukan secara turun temurun dan jika dilanggar akan kelihatan janggal bagi masyarakat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu responden : “.. Dari dulu yang namanya wanita kerjanya di dapur dan ngurus anak. Akan aneh jika ada suami yang kerjanya di dapur, nanti dikira istri tidak bisa ngurus suami..” Adapun kasus manakala sang istri wanita ikut terlibat langsung dalam kerja produktif walaupun tidak akan meninggalkan kerja reproduksinya, motivasinya cenderung pada tindakan rasional instrumental. Gejala ini muncul manakala kebutuhan rumahtangga berpenghasilan minim. Kasus di desa pertanian berbeda dengan kasus di Kota di mana terkadang suami istri juga punya pekerjaan sedangkan kerja reproduksi sudah digantikan sebagian oleh pembantu rumahtangga. Sebagaimana yang diungkapkan oleh responden ibu-ibu: “ Penghasilan Bapak tidak cukup untuk hidup sehari-hari, apalagi harga-harga pada naik, sedangkan kebutuhan untuk makan tidak bisa ditunda. Sehingga mau tidak mau saya juga harus bantu dengan jualan kecil-kecilan di mana perharinya hanya untung Rp5.000,00- Rp8.000,00. Penghasilan segitu lumayanlah untuk membantu keuangan keluarga ”

2. Kerja Produksi.

Kerja produksi merujuk pada kerja yang menghasilkan uang. Di dalam rumahtangga tani di mana penguasaan lahan sangat minim yang rata-rata tidak mencapai 1.500 m2, akan sangat susah untuk bisa hidup dengan sederhanapun. Maka dengan keterbatasan itulah rumahtangga mendorong istri dan anak-anak yang sudah dewasa 12 tahun untuk ikut membantu dalam kerja produktif. Ketiadaan lahan bagi rumahtangga kasus bukan berarti mereka tidak bisa lagi bekerja disektor pertanian, mereka masih bisa bekerja dengan memanfaatkan lahan- lahan milik perusahaan yang belum ditambang. Namun itupun dengan catatan, yakni tanaman yang ditanam tidak boleh tanaman yang berjangka lama, hal ini untuk menjaga klaim masyarakat dikemudian hari jika perusahaan mulai menambang lahan yang dibeli dari masyarakat. Lahan yang diusahakan tidak lebih dari 2000 m2. Lahan- lahan tersebut ditanami dengan tanaman yang berumur pendek seperti sayur -sayuran dan tanaman pangan. Tanaman yang di usahakan adalah terong, jagung dan kacang- kacangan. Hasil tanaman tersebut sebagian besar untuk kebutuhan sendiri. Pekerjaan pertanian lebih dominan dilakukan oleh kepala rumahtangga dengan di bantu oleh istrinya, sedangkan anggota rumahtangga yang lain anak-anak terkadang saja membantu karena anak-anak kebanyakan be kerja di tempat lain, karena bagi kaum muda pekerjaan bertani tidak menguntungkan hal ini juga disebabkan karena ketidaktersediaan lahan yang dimiliki rumahtangga kasus. Kasus di Batujajar menunjukkan bahwa kaum muda banyak yang bekerja di luar sektor pertanian seperti menjadi tukang ojek, buruh bangunan atau buruh pabrik di Kota. Pekerjaan bertani dilakukan mulai pukul 06.00-11.30. Selama 1-2 jam mereka istirahat untuk sholat dan makan siang, dan kemudian dilanjutkan lagi sampai pukul 17.30, bahkan terkadang ada juga yang bekerja pada malam hari apabila masih ada pekerjaan yang belum selesai. Pekerjaan yang dikerjakan oleh kaum pria, mulai dari mencangkul, menanam, menyiram, memupuk dan memanen. Sedangkan kaum wanita biasanya membantu pekerjaan-pekerjaan yang tidak terlal berat, seperti menanam dan menyiangi. Pekerjaan wanita dilakukan setelah kegiatan reproduksi selesai mereka kerjakan, kecuali pekerjaan menanam dilakukan pada pagi hari yaitu dimulai pada pukul 06.00-selesai. Pekerjaan ini terkadang juga dibantu oleh pria anggota rumahtangga lainnya.

7.3 Penggunaan Uang Hasil Penjualan Tanah

Berdasarkan hasil penelitian bahwa masyarakat ada yang puas dan tidak puas dengan uang ganti rugi. Alasan yang mereka kemukakan antara lain dengan adanya konversi lahan mereka bisa menunaikan ibadah haji, membuat rumah baru, membeli tanah baru yang lebih luas, ataupun untuk usaha. Sedangkan yang tidak puas merasa bahwa ganti rugi lahan tidak memadai, untuk membeli lahan di tempat lain. Tabel 20. Penggunaan Uang Ganti Rugi 20 Responden Berdasarkan Aset Tetap dan Aset Lancar. Penggunaan Jumlah Uang Persen Aset Tetap Beli sawah 8 000 000 2,2 Bangun Rumah 80 310 602 22,6 Beli Tegalan 3 000 000 0,8 Aset Lancar Naik Haji 40 000 000 11,2 Beli Perabotan Rumah Tangga 11 308 331 3,19 Modal Usaha 31 625 000 8,9 Makan kebutuhan sehari- hari 127 811 208 36,07 Sekolah anak 3 378 786 0,9 Pengobatan 18 175 000 5,1 Sumber; data primer 2005 Rata-rata nilai penerimaman dari hasil penjualan ke perusahaan cukup bervariasi. Hal ini di sebabkan oleh perbedaan luas lahan dan juga waktu penjualan lahan yang dikonversi. Tingkat harga juga dipengaruhi oleh perbedaan tahun penjualan . Data yang disajikan pada tabel 21 menunjukan bahwa besarnya penerimaan hasil penjualan lahan 20 responen sekitar Rp.354.283.361,00 Tabel 21. Jumlah Uang Ganti Rugi Lahan Yang terkonversi No Nama Tahun Penjualan Luas Lahan M2 Harga Jual Rp Jumlah Rp Konversi ke rupiah terbaru 1 Pak Sarhan B 2004 5 000 4 000 20 000 000 2 Pak Asan 2003 2 500 4 000 6 000 000 3 Pak Saih 2004 1 250 4 000 5 000 000 4 Pak Sahari 1996 333 3 000 1 000 000 4 750 000 5 Pak Sarhan A 2000 1 500 4 000 6 000 000 6 Pak Madsuki 2003 2 600 3 000 8 000 000 7 Pak Haji Apak 2004 10 500 5 000 52 500 000 8 Pak Sajim 2004 800 5 000 4 000 000 9 Pak Salmi 1998 1 600 3 000 4 800 000 10 Pak Ahmad 2004 2 500 4 000 10 000 000 11 Pak Sugani 2004 3 000 4 000 12 000 000 12 Pak Rosyid 1996 7 000 2 500 17 500 000 83 125 000 13 Pak Sidik 1990 2 000 750 1 500 000 8 636 363 14 Pak Ramin 1990 5 000 750 3 750 000 21 590 909 15 Pak Rusdi 1990 2 500 750 1 875 000 10 795 454 16 Pak Naman 1990 2 500 750 1 875 000 10 795 454 17 Pak Sapri 1990 1 000 750 750 000 4 318 181 18 Pak Didi 1990 15 000 750 11 250 000 64 772 727 19 Pak Jahari 2003 300 4 000 1 200 000 20 Haji Emog 2002 4 000 4 000 16 000 000 Jumlah Total Uang Rp354 283 361 Tahun 1996=1U=Rp2000,00 Tahun 1978 =1U=Rp 974 Tahun 1987=1U= Rp 1650 Alokasi penggunaan uang hasil penjualan tanahnya menyebar, sebagian besar dialokasikan untuk keperluan aset tetap sekitar Rp 91.310.602, 36,8 persen seperti membeli sawah, tegalan dan membangun rumah tinggal. Pengalokasian pada aset lancar sekitar Rp 232.298.352 54 persen seperti melakukan ibadah haji, membeli perabotan rumahtangga dan lainnya. Kebanyakan penduduk yang mendapat uang ganti rugi lebih besar, akan melaksanakan ibadah haji karena unsur keagamaan yang tinggi pada mayoritas penduduk. Berdasarkan informan lapang biasanya hasil penjualan tanahnya yang diperoleh disisihkan sebagian untuk biaya sekolah, 0,9 persen. Tabel 22. Penggunaan Uang Ganti Rugi 20 Responden Berdasarkan Produktif- Konsumtif. Responden No Penggunaan Jiwa Persen Kebutuhan Produktif 1 2 3 Beli Sawah Modal Usaha Menyekolahkan anak 3 5 3 15 25 15 Kebutuhan konsumtif 5 6 7 8 9 10 11 Benahi rumahbangun rumah Naik haji Beli perhiasan Beli Perabotan RT Beli sepeda motor Makan Pengobatan rumah sakit 15 1 7 16 4 75 5 35 80 20 Alokasi penggunaan uang hasil penjualan tanahnya berdasarkan alokasi produktif dan alokasi konsumtif menunjukkan kecenderungan kearah konsumtif seperti terlihat pada tabel 22. Sebagian besar 80 persen responden menggunakan untuk kebutuhan makan, 75 persen responden untuk pembenahan rumah, dan hanya 15 persen responden yang menggunakan uang ganti rugi untuk membeli sawah di tempat lain dan 25 persen menggunakan nya untuk modal usaha dan hanya 15 persen responden menyisihkan untuk biaya sekolah anak.

7.4 Pengaruh Terhadap Kesempatan K erja