4. Pengelolaan Air Terpadu
Kebijakan ini terkait dengan pemanfaatan air yang masih dilakukan secara sektoral. Padahal jika dilakukan dengan memperhatikan banyak sektor maka
penggunaan air akan optimal.
5. Mengendalikan Pendangkalan Sungai
Kebijakan ini dilakukan dengan melihat potensi pengendapan sendimen baik sendimen dasar maupun yang melayang.
6. Penggunaan Hemat Air
Hal ini berkaitan dengan pemanfaatan air yang terlihat boros, baik untuk pertanian maupun penggunaan lain. Adanya gerakan hemat air akan memberikan nilai
manfaat air yang lebih optimal.
7. Intensifikasi Pertanian Dengan Sistem Organik Farming
Kebijakan ini berkaitan dengan penggunaan pupuk anorganik yang semakin meningkat padahal harga pupuk anorganik semakin hari semakin mahal dan sering
sekali sulit didapatkan di pasaran sehingga mengganggu jadwal pemupukan tanaman pertanian. Disisi lain potensi bahan organik cukup besar, yang
diperlukan hanya introduksi teknik pembuatan pupuk organik dan penyuluhan tentang dampak negatip pupuk anorganik terhadap lahan itu sendiri dan adanya
trend penolakan konsumen terhadap produk-produk pertanian yang menggunakan pupuk kimia.
8. Penguatan Kelembagaan Ekonomi Masyarakat
Kebijakan ini berkaitan dengan ketersediaan lembaga perekonomian yang masih kurang. Pengembangan lebih lanjut adalah mendorong terbentuknya koperasi-
Universitas Sumatera Utara
koperasi, penguatan lembaga perekonomian masyarakat yang tangguh dan mandiri.
9. Alternatif lapangan kerja
Kebijakan ini berkaitan dengan kondisi masyarakat yang tertumpu pada pertanian tanpa ada kegiatan usaha lain. Masyarakat perlu diberi alternatif lapangan kerja
baru diluar bidang pertanian untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Penyusunan Priroritas Pengelolaan
Berdasarkan kuesioner yang disampaikan pada pakar pengelolaan DAS sebanyak 10 orang diperoleh prioritas pengelolaan DAS sesuai dengan pemikiran dan
persepsinya seperti disajikan pada Tabel 29.
Aktor
Hasil analisis AHP pada tabel 27 diatas menunjukkan bahwa aktor utama dalam pengelolaan DAS berkelanjutan adalah masyarakat dengan bobot 0.341. Masyarakat
yang berada di Sub DAS Aek Silang mayoritas adalah petani dan yang penghasilannya tergantung dari komoditas pertanian seperti pedagangsaudagar hasil
pertanian, penampung hasil hutan non kayu seperti kemenyan dan rotan serta toko penjual saprodi pertanian. Dengan demikian praktek-praktek pengelolaan lahan yang
dilakukan oleh masyarakat sangat mempengaruhi kelestraian Sub DAS Aek Silang. Hal ini sejalan dengan pendapat Coxhead et al 2002 yang menyatakan bahwa
laju degradasi lahan di DAS pada daerah tropis sangat dipengaruhi oleh keputusan aktivitas yang dibuat dan dilakukan oleh petani yang berada di hulu DAS.
Universitas Sumatera Utara
Keputusan aktivitas yang dilakukan oleh petani tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat upah, harga dan peluang pasar.
Kriteria
Kriteria paling menentukan apakah suatu DAS dapat dikelola dengan baik adalah tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggal dan atau berinteraksi didalam
DAS tersebut. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat yang berada dalam suatu wilayah DAS pada umumnya makin baik pula kondisi DAS tersebut. Tingkat
kesejahteraan masyarakat dapat didekati dari tingkat pendapatan. Selama ini umumnya petani yang ada di sub DAS Aek Silang adalah petani sayur
mayor an tanaman semusim lainnya yang menggunakan pupuk anorganik yang relative banyak sehingga kurang bagus bagi lingkungan. Untuk itu pemerintah perlu
melakukan penyuluhan tentang usaha tani dengan pola agroforestry dengan memberi insentif pada awal program tersebut diperkenalkan kepada masyarakat sampai mereka
mampu melanjutkan secara mandiri berkelanjutan; misalnya pertanian kopi dengan diselingi pohon-pohon bernilai ekonomis seperti ingul, lamtoro dan alpukat dimana
jenis-jenis tersebut sangat cocok secara agroklimat.
Tujuan
Kriteria ini konsisten dengan hasil analisis tentang tujuan pengelolaan DAS yaitu tingkat kemiskinan yang semakin rendah mendapat nilai paling tinggi prioritas
paling tinggi dengan bobot 0,308. Ada banyak program pemerintah yang bertujuan untuk pengentasan kemiskinan, sehingga program tersebut bias dikaitkanbersinergi
dengan pengelolaan lingkungan DAS yang baik.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 29. Hasil Analisis Prioritas Pengelolaan DAS
Urutan Prioritas
AKTOR Koefisien
1 Masyarakat
0.341 2
PLN 0.193
3 Pemerintah Kabupaten
0.172 4
Pemerintah Provinsi 0.115
5 Lembaga Swadaya Masyarakat
0.098 6
Pemerintah Pusat 0.087
KRITERIA 1
Kesejahtraan Masyarakat Optimal 0.381
2 Debit Sungai AjegStabil
0.244 3
Erosi dapat Di Toleransi 0.202
4 Sedimentasi Rendah
0.173 SUB KRITERIA
1 Pendapatan Optimal
0.205 2
Laju erosi Lebih Kecil; dan laju pembentukan tanah 0.191
3 Aliran permukaan kecil
0.182 4
Kualitas air baik 0.171
5 Q MaxQ Min 30
0.15 6
Sedimen Terlarut Dibawah Kriteria 0.094
7 Peningkatan Sarana dan Prasarana
0.076 TUJUAN
1 Kemiskinan Rendah
0.308 2
Fungsi lahan optimal 0.252
3 Ketersediaan dan kualitas air baik
0.25 4
Pelestarian Sungai dan Danau 0.2
KEBIJAKAN 1
Penguatan Kelembagaan Pengelolaan DAS 0.194
2 Penguatan Kelembagaan Ekonomi Masyarakat
0.184 3
Menetapkan Proporsi Penggunaan Lahan Optimal 0.114
4 Alternatif lapangan kerja
0.114 5
Penyuluhan Pertanian Berkelanjutan 0.109
6 Pengelolaan AirTerpadu
0.092 7
Mengendalikan Pendangkalan Sungai 0.07
8 Penggunaan Hemat Air
0.061 9
Intensifikasi pertanian dengan system Organic Farming 0.056
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan
Sedangkan hasil
analisis tentang
kebijakan menempatkan
penguatan kelembagaan pengelolaan DAS menjadi prioritas utama bobot 0,194.
Penguatan Kelembagaan Pengelolaan DTA Danau Toba
Menurut Kartodihardjo et al. 2000, kinerja pembangunan pada umumnya dipengaruhi oleh empat faktor yaitu sumberdaya alam natural capital, sumberdaya
manusia human capital, sumberdaya buatan man made capital dan kelembagaan formal maupun informal masyarakat social capital. Oleh karena itu pemahaman
tentang pembangunan berkelanjutan sustainable development adalah untuk menjamin pemanfaatan sumberdaya secara bertanggungjawab dengan memperhatikan
kelestarian fungsi ekologis, ekonomis dan sosial budaya terutama di tingkat pemerintahan kabupaten dan kota dalam era Otonomi Daerah sekarang ini.
Upaya eksploitasi SDA secara besar-besaran di beberapa daerah untuk mengejar target pendapatan asli daerah PAD disinyalir telah meningkatkan laju kerusakan
DTA danau Toba. Sebagai contoh kebijakan tentang penebangan pohon hutan yang masih berbeda-beda di masing-masing kabupaten. Ada kabupaten yang menghentikan
penebangan hutan sementara di kabupaten lainnya penebangan pohon berjalan terus, yang menimbulkan rasa iri diantara masyarakat oknum. Demikian juga dengan
Perda Propinsi Sumatera Utara No. 1 tentang pemanfaatan ruang wilayah pantai Danau Toba yang tidak dipatuhi oleh hampir seluruh kabupaten terkait. Bahkan
penambangan galian C di curaman Danau Toba yang langsung meruntuhkan bukitdaratan ke badan danau Toba hanya untuk mengambil batu cadas tetap
Universitas Sumatera Utara
berlangsung di beberapa kabupaten tanpa ada upaya pengendalianpencegahan dari aparat pemerintah.
Pemanfaatan sumberdaya alam SDA yang meliputi beberapa wilayah perlu diatur dalam strategi pengelolaan DAS secara terpadu, menyeluruh, fleksibel dan
berkeadilan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Untuk itu diperlukan peningkatan kapasitas kelembagaan yang menangani pengelolaan DAS institutional
capacity building yang sistematis dan terstruktur secara terus menerus Sinukaban, 2008. Hal ini sejalan dengan hasil analisis AHP yang menempatkan penguatan
kelembagaan pengelolaan DAS sebagai prioritas nomor satu. Strategi yang dapat ditempuh dalam peningkatan kapasitas kelembagaan untuk
menghindari terjadinya konflik antar wilayah adalah : a.
Membangun kesepahaman dan kesepakatan antar daerah otonom dalam pengelolaan DAS lintas regional
b. Membangun system legislasi yang kuat
c. Meningkatkan peranan institusi kelembagaan dalam pengelolaan DAS
d. Meningkatkan kemampuan SDM dalam pengelolaan DAS.
Kebijakan publik dalam aspek pengelolaan sumberdaya alam akan memiliki kekuatan untuk mengendalikan perilaku masyarakat publik apabila dikukuhkan oleh
system legal hukum yang memadai. Legislasi dalam bentuk Perda masing-masing kabupaten sangat diperlukan terutama untuk mengurangi aktivitas yang menimbulkan
kerusakan lingkungan dalam DTA danau Toba dan “memaksa” publik untuk mentaati prinsip-prinsip pengelolaan DAS berkelanjutan.
Universitas Sumatera Utara
Masing-masing ketujuh pemerintah kabupaten di DTA Danau Toba perlu memahami prinsip pembangunan berkelanjutan dalam pelaksanaan OTDA sehingga
mereka memahami mekanisme hidrologis yang berjalan secara alami dalam penggunaannya.
Penguatan institusi dalam pengelolaan DAS dibutuhkan untuk mencapai tujuan pengelolaan DAS. Kondisi institusi yang kuat merupakan prasyarat penyelenggaraan
pengelolaan DAS yang baik Sinukaban, 2008. Ketergantungan terhadap sumber daya alam yang masih tinggi dan kurangnya kepedulian masyarakat terhadap
kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan merupakan indikator lemahnya institusi pengelolaan DAS di Indonesia. Institusi pengelolaan DAS yang ada di Indonesia
belum memiliki peranan yang kuat terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dalam DAS.
Untuk DTA Danau Toba telah terbentuk Badan Koordinasi Pengelolaan Ekosistem Danau Toba BKPEDT dengan dokumen LeTEMP Lake Toba Ekosistem
Managemen Plan melalui Peraturan Gubernur Sumatera Utara No.12 Tahun 2006. Hal ini terjadi karena keberadaan BKPEDT yang hanya bersifat koordinatif dan
belum mempunyai perangkat di tingkat kabupaten dan LeTEMP belum diadopsi di dalam Peraturan Daerah masing-masing kabupaten sehingga tidak mempunyai system
legislasi yang kuat. DTA Danau Toba membutuhkan satu ”Badan Pengelola” yang diberi mandat
untuk melakukan perencanaan, implemtasi kegiatan-kegiatan tertentu, evaluasi dan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh ketujuh
Kabupaten di DTA Danau Toba dan secara eksplisit dicanangkan dalam RPJP dan
Universitas Sumatera Utara
RPJM di tiap kabupaten. Demikian juga dengan alokasi dana, sebaiknya ketujuh Kabupaten membuat suatu kesepakan tentang jumlah minimum dana APBD masing-
masing untuk kegiatan perbaikan kondisi DTA Danau Toba, disamping alokasi dana yang bersumber dari APBD Propinsi dan APBN. Saat ini sedang dilakukan
penggodokan Rancangan Peraturan Presiden RanPerpres tentang pengelolaan kawasan DTA danau Toba sebagai kawasan stategis nasional, maka harus betul-betul
dikawal penyusunannya dan disosialisasikan kepada masyarakat sehingga peran para pihak stake holders dapat tergambar dengan jelas.
Hal lain yang perlu disepakati bersama oleh ketujuh Kabupaten di DTA Danau Toba adalah kebijakan tentang pengelolaan hutan baik yang menyangkut aktifitas
penebangan maupun upaya rehabilitasi hutan dan lahan harus saling bersinergi jangan sampai saling menafikan satu sama lain.
BKPEDT memegang peranan yang sangat strategis dalam mengkordinasikan seluruh stakeholders pengelolaan DTA Danau Toba yang dapat bekerjasama dengan
Balai Pengelolaan DAS Asahan Barumun sebagai Unit Pelaksana Terknis UPT Departemen Kehutanan yang mempunyai tugas pokok dan fungsi melakukan
perencanaan, evaluasi dan monitoring serta kelembagaan pengelolaan DAS. Adanya suatu rencana Pengelolaan DAS Terpadu di DTA Danau Toba yang merupakan salah
satu tugas dari BPDAS Asahan Barumun mutlak diperlukan. Dalam penyusunannya harus dilakukan secara bersama-sama dan terintegrasi diantara ketujuh pemerintah
kabupaten yang bisa dimotori oleh BKPEDT. Rencana pengelolaan DAS terpadu tersebut sebaiknya diadopsi oleh masing-masing Kabupaten di DTA Danau Toba
dalam bentuk Peraturan Daerah.
Universitas Sumatera Utara
VI. KESIMPULAN DAN SARAN