The acher as caregiver, model Teaching values through the Caring Beyond the classroom Creating positive moral culture

TO VALUES AND CHARACTER EDUCATION Classroom Strategies

1. The acher as caregiver, model

and mentor 2. A moral classroom community 3. Moral discilpin 4. A democratic classroom environment

5. Teaching values through the

curriculum 6. Cooperative learning 7. Conscience of craft 8. Moral reflection 9. Teaching conflict resolution Schoolwide Strategies

1. Caring Beyond the classroom

2. Creating positive moral culture

in the school 3. School,parents, and communities as partner Character 1. Moral Knowing 2. Moral Feeling 3. Moral Action 1. Menyangkut perubahan-perubahan dasar dalam struktur kognitif 2. Hasil dari proses interaksi antara struktur, organisme, dan lingkungan 3. Mengarah pada terciptanya equilibrium yang semakin besar dalam interaksi antara organisme dan lingkungan TEORI “SOCIAL LEARNING” Faktor lingkungan paling menentukan tingkah laku moral seseorang. Seseorang terikat dalam tindakan moral karena hadiah dari diri sendiri. TEORI KESADARAN MORAL: Norma-norma moral seseorang adalah bagian instrinsik dirinya Patokan-patokan moral yang diinternalisasikan menjadikan seseorang peka terhadap tekanan eksternal dan godaan-godaan TEORI ATRIBUSI  Prinsip kecukupan minimal menurut Lepper: Internalisasi moral akan dimudahkan dengan disiplin orang tua yang meletakkan tekanan minimal pada anak  Menurut Dienstbier: hukuman dari orang tua akan memunculkan emosi  Indoktrinasi dikonotasikan negatif  Metode indoktrinasi dianggap “haram”  Ironis: dalam pelaksanaan sering dilakukan Utilisme-Rasional John Wilson Perbedaan Afeksi: Pendidikan sebagai upaya penerapan aktivitas yang dikehendaki Indoktrinasi sebagai upaya penerapan aktivitas yang tidak dikehendaki,bahkan tidak disukai Tujuan Pendidikan moral: Membentuk manusia bebas untuk merefleksi dan memilih komitmen moralnya sendiri-sendiri Kritiknya: Indoktrinasi:  Upaya menanamkan kepercayaan secara tidak sah, pembenaran sesuatu kepercayaan yang tidak fair.  Menjauhkan agen moral yang independen, reflektif, dan mampu mengambil keputusan moral sendiri. Indoktrinasi merefleksikan usaha untuk memaksakan kondisi tanpa kebenaran ke satu kondisi tanpa bukti. Kenyataan yang sulit diterima dalam pendidikan. Indoktrinasi tidak mempedulikan peserta didik: Ketidakpedulian praktek indoktrinasi terhadap fakta bahwa pendidikan berimplikasi kepada pertumbuhan dan perkembangan yang bersumber dari dari diri peserta didik. Jadi, bukan pemaksaan dari luar.  Ia mengakui pentingnya mengajarkan isi nilai tertentu kepada peserta didik.  Sekolah sebagai agen sosialisasi maupun advokasi, dapat saja memanfaatkan pendekatan-pendekatan indoktrinasi TERDIDIK SECARA MORAL  Guru pendidikan moral menghasilkan “sesuatu”, yaitu pribadi terdidik secara moral.  Emile Durkheim: sosok pribadi yang terdidik secara moral bervariasi antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya.  Kesan: tidak ada satu model ideal  Tawaran pandangan: Pribadi yang bertindak selaras dengan iklim, cita-cita dan idealisasi masyarakatnya sendiri  Satu kualitas formal yang harus dipenuhi, yaitu ketrampilan dan watak yang memang sengaja dikembangkan sekolah, yang mampu mendorong serta menumbuhkan kebutuhan peserta didik untuk berfungsi sebagai agen moral bagi masyarakatnya  Tiga kemampuan dasar yang harus dimiliki: 1. disiplin 2. memasyarakat 3. otonomi diri 1. Mampu berkorban demi perwujudan tanggung- jawab terhadap perjuangan menegakkan kebenaran 2. Bukan sebagai pemberontak, tetapi sebagai “juru bicara” yang mampu mewakili moralitas sosial dalam arti yang sebenarnya. “Pemberontakan” nya bukan antisosial, tetapi atas nama visi masyarakat yang lebih benar dan lebih baik 3. Figur yang mampu menyadari, menerima dan menghargai ide-ide besar secara bebas dan otonom. NEGARA ASIA  1. JEPANG PRINSIP MORAL TRADISI JEPANG: ANAK HARUS MEMILIKI RASA HORMAT THD ORANG TUA DAN GURU PENDIDIKAN MORAL DIPERKENALKAN SEBAGAI ALAT UTK MENGUATKAN NILAI-NILAI REMAJA AGAR TIDAK BER- PERILAKU MENYIMPANG PENDIDIKAN MORAL DI SEKOLAH DILAKUKAN SEJAK TAHUN 1958. 1. SEBELUM PERANG ADANYA ORIENTASI PENDIDIKAN BARAT 1872 MENGAKIBATKAN PRIORITAS PADA IPTEK DAN MENGABAIKAN PEND. MORAL. TH. 1890  KEMBALI KE KONSERVATIF SEKOLAH MENJADI TEMPAT PENDIDIKAN POLITIK DAN MORAL SECARA SISTEMATIS BERLANJUT SAMPAI DENGAN AKHIR PERANG DUNIA II TH. 1951 MENTERI PENDIDIKAN JEPANG MENYIAPKAN “A GUIDE TO MORAL EDUCATION” YANG MENDORONG GURU- GURU MEMASUKKAN PENDIDIKAN MORAL DALAM PELAJARAN ILMU-ILMU SOSIAL ORANG TUA BINGUNG KARENA BANYAK PERUBAHANKEBIJAKAN ORANG TUA TETAP MENGINGINKAN ADA PENDIDIKAN MORAL DI SEKOLAH EMPAT ASPEK POKOK PENDIDIKAN MORAL DI SEKOLAH JEPANG 1. TUJUAN DAN PRAKTEK PENDIDIKAN MORAL SBG MATA PELAJARAN BEBAS 2. CIRI-CIRI UTAMA DARI TOPIK SOSIAL SBG DASAR PENDIDIKAN MORAL 3. PROMOSI TTG PERILAKU SUSILA MELALUI KEGIATAN KELOMPOK 4. PELAKSANAAN PERATURAN KELAKUAN SISWA DI SEKOLAH MENENGAH PENDIDIKAN MORAL = PELAJARAN DISIPLIN DIRI SHUSIN. DIMASUKKAN DALAM ILMU SOSIAL DENGAN PENEKANAN PENDIDIKAN KEWARGANEGA- RAAN YANG BAIK 1956  PENINGKATAN PENDIDIKAN MORAL SETIAP REZIM SELALU MEMPERHATIKAN PENDIDIKAN MORAL. SD  CORRECT LIFE SMP  DEMOCRATIC LIFE SMA PT  NATIONAL ETHICS 1964: PENEKANAN PADA EMPAT BUTIR MORAL: 1. COURTEOUS LIFE SOPAN SANTUN 2. INDIVIDUAL LIFE 3. SOCIAL LIFE 4. NATIONAL LIFE a. 1949 – REVOLUSI KEBUDAYAAN SEBELUMNYA PERIODE NASIONALIS DIGUNAKAN MODEL AMERIKA DAN EROPA. REFORMASI PENDIDIKAN BERDASAR SLOGAN MAO: ON NEW DEMOCRACY: • MEMPERKUAT IDEOLOGI POLITIK PEND. • PENTINGNYA TENAGA KERJA PRODUKTIF • PENGEMB. SPESIALISASI TEKNIK • BERPIKIR DAN BERTEORI SESUAI IDEOLOGI RRC 5. UNIFORMITAS DAN SENTRALISASI