Poverty Profile and Its Extension Approach in Lampung

PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian

-.
Gejala kemiskinan sebenarnya bukan masalah baru bagi bangsa Indonesia, ha1
ini sudah menjadi fokus kebijakan sejak pemerintah kolonial Belanda dengan
program anti kemiskinan yang dikenal dengan Politik Etis (1900). Sesudah Indonesia merdeka permasalahan ini tetap menjadi perhatian pemerintah, baik dalam
masa Orde Lama maupun Or& Baru Kemiskinan merupakan gejala masyarakat
yang berkaitan dengan aspek ekonomi, sosial, budaya, agama, politik, bahkan
sifat-sifat individual atau personaliry seseorang. M e m b h hingga menanggu-

langi gejala kemiskinan banyak dipengaruhi oleh cara panclang suatu bangsa, atau
cara pandang seseorang terhadap gejala kemiskinan itu sendiri.

Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan sejak Pelita Pertama (19691
1970-197311974) hingga Pelita Kelima (198611987-199211993 telah menunjuk-

kan hasil, diantaranya adalah menurunnya jumlah penduduk miskin dari sejumlah
70 juta atau 60 persen pada tahun 1970, menjadi 27,2 juta atau 15,l persen pada
tahun 1990 (BPS, IWO), t a h 1993
~

menjadi 13,67 persen atau 25,9 juta (BPS,
1993), dan masih 23,3 juta atau 11 9 persen pada tahun 1996 GPS.1996). Masih
tingginya proporsi penduddc miskin &pat mengakibatkan berbagai permasalahan
sosial lainnya seperti rendahnya tingkat konsumsi pangan dan status gizi, rendah-

nya produktivitas kerja, tingginya kematian bayi dan anak-anak, yang semuanya
ini m e ~ p a k a nindikator rendahnya mutu hidup m a s y k t . Hal ini yang dapat
1

menyadarkan kita akan perlunya penyempumaan langkah pembangunan yang
lebih menjanjikan tercapainya mutu hidup yang lebih baik dan merata.
Pemikiran, pembahasan, hingga tindakan secara khusus untuk meningkatkan
upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan oleh pemerintah m;upun masyarakat mulai awal Peliia ke VI. Secara khusus pemerintah bempaya meningkatkan
penanggulangan kerniskinan yang menjangkau seluruh desa dan penduduk miskin,
baik di desa tertinggal maupun di desa tidak tertinggal. Di desa tertinggaf
melalui Inpres No.5 tahun 1993 tentang Pemngkatan Penanggulangan Kemiskinan
yang dikenal dengan Program Inpres Desa Tertinggal atau IDT (Bappenas, 1993).
Di desa trdak tertrnggal melalui Inpres No.3 tahun 1996 tentang Pembangunan
Keluarga Sejahtera, dalam rangka penanggulangan kerniskinan khususnya di desa
trdak tertinggai. Agar upaya peningkatan penanggulangan kerniskinan itu &pat


efektif, tepat mengenai sasaramya, baik penduduk, rumah tangga ataupun desa
miskimya, diperlukan pemahaman secara mendasar mengenai bentuk, sifat,
karakteristik, dan faktor-faktor yang rnenentukan terjadinya kemiskinan PerenCanaan dan pelaksanaan penanggulangm kemiskinan yang disertai dengan pemahaman profil dan karakteristiknya akan lebih terarah, tepat mengenai sasaran, dan
lebih efektif pencapaian tujuannya. Sebatan penduduk miskin tersebut sebagian
besar (66 persen) berada di daerah pedesaan (BPS, 1993). Penduduk miskin
diasumsikan mengumpul atau berada di daerah-daerah yang masih tertinggal baik
di perkotaan maupun di pedesaan. Hasil Susenas 1993 menunjukkan ada sejum!ah 20.633 buah desa yang masih tertinggal atau 31,47 persen dari 65.554 buah
desa di seluruh Indonesia

Di Propinsi Lampung dari sejumlah 1973 desa, terdapat 635 desa atau 32.18
persen yang tertinggal dan yang tersebar di tujuh Daerah Tingkat 11. Di Kota
Madya Bandar Lampung terdapat 3,57 persen, Kabupaten Lampung Tengah 16.24

-.

persen, Kabupaten Lampung Selatan dan Tanggarnus 33,P persen, Kabupaten
Lampung Uhua, Tulang Bawang dan Kabupaten Lampung Barat 4497 persen
Propinsi Lampung yang luas arealnya 35.376,50 KM2 .terletak di bagian paling
ujung ten-


p u l a Sumatera berbatasan: Sebelah Utara dengan Propinsi

Sumatera Selatan, sebelah Selatan dengan Selat Sunda, sebelah Timur dengan
Laut Jawa, dan sebelah Barat dengan Samudera Indonesia. Propinsi ini terletak
pada kedudukan Timur-Barat antara: 105" 50' Bujur Timur -103' 40' Bujur

Timur. Utara - Selatan antara 3" 45' Lintang Selatan dan 6' 45' Lintang Selamn
Topografi Daerah Lampung dibagi dalam lima unit topografi: (1) Daerah t o p
grafis berbukit sampai bergunung, (2) Daerah topografis berornbak sarnpai
Irergelombang, (3) Daerah dataran tinggi alluvial, (4) Daerah daratan r a w p a n g
surut, dan (5) Daerah River basin.

Lampung beriklim tropis-humid dengan angin laut lembab yang bertiup dari
Samudera Indonesia dengan dua musim angin setiap tahunnya, yaitu: (1) Bulan
Nopember s/d Maret angin bertiup dari arah Barat dan Barat Laut, dan (2) Bulan
Juli s/d Agustus angin bertiup dari arah Timur dan Tenggara, dengan kecepatan
angin rata-rata 5,83 Kajam. Temperatur udara rata-mta berkisar antara 26"28OC dan kelembaban udara sekitar 80-88 persen.

Penduduk Propinsi Lampung hasil Susenas tahun 1995 bejumlah 6.680.300

jiwa, dengan pertumbuhan penduduk sebesar 2.18 persen pertahun. Sebamn

penduduk ini yang, tinggal di daerah pedesaan mencapai 86.13 persen, dan di
perkotaan 13.81 persen Sebaran penduduk ini menurut daerah tingkat II adalah
sebagaimana terlihat pa& Tabel 1.

Tabel 1. Luas Wdayah, Jumlah Penduduk, Rumah Tangga, Desa Tertinggal (DT) dan
Desa Bukan Thnggal WT)menurut D&?rah Tingkat I1 sfd 1995

No

I Dati U

I Luas Wid

Jumlah

Pdkl

I KM2


Pduk

RTangga

D.T

NDT

DT.NDT

Kh42

1.

L.Selatan

6649,29

1854300


377353

218

424

642

278

2.

L.Tengah

9189.50

2018300

397668


83

428

511

209

3.

L.Utara

14418.5

1608100

307034

254


320

574

100

4.

L.Barat

4950.0

366900

70771

75

85


162

69

5.

Bd.Lampg

169,21

832400

115915

3

81

84


3704

35376,s

6680300

1268741

635

1338

1973

174

Tot

Dilihat dari lapangan pekejaan utamanya menunjukkan bahwa sektor pertanian


dalam rPldan terbesar (72.48 persen), yang diikuti dengan sektor pedagangan,

indumi dan jasa (Tabel 2.)
Pabangunan di Propinsi Lampung yang dilaksanakan sejak Pelita I telah
menarnpakkan hasilnya yang cukup baik sampai akhir Pelita V (1993).

Product

Domcstic Rcgronaf Brutto PDRf3) Lampung atas dasar harga yang berlaky pada

tahun 1993 mencapai Rp.5.111.888juta (th 1993), dibandingkan pada awal Pelita

V (1988) yang hanya Rp.2.539.985,- juta menunjukkan kenaikan dua kali lipat
lebih, ha1 ini menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Berdasarkan harga
konstan 1983, terdapat kenaikan yang cukup berarti selama Pelita V, yaitu
Rp.1.644.969 juta (1988) meningkat menjadi Rp.2.432.307 juta (1993). Kenaikan

Tabel 2. Prosentase Penduduk usia 10 tahun ke atas menurut
Lapangan Pekeqaan Utamanya (Hasil Susenas 1993)

NO.

Lapangan Pekejaan Utama

Prosentase

2.

Perdagangan

9,9 1

3.

Jasa

7,96

5.

Jasa

2.35

6.

Konstruksi

1,41

7.

Pertambangan clan Galian

0,65

8.

Lain-lain (Keuangan, gas, lisrik, Air)
Jumlah

100,OO

ini mengsgmbarkan adanya pertumbuhan ekonomi daerah Lampung selama Pelita
V ma-ma mencapai 8,14 persen pertahun dan selama 3 tahun pelita ke VI
p-hmbuhannya sebesar 8,51 persen pertahun. Peningkatan PDRB yang cukup

tin& ini diiringi dengan meningkatnya masing-masing komponen pengguna-

annya. Khusus komponen pengeluaran konsurnsi rumahtangga meningkat dari
Rp.1.581.000,37 juta tahun 1988 menjadi Rp.2.719.649,25 juta pada tahun 1993,
pada penghitungan yang berdasar pada harga yang berlaku, yang mencapai 53,20
persen dibanding dengan komponen penggunaan lainnya.
Pengeluaran penduduk perkapita per bulan di Propinsi Lampung (1990)
mencapai Rp 24.616,- perbulan, meningkat menjadi Rp.29.812,- perbuian (naik
22.32 persen). Pada tahun 1990 sekitar 66.71 persen digunakan untuk

memenuhi kebutuhan konsumsi pangan, dan 33.29 pemn untuk non pangan.
Pada tahun 1993, sekitar 65.17 persen digunakan untuk pengeluaran pangan,

dan 34.83 persen untuk non pangan. Terjadinya perubahan konsumsi perkapita

.

dan perubahan struktur pengeluaran untuk konsumsi dari pangan ke non-pangan

(1.54 persen), merupakan salah satu tanda meningkatnya kesejahteraan. Perbedaan wilayah pedesaan dan perkotaan menunjukkan bahwa di pedesaan pengeluaran perbulan Rp.27 191,-, sejumlah 68.07 penen untuk pangan, dan 31,93 persen
untuk non pangan. Di perkotaan pengeluaran perkapita Rp. 46.168,- sejumlah
54.50 persen untuk pangan, dan 45,50 persen untuk non-pangan.

Tingginya

pengeluaran untuk non pangan di pedesaan dibandingkan dengan diperkotaan, ini
berkaitan dengan rendahnya pendapatan, dan lebih dicurahkan pada pemenuhan
kebutuhan dasar (pangan).
Struktu~perekonomian daerah Larnpung sampai dengan Pelita V, masih
didominasi sektor pertanian dengan kontribusi s e h 41,46 persen (1993). dan
38,19 persen (1996), walaupun cenderung menunmjika dibandingkan pada tahun

1988 sebesar 46,49 penen, berdasarkan harga yang berlaku Menurunnya kontribusi sektor pertanian ini diikuti dengan menaiknya kontribusi pada sektor lain
seperti industri, perdagangan, bangunan dan konstruksi, serta angkutan dan
komunikasi. Pada Tabel 3 tenebut menunjukkan bahwa terdapat tiga sektor (pertanian, industri, dan perdagangan) yang memberikan peran cukup besar terhadap
pertumbuhan PDRB selama pelita V di Propinsi Lampung. Selama lima tahun
pertumbuhan tertinggi pa& tahun 1992 (12,18), dan terendah pada tahun 1991
(5,021.

Tabel 3. Peranan Tiap Lapangan Usaha Terhadap Perturnbuhan
PDRB Atas Dasar Harga Konstan 1983, tahun 1989-1993
No.

Lapangan Usaha

1989

1990

1991

1992

1993

1.

Pertanian

3,lO

2,81

1,49

6,70*-

3,11

2.

Pertambangan

0,O 1

0.03

0,05

0,05

0,05

3.

hdustri

0,96

0,58

1,78

2,02

1,70

4.

Listrik

0,08

0,05

-0,12

0,211

0,05

5.

Bangunan

0,34

0,53

0,9 1

0,98

0,26

6.

Perdagangan

1,31

1.82

1,16

1,87

1,lO

7.

Angkutan

0,70

0,42

0,22

0,46

0,34

8.

Bank

1,09

0,66

-1,61

-0,48

0,22

9.

SewaRumah

0,33

0,27

0,56

0,2 1

0,57

10

Pemerintahan

0,24

0,54

094

0,08

0,11

11.

Jasa-jasa

0,07

0,lO

0,13

0,06

0,06

PDRB

8,23

7,82

5,02

12,s

7,56

Pendapatan perkapita mengalami kenaikan yang cukup berarti, tahun 1988
sebesar Rp.410.032,- menjadi Rp.850.311,- pada tahun 1993, naik rata-rata 11,43

pertahun yang melebihi angka nasional sebesar 4,63 persen, dan pada tahun 1996
mencapai Rp.1.374.173,- berdasarkan harga berlaku. Untuk penduduk miskin
pendapatan perkapita hanya Rp.310.335;.

Hal ini menandakan bahwa seacara

umum daya beli masyarakat Lampung semakin membaik, kecuali pada penduduk
miskin.

Masyarakat Lampung dalam bentuknya yang asli memiliki struktur adat sendin.

Secara umum dibedakan dalam dua kelompok: (1) masyarakat adat Pe-

minggir yang berada di sepanjang pesisir yang mencakup adat Krui, Ranau

..

Komering, sampai Kayu Agung, dan (2) masyarakat Pepaduan, yang tinggal di

daerah pedalaman Lampung, yang terdiri dari masyarakat adat Abung, Pubian,
Menggalal Tulang Bawang dan Buai Lima. Masyarakat Lampung memiliki lima
prinsip dalam kehidupannya: (1) Pi'il Pasenggiri merupakan sesuatu yang
menyangkut harga din, prilaku, dan sikap hidup yang dapat menjaga nama baik
dan martabat, baik secara pribadi maupun secara kelompok; (2) S a h i sambayan

identik dengan gotong royong, tolong menolong, bahu membahu, dan saling
memberi sesuatu yang diperlukan oleh pihak lain; (3) Nemui Nyimah berarti
bermurah hati, ramah tamah terhadap semua pihak baik orang dalam kelompoknya, maupun terhadap pihak siapa saja yang berhubungan dengan mereka, (4)
,Vengalz Nyapur, merupakan tata pergaulan masymakat Lampung dengan
kesediaan membuka din &lam pergaulan masyarakat umum dan berpengetahuan

luas, dan turut berpartisipasi dalam segaia ha1 yang baik dan membawa kemajuan
masyarakat; dan (5) Bejuluk Beadek

yaitu tata ketentuan pokok yang harus

diikuti (Tirei Gemattei), seseorang disamping memiliki nama pemberian orang
tua, juga memiliki pangpiIan terhadapnya Bejuluk Ouluk) bagi yang belum

keluarga dan Beadek (adek) bagi yang sudah kawin, dengan melalui upacara adat
tertentu. Karena penduduk Lampung juga terdiri dari masyarakat pendatang dari
luar Lampung, maka masing-masing suku tersebut memiliki adat dan kebiasaan

tersendiri yang tumbuh dan berkembang. Masyarakat pendatang ini mencapai 70
persen lebih dari jumlah penduduk Lampung.
Gambaran yang jelas tentang penduduk, rumahtangga dan desa miskin di
Propinsi Lampung, baik bentuk, sifat, dan karakteristiknya bahk& faktor-faktor
yang berkaitan dengan kemiskinan itu sendiri belllm ditemukan Pemikiranpemikiran dan diskusidiskusi tentang kemiskinan yang dilaksanakan masih
berkisar pa& tingkat konsepsional, bahkan &lam bentuk tindakan penanggulangannyapun masih didasarkan pa& infomasi makro yang diperoleh dari data
sekunder hasil pelaporan yang cenderung lebih bersifat administratif. Karena itu,
diperlukan pemaharnan secara lebih mendasar tentang gejala kemiskinan
mengenai profilnya, sehingga &pat rnengungkapkan profil penduduk dan rumah
tangga miskin secara akurat. Untuk memahami profil kemiskinan dilakukan
pengkajian secara ilmiah, sehingga akan &pat diketahui dengan benar bentuk, sifat, karakteristik, dan faktor-faktor penyebab. Kejelasaan, kecematan dan kebenaran profil kemiskinan tersebut merupakan infomasi dasar untuk merencanakan
pendekatan penyuluhan dalam membantu menanggulanginya. Perencanaan yang
tepat, dan yang sesuai dengan profil kemiskinannya akan menentukan keefektifan
pelaksanaan penanggulangannya.

Permasalahan Penelitian

Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut di atas, maka &pat dirumuskan
masalah pokok penelitian ini yaitu: Bagaimana profil kemiskinan dan pendekatan
penyuluhan &lam membantu menanggulanginya di Lampung?

Secara lebih rinci rumusan permasalahannya adalah:
(1) Bagaimana profil kemiskinan dan hubungannya dengan beberapa variabel?,
(2) Bagaimana pendekatan penyuluhan dan hubungannya dengan profil

kemis-

r.

kinan?,

(3) Bagaimana hubungan kondisi perilaku, struktur ekonomi, karakteristik individy dengan tingkat pemenuhan kebutuhan hidup, dan aktivitas keja?, dan
(4) Bagaimana perbedaan

kondisi perilaku, struMur ekonomi, karakteristik,

tingkat pemenuhan kebutuhan hidup, dan profil kemiskinan pada berbagai
tipologi wilayah?.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menemukan profil kemiskinan untuk merancang
pendekatan penyuluhan dalam membantu menanggulanginya. Secara lebih rinci
tujuan y
m ingin dicapai adalah untuk:
(1) Menemulcan profil kemiskinan dan hubungamya dengan beberapa variabel,

(2) Merancang bentuk pendekatan penyuluhan &lam hubungannya dengan profil
kemiskinan,

(3) Memahami hubungan kondisi perilaku, struktur ekonomi, karakteristik, dengan tingkat pemenuhan kebutuhan hidup, dm aktivitas keja,dan
(4) Memahami perbedaan kondisi perilaku, struktur ekonomi, karakteristik, dan

tingkat pemenuhan kebutuhan hidup pa& berbagai tipologi wilayah,

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang
profil kemiskinan di Lampung dan pendekatan penyuluhan untuk membantu
menanggulanginya. Selanjutnya hasil ini diharapkan dapat dijadikan masukan
bagi pengambilan kebijakan dalam penanggulangan kemiskinan, khususnya di
Propinsi Lampung.

TINJAUAN PUSTAKA
Pandangan tentang Kerniskinan

Perbedaan pandangan dari setiap ahli tentang kemiskinan merupakan ha1
yang wajar. Hal ini bukan karena data, dan metode penelitian yang berbeda,
tetapi justru terletak pada latar belakang idiologisnya Menurut Weber (Swasono,
1987), idiologi bukan saja menentukan macam masalah yang dianggap penting,
tetapi juga mempengaruhi cara mendefinisikan masalah sosial ekonomis, dm
bagaimana masalah sosial ekonomis itu diatasi. Kerniskinaan disepakati sebagai
masalah yang bersifat sosial ekonomis, tetapi penyebab dan cara mengatasinya
terkait dengan idiologi yang melandasinya. Untuk memahami idiologi tersebut
ada tiga pandangan pemikiran yaitu konservatisme, liberalisme, dan radikalisme
(Swasono, 1987).

Penganut masingmasing pandangan memiliki cara yang

berbeda dalam menjelaskan kemiskinan Kaum konservatif memandang bahwa
kemiskinan bermula dari karakteristik khas orang miskin itu sendiri. Orang
menjadi miskin karena tidak mau bekej a keras, boros, tidak mempunyai rencana,
kurang memi-liki jiwa wiraswasta, fatalis, dan tidak a& hasrat untuk berprestasi.
Menurut Oscar Lewis (1983), orang-orang miskin adalah kelompok sosial yang
mempunyai budaya kemiskinan sendiri yang mencakup karakteristik psikologis,
sosial, dan ekonomi. Kaum liberal memandang bahwa manusia sebagai rnakhluk
yang baik tetapi sangat dipengaruhi oleh lingkungan.

Budaya kemiskinan

hanyalah semacarn realistic and situational adapation pada lingkungan yang

penuh diskriminasi dan peluang yang sempit Kaum radikal mengabaikan budaya
kemiskinan, mereka menekankan peranan struktur ekonomi, politik dan sosial,

dan memandang bahwa manusia adalah makhluk yang kooperatif, produktif dan
r.

kreatif
Philips dan Legates (1981) mengemukakan empat pandangan tentang kemis-

kinan, yaitu: Pertama, kemiskinan dilihat sebagai akibat dari kegagalan personal
dan sikap tertentu khususnya ciritiri sosial psikologis individual dari si miskin
yang cenderung menghambat untuk melakukan perbailcan nasibnya Akibatnya, si
miskin tidak melakukan rencana ke depan, menabung dan mengejar tingkat
pendidikan yang lebih tin&

Kedua, kemiskinan dipandang sebagai akibat dari

sub budaya tertentu yang ditumnkan dari generasi ke generasi. Kaum miskin

adalah kelompok masyarakat yang memiliki subkultur tertentu yang berbeda dari
golongan yang tidak miskin, seperti memiliki sikap fatalis, tidak mampu
melakukan pengendalian din, berorientasi pa& masa sekarang, tidak mampu
rnenunda kenihnatan atau melakukan rencana bagi masa mendatang, h

3

memiliki kesa&ran kelas, atau gaga1 &lam melihat faktor-faktor ekonomi seperii

kesemparan yang &pat mengubah nasibnya. Ketiga, kemiskinan dipandang sebagai akibat kurangnya kesempatan, kaum miskin selaIu kekurangan &lam bidang
keterampilan dan pendidikan untuk memperoleh pekejaan dalam masyarakat.
Keempat, bahwa kemiskinan mempakan suatu ciri struktural dari kapitalisme,
bahwa &lam masyarakat kapitalis segelintir orang menjadi miskin karena yang
lain menjadi kaya. Jika dikaitkan dengan pandangan konsewatisme, liberalisme,
dan radikalisme, maka poin

pertama dan kedua tersebut mencerminkan

pandangan konservatif, yang cenderung mempersalahkan kemiskinan bersumber
dari dalam diri si miskin itu sendiri. Ketiga lebih mencerminkan aliran liberalisme, yang cenderung menyalahkan ketidak mampuan struktur kelembagaan yang
ada

Keempat dipengaruhi oleh pandangan radikalis yang mgmpersalahkan

hakekat atau perilaku negara kapitalis.
Masing-masing pandangan tersebut bukan hanya berbeda &lam konsep
kemiskinannya saja tetapi juga &lam implikasi kebijakan untuk rnenanggulanginya. Keban (1994) menjelaskan bahwa pandangan konsewatif cenderung
melihat bahwa program-program pemerintah yang dirancang untuk mengubah
sikap mental si miskin mempakan usaha yang sia-sia saja karena akan memancing
manipulasi kenaikan jumlah kaum miskin yang ingin menikmati program pelayanan pemerintah. Pemerintah juga dilihat sebagai pihak yang justru merangsang
timbulnya kemiskinan. Aliran liberal yang melihat si miskin sebagai pihak yang
mengalami kekurangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, pdatihan,
pekejaan dan perurnahan yang layak, cenderung rnerasa optimis temaq h i m
miskin dan menganggap mereka sebagai sumber daya yang dapat berkemhg
seperti halnya orang-orang kaya. Bantuan program pemerintah dipandang sangat
bermanfaat dan perlu direalisasikan. Pandangan radikal yang memandang bahwa
kemiskinan disebabkan struktur kelembagaan seperti ekonomi dan politiknya,
maka kebijakan yang &pat ditempuh adalah dengan melakukan perubahan
kelembagaan ekonomi dan politik secara radikal.
Menurut Flanagan (1994), ada dua pandangan yang berbeda tentang kemiskinan, yaitu culturalist dan structuralist Kulturalis cenderung menyalahkan kaum

miskin, meskipun kesempatan a& mereka gaga1 memanfaatkannya, karena
tejebak &lam budayuun kemiskinan. Strukturalis beranggapan bahwa sumber
kemiskinan tidak terdapat pa& diri orang miskin, tetapi adalah sebagai akibat
r.

dari perubahan periodik dalam bidang sosial dan ekonomi seperti kehilangan
pekerjaan, rendahnya tingkat upah, diskriminasi dan sebagainya Irnplikasi dari
dua pandangan ini juga berbeda, terhadap konsep kulturalis perlu dilakukan
pembahan aspek kultural misalnya pengubahan kebiasaan hidup. Hal ini akan
sulit, memakan waktu lama, dan biaya yang tidak sedikit. Terhadap konsep strukturalis perlu dilakukan pengubahan struktur kelembagaan seperti kelembagaan
ekonomi, sosial dan kelembagaan lain yang terkait.
Kultur dan struktur merupakan konsep abstrak yang mengacu pada fenomena
yang menggambarkan adanya satu interaksi yang berkesinambungan satu dengan
laimya. Struktur mempakan pelernbagam pola-pola interaksi dan peran, sedang-

kan kultur merupakan konsepkonsep, acuan nilai/noma, dan model-model yang
dipunyai benama oleh satu kelompok atau sekumpulan orang tertentu yang
digunakan untuk pegangan hidup, men-

perilaku dan menafsirkan penga-

laman-pengalaman mereka. Hubungan keduanya bersifat dualistik, kultur secara
berkesinambungan merupakan satu produk interaksi sosial dan satu faktor daIam
pembahan sosial atau M
t
u
r
a
l
.Memisahkan secara tegas sudut pandang tersebut
dalam menjelaskan gejala kemiskinan tidak akan dapat diperoleh gambaran
tentang profil yang utuh. Karena itu, memadukan berbagai sudut pandang tersebut
daiam totalitas berfikir, akan &pat memberikan gambaran yang utuh tentang
profil kemiskinan.

Memahami substansi kemiskinan merupakan langkah penting bagi perencana
program dalam mengatasi kemiskinan Menurut Sutrisno (1993),'Hda dua sudut
pandang dalam memahami substansi kemiskinan di Indonesia Pertama, adalah
kelompok pakar dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang meng-

ikuti pikiran kelompok agrarian populism, bahwa kemiskinan itu hakekatnya
adalah masalah campur tangan yang terlalu luas dari negara &lam kehidupan
masyarakat pa& umumnya, khususnya masyarakat pedesaan. Dalam pandangan
ini, orang miskin marnpu mernbangun din mereka sendiri apabila pemerintah mau
memberi kebebasan bagi kelompok itu untuk mengatur diri mereka sendiri.
Kedua, kelompok para pejabat, yang melihat inti dari masalah kemiskinan sebagai masalah budaya. Orang menjadi miskin karena tidak memiliki etos kerja yang
tinggi, tidak memiliki jiwa niraswasta, dan pendidikannya rendah. Disamping
itu, kemiskinan juga berkaitan dengan kualitas sumberdaya manusia

Berbagai

sudut pandang tentang kemiskinan di Indonesia &lam memahami kemiskinan
pada dasarnya mempakan upaya orang luar untuk memahami tentang kemiskinan.

Hingga saat ini belun ada yang mengkaji masalah kemiskinan dari sudut pandang
kelompok miskin itu sendiri. Kajian Chambers (1983) lebih melihat masalah
kemiskinan dari dimensi si miskin itu sendiri dengan deprivation trap, tetapi
Chambers sendiri belum menjelaskan tentang alasan terjadinya deprivation trap
itu. Penelitian ini rnenwba menggabungkan dua sudut pandang dari dalam kelompok miskin dengan sudut pandang dari luar kelompok miskin, dengan
mengembangkan lima unsur keterjebakan (deprivation trap) yang dikemukakan

oleh Chambers (1993), yaitu: (1) Kerniskinan itu sendiri, (2) Kelemahan fisik, (3)
Keterasingan, (4) Kerentanan, dan (5) Ketidak berdayaan.
Pengertian kemiskinan disampaikan oleh beberapa ahli atau lembaga, diantaranya adalah: Bappenas (1993) mendefinisikan kemiskinan seba&i situasi serba
kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin, melainkan
karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya.

Levitan (1980) mengemukakan kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan
pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang
layak. Faturochman dan Marcelinus Molo (1994) mendefinisikan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dan atau rumahtangga untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya Menurut Eilis (1994) kemiskinan merupakan gejala multidemensional yang dapat ditelaah dari demensi ekonomi, sosial dan politik. Menurut
Suparlan (1993) kemiskinan didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup
yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan rnateri pada sejumlah atau
segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang m u m berlaku
dalam masyarakat yang bersangkutan. Reitsma dan Kleinpenning (1994) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmarnpuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya, baik yang bersifat material maupun non material. Freidman (1979)
mengemukakan kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial, yang meliputi: asset (tanah, perurnahan,
peralatan, kesehatan), sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai),
organisasi sosial politik yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan
bersama, jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang atau jasa,

pengetahuan dan keterampilan yang memadai, dan informasi yang berguna. Dari
beberapa pengertian tersebut dapat diambil satu pengertian bahwa kemiskinan
adalah suatu situasi baik yang merupakan proses maupun akibat dari adanya
r.

ketidakmampuan individu berinteraksi dengan lingkungannya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.

Budaya Kemiskinan

Sumardjan (1993) mengemukakan bahwa budaya kerniskinan adalah tata
hidup yang mengandung sistem kaidah serta sistem nilai yang menganggap bahwa
taraf hidup miskin yang disandang suatu masyarakat pada suatu waktu adalah
wajar dan tidak perlu diusahakan perbaikannya. Kemiskinan yang diderita oleh
masyarakat dianggap sudah menjadi nasib dan tidak mungkin diubah, karena itu
manusia dan masyarakat hams menyesuaikan diri pada kemiskinan itq agar tidak
me-

keresahan jiwa atak hstasi secara berkepanjangan

Dalam rangka

budaya miskin ini manusia d m masyarakat menyerah kepada nasib dan bersikap
tidak &u,

bahkan juga ti&

mampu menggunakan sumber daya ligkungan

untuk mengubah nasib itu.
Menurut Oscar Lewis (1993), budaya kemiskinan merupakan suatu adaptasi
atau penyesuaian, dan sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap
kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat
individualistis dan berciri kapitalisme.

Budaya tersebut mencerminkan suatu

upaya mengatasi rasa putus asa dan tanpa harapan, yang merupakan perwujudan
dari kesadaraan akan mustahilnya mencapai sukses, dan lebih merupakan usaha

menikmati masalah yang tak terpecahkan (tak tercukupi syarat, ketidak
sanggupan). Budaya kemiskinan melampaui batas-batas perbedaan daerah, perbe-

daan pedesaan-perkotaan, perbedaan bangsa dan negara, dan mempedihatkan
perasaan yang mencolok dalam strukhu keluarga, hubungan-hibungan antar
pribadi, orientasi waktu, sistem-sistem nilai, dan pola-pola pembelanjaan
Menurut Lewis (1993), budaya kemiskinan dapat terwujud dalam berbagai
konteks sejarah, namun lebih cenderung untuk tumbuh dan berkembang di dalam
masyarakat yang memiliki seperangkat kondisi: (1) Sistem ekonomi uang buruh
upahan dan sistem produksi untuk keuntungan; (2) tetap tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga talc terampil; (3) rendahnya
upah buruh, (4) tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan
organisasi sosial, ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa
pemerintah; (5) sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada sistem
unilateral; dan (6) kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang
menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas
vertikal, clan sikap hemat, serta adanya anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidak sanggupan pribadi atau memang pada dasarnya sudah

Budaya kemiskinan bukanlah hanya merupkan adaptasi terhadap seperangkat
syarat-syarat obyektif dari masyarakat yang lebih luas, sekali budaya tersebut
sudah tumbuh, ia cenderung melanggengkan dirinya dari generasi ke generasi
melalui pengaruhnya terhadap anak-anak. Budaya kemiskinan cenderung berkembang bila sistem-sistem ekonomi dan sosial yang berlapis-lapis ~ s a katau

berganti, seperti di masa pergantian feodalis ke kapitalis atau pada masa pesatnya
perubahan teknologi. Budaya kemiskinan juga merupakan akibat penjajahan,
yalmi struktur ekonomi dan sosial pribumi didobrak, Sedangkan status gotongan
pribumi tetap dipertahankan rendah, juga &pat tumbuh &lam &ses penghapusan suku. Budaya kemiskinan cenderung dimiliki oleh masyarakat strata sosial
yang lebih rendah, masyarakat terasing, dan warga urban yang berasal dari buruh

tani yang tidak memiliki tanah.
Menurut Lewis (1993), budaya kemiskinan &pat dipelajari dari beberapa

segi; (1) Kurang efektifkya partisipasi dan integrasi kaum miskin ke dalam
lembaga-lembaga utama masyarakat, merupkan salah satu ciri terpenting kebudayaan kerniskinan, sebagai akibat dari faktor Iangkanya sumberdaya-sumberdaya
ekonomi, segregasi, d i s h i n a s i , ketakutan, kecurigaan atau apatis, serta berkem-

bangnya pemecahan-pemecahan masalah setempat; (2) Kebudayaan kemiskinan
pa& tingkat komunitas lokal diternui adanya rumah bobrok, penuh sesak,
bergerombol dan rendahnya tingkat organisasi di luar keluarga inti dan keluarga
luas; (3) Pada tingkat keluarga kebudayaan kerniskinan ditandai dengan masa

kanak-kanak yang singkat, kurang pengasuhan oleh orang tua, cepat dewasa,
kawin syarat, tingginya perpisahan ibu dan anak-anaknya, kurangnya hak-hak
pribadi, p e k a n a n pada bentuk solidaritas yang hanya diucapkan tanpa tindakan;

dan (4) Pada tingkat individu kebudayaan kerniskinan ditandai dengan kuatnya
perasaan talc berharga, tak berdaya, ketergantungan, dan rendah diri. Menurut

Lewis (1993), suatu kekeliruan besar bila rnenggolongkan semua orang miskin
menjadi satu, karena penyebab kemiskinan, pengertian, dan akibat-akibat dari

kemiskinan itu be*-beda

dengan konteks-konteks sosial budayanya masing-

masing. Mubyarto (1993) menyatakan bahwa latarbelakang sejarah dan budaya
amat m e w d sifat pennasalahan kemiskinan, sepem masih rendahnya status
gizi penduduk, tingkat pendidikan, dan status wanita yang sangat te&lakang.
Menurut Parker Seymour dan Robert J. Kleiner (1993). formulasi kebudayaan
kemiskinan mencakup pengextian bahwa semua orang yang terlibat dalarn situasi
tersebut memiliki aspirasi-aspirasi yang rendah sebagai salah satu bentuk adaptasi
yang realistis. Satu ukunur yang digunakan untuk mengukumya adalah tingkat
kemauannya rnengejar sasaran dari responden, yang didasarkan pada teori aspirasi
yang menyatukan &lam satu formula diskrepansi antara tingkat prestasi, valensi
atau pentingnya tercapainya sasaran khusus, dan kemungkinan subyektif dari
individu untuk mencapai sasaran. Menurut Parker Seymour clan Robert J.Kleiner
(1993), beberapa ciri kebudayaan kerniskinan adalah: (1) Fatalisme, (2) Rendahnya tingkat aspirasi, (3) Rendahnya kemauan mengejar sasaran, (4) Kurang
melihat kemajuan pribadi, (5) Perasaan ketidak berdayaanl ketidakmampuan, (6)
Perasaan untuk selalu gagal, (7) Perasaan menilai diri sendiri negatif, (8) Pilihan
sebagai posisi pekerja kasar, d m (9) Tingkat kompromis yang menyedihkan.

Berkaitan dengan budaya sebagai m

i adaptasi, maka suatu usaha yang

sungguh-sungguh untuk mengubah nilai-nilai yang tidak diinginkan ini menuju ke

arah yang sesuai dengan nilai-nilai golongan kelas menengah, dengan menggunakan metodemetode psikiatri kesejahteraan sosial-pendidikan tanpa lebih dahulu
(ataupun secara bersamaan) berusaha untuk secara berarti mengubah kenyataankenyataan struktur sosial @endaptan,peketjaan, perurnahan, pola-pola

kebudayaan yang membatasi lingkup partisipasi sosial dan penyaluran kekuatan
sosial) akan cenderung gagal. Budaya kemiskinan bukamya berasal dari kebodohan, melainkan justru berfungsi bagi penyesuaian diri.
r.

Gans J. Herbert (1993) memandang bahwa satu-satunya perspektif yang wajar
adalah meliit kaum miskin sebagai penduduk yang secara ekonomis dan plitik
menderita kekurangan, dan yang kelakuan, nilai-nilai, dan segala patologinya
merupakan hasil adaptasi, terhadap situasi tempat mereka hidup sebagaimana
halnya dengan kelakuan, nilai-nilai, serta patologi-patologi mereka yang berada,
yang juga merupakan adaptasi terhadap situasi tempat mereka hidup. Jika kaum
miskin itu diharapkan untuk hidup menurut standard moral dan hukum masyarakat orang yang berada, maka satu-satunya strategi anti kemiskinan yang &pat
dibenarkan ialah dengan cara memagkinkan mereka untuk juga &pat mencapai
sumberdaya-sumberdaya yang sekarang dikuasai oleh orang-orang berada, dan
membiarkan mereka menggunakan serta memanfaatkan sumberdaya-sumberdaya
itu dengan cara yang sama bebasnya dengan cara yang sekarang dan yang secara

khusus diperuntukkan bagi golongan berada.
Pada mulanya kelakuan atau tin-

terwujud sebagai hasil dan adaptasi

terhadap situasi yang dihadapi. Kelakuan tersebut adalah suatu respons yang berlaku bagi situasi tertentu yang dihadapi, yang merupakan sebab adanya situasi
tersebut, dan berubah jika tejadi suatu penrbahan &lam situasi yang bersangkutan. Pola-pla kelakuan yang menjadi norma-norma kelakuan yang terinternalisasikan dan yang kemudian dijadikan pegangan, dan tingkat-tingkat intensitas
serta ketahanan dengan jangka waktu yang berlainan. Jika nonna-noma itu tetap

bertahan dalam situasi yang berubah, norma-norma tersebut &pat dianggap
sebagai pola-pola kebudayaan yang bercorak kelakuan, dan norma demikian
&pat menjadi sebab-sebab bagi kelakuan Ada pula norma-norma lain yang
r.

dapat mendorong tejadinya perubahan dan adaptasi terhadap suatu situasi
dipengaruhi oleh aspirasi-aspirasi, yang juga beraneka ragam tingkat intensitas

dan ketahannnya, dan membentuk kebudayaan yang bercorak aspirasi. Jadi
kebudayaan adalah campuran norma-norma kelakuan, dan aspirasi-aspirasi yang
menyebabkan terwujudnya kelakuan, mempertahankan kelakuan yang sedang
berlaku, atau mendorong kelakuan yang akan datang, lepas dari perangsangperangsang atau penghambat keadaan.

Hal penting &lam membahas kemiskinan dan kebudayaan adalah untuk
mengetahui seberapa cepat orang-orang miskin akan mengubah kelakuan mereka,
jika mereka mendapat kesempatan-kesempatan baru; dan macam hambatan atau
halangan-halangan yang baik atau yang buruk yang akan timbul dari reaksi
tersebut terhadap situasi-situasi masa lampau. Untuk menentukan macam kesempatan-kesempatan yang harus diciptakan untuk menghapus kemiskinan, yaitu
mendorong orang-orang miskin melakukan adaptasi terhadap kesempatan-kesempatan yang bertentangan dengan pola-pola kebudayaan yang mereka pegang teguh

dan cara mereka dapat mempertahankan pola-pola kebudayaaa yang mereka
pegang teguh tersebut agar tidak akan bertentangan dengan aspirasi-aspirasi
lainnya. Hanya orang-orang miskin yang tidak mampu menerima kesempatankesempatan karena mereka tidak &pat membuang norma-norma kelakuan yang
digolongkan sebagai pendukung kebudayaan kelas bawah.

Menurut Gans (1993), konsepsi budaya kemiskinan (khususnya sebagai normanorma dan aspirasi-aspirasi) merupakan faktor penyebab orang-orang miskin tetap
miskin, khususnya dalam ha1 adanya peluang-peluang alternatif yang merayu

..

rnereka. Lewis (1993) mengemukakan bahwa budaya kemiskinan adalah suatu
adaptasi maupun reaksi orang miskin terhadap posisi mereka yang marginal
&lam masyarakat kelas yang berstmtifikasi, yang lebih mementingkan kedudukan
individu Konsep ini lebih menekankan pada pola-pola kelakuan dan perasaan-

perasaan yang terwujud dari kurangnya kesempatan serta kegagalan mencapai
aspirasi-aspirasi, lebih menekankan pada "mekanisme pertahanan diri" untuk
melawan penderitaan karena kekurangan, frustasi, serta alienasi.

Dengan

demjkian Lewis membedakan orang miskin yang memiliki budaya kemiskinan,

clan orang miskin yang tidak memiliki budaya kemiskinan Dalarn budaya yang
didefkisikan sebagai pola-pola budaya yang membuat orang tetap d a m keadaan
miskin perlu dimasukkan &lam istilah ini pola-pola budaya yang tetap bertahan
dilralangan golongan mereka yang berada, baik secara sengqja ataupun tidak, yang
mengalubatkan sesama anggota masyarakat tetap miskin. Jika suatu konsep ten-

tang b d y a kemiskinan hanya dinyatakan berlaku bagi orang miskin, kewajiban

untuk berubah terlalu dibebankan pada mereka, &&an

&lam kenyataannya

hambatan-hambatan utama bagi penghapusan kerniskinan bersarang &lam
struktur ekonomi, politik dan sosial yang b e h g s i untuk melindungi serta
meningkatkan harta kekayaan mereka, yang memang sudah termasuk golongan
kaya.

Kemiskinan Struktural
Kemiskinan sbuktural menurut Selo Sumardjan (1980) adalah kemiskinan yang
diderita oleh suatu gdongan masyarakat karena struktur sosial tkasydmt itu
tidak dapat ikut m e n m a n sumber pendapatan yang sebenamya tersedia bagi
mereka Kemiskinan struktural adalah suasana kemiskinan yang dialami oleh
suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber pada strukhu sosial, dan
oleh karena itu dapat dicari pads struktur sosial yang berlaku dalam masyarakat
itu sendiri. Golongan kaum miskin ini menurut Selo Sumardjan (1980) terdiri
dark (1) Para petani yang tidak memiliki tanah sendiri, (2) Petani yang tanah

miliknya begitu kecil sehingga hasilnya tidak cukup untuk memberi makan
kepada dirinya sendiri dan keluarganya, (3) Kaurn buruh yang tidak terpelajar dan
tidak terlatih (unskilled laborers), dan (4) Para pengusaha tanpa modal dan tanpa
fasilitas dari pemerintah (golongan ekonomi lemah). Kemiskinan sauktural tidak

sekedar terwujud dengan kekurangan sandang clan kekurangan pangan saja,
kemiskinan juga meliputi kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, kekurang-

an pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia sekitamya, bahkan sering
juga kekurangan perlindungan dari hukum dan pemerintah. Menurut Soedjatmoko (1984), struktur sosial adalah pola-pola organisasi sosial yang mantap, yang
luas, stabil dan mampu untuk meneruskan diri (se[frepr&cing).

,%searang lahir

ddam suatu atau beberapa struktur sosial, atas kekuatannya sendiri ia tidak
mampu untuk m e n p a d atau mengubah struktur itu. Kenyataan ini mendorong
kita untuk Iebih meneliti dimensi sauktural kemiskinan ini, karena itu untuk

mencapai got-

yang paling miskin ada hubungannya dengan pola organisasi

26

sosial dan dengan pola pengaturan institusional di masyarakat. Membicarakan
struktur berarti membicarakan pola-pola organisasi suatu masyarakat yang

melindungi semua sektor kehidupan Suatu institusi atau lembaga adalah suatu
r.

rangkaian hubungan antar manusia yang teratur dan yang sah secara sosial, yang
menentukan hak dm kewajiban, sifat hubungan, dan perilakunya Lembagalembaga seperti; pola bagi hasil, pola pewarisan tanah, harga, pola heirarkhi
m,t-

pola diskriminasi, pola ketergantungan adalah merupakan pola

struktural, ha1 inilah yang dapat menjamin kemantapan, kepastian dalam interaksi
sosial dan menentukan pola tatatertib m e t , sehingga hubungan sosial akan
menjadi lancar. Beberapa ciri kemiskinan struktud, menurut Alfian (1980),
adalah (1) Tidak ada atau lambannya mobilitas sosial (yang miskin akan tetap
hidup dengan kemelaratannya dan yang laya akan tetap menikmati kemewahannya). (2) Mereka terletak dalam kungkungan struktur sosial yang menyebabkan
mereka kekurangan hasrat untuk meningkatkan taraf hidupnya, clan (3) Struktur
sosial yang berlaku telah melahirkan berbagai corak rintangan yang menghalangi
mereka untuk maju. Pemecahan pernasalahan kemiskinan akan bisa dilakukan
bilamana struktur sosial yang berlaku itu diubah secara mendasar.
Sudjatmoko (1984) memberikan wntoh kemiskinan struktural; (1) Pola stratifikasi (seperti dasar pemilikan dan pengumaan tanah) di desa rnengurangi atau
merusak poia kerukunan dan ikatan timbal balik iradisional, (2) Slruktur desa
nelayan, yang sangat tergantung pada juragan di desanya sebagai pemiIik kapal,
dan (3) Golongan pengrajin di kota kecil atau pedesaan yang tergantung pada

o m g kota yang menguasai bahan dan pasamya. Hal-ha1 tersebut memiliki

implikasi tentang kemiskinan struktural: (1) Kebijakan ekonomi saja tidak mencukupi &lam usaha untuk

mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural,

dimensi struktural perlu dihadapi juga terutama di pedesaan; dan (2) Perlunya
r.

pola organisasi institusional masyarakat pedesaan yang disesuaikan dengan
keperlmya, sebagai sarana untuk mengurangi ketimpangan dan meningkatkan
bargaining power, dan perlunya proses Social learning yang spesifik dengan

kondisi setempat
Adam Malik (1980) mengemukakan bahwa untuk mencari jalan agar struktur

masyarakat kita ini dapat diubah sedemikian rupa sehingga tidak terdapat lagi di
dalamnya

kemelararan srruRtura1. Bantuan yang terpenting bagi golongan

masyankat yang menderita kemiskinan struktural adalah bantuan agar mereka
kemudian mampu membantu dirinya sendiri.

Bagaimanapun kegiatan pemba-

ngunan yang berorientasi pertumbuhan maupun pemerataan tidak dapat
menghilangkan adanya kerniskinan struktural.

Pada hakekatnya perbedaan antara si kaya dengan si miskin tetap akan ada,
&lam sistem sosial ekonomi manapun. Yang lebih diperlukan adalah bagaimana
lebih memperkecil kesenjangan sehingga lebih mendekati perasaan keadilan
sosial. Menurut Sudjatmoko (1984), pembangunan yang semata-mata mengutamakan pertumbuhan ekonomi akan melanggengkan ketimpangan s t m k t u d . Pola
netes ke bawah memungkinkan berkembangnya perbedaan ekonomi, dan

peralilah pola me&

nafkah dari pertanian ke non pertanian, tetapi proses ini

akan lamban dan harus diikuti dengan perhmbuhan yang tinggi. Kemiskinan

tidak &pat diatasi,hanya dengan rnembantu golongan rniskin saja, tanpa menghadapi dimensi-dimensi struktural seperti ketergantungan, dan eksploitasi. Permasalahannya adslah dimensidimensi struktural manakah yang mempengaruhi
r.

secara langsung tejadinya kerniskinan, bagaimana menentukan ketepatan dimensi
itu untuk kondisi sosial budaya seternpat?
Sinaga dan White (1980) menunjukkan aspek-aspek kelembagaan dan struktur
agraris dalam kaitannya dengan distriiusi pendapatan dan kerniskinan: (1) Penye

baran teknologi, bahwa bukan teknologi itu sendiri, tetapi sbuktur kelembagaan
dalarn masyarakat tempat teknologi itu masuk yang menentukan bahwa teknologi
itu mempunyai dampak negatif atau positif terhadap distribusi pendapatan; (2)
Lembaga perkreditan pedesaan, perkreditan yang menginginkan tercapainya
pemerataan pendapatan, maka program perkreditan tersebut justru ham diskriminatif, artinya subsidi justru harus diberikan kepada petani kecil, bukan
pemerataan berdasarkan pemilikan atau penguasaan lahannya; (3) Kelembagaan
yang mengatur distribusi penguasaan atas faktor-faktor produksi di pedesaan
t-t

menentukan tingkat pendapatan dari berbagai golongan di masyarakat,

karena tidak semata-mata ditentukan oleh kekuatan faktor ekonomi (interaksi
antara penawaran dan pemintaan) saja; dan (4) Struktur penguasaan atas sumbersumber produksi bukan tenaga keja (terutama tanah dan modal) yang lebih
merata dapat meningkatkan pendapatan penduduk yang berada dibawah garis

Ukuran Kerniskinan
Secara ekonomis, kemiskinan menggambarkan keadaan rumahtangga atau

penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya ,Batasan yang
digunakan sebagai ukuran, sekalipun beaifat obyektif tetap mengandung kenisbian, karena keburuhon hidup bisa berbeda menurut mang, waknr, dan kebiasaan
masyarakat. Karena itu, pembatasan kemiskinan merupakan hasil persepsi dan
kesepakatan yang bisa berbeda dari satu masyarakat dengan masyarakat lainnya,

berbeda pula di satu masyarakat yang sama dalam waktu yang herlainan, atau
bahkan bisa berbeda antara persepsi seseorang dengan orang laimya di masyarakat dan dalam waktu yang sarna.
Menurut Prayitno (1987). ciri petani miskin adalah pendapatannya rendah,
luas tanah garapannnya sempit, produktivitas tenaga kejanya rendah, modalnya
kecil, dan tingkat keterarnpilannya rendah. Menurut Feagin (Populasi,l994),
karakteristik personal si miskin adalah ketidak marnpuan &lam mengatur uang,
kwang beiusaha, h g n y a pendidikan dan keterarnpilan, kurangnya modal,

hambatan fisik dan kejiwaan, rendahnya upah, kegagalan masyarakat dalam
memberikan pelayanan, kecurigaan dan diskrirninasi, kegagalan industri dalam
menciptakan lapangan pekerjaan, eksploitasi kaum miskin oleh orang kaya dan
nasib. Karakteristik individu mencakup: rhe ocwionally poor yang sifatnya
sementara seperti karena perceraian, kehilangan pekejaan, sakit dan sebagainya,
rhe persistently poor Iebih bersifat permanen seperti karena tinggal di des, sakit

mental, lanjut usia dan sebagainya, dan the feminization of poverty lebih

dipengaruhi oleh adanya pendapatan yang rendah, tidalc ada pekejaan karena
status wanita atau anak-anak.
Ada berbagai ukuran baku untuk menentukan demensi kemiskinan. Menurut

-.

Nasution (1993), ada dua ukuran yang paling umum digunakan: Pertama, tingkat
kemiskinan (Headcount index) dihitung sebagai proporsi penduduk miskin yang
hidup di bawah garis kemiskinan Kedua, jutang kemiskinan (Poverg gap index),
menggambarkan ke dalaman kemiskinan dari penduduk miskin, menggambarkan
besamya selisih mta-rats tingkat kehidupan penduduk miskin dengan garis kemis-

kinan, yang dinyatakan &lam prosentase di bawah garis kemiskinan.
Ukuran tersebut baru menggambarkan kedalaman dan besamya kemiskinan,

tetapi pemahaman lebih jauh tentang profil kemiskinan, clan penjelasan penyebab
kemiskinannya belum dapat terjawab. Profil penduduk miskin akan memberikan
petunjuk bidang macam-macam kegiatan dilakukan, penguasaan sumberdayanya,
dan demografisnya. Menurut Nasution (1993), penjelasan tentang alasan pendu-

duk miskin pada saat ini, masih hanya menyinggung ciri-cirinya sebagai penjelas
dan penyebab kemiskinan, seperti: Kelompok penduduk tertentu miskin karena

hanya memiliki fanah kurang dari 0,s ha, karena jam kejanya sedikit dan
sebagainya.

Darwin Nasution (1993) menggambarkan kondisi Indonesia dengan GDP perkapita US$ 570 tahun 1990 menggunakan garis kemiskinan US$ 75 per tahun

untuk pedesaan dan US$ 125 per tahun untuk daerah perkotaan. RRC dengan
GDP per-kapita USS370 pada tahun 1990 menggunakan ukuran USS58 dan US$
62, sedangkan Philipina dengan GDP per-kapita USS730 memakai garis

kemiskinan USS248 dan USS364. Masing masing negara menunjukkan angka
kemiskinan, di daerah pedesaan 14 persen untuk Indonesia, RRC 13 persen dan
Philipina 62 persen Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan penetapan garis
r.

kemiskinan selalu terjadi dan selalu diperdebatkan.
Untuk memberikan batasan yang jelas dan tegas tentang garis kemiskman,
sebagaimana dikemukakan oleh Sayogyo (1978): mereka disebut miskin kalau
pengeluarannya kuraag dari 320 kg beras di desa dan kurang dari 480 kg beras di
kota tiap tahun dan tiap jiwa. Beliau juga membedakan golongan berpenghasilan
rendah ini dipilah menjadi tiga yaitu: miskin, miskin sekali dan sangat miskin.
Menurut Collin Clark dan Papanek (Sumardi dan Hans-Dieter Evers, 1985), yang
dibutuhkan oleh setiap orang sehari adalah 1821 kalori. Untuk memenuhi kalori
tersebut diperlukan beras pertahun 320 kg atau 0,88 kg perhari. Sudibyo (1993)
mengemukakan bahwa &lam Syari'at Islam ukuran kemiskinan adalah kurang
lebih satu nisab zakat, apabila seseorang berada di bawah ukuran satu nisab zakat,
maka seseorang tersebut sulit memenuhi kebutuhan dasarnya. Untuk memenuhi
kebutuhan fisik minimum yang dinilai dengan uang unruk seorang tenaga kerja,
Menteri Tenaga Kerja mengelwkan ketentuan upah mini-mum Rp 3.800,- perorang perhari pa& sektor formal (1996).
Jika diperhatikan pembatasan garis kemiskinan tersebut pada dasarnya masih
terbatas pada pemenuhan kebutuhan pangan saja, belum memperhitungkan ke-

butuhan lainnya seperti sandang, perurnahan, kesehatan, pendidikan &n sebagainya. Ukuran tersebut belum atau kurang dapat menanggapi meningkatnyajenis
kebutuhan pokok laimya, yang cenderung ikut berubah dengan meningkatnya

pendapatan Menentukan garis kemiskinan dengan memperhitungkan pernenuhan
kebutuhan pangan dan non pangan mulai dilakukan oleh beberapa peneliti. Hendra Esmara (1979), Amir Karamoy (1978), Cohen (1975), dan Barnbang Eka

-.

Wijaya (1979) (Sumardi dan Hans-Dieter Evers,1985), masing-masing menetap

kan bahwa pendapatan Rp.30.000,- per bulan adalah batas pendapatan dianggap
kelompok berpenghasilan rendah (Kanunoy). Cohen menunjukkan angka S 25
atau Rp.lO.OOO,- per bulan untuk Jakarta, sedangkan Wijaya mencari kebutuhan
hidup minimal 0
untuk tiap rumah tangga, untuk Sumatera Utara sejumlah
Rp 49.000,- setiap bulan untuk rumah tangga dengan dua anak

Biro Pusat Statistik (BPS) menentukan garis kemiskinan pada tahun 1990
dengan batas kecukupan makanan pa& kebutuhan minimum makanan untuk
hidup sehat, yaitu kebutuhan makanan setara dengan 2100 kkd per kapita per
hari. Batas kemiskinan diperoleh dengan menghitung langsung nilai 2100 kkal
tersebut dalam rupiah Metode terbaru (1993) BPS menentukan batas kemiskinan
dengan memperhitungkan pernenuhan kebutuhan pangan dan non pangan. Batas
kecukupan makanan disempumakan dengan menentukan paket komoditi makanan yang selayaknya dikonsumsi seseorang agar ia bisa hidup sehat, yang
mengandung 2100 kkal. Nilai batas kecukupan makanan adalah nilai rupiah dari
komoditi-komoditi yang termasuk &lam paket komoditi tersebut (BPS,1994:7).
Jenis Met komoditi makanan tidak dibedakan antara daerah kota dan desa, tetapi
didasarkan pada volume masing-masing komoditi dan harganya. Secara umum
batas kecukupan makanan di daerah kota sebesar Rp.23 303;, sedangkan daerah
pedesaan sebesar Rp 15 576,- dan nilai ini setara dengan 2100 kkal (BPS, 1994).

,

Batas kecukupan non mahnan (1990) yang didasarkan pa& 14 komoditi untuk
daerah perkotaan dan 12 komoditi untuk daerah pedesaan dipandang kurang
mencerminkan kebutuhan non makanan yang mendasar. Pada metode 1993 dir.

sempurnakan paket kornoditi non makanan yang mencakup komoditi pennnahan,
sandang, pendidikan, kesehatan, bansportasi, barang tahan lama, clan beberapa

barang dan jasa lain yang esensial (BPSJ994). Paket ini dipilih dengan mernper-

hitungkan pangsa komoditi yang bersangkutan dalam masing-masing sub kelompoknya, besarnya hkuensi rumah rangga yang mengkonsumsi dan kewajaran
komoditi tersebut untuk terpilih sebagai komoditi dasar, sehingga menghasilkan
46 komoditi non makanan. Jika metode lama (1990) mengha