Pemerangkapan Trapping Culture Pengamatan

6. Pemerangkapan Trapping Culture

Teknik pemerangkapan trapping culture digunakan dengan mengikuti metode Brundret et al. 1996. Setiap contoh tanah dibuat 5 pot kultur sehingga terdapat 25 pot kultur. Media tanam pot kultur berupa campuran 50 g dan pasir sebanyak 150 g, selanjutnya bibit Kudzu Pueraria javanica ditaruh pada lubang tanam yang sudah diisi dengan pasir tanah kemudian ditutupi lagi dengan pasir. Pemeliharaan kultur meliputi kegiatan penyiraman, pemberian hara dan pengendalian hama secara manual. Larutan hara yang digunakan adalah Hyponex merah 25-5-20 dengan konsentrasi 1 gl. Pemberian larutan hara dilakuan setiap minggu sebanyak 20 ml tiap pot kultur. Setelah kultur berumur 8 minggu kegiatan penyiraman dihentikan dengan tujuan menkondisikan kultur pada keadaan stress kekeringan. Proses pengeringan ini berlangsung secara perlahan sehingga dapat merangsang pembentukan spora lebih banyak. Periode pengeringan ini akan berlangsung selama lebih kurang 2 minggu. Setelah itu dapat dilakukan pemanenan spora dengan menggunakan teknik isolasi spora yang telah dijelaskan pada bagian ekstraksi dan identifikasi spora fungi mikoriza arbuskula.

7. Pengamatan

Hasil pengamatan yang dilakukan secara deskriptif dan menyajikan tabel hasil identifikasi tipe-tipe fungi mikoriza. Serta membandingkan identifikasi spora antara tegakan sawit dan tegakan karet. Universitas Sumatera Utara 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi fisik dan kimia tanah Hasil pengukuran sifat fisik tanah pada lahan gambut di lapangan didapat bahwa kedalaman gambut berkisar antara 1,8 m – 2,3 m. Tanah yang diteliti merupakan tanah gambut saprik, hal ini ditandai dengan tidak ditemukan lagi serat sisa pelapukan pada tanah tersebut. Menurut Agus dan Subiksa 2008, gambut saprik matang adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan seratnya 15. Hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat pada Tabel 2 . Tabel 2. Hasil analisis tanah lokasi penelitian. No. Jenis Analisis Nilai Kriteria 1 C-Organik 31, 02 Sangat tinggi 2 pH H 2 O 3,51 Sangat masam 3 P-Bray I ppm 57,81 Sangat tinggi Staf Pusat Penelitian Tanah-Bogor 1983 dan BPP-Medan 1982. Berdasarkan analisis pH tanah yang dilakukan, tanah gambut yang terdapat pada areal penelitian tergolong sangat masam. Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan kisaran pH 3 – 5 Agus dan Subiksa, 2008. Tingginya kemasaman tanah gambut disebabkan tingginya asam fenolat dan asam - asam organik lain hasil dekomposisi bahan organik yang banyak mengandung lignin. Bahan organik yang terdekomposisi menghasilkan asam-asam organik yang akan melepaskan ion H + yang mempengaruhi pH tanah. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion hidrogen H + di dalam tanah. Semakin banyak H + yang dilepaskan maka pH tanah akan semakin masam. Tapak pertukaran tanah gambut didominasi ion hidrogen menyebabkan pH tanah rendah. Universitas Sumatera Utara Kadar KTK yang tinggi membuat unsur hara pada gambut mudah terikat menjadi bentuk tidak tersedia Barchia, 2006. Hasil analisis menunjukkan bahwa ketersedian fosfat dalam tanah pada areal penelitian sebesar 57,81 ppm, yang tergolong sangat tinggi menurut Staf Pusat Penelitian Tanah-Bogor 1983 dan BPP-Medan 1982. Ketersediaan P ini bertentangan dengan ketersediaan P pada tanah gambut secara umum. Seperti pernyataan Poerwowidodo 2000, umumnya ketersediaan fosfat dalam tanah maksimum dijumpai pada kisaran pH 5,5–7,0. Ketersediaan fosfat akan menurun pada pH 5,5 atau 7,0. Pada kondisi masam aktivitas besi dan aluminium yang tinggi menjadi unsur pengikat P yang utama. Hasil yang kontradiktif ini diduga terjadi karena tanah yang diambil sebagai sampel telah dipupuk dengan pupuk P mengingat lokasi penelitian merupakan areal budidaya tanaman. Tanah gambut areal penelitian memiliki kandungan karbon yang tergolong sangat tinggi yaitu 31,02 , hasil ini berarti bahwa dalam tiap 100 gr sampel tanah gambut terdapat karbon organik sebesar 31,02 gr, hal ini didukung oleh pernyataan Agus dan Subiksa 2008, yang menyatakan bahwa lahan gambut menyimpan karbon C dalam jumlah besar. Kandungan karbon organik yang sangat tinggi ini, terjadi dengan penumpukan serasah dan bahan organik lain yang dalam jangka waktu yang cukup lama bahkan mencapai ribuan tahun, sehingga membentuk suatu ekosistem lahan gambut. Kepadatan Spora Fungi Mikoriza Arbuskula Kepadatan spora FMA hasil pengamatan di lapangan dalam 10 gr sampel tanah gambut, menunjukkan jumlah yang berbeda antara tegakan karet dengan tegakan sawit. Rata-rata kepadatan spora untuk tegakan karet sebesar 25 10 gr Universitas Sumatera Utara tanah, dan rataan kepadatan spora untuk tegakan sawit sebesar 3710 gr tanah. Jumlah kepadatan spora ini lebih banyak dari laporan Lumban Gaol 2007, jumlah kepadatan spora FMA pada vegetasi tunggar Vaccinium varingifolium 11250gr tanah, vegetasi nenas 12750 gr tanah, maupun laporan Hasbi 2005, yang menyatakan bahwa kepadatan spora pada tanaman budidaya tergolong rendah yaitu 1-650 gr tanah. Kepadatan spora hasil pengamatan lapangan dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Rata-rata jumlah spora FMA hasil pengamatan lapangan. Perbedaan jumlah kepadatan spora diduga akibat perbedaan kemampuan tanaman untuk berasosiasi dengan FMA, dengan kondisi lingkungan lahan gambut sebagai tempat tumbuh, seperti yang di laporkan oleh Hasbi 2005, yang menyatakan bahwa variasi jumlah spora yang diamati diduga akibat kondisi tanaman dan lingkungan tumbuh serta dapat pula disebabkan oleh faktor kemampuan infeksi dari FMA. Secara tidak langsung eksudat akar juga memiliki kontribusi terhadap jumlah kepadatan spora, dimana perbedaan eksudat akar yang dihasilkan antar tegakan karet dengan tegakan sawit, mempengaruhi rizosfir yang merangsang perbedaan perkecambahan spora, seperti laporan Bakhtiar 2002, Universitas Sumatera Utara yang menyatakan bahwa komposisi eksudat inang berpengaruh terhadap lingkungan, dan mampu merangsang perkecambahan. Fungi mikoriza arbuskula membutuhkan air untuk kegiatan metabolismenya. Ketersediaan air berpengaruh terhadap sporulasi FMA, akan tetapi melihat adanya indikasi perbedaan dalam kebutuhan air bagi setiap FMA, maka hasilnya tidak konklusif Delvian, 2005. Adanya jumlah air yang berlebih karena lingkungan gambut yang tergenang menyebabkan spora cenderung dorman dan diam. Vestberg dan Kukkonen 2008, menyatakan percobaan lapangan menunjukkan bahwa sporulasi fungi mikoriza arbuskula tidak hanya dipengaruhi oleh tanaman panenan tetapi juga pengaruh gambut. Gambut mempunyai efek negatif terhadap aktivitas mikoiza dan kelimpahan jumlah spora FMA tapi tidak mempengaruhi frekuensi jenis. Kepadatan spora FMA hasil pemerangkapan menunjukkan bahwa rata-rata kepadatan spora pada tegakan karet sebesar 16110 gr tanah dan rata-rata kepadatan pada tegakan sawit sebesar 24210 gr tanah. Kepadatan spora yang sangat melimpah pada pemerangkapan ini didukung oleh faktor lingkungan yang baik bagi spora FMA untuk berkecambah dan berkembang biak. Seperti yang dilaporkan oleh Sancayaningsih 2005, pengaruh perlakuan tempat tumbuh tanaman inang dan lama waktu memberikan hasil berbeda nyata terhadap perbanyakan spora jumlah spora. Faktor penentu di dalam perbanyakan spora adalah perkecambahan spora dan diikuti perkembangan sporulasi terbentuknya spora. Namun, banyak faktor mempengaruhi proses sporulasi antara lain lingkungan, jenis inang, kemampuan infektif dan efektif spora, dan lama waktu inkubasi. Universitas Sumatera Utara Kepadatan spora hasil isolasi dari langsung dari lapangan dan kepadatan hasil traping yang berasal dari masing-masing petak dan tegakan dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Perbandingan jumlah spora FMA hasil isolasi dari lapangan dan hasil pemerangkapan Rata-rata kepadatan spora hasil pemerangkapan ini menunjukkan peningkatan hingga 600 dari rata-rata kepadatan spora hasil isolasi langsung dari lapangan. Peningkatan yang tajam ini terjadi karena perlakuan pengeringan selama 14 hari yang dilakukan pada tahap akhir pemerangkapan, sehingga menyebabkan tanaman kultur mengalami cekaman kekeringan dan merangsang perkecambahan spora. Seperti pernyataan Delvian 2005, yang menyatakan bahwa produksi spora beberapa FMA akan meningkat pada kondisi kering. Sylvia dan Schenck 1982 dalam Devian 2005, juga menyimpulkan bahwa Glomus mosseae dan Gigaspora margarita menghasilkan spora 40 lebih banyak setelah 18 minggu dalam pot yang kemudian diinkubasi selama 9 hari tanpa pemberian air. Universitas Sumatera Utara Persentase Kolonisasi Akar Hasil pengamatan akar anakan tanaman pada tegakan karet dan juga pada tegakan sawit menunjukkan asosiasi antara FMA dengan akar yang membentuk hifa di dalam sel akar. Persentase kolonisasi akar anakan pada tegakan karet didapat rata-rata sebesar 8.60, dan pada tegakan sawit di dapat rata-rata sebesar 18.54. Persentase kolonisasi akar pada masing-masing petak di kedua tegakan dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Persentase kolonisasi akar oleh FMA Perbedaan persentase kolonisasi akar pada tegakan karet dan tegakan sawit ini diduga disebabkan oleh eksudat akar yang dikeluarkan pada rizosfir pada kedua tegakan berbeda juga. Seperti yang dilaporkan oleh Bakhtiar 2002, perkecambahan spora berperan penting di dalam infeksi akar, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya kompatibilitas inang, komposisi eksudat akar, jenis inokulum dan faktor lingkungan. Diameter akar antara satu tanaman berbeda dengan tanaman lain, dimana diameter akar berpengaruh signifikan terhadap persentase kolonisasi akar. Akar Universitas Sumatera Utara tanaman yang memiliki diameter berukuran lebih besar dan yang telah tua tidak begitu baik terinfeksi oleh hifa FMA, diduga hal ini disebabkan karena sel epidermis akar yang lebih besar telah mengeras dan mempersulit penetrasi hifa kedalam sel korteks akar. Pada penelitian ini diameter akar anakan yang diambil sebagai sampel tidak dapat dihomogenkan secara menyeluruh, dimana akar sampel dari tegakan karet cenderung memiliki diameter yang lebih besar jika dibandingkan dengan akar sampel dari tegakan sawit. Hal inilah yang diduga menyebabkan tingkat kolonisasi akar pada tegakan karet lebih rendah. Infeksi ini juga sangat ditentukan adanya kesesuaian FMA dengan inang dalam mekanisme transfer atau pertukaran nutrisi antara keduanya, dan juga kemampuan hidup FMA dan kepekaan inang Hasbi, 2005. Meningkatnya kesuburan tanah, terutama suplai unsur P menyebabkan daya infeksi yang lebih rendah. Sebaliknya jika unsur P rendah dan bahan organik tersedia maka daya infeksi akar akan tinggi. Smith dan Read 1997, menyatakan pada ketersediaan hara yang rendah, hifa dapat menyerap hara dari tanah yang tidak dapat diserap oleh akar sehingga pengaruh FMA terhadap serapan hara tinggi. Namun pada unsur P yang cukup, akar tanaman dapat berperan sebagai organ penyerap hara sehingga tanaman mengakumulasi P dalam jumlah yang tinggi. Pada keadaan ini FMA tetap mendapatkan senyawa C dari tanaman sehingga mempengaruhi metabolisme tanaman. Serapan hara oleh FMA tidak menyebabkan respons pertumbuhan yang positif karena faktor lain seperti akuisisi C menjadi pembatas pertumbuhan tanaman sehingga pada keadan P yang sangat tinggi bahkan dapat menyebabkan respons yang negatif terhadap kolonisasi FMA. Universitas Sumatera Utara Hifa FMA Hifa FMA Rata-rata kolonisasi akar anakan pada tegakan karet sebesar 8,60, sedangkan rata-rata kolonisasi akar anakan pada tegakan sawit sebesar 18,54. Tingkat kolonisasi akar ini tergolong rendah menurut Setiadi et al. 1992, hal ini kemungkinan diakibatkan oleh unsur P tersedia pada tanah di areal penelitian yang tergolong sangat tinggi. Tingginya P menghambat FMA secara langsung dengan menekan perkecambahan spora dan pertumbuhan hifa dari spora yang berkecambah Miranda dan Harris, 1994. Infeksi FMA pada akar anakan sampel di tegakan karet dan tegakan sawit yang ditemukan hanya berupa hifa, sedangkan untuk vesikula maupun arbuskula tidak ditemukan pada akar sampel. Infeksi FMA pada akar sampel untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 6, 7, dan 8. Gambar 6. Akar sampel pada tegakan karet yang terinfeksi oleh hifa FMA Gambar 7. Akar sampel pada tegakan sawit yang terinfeksi oleh hifa FMA Universitas Sumatera Utara Gambar 8. Akar sampel yang tidak terinfeksi oleh hifa FMA Proses infeksi dimulai dengan pembentukan apresorium pada permukaan akar oleh hifa eksternal, dan selanjutnya hifa akan menembus sel-sel korteks akar melalui rambut akar atau sel epidermis. Gambar 6 dan gambar 7 memperlihatkan bahwa infeksi akar yang terjadi baik pada tegakan karet maupun tegakan sawit hanya berupa hifa, dimana hifa yang ditemukan tidak bersekat, dan hifa tersebut terdapat diantara sel-sel korteks akar Moose, 1981. Arbuskula yang merupakan hifa bercabang halus yang dibentuk oleh percabangan dikotomi yang berulang-ulang sehingga menyerupai pohon dari dalam sel inang Pattimahu, 2004. Dan berfungsi untuk membantu dalam mentrasfer unsur hara terutama fosfat dari tanah ke sistem perakaran Rao, 2004, tidak ditemukan pada akar tanaman sampel. Hal ini disebabkan oleh kelangsungan hidup arbuskula yang sangat singkat. Tipe dan karakteristik spora FMA hasil pengamatan Pengamatan spora yang ditemukan di lapangan memiliki tipe dan karakteristik yang berbeda. Perbedaan karakteristik ditemukan pada bentuk spora, Universitas Sumatera Utara permukaan spora, dinding spora, ukuran spora, warna dan corak spora hingga tangkai spora hyfal attachment. Hasil isolasi, pengamatan dan identifikasi yang dilakukan terdapat 2 genus spora FMA yaitu Acaulospora dan Glomus sementara genus lain tidak ditemukan. Genus Acaulospora didapat sebanyak 3 tipe spora, sedangkan untuk genus Glomus didapat sebanyak 38 tipe spora. Tipe dan karakteristik spora yang ditemukan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Tipe dan karakteristik spora FMA Tipe spora FMA Perbesaran Karakteristik Spora berwarna merah bata kehitaman, dinding spora jelas dan tebal, berbentuk bulat, permukaan tidak begitu halus dengan corak seperti kulit jeruk. Acaulospora sp.-1 Spora berwarna coklat dan berbentuk bulat. Permukaan spora halus, memiliki corak seperti kulit jeruk. Dinding spora jelas, dan tebal. Acaulospora sp.-2 40 x 40 x Universitas Sumatera Utara Spora berwarna coklat kemerahan, dan berbentuk bulat. Dinding spora jelas dengan permukaan halus, corak seperti kulit jeruk. Acaulospora sp.-3 Spora berwarna coklat dan berbentuk bulat. Permukaan spora halus, terdapat bintik hitam pada bagian dalam spora. Dinding spora jelas. Glomus sp.-1 Spora berwarna coklat kehitaman, dengan noda-noda hitam pada spora. Dinding spora tidak jelas. Glomus sp.-2 Spora berwarna merah bata, dinding spora tidak jelas. Spora berbentuk bulat. Permukaan spora tidak halus. Memiliki tangkai spora Hifal attachment. Glomus sp.-3 40 x 40 x 40 x 40 x Universitas Sumatera Utara Spora berwarna merah bata, berbentuk bulat, dinding jelas. Permukaan halus dengan corak bintik bintik hitam. Glomus sp.- 4 Spora berwarna kuning halus, permukaan halus, tidak bercorak, dinding spora tipis. Spora berbentuk elips bulat telur. Glomus sp.- 5 Spora berwarna merah bata dan berbentuk bulat, dinding spora tebal dan jelas. Permukaan spora halus, dengan corak berwarna yang lebih gelap. Glomus sp.- 6 Spora berbentuk bulat, berwarna merah gelap. Dinding spora tebal dan jelas. Permukaan spora halus, dengan corak berupa guratan-guratan denga warna lebih gelap. Glomus sp.-7 40 x 40 x 40 x 10 x Universitas Sumatera Utara Spora berwarna hitam kekuning- kuningan dan berbentuk bulat. Permukaan spora halus, dengan dinding spora yang tipis. Glomus sp.-8 Spora berwarna coklat dengan dinding yang tidak jelas. Berbentuk bulat, permukaan halus dengan corak berbentuk pipih berwarna lebih gelap. Glomus sp.-9 Spora berwarna coklat gelap dan berbentuk bulat, memiliki tangkai spora Hifal attachment. dinding spora tidak jelas. Permukaan spora halus. Glomus sp.-10 Spora berwarna kuning kehitaman, dinding spora jelas. Spora berbentuk bulat permukaan spora halus, dengan corak bintik bintik hitam. Glomus sp.-11 40 x 40 x 40 x 40 x Universitas Sumatera Utara Spora berwarna coklat muda dan berbentuk bulat. Permukaan spora halus, memiliki corak menyerupai gelembung-gelembung yang bening seperti pasir dan dinding spora jelas. Glomus sp.-12 Spora berwarna merah bata, berbentuk bulat, dinding tidak begitu jelas. Permukaan halus dengan corak lebih gelap dan kotor. Glomus sp.-13 Spora berwarna kuning oranye dan berbentuk bulat, dinding spora jelas. Permukaan spora halus, dengan corak beberapa bintik-bintik bulat. Glomus sp.-14 Spora berwarna coklat, dinding spora jelas. Spora berbentuk bulat permukaan spora halus, dengan corak kotor menyerupai hamparan pasir yang tersebar merata. Glomus sp.-15 40 x 10 x 40 x 40 x Universitas Sumatera Utara Spora berwarna coklat kehitaman dan berbentuk bulat. Permukaan spora halus, memiliki corak seperti sarang laba-laba. Dinding spora jelas. Glomus sp.-16 Spora berwarna kuning dengan corak gelembung hitam, dinding spora kurang begitu jelas, berbentuk bulat, dinding tidak begitu jelas dan permukaan kasar. Glomus sp.-17 Spora berwarna krem, berbentuk bulat telur, dinding jelas. Permukaan tidak begitu halus dan tidak bercorak. Glomus sp.-18 Spora berwarna merah bata, berbentuk bulat, dinding tidak begitu jelas. Permukaan halus dengan corak lebih gelap. Glomus sp.-19 40 x 40 x 40 x 40 x Universitas Sumatera Utara Spora berwarna coklat, dinding spora jelas, permukaan spora halus, berbentuk bulat, memiliki corak nintik-bintik halus yang bulat. Glomus sp.-20 Spora berwarna coklat dan berbentuk bulat, dinding spora jelas. Permukaan spora halus, dengan corak bintik- bintik bulat. Glomus sp.-21 Spora berwarna merah gelap, dinding spora tidak jelas. Spora berbentuk bulat permukaan spora tidak halus, dengan corak kotor gelap. Glomus sp.-22 Spora berwarna coklat muda, berbentuk bulat. Dinding spora jelas dan permukaan spora halus. Tidak mempunyai corak. Glomus sp.-23 40 x 40 x 40 x 40 x Universitas Sumatera Utara Spora berwarna coklat, dan berbentuk bulat. Dinding spora jelas dan permukaan halus dengan corak berlubang-lubang bulat. Glomus sp.-24 Spora berwarna hitam dan berbentuk bulat, dinding spora tidak jelas. Permukaan spora kasar, memiliki tangkai spora Hyfal attachment. Glomus sp.-25 Spora berwarna coklat muda, dinding tebal dan jelas. Spora berbentuk bulat permukaan spora halus, dengan sedikit corak. Glomus sp.-26 Spora berwarna coklat dan berbentuk bulat. Permukaan spora tidak halus, memiliki corak. Dinding spora tebal jelas. Glomus sp.-27 40 x 40 x 40 x 40 x Universitas Sumatera Utara Spora berwarna krem dan berbentuk bulat, dinding spora jelas. Permukaan spora tidak halus, dengan corak kotor dan bintik merah. Glomus sp.-28 Spora berwarna coklat kehitaman, dinding spora tidak jelas. Spora berbentuk bulat permukaan spora tidak halus, dengan corak seperti duri, memiliki tangkai spora Hyfal attachment. Glomus sp.-29 Spora berwarna kuning dan berbentuk bulat. Permukaan spora tidak halus, memiliki corak noda- noda hitam. Dinding spora jelas. Glomus sp.-30 Spora berwarna merah gelap, berbentuk bulat, dinding jelas. Permukaan tidak halus dengan corak gelap. Memiliki tangkai spora Hyfal attachment. Glomus sp.-31 40 x 40 x 40 x 40 x Universitas Sumatera Utara Spora berwarna coklat muda dan berbentuk bulat, dinding spora jelas. Permukaan spora tidak halus, dengan corak berlubang-lubang. Glomus sp.-32 Spora berwarna kuning oranye, dinding spora jelas. Spora berbentuk bulat permukaan spora halus, dengan corak seperti duri, memiliki tangkai spora Hyfal attachment. Glomus sp.-33 Spora berwarna coklat dan berbentuk bulat. Permukaan spora tidak halus, memiliki corak. Dinding spora tebal jelas. Glomus sp.-34 Spora berwarna coklat dan berbentuk bulat. Permukaan spora tidak halus, memiliki corak yang lebih gelap. Dinding spora tebal jelas dan tidak rata. Glomus sp.-35 40 x 40 x 40 x 40 x Universitas Sumatera Utara Spora berwarna coklat dan berbentuk bulat. Permukaan spora halus, tidak memiliki corak. Dinding spora tebal jelas dan rata. Glomus sp.-36 Spora berwarna coklat dan berbentuk bulat. Permukaan spora halus, tidak memiliki corak. Dinding spora tebal jelas dan tidak rata. Memiliki Hyfal attachment. Glomus sp.-37 Spora berwarna hitam dan berbentuk bulat. Permukaan spora halus, tidak memiliki corak. Dinding spora tidak jelas dan tidak rata. Memiliki Hyfal attachment. Glomus sp.-38 Secara umum, tipe vegetasi mempengaruhi jumlah dan tipe spora. Tipe spora yang ditemukan pada tegakan sawit berbeda dengan tipe spora yang ditemukan pada tegakan karet. Tipe-tipe spora yang ditemukan berasosiasi dengan tegakan pada tanah gambut ditampilkan pada Tabel 4. 40 x 40 x 40 x Universitas Sumatera Utara Tabel 4. Tipe-tipe spora dengan tegakan yang ada. No Tipe Spora Tegakan Karet Sawit 1 Acaulospora sp.-1 + 2 Acaulospora sp.-2 + + 3 Acaulospora sp.-3 + 4 Glomus sp.-1 + 5 Glomus sp.-2 + 6 Glomus sp.-3 + 7 Glomus sp.-4 + 8 Glomus sp.-5 + 9 Glomus sp.-6 + 10 Glomus sp.-7 + 11 Glomus sp.-8 + 12 Glomus sp.-9 + + 13 Glomus sp.-10 + 14 Glomus sp.-11 + 15 Glomus sp.-12 + 16 Glomus sp.-13 + 17 Glomus sp.-14 + 18 Glomus sp.-15 + 19 Glomus sp.-16 + 20 Glomus sp.-17 + 21 Glomus sp.-18 + 22 Glomus sp.-19 + 23 Glomus sp.-20 + 24 Glomus sp.-21 + 25 Glomus sp.-22 + 26 Glomus sp.-23 + 27 Glomus sp.-24 + 28 Glomus sp.-25 + 29 Glomus sp.-26 + 30 Glomus sp.-27 + 31 Glomus sp.-28 + 32 Glomus sp.-29 + 33 Glomus sp.-30 + 34 Glomus sp.-31 + 35 Glomus sp.-32 + 36 Glomus sp.-33 + 37 Glomus sp.-34 + 38 Glomus sp.-35 + 39 Glomus sp.-36 + 40 Glomus sp.-37 + + 41 Glomus sp.-38 + + Keterangan + : Ditemukan Universitas Sumatera Utara Tipe spora FMA yang ditemukan pada lokasi penelitian adalah tipe Glomus dan tipe Acaulospora. Tipe spora ini sama dengan tipe spora yang ditemukan Lumban Gaol 2007, pada lahan gambut di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan dan pada lahan gambut di Pontianak dengan berbagai tanaman inang Hasbi, 2005. Namun pada lahan gambut Pollung jumlah tipe spora Glomus spp.yang ditemukan sebanyak 15 tipe spora dan tipe Acaulospora spp. sebanyak 4 tipe spora. Sementara itu Suciatmih 2003, melaporkan bahwa isolat FMA yang ditemukan pada hutan lahan gambut Setia Alam Jaya, Sebangau, Kalimantan Tengah telah diidentifikasi ke dalam dua genera yaitu genera Glomus dan Gigaspora. Pada lahan gambut di Kalimantan Barat dengan ekosistem alami dan ekosistem yang terganggu atau diolah, spesies yang ditemukan adalah Glomus, Acaulospora, Scutellospora, Enthrospora Ekamawanti, 1997. Hasil pada tabel 4 menunjukkan bahwa tipe Glomus diketahui lebih mendominasi baik pada tegakan karet maupun pada tegakan sawit, hal ini seperti yang dilaporkan oleh Ekamawanti 1997, pada lahan gambut di Kalimantan Barat dengan ekosistem alami dan ekosistem terganggu, dan laporan Hasbi 2008, dalam penelitiannya pada lahan gambut di Pontianak, yang menyatakan bahwa genus Glomus dijumpai berbagai tanaman sampel yaitu nenas, sawi, pepaya, kangkung dan terong kecuali bayam. Mikoriza genus Acaulospora hanya ditemukan pada tanaman sawi, pepaya dan kangkung. Hal ini menunjukkan kemampuan simbiosis dan adaptasi Glomus terhadap kondisi setempat. Dengan kata lain genus Glomus mempunyai kemampuan adaptasi dengan jenis tanaman budidaya yang lebih luas jika dibandingkan dengan genus Acaulospora. Universitas Sumatera Utara 41 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Rata-rata kepadatan spora FMA hasil isolasi dari lapangan pada tegakan karet 2510 gr tanah, dan pada tegakan sawit sebesar 3710 gr tanah. Rata-rata kepadatan spora FMA hasil pemerangkapan pada tegakan karet 16110 gr tanah, dan pada tegakan sawit sebesar 24210 gr tanah 2. Tipe FMA yang terdapat pada lokasi penelitian adalah tipe Glomus spp. sebanyak 38 tipe spora dan tipe Acaulospora spp. sebanyak 3 tipe spora. 3. Rata-rata kolonisasi akar pada kedua tegakan tergolong rendah, dimana rataan kolonisasi akar pada tegakan karet sebesar 8,60 dan pada tegakan sawit sebesar 18,54. Saran Diperlukan ketelitian dalam pengambilan akar anakan, dimana sebaiknya akar yang diambil merupakan akar-akar halus rambut-rambut akar, karena akar yang tua sulit untuk diamati dan cenderung tidak dapat berasosiasi lagi dengan baik terhadap mikoriza, sehingga penghitungan kolonisasi akar dapat lebih mudah dan data yang diperoleh lebih akurat. Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA Agus, F. dan I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut : Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Center ICRAF. Bogor. Bakhtiar,Y. 2002. Selection of Vascular Mycorrhiza VAM Fungi, Host Plants and Spore Numbers for Producing Inoculum. J. Biosains dan Bioteknologi Indonesia 21; 36-40. Barchia, M. F. 2006. Gambut Agroekosistem dan Transformasi Karbon. UGM Press, Yogyakarta. Bardgett, R. D. 2008. The Biology of Soil ; A Community and Ecosystem Approach. Oxford University Press. Bown, M.F. and E.J. King. 1991. Morphology and Histology of Vesicular- Arbuscular Mycorrhizae. In Methods and Principles of Mycorrhizal Research. APS Press. Brundrett, M., N. Bougher, B. Dell, T. Grave and N. Malajezuk. 1996. Working with Mycorrihiza in Forestry and Agriculture. Australian Centre for International Agricultural Research ACIAR, Carbera. Coyne, M.C. 1999. Soil Microbiologi an Exploratotory Approach. Delmar Publisher, ITP Delvian. 2006. Peranan Ekologi dan Agronomi Cendawan Arbuskula Mikoriza. USU Repository. Medan. Ekamawanti H.A., 1997. Biodiversity of Arbuscular Mycorrhiza Fungi in Peat Ecosystems in West Kalimantan. Proceedings on International Conference Mycorrhiza in Suitanable Tropical Agriculture and Forest Ecosystem. In Commenoration of 100 Years the World Pioneering Studies on Tropical Mycorrhizas in Indonesian by Professor JM Janse. 27-30 Oktober 1997. Bogor. pp.77-84. Ervayenri., Y. Setiadi., N. Sukarno, and C. Kusmana. 1999. Arbuskular Mycorrhiza Fungi AMF Diversity in Peat Soil Influenced by Land Vegetation Types. Proceedings on International Conference Mycorrhiza in Suitanable Tropical Agriculture and Forest Ecosystem. In Commenoration of 100 Years the World Pioneering Studies on Tropical Mycorrhizas in Indonesian by Professor JM Janse. 27-30 Oktober 1997. Bogor. pp.85-92. Universitas Sumatera Utara Fakuara, M. Y, 1988. Mikoriza Teori dan Kegunaan Praktek. IPB Press, Bogor. Hanafiah, K. A. 2004. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Volume ke-2, Dasar-dasar Ilmu Tanah Lanjutan. Palembang. Hasbi, R. 2005. Studi Diversitas Cendawan Mikoriza Arbuskula CMA pada Berbagai Tanaman Budidaya di Lahan Gambut Pontianak. Jurnal Agrosains 21:46-51. Hooijer, A., M. Silvius, H. Wösten, and S. Page. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943. Wetlands International. Bogor. Lumban Gaol, P. 2007. Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula CMA di Lahan Gambut; Sudi Kasus di Desa Aek Nauli, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan. Skripsi. USU. Medan. Manoharachary C., I.K. Kunwar, S.V. Reddy, and A. Adholeya. 2009. Some Aspec of Ectomycorrhiza with reference to Conifers. Mycorrhiza News. Vol. 21. Issue 3. 2009. Miranda, J.C.C. and P.J. Harris. 1994. Effects of soil phosphorus on spore germination and hyphal growth of arbuscular mycorrhizal fungi. New Phytol., 128:103-108. Mosse, S. 1981. Vesicular Arbuscular Mycorizarescarh for tropical agriculture. Ress. Bull Najiyati, S., A. Asmana, dan I N. N. Suryadiputra. 2005. Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut. Wetlands International – IP. Bogor. Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut, Potensi dan Kendala. Kanisius Yogyakarta. Noor, Y.R. dan J. Heyde. 2008. Pengelolaan Lahan Gambut Berbasis Masyarakat di Indonesia.Wetland International-Indonesian Programme. Bogor. Octavitani, N. 2010. Pemanfaatan Pupuk Hayati CMA untuk Meningkatkan Produktivitas Pertanian. IPB. Bogor. Pattimahu, D.V. 2004. Restorasi Lahan Kritis Pasca Tambang sesuai Kaidah Ekologi. Makalah Mata Kuliah Falsafah Sains, Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Poerwowidodo, 2000. Telaah Kesuburan Tanah. Angkasa. Bandung. Rao, S.N. 2004. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman, I.A.R.I. Press. New Delhi. Universitas Sumatera Utara Rina, Y., Noorginayuwati dan M. Noor. 2008. Persepsi Petani Tentang Lahan Gambut dan Pengelolaannya. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa . Bogor Rosliani, R., Y. Hilman, dan N. Sumarni. 2006. Pemupukan Fosfat Alam, Pupuk Kandang Domba, dan Inokulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Mentimun pada Tanah Masam. J. Hort. 161:21-30. Sancayaningsih, R.P. 2005. The effects of single and dual inoculations of arbusscula mycorrhizal fungi on plant growth and the EST and MDH is zyme profiles of maize roots Zea mays.L grown on limited growth media. Desertasi. UGM. Yogyakarta. Santoso, E., M. Turjaman, dan R.S.B. Irianto. 2007. Aplikasi Mikoriza untuk Meningkatkan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Terdegradasi. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian 2007. Setiadi, Y. 2001. Peranan Mikoriza Arbuskula Dalam Rehabilitasi Lahan Kritis di Indonesia. Disampaikan dalam Rangka Seminar Penggunaan Cendawan Mikoriza dalam Sistem Pertanian Organik dan Rehabilitasi Lahan Kritis. Bandung 23 April 2001. Smith, S.E. and D.J. Read. 1997. Vesicular arbuscular mycorrhizas: Growth and carbon economy of VA mycorrhizal plants. In Mycorrhizal Symbiosis. 2 nd ed. New York, Acad. Press. Suciatmih. 2003. Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Status of Plant Species in The Peat Swamp Forest of Setia Alam Jaya Sebangau, Central Kalimantan. Berk. Penel. Hayati: 9 13-17. Turk, M.A., T.A. Assaf, K.M. Hameed, and A.M. Al-Tawaha. 2006. Significance of Mycorrhizae., World Jour. of Agri. Sci. 2 1: 16-20. Vestberg, M. and S. Kukkonen. 2008. Performance of AM Fungi in Peat Substrates in Greenhouse and Field Studies. Proceedings. of COST 870 meeting. From Production to Application of Arbuscular Mycorrhizal Fungi in Agricultural Systems: a Multidisciplinary Approach. May 27-30 2008. Slagelse Denmark. pp. 25-26. Wibisono, I.T.C., L .Siboro, dan I.N.N. Suryadiputra. 2005. Panduan Rehabilitasi dan Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Wetland International – Indonesia Programme. Bogor. Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN Lampiran 1. Kriteria Persentase Kolonisasi Akar Menurut Setiadi et al.1992 No Persentase kolonisasi Keterangan 1. 0-25 Rendah 2. 26-50 Sedang 3. 51-75 Tinggi 4. 76-100 Sangat Tinggi Universitas Sumatera Utara Lampiran 3. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah menurut Staf Pusat Penelitian Tanah- Bogor 1983 dan BPP-Medan 1982. Sifat tanah Satuan Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi C karbon 1,00 1,00-2,00 2,01-3,00 3,01-5,00 5,00 P 2 O 5 HCl mg100 g 10 10-20 21-40 41-60 60 P-avl Bray II ppm 8,0 8,0-15 16-25 26-35 35 N Nitrogen 0,10 0,10-0,20 0,21-0,50 0,51-0,75 0,75 CN - 5 5-10 11-15 16-25 25 P 2 O 5 total 0,03 0,03-0,06 0,06-0,079 0,08-0,10 0,10 P-avl Truog ppm 8,0 8,0-15 16-25 26-35 35 P-avl Olsen ppm 10 10-25 26-45 46-60 60 K 2 O-eks HCl 0,003 0,03-0,06 0,07-0,11 0,12-0,20 0,20 CaO-eks HCl 0,05 0,05-0,09 0,10-0,20 0,20-0,30 0,30 MgO-eks HCl 0,05 0,05 0,10 0,20 0,30 MnO-eks HCl 0,05 0,05 0,10 0,20 0,30 K-tukar me100 0,10 0,10-0,20 0,30-0,50 0,60-1,00 1,00 Na-tukar me100 0,10 0,10-0,30 0,40-0,70 0,80-1,00 1,00 Ca-tukar me100 2,0 2,0-5,0 6,0-10,0 11,0-20,0 20 Mg-tukar me100 0,40 0,40-1,00 1,10-2,00 2,10-8,00 8,00 KTK CEC me100 5 5-16 17-24 24-40 40 KB BS 20 20-35 36-50 51-70 60 Kej Al 10 10-20 21-30 31-60 60 EC Nedeco mmhos cm - - 2,5 2,6-10 10 pH H 2 O Sangat masam Masam Agak masam Netral Agak alkalis Alkalis 4,5 4,5-5,5 5,6-6,5 6,6-7,5 7,6-8,5 8,5 Universitas Sumatera Utara