Tersandung Pasal 'Seolah-olah'

Universitas Muhammadiyah Malang
www.umm.ac.id

Tersandung Pasal 'Seolah-olah'
Tempo Online : Senin, 2004-09-06 |
Sudah lebih dari setengah tahun kantor bantuan hukum Universitas Muhammadiyah Malang sepi. Tak ada orang yang
duduk menunggu dilayani. Tak lagi terdengar dering telepon dan detak lembut keyboard komputer. Hampir tak ada
kegiatan sama sekali. Padahal, sebelumnya, Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum (LKPH), demikian nama
lembaga bantuan hukum universitas itu, selalu sibuk. Banyak warga Malang, terutama mereka yang tidak mampu,
datang ke sana meminta bantuan hukum. LKPH-lah harapan mereka karena di kantor ini bantuan hukum bisa mereka
dapatkan gratis. "Untuk sementara kegiatan LKPH vakum. Kami tak bisa memberikan pelayanan hukum lagi ke
masyarakat," kata Tongat, salah seorang pendiri lembaga itu.

Tutupnya LKPH bermula dari suatu hari pada Desember 2003. Ketika itu, Tongat bersama dua rekannya, Achmad
Fuad Usfa dan Sumnali, pergi ke kantor polisi mendampingi Rudy, seorang klien mereka. Bukan urusan besar, cuma
urusan pelanggaran lalu lintas biasa. Tapi, tanpa mereka duga, polisi meminta ketiganya menunjukkan bukti identitas
sebagai advokat. Tongat dan kedua koleganya kaget. "Sebelumnya, kami tak pernah ditanyai soal identitas itu," kata
dia. Tentu saja mereka tidak punya identitas yang diminta. Polisi pun tak peduli. Mereka tetap dilarang mendampingi
Rudy selama pemeriksaan. "Saya kecewa, klien saya sampai stres," kata Tongat.

Itulah pertama kalinya para "pengacara kampus" tadi tahu bahwa ternyata mereka tersandung Undang-Undang

Advokat, UU No. 18/2003, yang umurnya baru sekitar setahun. Menurut pasal 31 undang-undang ini, siapa pun yang
tidak memiliki izin advokat dilarang "bertindak seolah-olah sebagai advokat," termasuk memberikan konsultasi hukum
dan melakukan litigasi. Dan ini bukan pasal main-main. Ancaman hukuman terhadap pelanggarnya cukup berat, bisa
penjara hingga lima tahun dan denda hingga Rp 50 juta. Inilah pasal yang dipakai polisi untuk mengganjal upaya.
Tongat dan kawan-kawan mendampingi Rudy. "Undang-undang itu memasung kami," kata Tongat kesal.

LKPH tentu tidak tinggal diam. Mei lalu, Tongat mengajukan judicial review (permohonan pengujian) ke Mahkamah
Konstitusi. Dasar pengajuan adalah Tongat merasa biro hukumnya dirugikan oleh pasal 31 tadi. Sebelum ada UU
Advokat, kata Tongat, lembaganya telah lama bergerak di bidang advokasi hukum untuk masyarakat yang tidak
mampu. "Kegiatan kami ini bisa ditafsirkan sebagai advokat," ujarnya.

Bukan hanya Tongat dan LKPH-nya yang tersandung pasal seolah-olah. Sejak UU No. 18/2003 berlaku, hampir semua
biro bantuan hukum di perguruan tinggi tak bisa lagi melakukan aktivitas. Banyak orang yang datang dan meminta
bantuan hukum untuk kasus yang mereka hadapi, tapi para pengelola biro tak bisa melayani. "Karena itu, kita
mendukung pasal 31 direvisi," kata Muhammad Jamin, salah seorang pendiri dan pengurus Badan Mediasi dan
Bantuan Hukum (BMBH) Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo.

Selama ini, mendirikan biro hukum perguruan tinggi adalah perkara mudah. Izin yang diperlukan hanya satu, dari
pengadilan tinggi setempat. Bahkan Mahkamah Agung pada 2003 mengeluarkan surat keputusan yang intinya
mengizinkan lembaga bantuan hukum fakultas atau sekolah tinggi hukum berpraktek memberikan bantuan hukum. Tak

aneh, biro hukum kampus pun menjamur. Umumnya "pendekar hukum" kampus ini adalah mahasiswa tingkat akhir
dan dosen fakultas hukum. "Yang kami tangani selama ini kebanyakan orang kecil. Jadi, ini memang misi pengabdian,"
ujar Jamin.

Misi pengabdian itulah yang kini harus berhenti. Menurut Jamin, jika ini terus berlangsung, kerugian bukan hanya
menimpa para pencari keadilan yang tidak mampu, tapi juga kualitas pendidikan hukum di perguruan tinggi. Dengan
mendirikan lembaga bantuan hukum, mahasiswa dan dosen bisa terjun langsung ke luar bangku kuliah menghadapi

page 1 / 3

Universitas Muhammadiyah Malang
www.umm.ac.id

persoalan-persoalan hukum. Karena ada larangan berpraktek, pengalaman untuk memperkaya ilmu seperti itu, kata
Jamin, tak akan ada lagi.

Dan memang itulah yang terjadi. Di Malang, biro hukum Universitas Muhammadiyah Malang, yang sudah berdiri sejak
1980, sekarang praktis menganggur. Tak ada lagi mahasiswa dan dosen hukum yang melakukan kegiatan advokasi.
Satu-satunya yang bisa mereka lakukan ya sekadar memberikan "penerangan" hukum kepada klien yang tidak
tahu-menahu dan terus datang.


Situasi serupa terlihat di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Di sini, delapan dosen yang mengelola biro bantuan hukum tersebut bak macan ompong, meski sebagian dari mereka
sebetulnya memiliki izin sebagai pengacara. "Memang mereka punya izin pengacara, tapi UU No. 18/2003 mengatur
pegawai negeri tidak boleh menjadi advokat. Jadi, tetap percuma," kata Kuntoro Basuki, salah seorang pengelola
LKBH. Akibat undang-undang tersebut, sejumlah kasus yang ditangani biro bantuan hukum yang berdiri sejak empat
tahun silam itu kini menggantung.

Lantaran merasa dipasung oleh undang-undang itu, kini sejumlah biro bantuan hukum perguruan tinggi merencanakan
untuk bersama-sama mengajukan judicial review. "Pasal yang membatasi lembaga bantuan hukum di perguruan tinggi
berpraktek di pengadilan harus diamendemen," kata Kuntoro.

Gugatan atas UU Advokat ini tak hanya muncul dari kalangan perguruan tinggi. Pada November 2003, Asosiasi
Penasihat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (APHI) juga sudah mengajukan judicial review ke Mahkamah
Konstitusi. Bedanya dengan tuntutan biro hukum kampus, APHI antara lain mempersoalkan penjelasan pasal 2 ayat 1
yang mengizinkan lulusan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian dan Perguruan Tinggi Hukum Militer menjadi advokat.
"Bukan hanya masalah independensinya. Kualitas mereka juga meragukan karena kurikulum hukum perguruan tinggi
tersebut tidak selengkap kurikulum fakultas hukum umumnya," kata Dorma, Ketua Umum APHI.

Dorma juga meminta Mahkamah meninjau ulang pasal 32 yang tidak memasukkan APHI, organisasi beranggotakan 11

lembaga bantuan hukum, ke daftar organisasi yang diakui. Pasal 32 memang hanya mengakui delapan organisasi
advokat, antara lain Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) dan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI). Dengan pengakuan itu,
mereka tidak hanya sah berpraktek, tapi juga memiliki kewenangan besar karena, antara lain, berhak "menjadikan"
seseorang sebagai advokat atau sebaliknya memecat advokat. "Kami menilai berbahaya jika hanya delapan organisasi
itu, padahal di luar mereka masih banyak organisasi advokat," katanya.

Palu hakim Mahkamah Konstitusi memang belum diketuk. Tapi, jika semua lancar, akhir bulan ini Mahkamah akan
membuat keputusan. "Ini sudah lama dan harus segera diputus," kata Laica Marzuki, salah satu hakim yang
menangani kasus ini.
Ketua Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Uli Parulian, mengharap Mahkamah Konstitusi "mendengar" keluhan
rekan-rekannya yang terganjal undang-undang itu. Di mata Uli Parulian, undang-undang itu memang lebih
mengutamakan kepentingan komersial ketimbang sosial. "Padahal fungsi advokat itu harus mengedepankan
kepentingan kelompok marginal," ujarnya. Karena itu, kata dia, pilihan terbaik adalah mengamendemen UU No.
18/2003.

Masalahnya, mengamendemen undang-undang tak semudah membalik tangan. Menurut anggota Komisi Hukum DPR,
M. Akil Mochtar, pihaknya akan melihat minimal selama dua tahun dulu pelaksanaan undang-undang ini. "Tidak
mungkin melakukan amendemen hanya melihat satu atau dua pasal," kata dia.

page 2 / 3


Universitas Muhammadiyah Malang
www.umm.ac.id

DPR, kata Akil Mochtar, kini sedang mempersiapkan RUU Bantuan Hukum yang akan mengatur biro-biro hukum
berorientasi nonkomersial. Namanya juga baru persiapan, undang-undang bantuan hukum itu jelas masih lama bisa
terwujud. Padahal, sementara undang-undang baru belum lahir, UU No. 18/2003 juga belum diamendemen, para
pencari keadilan masih terus mengalir ke biro-biro hukum murah, bahkan gratis, yang terpaksa kini menjadi macan
ompong.

page 3 / 3