Perkembangan dan Motivasi Beragama Pada Anak Usia 0 – 12 Tahun Menurut Pemikiran Zakiah Daradjat

B. Perkembangan dan Motivasi Beragama Pada Anak Usia 0 – 12 Tahun Menurut Pemikiran Zakiah Daradjat

1. Perkembangan Beragama Pada Anak

a. Tumbuhnya Jiwa Beragama Pada Anak

Anak-anak mulai mengenal Tuhan, melalui bahasa. Dari kata-kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada permulaan diterimanya secara acuh tak acuh saja. Akan tetapi setelah ia melihat orang-orang dewasa menunjukkan rasa kagum dan takut terhadap Tuhan, maka mulailah ia merasa sedikit gelisah dan ragu tentang sesuatu yang ghaib yang tidak dapat dilihatnya itu, mungkin ia akan ikut membaca dan mengulang kata-kata yang diucapkan orang tuanya. Lambat-laun, tanpa disadarinya, akan masuklah pemikiran tentang Tuhan dalam pembinaan kepribadiannya dan menjadi obyek pengalaman agamis. Maka Tuhan bagi anak-anak pada permulaan, merupakan nama dari sesuatu yang asing, tidak dikenalnya dan diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap Tuhan pada permulaan, adalah karena ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya ke sana, baik pengalaman yang menyenangkan, ataupun yang menyusahkan. Akan tetapi, setelah ia menyaksikan reaksi orang-orang yang disekelilingnya, yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu, yang makin lama makin meluas dan mulailah perhatiannya terhadap kata Tuhan itu tumbuh. Biasanya pengalaman itu pada mulanya tidak menyenangkan karena Anak-anak mulai mengenal Tuhan, melalui bahasa. Dari kata-kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada permulaan diterimanya secara acuh tak acuh saja. Akan tetapi setelah ia melihat orang-orang dewasa menunjukkan rasa kagum dan takut terhadap Tuhan, maka mulailah ia merasa sedikit gelisah dan ragu tentang sesuatu yang ghaib yang tidak dapat dilihatnya itu, mungkin ia akan ikut membaca dan mengulang kata-kata yang diucapkan orang tuanya. Lambat-laun, tanpa disadarinya, akan masuklah pemikiran tentang Tuhan dalam pembinaan kepribadiannya dan menjadi obyek pengalaman agamis. Maka Tuhan bagi anak-anak pada permulaan, merupakan nama dari sesuatu yang asing, tidak dikenalnya dan diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap Tuhan pada permulaan, adalah karena ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya ke sana, baik pengalaman yang menyenangkan, ataupun yang menyusahkan. Akan tetapi, setelah ia menyaksikan reaksi orang-orang yang disekelilingnya, yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu, yang makin lama makin meluas dan mulailah perhatiannya terhadap kata Tuhan itu tumbuh. Biasanya pengalaman itu pada mulanya tidak menyenangkan karena

keinginan untuk menentangnya atau mengingkarinya. 60

b. Perkembangan beragama pada anak

Adapun pembagian perkembangan beragama pada anak dibagi menjadi dua tahap, yaitu kanak-kanak pada tahun-tahun pertama (0-6 tahun) dan anak-anak pada umur sekolah (6-12 tahun);

1) Fase-Fase Umur 0-6 Tahun

Pendidikan agama dalam arti pembinaan kepribadian, sebenarnya telah mulai sejak lahir bahkan dalam kandungan. Keadaan orang tua, ketika anak dalam kandungan mempengaruhi jiwa anak yang akan lahir nanti, hal ini banyak terbukti dalam perawatan jiwa. Tumbuh kembang anak memerlukan dua jenis makanan dan kebutuhan yang bergizi, yakni makanan lahir dan makanan mental, berupa: kasih sayang, perhatian, pendidikan dan pembinaan sehari-hari.

60 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), hlm. 35 - 36

Anak mulai mengenal tuhan dan agama, melalui orang- orang dalam lingkungan tempat mereka hidup. Jika mereka lahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang beragama, mereka akan mendapat pengalaman agama itu melalui ucapan, tindakan dan perlakuan. Mereka mendengar nama Tuhan disebut oleh orangtuanya atau orang lain dalam keluarganya. Kata Tuhan yang pada mulanya tidak menjadi perhatiannya, tapi lama- kelamaan akan menjadi perhatiannya dan ia akan ikut mengucapkannya setelah ia mendengar kata Tuhan itu berulang kali dalam berbagai keadaan tempat dan situasi, apalagi ia melihat mimik muka yang membayangkan kesungguh- sungguhan, ketika kata itu diucapkan, maka perhatiannya akan bertambah, yang lama kelamaan akan menimbulkan pertanyaan dalam hatinya, siapa Tuhan itu? Karena itu maka anak pada umur

3 atau 4 tahun telah mulai menanyakan kepada orang tuanya siapa Tuhan itu?

2) Fase-Fase Umur 6-12 Tahun

Ketika anak masuk sekolah dasar, dalam jiwanya ia telah membawa bekal rasa agama yang terdapat dalam kepribadiannya, dari orang tuanya dan dari gurunya di taman kanak-kanak. Andaikata didikan agama yang diterimanya dari orang tuanya di rumah sejalan dan serasi dengan apa yang diterimanya dari

gurunya di taman kanak-kanak, maka ia masuk ke sekolah dasar telah membawa dasar agama yang bulat (serasi), akan tetapi, jika berlainan, maka yang dibawanya adalah keragu-raguan, ia belum dapat memikirkan mana yang benar, apakah agama orang tuanya atau agama gurunya, yang ia rasakan adalah perbedaan, kedua- duanya masuk kedalam pembinaan pribadinya. Demikian pula sikap orangtuanya yang acuh tak acuh atau negatif terhadap agama, akan mempunyai akibat yang seperti itu pula dalam pribadi anak.

Dasar yang sudah ada di dalam diri anak dalam mengenal tuhan dapat dikembangkan melalui pendidikan, pengalaman dan latihan yang pada saatnya anak itu sendiri nanti akan memperoleh keyakinan yang dapat diterimanya sebagai sesuatu

yang dibutuhkan. 61 Mengingat anak-anak pada umur sekolah ini dalam taraf pengembangan segala aspek (dimensi) pribadinya

(agama, akhlak, pikiran, perasaan rasa keindahan dan kemasyarakatan), maka pengaruh luar cukup besar terhadapnya. Hendaknya segala hal yang mempunyai pengaruh kurang baik terhadap anak perlu dijauhkan, karena kemampuannya untuk memilih mana yang baik dan berguna baik bagi dirinya masih sangat lemah. Perkembangan kecerdasannya belum sampai

61 Ibid, hlm. 74.

kepada mampu memahami hal yang abstrak sebelum umur anak

12 tahun. 62 Oleh karena itu, guru agama harus ingat bahwa anak

bukanlah orang dewasa yang kecil, artinya apa yang cocok untuk orang dewasa, tidak cocok untuk anak. Penyajian agama untuk anak, harus sesaui dengan pertumbuhan jiwa anak, dengan cara yang lebih konkret, dengan bahasa yang sederhana serta banyak bersifat latihan dan pembiasaan yang menumbuhkan nilai-nilai dalam kepribadiannya.

Hanya guru agama yanag pandai dan bijaksanalah yang memperbaiki dan mendekatkan semua anak kearah perkembangan yang sehat. Dia dapat memupuk anak yang telah tumbuh baik itu, memperbaiki yang kurang baik dan selanjutnya membawa mereka semua kepada perkembangan yang

diharapkan. 63 Semakin besar anak, semakin bertambah fungsi agama baginya misalnya pada umur 10 tahun ke atas, agama

mempunyai fungsi moral dan sosial bagi anak. Ia mulai dapat menerima bahwa nilai-nilai agama lebih tinggi dari nilai-nilai pribadi atau nilai-nilai keluarga anak mulai mengerti bahwa agama bukan keperayaan pribadi atau keluarga akan tetapi kepercayaan masyarakat.

62 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995), hlm. 86.

63 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, op. cit., hlm. 71

Maka dengan memahami latar belakang pendidikan agama anak, diharapkan seorang guru agama akan lebih mudah dalam melaksanakan

pendidikan agama. Kesinambungan antara pendidikan agama yang telah diperoleh anak dalam keluarga dengan pendidikan agama di sekolah akan sangat membantu keberhasilan pendidikan agama. Akan tetapi apabila keyakinnan beragama orangtua berbeda dengan keyakinan beragama guru, maka dapat menimbulkan kegoncangan jiwa pada anak, karena mereka terombang-ambing diantara orang tua dan gurunya. Seorang guru yang memahami latar belakang anak didikmnya, sangat menunjang bagi keberhasilan pendidikan agama dalam menumbuhkan motivasi beragama pada anak.

proses pengajaran

c. Sifat-sifat Beragama Pada Anak

1) Ritualis

Aktivitas agama di masjid, di rumah-rumah ibadah lainnya, atau di sekolah agama, mungkin menarik perhatian anak-anak karena pakaian seragam yang berwarna-warni. Mereka suka menyanyi dan upacara-upacara keagaman menikmati hati mereka. Dia gembira menyaksikan orang-orang yang sedang sembahyang. Sikapnya agak aneh, campuran antara kagum dan ingin tahu, maka ia harus menjadi seorang yang aktif dalam Aktivitas agama di masjid, di rumah-rumah ibadah lainnya, atau di sekolah agama, mungkin menarik perhatian anak-anak karena pakaian seragam yang berwarna-warni. Mereka suka menyanyi dan upacara-upacara keagaman menikmati hati mereka. Dia gembira menyaksikan orang-orang yang sedang sembahyang. Sikapnya agak aneh, campuran antara kagum dan ingin tahu, maka ia harus menjadi seorang yang aktif dalam

sosial atas nama agama. 64

2) Egosentris

Artinya semua sembahyang dan do’a-do’a adalah untuk mencapai keinginan-keinginnan pribadi, misalnya dia mau baik karena akan mendapat upah. Ia menggambarkan dengan sebagai seorang yang akan menolongnya dalam mencapai sesuatu, karena ia sudah biasa ditolong oleh orang dewasa terutama orang

tuanya. 65

3) Tidak Mendalam

Kebanyakan anak-anak menerima pelajaran-pelajaran agama dengan kepercayaan, betapapun cara yang dipakai dalam mengajarkannya baik sebagai jawaban atas pertanyaan- pertanyaan, atau sekedar keterangan yang diberikan di rumah atau di sekolah. Kendatipun demikian, akan ada masanya anak- anak mengungkapkan keraguan yang biasanya terjadi apabila

do’a mereka tidak terkabul. 66

64 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, op. cit., hlm. 46 65 Ibid., hlm. 41 66 Ibid., hlm. 45

4) Khayal dan Fantasi

Anak-anak pada umur sekolah dasar sedang dalam pertumbuhan kecerdasan cepat. Khayal dan fantasinya sedang subur dan kemampuan untuk berpikir logis sedang dalam pertumbuhan. Perlu pula diingat bahwa anak-anak sampai umur

12 tahun belum mampu berpikir abstrak (maknawi), oleh karena itu agama harus diberikan dalam jangkauannya yaitu dalam kehidupan nyata. Di sinilah letak pentingnya pembiasaan- pembiasaan dalam pendidikan pada umumnya dan pendidikan

agama khususnya. 67

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Beragama Pada Anak Usia 0-12 Tahun

a. Faktor Internal

1) Faktor Kecerdasan

Pertumbuhan kecerdasan anak sampai umur enam tahun masih terkait kepada inderanya, maka dapat kita katakan bahwa anak pada umur (0-6 tahun) berfikir inderawi. Artinya, anak belum mampu memahami hal yang maknawi (abstrak). Oleh karena itu pendidikan, pembinaaan keimanan dan takwa anak belum dapat menggunakann kata-kata (verbal), akan tetapi diperlukan contoh, teladan, pembiasaan dan latihan yang terlaksana di dalam keluarga

67 Ibid., hlm. 61 67 Ibid., hlm. 61

Sejalan dengan perkembangan kecerdasannya, keagamaan anak pun akan berkembang. Karena perkembangan pengertian anak- anak tentang agama sejalan dengan kecerdasan yang dilaluinya. Pada fase akhir dari masa kanak-kanak, ia sering mengemukakan pertanyaan kritis yang kurang begitu mendalam. Yang akan puas dengan jawaban apapun yang diberikan kepadanya. Kendatipun demikian, akan ada masanya anak-anak mengungkapkan keragu- raguan, yang biasanya terjadi pada anak-anak yang sangat cerdas,

jika dibandingkan dengan anak-anak yang kurang kecerdasannya. 69

2) Faktor Emosi

Sesungguhnya emosi memegang peranan penting dalam sikap dan tindak agama. Tidak satu sikap atau tindak agama

seseorang yang dapat dipahami, tanpa mengindahkan emosinya. 70 Secara umum emosi mempunyai fungsi untuk mencapai

sesuatu pemuasan atau perlindungan diri atau bahkan kesejahteraan pribadi pada saat berhadapan dengan lingkungan atau obyek tertentu. Emosi dapat juga dikatakan sebagai alat yang merupakan wujud dari perasaan.

68 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga Dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, Cet. 2, 1995), hlm. 75.

69 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, op. cit, hlm. 53. 70 Ibid., hlm. 91.

Tanpa pengalaman emosional yang masuk pada memori anak, baik yang terjadi secara sengaja atau tidak sengaja oleh lingkungan akan mewarnai kondisi beragama seorang anak. Anak- anak mulai mengenal Tuhan melalui bahasa. Dari kata-kata orang yang ada dalam lingkungannya yang pada permulaan diterimanya secara acuh tak acuh saja. Akan tetapi setelah ia melihat orang-orang dewasa menunjukkan rasa kagum dan takut kepada Tuhan, maka mulailah ia merasa sedikit gelisah dan ragu tentang sesuatu yang ghaib yang tidak dapat dilihatnya itu, mungkin ia akan ikut membaca dan mengulang kata-kata yang diucapkan oleh orang tuanya. Lambat laun tanpa disadarinya, akan masuklah pemikiran tentang Tuhan dalam pembinaan kepribadiannya dan menjadi obyek pengalaman agamis. Maka tuhan bagi anak-anak pada permulaan, merupakan nama dari sesuatu yang asing, yang tidak dikenalnya dan diragukan kebaikannya. Tidak ada perhatian terhadap Tuhan pada permulaan, adalah karena ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya ke sana, baik pengalaman yang menyenangkan, ataupun yang menyusahkan. Akan tetapi, setelah ia menyaksikan reaksi orang-orang disekelilingnya, yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu, maka timbullah pengalamn tertentu, yang makin lama makin meluas dan mulailah perhatiannya terhadap Tuhan itu

tumbuh. 71

71 Ibid., hlm. 43-44.

3) Faktor Moral

Kita tidak dapat mengatakan bahwa seseorang anak yang baru lahir bermoral atau tidak. Karena moral itu tumbuh dan berkembang dari pengalaman-pengalaman yang dilalui oleh anak- anak sejak lahir. Pertumbuhannya baru dapat dikatakan mencapai kematangannya pada usia remaja, ketika kecerdasannya telah selesai

bertumbuh. 72 Sesungguhnya pertumbuhan kesadaran moral pada anak,

menyebabkan agama anak-anak mendapatkan lapangan baru (moral) maka bertambah pula perhatiannya terhadap nasihat-nasihat agama, dan kitab suci baginya tidak lagi merupakan kumpulan undang- undang yang adil yang dengan itu Allah menghukum dan mengatur

dunia guna menunjuki kita kepada kebaikan. 73 Apabila agama telah mencapai sifat-sifat moral ini, maka kebaikan tertinggi adalah

perintah Allah. Dengan ini terlihatlah bahwa perkembangan perasaan agama disertai oleh pikiran tentang kebaikan yang tinggi.

4) Faktor Sosial

Sebenarnya anak pada umur 3 atau 4 tahun, mulai tertarik kepada anak lain seumur mereka, karena mereka mulai suka bergaul, mencoba memberi, disamping menerima, dan belajar memperhatikan

72 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Op. Cit., hlm. 97. 73 Ibid., hlm. 59.

orang lain, bukan hanya mementingkan diri sendiri. Karena itu pelaksanaan pendidikan agama yang bersifat gerak, bermain dan bersama-sama dengan teman sebaya akan membantu perkembangan

akhlak agamis. 74 Demikian juga dalam aktivitas beragama anak cenderung mengikuti apa yang dilakukan oleh teman-temannya.

Akan tetapi, suatu hal yang perlu dicatat, yaitu disaat usia anak mulai menyadari bahwa agama menghubungkannnya dengan golongan tertentu, maka ia pun menyadari bahwa agama juga memisahkannya dari golongan tertentu pula, yaitu yang berlainan agamanya, maka kita lihat bahwa sifat sosial dan rasa agama merupakan peningkatan dari penyesuaian diri dengan masyarakat (social adjustment), dari segi lain ia merupakan pemisahan sosial. Akan tetapi, hal ini tidak dapat dihindari, karena anak-anak tidak dapat melampaui fase-fase pertumbuhan itu dengan sekaligus matang, maka setiap fase pertumbuhan merupakan tangga untuk fase berikutnya. Dia harus lebih dulu menyesuaikan diri dalam keluarga, sebelum dalam golongan tertentu, kemudian dalam masyarakat yang luas. Dalam hal ini, lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan sosial si anak, ialah yang menolong si anak untuk dapat berpindah

dari satu fase ke fase yang lain. 75

74 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga Dan Sekolah, Op. Cit., hlm. 75. 75 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, op. cit., hlm. 62-63.

b. Faktor Eksternal

1) Orang Tua (Keluarga)

Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak- anak mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan, Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga.

Keadaan atau suasana keluarga mempengaruhi pendidikan tersebut. Menjadi kenyataan bahwa keadaan orang tua, sikapnya terhadap anak sebelum dan sesudah anak lahir, ada pengaruhnya terhadap kesehatan mental si anak. Contoh:

Seorang anak laki-laki umur 12 tahun badannya cukup sehat rupanya menarik sekali, orang tuanya sangat cinta kepadanya dan sangat memperhatikan pendidikannya. Tapi ibu bapaknya sangat gelisah melihat anaknya yang terlihat kurang pandai, tidak seperti yang mereka harapkan. Reaksi si anak terhadap pelajaran agak lamban, disamping itu si anak lekas tersinggung, marah, dan lekas bosan. Maka orang tua itu sering memeriksakannya ke dokter untuk minta dirawat dan dites jiwanya. Dari penelitian terbukti bahwa sebenarnya si anak cukup cerdas dan mau belajar, hanya saja is agak gelisah sehingga tidak dapat memusatkan perhatiannya waktu belajar dan lebih suka ia menunggu perintah ibunya saja. Ibu dan bapaknya adalah guru. Pada permulaan mereka belum ingin mempunyai anak dan ingin selalu aktif tanpa gangguan. Akan tetapi, usaha mereka tidak berhasil hanya takdir Tuhan yang berlaku, hamillah si ibu. Ibu dan bapaknya merasa kecewa keinginan untuk menundah anak tidak terkabul, dan lahirlah anak dalam keadaan tidak disambut oleh kedua orang tuanya. Akan tetapi, setelah beberapa hari anak itu lahir, kebencian dan ketidaksenangan mempunyai anak itu berangsur-angsur hilang. Ibu dan bapaknya merasa berdosa dan bersalah terhadap si anak. Karena rasa salah dan berdosa itu mereka ingin menebus kesalahan dengan sangat memperhatikan si anak sehingga si anak dididik dan diperlakukan menurut teori-teori pendidikan Seorang anak laki-laki umur 12 tahun badannya cukup sehat rupanya menarik sekali, orang tuanya sangat cinta kepadanya dan sangat memperhatikan pendidikannya. Tapi ibu bapaknya sangat gelisah melihat anaknya yang terlihat kurang pandai, tidak seperti yang mereka harapkan. Reaksi si anak terhadap pelajaran agak lamban, disamping itu si anak lekas tersinggung, marah, dan lekas bosan. Maka orang tua itu sering memeriksakannya ke dokter untuk minta dirawat dan dites jiwanya. Dari penelitian terbukti bahwa sebenarnya si anak cukup cerdas dan mau belajar, hanya saja is agak gelisah sehingga tidak dapat memusatkan perhatiannya waktu belajar dan lebih suka ia menunggu perintah ibunya saja. Ibu dan bapaknya adalah guru. Pada permulaan mereka belum ingin mempunyai anak dan ingin selalu aktif tanpa gangguan. Akan tetapi, usaha mereka tidak berhasil hanya takdir Tuhan yang berlaku, hamillah si ibu. Ibu dan bapaknya merasa kecewa keinginan untuk menundah anak tidak terkabul, dan lahirlah anak dalam keadaan tidak disambut oleh kedua orang tuanya. Akan tetapi, setelah beberapa hari anak itu lahir, kebencian dan ketidaksenangan mempunyai anak itu berangsur-angsur hilang. Ibu dan bapaknya merasa berdosa dan bersalah terhadap si anak. Karena rasa salah dan berdosa itu mereka ingin menebus kesalahan dengan sangat memperhatikan si anak sehingga si anak dididik dan diperlakukan menurut teori-teori pendidikan

bahaya mental yang mungkin dialami oleh anak itu. 76

Dalam contoh ini kita lihat betapa besarnya pengaruh sikap jiwa orang tua dalam menyambut kelahiran anak yang kemudian mempengaruhi kesehatan mentalnya. Hubungan antara ibu dan bapak hendaklah demikian rupa baiknya, di mana terdapat saling pengertian, saling penghargaan dan cinta mencintai dalam arti yang sebenarnya.

Pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga itu bukan berpangkal dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan karena secara kodrati suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak, dalam buku Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental , beliau mengatakan:

“Tidak sedikit kenakalan anak-anak terjadi, akibat kelalaian dan kurang perhatian orang tua, terutama ibu terhadap anak-anaknya.

Dan tidak sedikit pula anak yang menjadi bodoh, patah hati dan terganggu kesehatan mentalnya, karena kebodohan dan kurang pandainya ibu mendidik anak dan menciptakan kebahagiaan rumah tangga. Berapa banyaknya anak yang telah menjadi korban, karena

76 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1988) hlm. 66-67.

kecerobohan dan ketidak mengertian ibu dalam menghadapi kesusahan sehari-hari keadaan suami serta persoalan-persoalan anak-

anaknya”. 77

Tanggung jawab pendidikan Islam yang menjadi beban orang tua sekurang-kurangnya harus dilaksanakan dalam rangka;

a) Memelihara dan membesarkan anak. Ini adalah bentuk yang paling sederhana dari tanggung jawab setiap orang tua dan merupakan

mempertahankan kelangsungan hidup manusia.

b) Melindungi dan menjamin keseimbangan, baik jasmaniah maupun rohaniah, dari berbagai gangguan penyakit dan dari penyelewengan kehidupan dari tujuan hidup yang sesuai dengan falsafah hidup dan agama yang dianutnya.

c) Memberi pengajaran dalam arti yang luas sehingga anak memperoleh peluang unutk memiliki pengetahuan dan kecakapan seluas dan setinggi mungkin yang dapat dicapainya.

d) Membahagiakan anak, baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan pandangan dan tujuan hidup muslim.

2) Guru (Sekolah)

Guru adalah pendidik profesional, karenanya secara implisit ia telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang terpikul di pundak para orang tua.

77 Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, op. cit, hlm. 67.

Mereka ini, tatkala menyerahkan anaknya ke sekolah sekaligus berarti pelimpahan sebagian tanggung jawab pendidikan anaknya kepada guru. Hal inipun menunjukkan pula bahwa orang tua tidak mungkin menyerahkan anaknya kepada sembarang guru/sekolah karena tidak sembarang orang yang menjabat sebagai guru.

Untuk menjadi seorang guru yang dapat mempengaruhi anak didik kearah kebahagiaaan dunia dan akhirat sesungguhnya tidaklah ringan, artinya ada syarat-syarat yang harus dipenuhi;

a) Takwa kepada Allah SWT

b) Berilmu

c) Sehat jasmani dan rohani

d) Berkelakuan baik Guru juga mesti selektif dalam memeberikan materi pelajarn sesuai dengan fase perkembangan penghayatan keagamaan anak. Anak sekolah dasar (SD) jangan dituntut untuk menghafalkan bacaan-bacaan yang sukar yang bukan merupakan pokok materi yang menjadikan perbuatan ibadah sah. Jangkauan tujuan pengajaran bagi anak itu jangan terlalu jauh dan dalam, sehingga menyulitkan dan membosankan mereka. Setiap guru harus mengerti dan sadar bahwa pengajaran ibadat itu adalah pengajaran kegiatan beramal/bekerja dalam rangka beribadat. Cara demonstrasi dan latihan tentu dapat ditinggalkan dalam kegiatan belajar mengajar itu. Dan selanjutnya d) Berkelakuan baik Guru juga mesti selektif dalam memeberikan materi pelajarn sesuai dengan fase perkembangan penghayatan keagamaan anak. Anak sekolah dasar (SD) jangan dituntut untuk menghafalkan bacaan-bacaan yang sukar yang bukan merupakan pokok materi yang menjadikan perbuatan ibadah sah. Jangkauan tujuan pengajaran bagi anak itu jangan terlalu jauh dan dalam, sehingga menyulitkan dan membosankan mereka. Setiap guru harus mengerti dan sadar bahwa pengajaran ibadat itu adalah pengajaran kegiatan beramal/bekerja dalam rangka beribadat. Cara demonstrasi dan latihan tentu dapat ditinggalkan dalam kegiatan belajar mengajar itu. Dan selanjutnya

3) Masyarakat

Masyarakat turut serta memikul tanggung jawab pendidikan, secara sederhana masyarakat dapat diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kebudayaan dan agama. Setiap masyarakat mempunyai cita-cita, peraturan-peraturan dan sistem kekuasaan tertentu.

Masyarakat besar pengaruhnya dalam memberi arah terhadap pendidikan anak, terutama para pemimpin masyarakat atau penguasa yang ada di dalamnya. Pemimpin masyarakat muslim tentu saja menghendaki agar setiap anak didik menjadi anggota yang taat dan patuh menjalankan agamanya, baik dalam lingkungan keluarganya, anggota sepermainan, kelompok kelas, dan sekolahnya. Bila anak telah besar diharapkan menjadi anggota yang baik pula sebagai warga desa, warga kota dan warga negara.

Dengan demikian, di pundak mereka terpikul keikut sertaan membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak. Ini berarti bahwa pemimpin dan penguasa dari masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Sebab tanggung jawab pendidikan pada hakikatnya merupakan tanggung jawab moral dari

78 Zakiah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 76.

setiap orang dewasa baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok sosial. Tanggung jawab ini ditinjau dari segi ajaran Islam,

secara implisit, mengandung pula tanggung jawab pendidikan. 79

3. Kiat-kiat Menumbuhkan Motivasi Beragama Pada Anak Usia 0-12 Tahun

bahwa untuk menumbuhkan motivasi beragama pada anak harus ditinjau melalui dua segi, yaitu ditinjau dari diri anak itu sendiri (motivasi instrinsik) dan motivasi yang berasal dari luar dirinya (motivasi ekstrinsik);

a. Motivasi Intrinsik

Motivasi beragama pada diri manusia ada karena agama merupakan salah satu dari kebutuhan pokok manusia, hanya dengan agama maka kebutuhan-kebutuhan pokok itu (kebutuhan jiwa) dapat terpenuhi, unsur-unsur kebutuhan pokok itu antara lain:

1. Kebutuhan rasa kasih sayang

2. Kebutuhan akan rasa aman

3. Kebutuhan akan rasa harga diri

4. Kebutuhan akan rasa bebas

5. Kebutuhan akan sukses

6. Kebutuhan akan rasa ingin tahu

79 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991 ), hlm. 40 - 44

Gabungan dari keenam macam kebutuhan tersebut menyebabkan orang memerlukan agama, melalui agama kebutuhan- kebutuhan tersebut dapat disalurkan. Dengan melaksanakan ajaran agama secara baik, maka kebutuhan akan kasih sayang, rasa aman, harga diri, rasa bebas, rasa sukses dan rasa ingin tahu akan

terpenuhi. 80 Apabila salah satu dari kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak

terpenuhi, orang akan menjadi gelisah, akan merasakan ketegangan batin (tension), sedang ketegangan batin dan kegelisahan itu akan mendorong orang untuk melakukan sesuatu, supaya dapat menghilangkan rasa tidak enak itu. Bagi orang yang sehat mentalnya atau tidak banyak kekurangan-kekurangan yang dirasakannya, maka usahanya akan selalu wajar dan dapat mencapai tujuannya dengan mudah. Akan tetapi bagi orang yang telah bertumpuk-tumpuk kekurangan yang dialaminya, misalkan saja kehilangan kasih sayang, kekurangan rasa aman dan merasa harga dirinya tidak diperhatikan orang, maka ia akan merasa sedih, batinnya akan menjadi tegang dan gelisah, bahkan mungkin akan ia akan mencari kepuasan dengan yang tidak wajar, misalnya dengan berkhayal yang indah-indah (melamun), menghasut orang, menganiaya dan sebagainya. Bahkan

80 Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), hlm. 35.

mungkin sampai kepada terganggu kesehatan mentalnya. Dan lebih jauh lagi bisa tertimpa penyakit jiwa. 81

b. Motivasi Ekstrinsik

Motivasi ekstrinsik berasal dari lingkungan yang ada disekitar anak, setidaknya ada tiga tempat yang umumnya didiami oleh anak; keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pada setiap tempat tersebut terdapat berbagai macam cara atau metode memotivasi jiwa beragama yang sesuai dengan karakteristik tempat masing-masing. Berikut kiat-kiat/metode-metode menumbuhkan motivasi beragama pada anak;

1. Metode Keteladanan

Pada anak usia dini keteladanan orang tua sangat berpengaruh terhadap kepribadian anak. Oleh karena itu, baik buruknya pribadi anak, taat tidaknya anak pada ajaran agama, akan sangat tergantung pada contoh dan teladan yang dilihatnya

dari keseharian orangtuanya. 82

2. Metode Pembiasaan

praktis dalam pembentukan anak yang dapat menghasilkan tingkah laku yang bersifat otomatis, tanpa direncanakan terlebih dahulu. Contoh:

81 Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaaan Mental, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 12.

82 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, op. cit., hlm. 57.

Seorang Muslim dianjurkan oleh Rasulullah SAW membaca “Bismillahirrahmaanirrahim” (Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang ), Dengan membaca Bismillah waktu memulai tiap pekerjaan, akan semakin terasa kasih sayang Allah itu kepada kita. Menentramkan hati adalah pokok yang terpenting dalam suksesnya suatu pekerjaan yang sedang dihadapi. Suatu pekerjaan yang dikerjakan dengan hati yang gelisah akan kurang beres. Anak-anak sekolah yang menghadapi ujian dengan hati cemas, takut dan gelisah, seringkali bingung atau tak dapat berpikir karena kecemasan atau kegelisahannya menyebabkan lupa pelajaran yang sebenarnya telah dihafalkannya. Dan orang yang makan dengan hati yang gelisah, akan merasa seolah-olah kerongkongannya tersumbat, perutnya sakit atau sekurang- kurangnya alat-alat pencernaannya akan terganggu, sehingga mengakibatkan sakit perut atau tidak bisa buang air besar. Itulah sebabnya barangkali, Nabi Muhammad SAW sangat menegaskan

pentingnya membaca Bismillah dalam setiap memulai pekerjaan. 83

Melihat fenomena tersebut metode pembiasaan sangat tepat dalam rangka menginternalisasikan nilai-nilai religius pada anak agar terbentuklah motivasi beragama pada anak, mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka baik oleh keluarga, sekolah maupun masyarakat maka perlu adanya pembiasaan pada anak.

Menurut Abdul Fatah Jalal, tidak ada satu metode pun yang dapat menandingi metode yang dipergunakan Al-Quran dalam memantapkan kepercayaan akan Wahdaniyyah (keesaan Allah), penyajiannya dilakukkan dengan menggunakan berbagai sudut pandang dan dilakukan berulang kali. Dengan jalan

83 Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1986), hlm. 27.

mengulang serta menggunakan sudut pandang dan argumentasi dapat meninggalkan keraguan dan menggugah sikap percaya. 84

3. Metode Cerita

Anak-anak pada umur umur 3-6 tahun tertarik kepada cerita-cerita pendek yang berkisah tentang peristiwa yang sering dialaminya atau dekat dengan kehidupan sehari-hari. Hal tersebut sangat membantu perkembangan jiwa beragama padanya, lebih- lebih lagi karena anak pada masa kanak-kanak awal cenderung

kepada meniru (imitatif). 85 Pada usia sekolah (kira-kira umur 6 tahun ke atas) anak

juga lebih suka cerita fantasi. Keadaan ini dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan motivasi beragama pada anak dan membina identitas anak, karena ia meniru tokoh yang dibaca, didengar atau dilihatnya. Oleh karena itu cerita anak-anak harus menampilkan atau menyajikan tokoh-tokoh yang saleh, yang kelakuannya

selalu terpuji. 86

84 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, op. cit., hlm. 57. 85 Ibid., hlm. 77. 86 Ibid., hlm. 79.

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25