Perencanaan Usahatani Lahan Kering Berkelanjutan Di DAS Sape Lombok Tengah

(1)

BERKELANJUTAN DI DAS SAPE LOMBOK TENGAH

HALUS SATRIAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Perencanaan Usahatani Lahan Kering Berkelanjutan di DAS Sape Lombok Tengah” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2007

Halus Satriawan NRP. A252040021


(3)

DAS Sape Lombok Tengah. Dibimbing oleh NAIK SINUKABAN dan SURIA DARMA TARIGAN.

DAS Sape merupakan sub DAS Dodokan yang terletak di Kabupaten Lombok Tengah Provinsi NTB. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sistem usahatani lahan kering yang sedang berjalan dan menyusun perencanaan usahatani lahan kering yang berkelanjutan. Untuk mengkaji sistem usahatani dan penggunaan lahan dilakukan dengan evaluasi kemampuan lahan menggunakan metode Klingebiel dan Montgomery (1976), evaluasi pola tanam dan agroteknologi untuk perencanaan pertanian berkelanjutan disusun melalui prediksi erosi menggunakan model USLE dan analisis sosial ekonomi menggunakan metode cash – flow analysis (Soekartawi, 1986). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lahan di DAS Sape terdiri dari kelas kemampuan II, III. IV dan VI dengan faktor pembatas secara berturut – turut adalah lereng yang landai-curam, erosi dengan tingkat sedang-berat, drainase agak baik dan permeabilitas yang agak lambat. Luas penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan mencapai 1.312,4 ha (54,4 %) yang berada pada kelas VI dengan penggunaan lahan kebun, semak dan sawah tadah hujan sehingga perlu dilakukan perubahan penggunaan lahan. Pola tanam tumpangsari bersisipan pada Satuan Lahan 5a, 22, 10a, 10b, 16g, 15 dan 25c menghasilkan erosi < ETol (3,9 – 39,3 ton/ha/tahun), sedangkan pola tanam lainnya menghasilkan erosi > ETol (37,4 – 6584,2 ton/ha/tahun). Hal ini mengakibatkan rendahnya produktivitas lahan dan berpengaruh terhadap pendapatan petani yang rendah (Rp. 1.502.000 – Rp. 7.667.500 KK/tahun), sehingga diperlukan perubahan pola tanam dan agroteknologi. Pola tanam dan agroteknologi yang direkomendasikan untuk meminimalkan erosi adalah tumpangsari antara padi gogo - palawija yang disertai dengan mulsa dan penggunaan teras. Setelah perbaikan pola tanam dan agroteknologi dihasilkan nilai prediksi erosi sebesar 7,1 – 20,7 ton/ha/tahun serta pendapatan petani setelah ditunjang dengan usaha ternak meningkat menjadi Rp. 14.569.244 – Rp. 16.425.401 /KK/tahun.


(4)

Watershed of Central Lombok Regency. Under the direction of NAIK SINUKABAN and SURIA DARMA TARIGAN.

Sape watershed is a sub watershed of Dodokan watershed located in Central Lombok Regency of West Nusa Tenggara Province. The objective of this research were to study the on going farming system of dry land and to design sustainable dry land farming systems. Evaluation of land use and farming systems was conducted through land capability evaluation using the method of Klingebiel and Montgomery (1976), evaluation of agrotechnology and cropping patterns to design sustainable farming systems were carried out using USLE model and evaluation of economic and social aspect using the method of cash-flow analysis (Soekartawi 1986). The results of this study showed that, the land in Sape watershed were consisted of II, III, IV and VI of capability classes with limiting factors; slightly to steep slope, moderate to heavy erosion, moderate drainage and slow of permeability. Land evaluation showed that 1312.4 ha (54.4 %) of land use had unsuitable land capability classes, thus changes of land use are needed. Predicted erosion the multiple cropping patterns on land unit 5a, 10a, 10b, 15, 16g, 22 and 25e were less than local tollerable soil loss (3.9 – 39.3 ton/ha/year), while on other cropping patterns greater than local tollerable soil loss (37.4 – 6584.2 ton/ha/year). This conditions decreased land productivity and resulted in low farmers income (Rp. 1 502 000 – Rp. 7 667 500 /HH/year), therefore improvement of the cropping pattern and agrotechnologies are required. Recommended cropping pattern to minimize erosion is multiple cropping with upland rice (padi gogo) – secondary food crops (palawija) with adequated terraces and mulch in three variations. These farming systems can minimize erosion until 7.1 – 20.7 ton/ha/year, in addition after supported with livestock it increased income of farmers to Rp. 14 569 244 – Rp. 16 425 401 /HH/year.


(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak,


(6)

HALUS SATRIAWAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelas Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

NRP : A252040021 Program Studi : Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(8)

Puji syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2006 ini adalah “Perencanaan Usahatani Lahan Kering Berkelanjutan di DAS Sape Lombok Tengah”. Karya ilmiah ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc dan Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc selaku pembimbing, atas segala saran, arahan, kepercayaan dan kesabaran dalam memberikan bimbingan selama penyelesaian karya ilmiah ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Dwi Putro Tedjo Baskoro, M.Sc yang telah berkenan menjadi penguji luar, dan juga berkenan memberikan kritik dan saran-sarannya. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda H. Abas Satriadi dan Ibunda Hj. Hindun beserta keluarga atas semua pengorbanan dan do’anya kepada penulis.

Semoga bimbingan, saran dan masukan yang diberikan dengan ikhlas membuahkan sebuah karya ilmiah yang bermanfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan dan kemaslahatan umat manusia khususnya bagi masyarakat DAS Sape Lombok Tengah.

Bogor, Maret 2007


(9)

Penulis dilahirkan pada hari Rabu, 11 Juni 1980 dari pasangan H. Abas Satriadi dan Hj. Hindun di Desa Batujai, Nusa Tenggara Barat. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Tahun 1997 penulis lulus dari STM Negeri Mataram, kemudian pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan S1 di Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Mataram dan menyelesaikannya pada tahun 2003. Selama menempuh pendidikan S1, penulis menjadi asisten mata kuliah Biologi Umum tahun ajaran 1999/2000 dan 2002/2003, Klimatologi Dasar tahun ajaran 2001/2002, Dasar-Dasar Ilmu Tanah tahun ajaran 2002/2003.

Tahun 2004 penulis melanjutkan studi Program Magister (S2) di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dengan biaya sendiri.


(10)

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Pengeloaan Daerah Aliran Sungai ... 4

Pengertian dan Tujuan... 4

Pengelolaan DAS kecil ... 5

Erosi dan Prediksi Erosi ... 6

Erosi Yang Masih dapat Ditoleransikan ... 9

Kemampuan Lahan ... 10

Kelas Kemampuan Lahan ... 11

Sub Kelas Kemampuan Lahan ... 11

Satuan Kemampuan Lahan ... 11

Perencanaan Usahatani Lahan Kering dan Pertanian Berkelanjutan .... 12

Analisis Finansial Usahatani dan Standar Hidup Layak ... 16

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat ... 18

Bahan dan Alat ... 18

Metode Penelitian ... 18

Persiapan dan Pengumpulan Data Penunjang ... 19

Survei Lapangan dan Pengukuran ... 19

Pengumpulan Data Fisik ... 19

Pengumpulan Data Sosial Ekonomi ... 19

Analisis Data dan Penyajian Hasil ... 20

Evaluasi Kemampuan Lahan ... 21

Prediksi Erosi ... 22

Erosi Yang dapat Ditoleransikan ... 23

Analisis Sosial Ekonomi ... 24

Perencanaan Alternatif Pola Usahatani ... 25

Rekomendasi Penggunaan Lahan ... 26

KEADAAN UMUM DAS SAPE Letak dan Luas DAS Sape ... 28

Jenis Tanah ... 28

Topografi ... 29


(11)

Aspek Sosial Ekonomi ... 31

Luas Lahan Usahatani dan Jumlah Penduduk ... 31

Karakteristik Keluarga Petani dan Penguasaan Lahan ... 32

Demografi ... 32

Penguasaan Lahan ... 34

Sumber Pendapatan Rumah Tangga ... 35

Pengalaman Usahatani dan Pemahaman Tentang Konservasi ... 36

Sumber Modal, Hambatan Usahatani dan Orientasi Produksi ... 37

HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan dan Pola Tanam ... 39

Evaluasi Kemampuan Lahan ... 41

Evaluasi Penggunaan Lahan ... 44

Perencanaan Pertanian Berkelanjutan ... 47

Prediksi Erosi ... 47

Pola Tanam dan Agroteknologi Alternatif ... 54

Analisis Finansial Usahatani Tanaman Pangan Aktual ... 53

Analisis Finansial Usahatani Tanaman Pangan Alternatif ... 57

Analisis Finansial Agroforestry ... 60

Rekomendasi Pola Tanam dan Agroteknologi ... 62

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 68

Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 70


(12)

Tabel Halaman

1. Jenis dan pengumpulan data fisik di lapangan ... 20

2. Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan tanah ... 21

3. Kriteria kelas kemampuan lahan ... 21

4. Jenis tanah di DAS Sape Lombok Tengah ... 28

5. Pembagian kelas lereng di DAS Sape Lombok Tengah ... 29

6. Karakteristik rumah tangga petani di DAS Sape Lombok Tengah ... 32

7. Karakteristik anggota keluarga petani di DAS Sape Lombok Tengah 33 8. Status Penguasaan dan luas lahan garapan petani responden di DAS Sape Lombok Tengah ... 34

9. Distribusi sumber pendapatan rumah tangga petani responden di DAS Sape Lombok Tengah ... 35

10. Pengalaman berusahatani petani responden di DAS Sape ... 36

11. Pemahaman petani terhadap konservasi dan jenis konservasi ... 36

12. Sumber modal, hambatan usahatani dan orientasi produksi ... 37

13. Penggunaan lahan di DAS Sape Lombok Tengah ... 39

14. Berbagai pola tanam di DAS Sape Lombok Tengah ... 40

15. Klasifikasi kemampuan lahan dan faktor penghambat di DAS Sape Lombok Tengah ... 42

16. Hasil evaluasi penggunaan lahan aktual dengan kelas kemampuan lahan di DAS Sape Lombok Tengah ... 45

17. Hasil prediksi erosi dan perbandingannya dengan ETol pada berbagai pola tanam di DAS Sape Lombok Tengah ... 48

18. Perbandingan hasil prediksi erosi dengan Etol pada berbagai pola tanam dan agroteknologi alternatif di DAS Sape Lombok Tengah ... 52

19. Analisis finansial berbagai pola tanam usahatani tanaman pangan aktual di DAS Sape Lombok Tengah ... 54

20. Hasil analisis pendapatan petani pada berbagai agroteknogi untuk luasan 1 ha di DAS Sape Lombok Tengah ... 60

21. Analisis finansial berbagai alternatif pola tanam agroforestry di DAS Sape Lombok Tengah ... 61

22. Rekomendasi pola tanam dan agroteknologi di DAS Sape Lombok Tengah (luas lahan 1 ha) ... 63


(13)

Gambar Halaman

1. Bagan kerangka pemikiran penelitian ... 27

2. Curah hujan bulanan lokasi peneltian ... 30

3. Berbagai pola tanam petani di DAS Sape Lombok Tengah ... 47

4. Pola tanam tanaman pangan di DAS Sape Lombok Tengah ... 56


(14)

Lampiran Halaman

1. Peta lokasi penelitian... 72

2. Peta penggunaan lahan ... 73

3. Peta jenis tanah ... 74

4. Peta kelas lereng ... 75

5. Peta satuan lahan ... 76

6. Kelas dan kode struktur, kelas dan kode permeabilitas profil tanah ... 77

7. Klasifikasi nilai kepekaan erosi tanah ... 77

8. Intensitas faktor-faktor penghambat untuk klasifikasi kemampuan lahan ... 78

9. Intensitas faktor-faktor penghambat untuk klasifikasi kemampuan (lanjutan) . 79 10. Nilai faktor C dari berbagai tanaman dan pengelolaan tanaman ... 80

11. Nilai faktor C dari berbagai tanaman dan pengelolaan tanaman (lanjutan) .... 81

12. Nilai faktor P beberapa tindakan konservasi dan pengelolaan lahan ... 82

13. Hasil pengukuran dan pengamatan beberapa parameter lahan. ... 83

14. Kelas kemampuan lahan di tiap satuan lahan DAS sape Lombok Tengah. .... 84

15. Curah hujan rata-rata bulanan (mm) tahun 1950-1999. ... 85

16. Nilai erosivitas hujan di DAS Sape Lombok Tengah ... 87

17. Nilai faktor erodibilitas tanah (K) pada tiap satuan lahan ... 88

18. Nilai faktor LS di tiap satuan lahan DAS Sape Lombok Tengah ... 89

19. Nilai faktor CP di tiap satuan lahan DAS Sape Lombok Tengah ... 90

20. Nilai ETol di tiap satuan lahan DAS Sape Lombok Tengah ... 91

21. Hasil prediksi erosi di tiap satuan lahan DAS Sape Lombok Tengah ... 92

22. Perhitungan biaya dan pendapatan usahatani padi-kedelai ... 94

23. Perhitungan biaya dan pendapatan usahatani kacang tanah ... 95

24. Perhitungan biaya dan pendapatan usahatani padi+jagung ... 96

25. Perhitungan biaya kebun campuran ... 97

26. Total biaya, produksi dan pendapatan aktual beberapa pola tanam di DAS Sape Lombok Tengah ... 98

27. Analisis usaha ternak kerbau, sapi, kambing dan ayam kampung ... 99

28. Pendapatan usaha ternak aktual petani di DAS Sape Lombok Tengah ... 100

29. Komposisi tanaman pada pola tanam tanaman pangan alternatif ... 101 30. Perhitungan biaya dan pendapatan untuk pola tanam alternatif A1 & UT1 . 102


(15)

32. Perhitungan biaya dan pendapatan untuk pola tanam alternatif A2 & UT2 . 104 33. Perhitungan biaya dan pendapatan untuk pola tanam alternatif (lanjutan) ... 105 34. Perhitungan biaya dan pendapatan untuk pola tanam alternatif A3 & UT2 . 106 35. Perhitungan biaya dan pendapatan untuk pola tanam alternatif (lanjutan) ... 107 36. Rata-rata pendapatan di luar usahatani petani responden ... 108 37. Sketsa penanaman rumput pada teras yang diperkuat... 108 38. Analisis ekonomi (B/C) tanaman jati pada luas 1 ha (BPK Bima, 2004) .... 109 39. Analisis ekonomi (NPV) tanaman jati pada luas 1 ha (BPK Bima, 2004) ... 110 40. Peta kelas kemampuan lahan di DAS Sape Lombok Tengah ... 111 41. Peta arahan penggunaan lahan di DAS Sape Lombok Tengah ... 112


(16)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Perencanaan usahatani lahan kering dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup petani sepanjang waktu. Usahatani lahan kering merupakan salah satu kegiatan pengelolaan sumberdaya lahan pertanian untuk memperoleh manfaat yang maksimal melalui peningkatan produktivitas lahan yang berkelanjutan. Prinsip usahatani lahan kering berkelanjutan adalah meminimalkan erosi, menerapkan agroteknologi yang dapat diterima masyarakat, dapat memenuhi kebutuhan hidup serta meningkatkan kesejahteraan keluarga petani.

Pulau Lombok mempunyai potensi pertanian lahan kering yang besar yaitu mencapai 201.531,5 ha (Bapeda NTB, 2002), sedangkan di Kabupaten Lombok Tengah mencapai 53,5 % dari luas wilayah (BP DAS Dodokan-Moyosari, 2003). Artinya lahan kering di Lombok Tengah merupakan sumberdaya pertanian terbesar ditinjau dari segi luasnya, namun profil usahatani pada agroekosistem ini sebagian masih identik dengan kemiskinan. BPS Lombok Tengah (2004) melaporkan bahwa pendapatan keluarga dari usahatani lahan kering di daerah ini sebesar Rp. 2.110.000 /keluarga/tahun. Pendapatan petani yang rendah di daerah ini disebabkan oleh terbatasnya pola tanam yang dapat dikembangkan. BP DAS Dodokan-Moyosari (2003) melaporkan bahwa pola tanam tanaman semusim yang umum terdapat di wilayah DAS Sape untuk sawah tadah hujan dan tegalan adalah padi – jagung atau padi – kacang tanah/kedelai/kacang hijau. Produktivitas rata-rata untuk dua komoditas utama (padi dan jagung) di daerah ini sebesar 2,79 ton/ha dan 2,5 ton/ha (BPS Lombok Tengah, 2004); jumlah ini masih di bawah produksi rata-rata nasional yang mencapai produksi 4,5 ton/ha untuk padi (PPPTP, 2001). Walaupun pendapatan di sektor ini rendah namun pendapatan tersebut merupakan sumber utama dalam memenuhi kebutuhan keluarga.

Produktivitas lahan yang rendah diakibatkan oleh sistem usahatani yang diterapkan kurang optimal serta penggunaan lahan yang tidak memperhatikan kaidah konservasi seperti praktek pertanian yang tidak sesuai dengan kesesuaian dan kemampuan lahan, terutama kegiatan pertanian di lahan-lahan dengan kelas


(17)

lereng berbukit - curam. Selain itu, curah hujan yang rendah (1.455 mm), dengan rata-rata bulan basah 4 bulan yang terjadi pada bulan Nopember – Februari dan distribusi hujan yang tidak merata mengakibatkan terjadinya kesenjangan ketersediaan air antar musim. Hal ini mengakibatkan sistem pengelolaan lahan dan tanaman yang dilakukan dengan sistem “gogo rancah” yang selama ini menjadi ciri khas pertanian lahan kering di Pulau Lombok tidak dapat diterapkan secara baik di wilayah ini. Oleh sebab itu pembangunan usahatani lahan kering di daerah ini perlu mendapat perhatian lebih.

Bentuk usahatani di daerah ini umumnya adalah usahatani lahan kering yang terdiri dari hutan tanaman, tegalan, sawah tadah hujan, kebun campuran. Usahatani yang dilakukan masih bersifat tradisonal dan belum menerapkan teknik konservasi tanah dan air yang memadai karena kurangnya kesadaran dan pengetahuan mengenai pemeliharaan sumberdaya lahan. Hal ini diperburuk oleh penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya serta pola tanam yang belum optimal yang dicirikan oleh masih banyaknya lahan yang diberakan pada musim kemarau dan dibiarkan tanpa penutup sehingga mudah tererosi di musim hujan. Selain itu banyak kegiatan pertanian di daerah ini berada pada topografi berbukit/curam (25 - 40 %) (BP DAS Dodokan-Moyosari, 2003). Lahan umumnya ditanami dari bulan Desember hingga Mei, sehingga pada awal musim hujan terjadi erosi yang sangat besar.

BP DAS Dodokan (2003) melaporkan bahwa di daerah DAS Sape telah terjadi erosi yang mencapai rata-rata 88, 46 ton/ha/th. Tingginya erosi yang terjadi berkaitan dengan praktek pertanian yang umum dilakukan. Kondisi ini juga merupakan salah satu masalah di DAS Sape yang mengakibatkan menurunnya tingkat kesuburan tanah, menurunnya produktivitas lahan dan terganggunya keseimbangan hidrologi yang dicirikan oleh frekuensi dan ukuran banjir di musim hujan dan ketersediaan air yang rendah di musim kemarau.

Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang perlu dikaji dalam penelitian ini adalah: 1) produktivitas lahan di DAS Sape rendah sehingga mengakibatkan rendahnya pendapatan petani, 2) penggunaan lahan yang tidak memperhatikan aspek konservasi dan kesadaran masyarakat yang rendah mengakibatkan erosi yang cukup besar. Untuk memecahkan masalah di atas, perlu


(18)

suatu perencanaan yang tepat dalam pengelolaan penggunaan lahan di DAS Sape melalui studi tentang usahatani lahan kering berkelanjutan dengan memperhatikan potensi kemampuan lahan, tingkat bahaya erosi, teknik pengelolaan tanaman dan pengolahan tanah dengan mempertimbangan segi sosial dan ekonomi masyarakat.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sistem usahatani dan menyusun perencanaan usahatani lahan kering yang berkelanjutan di DAS Sape Lombok Tengah.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak yaitu:

1. Masyarakat petani di wilayah DAS Sape, yaitu dalam rangka meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga petani.

2. Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Tengah dan Instansi terkait sebagai bahan acuan dalam melakukan perencanaan pembangunan usahatani lahan kering berkelanjutan di DAS Sape tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Pengertian dan Tujuan

Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh topografi secara alami sehingga semua air yang jatuh pada area tersebut mengalir keluar melalui titik tertentu (outlet). Di dalam suatu DAS terdapat suatu sistem yang terdiri dari komponen yang mempengaruhi input dan output. Adapun komponen yang ada di dalam DAS tersebut adalah topografi, vegetasi, tanah dan manusia, sedangkan proses yang bekerja antara lain evaporasi, transpirasi, intersepsi, infiltrasi, perkolasi dan surface detention (Sinukaban, 2005). Secara umum sistem DAS dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu subsistem biofisik dan subsistem sosial ekonomi. Subsistem biofisik suatu DAS mencakup sumberdaya alam seperti tanah, vegetasi dan air yang merupakan objek. Subsistem biofisik merupakan dasar yang akan menentukan bentuk dan struktur dari subsistem sosial ekonomi (Arsyad, 2000). Subsistem sosial ekonomi mencakup sumberdaya manusia yang merupakan subjek dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di dalam DAS. Unsur – unsur utama yang ada di dalam DAS akan membentuk suatu sistem yang saling berhubungan satu sama lain (Asdak, 2002).

Pengelolaan DAS merupakan suatu usaha untuk memanfaatkan semua sumberdaya yang terdapat pada DAS tersebut secara rasional untuk mencapai produksi optimum secara berkelanjutan dan untuk meminimalkan degradasi sehingga didapatkan hasil air (water yield) dengan jumlah, kualitas dan distribusi yang baik. Dalam pengelolaan yang dimaksudkan diperlukan perencanaan yang spesifik dan komprehensif berdasarkan kemampuan lahan (Sinukaban, 1998). Langkah – langkah yang perlu dilakukan dalam kegiatan pengelolaan DAS adalah: (a) melakukan evaluasi kemampuan lahan, (b) memprediksi besarnya erosi yang terjadi pada sistem pengelolaan lahannya, dan (c) membuat perencanaan ulang penggunaan lahan berdasarkan evaluasi kemampuan lahan dan menentukan tindakan pengelolaan yang diperlukan atas hasil evaluasi kemampuan lahan dan prediksi erosi yang telah dilakukan (Sinukaban, 2005).


(20)

Menurut Sinukaban (1995) suatu pengelolaan DAS yang lestari memiliki minimal tiga indikator utama, yaitu (1) pendapatan dan produktifitas masyarakat di dalam DAS yang relatif tinggi, sehingga dapat mendisain kehidupan keluarganya dengan “layak”, (2) erosi yang terjadi harus lebih kecil dari erosi yang dapat ditolerir, serta (3) agroteknologi yang diterapkan dapat diterima dan dikembangkan oleh petani dengan sumberdaya lokal yang tersedia. Selain itu juga, kelestarian suatu ekosistem DAS dicirikan oleh kemapuan DAS untuk mempertahankan produktivitasnya dari berbagai macam gangguan dan tekanan yang masuk ke dalam ekosistem DAS tersebut baik secara alami ataupun dibuat oleh manusia.

Secara garis besar ada tiga sasaran umum yang ingin dicapai dalam pengelolaan DAS, yaitu (1) rehabilitasi lahan terlantar atau lahan yang masih produktif tetapi digarap dengan cara yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air, (2) perlindungan terhadap lahan-lahan yang umumnya sensitif terhadap terjadinya erosi dan tanah longsor dan (3) peningkatan atau pengembangan sumber daya air dengan cara manipulasi satu atau lebih komponen penyusun sistem DAS yang diharapkan mempunyai pengaruh terhadap proses-proses hidrologi atau kualitas air (Asdak 2002).

Pengelolaan DAS Kecil

Analisis pada suatu Daerah Aliran Sungai akan valid atau akurat dengan menggunakan suatu model dan hanya untuk DAS dengan lingkup wilayah yang kecil (small watershed). Hal tersebut dilakukan dengan alasan bahwa kondisi dari DAS yang kecil (small watershed) mempunyai karakteristik: (1) luas areal yang kecil (1300 – 2600 ha), (2) data hidrologi terbatas bahkan hampir tidak ada sama sekali; (3) pola hujan identik dengan pola run off, (4) intensitas hujan maksimal 15 (I15) menit seringkali akan menghasilkan puncak aliran permukaan (peak discharge), (5) dengan luas yang kecil, maka perubahan yang sedikit dalam DAS akan memberikan pengaruh yang nyata pada keluaran, (6) masalah erosi (Sinukaban, 2000).


(21)

Erosi dan Prediksi Erosi

Istilah erosi tanah umumnya diartikan sebagai kehilangan tanah oleh air atau angin. Erosi adalah peristiwa terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami yaitu air dan angin. Selanjutnya Schwaab, et.al (1981) menyatakan bahwa erosi merupakan proses pelepasan (detachment) dan pengangkutan (transportation) dari bahan-bahan tanah oleh air melalui limpasan serta pengendapan (sedimentation) bahan tanah yang terangkut.

Dua peristiwa utama, yaitu pelepasan (detachment) dan pengangkutan (transportation) merupakan komponen-komponen erosi tanah yang penting; Di dalam proses terjadinya erosi, peristiwa pelepasan butir tanah mendahului peristiwa pengangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa pelepasan merupakan variabel yang penting yang berdiri sendiri, tetapi pengangkutan tergantung dari pelepasan.

Menurut Arsyad (2000), besarnya erosi ditentukan oleh faktor-faktor yang terdiri dari : iklim, topografi, vegetasi, tanah dan manusia. Faktor-faktor tersebut bila dinyatakan dengan persamaan deskripsi sebagai berikut :

A = f ( C, T, V, S, H)

dimana, C = iklim, T = topografi, V = vegetasi, S = tanah dan H = manusia.

Pengaruh iklim terhadap erosi dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung adalah melalui energi kinetik butir hujan, terutama intensitas dan diameter butir hujan. Pada hujan yang intensif dalam waktu pendek, erosi yang terjadi biasanya lebih besar dari pada hujan dengan intensitas kecil dengan waktu berlangsungnya hujan lebih lama (Asdak, 2002).

Faktor topografi yang mempengaruhi erosi adalah besarnya sudut lereng, bentuk dan panjang lereng serta bentuk daerah tangkapan air (Schwab et.al, 1981). Selanjutnya menurut Kohnke dan Bertrand (1959 dalam Erlina, 2006) bahwa kemiringan lereng merupakan faktor yang paling berperan, karena selain dapat memperbesar jumlah aliran permukaan, juga mempengaruhi kecepatan aliran permukaan sehingga akan memperbesar kapasitas merusak air.


(22)

Vegetasi sebagai penutup tanah dapat mengurangi pengaruh hujan dan topografi terhadap erosi. Pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi dapat dibagi dalam empat bagian yaitu: (1) intersepsi hujan oleh tajuk tanaman, (2) mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan merusak air, (3) pengaruh akar dan aktivitas biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetasi serta pengaruhnya terhadap stabilitas struktur dan porositas tanah, dan (4) transpirasi yang mengakibatkan kandungan air tanah berkurang (Schwab et.al, 1981). Sedangkan sifat – sifat tanah yang mempengaruhi erosi meliputi struktur tanah, tekstur, kandungan bahan organik, kadar air, mineralogi liat, kerapatan, serta sifat kimia dan biologi tanah (Schwab et.al, 1981).

Dari semua faktor di atas, faktor manusia merupakan faktor yang paling menentukan apakah tanah yang diusahakannya akan rusak atau lestari. Pengaruh manusia yang menentukan terhadap sumber daya tanah, antara lain: (1) luas tanah pertanian yang diusahakan, (2) sistem pengelolaan yang dilakukan, (3) tingkat pengetahuan dan penguasaan teknologi, (4) status penguasaan tanah, (5) harga produk pertanian, (6) pajak, (7) pasar dan input pertanian, dan (8) infrastruktur dan fasilitas (Arsyad, 2000).

Prediksi erosi dari sebidang tanah merupakan cara untuk memperkirakan laju erosi pada tanah yang digunakan dalam setiap jenis penggunaan lahan dan pengelolaan tertentu. Untuk memprediksi besarnya erosi pada suatu penggunaan lahan yang spesifik, maka digunakan persamaan USLE (universal soil loss equation) (Wischmeier dan Smith, 1978). Persamaan USLE mengkombinasikan faktor-faktor utama penyebab erosi dan hubungan kuantitatifnya untuk memprediksi besarnya erosi akibat air hujan dan aliran permukaan pada suatu daerah tertentu. Model persamaan yang digunakan adalah :

A = R x K x L x S x C x P

Dimana:

A : banyaknya tanah tererosi (ton/ha/thn)

R : faktor curah hujan, yaitu jumlah satuan indeks erosi hujan, yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan maksimum 30 menit (I30) tahunan.


(23)

K : faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per indeks erosi hujan (R) untuk suatu tanah yang didapat dari petak percobaan standar yaitu petak percobaan yang panjangnya 22 m yang terletak pada lereng 9% tanpa tanaman. Jika tidak ada data lapangan, maka K dapat dihitung dengan:

100K= 1.29 [2.1 M1.14 (10-4) (12-a)+ 3.25 (b-2)+2.5 (c-3)

M adalah persentase pasir sangat halus dan debu (∅ 0.1-0.05)x(100-% liat), a adalah persentase bahan organik, b adalah kode struktur tanah dan c adalah kelas permeabilitas profil tanah.

L : faktor panjang lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah dengan suatu panjang lereng tertentu terhadap erosi dari tanah dengan panjang lereng 22 m dibawah keadaan yang identik. Persamaannya adalah:

m X

L

⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ =

22

Dimana X adalah panjang lereng (m) dan m adalah konstanta yang besarnya 0.5 untuk lereng >5%, 0.4 untuk lereng 3.5-4.5%, 0.3 untuk 1-3% dan 0.2 untuk <1%. S : faktor kecuraman lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi yang terjadi

dari suatu tanah dengan kecuraman lereng tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah dengan lereng di bawah keadaan yang identik. Persamaannya adalah:

S= 65.41 sin2θ + 4.56 sin2θ + 0.065

Dalam prakteknya L dan S dihitung sekaligus dengan persamaan:

(

s

s

)

X

LS = 0.0138+0.00965 +0.0138 2

C : faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu areal dengan vegetasi penutup dan pengelolaan tanaman tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang identik tanpa tanaman.

P : faktor tindakan konservasi tanah, yaitu nisbah antara besarnya erosi tanah yang diberi perlakuan tindakan konservasi khusus seperti pengolahan menurut kontur, penanaman dalam strip atau terras terhadap besarnya erosi dari tanah yang diolah searah lereng dalam keadaan yang identik.

Dari kelima faktor yang menentukan nilai prediksi erosi tersebut, faktor– faktor yang memungkinkan untuk dimodifikasi secara teknologi dan sosial ekonomi adalah faktor C dan P. Beberapa cara untuk memodifikasi nilai C dan P


(24)

misalnya melalui penanaman dengan sistem rotasi, tumpang sari, tumpang gilir, mulsa dan lain-lain. Nilai CP untuk setiap jenis pola tanam ditentukan berdasarkan hasil-hasil penelitian plot erosi, baik di dalam maupun di luar daerah penelitian. Pengaruh pola tanam dan jenis tanaman tidak saja tergantung pada jenis vegetasi, kerapatan, kualitas pertumbuhan, pengelolaan tanaman, namun bervariasi antara bulan dan musim. Oleh karena itu, efektivitas tanaman dalam menurunkan tingkat erosi sangat tergantung pada ketebalan dan lebar tajuk tanaman dan sistem pengelolaaannya yang paling tepat (Sinukaban, 1989).

Metode USLE penggunaannya sangat terbatas karena: (1) tidak dapat digunakan untuk memprediksi area yang relatif luas, (2) hanya dapat dipakai untuk area yang relatif sempit dengan topografi yang relatif seragam dan bentuk usahatani yang spesifik, (3) hanya memperkirakan erosi lembar dan erosi alur, dan tidak ditujukan untuk menghitung erosi parit, dan (4) USLE bersifat empiris dan secara matematik tidak mewakili proses erosi yang sebenarnya.

Persamaan USLE sebagai model untuk memprediksi erosi jika dibandingkan dengan model yang lain mempunyai kelebihan, yaitu variabel – variabel yang berpengaruh terhadap besarnya kehilangan tanah dapat diperhitungkan secara terperinci dan terpisah. Selain itu indikator variabel datanya relatif mudah diperoleh, data tersebut sebagai faktor yang digunakan untuk memprediksi erosi tanah.

Hasil prediksi erosi di atas akan dibandingkan dengan erosi yang dapat ditoleransikan (ETol) dalam jangka waktu yang lama untuk menentukan apakah tanah yang digunakan tersebut lestari atau tidak.

Erosi Yang Masih dapat Ditoleransikan

Menurut Sinukaban (1989), apabila laju erosi digunakan sebagai petunjuk kerusakan suatu DAS, maka diperlukan suatu tolak ukur untuk menentukan kebijaksanaan penanggulangannya. Tolak ukur yang sudah secara luas dipakai adalah erosi yang masih dapat ditoleransikan (ETol).

Erosi yang masih dapat ditoleransikan adalah jumlah tanah hilang yang diperbolehkan per tahun agar produktivitas lahan tidak berkurang sehingga tanah produktif secara lestari (Hardjowigeno et.al, 2001).


(25)

Penetapan batas tertinggi laju erosi yang masih dapat ditoleransikan adalah perlu karena tidak mungkin untuk menekan laju erosi menjadi nol pada tanah – tanah yang diusahakan untuk kegiatan pertanian. Oleh sebab itu suatu kedalaman tanah tertentu harus dipelihara agar terdapat suatu volume tanah yang cukup dan baik bagi tempat berkembangnya akar tanaman, tempat menyimpan air serta unsur hara yang diperlukan oleh tanaman sehingga dapat tumbuh dengan baik (Arsyad, 2000). Dalam menentukan besarnya erosi yang dapat ditoleransikan harus mempertimbangkan ketebalan lapisan tanah atas (top soil), sifat fisik tanah, pencegahan terjadinya erosi (gully), penurunan kandungan bahan organik dan kehilangan unsur hara (Hardjowigeno et.al, 2001).

Selain itu, dalam menentukan erosi yang dapat ditoleransikan, perlu ditentukan jangka waktu penggunaan tanah (Soil Resource Life) yang diharapkan. Jangka waktu penggunaan tanah adalah lamanya waktu yang ditentukan dimana erosi yang terjadi hanya menghilangkan tanah sampai kedalaman yang telah ditetapkan, sehingga kedalaman tanah yang tersisa masih dapat produktif. Makin lama jangka waktu kelestarian yang diharapkan, berarti makin sedikit jumlah erosi yang dapat ditoleransi setiap tahun (Hardjowigeno et.al, 2001).

Kemampuan Lahan

Kemampuan lahan pada dasarnya merupakan potensi lahan untuk berbagai penggunaan dalam sistem pertanian secara luas dan tidak menitik-beratkan pada peruntukan jenis tanaman tertentu. Lahan dengan kelas kemampuan yang tinggi mempunyai potensi lebih besar untuk berbagai bentuk penggunaan dalam kegiatan pertanian secara intensif (Klingebeil dan Montgomery, 1976).

Klasifikasi kemampuan lahan adalah cara penilaian lahan terhadap komponen – komponen lahan secara sistematis dan mengelompokkannya ke dalam berbagai kategori berdasarkan sifat-sifat yang merupakan potensi dan atau penghambat dalam penggunaannya secara lestari. Dalam klasifikasi kemampuan lahan, lahan dapat digolongkan ke dalam tiga kategori utama yaitu: kelas, sub kelas dan satuan kemampuan lahan (Klingebeil dan Montgomery, 1976).


(26)

Kelas Kemampuan Lahan

Kelas kemampuan lahan merupakan pengelompokan tertinggi dan bersifat luas dalam struktur klasifikasi kemampuan lahan. Pengelompokan kelas didasarkan atas kemampuan lahan tersebut untuk memproduksi pertanian secara umum tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang. Dalam kelas kemampuan lahan, tanah dikelompokkan kedalam delapan kelas yang diberi nomor Romawi I sampai VIII. Ancaman kerusakan atau hambatan meningkat berturut-turut dari kelas I sampai VIII (Klingebeil dan Montgomery, 1976).

Sub Kelas Kemampuan Lahan

Pengelompokan dalam sub kelas didasarkan pada jenis faktor penghambat atau ancaman kerusakan. Sub kelas kemampuan lahan menunjukkan unit kemampuan lahan yang mempunyai jenis hambatan atau ancaman dominan yang sama jika digunakan untuk pertanian sebagai akibat faktor sifat-sifat tanah, topografi, hidrologi dan iklim. Terdapat empat jenis hambatan atau ancaman dalam sub kelas kemampuan lahan, yaitu: 1) ancaman erosi (e), 2) kondisi draenase atau kelebihan air atau ancaman banjir (w), 3) hambatan daerah perkaran (s), dan 4) hambatan iklim (c) (Arsyad, 2000).

Satuan Kemampuan Lahan (Land Capability Unit)

Satuan kemampuan lahan memberikan informasi yang lebih spesifik dan lebih terinci untuk setiap bidang lahan dibandingkan sub kelas kemampuan lahan. Satuan kemampuan lahan adalah pengelompokan lahan yang sama atau hampir sama kesesuaiannya bagi tanaman. Satuan kemampuan lahan memerlukan pengelolaan yang sama dan memberikan respon atau tanggapan yang sama terhadap masukan pengelolaan yang diberikan. Tanah-tanah yang dikelompokkan dalam satu satuan kemampuan harus cukup seragam dalam sifat-sifat tanah dan lingkungan yang mempengaruhi kualitas lahan sehingga mempunyai potensi dan hambatan yang sama. Dengan demikian, lahan di dalam satu satuan kemampuan lahan harus cukup seragam dalam: (a) produksi tanaman pertanian di bawah tindakan pengelolaan yang sama, (b) kebutuhan akan tindakan konservasi dan pengelolaan yang sama di bawah vegetasi penutup yang sama, dan (c) mempunyai


(27)

produktivitas potensial yang setara (Arsyad, 2000). Pendugaan jangka panjang hasil tanaman yang diusahakan pada setiap bidang lahan dalam satuan kemampuan lahan yang sama dengan pengelolaan yang sama tidak boleh mempunyai perbedaan lebih dari 25%.

Perencanaan Usahatani Lahan Kering dan Pertanian Berkelanjutan

Usahatani lahan kering belum banyak dipahami secara mendalam. Hidayat, et al. (2000) mendefinisikan lahan kering sebagai lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian waktu dalam setahun. Sedangkan menurut Abdurrachman, et al. (2000) lahan kering adalah lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan air secara terbatas dan biasanya hanya bersumber dari air hujan. Lahan kering pada umumnya berada di bagian hulu suatu DAS. Kriteria yang membedakan lahan kering dengan lahan jenis lainnya adalah sumber air. Sumber air bagi lahan kering adalah air hujan, sedangkan bagi lahan basah di samping air hujan juga dari sumber air irigasi.

Usahatani lahan kering dalam keadaan alami memiliki berbagai kondisi yang menghambat pengembangannya. Beberapa kendala tersebut antara lain keterbatasan air, kesuburan tanah yang rendah, peka terhadap erosi, topografi yang bergelombang sampai berbukit, ketersediaan sarana yang kurang memadai dan sulitnya memasarkan hasil (Haridjaja, 1990). Kendala lingkungan dan kondisi sosial-ekonomi petani, serta keterbatasan sentuhan teknologi konservasi yang sesuai tersebut menyebabkan kualitas dan produktivitas sistem usahatani yang ada masih sangat terbatas. Sebagian besar lahan kering ini dikelola oleh petani miskin yang tidak mampu melaksanakan upaya-upaya konservasi, sehingga makin lama kondisinya makin memburuk. Lahan tersebut pada umumnya terdapat di wilayah desa tertinggal dan hasil pertaniannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup penggarap bersama keluarganya (Karama dan Abdurrachman , 1995).

Usahatani lahan kering umumnya dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga petani. Oleh sebab itu pemilihan jenis tanaman yang diusahakan masih berorientasi pada jenis komoditas pangan seperti padi gogo, jagung, kacang tanah, dan ubi kayu. Sistem usahatani yang demikian, disadari


(28)

maupun tidak akan mempercepat terbentuknya lahan kritis. Permasalahan petani miskin yang semakin terdesak menggunakan lahan marginal akan menyebabkan petani dan lahan terjebak dalam lingkaran yang saling memiskinkan. Petani miskin di lahan yang miskin akan terus saling memiskinkan apabila faktor-faktor penyebabnya tidak dibenahi (Sinukaban, 2001). Pemilihan skala prioritas yang harus ditanggulangi lebih dahulu, apakah kemiskinan atau kerusakan lingkungan menghadapkan pada pilihan yang sulit. Pilihan yang sulit ini menyebabkan pemutusan siklus yang saling memiskinkan ini harus dilakukan secara bersamaan antara pengendalian kerusakan lingkungan dan pengentasan kemiskinan (Sinukaban dan Sihite, 1993).

Pada kondisi lahan yang telah terdegradasi berat tidak mudah untuk meningkatkan produktivitasnya, semakin parah tingkat kekritisan lahan maka semakin serius gangguan terhadap lingkungan; akibatnya adalah upaya untuk meningkatkan produktivitas lahannya semakin sulit. Lahan – lahan yang terdegradasi harus segera direhabilitasi sehingga produktivitas lahan dapat ditingkatkan. Mengingat lahan kering marginal dan kritis tersebut sebagian besar terletak di DAS bagian hulu dan tengah, maka pembangunan usahatani lahan kering tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan dan kesejahteraan penduduk. Disamping itu terdapat fungsi yang lebih jauh lagi, yaitu untuk menyelamatkan sumberdaya yang terdapat di dalam DAS, dari hulu hingga ke daerah hilir.

Penanganan masalah secara parsial yang telah ditempuh selama ini ternyata tidak mampu mengatasi masalah lahan kering yang kompleks dan juga tidak efisien ditinjau dari segi biaya. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan yang holistik dengan fokus sumberdaya alam. Dalam skala makro strateginya disebut ecoregional initiative dan dalam skala mikro dijabarkan dalam integrated crop management. Kunci keberhasilan usahatani lahan kering berkelanjutan dalam skala mikro (integrated crop management) adalah: (a) mengusahakan agar tanah tertutup tanaman sepanjang tahun guna melindungi tanah dari erosi dan pencucian unsur hara, (b) mengembalikan sisa-sisa tanaman, kompos dan pupuk kandang ke dalam tanah guna mempertahankan bahan organik tanah (Kartaatmadja dan Fagi, 1999).


(29)

Pengembangan usahatani lahan kering di daerah hulu DAS saat ini telah mendapat perhatian yang cukup besar. Besarnya perhatian ini tidak hanya dikaitkan dengan keberlanjutan usahatani di daerah tersebut, tetapi juga dampak hidrologinya di daerah hilir. Terlebih lagi dengan ketidakseimbangan pembangunan dan investasi antara lahan kering di daerah hulu dengan lahan kering di daerah hilir akhir-akhir ini. Alternatif utama yang dapat dilakukan dalam perencanaan usahatani lahan kering meliputi beberapa tahap (Sinukaban, 1999) yaitu: (1) mengevaluasi kesesuaian penggunaan lahan, (2) melakukan prediksi erosi, (3) melakukan analisis ekonomi usahatani, dan (4) mempertimbangkan aspek sosial.

Pertanian berkelanjutan adalah pertanian yang dirancang secara sistematis menggunakan akal sehat dan usaha keras yang berkesinambungan sehingga pertanian itu sangat produktif secara terus menerus. Pertanian berkelanjutan merupakan habitat tenaga kerja dalam jumlah yang besar dan merupakan suatu usaha yang menguntungkan. Dengan demikian, pertanian semacam ini akan menghasilkan produksi pertanian yang cukup tinggi dan memberikan penghasilan yang layak bagi petani secara terus menerus, sehingga mereka dapat merancang masa depannya sendiri. Disamping menghasilkan produksi yang tinggi secara terus menerus, pertanian berkelanjutan juga harus menghasilkan spektrum produksi yang luas sehingga dapat menyediakan bahan baku berbagai agroindustri dan produk-produk eksport secara lestari. Selanjutnya akan mempunyai kemampuan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dengan pendapatan yang cukup tinggi, sehingga daerah perianian ini akan menjadi penyerap hasil-hasil industri (Sinukaban, 2001).

Produksi pertanian yang cukup tinggi dapat dipertahankan secara kontinyu apabila erosi lebih kecil dan erosi yang dapat ditoleransikan. Hal ini dapat dicapai jika petani menerapkan sistem pertanian yang pengelolaannya sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Disamping itu pembangunan pertanian harus dapat memberikan hasil yang cukup tinggi bagi petani dalam jangka pendek tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dalam jangka panjang. Dengan demikian diperlukan penerapan teknologi berupa penerapan sistem usahatani konservasi untuk membangun pertanian menjadi industri yang lestari berdasarkan


(30)

pengembangan sistem pengelolaan lahan dan tanaman yang ekonomis dalam jangka pendek dan dapat mempertahankan produktivitas lahan yang cukup tinggi dalam waktu yang tidak terbatas (Sinukaban, 2001).

Sinukaban (1998) menjelaskan bahwa sistem usahatani konservasi adalah sistem usahatani yang mengintegrasikan tindakan/teknik konservasi tanah dan air ke dalam sistem usahatani yang telah ada dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, serta menekan erosi sehingga sistem usahatani tersebut dapat berkelanjutan tanpa batas waktu. Dengan demikian sistem usahatani konservasi bukan hanya bertujuan untuk menerapkan tindakan konservasi tanah dan air, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan mempertahankan pertanian yang lestari.

Dalam sistem usahatani konservasi akan diwujudkan ciri-ciri sebagai berikut : (1) produksi usahatani cukup tinggi sehingga petani tetap bergairah melanjutkan usahanya, (2) pendapatan petani yang cukup tinggi, sehingga petani dapat mendisain masa depan keluarganya dengan pendapatan usahataninya, (3) teknologi yang diterapkan baik teknologi produksi maupun teknologi konservasi merupakan teknologi yang diterima dan diterapkan sesuai dengan kemampuan sendiri sehingga sistem usahatani tersebut dapat diteruskan tanpa bantuan dari luar secara terus menerus, (4) komoditi yang diusahakan sangat beragam dan sesuai dengan kondisi biofisik daerah, dapat diterima oleh petani dan laku di pasar, (5) laju erosi lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan, sehingga produksi yang tinggi tetap dapat dipertahankan atau ditingkatkan secara lestari dan fungsi hidrologis daerah tetap terpelihara dengan baik sehingga tidak terjadi banjir di musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau, dan (6) sistem penguasaan/pemilikan lahan dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang (longtime invesvtment security) dan menggairahkan petani untuk tetap berusahatani.

Beberapa teknik konservasi yang telah dikenal seperti pemberian mulsa, budidaya lorong (alley cropping), teras gulud dan teras bangku telah terbukti dapat menekan laju erosi. Meskipun pemberian mulsa kurang efektif dalam mengendalikan laju erosi, tetapi mulsa memiliki beberapa keunggulan lain yang dapat meningkatkan produksi tanaman, bahkan memungkinkan untuk melakukan


(31)

budidaya tanpa olah tanah atau olah tanah minimum. Oleh karena itu, penggunaan mulsa tetap sangat dianjurkan namun dengan cara mengkombinasikannya dengan teknik konservasi tanah lainnya yang efektif dalam mengendalikan erosi.

Analisis Finansial Usahatani dan Standar Hidup Layak

Menurut Soekartawi (1986), ada tiga variabel yang perlu diperhatikan dalam analisis finansial usahatani dan standar hidup layak, yaitu (1) penerimaan usahatani, (2) biaya usahatani dan (3) pendapatan usahatani.

1. Penerimaan Usahatani, merupakan perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual, persamaannya sebagai berikut :

TR = Σ Yi.Pyi

dimana : TR = total penerimaan ; Yi = produksi yang diperoleh dalam satu musim tanam ke-i (kg) ; Pyi = harga komoditas ke-i (Rp)

2. Biaya Usahatani, merupakan nilai semua input yang dipakai dalam satu musim tanam selama proses produksi, baik langsung maupun tidak, dengan persamaan sebagai berikut :

TC = Σ Xi.Pxi

dimana : TC = Biaya total ; Xi = jumlah fisik dari input usahatani ; Pxi = harga input ke-i (Rp) dan i = macam komoditas yang dikembangkan dalam suatu usaha tani

3. Pendapatan Usahatani, merupakan selisih dari total penerimaan terhadap total pengeluaran.

PU = TR – TC

dimana : PU = pendapatan usahatani (Rp); TR = total penerimaan (Rp); dan TC = total biaya usahatani (Rp)

Garis kemiskinan untuk wilayah Indonesia dikategorikan menjadi 3 (tiga) yang dinyatakan sebagai “Nilai Ambang Kecukupan Pangan” yaitu : miskin, miskin sekali, dan paling miskin (Sajogyo, 1990). Garis kemiskinan tersebut dinyatakan dalam nilai mata uang (Rp/bulan), ekivalen dengan nilai tukar beras (kg/orang/tahun), dimana nilai ambang kecukupan untuk tingkat pengeluaran


(32)

rumah tangga di pedesaan berkisar antara 240 – 320 kg/orang/tahun sedangkan di perkotaan berkisar antara 360 – 480 kg/orang/tahun.

Adapun perhitungan untuk kebutuhan fisik minimum dan kebutuhan hidup layak dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut :

1. Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) = kebutuhan beras satu rumah tangga x 100% x jumlah anggota keluarga x harga beras.

2. Kebutuhan Hidup Tambahan (KHT) = pendidikan dan sosial + kesehatan dan rekreasi + asuransi dan tabungan.

- Kebutuhan untuk pendidikan dan kegiatan sosial = 50% KFM; - Kebutuhan untuk kesehatan dan rekreasi = 50% KFM; dan - Kebutuhan untuk asuransi dan tabungan = 50% KFM.

3. Kebutuhan Hidup Layak (KHL) = KFM + KHT = kebutuhan equivalen beras satu rumah tangga x 2,5 x jumlah anggota keluarga x harga beras. Jika setiap rumah tangga diasumsikan terdiri dari 5 orang, dengan harga beras Rp 2.800/kg (harga di lokasi), maka kebutuhan hidup layak (KHL) = 320 kg/orang/tahun x 2,5 x 5 orang/kk x Rp 2.800 = Rp 11.200.000/kk/tahun. Agar usahatani tersebut dapat berlangsung terus, maka pendapatan bersih petani harus > Rp 11.200.000/kk/thn.


(33)

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2006 - Agustus 2006 di wilayah daerah aliran sungai (DAS) Dodokan (34.814 ha) dengan plot pengambilan sampel difokuskan di DAS Sape yang terletak di wilayah administrasi Kabupaten Lombok Tengah Provinsi NTB dengan luas 5.048 ha.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer yang digunakan meliputi data fisik hasil pengukuran di lapangan dan data sosial ekonomi, sedangkan data sekunder yang digunakan meliputi: data curah hujan tahunan selama 50 tahun yang diperoleh dari ACIAR-UNRAM, peta surface radar topografi modelling (SRTM) yang digunakan untuk membuat peta DAS, peta administrasi, peta penggunaan lahan, peta kelas lereng dan peta jenis tanah yang diperoleh dari BPTP Narmada. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: global positioning system (GPS), ring sampel, borlist, plastik sampel, meteran, alat tulis menulis, alat dokumentasi, seperangkat komputer dengan software MS word, MS excel, Global Mapper, watershed modelling system (WMS), Arc View 3.3 dan printer.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dan evaluasi lahan. Evaluasi penggunaan lahan dilakukan dengan evaluasi kemampuan lahan menggunakan metode Klingebiel dan Montgomery (1976). Perencanaan pertanian berkelanjutan disusun melalui prediksi erosi pada pola tanam dan agroteknologi menggunakan model USLE (Wischmeier dan Smith,1978) yang kemudian dibandingkan dengan erosi yang dapat ditoleransi (Hammer, 1981) serta analisis sosial ekonomi menggunakan metode analisis cash – flow (Soekartawi, 1986).

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan. Tahap pertama adalah tahap persiapan yang meliputi pengumpulan data sekunder yang diperlukan. Tahap kedua adalah survei lapangan yaitu pengumpulan data fisik dan sosial ekonomi


(34)

yang diperlukan untuk evaluasi kelas kemampuan lahan lahan. Tahap ketiga merupakan analisis untuk evaluasi penggunaan lahan, prediksi erosi dan analisis sosial ekonomi untuk perencanaan pertanian berkelanjutan.

Persiapan dan Pengumpulan Data Penunjang

Persiapan yang dilakukan meliputi studi literatur, hasil-hasil penelitian dan sumber-sumber lain yang relevan. Persiapan ini bertujuan mengetahui kondisi umum daerah penelitian dan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian. Selain itu dilakukan pengumpulan data sekunder yang terdiri atas data curah hujan tahunan, peta administrasi, peta penggunaan lahan, peta kelas lereng dan peta jenis tanah serta data lain yang menunjang.

Survei Lapangan dan Pengukuran

Survei lapangan dilakukan untuk mengamati dan mengumpulkan data fisik dan sosial ekonomi di daerah penelitian. Plot pengamatan ditentukan berdasarkan hasil overlay antara peta tanah, peta penggunaan lahan dan peta kelas lereng; overlay peta tersebut menghasilkan beberapa satuan lahan. Selanjutnya tiap satuan lahan yang diperoleh dijadikan plot pengamatan intensif untuk pengambilan data fisik dan data sosial ekonomi. Plot lokasi pengamatan intensif yang telah ditentukan di peta dicocokkan di lapangan dengan menggunakan GPS.

Pengumpulan Data Fisik. Pengumpulan data fisik di lapangan di lakukan pada titik pengamatan intensif yang telah ditentukan. Kegiatan ini dibantu dengan menggunakan GPS agar penentuan lokasi di lapangan sesuai dengan wilayah pengamatan intensif yang ditentukan di peta. Setiap titik pengamatan dijadikan unit untuk menentukan kelas kemampuan lahan, memprediksi erosi dan analisis sosial ekonomi. Data fisik primer hasil pengukuran di lapangan yang diambil meliputi data struktur, tekstur, bahan organik, permeabilitas, kedalaman efektif, kemiringan dan panjang lereng.

Pengumpulan Data Sosial Ekonomi. Pengumpulan data sosial ekonomi

dilakukan dengan cara pemilihan responden berdasarkan kepemilikan lahan (Purposive Sampling). Petani yang lahannya dijadikan titik contoh pengambilan data fisik merupakan petani responden. Langkah selanjutnya adalah wawancara dengan petani responden menggunakan kuisioner. Karakteristik sosial ekonomi


(35)

petani yang dikumpulkan adalah: (a) karakteristik keluarga petani responden (KK) yang meliputi: pendidikan, jumlah anggota keluarga, pekerjaan utama, status penguasaan lahan, luas tanah garapan, jenis tanaman yang dibudidayakan dan pola tanam, sumber pendapatan utama, pengalaman usahatani, sumber modal, peruntukan produksi, hambatan usahatani, pemahaman tentang erosi dan tindakan konservasi, intensitas pengolahan tanah, pemupukan, pengendalian hama, penyakit dan gulma, persepsi petani tentang usahatani sekarang, pengetahuan petani tentang usahatani lahan kering; (b) komponen pendapatan riil yang meliputi: jumlah produksi dan harga; dan (c) komponen biaya produksi yang meliputi: biaya bibit/benih, peralatan, pupuk, pestisida, upah tenaga kerja dan biaya lainnya.

Tabel 1 Jenis dan pengumpulan data fisik di lapangan

Jenis Data Metode Pengambilan dan Sumber Data

1. Primer Struktur Tekstur Bahan organik Kedalaman efektif Permeabilitas Panjang lereng Kemiringan lereng Pengelolaan tanaman Pengelolaan tanah Analisis laboratorium Analisis laboratorium Analisis laboratorium Pengukuran lapangan Analisis laboratorium

Pengukuran lapangan (meter rol) Pengukuran lapangan (Abney hand level) Pengecekan lapangan/wawancara Pengecekan lapangan/wawancara

2. Sekunder

Peta jenis tanah, peta kelas lereng dan peta penggunaan lahan

Hasil-hasil studi terdahulu Peta SRTM

BPTP Narmada

Laporan penelitian dan pustaka

Analisis Data dan Penyajian Hasil

Data fisik yang telah dikumpulkan digunakan untuk menentukan kelas kemampuan lahan, prediksi erosi dan sebagai pedoman dalam menyusun alternatif agroteknologi usahatani lahan kering berkelanjutan. Data sosial ekonomi digunakan untuk analisis ekonomi dan bahan pertimbangan untuk menyusun alternatif usahatani lahan kering berkelanjutan.

Tahapan analisis untuk menyusun perencanaan usahatani lahan kering adalah sebagai berikut: (1) evaluasi kemampuan dan penggunaan lahan, (2)


(36)

prediksi erosi, (3) analisis sosial ekonomi, dan (4) perencanaan alternatif pola usahatani.

Evaluasi Kemampuan Lahan. Evaluasi kemampuan lahan dilakukan dengan menggunakan sistem klasifikasi kemampuan lahan (Klingebiel dan Montgomery 1976). Dalam sistem ini lahan digolongkan ke dalam tiga kategori utama yaitu: kelas, sub kelas dan satuan kemampuan lahan. Pengelompokan kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat. Lahan dikelompokkan dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf Romawi I sampai VIII seperti Tabel 2 berikut:

Tabel 2 Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan tanah

Kelas Kemampuan Lahan

Intensitas dan Macam Penggunaan Lahan Meningkat Cagar alam Hu ta n Pengembalan Pertanian

terbatas sedang intensif terbatas sedang intensif sangat intensif Hambat an men ing kat , kesesuai

an dan pilihan

p eng gun aan I II III IV V VI VII VIII

Sumber : Arsyad (2000)

Penentuan kelas kemampuan lahan dilakukan pada masing – masing satuan lahan berdasarkan informasi karakter biofisik lokasi. Kriteria untuk menentukan kelas kemampuan lahan merujuk pada Tabel 3 di bawah ini:

Tabel 3 Kriteria kelas kemampuan lahan

No Faktor Penghambat Kelas Kemampuan Lahan

I II III IV V VI VII VIII

1 Lereng permukaan (l) 0 1 2 3 0 4 5 6

2 Tingkat erosi (e) 0 1 2 3 (**) 4 5 (*)

3 Kedalaman tanah (k) 0 0 1 2 (*) 3 (*) (*)

4 Tekstur lapisan atas (t) 1-3 1-3 1-4 1-4 (*) 1-4 1-4 5

5 Tekstur lapisan bawah (t) 1-3 1-3 1-4 1-4 (*) 1-4 1-4 5

6 Permeabilitas (p) 2-3 2-3 2-3 2-3 1 (*) (*) 5

7 Draenase (d) 1 2 3 4 5 (**) (**) 0

8 Batuan (b) 0 0 1 2 3 (*) (*) 4

9 Ancaman banjir (o) 0 1 2 3 4 (**) (**) (*)

10 Salinitas (***) 0 1 2 3 (**) 4 (*) (*)


(37)

Keterangan : (*) : Dapat mempunyai sifat sembarang

(**) : Tidak berlaku

(***) : Umumnya terdapat di daerah beriklim kering

Prediksi Erosi. Model yang digunakan untuk memprediksi erosi adalah model the universal soil loss equation (USLE ) (Wischmeir dan Smith, 1978). Prediksi erosi dilakukan pada setiap pola tanam yang terdapat pada titik pengamatan di lapangan. Persamaan yang digunakan untuk menghitung prediksi erosi adalah:

A= R x K x L x S x C x P

Dimana : A= jumlah erosi (ton/ha/tahun), R= faktor erosivitas hujan, K= faktor erodibilitas tanah, L= faktor panjang lereng, S= faktor kemiringan lereng, C= faktor tanaman dan P= faktor tindakan konservasi.

1. Penentuan Erosivitas Hujan (R)

Nilai erosivitas hujan (R) merupakan penjumlahan dari energi hujan selama setahun. Nilai erosivitas hujan (R) dihitung berdasarkan persamaan dari Lenvain:

EI30= 2,21 (CHm)1,36

Dimana: EI30 = Erosivitas hujan bulanan (CHm) = Curah hujan bulanan (cm)

Sehingga besarnya faktor erosivitas menjadi: R = Σ EI30; dimana R = Faktor erosivitas hujan

2. Penentuan Erodibilitas Tanah

Faktor erodibilitas tanah merupakan daya tahan tanah baik terhadap pelepasan maupun pengangkutan. Kepekaan erosi tanah ini sangat dipengaruhi oleh tekstur, kandungan bahan organik, permeabilitas dan kemantapan struktur tanah. Nilai kepekaan erosi tanah dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Wischmeir dan Smith (1978) :

K = 1,292 {2,1 M1,14 (10 –4) (12 – a) + 3,25 (b – 2) + 2,5 (c – 3)} 100

dimana : K = erodibilitas tanah

M = kelas tekstur tanah (% pasir halus + debu)(100 - % liat) a = % bahan organik

b = kode struktur tanah


(38)

3. Penentuan Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)

Panjang dan kemiringan lereng dihitung dengan menggunakan rumus:

(

s

s

2

)

0138 . 0 00965 . 0 0138 . 0 X

LS= + +

Keterangan: S = faktor lereng, X = panjang lereng dan S = kemiringan lereng hasil pengukuran (%). Penentuan panjang dan kecuraman lereng dilakukan dengan mengukur langsung di lapangan menggunakan meteran dan hand abney level.

4. Penentuan Faktor Pengelolaan Tanaman

Nilai pengeleloaan tanaman (C) merupakan perbandingan antara nisbah tanah yang hilang pada pengelolaan tanah tertentu dengan tanah tanpa tanaman. Penentuan nilai C dilakukan dengan mengamati pola tanam dan jenis tanaman di titik pengamatan, kemudian nilai C dikonversi dengan hasil – hasil penelitian yang telah baku digunakan (Lampiran 10).

5. Penentuan Faktor Tindakan Konservasi (P)

Penentuan nilai P diperoleh dari nisbah besarnya erosi dari petak lahan dengan tindakan konservasi tanah tertentu terhadap besarnya erosi dari petak tanah standar. Penentuan nilai P dilakukan dengan mengamati teknologi konservasi dan pengelolaan tanah di titik pengamatan, kemudian nilai C dikonversi dengan hasil – hasil penelitian yang telah baku digunakan (Lampiran 12).

Erosi yang dapat ditoleransikan (ETol). Langkah selanjutnya adalah

menghitung nilai erosi yang dapat ditoleransikan (ETol) pada masing-masing titik pengamatan dari setiap satuan lahan. Perhitungan ETol dilakukan untuk mengetahui apakah sistem pertanian yang dilakukan pada satuan lahan yang diamati dapat berkelanjutan. Jika hasil prediksi erosi lebih besar dari ETol maka sistem pertanian yang dilakukan tidak berkelanjutan dan perlu dilakukan alternatif-alternatif perubahan sistem pertanian terutama cara pengelolaan tanaman (C) serta teknik konservasi (P). Untuk menghitung nilai erosi yang dapat


(39)

ditoleransikan, digunakan persamaan (Hammer, 1981) yang mengacu pada konsep kedalaman ekivalen dan umur guna tanah. Persamaan yang digunakan adalah:

ETol PT

MPT D DE

+ −

= min

Keterangan: DE = kedalaman ekuivalen (kedalaman efektif tanah x faktor kedalaman), DMIN = kedalaman tanah minimum, MPT = masa pakai tanah, dan PT = laju pembentukan tanah.

Kedalaman efektif tanah merupakan kedalaman tanah sampai suatu lapisan (horizon) yang menghambat pertumbuhan akar tanaman. Kedalaman efektif tanah diukur dengan menggunakan bor tangan. Kedalaman ekuivalen adalah kedalaman tanah yang setelah mengalami erosi produktivitasnya berkurang sampai 60% dari produktivitas tanah yang tidak tererosi. Kedalaman tanah minimum merupakan kedalaman tanah yang masih memungkinkan tanaman untuk berproduksi. Faktor kedalaman tergantung pada jenis tanah (sub order) dan laju pembentukan tanah yang ditentukan berdasarkan sifat tanah dan substratum (Arsyad, 2000).

Analisis Sosial Ekonomi. Analisis sosial ekonomi dilakukan untuk menganalisis pola usahatani tanaman pangan yang diterapkan di DAS Sape. Analisis usahatani tanaman pangan dilakukan dengan menggunakan persamaan anggaran arus uang tunai (cash flow analysis), dimana variabel analisis terdiri dari penerimaan usahatani, biaya usahatani dan pendapatan usahatani (Soekartawi, 1986).

1. Penerimaan Usahatani, merupakan perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual, persamaannya sebagai berikut :

TR = Σ Yi.Pyi

dimana : TR = total penerimaan ; Yi = produksi yang diperoleh dalam satu musim tanam ke-i (kg) ; Pyi = harga komoditas ke-i (Rp)

2. Biaya Usahatani, merupakan nilai semua input yang dipakai dalam satu musim tanam selama proses produksi, baik langsung maupun tidak, dengan persamaan sebagai berikut :

TC = Σ Xi.Pxi

dimana : TC = Biaya total ; Xi = jumlah fisik dari input usahatani ; Pxi = harga input ke-i (Rp) dan i = macam komoditas yang dikembangkan dalam suatu usaha tani


(40)

3. Pendapatan Usahatani, merupakan selisih dari total penerimaan terhadap total pengeluaran.

PU = TR – TC

dimana : PU = pendapatan usahatani (Rp); TR = total penerimaan (Rp); dan TC = total biaya usahatani (Rp)

Karena pendapatan sebuah keluarga petani tidak hanya berasal dari usahatani, maka pendapatan diperhitungkan dengan menjumlahkan pendapatan usahatani (cash flow analysis) dengan pendapatan luar usahatani, sehingga pendapatan bersih keluarga petani adalah:

I= PUI + PNUI

Dimana: I = Pendapatan keluarga petani (Rp); PUI = Pendapatan dari usahatani (Rp); PNUI = pendapatan non usahatani (Rp);

Berdasarkan hasil analisis pendapatan keluarga petani (I), maka akan diperoleh pendapatan bersih keluarga petani, kemudian pendapatan tersebut dibandingkan dengan standar kebutuhan hidup layak di wilayah DAS Sape. Tiap rumah tangga diasumsikan terdiri atas 5 orang, harga beras / kg = Rp. 2.800,- (nilai sekarang untuk daerah Kabupaten Lombok Tengah). Nilai 2,5 merupakan indeks kebutuhan hidup layak yang terdiri dari kebutuhan fisik minimum (100 %) dan kebutuhan hidup tambahan yang terdiri dari: pendidikan dan sosial; kesehatan dan rekreasi; asuransi dan tabungan yang besarnya 150 % dari kebutuhan fisik mimimum. Maka jumlah yang harus dipenuhi oleh kepala keluarga adalah 320 kg x 2,5 x 5 orang x Rp. 2.800,- = Rp. 11.200.000,- KK/tahun. Perencanaan usahatani lahan kering di DAS Sape harus dirancang sedemikian rupa sehingga pendapatan yang diperoleh petani lebih besar dari Rp. 11.200.000,- KK/tahun.

Perencanaan Alternatif Pola Usahatani Berkelanjutan. Perencanaan alternatif pola usahatani lahan kering ditentukan untuk setiap unit kemampuan lahan dengan menggunakan dasar nilai faktor tanaman dan pengelolaan tanah (CP) yang dapat diterapkan untuk berbagai jenis pengelolaan lahan melalui simulasi. Dalam hal ini ditentukan nilai CP untuk setiap jenis penggunaan dan unit kemampuan lahan, dimana nilai R, K, LS pada setiap lokasi dianggap konstan, maka besarnya prediksi erosi selanjutnya sebanding dengan CP yang dipilih selama simulasi. Jika


(41)

nilai CP yang diperoleh telah maksimal, tetapi belum memenuhi syarat untuk standar hidup layak, maka harus ada penyempurnaan pola usahatani, seperti penambahan bidang usaha ternak atau pun usaha lainnya sehingga kebutuhan hidup petani dan keluarganya dapat terpenuhi.

Rekomendasi Penggunaan Lahan. Tahap akhir dalam analisis ini adalah menyusun rekomendasi untuk pengelolaan penggunaan lahan dengan agroteknologi yang dapat diterima oleh masyarakat di DAS Sape Lombok Tengah sehingga erosi yang terjadi dapat lebih kecil dari ETol dan pendapatan petani dapat meningkat, dengan demikian usahatani tersebut dapat berkelanjutan. Rekomendasi penggunaan lahan disusun berdasarkan kelas kemampuan lahan dan besarnya prediksi erosi yang diperoleh di setiap titik pengamatan yang mewakili satuan lahan.


(42)

--- ---

Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran penelitian

An al isis D a ta Ya Tidak T aha p pe rsi ap an S tud i La pan g Tidak Ya Ya Tidak Evaluasi pola tanam dan alternatif

agroteknologi

Sesuai

Pengamatan , Pengukuran dan Pengambilan Data Bio Fisik

Sosial Ekonomi (Wawancara)

Klas Kemampuan Lahan

Evaluasi Penggunanan Lahan

Perubahan Penggunaan Lahan Peta Jenis Tanah Peta Topografi / Kelas Lereng Peta Penggunaan Tanah

Overlay Peta

Satuan Lahan

Penentuan titik pengamatan pada Satuan Lahan di peta

Survei Pendahuluan

Survei Utama

Perubahan Pola Tanam dan Agroteknologi Prediksi Erosi

Analisis Sosial Ekonomi

Rekomendasi Penggunaan Lahan A<ETol

Pendapatan bersih > standar hidup layak Alternatif Pola Usahatani


(43)

KONDISI UMUM DAS SAPE

Letak dan Luas DAS Sape

Daerah Aliran Sungai (DAS) Sape terletak di daerah tangkapan air (DTA) Dam Pengga yang berada pada ketingian rata-rata 198 m dpl dengan titik tertinggi 340 m dpl dan titik terendah (outlet) pada ketinggian 55 m dpl. DAS Sape merupakan Sub DAS dari DAS Dodokan yang terletak di Kabupaten Lombok Tengah dengan luas 34.814 ha. DAS Sape dipilih sebagai lokasi perencanaan usahatani lahan kering yang mewakili kondisi DAS Dodokan. Bentuk DAS Sape simetris memanjang dari selatan ke arah utara. Luas DAS mencapai 5.048 ha. Secara admisitratif DAS Sape berada dalam wilayah Kecamatan Praya Barat Daya dan sebagian wilayah Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi NTB. Outlet DAS ini bermuara pada Dam Pengga yang secara geografis terletak pada 116o05’ 00” – 116o10’ 55” BT dan 08o 43’ 30” – 08o49’ 30” LS.

Jenis Tanah

Berdasarkan klasifikasi USDA, di DAS Sape terdapat empat jenis ordo tanah yaitu: Alfisol, Vertisol, Inceptisol dan Entisol. Ordo tanah Inceptisol dengan great group Typic Haplusteps merupakan jenis tanah yang paling banyak dijumpai di DAS Sape (Tabel 4).

Tabel 4 Jenis tanah di DAS Sape Lombok Tengah

Jenis Tanah

Luas Ha

Persen (%)

Typic Haplustepts 2.114,4 41,9 Vertic Haplustepts 661,6 13,1 Typic Epiaquerts 404,2 8,0 Typic Haplusterts 189,4 3,8 Typic Calciusterts 1.004,6 19,9 Aeric Epiaquepts 70,5 1,4 Typic Haplustalfs 242,4 4,8 Lithic Ustorthents 83,3 1,6

Badan Air 277,6 5,5

Total 5.048 100


(44)

Bahan induk yang membentuk tanah - tanah di DAS Sape beragam mulai dari batuan vulkanik tua, batuan karst dan alovio-koluvial. Tanah - tanah dari jenis ini merupakan jenis tanah yang subur dengan kejenuhan basa >50 % dan kapasitas pertukaran kation >12 me/100 gr tanah. Kedalaman efektif berkisar dari 40 cm – 125 cm, tekstur tanah dengan kategori halus sampai sedang (liat, lempung berliat, lempung, lempung berdebu dan lempung berpasir). Struktur tanah umumnya gumpal dan lempeng, sedikit ditemui struktur remah. Selain itu dijumpai adanya erosi tanah berat. Sifat kimia tanah menunjukkan pH netral (5,5 - 6,8) dan kadar bahan organik tanah berkategori rendah (0,79 – 2,17 %). Kondisi pH tanah yang relatif netral menunjukkan salah satu sifat yang sangat baik untuk pertumbuhan berbagai macam jenis tanaman. Kondisi biologi tanah yang dilihat secara visual menunjukkan bahwa kondisinya semakin menurun, hal ini erat kaitannya dengan semakin menurunnya kadar unsur karbon yang dijumpai di lapisan tanah bagian atas (BP DAS Dodokan, 2003). Dari hasil analisis C- Organik pada lapisan top soil (0 – 30 cm) diperoleh nilai sebesar 0,46 – 1,25%.

Topografi

Berdasarkan hasil analisis peta topografi, lokasi penelitian ini mempunyai kelerengan antara 8 % - 45 % dengan klasifikasi landai, bergelombang, agak curam dan curam (Tabel 5).

Tabel 5 Pembagian kelas lereng di DAS Sape Lombok Tengah

Kelas Lereng

Luas

Klasifikasi Ha Persen(%)

0-8 829,3 16,4 Datar-Landai

8-15 1.011,3 20,0 Bergelombang

15-25 214,1 4,2 Agak Curam

25 - 45 2.715,6 53,8 Berbukit/Curam

- 277,6 5,5 Badan Air

Total 5.048 100

Sumber: BPTP Narmada, NTB

Kelas lereng yang tergolong curam dijumpai paling dominan di wilayah DAS Sape yang mencapai 53,8 %. Kondisi lereng ini menyebabkan potensi yang tinggi untuk terjadinya erosi di DAS Sape seperti yang dilaporkan BP DAS Dodokan (2003), bahwa berdasarkan kedalaman efektif yang dijumpai di daerah ini menunjukkan telah terjadi erosi hingga pada tingkat erosi yang sangat berat.


(45)

Sehingga dengan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan serta tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air akan memperparah erosi yang terjadi.

Kondisi Iklim

Data curah hujan diambil dari catatan stasiun penakar hujan Penujak, dimana posisi stasiun ini berada paling dekat dengan lokasi (5 km ke arah timur). Penetapan stasiun penakar hujan Penujak sebagai sumber data curah hujan didasarkan atas pertimbangan bahwa di wilayah DAS Sape tidak terdapat stasiun klimatologi yang representatif.

Berdasarkan analisis data curah hujan dari stasiun penakar hujan Penujak selama 50 tahun (1950 – 1999), daerah penelitian mempunyai rata-rata hujan tahunan sebesar 1.455 mm. Curah hujan bulanan terendah 21,2 mm/bulan pada bulan Agustus dan tertinggi 310,3 mm/bulan pada bulan Januari. Bulan basah terjadi selama 4 bulan pada bulan November – Februari ( > 200 mm/bulan) dan bulan kering terjadi pada bulan Maret – Oktober (<200 mm/bulan). Berdasarkan zona iklim menurut Oldeman, lokasi penelitian ini termasuk dalam wilayah dengan tipe iklim D3. Kondisi curah hujan bulanan periode tahun 1950 – 1999 disajikan pada Gambar 2.

0 50 100 150 200 250 300 350

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

Bulan

C

u

ra

h

H

u

ja

n

(

mm)

Curah Hujan

Gambar 2 Curah hujan bulanan lokasi peneltian.

Kondisi curah hujan bulanan seperti yang tergambar pada gambar 2 di atas sangat berpengaruh terhadap besar kecilnya nilai faktor erosivitas hujan (EI30). Semakin besar curah hujan setiap bulan akan semakin besar juga nilai faktor erosivitas hujannya.


(46)

Hidrologi

Pola drainase di DAS Sape pada umumnya baik (dendritic) (BP DAS Dodokan, 2003), dengan kepadatan drainase moderat (1,1 – 2,0 km/km2). Aliran sungai di DAS Sape bermuara di Dam Pengga yang berada pada badan sungai Dodokan. Debit banjir dari DAS Sape ke waduk hanya terjadi pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau hampir tidak ada sama sekali. Hal ini mengindikasikan di DAS Sape telah terjadi kerusakan dari segi hidrologi.

Pengendalian limpasan air maupun sedimen terangkut dilakukan dengan membuat Dam pengendali/penahan sebanyak 2 buah. Bangunan Dam juga dimaksudkan untuk meninggikan air tanah, akan tetapi fungsinya saat ini sudah berkurang karena adanya sedimentasi.

Aspek Sosial Ekonomi Luas Lahan Usahatani dan Jumlah Penduduk

Luas lahan usahatani semusim (tegalan dan sawah tadah hujan) mencapai 2.495,5 ha atau (49,4 %) dari luas penggunaan lahan di DAS Sape. Umumnya penggunaan lahan ini merata berada pada topografi dari 8 % - 45 %. Pada penggunaan lahan sawah tadah hujan telah diterapkan penggunaan teras permanen sederhana, sedangkan tegalan walaupun menerapkan teras akan tetapi karena terletak pada topografi berbukit masih membahayakan kelestarian sumberdaya lahan. Selain itu, di wilayah DAS Sape juga terdapat lahan kering yang berupa semak dan rumput seluas 326,6 ha. Lahan ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian yang produktif sesuai dengan kemampuan lahannya.

Wilayah DAS Sape yang meliputi enam desa yaitu: Desa Kabul, Mangkung, Pelambik, Montong Sapah, Kateng, Setanggor dan Bonder. Namun demikian, populasi yang bisa mewakili penduduk di DAS Sape adalah Desa Kabul dan Mangkung, hal ini disebabkan karena wilayah kedua desa tersebut mencapai 79,5 % wilayah DAS Sape dan populasi penduduk terpusat di dua desa tersebut. Jumlah penduduk DAS Sape sebanyak 19.069 jiwa yang terdiri dari 5.057 rumah tangga.


(47)

Karakteristik Keluarga Petani dan Penguasaan Lahan

Karakteristik keluarga petani merupakan keragaan kondisi rumah tangga petani yang dapat dinilai seperti: umur, tingkat pendidikan, mata pencaharian, jumlah anggota keluarga, status penguasaan lahan, luas tanah garapan, sumber pendapatan utama, pengalaman usahatani, sumber modal, peruntukan produksi, hambatan usahatani, pemasaran hasil, pemahaman tentang erosi dan tindakan konservasi dan sebagainya. Semua faktor-faktor di atas secara umum mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga petani. Hasil analisis 25 responden di DAS Sape secara umum dijelaskan sebagai berikut:

Demografi

Hasil wawancara yang dilakukan dengan menggunakan daftar kuisioner terhadap 25 KK petani responden di DAS Sape menunjukkan bahwa 24 orang KK adalah laki-laki dengan rata-rata usia 46 tahun. Tingkat pendidikan yang diterima adalah SD 11 KK (44 %), SMP 10 KK (40 %), SMA 2 KK (8 %) dan tidak sekolah 2 KK (8 %). Struktur umur menunjukkan bahwa rata-rata usia kepala keluarga di wilayah DAS Sape termasuk usia produktif. Dengan tingkat pendidikan setingkat SD, bidang pertanian merupakan mata pencaharian utama bagi masyarakat di DAS Sape. Karakteristik rumah tangga petani responden disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Karakteristik rumah tangga petani di DAS Sape Lombok Tengah

No Uraian Jumlah

1 Karakteristik Kepala Keluarga o Laki-laki (%)

o Perempuan (%) o Umur rata-rata (tahun)

96 4 46 2 Pendidikan Kepala keluarga

o Tidak sekolah (%)

o SD (%)

o SMP (%)

o SMA (%)

o PT (%)

8 44 40 8 0

3 Jumlah anggota keluarga rata-rata (jiwa) 4,8

4 Pekerjaan utama o Pertanian (%) o Buruh tani (%) o Peternak (%) o Pedagang (%)

96 0 4 0


(48)

Jumlah anggota keluarga petani dari 25 KK sebanyak 120 jiwa. Jumlah ini menunjukkan bahwa sebagian besar merupakan keluarga sedang dengan jumlah anggota keluarga maksimum 7 orang dan minimum 3 orang dengan rata-rata jumlah anggota keluarga sebesar 4,8 jiwa/KK. Namun demikian jika dilihat dari tingkat pendidikan anggota keluarga, sebagian kecil berpendidikan Perguruan Tinggi dan SMA. Karakteristik anggota keluarga disajikan pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7 Karakteristik anggota keluarga petani di DAS Sape Lombok Tengah (25 KK Petani Responden)

No Uraian

Jenis Kelamin

Laki-Laki Perempuan Jiwa % Jiwa %

Distribusi Umur (tahun)

1 - 9 7 5,8 15 12,5

10 – 14 9 7,5 17 14,2

1 15 -19 23 19,2 5 4,2

20 – 29 4 3,3 14 11,7

30 – 39 1 0,8 7 5,8

40 -49 0 0 10 8,3

50 – 55 2 1,7 6 5,0

Pendidikan

TS 15 12,5 6 5

2 SD 20 16,7 23 19,2

SMP 25 20,8 10 8,3

SMA 10 8,3 8 6,7

Perguruan Tinggi 3 2,5 0 0

Sumber: Data Primer Diolah

Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa pendidikan anggota keluarga umumnya berpendidikan SD-SMP. Sebanyak 35,9 % anggota keluarga, baik laki-laki dan perempuan mempunyai tingkat pendidikan SD, sedangkan untuk anggota keluarga yang berpendidikan SMP sebanyak 29,1 %, berpendidikan SMA sebanyak 15 %, sedangkan untuk anggota keluarga yang berpendidikan Perguruan Tinggi hanya 2,5 % yang seluruhnya adalah laki-laki. Untuk anggota keluarga yang tidak bersekolah mempunyai persentase yang cukup tinggi yaitu 17,5 %. Komposisi struktur pendidikan seperti ini akan berpengaruh terhadap angkatan kerja yang berpendidikan relatif rendah, sehingga proses adaptasi teknologi yang diberikan cenderung terhambat atau lama dalam penerimaannya. Hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menentukan keberhasilan suatu usaha khususnya menyangkut transfer


(49)

informasi dan teknologi konservasi. Tingkat pendidikan dalam arti luas akan mempengaruhi cara berfikir dan kesediaan petani untuk menerima inovasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan membuat petani mampu berfikir lebih rasional dan lebih terbuka terhadap inovasi atau pendapat orang lain. Rasio penduduk perempuan dan laki adalah 61,7 % perempuan dan 38,3 % laki-laki. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap ketersediaan tenaga kerja setempat yang lebih didominasi oleh tenaga kerja perempuan.

Penguasaan Lahan

Distribusi penguasaan lahan di DAS Sape sebagian besar merupakan lahan pemilik (72 %), lahan garapan sebanyak 12 % dan 16 % merupakan hutan kemasyarakatan (HKM). HKM diberikan kepada masyarakat yang berada di sekitar hutan dengan tujuan untuk memberikan kesempatan kepada peladang berpindah untuk menetap. Sebanyak 4 % responden memiliki lahan dengan luas 0,5 ha dengan status hak milik dan 4 % dengan status penggarap. Responden dengan kepemilikan lahan 0,51 – 1 ha dengan status hak milik sebanyak 56 %, sedangkan untuk luas yang sama dengan status HKM sebesar 16 %. Untuk penguasaan lahan 1,1 – 1,5 ha dengan status hak milik dimiliki oleh 12 % petani responden. Secara umum rata – rata petani responden mempunyai lahan yang cukup luas yaitu 0,83 ha. Hasil pengumpulan data tentang penguasaan lahan di DAS Sape disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Status penguasaan dan luas lahan garapan petani responden di DAS Sape Lombok tengah

Luas Lahan (Ha)

Status Penguasaan

Milik (%) Garap(%) Hak Guna(%)

≤ 0,5 4 4 -

0,51 – 1,0 56 8 16

≥ 1,0 – 1,5 12 - -

Sumber: Data Primer Diolah

Faktor penguasaan lahan yang luas merupakan salah satu faktor penunjang dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan pendapatan petani. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa taraf hidup dan pendapatan petani di DAS Sape masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan karena tidak intensifnya pemanfaatan lahan oleh petani disamping faktor pembatas alam, sehingga walaupun mereka


(50)

mempunyai lahan yang cukup luas, namun produksi yang dihasilkan masih rendah. Kepemilikan lahan seperti ini harus mendapatkan perhatian mengingat sumberdaya lahan semakin menyusut dari waktu ke waktu akibat tekanan pertumbuhan penduduk dan alih fungsi lahan yang terus meningkat.

Sumber Pendapatan Rumah Tangga

Sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama seluruh petani responden. Sektor pertanian yang menjadi sumber mata pencaharian adalah pertanian tanaman pangan (semusim), tanaman perkebunan dan peternakan. Disamping mata pencaharian utama di sektor pertanian, petani responden juga mempunyai mata pencaharian tambahan di luar kegiatan usahatani, yaitu sebagai pedagang (40 %), perajin (8 %), industri (16 %), tukang (4 %) dan buruh tani (32 %). Keragaman sumber mata pencaharian ini dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga yang cukup banyak dan anggota keluarga termasuk sebagai angkatan kerja. Industri yang cukup berkembang di wilayah DAS Sape adalah industri kapur di Desa Mangkung, industri batu bata dan industri genteng di Desa Kabul. Ketiga jenis industri ini telah lama dikembangkan oleh masyarakat secara turun temurun dan dikelola secara tradisional. Lahan bekas penambangan untuk bahan baku industri dibiarkan terbuka tanpa dilakukan upaya rehabilitasi, sehingga dikhawatirkan akan memperburuk kualitas tanah. Distribusi sumber pendapatan rumah tangga responden disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Distribusi sumber pendapatan rumah tangga petani responden di DAS Sape Lombok Tengah

No Sumber Mata Pencaharian

Jumlah

KK Persen (%)

Mata Pencaharian Utama

Tanaman Pangan 19 76

1 Perkebunan 5 20

Peternakan 1 4

Mata Pencaharian Tambahan

Buruh Tani 8 32

Pedagang 10 40

2 Perajin 2 8

Tukang 1 4

Industri 4 16


(51)

Pengalaman Usahatani dan Pemahaman Tentang Konservasi Tanah dan Air

Sebanyak 80 % petani responden di DAS Sape mempunyai pengalaman berusahatani selama 11 – 30 tahun dan hanya 20 % dari 25 KK yang mempunyai pengalaman berusahatani ≤ 10 tahun. Pengalaman berusahatani petani responden di DAS Sape disajikan pada Tabel 10 berikut:

Tabel 10 Pengalaman berusahatani petani responden di DAS Sape Lombok Tengah

No Pengalaman Usahatani Jumlah (%)

1 ≤ 10 20

2 11 – 20 44

3 21 – 30 36

Sumber: Data Primer Diolah

Faktor pengalaman berusahatani petani responden di DAS Sape seharusnya dapat menjadi salah satu potensi yang sangat menentukan dalam menerapkan inovasi dan teknologi tentang sistem pertanian konservasi, sehingga usaha – usaha yang dilakukan oleh petani dapat mengarah pada sistem pertanian konservasi yang berkelanjutan. Namun demikian, kenyataan bahwa tingkat pendidikan yang relatif rendah juga menjadi hambatan dalam penyerapan pengetahuan dan informasi. Hal ini dapat diketahui dari hasil wawancara terhadap petani responden di DAS Sape yang menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka belum tahu tentang erosi dan bahaya yang diakibatkan. Pemahaman petani terhadap konservasi tanah dan air disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Pemahaman petani terhadap konservasi dan jenis tindakan konservasi

No Uraian Jumlah (%)

1 Pemahaman tentang konservasi tanah dan air

a. Memahami 28

b. Tidak memahami 72

Jumlah ( % ) 100

2 Jenis tindakan konservasi

a. Teras 47,0

b. Teras dan mulsa 41,2

c. Konturing 11,8

Jumlah ( % ) 100

Alasan penerapan tindakan konservasi

3 a. Kebiasaan turun temurun 84

b. Menyimpan air 16

Jumlah ( % ) 100


(1)

Lampiran 35 Lanjutan

No Uraian Harga satuan

(Rp)

Jumlah (Rp) 2 Pendapatan

o padi gogo (4000 kg) o jagung (750 kg) x 2 o kacang tanah (350 kg) o kacang hijau (300 kg)

1750 1700 7000 5000 7.000.000 2.550.000 2.450.000 1.500.000

Pendapatan kotor 13.500.000

Pendapatan Bersih ( pendapatan total – total biaya) 10.775.100

Usahatani 2 (sapi dan ayam : 4 & 20 ekor)

No Uraian Total (Rp)

Sapi 1 Biaya

Bibit 3 ekor = Rp. 1.500.000 x 4 Pakan = Rp. 466.667 Biaya kandang = Rp. 533.333 Tali 20 m = Rp. 2500 x 20 x 4/3 Upah tenaga kerja = Rp. 75.000 x 12 x 4/3

6.000.000 466.667 533.333 66.667 1.200.000

Total 8.266.667

2 Pendapatan

Produksi : 4 ekor x Rp. 3000.000 12.000.000 3 Pendapatan bersih (pendapatan – biaya ) 3.733.333

No Uraian Total (Rp)

Ayam Kampung 1 Biaya

Bibit 20 ekor = Rp. 2500 x 20

Pakan (dedak) = Rp. 30.000 x 10 karung Biaya kandang = Rp. 50.000

Upah tenaga kerja = Rp. 50.000 x 12

50.000 300.000

50.000 600.000

Total 1.000.000

2 Pendapatan

Ayam dewasa = Rp. 35.000/ekor x 55 Telur ayam (95% x 20 ekor)x(25% x 365 hari) x 800

1.925.000 1.387.000 3.312.000 3 Pendapatan bersih (pendapatan – biaya ) 2.312.000 Total pendapatan bersih Usahatani 1 dan Usahatani 2 16.745.433


(2)

Tabel 36 Rata-rata pendapatan di luar usahatani petani responden

No

Resp Nama Resp Profesi di luar usahatani Pendapatan per tahun 1 I.Ratim Buruh Tani 540.000 2 A. Amat Buruh Tani 8.10.000

3 Hasim Pedagang 1.320.000

4 A. Asih Pedagang 1.500.000

5 A. Siyum Buruh Tani 900.000 6 A. Zubaidah Buruh Tani 1.350.000 7 H. Hasanudin Pedagang 3.000.000

8 Mairah Tukang 1.440.000

9 A. Rasyid Perajin 1.200.000 10 Mamiq Surye Pedagang 2.700.000 11 H. Nazar Pedagang 1.350.000 12 Mamiq Ati Pedagang 1.500.000 13 A. Suhardi Buruh Tani 1.080.000

14 Rahmat Pedagang 2.940.000

15 Abdul Salam Buruh Tani 1.350.000 16 A. Lasih Buruh Tani 900.000 17 A. Murniati Buruh Tani 8.10.000 18 H. Anwar Pedagang 3.000.000 19 H. Mansyur Pedagang 2.700.000

20 Hamzah Perajin 1.800.000

21 Sudirman Industri Kapur 2.700.000 22 A. Rahman Industri Kapur 3.300.000 23 Mursyid Industri Kapur 4.380.000 24 Muhit Industri Kapur 4.260.000

25 Hasan Pedagang 1.380.000

Rata-rata pendapatan per tahun 1.928.400

Lampiran 37 Sketsa penanaman rumput pada teras yang diperkuat

Tanaman semusim Permukaan

Tanah semula

Tebing teras ditanamai rumput Dengan jarak 80 x 60 cm


(3)

Tabel 38 Analisis ekonomi (B/C) tanaman jati pada luas 1 ha (BPK Bima, 2004)

Tahun

Inflow Outflow Cost

DF (18%)

Discounting

Cost Revenue

Discounting Revenue

0 28.553 1,00 28.552.500 - -

1 429.000 0,85 363.363 - -

2 449.000 0,72 322.382 - -

3 447.000 0,61 272.223 - -

4 657.250 0,52 339.141 - -

5 488.000 0,44 213.256 37.500.000 16.387.500 6 460.250 0,37 170.293 45.000.000 16.650.000 7 454.250 0,31 142.635 52.500.000 16.485.000 8 454.250 0,27 120.831 60.000.000 15.960.000 9 491.000 0,23 110475 67.500.000 15.187.500 10 462.250 0,19 88.290 150.000.000 28.650.000 11 464.250 0,16 75.209 187.500.000 30.375.000 12 459.000 0.14 62.883 202.500000 27.742.500 13 494.250 0.12 57.333 217.500.000 25.230.000 14 464.000 0.10 45.936 234.000.000 23.166.000 15 464.000 0,84 38.976 1.320.000.000 110.880.000


(4)

Tabel 39 Analisis ekonomi (NPV) tanaman jati pada luas 1 ha (BPK Bima, 2004)

Tahun Cost Revenue Net R-C

DF

(20%) NPV 0 28552,5 - -28.552.500 1 -28.552.500 1 429.000 - -429.000 0,833 -357.357 2 449.000 - -449.000 0,694 -311.606 3 447.000 - -447.000 0,579 -258.813 4 657.250 - -657.250 0,482 -316.795 5 488.000 37.500.000 37.012.000 0,402 14.878.824 6 460.250 45.000.000 44.539.750 0,335 14.920.816 7 454.250 52.500.000 52.045.750 0,279 14.520.764 8 454.250 60.000.000 59.545.750 0,233 13.874.160 9 491.000 67.500.000 67.009.000 0,194 12.999.746 10 462.250 150.000.000 149.537.750 0,162 24.225.116 11 464.250 187.500.000 187.035.750 0,135 25.249.826 12 459.000 202.500.000 202.041.000 0,112 22.628.592 13 494.250 217.500.000 217.005.750 0,093 20.181.535 14 464000 234.000.000 233.536.000 0,078 18.215.808 15 464.000 1.320.000.000 1.319.536.000 0,065 85.769.840


(5)

(6)