Produksi Glukosamin dengan Metode Hidrolisis Bertekanan sebagai Bahan Penunjang Kesehatan Sendi

PRODUKSI GLUKOSAMIN DENGAN METODE
HIDROLISIS BERTEKANAN SEBAGAI BAHAN
PENUNJANG KESEHATAN SENDI

EKO CAHYONO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

2

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Produksi Glukosamin
dengan Metode Hidrolisis Bertekanan sebagai Bahan Penunjang Kesehatan
Sendi” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015

Eko Cahyono
NRP C351120201

4

RINGKASAN
EKO CAHYONO. Produksi Glukosamin dengan Metode Hidrolisis Bertekanan
sebagai Bahan Penunjang Kesehatan Sendi. Dibimbing oleh PIPIH SUPTIJAH
dan IETJE WIENTARSIH.
Kitin merupakan biopolimer yang tersusun atas unit N-asetil-DGlukosamin. Struktur kitin sangat mirip dengan selulosa yang membedakan pada
gugus asetaminda diganti oleh gugus hidroksil pada atom karbonnya. Kitosan
sebagai polimer yang tersusun dari 2-amino-2-deoksi-β-D-glukosa dapat
diperoleh dengan cara ekstraksi kitin. Pengubahan molekul kitin menjadi kitosan
diperoleh dengan cara mengubah gugus asetamida (–NHCOCH) pada kitin
menjadi gugus amina (–NH3) pada kitosan. Glukosamin salah satu turunan dari

kitosan yang merupakan gula amino dan prekursor penting dalam sintesis
biokimia dari protein dan lipid. Glukosamin merupakan senyawa yang ditemukan
secara alami dalam tubuh, terbuat dari glukosa dan asam amino glutamin.
Glukosamin dibutuhkan untuk menghasilkan glikosaminoglikan, molekul yang
digunakan dalam pembentukan dan perbaikan tulang rawan dan jaringan tubuh
lainnya. Oleh karena itu efektivitas pemberian glukosamin secara oral perlu
dilakukan untuk mengetahui peningkatan volume cairan sinovial secara in vivo
pada tikus percobaan galur sprague dawley.
Tujuan penelitian ini adalah mengkarakterisasi kitosan limbah kulit udang
meliputi perhitungan rendemen, analisis proksimat dan logam berat, menentukan
konsentrasi asam dan waktu pemanasan terbaik dalam pembuatan glukosamin
dengan metode hidrolisis bertekanan dan menganalisis pengaruh efektivitas
pemberian glukosamin terbaik dalam meningkatkan cairan sinovial hewan uji.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga Agustus 2014, terdiri
dari tiga tahap yaitu proses pembuatan kitosan, proses pembuatan glukosamin,
dan efektivitas pemberian glukosamin. Penelitian tahap satu terdiri atas proses
deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi. Kitosan yang dihasilkan selanjutnya
dianalisis proksimat, kadar logam berat, dan derajat deasetilasi. Pada tahap kedua
kitosan dihidrolisis secara kimia dengan menerapkan metode bertekanan pada
pembuatan glukosamin dengan perlakuan konsentrasi asam dan waktu

pemanasan. Glukosamin yang dihasilkan selanjutnya dianalisis rendemen, loss on
drying, nilai pH, tingkat kelarutan, loss on ignition, derajat deasetilasi dan
kandungan logam berat. Glukosamin terbaik pada tahap kedua selanjutnya
diproduksi secara masal dan diaplikasikan secara in vivo pada hewan percobaan.
Dosis glukosamin yang diberikan 500, 1000, 1500 mg/kgBB secara pre-oral
selama 28 hari. Analisis yang dilakukan meliputi pengukuran berat badan,
peningkatan cairan sinovial dengan photo X-ray, dan biokimia serum darah pada
hewan percobaan.
Hasil analisis karakteristik kitosan menunjukkan rendemen 14%. Nilai
kadar air 12,29%; kadar abu 0,99%; total nitrogen 2,20%; kadar lemak 3,13%;
dan karbohidrat 81,39%. Viskositas 1713,04 cps; derajat deasetilasi 98,65%.
Kandungan logam berat merkuri 0,00001±2,7735 ppm, kadmium 0,00079±3,4641
ppm, tembaga 0,01105±1,7320 ppm, timbal 0,00316±2,3094 dan arsen
0.00098±1,7320. Hasil analisis glukosamin memberikan pengaruh yang sangat
nyata (p0,05) terhadap kadar SGOT-SGPT dan kreatinin darah.
Kata kunci : glukosamin, metode hidrolisis bertekanan, efektivitas glukosamin.

SUMMARY
EKO CAHYONO. Production of Glucosamine as a Subtance to Promote Joint
Health Using a Controlled Pressure Method. Supervised by PIPIH SUPTIJAH and

IETJE WIENTARSIH.
Chitin is a biopolymer constructed from N-Acetyl-D-Glucosamine units.
The structure of chitin closely resembles that of cellulose but is distinguished by
the replacement of the hydroxyl group on the carbon atom with an acetyl amine
group. Chitosan is a 2-amino-2-deoxy-β-D-glucose polymer which can be
produced by processing chitin. Chitin molecules can be transformed to produce
chitosan by changing the Acetamide group (–NHCOCH) for an amine group
(–NH3). Glucosamine is a derivative of chitosan which is both an amino sugar and
an important precursor in the biochemical synthesis of proteins and lipids.
Glucosamine is a substance which occurs naturally in the body, produced from
glucose and the amino acid glutamine. Glucosamine is needed in order to produce
glycosaminoglycans, molecules used for the formation and repair of cartilage and
other body tissues. Hence the effectiveness of glucosamine administered orally
in vivo to laboratory mice of the sprague dawley strain needs to be tested in order
to know whether there is a resulting increase in synovial fluid volume.
The goals of this research were to determine the characteristics of
chitosan from shrimp shelling waste through measuring yield, proximate analysis
and heavy metal concentrations, to determine the optimal acid concentration and
heating time for producing glucosamine with a low-pressure hydrolysis method
and to analyse the effectiveness of the optimally produced glucosamine in

increasing synovial fluid animal experiments.
The research was carried out from January to August 2014 and comprised
three stages. These were the production of chitosan, the glucosamine production
process, and the effectiveness of administering glucosamine. The first stage
comprised deproteination, demineralization, and deacetylation processes.
The chitosan produced was subjected to proximate analysis, analysis of heavy
metal concentrations and of the degree of deacetylation. In the second stage, the
chitosan was hydrolysed chemically to produce glucosamine using a low-pressure
method with several acid concentration and heating time treatments. The
glucosamine produced from each treatment was tested for yield, loss on drying,
pH value, solubility, loss on ignition, deacetylation level and heavy metal
concentrations. In the second stage the glucosamine was mass produced using the
treatment which yielded the best glucosamine and was administered in vivo to
laboratory animals. Glucosamine was administered orally in doses of 500, 1000,
1500 mg/kg of body weight for 28 days. Analyses carried out on the laboratory
animals comprised measurement of body weight, increases in synovial fluid
volume using X-ray images, and biochemical analysis of blood serum.
The analysis of chitosan characteristics gave a yield of 14%. Proximate
analysis yielded the following concentrations: water 12.29%; ash 0.99%; nitrogen
2.20%; fat 3.13%; carbohydrate 81.39%. Viscosity was 1713.04 cps and the

deacetylation level was 98.65%. Heavy metal concentrations were Mercury
0.00001±2.7735 ppm, Cadmium 0.00079±3.4641 ppm, Copper 0.01105±1.7320
ppm, Lead 0.00316±2.3094 and Arsenic 0.00098±1.7320. Analysis of the

8

glucosamine produced showed a significant (p0,05) on the concentration of SGOT-SGPT and creatinine
in blood.
Key words: glucosamine, low-pressure hydrolysis method, glucosamine effectiveness.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

10


PRODUKSI GLUKOSAMIN DENGAN METODE
HIDROLISIS BERTEKANAN SEBAGAI BAHAN
PENUNJANG KESEHATAN SENDI

EKO CAHYONO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

12


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Tati Nurhayati, SPi, MSi

Judul Penelitian

: Produksi Glukosamin dengan Metode Hidrolisis
Bertekanan sebagai Bahan Penunjang Kesehatan Sendi

Nama

: Eko Cahyono

NRP

: C351120201

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Dra Pipih Suptijah, MBA
Ketua


Prof Dr Dra Ietje Wientarsih, Apt, MSc
Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Teknologi Hasil Perairan

Dekan Sokolah Pascasarjana IPB

Dr Ir Wini Trilaksani, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal ujian : 03 Desember 2014

Tanggal Pengesahan :

14


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segenap
limpahan karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini. Penelitian ini mengangkat tema dengan judul "Produksi
Glukosamin dengan Metode Hidrolisis Bertekanan sebagai Bahan Penunjang
Kesehatan Sendi". Tesis ini merupakan salah satu syarat mendapatkan gelar
magister di Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tesis terutama kepada:
1. Dr Dra Pipih Suptijah, MBA selaku ketua komisi pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktu, tenaga, dan fikiran dalam membimbing penulis.
2. Prof Dr Dra Ietje Wientarsih, Apt MSc selaku anggota komisi pembimbing
yang telah memberikan arahan dan masukan selama penyusunan tesis ini.
3. Dr Tati Nurhayati, SPi MSi selaku dosen penguji luar komisi atas bimbingan,
arahan, kritik, dan saran yang sangat membantu kepada penulis.
4. Dr Ir Wini Trilaksani, MSc selaku Ketua Program Studi Teknologi Hasil
Perairan yang telah memberikan saran dalam penulisan tesis.
5. Prof Dr Ir Joko Santoso, MSi selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil
Perairan.

6. Ayahanda Hadini Masyuri dan Ibu Minayah Iskandar (Alm) tercinta atas
limpahan kasih sayang dan doa yang selalu mengalir tanpa henti, serta
motivasi dan dukungan yang tak terhingga kepada penulis.
7. Sri Handayani, Skom dan Ariya Putra, SE adik-adiku tercinta yang telah
membetikan motivasi, doa, dan dukungannya selama ini.
8. Hamburadul Gaenk La Ode Muhammad Hazairin Nadia SPi MSi; Yunialdi
Hapynes Teffu, SPi MSi; Tri Dian Oktiana STp MSi; Febrina Olivia Akerina
SPi MSi; dan Asti Nur Annisa SPi MSi terima kasih atas kebersamaan selama
ini baik suka maupun duka.
9. Wisma Komiu Andi Achmadi, SPi MSi; Normawati K. Mboto, SPi MSi; Tri
Nur Ekawati Lukman, SKm MSi; dan Mardiana STp MSi terima kasih atas
kebersamaanya.
10. Teman-teman Teknologi Hasil Perairan 2011, 2012 dan 2013 terima kasih
atas kebersamaannya.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Penulis
mengharapkan masukan dari semua pihak yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan tesis ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang
memerlukan. Terima kasih.
Bogor, Januari 2015

Eko Cahyono

16

18

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2. KARAKTERISASI KITOSAN LIMBAH KULIT UDANG
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
3. PENERAPAN METODE HIDROLISIS BERTEKANAN
PADA PRODUKSI GLUKOSAMIN
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
4. EFEKTIVITAS GLUKOSAMIN SECARA IN VIVO PADA
TIKUS Sprague Dawley
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
5. PEMBAHASAN UMUM
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

xvi
xvi
xvi
1
3
3
3
3
4
5
10
18
19
20
25
35

36
37
40
43
45
47
47
48
63

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

Diagram alir pembuatan kitosan limbah kulit udang
Spektrum FTIR kitosan
Diagram alir pembuatan glukosamin metode hidrolisis bertekanan
Rendemen glukosamin
Loos on drying glukosamin
Nilai pH glukosamin
Kelarutan glukosamin
Loss on ignition glukosamin
Spektrum FTIR glukosamin hasil penelitian
Spektrum FTIR glukosamin komersil
Diagram alir penelitian secara in vivo
Selisih pertumbuhan berat badan hewan percobaan
Penampakan cairan sinovial melalui photo x-ray

6
14
21
25
27
28
29
30
31
32
38
40
41

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Hasil karakteristik limbah kulit udang
Karakteristik kitosan kulit udang
Kandungan logam berat kitosan
Karakteristik glukosamin penelitian pendahuluan
Kandungan logam berat glukosamin
Kadar SGOT dan SGPT serum darah tikus
Kadar kreatinin serum darah tikus

10
11
15
25
33
43
44

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Hasil analisis statistik rendemen glukosamin
Hasil analisis statistik loss on drying glukosamin
Hasil analisis statistik nilai pH glukosamin
Hasil analisis statistik kelarutan glukosamin
Hasil analisis statistik loss on ignition glukosamin
Hasil analisis statistik kadar SGOT serum darah
Hasil analisis statistik kadar SGPT serum darah
Hasil analisis statistik kadar kreatinin serum darah

57
58
59
60
61
62
62
62

20

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Wilayah perairan Indonesia yang sangat luas merupakan sumber daya
alam yang tidak ada habisnya, hampir semua potensi kelautan yang ada belum
dimanfaatkan secara maksimal. Pemanfaatan komoditas perikanan khususnya
krustasea menghasilkan limbah dalam jumlah besar. Cangkang invertebrata laut,
terutama krustasea mengandung kitin berkisar antara 20-60% (Rochima et al.
2007). Kulit udang mengandung beberapa komponen antara lain protein, pigmen,
lemak, dan mineral berupa kalsium karbonat. Limbah padat krustasea (kepala,
kaki, kulit, dan ekor) merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi oleh
pabrik pengolahan seafood (Abllo et al. 2002). Salah satu alternatif upaya
pemanfaatan limbah krustasea agar menjadi produk yang bernilai ekonomis tinggi
dengan pengolahan menjadi kitin dan kitosan (Dutta et al. 2004; Toan 2009).
Kitin merupakan biopolimer alami terbanyak kedua setelah selulosa dan
merupakan polimer aminoglukan dari N-asetil-D-glukosamin yang tidak larut
dalam air (Dutta et al. 2004). Kitin memiliki biopolimer yang sangat panjang dan
tidak bercabang. Setiap rantai polimer terdiri dari 2.000-5.000 unit monomer
N-asetil-D-Glukosamin yang terpaut melalui ikatan β-(1-4) glukosa. Kitosan
merupakan senyawa turunan kitin adalah senyawa penyusun rangka luar hewan
berkaki banyak misalnya kepiting, ketam, udang, dan serangga. Kitosan termasuk
polisakarida linear yang berisi campuran dari D-glukosamin. Derajat deasetilasi
kitosan berkisar antara 76,26-91,60% untuk komersil dengan berat molekul antara
100.000-1.000.000 KDa (Patria 2013). Kitosan telah banyak diaplikasikan dalam
berbagai bidang misalnya sebagai pengawet hasil perikanan (Dahiya et al. 2005),
membantu proses reverse osmosis (Agusnar 2007), sebagai bahan aditif produk
agrokimia (Saputra et al. 2009), sebagai antimikroba (Mahae et al. 2011), sebagai
antibakteri (Islama et al. 2011), antitumor (Qin et al. 2004), sebagai anti
inflamasi (Oliveira et al. 2012), sebagai antikanker (Kuppusamy dan Karuppaiah
2012), aktivitas biologis (Xia et al. 2010), dan sebagai antioksidan (Rajalakshmi
et al. 2013). Kitosan dapat diaplikasikan lebih lanjut dengan memanfaatkan
turunannya misalnya oligomer kitosan, karboksimetil kitosan, dan glukosamin.
Glukosamin adalah salah satu turunan dari kitosan yang merupakan gula
amino dan prekursor penting dalam sintesis biokimia dari protein glikosilasi dan
lipid (Kelly 1998). Glukosamin secara alami terdapat pada tubuh, terutama pada
jaringan penghubung dan jaringan tulang rawan serta hati dan ginjal (Camara dan
Dowelss 1998). Glukosamin merupakan senyawa yang diperlukan untuk
biosintesis berbagai senyawa termasuk glikolipid, glikoprotein, dan proteoglikan,
yang semua senyawa terlibat dengan struktur dan fungsi sendi. Glukosamin
tersusun dari glukosa dan asam amino glutamin. Produksi glukosamin akan
menurun seiring dengan pertambahan usia. Glukosamin secara luas telah
digunakan untuk mencegah gejala osteoatritis. Glukosamin dapat dihasilkan
melalui beberapa metode ekstraksi yaitu proses hidrolisis kimiawi dengan
penambahan HCl dengan rendemen 87,3% (Mojarrad 2007), proses enzimatis
dengan bantuan enzim α-amilase dengan rendemen 91,1% (Pan et al. 2011),
proses fermentasi dengan bantuan (Aspergillus sp.) dengan rendemen 5,48%
(Chang et al. 2011), dan proses gabungan antara ketiganya. Anderson et al. (2005)

mengevaluasi glukosamin dengan LD50 secara oral pada hewan percobaan dosis
2.700 mg/kg selama 12 bulan dianggap aman karena tubuh dapat memetabolisme
glukosa dengan pemberian parenteral. Konsumsi glukosamin yang aman berkisar
1.500 mg/bb (BPOM 2004; EFSA 2009) dan 2.000 mg/bb (Hathcock dan Shao
2006). Bersama dengan kondroitin, glukosamin dapat membantu mengatasi
masalah sendi pada penderita osteoatritis. Kondroitin sendiri adalah suplemen
makanan yang biasa digunakan bersama glukosamin. Kondroitin merupakan
senyawa rantai gula bercabang yang menyusun tulang rawan. Glukosamin juga
merupakan komponen penting dari membran sel dan protein permukaan sel serta
molekul struktural interstisial yang menyangga sel secara bersama-sama. Secara
tidak langsung, glukosamin berperan dalam pembentukan permukaan artikular,
tendon, ligamen, cairan sinovial, kulit, kuku, pembuluh darah dan sekresi lendir
dalam pencernaan, pernafasan, dan sistem saluran pada kemih (Martin 2004).
Osteoartritis (OA) dikenal juga sebagai artritis degeneratif, yaitu kondisi
sendi terasa nyeri akibat inflamasi ringan yang timbul karena gesekan ujung-ujung
tulang penyusun sendi (Martin 2004). Osteoartritis terdiri atas osteoartritis primer
yang dikenal juga sebagai artritis degeneratif sendi dan osteoartritis sekunder yang
disebabkan oleh trauma atau cedera (Mahajan et al. 2005). Osteoartritis dapat
menyerang semua tulang rawan dalam tubuh, termasuk tulang belakang, lutut
hingga pergelangan kaki, bahu hingga pergelangan tangan, dan juga jari-jari
tangan maupun kaki. Kartilago merupakan suatu jaringan tulang rawan biasanya
menutupi ujung tulang penyusun sendi. Suatu lapisan cairan sinovial terletak
diantara tulang tersebut yang berfungsi sebagai pelumas untuk mencegah ujung
tulang tersebut bergesekan dan saling mengikis satu sama lain (Reyes et al. 2000).
Kondisi kekurangan cairan ini lapisan kartilago yang menutup ujung tulang akan
bergesekan satu sama lain. Gesekan tersebut akan membuat lapisan tersebut
semakin tipis dan pada akhirnya akan menimbulkan rasa nyeri. Hasil penelitian
Berief et al. (2001) menunjukkan bahwa perubahan struktural dalam komposisi
molekul ini memiliki dampak negatif pada sifat biomekanik artikular kartilago
dewasa normal dan cairan sinovial. Osteoatritis biasanya menyerang orang tua
dan paling banyak dalam bentuk atritis, lebih dari 80% menyerang kaum lansia
dengan usia di atas 50 tahun. Data statistik menunjukkan bahwa lebih dari 40 juta
warga dunia khususnya di Amerika Serikat menderita osteoatritis. Penelitian ini
perlu dilakukan untuk mengetahui efektivitas glukosamin dalam mencegah
penyakit osteoartritis dengan jalan peningkatan cairan sinovial dan proses
produksinya dengan menerapkan metode hidrolisis bertekanan.
Rumusan Masalah
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degeneratif sendi akibat
keseluruhan struktur dari sendi mengalami perubahan patologis. Penyakit ini
ditandai dengan kerusakan pada tulang rawan (kartilago) dan umumnya
menyerang lansia khususnya wanita. Terapi secara farmakologis bertujuan
mengurangi rasa nyeri yang timbul tetapi tidak menghilangkan gangguan klinis
dari sendi. Terapi glukosamin secara alami dapat mencegah atau memperbaiki
gangguan persendian. Glukosamin komersil dihasilkan dari gula beramin. Oleh
karena itu perlu penelitian produksi glukosamin dari kitosan dengan menerapkan
metode hidrolisis bertekanan dalam mencegah osteoartitis dengan cara
peningkatan cairan sinovial.

22

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah melakukan karakterisasi kitosan limbah kulit
udang windu (Panaeaus monodon), menentukan konsentrasi asam dan waktu
pemanasan terbaik dalam pembuatan glukosamin dengan penerapan metode
hidrolisis bertekanan, dan menganalisis pengaruh efektivitas pemberian
glukosamin dalam meningkatkan cairan sinovial.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai upaya
pendayagunaan limbah dan pengembangan metode pada produksi glukosamin
serta sebagai bahan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah pengambilan sampel limbah kulit
udang windu (Peneaus monodon) di perusahan pembekuan udang, karakterisasi
bahan baku, proses pembuatan kitosan, pengujian mutu kitosan limbah kulit
udang, proses pembuatan glukosamin dengan metode hidrolisis bertekanan,
pengujian mutu glukosamin, pengujian efektivitas glukosamin dalam
meningkatkan cairan sinovial secara in vivo pada tikus putih, serta pengujian
toksisitas glukosamin melalui pengujian serum darah SGOT-SGPT dan kreatinin.

2 KARAKTERISASI KITOSAN LIMBAH KULIT
UDANG WINDU (Penaeus monodon)
Latar Belakang
Teknologi polimer saat ini berkembang dengan pesat seiring dengan
semakin beragamnya produk polimer. Eksplorasi terhadap polimer yang pesat
mendorong keinginan untuk menemukan jenis polimer yang lebih baik sehingga
mudah diperoleh untuk kepentingan aplikasi. Zulfikar dan Ratnadewi (2006)
menyatakan bahwa pemanfaatan produk polimer telah berkembang keberbagai
aspek kehidupan, sedangkan penghasil polimer difokuskan pada sumberdaya alam
yang jauh lebih murah dan mudah didapat. Polimer tersebut merupakan
biopolimer, suatu polimer yang mudah diperoleh, dan ramah lingkungan serta
mudah terdegradasi.
Kitin merupakan biopolimer organik terbanyak kedua yang ditemukan di
alam setelah selulosa, terdapat di berbagai spesies binatang baik darat maupun
perairan (Suptijah et al. 1992). Kitosan merupakan senyawa organik turunan dari
kitin, senyawa golongan karbohidrat dari biomaterial kitin yang dihasilkan dari
limbah laut, khususnya golongan udang, kepiting, rajungan, lobster, ketam, dan
kerang-kerangan (Rochima et al. 2007). Kitosan adalah poliglukosamin atau biasa
disebut juga dengan ß-1,4-2 acetamido-2-dioksi-D-glukosa yang dihasilkan dari
kitin dengan proses deasetilasi menggunakan suhu tinggi dan alkali berkonsentrasi
tinggi (Dutta et al. 2004; Rochima et al. 2007).
Proses transformasi kitin menjadi kitosan secara umum adalah tahap
deasetilasi dengan penggunaan basa kuat misalnya KOH dan NaOH. Robert
(2008) menjelaskan bahwa proses deasetilasi dapat dilakukan dengan konsentrasi
basa antara 33-39,5% suhu 60-80 °C selama 4-6 hari dan dianggap lebih ramah
lingkungan. Hasil karakterisasi kitosan dari limbah kulit udang mengandung
rendemen 15,21% (Islama et al. 2011) 15% (Hossain 2013). Kadar air 1,25%
(Mohanasrinivasan et al. 2013); 7,96% (Hossain 2013); 1,7±0,35%. Kadar abu
1,20% (Islama et al. 2011); 0,91±0,1% (Trung dan Thong 2012); 3,35±0,2%
(Walke et al. 2014). Kadar lemak 0,70-4,01 (Naznin 2005). Kadar protein
0,93±0,1% (Trung dan Thong 2012). Berat molekul 165.394 kDa (Islama et al.
2011); 110,967 g/mol (Patria 2013); 1,05x106 Da (Hossain 2013); 329±1,8 kDa
(Walke et al. 2014). Viskositas 121±52 cPs (Trung dan Thong 2012); 191,1 cPs
(Patria 2013). Derajat deasetilasi 82,3±0,5% (Trung dan Thong 2012); 81,24%
(Hossain 2013); 75% (Walke et al. 2014). Karbohidrat 74,12% (Isa et al. 2012).
Kelarutan 0,9±0,8% (Trung dan Thong 2012); 1% (Walke et al. 2014).
Kitosan umumnya tidak larut dalam air tetapi sedikit larut dalam asam
klorida dan asam nitrat serta larut baik dalam asam lemah seperti asam formiat
dan asam asetat. Aplikasi kitosan dewasa ini telah banyak digunakan dalam
bidang industri baik pangan maupun nonpangan. Kitosan dapat diaplikasikan
lebih lanjut dengan memanfaatkan beberapa turunannya seperti oligomer kitosan,
karboksimetil kitosan, dan glukosamin.

24

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu kitosan dari limbah kulit
udang windu (Peneaus monodon) dengan menghitung rendemen kitosan limbah
kulit udang, menganalisis kandungan proksimat kitosan limbah kulit udang, dan
menganalisis logam berat kitosan limbah kulit udang.
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Maret 2014 di
Laboratorium Diversifikasi dan Pengembangan Produk Hasil Perairan,
Laboratoriam Biokimia Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
serta Laboratorium Pengujian Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit udang
windu (Panaeus monodon) dari pabrik pembekuan udang. Bahan pendukung
lainnya dalam proses pembuatan kitosan antara lain larutan NaOH 3 N (proses
deproteinasi), HCl 1 N (proses demineralisasi), NaOH 50% (proses deasetilasi).
Bahan untuk analisis proksimat antara lain Kjeldahl, selenium 0,25 g, H2SO4
pekat 3 mL, NaOH 40% 20 mL, H3BO3 2% 10 mL, indikator bromcresol greenmethyl red, dan benzena. Bahan yang digunakan untuk analisis logam berat antara
lain HNO3 pekat 15 mL, HClO4 5 mL dan akuades.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain seperangkat alat
produksi kitosan stainless steel, kompor gas (Hitachi), timbangan digital
(Quattro), dan gelas ukur (Pyrex). Alat yang digunakan untuk analisis proksimat
antara lain oven listrik (Yamato DV 41), Kjeldahl sistem, tanur listrik (Yamato
AAF 11/3 PID 301), desikator (Pyrex Duran), Sokhlet (Pyrex), alat titrasi (FatexS), cawan porselin, gegep, gelas piala 200 mL (Pyrex), labu takar (Pyrex),
Kjeldahl 50 mL (Pyrex), erlenmeyer 125 mL (Pyrex), pipet tetes, tabung reaksi
(Pyrex), labu takar (Pyrex), ubbelohde dilution viscometer (Type R-85
viscometer), pH meter (Hanna), seperangkat alat Fourier Transform Infrared
Spectroscopy (FTIR), dan Atomic Absorption Spektrofotometer (AAS).
Tahap Penelitian
Tahap pembuatan kitosan dari limbah kulit udang meliputi proses
deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi (Suptijah et al. 1992).
a. Deproteinasi
Bahan baku kulit udang dicampur dengan larutan NaOH 3 N dengan
perbandingan 1:10 b/v. Campuran tersebut dipanaskan pada suhu 100 °C selama 2
jam dan cuci sampai netral.
b. Demineralisasi
Sampel dari proses deproteinasi selanjutnya ditambahkan larutan HCl 1 N
dengan perbandingan 1:7 b/v. Proses pencampuran dipercepat dengan pengadukan
agar terjadi reaksi antara mineral dengan HCl. Pencucian dilakukan terhadap
bahan tersebut sampai netral.

c. Deasetilasi
Sampel kitin direndam dalam larutan NaOH 50% dengan perbandingan
1:20 b/v. Sampel tersebut dipanaskan pada suhu 100 ºC selama 2 jam sambil
diaduk dan ditiriskan selanjutnta dicuci dengan air sampai netral. Kitosan dijemur
sampai kering sehingga diperoleh kitosan larut asam. Diagram alir proses
pembuatan kitosan dapat dilihat pada Gambar 1.

Analisis:

Bahan baku






Deproteinasi
NaOH 3 N (1:10) 2 jam

Demineralisasi
HCl 1 N (1:7) 2 Jam

Deasetilasi
NaOH 50% (1:20) 2 Jam

Kitosan

Berat kering
Kadar air (SNI 2006)
Kadar abu (AOAC 2005)
Kadar protein (AOAC 2005)

Analisis:








Rendemen
Kadar air (SNI 2006)
Kadar abu (AOAC 2005)
Kadar protein (AOAC 2005)
Kadar lemak (AOAC 2005)
Derajat deasetilasi
(Swann dan Patwardhan 2011)
 Viskositas
(Sophanodora dan Benjakul (1993)
 Logam berat (SNI 2013)

Gambar 1 Diagram alir proses pembuatan kitosan kulit udang
Sumber : Suptijah et al. (1992)

Rendemen Kitosan (AOAC 2005)
Rendemen merupakan salah satu parameter penting dalam mengetahui
berat akhir suatu bahan setelah proses produksi. Persentase berat kitosan dalam
cangkang udang windu (Penaeus monodon) dihitung dengan rumus:

Kadar Air (SNI 01-2354.2-2006)
Prinsip penentuan kadar air adalah penghilangan molekul air pada bahan
dengan oven pada suhu 95-100 ºC selama 16-24 jam. Penentuan kadar air dengan
mengeringkan cawan porselin dalam oven pada suhu 105 ºC selama 1 jam. Cawan
porselin dimasukkan ke dalam desikator selama ±15 menit dan ditimbang sampai
diperoleh berat konstan (A: berat cawan). Sebanyak 5 gram sampel dimasukkan
ke dalam cawan porselin (B: berat cawan dan samperl sebelum dikeringkan).
Sampel dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105 ºC selama 5 jam. Sampel hasil
pengeringan dimasukkan ke dalam desikator sampai dingin ditimbang kembali

26

sampel (C: berat cawan dan sampel setelah dikeringkan). Kadar air dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:
A : Berat cawan (gram)
B : Berat sampel dan cawan sebelum dikeringkan (gram)
C : Berat sampel dan cawan setelah dikeringkan (gram)

Kadar Abu (AOAC 2005)
Analisis kadar abu dimulai dengan mengeringkan cawan pengabuan di
dalam oven selama 1 jam pada suhu 105 ºC. Cawan pengabuan dimasukkan ke
dalam desikator selama 1 menit (A: berat cawan). Sebanyak 5 gram dimasukkan
ke dalam cawan pengabuan selanjutnya dipijarkan di atas nyala api sampai tidak
berasap lagi (B: berat cawan dan samperl sebelum dikeringkan). Sampel hasil
pembakaran dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 ºC selama 7
jam. Sampel hasil pengabuan dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit
dan ditimbang kembali (C: berat cawan dan sampel setelah dikeringkan). Kadar
abu dapat dihitung dengan rumus berikut:

Keterangan:
A : Berat cawan porselin kosong (gram)
B : Berat sampel dan cawan sebelum dikeringkan (gram)
C : Berat sampel dan cawan setelah dikeringkan (gram)

Total Nitrogen (AOAC 2005)
Analisis kadar protein terdiri dari tiga tahap yaitu tahap destruksi, destilasi,
dan titrasi. Analisis kadar protein dilakukan dengan menimbang sampel sebanyak
1 gram dan masukkan ke dalam labu Kjeldahl 50 mL dan 3 mL H2SO4 pekat.
Sampel didestruksi hingga cairan berwarna hijau bening pada suhu 410 ºC.
Campuran tersebut dibiarkan hingga dingin, kemudian dipindahkan ke alat
destilasi. Labu Kjeldahl yang telah digunakan dicuci dengan akuades. Air cucian
tersebut dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 20 mL NaOH pekat
hingga berwarna coklat kehitaman, selanjutnya didestilasi. Hasil destilasi
ditampung dalam erlenmeyer 125 mL yang berisi 5 mL H3BO3 dan diberikan
indikator methylene blue, selanjutnya dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N sampai
berubah menjadi warna merah muda. Larutan blanko dianalisis seperti contoh.
Kadar protein dihitung dengan persamaan di bawah ini:

Kadar Lemak Disability Soxhletasi (SNI 01-2354.3-2006)
Prinsip pengujian kadar lemak adalah sampel diekstraksi dengan pelarut
organik dengan bantuan pemanasan. Pelarut yang mengikat lemak selanjutnya
dipisahkan dengan penguapan (evaporasi), sehingga lemak tertinggal dalam labu.
Pengujian kadar lemak dengan menimbang labu lemak yang telah dipanaskan
pada suhu 105–110 °C selama 1 jam (A gram). Sebanyak 1 gram sampel kitosan
ditimbang (X gram). Sampel dimasukkan ke dalam selongsong yang terbuat dari
kertas saring ditutup dengan kapas bebas lemak. Selongsong dimasukkan ke
dalam alat extractor soxhlet dengan menambahkan larutan petroleum eter sebagai
larutan pengekstrak. Suhu pada alat extractor soxhlet diatur 60 °C selama 25
menit. Proses ekstraksi dan evaporasi dilakukan sebanyak 2 kali. Pengeringan
labu lemak dalam oven dengan suhu 105 °C selama 1 jam. Pendinginan labu
lemak dalam desikator selama 1 jam dan menimbang kembali berat labu (B
gram). Penentuan rumus kadar lemak kasar sebagai berikut:

Keterangan:
A = Berat labu lemak kosong (gram)
B = Berat labu lemak dengan lemak (gram)
X = Berat sampel (gram)

Viskositas Kitosan (Sophanodora dan Benjakul 1993)
Analisis viskositas kitosan diukur menggunakan ubbelohde dilution
viscometer VT 04. Sampel kitosan cair dimasukkan ke dalam cup viskometer.
Spindel nomer 2 dimasukkan ke dalam cup yang berisi sediaan kitosan cair. Alat
viscometer VT 04 dihidupkan hingga spindel berputar untuk mengukur viskositas
pada sediaan kitosan cair selama 1 menit. Layar digital akan menunjukkan suatu
angka (hasil pengukuran laju air sediaan). Angka tersebut merupakan nilai
viskositas dari sediaan.
Derajat Deasetilasi (Swann dan Patwardhan 2011)
Pengujian Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) digunakan
untuk menganalisis gugus fungsi dengan cara menentukan hasil spektrum bahan
dengan serapan energi molekul organik melalui sinar Infrared. Sinar infrared
digunakan untuk menentukan setiap gugus dalam molekul bahan. Setiap molekul
memiliki serapan infrared yang berbeda-beda umumnya disajikan dalam bentuk
panjang gelombang antara 450-4.000cm‾1. Tahapan analisis derajat deasetilasi
sebagai berikut: Sampel uji yang disiapkan berupa garam rangkap dan garam
kompleks. Sebanyak 1 mg garam rangkap CuSO4(NH3)2SO4 6H2O ditimbang dan
dihaluskan bersamaan dengan 200 mg KBr menggunakan mortar hingga halus.
Campuran bahan tersebut dibentuk pelet menggunakan alat press dan pre-vakum
selama 2-3 menit. Bahan pelet selanjutnya dipres kembali menggunakan pompa
hidrolik dengan mengatur tekanannya menjadi 80 KN selama 5 menit. Pelet yang
telah siap dimasukkan ke dalam hollder pada lintasan sinar infrared FTIR.
Pengukuran dilakukan dengan alat FTIR dengan mengamati grafik atau spektrum

28

yang terbentuk. Data yang dihasilkan disimpan dan dilakukan pembahasan
terhadap puncak-puncak yang terbentuk.
Logam Berat (SNI 7853:2013)
Penetapan kadar logam secara kuantitas dilakukan dengan Atomic
Absorption Spectrophotometer (AAS). Unsur logam dilepaskan dari matriks
bahan dengan cara destruksi atau pengabuan dengan menggunakan microwave.
Hasil destruksi diatomisasi dengan graphite furnace (GF). Atom dari unsur
tersebut berinteraksi dengan sinar lampu katode (jenis logam) yang sesuai.
Interaksi yang terjadi berupa serapan yang besarnya dapat dilihat dalam tampilan
monitor AAS. Jumlah serapan sebanding dengan konsentrasi unsur logam.
Pengujian kadar logam dilakukan dengan menimbang sampel sebanyak 5 gram.
Sampel dimasukkan ke dalam beaker teflon secara merata agar mengalami proses
pengeringan sempurna. Sampel dikeringkan kembali ke dalam oven pada suhu
105 ºC selama 24 jam. Sampel yang telah mengering selanjutnya dihaluskan
hingga berbentuk bubuk. Sebanyak 4 gram sampel bubuk ditimbang dengan
menggunakan timbangan digital. Sampel dimasukkan ke dalam beaker teflon.
Sebanyak 5 mL larutan aqua regia (percampuran HCl dan HNO3 pekat dengan
perbandingan 3:1 v/v) ditambahkan pada sampel dan dipanaskan pada suhu
130 °C hingga mengering. Sampel yang telah kering dipindahkan ke dalam
sentrifus polietilen. Sebanyak 30 mL akuades ditambahkan ke dalam sampel dan
dibiarkan mengendap. Fase cair dari sampel ditampung untuk diukur kadar logam
dengan menggunakan Atomic Absorption Spektrofotometer (AAS) asetilen. Kadar
logam berat dihitung dengan rumus:

Keterangan:
D : kadar comtoh µg/L dari hasil pembacaan ASS
E : kadar blangko contoh µg/L dari hasil pembacaan ASS
W : berat contoh (gram)
V : volume akhir larutan contoh yang disiapkan (mL)
P : faktor pengencer

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Kitosan Kulit Udang Windu
Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah limbah kulit udang
windu (Panaeus monodon) yang diperoleh dari pabrik pembekuan. Hasil
karakteristik limbah kulit udang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil karakteristik limbah kulit udang
Komposisi Kimia
Kadar air
Kadar abu
Kadar protein

Persentasi (%)
12,09±0,008
24,42±0,004
20,27±0,006

Kulit udang mengandung beberapa komponen seperti pigmen, mineral,
protein, dan kitin. Berdasarkan hasil analisis kulit udang diperoleh kadar air
(12,09±0,008%), kadar abu (24,42±0,004%), dan kadar protein (20,27±0,06%).
Hasil penelitian Isa et al. (2012) kulit udang mengandung kadar protein (15,05%)
dan kitin (8,15%). Ploydee dan Chaiyana (2014) menyatakan limbah kepala udang
segar mengandung kadar air (86,1±2,2%), kadar abu (22,2±0,6%), protein kasar
(40,7±2,7%), lemak (13,9±1,1%), dan kitin (23,2%). Semua komponen dari kulit
udang dapat diisolasi dan diekstraksi dengan menerapkan sistem zero waste
sehingga kulit udang tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Rendemen Kitosan
Rendemen merupakan salah satu parameter penting dalam pembuatan
kitosan. Efisien dan efektifnya proses ekstraksi bahan baku untuk pembuatan
kitosan dapat dilihat dari nilai rendemen yang dihasilkan. Rendemen kitosan
diperoleh dari perbandingan antara berat kering kitosan yang dihasilkan dengan
berat bahan baku. Semakin besar rendemen yang dihasilkan maka semakin efisien
perlakuan yang diterapkan.
Rendemen kitosan hasil penelitian ini adalah 14%. Berdasarkan hasil
penelitian Islama et al. (2011) berkisar 15,21-18%; Hossain (2013) 15,14%;
Mohanasrinivasan et al. (2013) 17%. Kitosan dihasilkan melalui proses deasetilasi
dengan basa konsentrat. Rendemen kitosan dipengaruhi oleh konsentrasi reagen,
temperatur, waktu reaksi, dan ukuran partikel. Konsentrasi NaOH tinggi akan
meningkatkan jumlah gugus asetil yang terlepas dari kitin sehingga meningkatkan
derajat deasetilasi kitosan. Temperatur rendah akan memperlambat laju reaksi.
Berdasarkan penelitian Partia (2013) pengaruh suhu dan waktu pemanasan pada
proses deasetilasi kitin akan menurunkan rendemen kitosan. Hal ini dikarenakan
suhu yang tinggi akan menyebabkan rantai molekul pada kitosan akan
terdepolimerisasi dan mengakibatkan terjadinya penurunan berat molekul dan
rendemen kitosan.

30

Karakteristik Kitosan
Karakterisasi kitosan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi bau,
warna, bentuk, kadar air, kadar abu, kadar lemak, karbohidrat, total nitrogen,
viskositas, logam berat, dan derajat deasetilasi. Hasil analisis karakteristik kitosan
dari limbah udang windu (Peneaus monodon) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Karakteristik kitosan kulit udang
(% Basis kering)

Spesifikasi
Warna
Bau
Bentuk
Kadar air (%)
Kadar abu (%)
Kadar lemak (%)
Total nitrogen (%)
Karbohidrat (%)
Viskositas (cPs)
Derajat deasetilasi (%)
Keterangan: *) by difference

Hasil Analisis
Putih Kecokelatan

EFSA 2010

Tidak berbau
Serpihan
12,29
0,99
3,13
2,20
81,39*
1.713,04
98,65

≤ 10
≤3
≤1
≤6
≥ 90

-

GRAS 2012
White to off white
powder
Netral
18-120 mesh
≥ 10
≤ 0.5
0,02 g/100g
25-5.000
75-95

Warna dan Bau
Kitosan yang diperoleh dari penelitian ini berwarna putih kecokelatan dan
berbentuk serpihan. Hasil penelitian Suptijah et al. (1992) kitosan berwarna putih
kekuningan dan berbentuk serpihan atau bubuk halus. Warna kitosan yang
dihasilkan dari penelitian ini disebabkan selama proses demineralisasi dan
deproteinasi masih terdapat bahan organik yang belum hilang secara sempurna.
Hasil penelitian Ploydee dan Chaiyana (2014) menyatakan bahwa kitosan yang
diproduksi dengan cara biologis memiliki warna lebih gelap dibandingkan dengan
kitosan yang diproduksi secara kimia. Hal ini diduga masih terdapatnya
kandungan protein yang mencapai 0,4±0,3% dan kalsium 1,6±0,6% selama proses
produksi. Berdasarkan GRAS (2012) kitosan komersil berbentuk serbuk,
berwarna putih, dan tidak berbau.
Kadar Air
Kadar air yang dihasilkan merupakan perbedaan antara berat bahan
sebelum dan sesudah dilakukan pemanasan. Kadar air kulit udang 12,09±0,008
(Tabel 1). Hal ini dikarenakan setiap bahan bila diletakkan dalam udara terbuka
maka kadar air akan mencapai keseimbangan dengan kelembaban udara
disekitarnya. Kadar air kitosan penelitian ini adalah 12,29% (Tabel 2). Kadar air
kitosan hasil penelitian Suptijah et al. (1992) kurang dari 10%; Isa et al. (2012)
1,40%; Abdulkarim et al. (2013) 8,70%; Walke et al. (2014) 1,8%.
Kadar air yang tinggi dari hasil penelitian ini diduga diakibatkan
terjadinya penyerapan uap air ketika kitosan dalam keadaan terbuka. Hal ini
dikarenakan kitosan mengandung gugus amino yang memiliki kemampuan untuk
mengikat molekul air. Walke et al. (2014) menyatakan bahwa kitosan merupakan
senyawa yang bersifat higroskopis di alam oleh karena itu sampel kitosan

memiliki kemampuan menyerap air selama peyimpanan. Kadar air kitosan
komersil berdasarkan EFSA (2010) yaitu ≤ 10%; GRAS (2012) yaitu ≥ 10%.
Kadar Abu
Abu merupakan residu anorganik yang diperoleh dengan cara mengabukan
komponen-komponen organik dalam suatu bahan. Jumlah dan komposisi abu
dalam mineral tergantung pada jenis bahan. Kadar abu bisa digunakan sebagai
indikasi kandungan mineral dalam sampel. Kadar abu merupakan bagian berat
mineral dari bahan yang didasarkan atas berat keringnya.
Tabel 1 menyatakan bahwa bahan baku kulit udang memiliki kadar abu
yang tinggi yaitu 24,42±0,004% yang disebabkan banyaknya mineral yang
terdapat dalam kutikula kulit udang. Kadar abu setelah menjadi kitosan menurun
hingga mencapai 0,99% (Tabel 2) yang berarti kandungan mineral yang tersisa
sangat sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa proses demineralisasi pada pembuatan
kitosan telah berjalan dengan baik sehingga tidak banyak mineral tersisa. Kadar
abu kitosan hasil penelitian Suptijah et al. (1992) 2,5%; Islama et al. (2011)
1,20%; Isa et al. (2012) 5,60%; Mohanasrinivasan et al. (2013) 2,28%. Kadar abu
yang rendah dari kitosan hasil penelitian dipengaruhi oleh konsentrasi asam
klorida dan suhu pemanasan. Asam klorida dalam proses demineralisasi berperan
melarutkan garam kalsium dengan terbentuknya gas CO2 dan H2O dipermukaan
larutan. Hasil penelitian Walke et al. (2014) menyatakan bahwa proses
demineralisasi akan berjalan dengan baik pada konsentrasi HCl 1 N dengan suhu
110 ºC dan lama pemanasan 30 menit menghasilkan kadar abu 0,48%. Kandungan
abu dari kitosan merupakan parameter yang penting. Kadar abu yang besar dapat
mempengaruhi tingkat kelarutan dan dapat menurunkan viskositas. Penentuan
kadar abu merupakan indikator keefektifan dari tahap demineralisasi untuk
menghilangkan mineral pada kulit udang. Besarnya kadar abu yang terkandung
pada bahan menunjukkan proses demineralisasi yang kurang sempurna. Kadar abu
kitosan komersil berdasarkan EFSA (2010) yaitu ≤ 3%; GRAS (2012) yaitu ≤1%.
Kadar Lemak
Analisis kadar lemak dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
kandungan lemak yang terdapat pada kitosan. Validitas hasil analisis tergantung
sampel yang baik dan persiapan sampel sebelum dilakukan analisis. Idealnya
komposisi sampel yang dianalisis harus mendekati sama dengan kondisi saat
sampel diambil (Hermanto et al. 2007).
Hasil pengujian kadar lemak kitosan pada penelitian ini adalah 3,13%
(Tabel 2). Hasil penelitian Trung dan Phuong (2012) menyebutkan kadar lemak
kulit udang 11,9±1,4%. Kadar lemak yang tinggi dari kitosan hasil penelitian
dipengaruhi konsentrasi asam pada proses demineralisasi dan konsentrasi basa
pada proses deproteinasi. Semakin tinggi konsentrasi larutan diharapkan mampu
mendenaturasi protein, lemak, pigmen, dan beberapa bahan organik serta
melepaskan mineral pada bahan. Berdasarkan hasil penelitian Naznin (2005)
kadar lemak kitosan berkisar 0,70-4,01%. Hal ini dikarenakan kosentrasi larutan
yang tinggi pada proses demineralisasi dan deproteinasi dapat mereduksi protein,
lemak, pigmen, dan beberapa bahan organik.

32

Total Nitrogen
Protein merupakan senyawa organik yang kompleks. Struktur dasar dari
protein adalah rantai asam amino dan berperan sebagai cadangan energi bagi
tubuh. Protein merupakan bagian terpenting dari molekul biokimia dalam
kehidupan setiap makhluk hidup setelah lemak dan karbohidrat. Protein
merupakan komponen dasar dari jaringan hewan (Mandel et al. 2012).
Tabel 1 menyatakan bahwa bahan baku kulit udang memiliki kadar protein
yang cukup tinggi yaitu 20,27±0,06%. Hal ini dikarenakan protein merupakan
komponen utama penyusun jaringan kulit udang setelah kitin dan beberapa
mineral. Kadar nitrogen setelah menjadi kitosan dalam penelitian ini 2,20%
(Tabel 2). Kadar nitrogen kitosan berdasarkan hasil penelitian Suptijah et al.
(1992) ≤ 1%; Trung dan Phuong (2012) 0,93±0,1%. Kadar nitrogen yang tinggi
dari hasil penelitian diduga diakibatkan proses deproteinasi yang tidak sempurna
sehingga menyebabkan rantai asam amino tidak dapat dirombak sehingga
denaturasi protein tidak berlangsung dengan baik dan kadar protein pada kitosan
masih cenderung tinggi. Abdulkarim et al. (2013) menyatakan bahwa kadar
protein kitosan yang tinggi dapat dikaitkan dengan waktu perendaman, dan
metode yang digunakan selama proses pembuatan kitosan. Kadar nitrogen
kitosan komersil berdasarkan EFSA (2010) yaitu ≤ 6%; GRAS (2012) yaitu
≤ 0,02 gram/100 gram.
Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi utama yang merupakan turunan
dari gula. Sumber gula utama adalah glukosa dan galaktosa walaupun beberapa
bahan juga mengandung maltosa dan fruktosa. Glukosa akan dimetabolisme
dalam proses glikolisis membentuk pirufat dan dapat diubah menjadi laktat dan
memasuki siklus asam sitrat yang membentuk CO2.
Hasil perhitungan kadar karbohidrat pada penelitian ini dengan metode by
difference menunjukkan bahwa kitosan mangandung karbohidrat 81,39%. Kadar
karbohidrat kitosan berdasarkan hasil penelitian Isa et al. (2012) 74.12%; Kamala
et al. (2013) 54,31%. Metode by difference ini masih digunakan oleh FDA tetapi
metode ini dapat menghasilkan nilai yang salah karena ada kemungkinan terjadi
akumulasi kesalahan dari metode-metode yang digunakan untuk mengukur
komponen lain, dan kemungkinan adanya komponen non karbohidrat yang
terukur sebagai karbohidrat dan menyebabkan penyimpangan yang lebih besar.
Viskositas
Viskositas merupakan salah satu sifat fisik kitosan yang cukup penting.
Viskositas adalah daya aliran molekul dalam suatu larutan. Pengujian viskositas
dilakukan untuk mengetahui tingkat kekentalan kitosan sebagai larutan pada
konsentrasi dan suhu tertentu. Viskositas kitosan biasanya diukur pada suhu 60 ºC
dengan konsentrasi 6,67% (b/b) (Leiner 2006).
Viskositas kitosan yang diperoleh dari penelitian ini adalah 1.713,04 cPs
(Tabel 2). Viskositas diukur dengan viskometer ubbelohde pada kecepatan 50 rpm
menggunakan spindel nomor 2 selama 1 menit. Berdasarkan hasil penelitian
Suptijah et al. (1992) nilai viskositas kitosan 600 cPs; Trung dan Phuong (2012)
1.214±52 cPs; Walkes et al. (2014) 602 cPs. Kisaran nilai ini telah masuk standar
viskositas kitosan antara 25-5.000 cPs (GRAS 2012). Nilai viskositas yang tinggi

dari penelitian ini dipengaruhi oleh distribusi molekul kitosan dalam larutan serta
berat molekut dari kitosan, sedangkan berat molekul kitosan berhubungan
langsung dengan panjang rantai polimernya. Jika ukuran rantai polimernya
menjadi kecil maka laju gerak translasinya menjadi cepat sehingga viskositas
menjadi rendah dan sebaliknya. Berdasarkan hasil penelitian Avena et al. (2006)
menyatakan bahwa semakin tinggi berat molekul dari kitosan maka distribusi
molekul kitosan dalam larutan semakin lambat sehingga menghasilkan viskositas
yang tinggi, sebaliknya semakin kecil berat molekul kitosan maka distribusi
molekul kitosan dalam larutan semakin cepat sehingga menghasilkan kitosan
dengan viskositas yang rendah.
Derajat Deasetilasi
Derajat deasetilasi (DD) merupakan suatu parameter lepasnya gugus asetil
dari kitin. Derajat deasetilasi diketahui dengan perhitungan berdasarkan ikatan
amida dan adanya gugus amina dari spektrum FTIR. Derajat deasetilasi kitosan
penelitian ini adalah 98,65% lebih tinggi dari standar mutu kitosan yang telah
ditetapkan (GRAS 2012) yaitu 75-95%. Berdasarkan hasil penelitian Suptijah
et al. (1992) derajat deasetilasi kitosan berkisar 80-90%; Mohanasrinivasan et al.
(2013) 74,82%; Trung dan Phuong (2012) 82,3±05%; Hossain (2013) 81,24%;
Walke et al. (2014) 75-85%. Derajat deasetilasi merupakan parameter penting
yang mempengaruhi sifat kitosan seperti kelarutan, reaktivitas kimia, dan
biodegradasi. Spektrum FTIR kitosan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Spektrum FTIR kitosan

Derajat deasetilasi yang tinggi diduga dipengaruhi oleh proses deasetilasi
kitin menjadi kitosan meliputi jumlah larutan alkali yang digunakan, waktu, dan
suhu reaksi. Pada penelitian ini menggunakan metode Suptijah et al. (1992)
konsentrasi NaOH 50% pada suhu 100 ºC selama 2 jam. Hal ini erat kaitanya
dengan laju reaksi dimana konsentrasi NaOH yang tinggi menghasilkan gugus
OH‾ yang tinggi sehingga gugus CH3COO‾ yang terlepas semakin tinggi dan

34

menghasilkan gugus amida yang semakin banyak. Peningkatan suhu pada proses
deasetilasi akan meningkatkan kecepatan reaksi dalam deasetilasi molekul kitin
menjadi kitosan. Semakin lam