Pemodelan Persamaan Struktural Pada Kasus Dependensi Spasial

PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL
PADA KASUS DEPENDENSI SPASIAL
(Studi Kasus: Kemiskinan di Provinsi Papua)

MARNA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemodelan Persamaan
Struktural pada kasus Dependensi Spasial adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2016

Marna
NIM G152130131

RINGKASAN
MARNA. Pemodelan Persamaan Struktural pada Kasus Dependensi Spasial.
Dibimbing oleh ANIK DJURAIDAH dan I MADE SUMERTAJAYA.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam memberantas
kemiskinan. Akan tetapi sampai saat ini kemiskinan di Indonesia masih cukup
tinggi terutama di Papua. Terdapat beberapa peubah yang diduga berpengaruh
secara langsung maupun tidak langsung terhadap kemiskinan di suatu wilayah.
Peubah tersebut merupakan peubah laten yang tidak dapat diukur secara langsung
dan membutuhkan beberapa indikator sebagai pendekatan. Teknik analisis yang
tepat untuk pendugaan hubungan antar peubah baik secara langsung maupun tidak
langsung dari sejumlah indikator dan peubah laten diantaranya adalah melalui
Model Persamaan Struktural (MPS).
MPS dengan pendekatan klasik memiliki beberapa asumsi yang harus
dipenuhi. Asumsi tersebut diantaranya adalah ukuran contoh harus cukup besar
dan data harus menyebar mengikuti sebaran normal. Ghozali (2008) mengatakan

bahwa penggunaan contoh yang kecil dalam MPS dengan pendekatan klasik dapat
memberikan hasil penduga parameter dan model statistik yang tidak baik. Selain
itu juga dapat menghasilkan matriks ragam peragam contoh yang singular.
Penelitian ini memiliki ukuran contoh kecil maka diperlukan metode alternatif
untuk menyelesaikannya. Metode alternatif yang digunakan adalah melalui
pendekatan kuadrat terkecil parsial (KTP). Wahyuni (2013) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa kemungkinan kemiskinan di Papua juga dapat dipengaruhi
oleh kemiskinan di wilayah sekitarnya. Berdasarkan masalah tersebut, pada
penelitian ini akan dilakukan kajian untuk mengetahui faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kemiskinan di Papua menggunakan MPS dengan
mempertimbangkan ketergantungan spasial.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Survei Sosial
Ekonomi Nasional (SUSENAS) Provinsi Papua Tahun 2013 yang terdiri dari 29
kabupaten. Peubah yang diteliti terdiri dari dua peubah laten eksogen yaitu
kesehatan dan pendidikan serta tiga peubah laten endogen yaitu sumber daya
manusia (SDM), ekonomi dan kemiskinan. Peubah laten eksogen diukur dengan
10 indikator dan peubah laten endogen diukur dengan 12 indikator. Tahapan yang
dilakukan adalah eksplorasi data, analisis MPS dengan pendekatan KTP yang
selanjutnya akan dilakukan analisis spasial otoregresif (spatial autoregressive
model/SAR) dan spasial Durbin terhadap skor laten yang diperoleh dari

pendugaan model pengukuran serta pemilihan model terbaik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada model awal terdapat beberapa
indikator yang tidak valid terhadap peubah laten. Indikator yang tidak valid
diantaranya adalah (1) angka harapan hidup, (2) persentase penduduk yang tidak
mempunyai keluhan kesehatan selama sebulan terakhir, (3) persentase rumah
tangga dengan luas lantai perkapita ≥ 10 m2 dan (4) indeks keparahan kemiskinan.
Setelah dilakukan modifikasi model diperoleh model pengukuran yang terdiri dari
18 indikator yang valid. Berdasarkan nilai Akaike Information Criterion (AIC)
terkecil maka model struktural yang terpilih adalah model struktural SAR. Model
yang terbentuk yaitu kemiskinan dipengaruhi oleh lag spasial kemiskinan,
kesehatan dan pendidikan. Kesehatan dan pendidikan berpengaruh negatif

terhadap kemiskinan artinya semakin baik kesehatan dan pendidikan maka tingkat
kemiskinan di Papua akan menurun. Ekonomi dipengaruhi oleh kesehatan dan
pendidikan. SDM dipengaruhi oleh lag spasial SDM dan kesehatan. Faktor
kesehatan memiliki pengaruh paling besar terhadap kemiskinan di Papua. Artinya
kesehatan merupakan faktor utama yang harus diperbaiki untuk mengurangi
kemiskinan di Papua.
Kata kunci: Kemiskinan, Model Persamaan Struktural, Papua, SAR, Spasial
Durbin


SUMMARY
MARNA. Structural Equation Modelling in case of Spatial Dependence.
Supervised by ANIK DJURAIDAH and I MADE SUMERTAJAYA.
Many efforts have been done by Indonesia government in overcoming the
poverty problem yet the poverty level in Indonesia is still high enough especially
in Papua. There are some variables which are supposed to influence directly or
indirectly to poverty in the region. The variables are latent variables that can not
be measured directly and in need of some indicators as an approach. The
analytical techniques appropriate to estimate relationships between variables,
either directly or indirectly of indicators and latent variables is through Structural
Equation Model (SEM).
SEM with the classical approach has some assumptions. Such assumptions
include the sample size should be large enough and data must to follow the
normal distribution. Ghozali (2008) said that the use of a small example in SEM
with a classical approach may provide bad results of parameter estimator and the
statistical models even may generate singular example of variance covariance
matrix and the negative variance. This research has a small sample size so it is
important to bring alternative method to resolve it. Alternative method used is
through Partial Least Squares approach (PLS). Wahyuni (2013) in his research

said that the possibility of poverty in Papua can be influenced by the dependence
between regions. Based on these problems, it needed to be research to determine
the factors that influence poverty in Papua using SEM by considering the spatial
dependence.
This research used secondary data from National Socio-Economic Survey of
Papua province in 2013 that consists of 29 regencies. The studied variables
consisted of two exogenous latent variables which were health and education as
well as three endogenous latent variables which were human resources (HR),
economic and poverty. Exogenous latent variables were measured by 10
indicators. Endogenous latent variables were measured by 12 indicators. Steps of
the research were a data exploration, analytical approach SEM with PLS then
continued with spatial autoregressive model (SAR) and spatial Durbin to the
latent scores obtained from the estimation of the measurement model as well as
selection of the best models.
The results of this research showed that the measurement model, there were
some invalid indicators towards the latent variables. Invalid indicators include (1)
life expectancy, (2) the percentage of people who do not have health complaints
last month, (3) percentage of households with per capita floor area ≥ 10 m2, and
(4) poverty severity index. After modification of the model obtained measurement
model consisted of 18 indicators were valid. Based on the lowest Akaike

Information Criterion (AIC) value, it is concluded that the best spatial structural
model was SAR model. Model obtained was poverty is influenced by the spatially
lagged poverty, health and education. Health and education negatively influenced
poverty, means the better health and education, the poverty level in Papua will
decrease. Economy was influenced by health and education. HR was influenced
by spatially lagged and health human resources. Health factor has the biggest

influence toward poverty in Papua. It means that health was a major factor that
must be improved to reduce poverty in Papua.
Key words: Poverty, Structural Equation Modeling, Papua, SAR, Spatial Durbin

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL
PADA KASUS DEPENDENSI SPASIAL
(Studi Kasus: Kemiskinan di Provinsi Papua)

MARNA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Statistika Terapan
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Farit Mochamad Afendi, M.Si

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Farit Mochamad Afendi, M.Si


Judul Tesis
Nama
NRP

: Pemodelan Persamaan Struktural pada Kasus Dependensi
Spasial (Studi Kasus: Kemiskinan di Provinsi Papua)
: Marna
: G152130131

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Anik Djuraidah, MS
Ketua

Dr. Ir. I Made Sumertajaya, M.Si
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi
Statistika Terapan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Indahwati, M.Si

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 22 Desember 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Pemodelan Persamaan
Struktural pada kasus Dependensi Spasial (Studi Kasus: Kemiskinan Di Provinsi
Papua)” ini dapat diselesaikan.
Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Anik Djuraidah, MS selaku pembimbing I dan Bapak Dr. Ir. I Made
Sumertajaya, M.Si selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan, arahan, dan masukan kepada penulis dalam penulisan
karya ilmiah ini.
2. Bapak Dr. Farit Mochamad Afendi, M.Si selaku penguji luar komisi pada ujian
tesis
3. Ibu Dr. Ir. Indahwati, M.Si selaku ketua Program Studi Statistika Terapan S2
yang telah turut membantu kelancaran penyelesaian karya ini.
4. Seluruh staf pengajar pascasarjana Departemen Statistika IPB yang telah
banyak memberikan ilmu dan arahan selama perkuliahan sampai dengan
penulisan karya ini.
5. Suamiku Jailani Purnomo, anakku Azka Maritza Batrisya, ke-empat orang
tuaku, serta seluruh keluarga atas do’a, dukungan, dan kasih sayangnya.
6. Seluruh mahasiswa program studi statistika terapan dan statistika baik S2
maupun S3 atas dukungan yang tulus, saran, dan ilmu yang positif.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan karya ilmiah
ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan oleh
penulis untuk penulisan karya ilmiah selanjutnya. Semoga karya ilmiah ini dapat
bermanfaat.


Bogor, Januari 2016

Marna

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian

1
1
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Model Persamaan Struktural (MPS)
Pemodelan MPS dengan Pendekatan KTP
Model Spasial Regresi Linier
Model SAR dan Spasial Durbin
Model SAR dan Spasial Durbin dalam MPS

3
3
3
6
7
8

3 METODE PENELITIAN
Data
Metode Analisis

9
9
10

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Eksplorasi Data
Model Persamaan Struktural (MPS)
Model Persamaan Struktural Spasial
Pemilihan Model Terbaik
Pengujian Galat Model Struktural

12
12
14
17
18
20

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

22
22
22

DAFTAR PUSTAKA

23

LAMPIRAN

24

RIWAYAT HIDUP

34

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Indikator yang digunakan pada 5 peubah laten dalam penelitian
Nilai statistik dari indikator
Nilai penduga parameter dan hasil uji model pengukuran
Uji validitas diskriminan model pengukuran
Uji reliabilitas model pengukuran
Uji kecocokan model pengukuran
Nilai penduga parameter dan uji hipotesis model struktural
Hasil pengujian Indeks Moran
Pendugaan parameter model struktural spasial
Nilai koefisien determinasi dan nilai AIC
Uji kenormalan galat model struktural spasial
Uji keragaman galat model struktural spasial
Uji Indeks Moran terhadap galat model non spasial
Uji Indeks Moran terhadap galat model spasial

9
12
15
15
16
16
16
17
18
19
20
20
21
21

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Bentuk hubungan antara peubah laten
Diagram kotak garis peubah indikator
Peta persentase kemiskinan per kabupaten di Papua tahun 2013
Model persamaan struktural
Peta skor peubah kemiskinan per kabupaten di Papua 2013
Model persamaan struktural SAR

10
13
14
16
17
19

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Pembobot spasial menggunakan Queen Contiguity
Jumlah tetangga masing-masing kabupaten Provinsi Papua
Hasil pengujian Indeks Moran masing-masing indikator
Model persamaan struktural untuk model awal
Model pengukuran untuk MPS awal
Muatan silang untuk MPS tanpa indikator X1.4, X1.5, Y2.4 dan Y3.4
Model kemiskinan masing-masing kabupaten Provinsi Papua

25
26
27
28
29
30
31

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks karena menyangkut
berbagai macam aspek seperti hak untuk terpenuhinya pangan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya. Kemiskinan juga merupakan salah satu
persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun.
Hal ini terlihat adanya tujuan pembangunan milenium (Millennium Development
Goals/ MDGs) yang berisi delapan butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015.
Tujuan pertamanya memberantas kemiskinan dan kelaparan dengan target
kemiskinan sebesar 7.59 persen. Badan Pusat Statistika (2014) menunjukkan
bahwa persentase penduduk miskin di Indonesia sebesar 10.96 persen dan yang
tertinggi berada di Provinsi Papua yaitu sebesar 27.80 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa Indonesia belum mencapai target dari MDGs tersebut.
Afifah (2013) menunjukkan bahwa peubah pendidikan, kesehatan, sumber
daya manusia, dan ekonomi dapat mempengaruhi kemiskinan di Jawa Tengah
baik secara langsung maupun tidak langsung. Peubah tersebut tidak dapat diukur
secara langsung dan membutuhkan beberapa indikator sebagai pendekatan.
Teknik analisis yang tepat untuk pendugaan hubungan antar peubah baik secara
langsung maupun tidak langsung dari sejumlah indikator dan peubah laten
diantaranya adalah melalui Model Persamaan Struktural (MPS).
MPS dengan pendekatan klasik memiliki beberapa asumsi yang harus
dipenuhi. Asumsi tersebut diantaranya adalah ukuran contoh harus cukup besar
dan data harus menyebar mengikuti sebaran normal. Ghozali (2008) mengatakan
bahwa penggunaan contoh yang kecil dalam MPS dengan pendekatan klasik dapat
memberikan hasil penduga parameter dan model statistik yang tidak baik. Selain
itu juga dapat menghasilkan matriks ragam peragam contoh yang singular. Pada
penelitian ini memiliki ukuran contoh kecil maka diperlukan metode alternatif
untuk menyelesaikan masalah tersebut. Metode alternatif yang digunakan yaitu
melalui pendekatan kuadrat terkecil parsial (KTP). Kuadrat terkecil parsial (KTP)
dapat digunakan pada setiap jenis ukuran data, syarat asumsi lebih fleksibel dan
dapat digunakan ketika landasan teori model lemah atau penggukuran setiap
peubah laten masih baru.
Wahyuni (2013) dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
kemiskinan di Papua menunjukkan bahwa model GWR lebih baik dibanding
model OLS. Selain itu juga dikatakan bahwa kemungkinan kemiskinan di Papua
juga dapat dipengaruhi oleh kemiskinan di wilayah sekitarnya. Sun et al. (2015)
telah melakukan penelitian mengenai penyakit Tuberculosis di Cina menggunakan
model persamaan struktural GWR dengan pendekatan KTP. Oud dan Folmer
(2008) telah melakukan penelitian mengenai pendekatan persamaan struktural
untuk model ketergantungan spasial.
Pada model regresi spasial otoregresif (spatial autoregressive model/SAR)
pengaruh lag spasial yang diperhitungkan hanya pada peubah tak bebas saja.
Selanjutnya Anselin (1988) mengenalkan kasus khusus dari spasial otoregresif.
Yaitu adanya penambahan pengaruh lag spasial peubah respon dan peubah
prediktor yang dikenal dengan model spasial Durbin.

2
Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu dilakukan kajian untuk
mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh secara langsung maupun tidak
langsung terhadap kemiskinan di Papua menggunakan MPS dengan pendekatan
KTP. Selanjutnya akan dilakukan analisis SAR dan spasial Durbin terhadap skor
laten yang diperoleh dari pendugaan model pengukuran. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan agar
persentase kemiskinan di Papua semakin berkurang.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan faktor-faktor yang
mempengaruhi kemiskinan di Papua menggunakan model persamaan struktural
dengan mempertimbangkan ketergantungan spasial.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Model Persamaan Struktural (MPS)
MPS merupakan salah satu analisis multivariat yang dapat menganalisis
hubungan peubah secara kompleks, pada umumnya digunakan untuk penelitian
yang menggunakan banyak peubah dan dapat menganalisis model yang rumit
secara bersamaan dengan kemampuan untuk menguji atau melakukan konfirmasi
terhadap sebuah konsep teoritis yang diujikan melalui indikator-indikator empiris.
Menurut Bollen (1989), MPS secara umum terdiri dari dua model, yaitu model
struktural dan model pengukuran. Model struktural menggambarkan hubunganhubungan yang ada di antara peubah-peubah laten. Sedangkan dalam model
pengukuran, setiap peubah laten dimodelkan sebagai sebuah faktor yang
mendasari peubah indikator yang terkait. Model struktural pada MPS dinyatakan
dalam persamaan sebagai berikut:
= Β + Γξ +
(1)
sedangkan model pengukurannya adalah
x = Λx ξ +
(2)
(3)
y = Λy +
asumsinya Ε =0 , E = 0, E =0, cov , =0, cov ,ξ =0, cov ,ξ =0, dan
matriks B non-singular. adalah vektor peubah laten endogen (px1), ξ adalah
vektor peubah laten eksogen (qx1), adalah matriks koefisien antar peubah laten
endogen (pxp), adalah matriks koefisien antara peubah laten endogen dengan
peubah laten eksogen (pxq), adalah vektor galat model struktural (px1), y adalah
vektor peubah penjelas dari peubah laten endogen (rx1), x adalah vektor peubah
penjelas dari peubah laten eksogen (sx1), � adalah matriks koefisien antara
peubah laten endogen dengan peubah penjelasnya (rxp), � adalah matriks
koefisien antara peubah laten eksogen dengan peubah penjelasnya (sxq), adalah
vektor galat model pengukuran peubah laten endogen (rx1), adalah vektor galat
model pengukuran peubah laten eksogen (sx1), r adalah banyaknya indikator
peubah laten endogen, dan s adalah banyaknya indikator peubah laten eksogen.

Pemodelan MPS dengan pendekatan KTP
Kuadrat Terkecil Parsial (KTP) yang dikembangkan oleh Wold (1982)
sebagai metode umum untuk pendugaan MPS yang memuat peubah laten.
Pendugaan parameter dan pengujian kecocokan model KTP tidak memerlukan
asumsi sebaran dari peubah pengamatan dan ukuran contoh tidak harus besar.
Spesifikasi model pada metode KTP didefinisikan dari model struktural (inner
model) yang menyatakan hubungan antara peubah-peubah laten dan model
pengukuran (outer model) yang menyatakan hubungan antara peubah laten dengan
indikator-indikatornya. Model struktural pada metode KTP adalah sebagai
berikut:
βj =

i

ίji βi +

l

ΰjl ξl + αj

(4)

4
dengan βj adalah peubah laten endogen ke-j, ίji adalah koefisien lintas antara
peubah laten endogen ke-j dengan peubah laten endogen ke-i, βi adalah peubah
laten endogen ke-i untuk i ≠ j, ΰjl adalah koefisien lintas antara peubah laten
endogen ke-j dengan peubah laten eksogen ke-l, ξl adalah peubah laten eksogen
ke-l, dan αj adalah galat model struktural.
Pada model pengukuran dilakukan pembobotan untuk mendekati nilai
peubah laten yang ada. Menurut Chin (1998), peneliti dapat menggunakan
pembobot-pembobot awal dengan nilai yang sama untuk mendapatkan pendekatan
awal sebuah peubah laten. Inti dari prosedur KTP adalah menentukan pembobotpembobot yang akan digunakan untuk menduga peubah laten pada model
pengukuran. Pembobot-pembobot diperoleh dari regresi KTP yang diterapkan
pada setiap indikator. Proses perhitungan dilakukan dengan cara iterasi, dalam
setiap prosedur iterasi misalkan s = 1,β,γ…, konvergensi diperiksa dengan
membandingkan bobot model pengukuran pada langkah s terhadap bobot model
pengukuran pada langkah s-1. Iterasi akan berhenti jika telah tercapai kondisi
s-1

s-1

konvergen. Wold (1982) mengusulkan ((wsik − wik )/wik ) < 10-5 sebagai kriteria
konvergensi. Secara umum algoritma untuk menentukan pembobot-pembobot,
koefisien-koefisien lintas, dan nilai peubah laten dalam KTP terbagi menjadi 2
tahap (Chin 1998), yaitu:
1. Pendugaan iterasi dari pembobot-pembobot awal dan nilai-nilai peubah laten
awal dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pendugaan model pengukuran
ξl =

k

βi =
b.

awal
wlk
xlk

awal
wik
yik

Pendugaan model struktural
l

vil ξl

β*j = vji βi +

d.

(6)

k

β*i =

c.

(5)

(7)
l

vjl ξl

(8)

dengan vil , vji dan vjl adalah bobot model struktural. Dalam penelitian
ini bobot model struktural yang digunakan adalah bobot berdasarkan
skema path. Bobot untuk vil adalah:
cor (βi , ξl ) untuk βi dan ξl yang berhubungan
v il =
0
untuk βi dan ξl yang tidak berhubungan
Pembaruan bobot model pengukuran
Pembaruan dilakukan untuk memperoleh bobot baru model pengukuran
yaitu wbaru
ik dengan cara sebagai berikut:
*
(9)
yik = wbaru
ik βi +eik
Pemeriksaan konvergensi
Kriteria
konvergensi
yang
digunakan
adalah
baru-1

baru-1

((wbaru
)/wik
) < 10-5 . Apabila kriteria konvergensi belum
ik − wik
terpenuhi maka proses iterasi diulangi dari langkah a dengan
menggunakan bobot terbaru sampai langkah c hingga konvergensinya
terpenuhi. Jika telah konvergen maka lanjut ke tahap 2.

5
2.

Pendugaan koefisien jalur
Dengan menggunakan pembobot yang telah memenuhi
kekonvergenan diperoleh skor peubah laten dengan formula berikut:
ξl =
βj =

k
k

kriteria

wbaru
kl xkl

(10)

wbaru
kj ykj

(11)

Setelah di peroleh skor peubah laten dilakukan pendugaan koefisien jalur
antar peubah laten yang di duga dengan metode kuadrat terkecil (ordinary
least square/OLS) seperti analisis regresi linier berganda dengan
menggunakan skor peubah laten. Menurut Chin (1998), spesifikasi model
pada metode KTP didefinisikan menjadi dua macam model yaitu model
pengukuran dan model struktural dengan uji kecocokan sebagai berikut:
1. Uji kecocokan terhadap model pengukuran
a. Validitas konvergen (Convergent Validity)
Validitas konvergen dinilai berdasarkan korelasi antara setiap indikator
dengan peubah laten. Nilai korelasi di atas 0.7 dapat dikatakan
ideal,artinya indikator tersebut dikatakan signifikan sebagai indikator yang
mengukur peubah laten. Namun, nilai korelasi diatas 0.5 dapat diterima,
sedangkan nilai korelasi dibawah 0.5 dapat dikeluarkan dari model.
b. Validitas diskriminan
Validitas diskriminan diukur menggunakan nilai rata-rata ragam terekstrasi
(average variance extracted/AVE) yang mengukur keragaman peubah
laten yang dapat dijelaskan oleh pengukuran yang dilakukan. Nilai AVE
yang mengindikasikan keragaman yang cukup baik adalah diatas 0.5.
Formula AVE adalah sebagai berikut:
λ2k
(12)
AVE=
λ2k + k var k
� adalah komponen korelasi indikator ke-k dan var k =1- λk 2 . Validitas
diskriminan juga dapat didukung melalui nilai muatan indikator terhadap
peubah laten yang diukur harus lebih tinggi dibanding dengan muatan
silangnya serta akar AVE yang lebih besar dari korelasi peubah laten
(Fornell & Larcker 1981).
c. Reliabilitas gabungan (Composite Reliability)
Reliabilitas gabungan (ρc ) digunakan untuk mengukur reliabilitas setiap
peubah laten yang menunjukkan stabilitas dan konsistensi dari suatu
pengukuran, nilainya berkisar 0 sampai 1. Nilai batas yang diterima untuk
ρc adalah diatas 0.7, walaupun bukan merupakan standar absolut.
Reliabilitas gabungan dapat dihitung dengan rumus berikut:
λk 2
ρc =
(13)
λk 2 + k var k
2. Uji kecocokan terhadap Model Struktural
a. Pengujian signifikansi hubungan peubah laten eksogen terhadap peubah
endogen dengan melihat nilai t-hitung tiap peubah pada model struktural .
b. Nilai R2 yang menunjukkan besarnya keragaman peubah endogen yang
mampu dijelaskan oleh peubah eksogen, nilai R2 = 0.67 (subtansial) , 0.33
(moderat) , dan 0.19 (lemah).

6
Model Spasial Regresi Linier
Aspek spasial pada suatu data dapat dilihat dari pengaruh atau efek spasial,
efek spasial bisa diuji jika data penelitian mengandung otokorelasi spasial. Oleh
karena itu sebelum mengidentifikasi efek spasial, uji otokorelasi spasial perlu
dilakukan terlebih dahulu. Otokorelasi spasial (spatial autocorrelation)
merupakan suatu ukuran kemiripan dari objek di dalam ruang. Pendekatan
otokorelasi spasial dapat menggunakan statistik indeks moran. Statsitik uji indeks
moran dinyatakan sebagai berikut (Fischer & Wang 2011):
Hipotesis:
H0 : tidak ada otokorelasi spasial
H1 : ada otokorelasi spasial
Statistik uji:
Ι-Ε Ι
Zhitung =
(14)
Var Ι
dengan
n ni=1 nj=1 wij Xi -X Xj -X
1
n2 .S1 - n.S2 +3.S20
,
Ε
Ι
=,
Var
Ι
=
- Ε(Ι) 2
I=
n
n
n
2
2
2
n-1
X
-X
w
n -1 S0
i
i=1 j=1 ij i=1
n

n

wij , S1 =

S0 =
i=1 j=1

1
2

n

n

n

(wij +wji )2 , S2 =
i=1 j=1

wij +
i=1

j=1

2

n

n

wji
j=1

Tolak H0 jika Zhitung > Zα/2 .
Anselin (1988) mengatakan bahwa efek spasial dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu ketergantungan spasial dan keragaman spasial. Ketergantungan spasial
terjadi akibat adanya pengaruh lokasi ke-i terhadap lokasi ke-j ( ≠ ), sedangkan
keragaman spasial terjadi akibat adanya perbedaan antar satu wilayah dengan
wilayah lainnya (random region effect). Secara umum model spasial dapat
dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut:
y = ρWy + Χβ + u
(15)
u = λWu +
dengan y adalah vektor peubah tak bebas berukuran n x 1, X merupakan matriks
peubah bebas berukuran n x (p + 1), ρ adalah koefisien lag spasial peubah tak
bebas, β vektor parameter koefisien regresi berukuran (p+1) x 1, λ adalah
koefisien lag spasial pada galat yang bernilai λ ≤ 1, u adalah vektor galat acak
yang diasumsikan mengandung otokorelasi berukuran nx1, � adalah vektor galat
berukuran n x 1 yang menyebar normal dengan rata-rata nol serta ragam
σ2 � yaitu ε~N(0 , σ2 �) dengan � adalah matriks identitas berukuran n x n, n
adalah banyaknya amatan atau lokasi dan
merupakan matriks pembobot
berukuran nxn dengan elemen diagonal bernilai nol.
Menurut strukturnya, matriks pembobot spasial terbagi ke dalam dua tipe
yaitu berdasarkan jarak dan persinggungan (contiguity). Menurut LeSage (1999),
ada beberapa metode untuk mendefinisikan hubungan persinggungan antar
wilayah, salah satunya adalah Queen Contiguity yaitu dengan mendefinisikan
wij = 1 untuk wilayah yang bersisian atau titik sudutnya bertemu dengan
wilayah yang menjadi perhatian, wij = 0 untuk wilayah lainnya, sehingga
nantinya akan diperoleh matriks pembobot W yang telah distandarisasi.

7
Model SAR dan Spasial Durbin
Model lag spasial merupakan salah satu model spasial dengan pendekatan
area yang memperhitungkan pengaruh lag spasial hanya pada peubah tak bebas.
Apabila peubah tak bebas berkorelasi secara spasial (ρ≠0 dan λ=0), maka
persamaan (15) menjadi sebagai berikut ( Anselin 1988):
(16)
y = ρWy + Xβ +
Pendugaan parameter model SAR dilakukan dengan metode kemungkinan
maksimum. Fungsi log likelihood untuk model SAR adalah sebagai berikut:
1 n/2
1
T
2
L(ρ,β, | y)=
I-ρW y-Xβ
I-ρW y-Xβ
I-ρW exp - 2
2

2
n
1
1
T
ln (L) = ln
+ ln I - ρW - 2
I-ρW y-Xβ
I-ρW y-Xβ (17)
2
2

2
Apabila e0 = y- Xβ0 yang diperoleh dari regresi model y = Xβ0 + e0 , ed =Wy-Xβd
1

T

yang diperoleh dari regresi model Wy=Xβd +ed dan 2 =
e0 -ρed (e0 - ρed )
n
Maka pendugaan � dapat dilakukan dengan cara memaksimumkan fungsi pseudo
log likelihood sebagai berikut:
n
(18)
ln (L) = c - ln e0 - ρ ed T (e0 - ρed ) + ln I - ρW
2
n
1
n
dengan c = - ln 2π - ln n 2
2
2
penduga parameter β dan σ2 model SAR adalah sebagai berikut:
β = XT X

-1

XT I - ρW y

(19)

T

1

= y - ρWy- Xβ y- ρWy- Xβ dengan β = β0 -ρ��
(20)
n
Salah satu kekurangan dari model lag spasial adalah bahwa pola spasial
dalam data hanya dapat dijelaskan oleh efek interaksi peubah tak bebas, tetapi
tidak dapat dijelaskan oleh efek interaksi peubah bebas pada waktu yang sama.
Model lag spasial dapat dikembangkan dengan menambahkan lag spasial peubah
bebas yang dikenal sebagai model spasial Durbin. Bentuk model spasial Durbin
adalah sebagai berikut ( Anselin 1988):
y = ρWy + Xβ1 + WXβ2 +
(21)
atau
y = ρWy + Zβ +
(I - ρW)y = Zβ +
dengan mendefinisikan � = � − ρ
, �=[ ,
] dan β=[β1 , β2 ]T maka
fungsi log-likelihood persamaan diatas diperoleh:
n
1
ln(L) = - ln 2π 2 + ln A - 2 ((Ay-Zβ)T Ay-Zβ )
(22)
2
2
Pendugaan � dapat dilakukan dengan cara memaksimumkan fungsi pseudo log
likelihood seperti persamaan (18). Sehingga diperoleh penduga parameter � dan
σ2 sebagai berikut :
2

-1

β = (ZT Z) ZT Ay
2 1
= (Ay-Zβ)T Ay-Zβ
n

(23)
(24)

8
Model SAR dan Spasial Durbin dalam MPS
Ketergantungan spasial pada model SAR dan spasial Durbin dalam MPS
berlaku pada peubah laten bukan pada peubah observasi (indikator). Pada kasus
model MPS, peubah laten tidak dapat diukur secara langsung sebagai contoh unit.
Sehingga digunakan nilai skor faktor yang didapatkan dari analisis MPS sebagai
suatu contoh unit yang terukur. Oud dan Folmer (2008) merepresentasikan model
SAR dalam MPS sebagai berikut :
η* = ρWη*+X*β1+ε
(25)

dan model spasial Durbin sebagai berikut:
* = ρW *+X*β1 +WX*β2 +

(26)

dengan
* : vektor skor faktor peubah laten endogen berukuran n x 1
X* : matriks skor faktor peubah laten yang berhubungan dengan *
berukuran n x (k + 1)
ρ : koefisien lag spasial peubah endogen
β1 : vektor parameter koefisien regresi, berukuran (k+1) x 1
β� : vektor parameter koefisien lag spasial peubah laten yang berhubungan
dengan * berukuran k x 1
� : vektor galat berukuran n x
: matrik pembobot berukuran n x n dengan elemen diagonal bernilai nol.

9

3 METODE PENELITIAN
Data
Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data sekunder yaitu
Data publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) dari Survei Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS) Provinsi Papua Tahun 2013 yang terdiri dari 29 kabupaten. Peubah
yang diteliti terdiri dari dua peubah laten eksogen yaitu kesehatan dan pendidikan,
tiga peubah laten endogen yaitu sumber daya manusia (SDM), ekonomi dan
kemiskinan. Beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur peubah laten
eksogen dan peubah laten endogen diperoleh berdasarkan penelitian sebelumnya
(Afifah 2013; Anuraga 2013). Dalam penelitian ini peubah laten eksogen dan
endogen tersebut diukur dengan 22 indikator dengan rincian pada Tabel 1.
Tabel 1. Indikator yang digunakan pada 5 peubah laten dalam penelitian
Peubah Laten dan Indikator
Kode
Kesehatan (ξ1 )
X1.1
Persentase balita yang pernah mendapat imunisasi campak
Persentase balita yang proses kelahirannya ditolong oleh tenaga X1.2
X1.3
medis Persentase rumah tangga yang menggunakan jamban sendiri
X1.4
Angka harapan hidup
Persentase penduduk yang tidak mempunyai keluhan kesehatan X1.5
selama sebulan terakhir
Pendidikan (ξ2 )
X2.1
Angka Partisipasi Sekolah ( APS ) usia 7-18 tahun
X2.2
Persentase penduduk 10 tahun ke atas yang pernah/masih sekolah
X2.3
Persentase penduduk 15 tahun ke atas yang melek huruf
X2.4
Rata-rata lama sekolah
Persentase penduduk 10 tahun keatas yang dapat membaca dan X2.5
menulis
Sumber Daya Manusia (β1 )
Y1.1
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
Y1.2
Persentase pekerja disektor formal
Persentase jumlah penduduk 15 tahun keatas yang bekerja disektor Y1.3
non pertanian
Y1.4
Persentase penduduk 15 tahun keatas yang bekerja seminggu lalu
Ekonomi (β2 )
Persentase rumah tangga yang penerangannya menggunakan listrik Y2.1
Y2.2
Persentase penduduk yang mempunyai alat komunikasi
Y2.3
Persentase penduduk yang tidak pernah mendapatkan beras raskin
2
Y2.4
Persentase rumah tangga dengan luas lantai perkapita ≥ 10 m
Kemiskinan (β3 )
Y3.1
Persentase penduduk miskin
Y3.2
Indeks kedalaman kemiskinan
Y3.3
Persentase jumlah keluarga yang termasuk keluarga pra sejahtera
Y3.4
Indeks keparahan kemiskinan

10
Metode Analisis
1.
2.

Eksplorasi data untuk mengetahui gambaran umum data yang digunakan
MPS terboboti spasial pada model struktural
Langkah-langkah yang dilakukan adalah:
a. Spesifikasi model
 Diagram jalur
Pembentukan diagram jalur pada Gambar 1 dapat memudahkan dalam
menerjemahkan pola hubungan antara peubah laten. Selanjutnya dari
diagram jalur tersebut dibentuk persamaan yang menyatakan model
pengukuran dan model struktural.

Gambar 1 Bentuk hubungan antara peubah laten (Afifah 2013)


Model Pengukuran
untuk peubah laten endogen
y1.1
0
0
λy1.1
y1.2
0
0
λy1.2
y1.3
y1.3
0
0
λ
y1.4
0
0
λy1.4
y2.1
y2.1
0 β
0
λ
1
y2.2
y2.2
0
λ
0
β2 +
=
y
y2.3
0 β
0
λ 2.3
3
y2.4
0
0
λy2.4
y
y3.1
0
0
λ 3.1
y3.2
0
0
λy3.2
y3.3
0
0
λy3.3
y3.4
0
0
λy3.4

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

11

3.

4.

untuk peubah laten eksogen
1
λx11
0
x1.1
x12
2
λ
0
x1.2
x13
3
λ
0
x1.3
x14
4
λ
0
x1.4
x15
ξ
5
0
x1.5 = λ
1
+
x2.1
x2.1
ξ
0 λ
6
2
x2.2
0 λx2.2
7
x2.3
x2.3
0 λ
8
x2.4
0 λx2.4
9
x2.5
0 λx2.5
10
 Model Struktural
Banyaknya persamaan struktural adalah sejumlah peubah laten
endogen. Pada penelitian ini terdapat 3 persamaan struktural yaitu:
β1 = ΰ11 ξ1 + ΰ12 ξ2 + α1
β2 = ΰ21 ξ1 + ΰ22 ξ2 + ί21 β1 + α
2
β3 = ί31 β1 + ί32 β2 + α
3
Apabila di tulis dalam bentuk matriks, maka persamaan menjadi
α1
β1
0
0 0 β1
ΰ11 ΰ12 0 ξ1
β2 = ί21 0 0 β2 + ΰ
ΰ22 0 ξ2 + α2
21
β3
β
ί31 ί32 0 3
α3
0
0 0 ξ3
b. Pendugaan parameter MPS dengan KTP
c. Uji kecocokan model pengukuran (outer model) dan model struktural
(inner model)
d. Membentuk matriks pembobot spasial yaitu matriks langkah Ratu
(Queen Contiguity)
e. Melakukan uji otokorelasi spasial dengan statistik Indeks Moran terhadap
skor laten yang diperoleh dari pendugaan model pengukuran pada MPS
f. Melakukan pendugaan parameter model struktural SAR dan spasial
Durbin dengan metode penduga kemungkinan maksimum.
Pemilihan model struktural spasial terbaik dengan melihat nilai Akaike
Information Criterion (AIC)
AIC = −2 log(maksimum likelihood)+2p, (Fotheringham et al. 2002)
Interpretasi dan kesimpulan

12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dibahas mengenai eksplorasi data dan model persamaan
struktural spasial terhadap kemiskinan di Papua. Model spasial yang digunakan
adalah model SAR dan model spasial Durbin, selanjutnya akan dilakukan
pemilihan model terbaik.
Eksplorasi Data
Hasil eksplorasi data untuk semua indikator yang digunakan disajiikan pada
Tabel 2. Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa untuk indikator peubah laten
kesehatan, persentase balita yang pernah mendapat imunisasi campak (X1.1)
berada pada rentang [1.32%; 90.93%] dengan rata-rata 52.33%, Kabupaten
Merauke adalah kabupaten yang persentase balita pernah mendapat imunisasi
campak paling banyak, sedangkan yang paling rendah mendapat imunisasi
campak adalah Kabupaten Intan Jaya.

Indikator Rata-rata
X1.1
X1.2
X1.3
X1.4
X1.5
X2.1
X2.2
X2.3
X2.4
X2.5
Y1.1
Y1.2
Y1.3
Y1.4
Y2.1
Y2.2
Y2.3
Y2.4
Y3.1
Y3.2
Y3.3
Y3.4

52.33
38.38
43.77
67.18
81.13
68.37
66.86
69.53
5.50
67.72
78.69
20.32
25.71
96.07
41.91
35.99
60.98
33.64
31.53
7.05
55.09
2.30

Tabel 2 Nilai statistik dari indikator
Nilai
Nilai
Kabupaten
Kabupaten
Terkecil Terbesar Nilai Terkecil Nilai Terbesar
1.32
90.93
Intan Jaya
Merauke
1.33
93.15
Intan Jaya
Kota Jayapura
0.70
81.31
Mem. Tengah Biak Numfor
63.85
70.88
Merauke
Mimika
60.33
89.69
Nduga
Nabire
20.61
92.79
Nduga
Biak Numfor
18.23
99.04
Nduga
Supiori
23.76
99.23
Nduga
Biak Numfor
2.30
11.07
Intan Jaya
Kota Jayapura
19.04
99.09
Nduga
Biak Numfor
54.90
97.50
Supiori
Mem. Tengah
0.30
63.56
Mem. Tengah Kota Jayapura
0.11
88.43
Nduga
Kota Jayapura
88.02
100
Supiori
Paniai
1.30
98.40
Intan Jaya
Kota Jayapura
0.10
98.83
Intan Jaya
Kota Jayapura
16.89
96.46
Yalimo
Puncak
1.05
63.51
Nduga
Jayapura
12.95
45.92
Merauke
Deiyai
2.35
18.03
Merauke
Deiyai
27.80
82.58
Peg. Bintang
Puncak
0.60
8.40
Merauke
Deiyai

Indikator peubah laten pendidikan seperti angka partisipasi sekolah usia 718 tahun (X2.1) berada pada rentang [20.61%; 92.79%] dengan rata-rata 68.37%,
Kabupaten Biak Numfom adalah kabupaten yang paling tinggi angka partisipasi

13
sekolahnya, sedangkan yang paling rendah angka partisipasi sekolah adalah
Kabupaten Nduga. Persentase penduduk 15 tahun keatas yang melek huruf (X2.3)
berada pada rentang [23.76%; 99.23%] dengan rata-rata 69.53%, Kabupaten Biak
Numfom adalah kabupaten yang paling tinggi persentase penduduk 15 tahun
keatas yang melek huruf, sedangkan yang paling rendah adalah Kabupaten Nduga.
Persentase pekerja disektor formal (Y1.2) berada pada rentang [0.30%;
63.56%] dengan rata-rata 8.55%, kota Jayapura adalah kota dengan persentase
pekerja disektor formal paling tinggi, sedangkan yang paling rendah persentase
pekerja disektor formal adalah Kabupaten Memberamo Tengah. Persentase
jumlah penduduk 15 tahun keatas yang bekerja disektor non pertanian (Y1.3)
memiliki rata-rata sebesar 25.71%, kota Jayapura adalah kota dengan persentase
jumlah penduduk 15 tahun keatas yang bekerja disektor non pertanian paling
tinggi, sedangkan yang paling rendah adalah Kabupaten Nduga.
Persentase penduduk yang tidak pernah mendapatkan beras raskin (Y2.2)
memiliki rata-rata sebesar 60.98%, Kabupaten Puncak adalah kabupaten dengan
persentase penduduk yang tidak pernah mendapatkan beras raskin paling banyak,
sedangkan persentase penduduk yang pernah mendapatkan beras raskin paling
banyak adalah adalah Kabupaten Yalimo.
Untuk indikator peubah laten kemiskinan, persentase kemiskinan (Y3.1) di
Provinsi Papua pada tahun 2013 memiliki rata-rata sebesar 31.53%. Kabupaten
Merauke merupakan kabupaten dengan persentase kemiskinan terendah yaitu
12.95% sedangkan persentase kemiskinan tertinggi 45.92% adalah Kabupaten
Deiyai. Indeks kedalaman kemiskinan (Y3.2 ) memiliki rata-rata sebesar 7.05%.
Kabupaten Merauke merupakan kabupaten dengan persentase kemiskinan
terendah yaitu 2.35% sedangkan persentase kemiskinan tertinggi 18.03% adalah
Kabupaten Deiyai.
Berdasarkan diagram kotak garis pada Gambar 2 menunjukkan bahwa
terdapat keragaman yang cukup tinggi di beberapa indikator pada peubah laten.
Artinya terdapat kesenjangan antara kabupaten di Provinsi Papua. Indikator Y2.2
adalah indikator yang memiliki keragaman tertinggi. Indikator angka harapan
hidup (X1.4) adalah indikator dengan keragaman paling rendah. Pada beberapa
indikator juga terdapat pencilan diantaranya Kabupaten Nduga pada indikator X1.5,
Kabupaten Yalimo pada indikator Y2.3, Deiyai dan Intan Jaya pada indikator Y3.4.

Nilai peubah indikator

100

80

Mimika

60

Nduga
40

20

Yalimo

Deiyai
Intan Jaya
Yahukimo
Deiyai
Intan Jaya

0

.1 .2 .3 .4 .5 .1 .2 .3 .4 .5 .1 .2 .3 .4 .1 .2 .3 .4 .1 .2 .3 .4
X 1 X 1 X 1 X 1 X1 X 2 X 2 X2 X 2 X2 Y1 Y1 Y1 Y1 Y2 Y2 Y2 Y2 Y3 Y3 Y3 Y3

Peubah indikator

Gambar 2. Diagram kotak garis peubah indikator

14
Peta persentase kemiskinan per kabupaten di Papua pada Gambar 3
menggambarkan bahwa kabupaten yang mempunyai persentase kemiskinan satu
kelompok letaknya berdampingan. Hal ini menunjukan adanya pengaruh spasial
pada persentase kemiskinan di Papua. Kelompok persentase kemiskinan dibagi
menjadi tiga kelompok dengan panjang interval data yang sama antar kelompok,
yaitu kelompok rendah (12.95 – 23.94) terdiri dari Kabupaten Merauke, Jayapura,
Mimika, Sarmi, Keerom, Mappi dan kota Jayapura. Kelompok tengah (23.94 –
34.93) terdiri dari Kabupaten Nabire, Kepulauan Yapen, Biak Numfor, Boven
Digoel, Asmat, dan Dogiyai. Kelompok tinggi (34.93 – 45.92) terdiri dari
kabupaten di daerah-daerah bagian tengah Papua, diantaranya seperti Nduga,
Puncak Jaya, Paniai, Jayawijaya, Puncak, Yalimo, Intan jaya, Supiori, Yahukimo,
Lanny Jaya, Memberamo Tengah, Deiyai.
Hasil pengujian Indeks Moran terhadap indikator- indikator yang digunakan
(Lampiran 3) dengan menggunakan pembobot Queen Contiguity (Lampiran 1)
diperoleh bahwa tidak terdapat korelasi spasial pada indikator X1.4, X1.5, Y2.4 dan
Y3.4, namun nilai Indeks Moran pada seluruh indikator lebih dari nilai harapan
yang menujukkan pola data yang mengelompok dan memiliki kesamaan
karakteristik pada wilayah yang berdekatan.

Gambar 3. Peta persentase kemiskinan per kabupaten di Papua tahun 2013

Model Persamaan Stuktural ( MPS)
Data kemiskinan di Papua dimodelkan menggunakan MPS dengan metode
penduga kuadrat terkecil parsial (KTP). Berdasarkan koefisien lintas pada
diagram jalur untuk model persamaan struktural awal (Lampiran 4) dan hasil
pengujian model pengukuran (Lampiran 5) terdapat empat indikator yang tidak
memenuhi validitas kekonvergenan yaitu indikator X1.4, X1.5, Y2.4 dan Y3.4. Hasil
dugaan dan pengujian parameter model pengukuran tanpa indikator X1.4, X1.5, Y2.4
dan Y3.4 disajikan pada Tabel 3 diperoleh nilai muatan faktor untuk semua
indikator lebih besar dari 0.70 serta signifikan pada taraf nyata 10%. Hal ini
menunjukkan bahwa semua indikator memiliki tingkat validitas kekonvergenan
yang tinggi dalam merefleksikan peubah latennya.
Hasil uji validitas diskriminan model pengukuran pada Tabel 4 diperoleh
nilai akar rata-rata ragam terekstrasi (average variance extracted/AVE) semua
peubah laten lebih besar dari korelasi antar peubah laten dan nilai muatan item
untuk setiap peubah laten lebih tinggi dibanding dengan muatan silangnya
(Lampiran 6), sehingga dapat disimpulkan bahwa peubah dan indikator yang
digunakan dalam penelitian ini telah memenuhi validitas diskriminan.

15
Tabel 3. Nilai penduga parameter dan hasil uji model pengukuran
Peubah
Muatan Faktor Galat Baku
Nilai-t
Kesehatan
X1.1
0.897
0.039
23.11**
X1.2
0.970
0.010
101.68**
X1.3
0.916
0.027
33.81**
Pendidikan
X2.1
0.900
0.029
31.29**
X2.2
0.986
0.005
196.02**
X2.3
0.984
0.005
181.21**
X2.4
0.860
0.050
17.09**
X2.5
0.987
0.004
241.32**
SDM
Y1.1
0.928
0.020
47.32**
Y1.2
0.962
0.014
70.27**
Y1.3
0.968
0.007
148.92**
Y1.4
0.857
0.060
14.34**
Ekonomi
Y2.1
0.950
0.009
104.40**
Y2.2
0.781
0.116
6.75**
Y2.3
0.970
0.010
99.49**
Kemiskinan
Y3.1
0.965
0.016
61.35**
Y3.2
0.720
0.092
7.84**
Y3.3
0.902
0.037
24.23**
**nyata pada taraf nyata 5%, * nyata pada taraf nyata 10%

Peubah Laten
Kesehatan
Pendidikan
SDM
Ekonomi
Kemiskinan

Tabel 4 Uji validitas diskriminan model pengukuran
Korelasi
Kesehatan Pendidikan SDM Ekonomi Kemiskinan
1.000
0.890
-0.907
0.898
-0.670
0.890
1.000
-0.860
0.878
-0.656
- 0.907
- 0.860
1.000 -0.865
0.671
0.898
0.878
-0.865
1.000
-0.729
- 0.670
- 0.656
0.671 -0.729
1.000

Akar
AVE
0.928
0.945
0.930
0.904
0.868

Uji reliabilitas pada Tabel 5 diketahui bahwa peubah yang digunakan
memiliki nilai cronbach alpha lebih dari 0.6 dan nilai reliabilitas komposit lebih
dari 0.7 artinya semua peubah laten yang digunakan memiliki nilai reliabilitas
gabungan yang baik sehingga semua indikator yang digunakan untuk mengukur
masing-masing peubah laten adalah reliabel. Setelah model pengukuran dapat
dinyatakan valid dan reliabel, maka selanjutnya dilakukan evaluasi model
struktural. Nilai R2 pada Tabel 6 menunjukkan bahwa peubah kesehatan dan
pendidikan mampu menjelaskan keragaman dari SDM sebesar 84 %, sisanya
dijelaskan oleh peubah lain yang tidak dijelaskan dalam model. Nilai Goodness of
Fit (GOF) yang diperoleh sebesar 0.79, artinya bahwa peubah eksogen yang
terdiri dari kesehatan dan pendidikan dapat menjelaskan sebesar 79 % keragaman
pada SDM, ekonomi dan kemiskinan, sisanya dijelaskan oleh peubah lain.

16
Tabel 5 Uji reliabilitas model pengukuran
Peubah Laten
Cronbach
Reliabilitas
Nilai
Alpha
gabungan
AVE
Kesehatan
0.92
0.95
0.86
Pendidikan
0.97
0.98
0.89
SDM
0.95
0.96
0.86
Ekonomi
0.89
0.93
0.82
Kemiskinan
0.84
0.90
0.76
Tabel 6 Uji kecocokan model struktural
Peubah Laten Kriteria AIC
R2
SDM
37.85
0.84
Ekonomi
38.85
0.84
Kemiskinan
67.89
0.54
Koefisien lintas model persamaan struktural disajikan pada Gambar 4 dan
pengujian signifikansinya pada Tabel 7 diperoleh bahwa kemiskinan dipengaruhi
secara signifikan oleh ekonomi, ekonomi dipengaruhi secara signifikan oleh
kesehatan dan pendidikan, dan SDM dipengaruhi secara signifikan oleh kesehatan.
Tabel 7 Nilai penduga parameter dan uji hipotesis model struktural
Hubungan Peubah
Koefisien Galat baku
Nilai-t
Nilai-p
0.17
Kesehatan -> SDM
0.684
3.93
0.00**
0.17
Pendidikan -> SDM
0.251
1.44
0.16
0.22
Kesehatan -> Ekonomi
0.434
1.97
0.06*
0.18
Pendidikan -> Ekonomi
0.332
1.83
0.08*
0.20
SDM -> Ekonomi
0.185
0.94
0.35
0.26
SDM -> Kemiskinan
- 0.159
- 0.60
0.55
0.26
Ekonomi -> Kemiskinan
- 0.591
-2.23
0.03**
**nyata pada taraf nyata 5%, * nyata pada taraf nyata 10%

Gambar 4. Model persamaan struktural

17
Model Persamaan Struktural Spasial
Hasil pengujian indeks moran terhadap skor peubah laten dengan
menggunakan pembobot ketetanggaan menunjukkan bahwa semua skor peubah
laten diperoleh keputusan tolak H0, artinya terdapat korelasi spasial setiap peubah
laten pada taraf nyata 10% ( Tabel 8).
Tabel 8 Hasil pengujian Indeks Moran
Peubah Laten Indeks Moran
Nilai-p
Kesehatan
0.314
0.00**
Pendidikan
0.372
0.00**
SDM
0.426
0.00**
Ekonomi
0.290
0.01**
Kemiskinan
0.397
0.00**
** nyata pada taraf nyata 5%, * nyata pada taraf nyata 10%
Untuk menggambarkan ketergantungan spasial pada skor peubah
kemiskinan antar kabupaten/kota juga dapat disajikan dalam bentuk peta pada
Gambar 3. Peta tersebut menggambarkan bahwa kabupaten yang mempunyai skor
peubah kemiskinan satu kelompok letaknya berdampingan. Hal ini menunjukan
adanya pengaruh spasial pada skor peubah kemiskinan di Papua. Karena terdapat
korelasi spasial maka selanjutnya akan dilakukan pemodelan struktural dengan
memasukkan aspek spasial. Kelompok skor peubah kemiskinan dibagi menjadi
tiga kelompok dengan panjang interval skor sama antar kelompok, yaitu
kelompok rendah (-1.874;-0.766), kelompok tengah (-0.766;0.341) dan kelompok
tinggi (0.341 ;1.449).

.
Gambar 5. Peta skor peubah kemiskinan per kabupaten di Papua 2013
Nilai koefisien pengujian signifikansi model struktural spasial Durbin dan
model SAR tercantum dalam Tabel 9. Model SAR yang diperoleh menunjukkan
bahwa kemiskinan dipengaruhi secara signifikan oleh lag kemiskinan dan
ekonomi. Ekonomi dipengaruhi secara signifikan oleh kesehatan dan pendidikan.
SDM dipengaruhi secara signifikan oleh lag spasial SDM dan kesehatan. Model
struktural SAR yang terbentuk adalah sebagai berikut:
SDMi
= 0.196 nj=1,i≠j wij SDMj + 0.641 Kesehatani
Ekonomii = 0.439 Kesehatani + 0.327 Pendidikani
Kemiskinani = 0.339 nj=1,i≠j wij Kemiskinanj – 0.525 Ekonomii

18
Model spasial Durbin yang diperoleh menunjukkan bahwa Kemiskinan
dipengaruhi secara signifikan oleh lag kemiskinan dan ekonomi. Ekonomi
dipengaruhi secara signifikan oleh lag ekonomi, kesehatan, pendidikan dan SDM.
SDM dipengaruhi secara signifikan oleh kesehatan. Model struktural spasial
durbin yang terbentuk adalah sebagai berikut:
SDMi
= 0.655 Kesehatani
Ekonomii = 0.433 nj=1,i≠j wij Ekonomij + 0.413 Kesehatani + 0.321
Pendidikani + 0.315 SDMi
Kemiskinani = 0.452 nj=1,i≠j wij Kemiskinanj – 0.469 Ekonomii
Tabel 9 Pendugaan parameter model struktural spasial
Peubah Laten
Model SAR
Model Spasial Durbin
Koefisien Nilai-p
Koefisien Nilai-p
SDM
Kesehatan
0.641
0.00**
0.655
0.00**
Pendidikan
0.217
0.19
0.217
0.21
Lag SDM
0.196
0.08*
0.200
0.46
Lag kesehatan
0.063
0.84
Lag pendidikan
- 0.092
0.77
Ekonomi
Kesehatan
0.439
0.04**
0.413
0.04**
Pendidikan
0.327
0.07*
0.321
0.05*
SDM
0.170
0.39
0.315
0.09*
Lag ekonomi
0.050
0.69
0.433
0.01**
Lag kesehatan
- 0.087
0.86
Lag pendidikan
- 0.026
0.93
Lag SDM
- 0.454
0.34
Kemiskinan
SDM
- 0.125
0.61
- 0.236
0.45
Ekonomi
- 0.525
0.03**
- 0.469
0.09*
Lag kemiskinan
0.339
0.04**
0.452
0.02**
Lag SDM
0.165
0.67
Lag ekonomi
0.076
0.84
**nyata pada taraf nyata 5%, * nyata pada taraf nyata 10%

Pemilihan Model Terbaik
Pemilihan model terbaik digunakan kriteria nilai Akaike Information
Criterion (AIC). Model terbaik memiliki nilai AIC terkecil. Berdasarkan nilai
AIC pada Tabel 10 maka model struktural yang terpilih adalah model SAR.
Model struktural SAR yang terbentuk:
SDMi
= 0.196 nj=1,i≠j wij SDMj + 0.641 Kesehatani
Ekonomii
= 0.439 Kesehatani + 0.327 Pendidikani
Kemiskinani = 0.339 nj=1,i≠j wij Kemiskinanj – 0.231 Kesehatani – 0.172
Pendidikani

19
Y1.1

Y1.3

Y1.2
0.928 0.962

X1.1

Y1.4

0.968 0.857

0.897
X1.2
X1.3

0.970

0.641

0.85

0.196

0.916
SDM

Kesehatan

0.217
0.439

X2.1

- 0.125
Lag Kemiskinan
0.170
0.339

0.900
X2.2
X2.3

- 0.525

0.986
0.327

0.984
0.860

X2.4
X2.5

Lag SDM

0.987

Pendidikan

0.950
Y2.1

0.84

0.60

Y3.1

0.720

Y3.2

0.902
Kemiskinan

Y3.3

0.050

Ekonomi
0.781 0.970
Y2.2

0.965

Lag Ekonomi
Y2.3

Gambar 6. Model persamaan struktural SAR
Tabel 10 Nilai koefisien determinasi dan nilai AIC
Model SAR
Spasial Durbin
Peubah Laten
2
2
R
Kriteria AIC
R
Kriteria AIC
SDM
0.85
36.93
0.85
40.82
Ekonomi
0.84
40.69
0.89
36.97
Kemiskinan
0.60
65.91
0.62
67.66
Koefisien determinasi (R2) pada Tabel 10 menunjukkan bahwa 85%
keragaman dari SDM bisa dijelaskan oleh model, sisanya dijelaskan oleh peubah
lain yang tidak dijelaskan dalam model. Peubah SDM dipengaruhi oleh lag SDM
dan kesehatan. Koefisien lag SDM berpengaruh signifikan, artinya SDM
kabupaten ke-i akan meningkat dengan meningkatnya SDM di kabupaten yang
bertetangga dengan kabupaten ke-i. Kesehatan berpengaruh positif terhadap SDM
dengan koefisien sebesar 0.641 artinya semakin meningkatnya kualitas kesehatan
di kabupaten ke-i maka akan meningkatkan SDM di kabupaten ke-i.
Koefisien determinasi model ekonomi adalah 0.84, artinya keragaman
ekonomi mampu dijelaskan oleh model sebesar 84% sisanya dijelaskan oleh
peubah lain yang tidak dijelaskan dalam model. Ekonomi dipengaruhi secara
signifikan oleh kesehatan dan pendidikan. Kesehatan berpengaruh positif terhadap
ekonomi dengan koefisien sebesar 0.439 artinya semakin meningkatnya kualitas
kesehatan di kabupaten ke-i maka akan meningkatkan kualitas ekonomi di
kabupaten ke-i. Pendidikan berpengaruh positif terhadap ekon