Hukum dan Pemberdayaan

HUKUM DAN PEMBERDAYAAN “LOCAL GENIUS” KAWASAN EKOSISTEM LEUSER
PINDI PATANA, S. HUT
Fakultas Pertanian Program Study Kehuanan UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
A. PENDAHULUAN
“Hanya dalam lingkungan yang optimal, manusia dapat berkembang dengan baik, dan hanya dengan manusia yang baik lingkungan akan berkembang ke arah yang optimal”. Kalimat awal pembuka itu diungkapkan Otto Soemarwoto pada acara Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional tahun 1972. Walaupun sudah cukup lama, kata-kata itu sungguh sangat bijak – jika direnungkan -- akan memberi gambaran yang sangat jelas bahwa hanya oleh manusia yang baik lingkungan akan optimal memberikan dukungan untuk keberlanjutan generasi mendatang.
Berbicara lingkungan hidup yang optimal untuk ukuran Indonesia –sepertinya harus dipertanyakan- apakah lingkungan tempat semua makhluk hidupnya tinggal ini masih optimal daya dukungnya (baca : baik) ataukah sudah rusak, merosot daya dukungnya untuk keberlangsungan generasi selanjutnya. Pertanyaan di atas tidaklah terlalu sulit untuk dijawab, cukup dengan melihat kondisi lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini, seperti: musibah longsor dimana-mana akibat hutan yang sudah gundul tidak lagi mampu menahan air, penebangan kayu illegal terjadi di hampir seluruh kawasan hutan, pembakaran hutan yang membabi buta, kualitas air terus menurun, banjir selalu datang pada musim hujan, dan keringan pada waktu musim kemarau, air menjadi tercemar akibat adanya hujan asam, satwa-satwa liar (baca: Gajah dan Harimau) mulai “mengamuk” ke kampung-kampung karena habitatnya sudah terganggu, dan satwa-satwa yang dilindungi perlahan tapi pasti sudah sangat langka dan menuju kepunahan.
Kondisi yang mengkhawatirkan di atas terjadi juga di Kawasan Ekosistem Leuser (selanjutnya disingkat KEL). Persoalan yang paling mendasar terhadap keberadaan KEL adalah penebangan liar, perdagangan dan pemukiman ilegal serta perburuan liar terhadap satwa langka yang dilindungi undang-undang. Tekanan erosi genetik yang tinggi di KEL semakin memperburuk kondisi seiring dengan semakin meningkatnya laju pertambahan penduduk, krisis ekonomi dan meningkatnya pelanggaran hukum1.
Perlahan tapi pasti kondisi yang kritis ini akan menghantarkan kerusakan KEL. Padahal KEL adalah suatu kawasan hutan tropik istimewa yang masih tersisa di dunia, mengandung kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa jumlahnya dengan beragam spesies tumbuhan dan satwa. KEL juga merupakan kumpulan dari berbagai tipe ekosistem antara lain ekosistem pantai, rawa, danau, hutan hujan tropis dataran rendah, dataran tinggi. Perbedaan ketinggian dan formasi geologi yang mempengaruhi perbedaan ekosisitem yang diyakini oleh para ahli sebagai tempat pengungsian terakhir dari sebagian besar flora-fauna di Indo-Malaya Barat yang hingga saat ini diketahui sekitar 40% keanekaragaman hayati terdapat di dalamnya. Terdapat sekitar 380 jenis burung, 196 jenis mamalia dan ribuan jenis flora langka yang menakjubkan seperti Raflesia spp dan bunga bangkai (Amorphophalus spp). KEL merupakan satu-satunya kawasan unik yang menjadi habitat Harimau Sumatra, Gajah Sumatra, Badak Sumatra, harimau akar (Clouded Leopard), Beruang Madu, dan Orangutan yang kesemuanya berada dalam satu Kawasan Ekosistem Leuser. Kawasan ini juga sangat penting terutama karena peranannya sebagai daerah tangkapan air hulu dari sungai-sungai besar yang mengalir ke pantai barat dan timur pulau Sumatra antara lain Krueng (Kr) Tripa, Kr. Kluet, Kr. Alas, Kr. Jambo Aye, Kr. Tamiang dan sei Wampu, Sei Bahorok dan sungai-sungai lainnya. Di samping sungaisungai besar tersebut dan ratusan sungai kecil lainnya berhulu di KEL dan sangat penting bagi kelangsungan hidup sekitar tiga juta penduduk yang tinggal di sekitarnya2.
1 Lihat Makalah KONSERVASI TERPADU: PENGALAMAN UML DALAM PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER. Oleh Dr. Zahari Zen, Dip. Env. Mgt., Prof. Dr. Zainal Abidin Pian, MS. Dan Prof. Dr. Ali Basyah Amin, MA . Disampaikan dalam Kongres IV dan Seminar Nasional Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia, 25-26 Mei 2000 di USU, Medan. 2 Ibid
2001 digitalized by USU digital libary

Jika kerusakan-demi kerusakan terus terjadi di KEL, sementara hukum tidak membumi dan masyarakat lokal (disekitar KEL) tidak berdaya untuk menjadi “ benteng pertahanan” menjaga KEL dari para perusak, nyata sudah akibatnya adalah kehancuran; tidak saja hancurnya beragam spesies tumbuhan dan satwa, juga lingkungan di sekitarnya. Dan satu hal lagi adalah hilangnya warisan “termahal” untuk generasi selanjutnya.
Tulisan ini bermaksud untuk menunjukkan hubungan antara penegakan hukum dengan keberlanjutan KEL melalui pemberdayaan “local Genius” yaitu peningkatan sumber daya manusia di sekitar KEL.

B. KEL DALAM TINJAUAN EKONOMI

KEL dengan luasan sekitar dua juta hektar menyimpan begitu banyak sumber

daya hasil hutan (kayu dan non kayu) yang bernilai ekonomi tinggi. Meskipun nilai suatu

ekosistem hutan alam tidak dapat ditentukan hanya dari nilai uang hasil penjualan produk-


produknya, tetapi lebih ditentukan oleh nilai ekologijs yang sulit dikonversi dengan nilai

uang. Suatu ekosistem memiliki nilai intrinsik yang terkait dengan kesehatan lingkungan,

obat-obatan, ilmu pengetahuan, nilai agama (spiritual), sumber genetik (plasma nuftah),

pengatur iklim dan cuaca, rekreasi dan warisan budaya3.

Menurut Jamal. M Gawi (2000), salah satu instrumen komprehensif yang sering

dipakai untuk menghitung nilai ekonomi kawasan lindung adalah “Nilai Ekonomi Total”

(Total Econmic Value), disingkat menjadi NET. Jika KEL tetap dijaga utuh, maka nilai

ekonomi total (NET) mencapai sekitar US$ 17,6 juta untuk periode 30 tahun. Sebaliknya

jika KEL diekploitasii maka NETnya hanya sekitar US$ 11,7 juta untuk periode 30 tahun

(van Baukering & Cesar, 2000 dalam Gawi 2000). Dapat dilihat bahwa secara ekonomi KEL


harus dijaga keutuhannya.

Menaksir nilai ekonomi KEL dapat pula dilakukan dengan

menghitung kerugian yang timbul akibat kerusakan KEL. Kehilangan produksi pertanian di

Aceh yang diakibatkan oleh banjir berjumlah sekitar US$ 21,7 juta (Alfian, 1996). Banjir

terakhir (November 2000) yang melanda Aceh diperkirakan menimbulkan kerugian hampir

900 miliar rupiah, belum termasuk kerugiaan jiwa. Sebaliknya hasil perhitungan UML

terhadap kerugiaan yang timbul akibat kekeringan terhadap areal beririgasi, menunjukkan

angka sekitar 300 miliar per tahun. Kerugian yang timbul ini dapat dianggap sebagai nilai

ekonomi yang seharusnya tidak perlu dikeluarkan jika KEL dan kawasan hutan lainnya

masih memiliki sistem penyangga kehidupan yang lebih bagus4.


Dengan NET KEL yang tinggi tersebut sudah sepantasnya pengelolaan KEL

melibatkan keikutsertaan tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, pengusaha,

birkorat dan kelompok pencinta lingkungan agar terjadi sinergi dalam koordinasi dan

komunikasi. Setiap masyarakat terutama yang hidup dan berusaha di sekitar KEL sangat

perlu diberikan pemahaman tentang kaitan keberadaan KEL dengan kesejahteraan mereka.

Kerjasama yang baik diantara para pihak berkepentingan diharapkan mampu mengurangi

resiko kegagalan upaya konservasi kawasan ini sehingga kerugian yang tidak ternilai dan

kerusakan yang mengancam dan menjadi malapetaka generasi mendatang bisa dihindari.

C. HUKUM DALAM PARADIGMA PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN DI KEL

Pada dasawarsa belakangan ini, telah muncul suatu pola pembangunan yang baru, yang mengaitkan diri dengan isu-isu lingkungan hidup lokal, regional maupun global. Komisi Dunia untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan atau World Commission on Environment and Development menyebutnya sebagai pola pembangunan yang berkelanjutan, yaitu suatu pola pembangunan yang secara aktif memasukkan pertimbangan lingkungan hidup serta memperhatikan kepentingan generasi masa depan5.

Paradigma pola pembangunan yang berkelanjutan memberikan pemahaman yang holistik, bahwa semua elemen yang terlibat di dalamnya harus berpikir jauh ke depan untuk memperhatikan kepentingan generasi masa depan, mencakup lingkungan tempat keberlangsungan semua makhluk hidup harus dilestarikan dan setiap pelanggaran yang terjadi oleh para perusak harus berhadapan dengan “hukum”.
Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak pihak yang berkepentingan terhadap KEL, sangat disayangkan tidak semuanya memiliki niat yang sama “menjaga keutuhan KEL”. Terbukti dengan adanya jaringan pencurian kayu. Menurut tim buletin Leuser pada pertengahan 1999 penebangan dalam stasiun penelitian semakin bertambah dengan

3 Ibid 4 Lihat di Buletin Leuser Vol : 3 No.9, Desember 2000. Menaksir Nilai Kawasan Ekosistem
Kawasan Lindung. Oleh Ir. Jamal M. Gawi, MES. 5 R.Brown, Lester dkk. 1995. Masa Depan Bumi. Yayasan Obor Indonesia

2001 digitalized by USU digital libary

semakin banyaknya orang yang diperalat melakukan penebangan dan pengeluaran kayu dari lokasi. Kira-kira 180 hektar area sudah dirambah khususnya di daerah yang dekat dengan aliran sungai dan keanekaragaman hayati yang tinggi.
Berbagai kepentingan yang berbeda seringkali menimbulkan konflik. Tidak saja diantara manusia tetapi juga antara manusia dengan satwa. Sebagai contoh adanya Gajah atau Harimau yang “mengamuk” ke kampung yang akibatnya adalah kematian bagi masyarakat karena habitatnya sudah tergangu. Sudah jelas konflik kepentingan diantara manusia,antara yang mau melestarikan dan yang mengeksploitasi tanpa bertanggungjawab dengan meninggalkan kerusakan di KEL.
Diilhami adanya pembangunan yang berkelanjutan, soyogyanya semua kepentingan yang ada punya irisan yang sama menuju pembangunan berkelanjutan dengan landasan hukum yang jelas, tegas dan masing-masing yang berkepentingan harus punya itikad yang baik untuk membumikan hukum pada setiap aktivitasnya. Sehingga hukum menjadi bagian yang sangat strategis dalam mengatur berbagai kepentingan di KEL guna mencapai pembangunan berkelanjutan. Siapapun yang melanggar hukum harus ditegakkan, karena inilah salah satu “benteng” untuk menjaga KEL.

Pemberdayaan “Local Genius” KEL

“Local Genius” atau keunggulan lokal merupakan salah satu kunci dari upaya

untuk menjaga keutuhan KEL. Dari data yang ada KEL mencakup dua propinsi (Propinsi

Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Sumatra Utara), di Daerah Istimewa Aceh meliputi


delapan kabupaten (Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Barat,

Aceh Singkil dan Aceh Tengah), 46 kecamatan dan 652 desa. Sedangkan di Propinsi

Sumatra Utara meliputi empat kabupaten (Langkat, Karo, Deli Serdang dan Dairi) 17

kecamatan dan 208 desa. Suatu kawasan yang cukup luas, tentunya dengan sumber daya

manusia yang jumlahnya tidak sedikit. Sedikitnya ada tujuh kelompok suku di sekitar KEL

yaitu: Gayo, Alas, Aceh, Batak Pakpak, Karo, Singkil, dan Melayu.

Sejauh yang diketahui tak satu pun suku asli yang mendiami hutan di wilayah

utara. Secara tradisional masyarakat Gayo kebanyakan hidup di perkampungan bukit

dengan menanam tembakau dan kopi. Suku Alas yang memiliki hubungan dengan suku

Gayo mengembangkan industri kerajinan tangan, memproduksi semisal tikar pandan.


Suku Aceh hidup di sekitar taman nasional sebelah barat dan di Timur Laut kawasan

ekosistem dan sekarang memperluas lahan padi sawah irigasi. Batak Pakpak berburu

satwa liar dan juga mengumpulkan hasil hutan seperti madu dan petai, sementara

kelompok Batak yang lainnya, Karo, juga bermukim di dataran tinggi tetapi lahan mereka

lebih meluas keselatan. Suku Singkil memanfaatkan hutan disekitar taman,

mengumpulkan rotan, damar, dan kadang-kadang mengembangkan pemukiman dipinggir

sungai utama, termasuk Suku Alas. Suku melayu adalah penghuni asli di sepanjang pantai

timur Sumatra.

Bila dicermati masyarakat sekitar KEL mempunyai kearifan tersendiri dalam

memanfaatkan potensi hutan tanpa merusak. Ini merupakan modal dalam local genius


dan potensi bagi pemberdayaan sumber daya manusia guna mendukung keberlanjutan

KEL. Pemberdayaan yang bisa dilakukan kepada mereka (baca:masyarakat sekitar KEL)

melalui pendekatan dengan berbagai kegiatan yang melibatkan mereka secara aktif baik

dalam forum formal maupun informal. Forum formal dilakukan dengan melibatkan tokoh-

tokoh masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan KEL. Forum

informal dilakukan untuk memberi wawasan atau bertukar fikiran/diskusi, menggunakan

istilah Sajogyo, metode JISAM (kaji tindak bersama), seperti pembuatan deklarasi atau

pernyataan bersama.

Salah satu contoh kearifan masyarakat dalam bentuk deklarasi termaktub dalam

Deklarasi Leuser versi Tanah Karo yang terdiri dari empat butir pokok-pokok pikiran yang


sangat bijak mengenai keberadaan Kawasan Ekosistem Leuser berikut ini:

a. Ekositem Leuser dengan segala muatan keanekaragaman hayati yang terkandung di

dalam dan di sekitarnya adalah milik bangsa Indonesia yang harus dijaga, dipelihara,

dan dipertahankan sebagai amanah Tuhan Yang Maha Esa dan dititipkan untuk

generasi mendatang secara turun temurun.

b. Demi mempertahankan keutuhan dan pelestarian Ekosistem Leuser secara terus

menerus, seluruh lapisan masyarakat se-Kabupaten Karo berkewajiban dan

bertanggungjawab untuk melakukan segala upaya mempertahankan, menyelamatkan,

melindungi Ekosistem Leuser

dari upaya-upaya perusakan, pemusnahan dan


penghancuran sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.

c. Seluruh kebijakan dan kegiatan yang dapat merusak sumberdaya alam yang

terkandung di dalam Ekosistem Leuser tidak ditolerir dan harus dicegah sesuai dengan

2001 digitalized by USU digital libary

ketentuan hukum, ilmu pengetahuan, norma-norma budaya dan kearifan adat istiadat

demi keselamatan dan kehidupan masyarakat.

d. Kebijaksanaan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang terdapat dan terkandung di

Kawasan Ekosistem Leuser haruslah berdasarkan kaidah-kaidah agama, prinsip

pelestarian, dan ketentuan hukum yang berlaku, serta berdasarkan kaidah ilmu

pengetahuan dan nilai-nilai adat serta budaya masyarakat sekitarnya.


Ada hal yang menarik dari

poin keempat bahwa kaidah agama menjadi

urutan yang pertama dalam menentukan kebijaksanaan dan pemanfaatan KEL. Hal ini

menunjukkan bahwa di dalam agama pun sudah ada kaidah pemanfaatan sumberdaya

alam, tidak ada hal yang bertolak belakang, tinggal bagaimana manusia mengamalkan

ajaran agamanya.

Pijakan yang berdasarkan pada agama ini merupakan kesadaran

tertinggi dari kearifan masyarakat disekitar KEL sehingga akan menumbuhkan kekuatan

yang mampu mendorong masyarakat untuk berbuat, beraktivitas yang selaras dengan

kehendak Penciptanya (baca: Alloh SWT, menurut Islam) dengan jaminan hukum tak akan


menimbulkan kerusakan lingkungan dan akan selaras juga dengan pembangunan yang

berkelanjutan di KEL. Apabila ada yang melanggar, jelas hukumannya tidak saja hukuman

yang berlaku di dunia ini tetapi akan mendapat juga hukuman dari Sang Pencipta karena

telah berbuat tidak amanah.

Sumber daya manusia local genius harus menjadi mitra dalam segala kegiatan

konservasi atau dalam bentuk kegiatan apapun di KEL, dengan alasan yang logis karena

mereka hidup dan bergenerasi di KEL. Pengenalan lingkungan sejak dini harus diterapkan

agar terpatri dan mendarah daging pada setiap generasi.

Penutup

KEL pada hakekatnya adalah pinjaman dari generasi mendatang yang harus dikembalikan. Untuk menjaga keutuhannya perlu ketegasan hukum sebagai perisai dalam menjembatani berbagai kepentingan di KEL. Tegaknya hukum yang ditunjang dengan sumber daya manusia local genius KEL yang berdaya merupakan benteng pertahanan KEL yang mudah-mudahan akan menjadi jalan bagi terwujudnya KEL yang lestari.

DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, S. 2001. Pemberdayaan “Local Genius”. Gerakan Muslimah Khadijah. Medan. M. Gawi, Jamal. 2000. Menaksir Nilai Kawasan Ekosistem Kawasan Lindung. Buletin
Leuser Vol : 3 No.9, Desember 2000. Medan R.Brown, Lester dkk. 1995. Masa Depan Bumi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Zen Zahari, Zainal Abidin Pian, Ali Basyah Amin. 2000. Konservasi Terpadu: Pengalaman
Uml Dalam Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser. Kongres IV dan Seminar Nasional Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia, 25-26 Mei 2000 di USU, Medan.

2001 digitalized by USU digital libary