Bagian 1 Konstruksi Fisika Teknik

Bagian ini menyajikan hasil
wawancara dengan sejumlah
tokoh senior, yang terlibat
dalam konstruksi "pilar-pilar
keilmuan" fisika teknik, yang
berlangsung mulai peralihan 1950-an sampai akhir
1960-an. Mereka bertutur
tentang bagaimana Jurusan
Fisika Teknik diposisikan
dalam konteks pembangunan, dan bagaimana ilmu
fisika dan engineering dijalin
sehingga membentuk bidang
keilmuan yang unik. Dibahas
isu-isu tentang "krisis dosen"
di awal 1950-an, hubungan Fisika Teknik dan Fisika
Murni, tampilnya "pilar-pilar"
fisika teknik (fisika bangunan,
teknik kondisi lingkungan,
instrumentasi, proses material), dan juga kelahiran Fisika
Teknik di ITS. Para tokoh
senior ini adalah:

* Bapak Iskandar Danusugondho
* Bapak Rachmad Mohamad
* Bapak Praptowidodo, Aloysius
* Bapak Harijadi P. Soepangkat
* Bapak R.M. Soegijanto
* Bapak Soelardjo Kertoatmodjo
* Bapak Soewarso

Bagian 1
Konstruksi
Fisika Teknik

2

"Jembatan" antara Ilmu Fisika dan
Engineering
Prof. Ir. Iskandar Danusugondho
(FT-ITB, ’51, Mantan Dosen FT-ITB)

Apakah alasan Bapak memilih kuliah

di Fisika Teknik?
Dulunya ITB bernama T.H. (Technische Hoogeschool) Bandung.
Ketika itu ada dua fakultas, yaitu
Fakultet Teknik UI yang letaknya di
Jl. Ganesha dan Fakultet MIPA (W & N/Wiss & Natuurkunde)
yang letaknya di Jl. Taman Sari, Balubur (yang sekarang menjadi
Kantor Rektorat ITB). Kemudian pada tahun 1951, saya masuk
ke Afdeling (jurusan) yang bernama Natuurkundig Ingenieurs
Opleiding, yaitu suatu jurusan untuk mendapatkan gelar insinyur
dalam bidang Ilmu Alam atau Fisika. Huruf N merupakan singkatan untuk jurusan Fisika Murni pada Fakultet MIPA. Kemudian
T.H. (Technische Hoogeschool) Bandung berubah namanya
menjadi Universitas Indonesia dan pada tahun 1958 berubah
lagi namanya menjadi ITB (Institut Teknologi Bandung).
Alasan saya memilih jurusan Fisika Teknik (Natuurkundig
Ingenieurs) karena Fisika Teknik itu dasar Ilmu Fisika-nya sangat
luas, dibandingkan jurusan lainnya. Selain itu, saya menghindari
pelajaran Kimia dan tidak memilih Fisika Murni karena saya tidak
mau menjadi full scientist.
Setelah lulus kuliah, tahun 1958, saya langsung menjadi
dosen di Fisika Teknik, ITB. Saya juga banyak bekerja sampingan

3

Engineering Physics

di luar ITB, dan yang
terakhir sudah 17
tahun saya menjadi
TPA (Tim Penasehat
Ahli) Bank Indonesia.
Saya juga mengajar
sebagai Dosen Luar
Biasa di berbagai
Perguruan Tinggi, di
antaranya Universitas Parahyangan dan dosen di Universitas
Jenderal Ahmad Yani sampai sekarang.
Bagaimana sejarah berdirinya Fisika Teknik?
Departemen Fisika Teknik (semula sebagai N-afdeling)
berdiri sekitar Tahun 1949 – 1950. Ide pendirian Fisika Teknik
dibawa oleh orang Belanda, karena Belanda menginginkan jurusan yang sama dengan yang ada di Negeri Belanda. Dengan
kata lain, Fisika Teknik merupakan “transplantasi” dari N-afdeling

yang ada di T.H.-Delft Negeri Belanda. Jadi menurut saya, yang
mendirikan Fisika Teknik adalah orang Belanda, dalam hal ini
rektor T.H. Bandung. Kemudian Prof. Adhiwijogo diserahi tugas
untuk memimpin Fisika Teknik untuk yang pertama kali.
Bagaimana kondisi perkuliahan ketika Bapak kuliah di Fisika
Teknik?
Menurut saya suasana perkuliahan dulu itu sangat berbeda
dengan perkuliahan sekarang. Dulu kuliah itu sangat tepat
waktu dan ketat sekali, dan sebagian besar dosennya berpakaian resmi (menggunakan dasi). Jadi perkuliahan-perkuliahan
dulu itu sifatnya formal dan serasa eksklusif. Perkuliahan seperti
layaknya seminar karena kedua belah pihak (mahasiswa dan
dosen) saling menghargai, sehingga kalau ada mahasiswa yang
tidak hadir akan merasa rugi sendiri. Waktu itu mahasiswanya
sedikit, kurang lebih 10 hingga maksimal 30 orang. Semua mahasiswanya benar-benar sangat menghargai walaupun tidak akrab
dengan dosennya. Waktu itu semua dosennya merupakan guru
besar yang dibantu para asisten yang merupakan dosen muda,
4

Konstruksi Fisika Teknik


yaitu yang masih berstatus candidat. Memang ada jarak antara
mahasiswa dengan dosennya dan hal itu tidak berarti jelek.
Ada empat tingkatan dalam perkuliahan untuk mendapat
gelar insinyur. Propadeuse 1 ketika mahasiswa lulus dari tingkat
1 ke tingkat 2, Propadeuse 2 ketika mahasiswa lulus dari tingkat
2 ke tingkat 3, Candidat 1 ketika mahasiswa lulus dari tingkat
3 ke tingkat 4, dan Candidat 2 ketika mahasiswa lulus dari
tingkat 4 ke tingkat 5. Tidak ada ujian tengah semester (UTS)
dalam kuliah, dan sistem penilaiannya itu menggunakan sistim
tentamen (ujian) atau surat kelulusan. Surat kelulusan tersebut
mempunyai batas waktu berlakunya, sehingga kita harus sudah
lulus propadeuse sebelum batas waktu tentamen tersebut habis.
Sistem ujiannya secara lisan di mana masing-masing mahasiswa
satu per satu menghadap dosennya, atau tertulis bila peserta
kuliahnya itu banyak.
Bagaimana dengan sistem perkuliahan ala Belanda dengan
sistem perkuliahan ala Amerika?
Dulu para dosennya menulis semua apa yang ingin diajarkannya di papan tulis. Buku-buku berbahasa Belanda lebih
sulit dimengerti, karena tidak sesistematis, dibandingkan dengan
buku-buku berbahasa Inggris sehingga mudah dimengerti.

Walaupun demikian, kuliah yang diberikan oleh orang-orang
Belanda itu sangat bagus sekali. Karena menurut saya pola
pengajarannya intensif, dosen-dosen Belanda bisa memberikan
kuliah itu karena mereka kebanyakan orang lapangan, sehingga
mereka tidak hanya tahu teorinya saja, tetapi juga tahu segi
lapangannya.
Sistem Belanda itu menganut pola free study artinya mahasiswa bebas menentukan apakah dia mau ikut perkuliahan atau
tidak, yang penting ketika di ujian mereka bisa lulus, sehingga
banyak yang menjadi “Mahasiswa Abadi”. Sedangkan sistem
Amerika menggunakan sistem guided study artinya mahasiswanya lebih diarahkan untuk mengikuti perkuliahan. Amerika
juga yang memperkenalkan sistem multiple choice.
Bagaimana keadaan ITB pada waktu dulu?
5

Engineering Physics

Waktu dulu, T.H. Bandung itu merupakan universitas paling
terkemuka di Indonesia. T.H Bandung mempunyai beberapa
laboratorium yang terkenal yaitu, Bosscha Laboratorium, CEL
(Centraal Electrotechnisch Laboratorium) dan Waterloop Bouwkundig Laboratorium. Kekuatan yang mendominasi image

sebuah universitas itu terletak pada laboratorium-laboratorium
yang ada pada universitas tersebut, sehingga ITB menjadi terkenal karena adanya laboratorium-laboratorium tersebut.
Siapa itu Profesor Dickinson?
Dia itu guru besar dari Amerika yang memberikan kuliah di
jurusan Fisika Murni dan Fisika Teknik. Dia juga yang pertama
kali membakar buku-buku berbahasa Belanda karena mungkin
beliau “membenci” sistim pendidikan ala Belanda.
Bagaimana dengan isu dibubarkannya Fisika Teknik?
Memang di Amerika tidak ada yang namanya Departemen
Fisika Teknik, tetapi ada yang namanya Departemen Engineering
Science dan itu menurut saya sama. Jadi tentang isu pembubaran Fisika Teknik itu ada karena adanya beberapa pihak yang ingin
meniadakan Fisika Teknik, termasuk mungkin salah satunya Prof.
Dickinson. Mungkin karena beliau beranggapan Fisika Teknik itu
tidak ada bedanya dengan Fisika Murni sehingga beliau merasa
tidak perlu adanya Departemen Teknik Fisika. Menurut saya itu
tidak logis, karena Fisika Teknik memang berbeda dengan Fisika
Murni. Mungkin isu tersbut hanya aspirasi dari beberapa orang
saja, sehingga Fisika Teknik tidak pernah jadi dibubarkan.
Sebenarnya ada cerita sejarah yang mungkin merupakan
asal-usul timbulnya isu pembubaran Fisika Teknik. Laboratorium

Bosscha, yang sekarang dikuasai oleh Fisika Murni, sebenarnya
awalnya itu milik Fisika Teknik. Karena laboratorium itu berada
di lahan Fakultas Teknik (di Jl. Ganesha) dan yang mengelola
juga orang-orang dari Fisika Teknik. Kemudian orang-orang dari
Departemen Fisika, FMIPA juga menggunakan laboratorium
tersebut sehingga akhirnya laboratorium “didominasi” oleh
orang-orang Fisika Murni.
6

Konstruksi Fisika Teknik

Nah, menurut saya. Sejak itu sudah mulai timbul “pertentangan” antara Fisika Teknik dengan Fisika Murni. Waktu itu mungkin Prof. Dickinson lebih cenderung kepada Fisika Murni. Pada
akhirnya Fisika Teknik diberi gedung baru (Labtek VI), sehingga
secara organisasi Laboratorium Bosscha dikelola oleh Fisika
Murni seluruhnya.
Pendiri Laboratorium Bosscha orang Belanda yang bernama Mr Bosscha. Beliau adalah seorang jutawan dan seorang
industriawan yang berhasil yang kemudian menyumbang
Laboratorium Bosscha ke T.H. Bandung. Beliau juga yang mendirikan Observatorium Bosscha di Lembang.
Apakah Bapak tahu alasan Amerika memberi bantuan ke T.H.
Bandung? Apakah ada muatan politik?

Kalau secara politis, saya tidak mengetahui alasannya, karena saya bukan politikus. Jadi ketika tahun 1955, Belanda diusir
dari Indonesia secara “All Out”, mungkin pihak Amerika melihat
hal ini sebagai peluang untuk menggantikan Belanda di Indonesia. Tetapi saya tidak tahu apa alasan mereka itu. Kemudian
pada tahun kira-kira 1958, diresmikan bentuk kerja sama antara
Indonesia dengan Amerika dengan nama “Kentucky Contract

Lab Bosscha
Laboratorium yang didirikan oleh KAR Bosscha pada saat ITB masih bernama Technische Hoogeschool
7

Engineering Physics

Team” untuk periode 10 tahun. Jadi dari situ bisa terlihat mungkin antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Amerika
sudah menuju kepada bentuk kerja sama, sehingga Amerika
mau membantu T.H. Bandung dan, sistem pendidikan ala Belanda digantikan dengan sistem pendidikan ala Amerika.
Ada yang mengatakan bahwa dulunya, kerja sama antara pemerintah dengan ITB dalam melakukan riset langsung dilakukan di
lembaga-lembaga milik pemerintah. Tetapi mengapa sekarang
ikatan antara ITB dengan lembaga-lembaga pemerintah tersebut tidak sekuat dulu?
Awalnya lembaga-lembaga penelitian milik pemerintah itu
didirikan oleh orang-orang dari ITB, misalnya LIN, LAN, LIPI, dan

BATAN. Lalu kemudian orang-orang tersebut secara individual
berkeinginan menjauh dari ITB dengan alasan tertentu. Hal ini
tentu saja bukan kesalahan pihak ITB. Bahkan menurut saya, hal
ini justru merugikan ITB, karena mungkin setelah mereka merasa
ITB itu tidak diperlukan lagi, mereka memisahkan diri dari ITB.
Kita ambil contoh LIPI, dulunya didirikan oleh Prof. Adhiwijogo dan orang-orang yang ada di LIPI itu anak buahnya Prof.
Adhiwijogo. Tetapi lama-kelamaan mereka “memisahkan diri”.
Bagaimana pendapat Bapak tentang perubahan nama "Fisika
Teknik" menjadi "Teknik Fisika"?
Sebenarnya saya tidak setuju. Kenapa harus dibalik-balik?
Tetapi kalau katanya untuk penyeragaman istilah, dan bukan
karena sesuatu yang prinsipil, saya setuju saja. Bahkan menurut
saya seharusnya "Teknik Fisika Teknik."
Bagaimana dengan riwayat berdirinya Laboratorium Teknik
Kondisi Lingkungan (TKL)?
Waktu itu Prof. Adhiwijogo sedang menggeluti bidang Fisika Bangunan tentang Illuminasi, Akustik dan Pendinginan. Oleh
karena itu, saya junior beliau, saya dititipi oleh beliau tentang
bidang Pendinginan. Pada waktu itu ada proyek pendinginan
yang pertama tentang Milk Cooling Center di Pengalengan.
8


Konstruksi Fisika Teknik

Fisika Teknik dipercaya untuk mendirikan suatu Cooling Center
di Pengalengan, melalui hibah dari UNICEF.
Kemudian pada tahun 1961, Indonesia mendirikan bangunan tinggi pertama di Indonesia, yaitu Hotel Indonesia, di
Jakarta. Saya dipercaya untuk ditempatkan di proyek pembangunan
tersebut, sebagai pakar Air Conditioning-nya (AC). Kebetulan
bangunan pertama di Indonesia itu dibangun dengan dilengkapi
fasilitas AC. Setelah proyek pembangunan Hotel Indonesia selesai,
pada tahun 1963, Jurusan Fisika Teknik memperkenalkan kuliah
Air Conditioning (AC).
Kemudian berkembang lagi bidang solar energy (Energi
Matahari), sebagai energi alternatif. Lama-lama mengarah ke
Cooling and Heating. Setelah semua itu, kami menamakan diri
kami Laboratorium Teknik Kondisi Lingkungan (TKL). Jadi TKL
itu sebetulnya berimbas dari nama induknya HVAC (Heating,
Ventilating and Air Conditioning). Pendiri/Pengelola Laboratorium TKL pada waktu itu adalah saya, juga Bapak Aldi Anwar,
dan Bapak Aman Mostavan. Waktu itu kami menangani 3 (tiga)
Subbidang, yaitu masalah Panas, Pendinginan dan Air Conditioning, yang mirip dengan HVAC. Agar tidak dikira sama dengan
nama Teknik Lingkungan, kami menamakan diri Teknik Kondisi
Lingkungan. Lingkungan di sini maksudnya adalah lingkungan
hunian manusia. Nah, dari HVAC tadi, saya lebih banyak berkonsentrasi ke AC.
Apakah definisi Fisika Teknik menurut Bapak?
Kalau Prof. Adhiwijogo menyebut Fisika Teknik dengan istilah "master key" (kunci palsu). Memang hal itu ada benarnya.
Tetapi menurut saya, kita tidak boleh mengklaim bahwa Fisika
Teknik itu adalah "master key". Sebab akan membuat departemen-departemen yang lain tersinggung. Kalau menurut saya,
Fisika Teknik itu adalah bidang engineering yang menjembatani
antara dua bidang, yaitu antara Ilmu Fisika dan Engineering. Nah,
orang yang menjembatani itu bisa jadi frontier, dan bisa juga
tidak, tergantung dari orangnya masing-masing. Yang pasti, dia
diberi kesempatan untuk mempelajari Ilmu Fisika dan Engineering
9

Engineering Physics

dengan lebih luas.
Apa harapan dan
saran Bapak kepada
Fisika Teknik ke depannya?
Harapan saya
adalah agar Deptar temen Tek nik
Fisika dapat menjadi
departemen yang
bisa berada di garis
depan, dan sebagai departemen andalan (departemen favorit)
di ITB. Caranya, departemen ini harus well organized. Saran saya
agar Departemen Teknik Fisika bisa membuat namanya mencuat
sehingga menjadi lebih dikenal.[]

Laboratorium TKL
Sebuah sistem air conditioning dan sebuah Ruang Dingin
10

Konstruksi Fisika Teknik

11

Insinyur untuk Riset,
untuk Engineering

Fisika

Ir. Rachmad Mohamad, n.i.
(Alumnus T.H. Delft, Belanda)

Bisakah Bapak bercerita tentang riwayat Fisika Teknik?
Kita mulai dengan Technische
Hogeschool (TH). Ketika itu, Belanda
dalam era yang sama mendirikan
T.H. dengan Fakultas Kedokteran.
Fakultas Teknik pertama di Indonesia itu didirikan sesudah
Perang Dunia I, kecuali Fakultas Kedokteran, sebelumnya sudah
ada STOVIA (adalah pendahulunya kedokteran, tetapi sudah
mendidik dokter, antara lain dokter Soetomo).
Nah, mengapa Belanda mendirikan universitas di Indonesia? Antara lain ini bermotifkan "ethical policy". Mereka itu
memberikan pendidikan pada orang-orang Indonesia, tetapi
tentu saja ini untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka ingin
mendapatkan pegawai negeri yang berpendidikan baik. Nah, ethical policy ini dimulai di sekitar permulaan abad 20. Sebelumnya
orang Indonesia juga sudah diberikan pendidikan, tetapi hanya
sampai SD atau SMP. Tidak sampai perguruan tinggi. Sesudah
Perang Dunia I, mereka menyadari bahwa (selama berlangsung
perang itu) mereka tidak mampu mendatangkan sarjana-sarjana
dari Eropa.
Belanda itu menjajahnya hebat. Ada seorang biolog Inggris,
12

Konstruksi Fisika Teknik

yang pernah menjelajahi Indonesia. Dia menulis buku dan dalam
bukunya menyatakan bahwa “kalau ingin mengendalikan orang
Indonesia yang pemberontak, tirulah taktik Belanda”. Mengapa
demikian? Kerena Belanda itu dari dulu selalu mendatangkan
ilmuwan-ilmuwan untuk mempelajari Indonesia. Mereka
mempelajari gunung-gunung, sungai-sungai, hewan-hewan dan
sebagainya, dan juga sifat-sifat orang Jawa, orang Sunda, orang
Ambon. Mereka ketahui betul ini semua sehingga menjajahnya
hebat sekali, yaitu "Facts Based Government."
Sesudah Perang Dunia I, mereka khawatir tidak ada scientist.
Lalu mereka mulai mencari orang-orang pribumi untuk dididik.
Nah, setelah berjalan beberapa tahun, mereka kecewa oleh karena orang Indonesia itu tidak tertarik pada ilmu pengetahuan.
Mereka maunya menjadi pegawai negeri. Jadi tidak ada yang
bekerja di bidang riset. Setelah selesai PD II, apa yang ditinggalkan
orang Belanda di Indonesia hanya satu orang pekerja riset, yaitu Insinyur Koesnoto. Dia bekerja di balai penelitian pertanian, dan
akhirnya menjadi ketua Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia
(MIPI) yang pertama. MIPI itu merupakan cikal-bakal Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ketika kemudian Indonesia
merdeka, lembaga peneliltian ini sudah ada. Tetapi tidak ada
orang Indonesia yang bekerja di bidang penelitian.
Sewaktu orang-orang Belanda datang lagi ke Indonesia,
mereka berpikir bahwa Indonesia sudah merdeka. Dalam situasi
seperti ini mestinya
riset akan berkembang. Oleh karena
itu, Fisika Teknik itu
didirikan untuk mempersiapkan orangorang yang me mang dididik untuk melakukan riset. Saya waktu itu mendaftar di
Jurusan Elektro. Lalu dari Jurusan Elektro saya pindah ke Teknologi
Kimia. Kemudian ketika Fisika teknik didirikan, saya pindah ke Fisika
Teknik, oleh karena ketertarikan pada riset.
Apa sebetulnya riset itu? Riset itu, pada intinya, apa yang di
13

Engineering Physics

dalam agama Islam disebut sebagai "iqro", yang artinya membaca.
Tetapi bukan membaca buku, melainkan membaca fenomena
alam. Setiap bangsa mesti melakukan baik kegiatan rutin maupun kegiatan ilmiah. Kalau tidak, maka bangsa itu tidak akan
pintar. Kita ini kan bangsa yang bodoh. Lihat saja orang Jepang,
orang Eropa. Mereka itu gemar melakukan kegiatan ilmiah. Nah,
kegiatan ilmiah inilah yang perlu ditunjang. Kalau Jurusan Elektro
itu menghasilkan lulusan yang nantinya bekerja di PLN. Kalau
Jurusan Sipil di Departemen Pekerjaan Umum. Kalau Mesin di
pusat bengkel PJKA. Kegiatan-kegiatan teknis di tempat-tempat
tersebut memerlukan orang-orang yang terdidik juga. Namun
demikian, di dalam bidang ilmiah diperlukan juga orang-orang
yang terdidik.
Misalnya, orang Amerika mau mendarat di Bulan. Tentunya perlu kendaraan yang bisa berjalan di Bulan. Untuk ini
diperlukan teknologi Mesin. Tetapi, khususnya mereka butuh
orang mesin yang pikirannya itu, basically Physics. Contoh lain,
kita mau mengukur tetesan air hujan; berapakah besarnya? Apakah rain drops ada instrumen ukurnya? Tidak ada di toko, tetapi
kita bisa merancangnya. Siapa yang melakukan? Seorang sarjana
Fisika Teknik. Jadi Fisika Teknik itu menunjang kegiatan ilmiah,
supaya kegiatan ilmiah itu bisa berhasil. Sebab riset tanpa instrumen itu non-sense, tidak bisa. Riset tanpa perlengkapan untuk
riset itu tidak bisa.
Tetapi, mengapa di Fiska Teknik ini pelajarannya mirip dengan di Elektro, Mesin, atau Kimia? Ya, memang kegiatan riset melibatkan macam-macam kegiatan. Kita membuat rangkaian listrik,
memilih bahan-bahan yang cocok untuk riset, memilih sumber
energi yang cocok. Kalau kita mau riset ke bulan, Spaceship-nya itu
harus memakai bahan dan sumber daya seperti apa? Apakah
solar energy, reaktor nuklir, misalnya? Jadi, untuk merancang
hal-hal seperti ini kita memerlukan insinyur yang jago dalam
bidang Fisika yang up to date. Kalau kita tanya seorang insinyur
Elektro, barang kali kurang mengetahui tentang ilmu bahan,
oleh karena dia hanya mempelajari aspek terapan Elektro.
Fisika Teknik itu idenya dari orang belanda. Tidak akan timbul
14

Konstruksi Fisika Teknik

dari pikiran orang Indonesia gagasan untuk mendirikan program
semacam Fisika Teknik ini. Yang bekerja di bidang riset hanya
sedikit. Mungkin Prof. Rooseno termasuk pelaku riset, karena
beliau adalah asisten riset.
Bung Karno adalah perancang. Tidak ada kegiatan ilmiah
yang beliau lakukan. Kegiatan ilmiah dilakukan oleh orang asing. Dulu banyak orang Jerman, Belanda, Prancis dan Skandinavia.
Mereka didatangkan khusus untuk menguasai ilmu pengetahuan tentang Indonesia. Mereka bisa menguasai orang-orang
Indonesia yang bermacam-macam karakternya. Belanda dulu
kalau mencari tentara, diambil dari orang Ambon, karena mereka
tahu sifat orang Ambon. Kalau mencari pegawai negeri diambil
dari orang Jawa.
Menurut Bapak, mengapa masyarakat kita kurang berminat
terhadap riset?
Itu suatu budaya, dan kita belum sampai ke situ. Mengapa
kita terpuruk dari zaman VOC sampai sekarang? Ini dikarenakan
kita saling bertengkar. Raja-raja saling meminta bantuan ke Belanda, dan akhirnya saling memerangi satu sama lain. Sehingga
terjadilah kolonialisme yang disebabkan oleh ulah raja-raja itu
sendiri. Apakah kondisi Indonesia saat ini tidak mirip dengan
kondisi saat itu?
Apakah dalam mengembangkan riset itu kita tidak memerlukan
orang MIPA?
Jadi, apa pun yang kita lakukan, kita butuh orang engineering. Orang MIPA menghasilkan ide. Tetapi untuk mewujudkannya membutuhkan engineering. Dalam kegiatan masyarakat
itu, sebagai bangsa yang merdeka, kegiatan operasional harus baik.
Mengapa? Oleh karena kegiatan ilmiah itu menghasilkan ilmu
yang merupakan suatu kekuasaan. Artinya, kalau kita menguasai
sesuatu ilmu, kita dapat melihat ke depan dan memprakirakan.
Dan seorang negarawan harus bisa melihat ke depan. Seorang
presiden yang tidak ditunjang oleh data akurat, maka dia tidak
15

Engineering Physics

bisa memerintah dengan baik. Negara kita kacau terus karena
kita tidak melakukan kegiatan riset, sehingga kita tetap bodoh.
Bahkan sampai sekarang masih bodoh. Buktinya apa? Fisika
Teknik tidak berkembang dengan baik.
Lihatlah Informatika yang berdirinya lebih muda, bisa
lebih maju. Mengapa? Karena politisi kita tidak mau tahu. Kalau
kita mengusulkan membeli instrumen, atau kita membuat lembaga instrumentasi, misalnya, untuk men-design instrumen
dengan baik, Pemerintah tidak tertarik. Mengapa dulu ketika
lembaga instrumentasi nasional itu bediri, orang belanda yang
membantu kita. Saya merintis instrumentasi di Fisika Teknik.
Ketika mengusulkan membuat Lembaga Fisika Nasional dulu,
instrumentasi itu hanya annex. Jadi, dalam Lembaga Fisika Nasional ada annex instrument center. Memang idenya dari Fisika
Teknik. Tetapi waktu fact finding mission, Belanda datang ke sini.
Mereka menganggap instrumentasi lebih penting dari Lembaga
Fisika Nasional, sehingga lalu menjadi Lembaga Instrumentasi
Nasional (LIN).
Bagaimana alih pemikiran yang dilakukan Belanda setelah Fisika
Teknik berdiri?
Sebetulnya Belanda itu bermaksud baik, mereka mau
menolong Indonesia, dan sudah mengakui kemerdekaan Indonesia. Dan diharapkan orang Indonesia melakukan kegiatan
ilmiah sendiri. Lalu didirikanlah jurusan Fisika Teknik yang
pada waktu itu stressing-nya adalah instrumentasi, meskipun
ada juga bidang-bidang, lain seperti akustik dan sebagainya.
Tetapi penekanan yang pertama adalah instrumentasi. Pada
saat dosen-dosen Belanda diusir oleh Pemerintah Indonesia,
Fisika Teknik itu hampir mati. Saya terpaksa meneruskan ke luar
negeri. Jadi 5 orang mahasiswa Fisika Teknik yang pertama itu
meneruskan ke luar negeri, di antaranya Pak Pitoyo Sukarbowo meneruskan ke Kanada, Pak Subekti, Pak Suwardi, dan saya ke negeri

16

Konstruksi Fisika Teknik

Belanda. Semuanya sudah meninggal termasuk Pak Sumantri.
Pak Sumantri itu pendahulu saya. Dulunya beliau mengikuti
pendidikan Ahli Tera. Tetapi setelah Fisika Teknik didirikan, dia
menambah mata-mata kuliah sehingga menjadi insinyur kedua
di Fisika Teknik. Yang pertama adalah Insinyur Hartman, yang
mungkin juga sudah meninggal di Amerika Serikat.
Fisika Teknik itu sebenarnya sudah hampir bubar, karena
tidak ada dosennya. Satu-satunya dosen itu Prof. Adhiwijogo.
Tetapi kemudian datang Pak Iskandar Danu. Mereka memperjuangkan supaya Fisika Teknik tidak bubar. Mereka sangat
berjasa. Prof. Adhiwijogo itu lulus sebagai seorang insinyur sipil,
tetapi kemudian selalu bekerja di Fisika Teknik.
Almarhum Prof. Adhiwijogo juga salah satu yang bekerja
di dalam bidang riset di laboratorium Fisika Teknik. Prof. Adhiwijogo dulunya Asisten Prof. Woltjer, yang meneliti masalah
cosmic rays yang jatuh di Indonesia. Untuk mengukur itu, bengkel Fisika Teknik membuat sendiri Geiger Counter. Dulu bengkel
Fisika Teknik itu orangnya benar-benar hebat. Pak Supenir, Pak
Lukman, Pak Kusnadi, dan Pak Enjam itu semua teknisi jagoan
dalam bengkel. Mereka benar-benar men-support para ilmuwan
untuk mewujudkan sesuatu.
Saya dulu ke Belanda dengan beasiswa dari perusahaan
minyak B.P.M. (De Bataafsche
Petroleum Maatschappiy), dan
waktu kembali, saya harus bekerja di perusahaan minyak itu dulu
selama dua tahun. Waktu itu mahasiswa Fisika Teknik meminta
saya untuk menjadi dosen di
Fisika Teknik, sampai Prof. Gunarso minta ke pimpinan saya.
Dan akhirnya saya dipanggil dan
ditanya tentang pengalaman saya

17

Engineering Physics

yang masih kurang untuk menjadi dosen. Setiap kali saya cuti, mahasiswa selalu meminta saya, “kami perlu dosen-dosen.” Di antara
mahasiswa itu terdapat Pak Soegijanto.
Sesampai di Bandung saya tidak langsung ke ITB, saya
bekerja di Ralin, Phillips Indonesia. Tetapi di Ralin itu tidak lama.
Waktu itu saya jadi dosen luar biasa di ITB, kemudian menjadi dosen
tetap. Lalu saya mendirikan instrumentasi di ITB. Waktu Belanda
menawarkan bantuan, di zaman Orde Baru, akhirnya saya meminta Instrument Center, yang akhirnya menjadi Lembaga
Instrumentasi Nasional (LIN), yang semula berada di kampus.
ITB bukannya menyadari itu sebagai aset yang berguna, tetapi
malah diusir. Dari kampus dipindah ke Sangkuriang, dari Sangkuriang dipindah ke Serpong. Itu namanya exodus. ITB tidak ada
perhatian terhadap kegiatan ilmiah sampai sekarang.
Prinsip pertama dari pendidikan itu kan mengabdi pada
kebenaran, di mana setiap alat itu harus dikalibrasi. Instrumen
itu tidak bisa dipercaya begitu saja. Instrumen itu bisa dipercaya
setelah dikalibrasi, dan kalibrasinya juga harus benar. ITB tidak punya
alat kalibrasi, adanya di LIN yang Fisika Teknik dirikan.
Saya yang memperjuangkan agar LIN itu ada di kampus.
Tetapi tidak ada yang mem-backup saya. Memang waktu itu
kita mau mendirikan research center di Cibinong. Waktu itu saya
protes dan berhasil meyakinkan ketua MIPI, Pak Sarwono, bahwa
kegiatan ilmiah itu harus di kampus. Pak Sarwono meyakinkan
Pemerintah Pusat. Akhirnya tidak jadi ditempatkan di Cibinong,
tetapi di Kampus.
Bisakah Bapak bercerita lebih jauh tentang LIN?
Saya ketika itu menjabat wakil direktur LIN, direkturnya
Prof. Adhiwijogo. Penjabat direktur harus seorang guru besar,
meskipun ide-idenya kebanyakan dari saya. Yang menjadi
asisten direktur Bapak Zakaria (alm.). Saat itu rektor ITB, Ir. Koentoadji adalah orang luar yang ditempatkan di ITB. Waktu itu Pak
Koentoadji bertanya kepada saya, “You itu mau di ITB atau mau
di LIPI?” Saya ini orang ITB. Saya tidak melihat di mana salahnya
18

Konstruksi Fisika Teknik

jika penjabat LIN itu orang kampus. Lalu saya dipecat dari jabatan
sebagai wakil direktur. Yang menggantikan saya yaitu Pak Liem,
seorang lulusan Amerika, dan Insinyur Herudi yang juga lulusan
Fisika Teknik. Kemudian saya dikeluarkan, karena tidak mau
pindah ke LIPI. Jika waktu itu saya bersedia keluar dari ITB dan
pindah ke LIPI, mungkin saya masih berada di LIPI.
Secara prinsip saya setuju dengan konsep T.H. Bandung
dulu. Dulu di T.H. itu didirikan Laboratorium Hidrolika, yang
merupakan milik Departemen Pekerjaan Umum, Laboratorium
Bahan milik Departemen Perindustrian, Laboratorium Elektro milik Perusahaan Listrik, Laboratorium Transportasi milik
Departemen Perhubungan. Jadi, kementerian-kementerian itu
menempatkan laboratorium mereka di T.H. Dan yang memimpin
itu adalah prof. dari T.H. Memang benar bahwa LIN itu milik LIPI.
Tetapi bisa saja yang memimpin itu orang ITB. Namun akhirnya
semua exodus. Laboratorium Bahan pindah ke Sangkuriang, LIN
pndah ke Sangkuriang. Laboratorium Transportasi juga hilang.
Dulu kita ditawari oleh Belanda, Instrument Center untuk Fisika
Teknik. Hal ini diketahui Pemerintah Indonesia. Akhirnya pusat
menganggap LIN merupakan fasilitas ITB. Jatuhnya LIN ke LIPI
itu juga karena ITB tidak bisa mengapresiasi. Waktu itu Fisika
Teknik sudah punya Bengkel Instrumen dan SAIG (Sekolah Ahli
Instrumen Gelas) yang dibiayai sebagian oleh LIPI.
Bagaimana Masyarakat menilai lulusan Fisika Teknik?
Kalau kita lulus dan lalu menjadi bisnisman, itu sebenarnya
menyimpang. Seharusnya kerjanya di kegiatan ilmiah seperti di
LIN, LIPI, atau melakukan riset di industri. Tetapi, industri di negara
kita kebanyakan "anak perusahaan" dari luar negeri, sehingga
riset tersebut dilakukan di luar negeri. Mengapa sekarang ini
yang banyak dicari adalah lulusan komputer? Ini dikarenakan
komputer itu sangat populer. Tetapi semua lupa bahwa komputer itu memerlukan input data. To produce data itu lebih susah,
oleh karena kita harus melakukan measurement, dan kalau kita
kurang ahli dalam mengukur maka datanya itu "sampah". Kalau
"sampah" dimasukkan dalam komputer maka keluarnya juga
19

Engineering Physics

"sampah"—"Garbage in, garbage out".
Mengapa Fisika Teknik tidak disebut ‘teknik pengukuran’ saja,
kalau penekanannya pada measurement?
Di dalam Fisika Teknik itu ada lab-lab yang mengembangkan engineering physics, seperti Laboratorium Optikal, Laboratorium Material Science, dan lain-lain. Instrumentasi tetap
dipandang yang utama. Pak Adhiwijogo, misalnya, tertarik pada
Building Physics, dan dikembangkan lebih lanjut oleh Pak Soegijanto. Lalu ada Pak Iskandar Danusugondho
yang berminat pada Air
Conditioning. Material
Science dikembangkan
oleh Pak Soelardjo. Tetapi, saya tidak tahu apakah berhasil dikembangkan atau tidak. Bidang
instrumentasi akan bisa berkembang lebih hebat kalau kita bisa
bersatu, kalau visi kita sama. Tetapi untuk mencapai ini memang
susah. Dalam pidato pensiun saya mengatakan, “industrialization
without research is nonsense, research without instrumentation
is also nonsense.” Ini saya sampaikan dengan maksud agar di
ITB itu tumbuh kesadaran mengenai hal tersebut. Sejauh ini
kesadaran itu masih lemah.
Bagaimana Bapak melihat perkembangan kurikulum di Fisika
Teknik?
Saya itu sebetulnya kurang percaya dengan kurikulum.
Kurikulum itu diubah-ubah dengan istilah reformasi dan sebagainya. Yang penting itu adalah pelaksanaannya. Sedangkan
yang diperlukan oleh Fisika Teknik itu adalah laboratorium.
Saya pernah menulis untuk Berkala ITB tentang “Empiricism
and Computerism.” Komputer kini menjadi populer, dan banyak
orang belajar komputer. Tetapi yang dilupakan adalah bahwa
komputer memerlukan input. Dan untuk menghasilkan data
20

Konstruksi Fisika Teknik

itu susah, memerlukan orang-orang yang terdidik betul. Kita
harus tahu teknik mengukur yang benar, karena mengukur itu
sendiri adalah ilmu pengetahuan. Mengukur itu bukan sekadar
mengeluarkan alat dari lemari dan kemudian mengukur, bukan.
Mengukur adalah suatu proses. Sebelum kita mengukur kita
harus tahu apa yang diukur.
Seperti flow dalam pipa itu bermacam-macam jenisnya.
Ada flow jenis stationary, turbulent, dan sebagainya. Kalau kita
menggunakan alat ukur yang salah, apa yang akan diperoleh?
Nol. Pengukurannya salah. Dalam segala hal kita selalu harus
mengetahui apa yang mau diukur, dan ini memerlukan development tersendiri. Jika data yang diperoleh ternyata tidak betul,
kita harus tahu bagaimana membetulkannya, dan mengukur
dengan alat ukur yang lain. Kita tidak akan percaya pada alat
begitu saja. Harga yang pasti sulit dicapai, selalu saja ada error.
Tetapi mendapatkan data dan error-nya ini membutuhkan ilmu
pengetahuan fisika.
Melihat fenomena kurang berminatnya mahasiswa akan research,
bagaimana tanggapan Bapak?
Itu karena laboratoriumnya tidak ada. Coba laboratoriumnya ada, pasti mereka tertarik. Sebab saya berpendirian bahwa,
"learning should be fun;" belajar itu harus menyenangkan. Tidak
seperti sekarang. Kuliah itu bagai dipaksakan. Kita cuma dapat
dari satu pihak, seolah-olah ilmu pengetahuan itu dipompa,
dan kita harus percaya. Artinya mahasiswa ini dipompa dengan
ilmu yang mahasiswa sendiri tidak pernah melihat. Tetapi kalau
dia melihat what is happening, itu akan menyenangkan. Bukan
dosennya yang mengatakan “itu teh begitu.”Tetapi memang faktanya begitu. Ini sistem empiris, paham bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman. Kalau orang-orang membicarakan
"anti kekerasan," maka saya ini juga "anti kekerasan ilmiah."
Waktu saya mahasiswa, praktikum yang kami lakukan
adalah mengukur efek Raman. Kalau diceritakan efek Raman
itu satu menit sudah selesai, bahwa larutan emulsi yang disinari
dengan cahaya monokromatik, secara tegak lurus arah sinar,
maka ada dua sinar yang muncul. Jika frekuensi pada sinar
21

Engineering Physics

adalah f, maka yang keluar dari samping adalah f +

dan f

. Saya beberapa hari berada di bawah tanah, gelap sekali.
Efek Raman itu tampak kalau tidak ada penyinaran dari cahaya
lain. Penyinaran dilakukan selama 30 jam, dipotret dalam kondisi
diam. Prosesnya harus terkendali, harus konstan. Setelah 30 jam
kita cuci dan itu tidak langsung jadi, gagal, gagal, dan setelah
berulang kali akhirnya fotonya jadi. Untuk mengalami sendiri
efek Raman banyak yang harus dilakukan; diperlukan peralatan
dan ketekunan untuk mendapatkan hasil. Dan ini perlu untuk
riset dan memerlukan latihan. Jadi, bagaimana bisa menjadi
insinyur research yang baik kalau tidak memiliki pengalaman.
Bagaimana kita bisa mendidik sarjana-sarjana Fisika Teknik yang
bermutu tanpa laboratorium? Non-sense.
Dari dulu saya mengeluh. Saya membangun LIN untuk
mewujudkan kondisi seperti itu. Tetapi saya didepak. Orang
bilang bahwa “Pak Rachmad itu frustrasi”. Ini sama sekali tidak
benar. Dalam pendidikan dan perkuliahan saya membangkitkan
motivasi para mahasiswa. That’s all what I can do. Tetapi laboratorium tidak ada. Lalu saya bilang kepada mahasiswa, “anggap
laboratory kita itu industri.” Jika mahasiswa tugas akhir kepada
saya, maka saya bawa mahasiswa itu ke industri. Di industri mahasiswa harus selalu didampingi oleh dosen. Research semacam
itu adalah industrial research, dan mereka belajar banyak. Saya
tidak pernah sendirian saja mencari uang di industri. Saya selalu
membawa mahasiswa. Saya bilang kepada mahasiswa “kamu
jangan mengharapkan duit, karena yang paling diperlukan dari
industri itu adalah pengalaman.”
Jadi, inti dari semua pendidikan itu adalah mengabdi pada
kebenaran. Jadi tidak ada sikut-menyikut. Sampai pensiun saya
tidak pernah masuk Golkar. Akibatnya saya tidak pernah naik
pangkat menjadi guru besar. Tetapi saya tidak menyesal. Untuk
apa menjadi guru besar kalau tidak punya Laboratorium. Kalau
saya dikasih LIN kembali lalu dijadikan guru besar, saya mau.
Tetapi kalau dikasih LIN yang di Serpong dan lalu saya dijadikan
guru besar, no way.
22

Konstruksi Fisika Teknik

Menurut Bapak, riset seperti apa yang sebaiknya dikembangkan?
Ya ..., riset itu kan sebetulnya merupakan suatu kegiatan
nasional. Masalah-masalah di Indonesia itu kalau diinventarisir
ada macam-macam; pertanian, industri, dan sebagainya. Mestinya bangsa kita ini memiliki kemampuan untuk melakukan
riset di bidang-bidang tersebut secara berkelanjutan. Jadi kalau
muncul masalah, tinggal melihat file riset tersebut, "here is your
solution." Idealnya begitu. Tetapi kita ini reaktif. Kalau sudah
timbul masalah, baru kita berpikir untuk riset. Padahal riset itu
memerlukan upaya bertahun-tahun. Seharusnya bangsa yang
merdeka itu mampu menjawab masalahnya sendiri, dan mampu
melakukan forecasting ke depan. Itu sebetulnya persoalan kenegarawanan. Seorang negarawan itu harus bisa melihat jauh ke
depan. Negarawan kita itu siapa? Suharto, Habibie? Habibie itu
pintar sebenarnya, tetapi kepintarannya itu tidak bisa dalam
segala bidang. Negara-negara itu harus bisa memecahkan berbagai masalah lewat lembaga-lembaga penelitian sesuai dengan
bidangnya. Itu namanya faculty. Karena itulah di universitas ada
fakultas. Setiap fakultas itu memiliki kemampuannya masing-masing. Fakultas teknik berarti kemampuan untuk memecahkan
masalah-masalah teknik. Jadi, fakultas itu artinya kemampuan
memecahkan masalah. Kalau kita memiliki fakultas, tetapi tidak
memiliki kemampuan apa-apa, ya, dibubarkan saja.
Mengenai Bapak sendiri, apa yang membuat Bapak tertarik
pada Fisika Teknik?
Sebetulnya minat saya ketika masuk Fisika Teknik dulu di
bidang optik. Waktu saya belajar di Belanda, dan harus memilih
topik untuk tugas akhir, saya mendatangi para guru besar satu
per satu. Ternyata yang menerima saya itu Prof. Verhagen, dan
dia menawarkan saya untuk memperdalam instrumentasi. Ini
suatu kebetulan bagi saya, karena di Indonesia pada masa itu,
untuk penelitian di bidang optik belum tersedia fasilitas apaapa. Jadi instrumentasi itu sangat dibutuhkan di Indonesia. Riset
23

Engineering Physics

tanpa instrumentasi itu non sense.
Tetapi optika di Fisika Teknik kan sudah cukup maju?
Ya, itu kan setelah ada Pak Andrianto. Dia itu mahasiswa
saya. Mahasiswa saya yang pertama itu Pak Arifin Wardiman,
Pak Hadiwaratama, dan Pak Herudi. Lalu Pak Arifin itu punya
mahasiswa Pak Andrianto.
Kami lihat di ITS itu terdapat bengkel optik, dan mereka ahli melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti itu. Bagaimana dengan di ITB?
Ya, itu kan praktikum. Dulu di Fisika Teknik, ITB, ada praktikum membubut, meniup gelas, elektronika. Sekarang sudah
dihilangkan. Saya tidak tahu ke mana kita mau berkembang,
tidak jelas. Indonesia itu cenderung mengabaikan empiricism
system. Dan ketertinggalan itu menular. Ketika dosennya sendiri empirisismenya rendah, mahasiswanya pun ikut rendah.
Lama-kelamaan, sesuatu yang sebetulnya tidak baik dianggap
sebagai wajar-wajar saja. Kalau sekarang laboratorium itu tidak
ada, itu karena dianggap tidak perlu. Mengapa? Karena kata dosennya, “waktu saya mahasiswa dulu juga tidak pernah melihat
laboratorium.” Dulu sewaktu saya kembali dari Belanda, saya
bertanya-tanya, mengapa begini keadaannya? Padahal seharusnya
ada laboratorium itu. Pemerintah kita juga tidak menolong. Kita
punya menteri P&K, tetapi tidak menyadari pentingnya hal-hal
semacam itu. Berbeda dengan menteri P&K pada waktu pemerintahan Hindia-Belanda dulu. Mereka membuka Laboratorium
Hidrolika. Mereka bilang, “Ini bagus sekali. Ini untuk membuat
agar mahasiswa itu tidak dipaksa untuk menerima.”
Saya pernah bertanya kepada seorang Insinyur Sipil, apakah dia pernah melihat turbulensi. Jawabnya belum. Mengapa?
Karena laboratorium-nya tidak berfungsi untuk praktikum. Lebih
banyak dipakai untuk proyek, sehingga eksperimen-eksperimen
dasar tidak diperlihatkan pada calon-calon insinyur. Ini suatu penyimpangan! Kekerasan-pemaksaan dalam ilmu pengetahuan
itu banyak sekali terjadi. Ada seorang insinyur yang baru lulus,
yang tidak tahu apakah gaya coriolis itu.
24

Konstruksi Fisika Teknik

Kalau dulu dalam kuliah fisika, semua itu didemonstrasikan,
sehingga pemahaman dapat tertanam seumur hidup. Keadaan
ruang kuliah zaman dulu memiliki ruang preparasi, sehingga
setiap kuliah selalu dipersiapkan demo-nya. Demonstrasi itu
adalah suatu hal yang normal dalam kuliah. Kita harus melihatnya
sendiri, tidak boleh ada pemaksaan. Sekarang lihat, ITB membangun
ruang kuliah. Tetapi tidak ada ruang preparasinya. Kalau dulu waktu
saya di Kimia Teknik, ada kuliah dari Prof. Posthumus yang mendemonstrasikan bagaimana menemukan Bilangan Avogadro itu.
Jadi tidak perlu ada pemaksaan dalam pemahaman.
Saya pernah menghadiri sebuah International Conference
tentang multiphase flow di Jepang. Memang topik ini belum
banyak diketahui orang. Saya mendapat kesan bidang ini menarik sekali untuk dikembangkan di Indonesia, oleh karena kita
punya banyak perusahaan minyak. Crude oil itu kan tersusun atas
liquid, gas, dan air, dan terkadang ada solid-nya. Flow demikian itu
disebut “multiphase flow”. Kalau di sini ada perusahaan minyak,
dan minyak itu adalah andalan kita, alangkah baiknya kalau
kita mengadakan riset tentang aliran multiphase flow. Hufco
beberapa kali menanyakan persoalannya, mengapa kita kalau
mengukur minyak sering kali tidak cocok, error-nya besar sekali?
Jawab saya, “Ya kalian ini mengukur aliran minyak yang multiphase flow itu dengan menggunakan alat ukur singlephase.
Ya jelas tidak akan cocok.” Lalu dia tanya lagi, “Jadi bagaimana
koreksinya, Pak?” “Ya, koreksinya kita lihat saja, fasa yang dominan
itu apa. Lalu alat ukurnya dikalibrasi dengan fasa yang dominan.”
Lalu kami diberi tugas oleh Hufco itu untuk melakukan riset dan
diundang ke lapangan. Pada saat saya ke lapangan itulah saya
mendapatkan macam-macam persoalan. Lalu kami dibiayai.
Setelah itulah saya mulai bisa mengirim mahasiswa, dosen,
untuk ikut mengadakan penelitian di lapangan.
Menurut Bapak, kurikulum itu sebaiknya bagaimana; apakah
banyak mata kuliah yang bobotnya 2 SKS, atau sedikit mata
kuliah tetapi bobot SKS-nya besar?
25

Engineering Physics

Nah, ini pertanyaan yang baik, ya. Dulu waktu saya kuliah
di Fisika Teknik UI, karena dosen-dosennya orang Belanda, ada
18 mata kuliah dalam satu semester. Jadi dulu saya ujian 18 kali.
Pada Semester II, 18 mata kuliah lagi. Mengapa begitu? Karena
kebijakan Pemerintah Indonesia itu dulu begini. Honor yang
diterima dihitungnya begini; jam pertama itu sekian, jam kedua
dikurangi lagi, jam ketiga dikurangi lagi. Jadi akhirnya diakali
saja. Mata kuliahnya dipecah jadi banyak. Seperti di Fisika itu
ada mekanika, ada optik, begitu. Kuliahnya jadi banyak, ya. Dan
honor yang diterima dosen juga jadi banyak. Jadi masalahnya
itu uang. Ketika saya belajar di Negeri Belanda, mata kuliahnya
hanya 6, tetapi praktikumnya banyak. Di sana itu tidak menganut
sistem semester, tetapi per tahun. Di sana sistem ujiannya tidak
seperti di kita. Ujiannya lisan. Kita kalau mau ujian bisa setiap saat,
kita mendaftarkan diri ke sekretaris profesor. Kita tidak tahu
pertanyaan yang akan diberikan. Dan waktu saya jadi dosen, ujian
saya juga lisan. Tidak ada dosen di ITB yang ujiannya lisan, selain
saya. Mahasiswa mau ujian berapa kali juga boleh asal lulus. Kalau
tidak lulus, ya ujian lagi.
Saya dulu itu anti terhadap ujian tertulis ITB yang memakai
sistem semester. Kalau ujian lisan, mahasiswa bisa bertanya lagi
pada dosennya. Misalnya ada pertanyaan yang tidak dimengerti,
mahasiswa boleh bertanya lagi pada dosennya. Dari situ dosen
bisa tahu bahwa mahasiswa itu sebetulnya mengerti. Sebab
seorang mahasiswa yang tidak mengerti, dia pasti ngawur menjawabnya. Kalau mahasiswa bertanya, dia akan tahu apa yang
dia tidak tahu. Begitu juga kalau di kuliah. Jadi menurut saya,
pelaksanaan kuliah itu harus 2-way traffic.[]

26

Konstruksi Fisika Teknik

27

Engineering Physics

28

All Round Engineer
Wawancara dengan
Bapak Praptowidodo, Aloysius; Ir, M.Sc.
(TF-ITB, ’55, mantan Dosen TF-ITB)

Dapatkah Bapak memulai dengan
riwayat kuliah di Jurusan Fisika
Teknik?
Saya diterima di ITB akhir November 1955 yang saat itu masih
bernama Fakultas Teknik, Universitas
Indonesia, sebagai penerus Technische Hoogeschool Bandung;
yang pada masa pendudukan Jepang di Indonesia pernah
dikenal sebagai Bandung Kogio Daigaku. (Sekadar catatan
kecil: semasa Prof. Mr. Moh Yamin menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan awal 1952 pendidikan keinsinyuran ini
dinamai Fakultet Teknik, sebagai bagian dari sejumlah Fakultet
dari Universitet Indonesia Jakarta dengan Rektor Universitet
Prof. Dr. Bahder Djohan.). Di Bandung terdapat 2 fakultas,
Fakultas Teknik (FT) dan
Fakultas Ilmu Pasti dan
Ilmu Pengetahuan Alam
(FIPIA).
Secara resmi, saya
baru menjadi mahasiswa
Jurusan Fisika Teknik
pada awal Februari 1959
beberapa minggu sebe29

Engineering Physics

lum ITB diresmikan pada 2 Maret 1959 sebagai penggabungan
dari ke dua fakultas tadi, yakni Fakultas Teknik dan FIPIA. Perlu diketahui bahwa pendidikan keinsinyuran kala itu masih berkurikulum 5-5,5 tahun meski (proses) kependidikannya telah berubah
dari sistem studi bebas menjadi terpimpin (populer dengan
sebutan guided study) sejak awal tahun kuliah 1956, Agustus
1956. Pada awal studi terpimpin inilah dikenalkan Sistem Kredit
Semester (SKS) yang berbeda dari sistem sebelumnya, yakni
dengan cara mengumpulkan kartu bukti lulus (tentamen) bagi
setiap matakuliah yang diwajibkan pada setiap tingkat pendidikan
yang bersangkutan. Sistem kredit ini diperkenalkan sehubungan dengan,dan untuk pertama kalinya di Tanah Air, dimulainya
pelaksanaan kontrak kependidikan tinggi antara pemerintah
Republik Indonesia dengan pemerintah Amerika Serikat melalui
Kentucky Contract Team. Beberapa tenaga pengajar untuk berbagai jurusan yang ada, di Fakultas Teknik saat itu, didatangkan
dari University of Kentucky. Dua tahun sebelum itu, seorang
tenaga pengajar di Jurusan Fisika berwarga negara Amerika
Serikat, Prof. Dickinson (William) ikut berperan dalam reformasi
kependidikan tersebut.
Kedatangan Prof. Dickinson itu atas inisiatif siapa?
Saya tidak mengetahui secara tepat atas inisiatif siapa kedatangan Prof. Dickinson itu. Tetapi, hampir dapat dipastikan bahwa pemerintah, dalam hal ini Kementerian P&K, yang berinisiatif.
Faktual, kebijakan Prof. Dickinson pada awalnya telah mendapat
perhatian, dalam bentuk suatu protes, dari Dewan Mahasiswa kala
itu. Issue, yang sudah tentu tidak resmi, yang pernah beredar
dan ditangkap kala itu adalah bahwa beliau bukan berasal dari
kalangan akademik di negaranya. Di samping kebijakan di atas
itu, dia juga terkesan kuat tidak akan menghidupkan bagian
Fisika Teknik yang masih menyatu dengan bagian fisika. Dalam
upaya penghidupan kembali bagian Fisika Teknik ini saya perlu
menyebutkan rekan seangkatan saya, saudara Aldy Anwar (may
peace be upon him forever), yang dalam kapasitasnya sebagai
mahasiswa telah ikut berupaya, di samping, sudah barang tentu
30

Konstruksi Fisika Teknik

peranan penting para senior, seperti Iskandar Danusugondho,
Djali Ahimsa, Pitojo, Hidayat, dan lain-lain. Di atas itu semua
adalah peranan Prof. Ir. Go Pok Oen (Adhiwijogo) sebagai prinsipal, yang pada tahun 1959 menjabat sebagai ketua Bagian
Fisika ITB sebagai salah satu bagian dalam Departemen Ilmu
Pasti dan Ilmu Alam dengan Ketua Departemen Prof Ir. R. Goenarso dan sekretaris Prof. Dr. Ong Ping Hok.
Pada tahun 1962, Bagian Fisika Teknik bersama dengan
Bagian Kimia Teknik membentuk satu departemen, yaitu Departemen Fisika Teknik/Kimia Teknik dengan ketua departemen
Prof. Dr. Ir. R.M. Soemantri Brodjonegoro.
Apa yang dimaksud dengan ‘dihidupkan kembali’ itu?
Seperti sudah disebutkan di atas, sebagai suatu disiplin
ilmu, Fisika Teknik masih bersembunyi menyatu dengan Fisika.
Diartikan beberapa mahasiswa Fisika Teknik mengambil kuliah
dan praktikum bersama dengan mahasiswa Fisika, demikian
pula kebalikannya. Sementara itu bagian Fisika, telah memulai
dengan dua pembidangan bagian: fisika teoretis dan fisika
eksperimental. Pembidangan ini terkesan memberi kesempatan
bagi bagian Fisika Teknik untuk lebih mengeksplisitkan diri dan
pernah terpikir untuk memilih bidang fisika terapan, applied
physics. Pemikiran yang berkembang saat itu adalah: terdapat
perbedaan, lebih tepat ketidakmiripan, antara applied physics
dan engineering physics. Sementara belum dipastikan apa yang
akan dipilih salah satu di antara dua bidang itu, Prof. Go Pok Oen
telah merintis dan melaksanakan kuliah Akustik, Illuminasi dan
bahkan Refrigerasi, yang dua diantaranya menjadi matakuliah
layanan di jurusan lain, Elektroteknik dan Arsitektur.
Upaya penghidupan kembali seperti disebut di atas dapat
menjadi kenyataan dengan kedatangan kembali beberapa senior
petugas belajar dari luar negeri. Di antaranya adalah: Ir. Soewardi
n.i., Ir. Moh Soebekti Indrokoesoemo n.i., Ir. Rachmad Mohamad
n.i. di sekitar tahun 1958.
Jadi, pilihan nama Fisika Teknik itu memang berawal dari
31

Engineering Physics

pemaknaan kata-kata "insinyur fisika". Pernah ada pemikiran untuk memilih nama Engineering Science sebagai padanan untuk
Fisika Teknik, seperti pernah diajukan antara lain oleh saudara
Aldy Anwar; saya termasuk yang tidak menyetujui pilihan itu dan
memilih sebutan Engineering Physics sebagai gantinya.
Beberapa mata kuliah yang dapat disebut mengawali
pendidikan insinyur fisika pada sekitar awal 1958 di antaranya
adalah: Teori Kinetik Gas oleh Ir. Soewardi, Ilmu Bahan oleh Ir.
Soebekti, dan Instrumentasi oleh Ir. Rachmad Mohamad. Ikhwal
bidang instrumentasi, saya masih ingat dalam salah satu acara
petang hari penerimaan mahasiswa Fisika Teknik angkatan ’64
, mengawali tahun kuliah 1964 Ir. Rachmad Mohamad berkata
antara lain “Jurusan Fisika Teknik itu nantinya akan menjadi
jurusan Teknik Instrumentasi.” Meski pada saat itu saya sama
sekali tidak sependapat, karena Fisika Teknik itu seperti acapkali
dikemukan oleh Prof. Adhiwijogo adalah ibarat suatu "Master
Key" atau yang oleh negara asal kependidikan insinyur fisika di
sana, digunakan istilah insinyur all round seperti yang masih
dapat ditemukan dalam prospectus UTD (University of Technology Delft) 1981.
Selayaknya sekarang kita sudah tidak perlu lagi memperhatikan masalah yang masih sering pula dikemukakan, yakni
Fisika Teknik itu apa atau seperti apa. Biarlah Fisika Teknik itu
tumbuh menjadi pionir dalam berdisiplin dalam ilmunya, ibarat
suatu bunga yang tumbuh mekar di antara dan bersama dengan berbagai bunga dalam suatu taman sari bunga. Bukankah
dewasa ini disiplin Fisika Teknik telah memetik buahnya?
Buktinya, sekarang kita mengarah pada multidisiplin kan.
Maka sejak awal, yang dirancang dalam perkuliahan di Fisika
Teknik itu adalah mata-mata kuliah fundamental yang menyeluruh. Bukankah kita berhasil membuktikan berhasil dalam
perkuliahan. Lalu dalam pelaksanaannya sampai tahun 1972,
masih mengikuti pendidikan 5,5 tahun. Kuliah-kuliah tersebut
di antaranya Teori Medan Elektromagnetic dan Thermodinamika
diberikan selama satu tahun (2 semester), demikian pula Analisis
32

Konstruksi Fisika Teknik

Vektor juga satu tahun. Kemudian pada tahun 1972, dua tahun
sebelum akhir pelita pertama, ada keinginan pemerintah (hasrat
politik/political will) untuk memperketat pendidikan insinyur
dengan tidak terlalu banyak mata kuliah sehingga diharapkan
lulusannya menjadi sarjana siap pakai guna menyongsong
pelita berikutnya. Kuliah pun menjadi 4,5 tahun dengan setengah tahun pertama digunakan sebagai penyeragaman mata
kuliah (matrikulasi), yang dialami pertama kali oleh mahasiswa
angkatan ‘72. Sebagai konsekuensinya, kita harus memangkas
beberapa mata kuliah dasar yang diberlakukan pada tahuntahun sebelum 1972, dan lalu terciptalah kurikulum 4,5 tahun.
Saya memang sempat mengalami “frustrasi” dalam memberi
kuliah Medan Elektromagnetik yang diberikan hanya dalam satu
semester. Mulanya mata kuliah yang dikatakan mendominasi
adalah Akustik, Instrumentasi, Ilmu Bahan, dan Teori Panas. Namun
yang menjadi masalah adalah mata-mata kuliah wajib yang sudah
dipersiapkan untuk