Perbanyakan In Vitro dan Induksi Akumulasi Alkaloid pada Tanaman Jeruju (Hydrolea spinosa L)

PERBANYAKAN IN VITRO DAN INDUKSI AKUMULASI
ALKALOID PADA TANAMAN JERUJU (Hydrolea spinosa L.)

NOFIA HARDARANI

 
 
 
 
 
 

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Perbanyakan In
Vitro dan Induksi Akumulasi Alkaloid pada Tanaman Jeruju (Hydrolea spinosa

L.) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk karya apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

Nofia Hardarani
NRP A253080121

ABSTRACT

NOFIA HARDARANI. In Vitro Micropropagation and Induction of Alkaloid
Accumulation in Jeruju (Hydrolea spinosa L.). Supervised by AGUS PURWITO
and DEWI SUKMA.
Hydrolea spinosa is one of the potential plant for antimalarial drugs.
Alkaloid compound in this plant has antiplasmodial activity. Conventional
vegetative propagation through auxilarry branching was inhibited cause required
its habitation, i.e. wetland. Tissue culture as an alternative propagation technique

of this plant was required a protocol of its micropropagation. This method was
also used in the effort of the improvement of alkaloid content through various of
manipulation methods. The objectives of these research were to find out the effect
of plant regulators and explants types on shoot induction, proliferation and
elongation, calli induction of H. spinosa tissue culture, and to improved alkaloid
content with several methods in vitro. Shoot induction and proliferation was
studied using shoot tip and node segments within various concentration of BAP,
whereas calli induction from young leaf and stem explants used various
concentration of auxins (2.4-D and NAA) with high level of cytokinin (BAP).
Shoot elongation was carried using different strength of MS salts (full-, a half-,
one-quarter strength) and with or without addition of gibberellin (GA3). Precursor
amino acids (tryptophan), elicitor (salicylic acids) and high sucrose feeding (6%)
used to improve alkaloid content in calli and shoot cultures. Cytokinin level
produced a significant response on the numbers of shoot formed per explants and
also showed effect on node number. Both of shoot tip and node segments had an
equal potential as explants in shoot induction and proliferation. The presence of
plant growth regulator was important to induce calli but the level was no
significant effect on calli initiation. The young leaf explants was rather than stem
in calli induction. The half strength of MS salts produced rooting of the shoot with
vigorous performance. Planlets produced from elongation phase were

acclimatized and had viability as 75%. All of the treatments were not improve the
alkaloid content qualitatively.
Keywords: Hydrolea spinosa, in vitro micropropagation, alkaloid, precursor,
elicitor

RINGKASAN

NOFIA HARDARANI. Perbanyakan In Vitro dan Induksi Akumulasi Alkaloid
pada Tanaman Jeruju (Hydrolea spinosa L.). Dibimbing oleh AGUS PURWITO
dan DEWI SUKMA.
Hydrolea spinosa merupakan salah satu tanaman yang berpotensi sebagai
obat antimalaria. Masyarakat setempat di Kalimantan Selatan menyebut tanaman
ini sebagai Jeruju. Senyawa alkaloid dalam tanaman ini memiliki aktivitas
antiplasmodial. Pertumbuhan tunas aksilar tanaman ini terhambat apabila
dibudidayakan menggunakan media tanah karena membutuhkan lingkungan
seperti habitat aslinya, yaitu di lahan basah. Kultur jaringan menjadi alternatif
teknik perbanyakan sehingga diperlukan protokol perbanyakan in vitro untuk
tanaman ini. Teknik ini juga digunakan dalam upaya peningkatan kandungan
senyawa alkaloid melalui beberapa metode manipulasi. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menemukan pengaruh zat pengatur tumbuh dan jenis eksplan

terhadap induksi, proliferasi dan elongasi tunas, juga induksi kalus pada kultur
jaringan tanaman jeruju serta untuk menginduksi akumulasi senyawa alkaloidnya
melalui beberapa metode secara in vitro. Induksi dan proliferasi tunas
menggunakan eksplan pucuk dan buku dengan berbagai konsentrasi BAP,
sedangkan induksi kalus dari eksplan daun muda dan batang menggunakan
perlakuan berupa beberapa konsentrasi auksin (2.4-D and NAA) dengan sitokinin
(BAP) konsentrasi tinggi. Elongasi tunas dilakukan menggunakan media MS
dengan berbagai konsentrasi hara (penuh, setengah dan seperempat konsentrasi
hara) dan dengan atau tanpa penambahan giberelin (GA3). Prekursor asam amino
(triptofan), elisitor (asam salisilat) and pemberian sukrosa konsentrasi tinggi (6%)
digunakan untuk menginduksi akumulasi alkaloid pada kultur kalus dan tunas.
Konsentrasi sitokinin memberikan pengaruh yang berbeda nyata bagi jumlah
tunas per eksplan dan jumlah buku per eksplan. Baik eksplan pucuk maupun buku
memiliki potensi yang sama sebagai bahan tanam dalam induksi dan proliferasi
tunas. Keberadaan zat pengatur tumbuh penting bagi induksi kalus namun
konsentrasinya tidak berpengaruh nyata terhadap induksi kalus. Dalam induksi
kalus, eksplan daun lebih baik daripada eksplan batang. Media MS dengan
setengah konsentrasi hara menghasilkan perakaran dan tunas yang vigor. Tunas
hasil elongasi pada media MS ½ diaklimatisasi dan memiliki daya tumbuh sebesar
75%. Semua perlakuan induksi akumulasi alkaloid total tidak dapat menunjukkan

peningkatan aenyawa secara kualitatif.
Keywords: Hydrolea spinosa, perbanyakan in vitro, alkaloid, prekursor, elisitor

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan sebagian besar pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan.yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis
dalam bentuk apapun tanpa seijin IPB.

PERBANYAKAN IN VITRO DAN INDUKSI AKUMULASI
ALKALOID PADA TANAMAN JERUJU (Hydrolea spinosa L.)

NOFIA HARDARANI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Dosen Penguji : Dr. Ir. Shinto Wahyuning Ardie, M.Si.

Perbanyakan In Vitro dan Induksi Akumulasi Alkaloid pada
Tanaman Jeruju (Hydrolea spinosa L.)

Judul Tesis

:

Nama

: Nofia Hardarani


NRP

: A253080121

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Dewi Sukma, SP, M.Si
Anggota

Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr.
Ketua

Diketahui
Koordinator Mayor
Agronomi dan Hortikultura

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc.


Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

Tanggal Ujian: 25 Juli 2011

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena atas segala rahmat,
hidayah dan inayahNya maka penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini
berjudul Perbanyakan In Vitro dan Induksi Akumulasi Alkaloid pada Tanaman
Jeruju (Hydrolea spinosa L).
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr.
dan Dr. Dewi Sukma, S.P., M.Si. atas bimbingannya selama penelitian dan atas
sarana penelitian yang diberikan. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Ibu
Erma Agusliani, S.Pi., M.P. selaku Person in Charge bagi penulis dari tim
Pengelola program PHK-I Universitas Lambung Mangkurat yang telah
memberikan arahannya kepada penulis. Terima kasih kepada ketua dan seluruh
anggota Tim Pengelola PHK-I Unlam yang telah mendanai studi penulis di Mayor
Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terima kasih
kepada mbak Hemy Sriana, A.Md. dan Tamjidillah, S.P serta mbak Bakti Nur
Ismuhajaroh, S.P., M.P. yang telah sangat membantu dalam penyediaan bahan
tanaman untuk penelitian ini. Kepada mbak Juariah, mbak Siti Kholifah, Arrin
Rosmala, Kak Hilda Susanti, Bunda Atra Romeida, Mbak Kartika Ningtyas,
Primadiyanti Arsela, Julis Anton Merigo, Okti Hanayanti, Mbak Sulassih, Susi
Purwiyanti, S.P. dan Abdullah Bin Arif, S.P., M.Si. yang telah banyak membantu
penulis selama penelitian. Tidak lupa penulis juga mengucapkan banyak terima
kasih kepada rekan-rekan mayor PBT 2008 dan AGH 2008 atas persahabatan
yang terjalin. Terakhir penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua
atas doa, dukungan dan kasih sayang yang selalu diberikan kepada penulis.
Semoga Karya Ilmiah ini memberikan manfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Juli 2011
Nofia Hardarani

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banjarbaru tanggal 6 Agustus 1981 dari ayah
Wartono dan ibu Titi Windaryani. Penulis merupakan anak pertama dari dua

bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi, Jurusan
Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat
(Unlam) Banjarmasin, dan lulus tahun 2004.
Pada tahun 2006, penulis diterima menjadi Staf Pengajar di Jurusan
Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Unlam. Melalui program PHK-I Unlam
tahun 2008, penulis mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi pada Sekolah
Pascasarjana IPB pada program magister dengan mayor Pemuliaan dan
Bioteknologi Tanaman, Fakultas Pertanian.

 

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL......................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR.................................................................................

xii

DAFTAR LAMPIRAN.……………………………………………………..


xiii

PENDAHULUAN…………………………………………………………...
Latar Belakang........................................................................................
Tujuan…………………………………………………………………...
Hipotesis..................................................................................................

1
1
3
3

TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………..
Tanaman Jeruju (Hydrolea spinosa L.) sebagai Obat Anti Malaria…..
Tanaman Jeruju sebagai Obat Tradisional………………..............
Penyakit Malaria dan Permasalahannya……………………….............
Penelitian Jeruju sebagai Obat Anti Malaria…………………........
Peran Kultur Jaringan dalam Pengembangan Tanaman Obat Anti
Malaria…………………………………………………………………..
Perbanyakan Tanaman secara In Vitro……………………………
Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh pada Kultur Jaringan…...........
Upaya Peningkatan Kandungan Metabolit Sekunder secara In
Vitro………………………………………………………………...
Kultur Kalus dalam Upaya Peningkatan Kandungan Senyawa
Metabolit Sekunder…...…...……………………………………….

5
5
6
7
8

20

METODOLOGI PENELITIAN…………………………………………......
Waktu dan Tempat..................................................................................
Bahan dan Alat........................................................................................
Metode Percobaan ……..........................................................................
Persiapan Bahan Tanam .........................................................................
Sterilisasi Eksplan………………...........................................................
Pembuatan Media Tanam In Vitro..........................................................
Perbanyakan Tanaman secara In Vitro...................................................
Induksi dan Proliferasi Tunas..........................................................
Elongasi Tunas In Vitro…………………………………………….
Induksi Akumulasi Alkaloid Total secara In Vitro…………..…….......
Induksi Kalus...................................................................................
Induksi Akumulasi Alkaloid Total ………………………………..

22
22
22
23
23
23
24
24
24
26
27
27
29

HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………...
Perbanyakan Tanaman secara In Vitro...................................................
Induksi dan Proliferasi Tunas..........................................................
Elongasi Tunas In Vitro…………………...……………………….
Induksi Akumulasi Alkaloid Total secara In Vitro…………..…….......
Induksi Kalus...................................................................................

31
31
31
38
44
44

9
10
11
13

Induksi Akumulasi Alkaloid Total..……………………………….

51

SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………….

57

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................

58

LAMPIRAN…………………………………………………………...

68

DAFTAR TABEL
Halaman
31

1

Rataan waktu muncul tunas dari eksplan pucuk dan buku………..

2

Interaksi konsentrasi BAP dengan eksplan pucuk dan buku terhadap
jumlah tunas per eksplan pada pengamatan 4 MST …………………..

32

Interaksi konsentrasi BAP dengan eksplan pucuk dan buku terhadap
jumlah buku per eksplan pada pengamatan 4 MST...............................

35

Rataan tinggi tunas dan bobot basah tunas umur 4 MST pada media
elongasi (tinggi awal eksplan 0.5 cm)……………...........................

39

Rataan waktu muncul akar serta panjang dan jumlah akar umur 4 mst
pada media elongasi....................................................................

42

Rataan waktu muncul kalus dan bobot basah kalus dari eksplan daun
dan batang...................................................................................

45

Interaksi jenis dan konsentrasi ZPT dengan eksplan daun dan batang
terhadap persentase jumlah eksplan yang membentuk kalus pada 4
MST …………………………………………………………………..

48

Rataan pertambahan bobot basah kalus hingga akhir waktu induksi
alkaloid dan kadar air kalus………………………………….............

51

Rataan pertambahan bobot basah tunas hingga akhir waktu induksi
alkaloid dan kadar air tunas………………………………….............

52

Analisis kandungan senyawa alkaloid secara kualitatif dengan metode
Bouchardat dan Mayer…………………………………….................

54

3

4

5

6

7

8

9

10

DAFTAR GAMBAR
1
2

Halaman
Bagan alir pelaksanaan penelitian .........................................................
4
Tanaman jeruju pada habitatnya (a) dan yang ditanam di polybag
(b)....................................................................................................

5

3

Struktur kimia asam amino triptofan (a) dan asam salisilat (b).............

16

4

Biosintesis alkaloid indol dengan prekursor triptofan (Kutchan
1995)………………………………................................................

16

Signaling kunci pada reaksi yang dipacu oleh proses elisitasi
(Vasconsuelo dan Boland 2007)...........................................................

18

Tanaman jeruju in vivo di media air (a), sumber eksplan in vivo (b)
dan sumber eksplan in vitro (c).........................................................

24

Pendugaan hubungan linier antara jumlah tunas per eksplan pada 4
MST (Y) dan konsentrasi BAP (X) dari eksplan pucuk dan buku .......

33

Representasi tunas pada media induksi dan proliferasi tunas: (a)
eksplan awal (dari pucuk dan buku batang); (b) MS + BAP 0.0 ppm
pada umur 4 MST; (c) MS + BAP 5.0 ppm pada umur 4 MST ............

36

Representasi tinggi tunas pada media elongasi pada umur 4 MST: (a)
MS ½; (b) MS ¼ + GA3 1 ppm …….....................................................

39

Tunas aksilar tumbuh setelah batang dekat ujung patah karena
nekrosis [tanda panah] (a); tunas aksilar yang tumbuh pada tahap
proliferasi [tanda panah] (b)…………………………………...............

40

Representasi perbandingan akar tunas pada media elongasi umur 4
MST: (a) MS ¼; (b) MS ½; (c) MS; (d) MS ¼ + GA3 1 ppm; (e) MS
½ + GA3 1 ppm; (f) MS + GA3 1 ppm ..................................................

42

Representasi planlet sebelum aklimatisasi (a) dan bibit hasil
aklimatisasi umur 3 MST (b)………………………………………..

43

Representasi : eksplan daun awal (a); eksplan daun yang tidak
berkalus pada umur 4 MST (b); eksplan daun yang berkalus pada
umur 4 MST (c); eksplan batang awal (d); eksplan batang yang tidak
berkalus pada umur 4 MST (e); eksplan batang yang berkalus pada
umur 4 MST (f)….……………………………………….....................

46

Representasi kalus yang berakar dari media dengan penambahan
NAA (a) dan kalus yang berwarna kehijauan (b)…………………......

50

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

Hasil analisis alkaloid secara kualitatif menggunakan reagen
Bouchardat (a) dan reagen Mayer (b)…………………………………

55

DAFTAR LAMPIRAN
1

Halaman
Data kasus malaria di Kalimantan Selatan …………………………..
68

2

Lokasi pengambilan sumber tanaman ………………………………..

69

3

Hasil identifikasi/determinasi tumbuhan...............................................

70

4

Komposisi hara dalam media Murashige and Skoog ...........................

71

5

Cara membuat reagen Mayer dan Bouchardat.................................

72

1
 

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit dari genus
Plasmodium. Penyakit ini menjadi salah satu penyakit menular di sebagian besar
daerah di Indonesia yang beriklim tropis. Kondisi iklim yang panas dan lembab
menjadi tempat yang ideal bagi berkembangbiaknya vektor penyakit malaria,
yaitu nyamuk Anopheles spp. (Lusiana 2009). Di daerah Kalimantan Selatan,
terjadi peningkatan jumlah penderita dan korban jiwa akibat serangan penyakit
malaria. Pada tahun 2006 terdapat 800 kasus malaria, lima orang diantaranya
meninggal dunia. Kasus malaria meningkat pada tahun 2009, yaitu 3 000 kasus
dengan 13 (tiga belas) orang meninggal dunia (Lampiran 1), sehingga di beberapa
kabupaten penyakit ini ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB) (DinKes
Kalsel 2009).
Pengobatan malaria di Indonesia sejak lama menggunakan obat
antimalaria kelompok kuinolin (umumnya klorokuin). Namun, klorokuin
dilaporkan mengalami penurunan efektivitas dalam menanggulangi malaria
karena adanya masalah resistensi parasit terhadap obat antimalaria tersebut (Tjitra
2004). Uji sensitivitas klorokuin di Kintap Kabupaten Tanah Laut Provinsi
Kalimantan Selatan oleh Hananto pada tahun 2001 menunjukkan bahwa parasit
malaria di daerah tersebut telah resisten terhadap klorokuin. Masalah resistensi
dalam terapi malaria ini membawa kepada kebutuhan akan adanya obat baru yang
efektif untuk malaria, terutama untuk spesies Plasmodium falciparum yang sering
mengakibatkan penyakit malaria berat (Istiana dan Hayatie 2009). Hal ini
mendorong para peneliti untuk berupaya menemukan antimalaria baru
(Syamsudin 2008).
Masyarakat Indonesia banyak yang menggunakan tanaman tertentu untuk
tujuan pengobatan berdasarkan pengalaman empiris dimana senyawa metabolit
sekunder di dalamnya mempunyai khasiat obat (Kusumawati et al. 2003). Di
daerah seperti Kalimantan Selatan, masih banyak tanaman yang berpotensi
sebagai obat dan belum dieksplorasi. Salah satunya adalah tanaman Hydrolea
spinosa L. Berdasarkan kajian etnobotani oleh Dharmono (2007), tanaman ini
 
 


 

dikenal masyarakat dengan jeruju dan digunakan sebagai obat antimalaria.
Melihat potensi tanaman jeruju tersebut, terbuka peluang bahwa tanaman ini dapat
menjadi salah satu tanaman yang dapat menjadi alternatif obat antimalaria.
Menindaklanjuti hasil kajian tersebut, dilakukan pengujian fitokimia oleh tim dari
Farmasi Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) pada tanaman
ini. Hasil studi menunjukkan adanya senyawa alkaloid yang diduga memiliki
aktivitas sebagai antimalaria (Sutomo et al. 2009). Tim dari Fakultas Kedokteran
Unlam kemudian melakukan uji aktivitas antiplasmodial terhadap senyawa
alkaloid tanaman ini dan memperoleh data yang menunjukkan adanya
kemampuan menurunkan jumlah parasitemia Plasmodium (Istiana dan Hayatie
2009).
Pemanfaatan tanaman sebagai bahan obat yang berkualitas tinggi dalam
jumlah yang besar akan memerlukan teknik budidaya yang intensif. Tujuan
tersebut dapat diperoleh dengan teknik perbanyakan in vitro. Teknik ini juga dapat
menghasilkan bibit yang tersedia sepanjang waktu dan seragam (Yunita dan
Lestari 2008). Terlebih lagi perbanyakan stek secara in vivo dari tanaman ini
membutuhkan media yang sesuai dengan habitatnya, yaitu di lahan basah (Nisa et
al. 2009). Hal ini menyebabkan perbanyakan melalui kultur jaringan menjadi
alternatif dalam produksi bibit tanaman jeruju.
Optimasi dalam induksi tunas dan akar menjadi tahapan penting dalam
protokol perbanyakan tanaman secara in vitro. Dalam upaya peningkatan
kandungan alkaloid melalui kultur kalus, produksi kalus merupakan tahapan
penting yang perlu dilakukan pengkajian optimasinya (Pandiangan dan
Nainggolan 2006). Jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh (ZPT) untuk
pembentukan tunas, akar dan multiplikasinya serta induksi kalus dan
proliferasinya menjadi penelitian awal yang perlu dilaksanakan.
Upaya

menginduksi

akumulasi

alkaloid

dilakukan

agar

dapat

meningkatkan khasiat tanaman sebagai obat (Istiana dan Hayatie 2009). Induksi
produksi alkaloid dapat dilakukan secara in vitro, antara lain melalui kultur kalus
dan kultur tunas. Hal ini telah dibuktikan pada penelitian Taha et al. (2009) dalam
produksi alkaloid indol dari kalus tanaman Catharanthus roseus dan alkaloid
tropan dalam kultur tunas pada Datura stramonium (Amdoun et al. 2009).

3
 

Beberapa metode untuk meningkatkan akumulasi alkaloid dapat
dilakukan, seperti melalui elisitasi, penambahan prekursor dan peningkatan suplai
karbohidrat (Rothe et al. 2001). Kang et al. (2003) menyatakan bahwa pada
pemberian elisitor asam salisilat 138 ppm selama 48 jam pada tanaman Scopolia
parviflora dapat meningkatkan kandungan senyawa alkaloid hyosiamin.
Penambahan asam amino triptofan 100 ppm pada kultur Catharanthus roseus
selama tujuh hari dapat meningkatkan produksi alkaloid indol terpenoid karena
triptofan merupakan prekursornya (Pitoyo et al. 2003). Peningkatan senyawa
kalistegin dapat dicapai dengan pemberian sukrosa 6% selama empat hari pada
kultur tanaman Atropa belladonna (Rothe dan Drager 2002).
Sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai perbanyakan
dan induksi akumulasi senyawa alkaloid pada tanaman jeruju melalui kultur
jaringan. Hal ini yang mendasari dilakukannya penelitian ini. Bagan alir dari
penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
1.

Memperoleh protokol perbanyakan tanaman secara in vitro, yaitu konsentrasi
ZPT yang terbaik untuk induksi, proliferasi dan elongasi tunas serta untuk
induksi kalus.

2.

Memperoleh metode induksi akumulasi alkaloid yang dapat meningkatkan
alkaloid secara kualitatif.
Hipotesis

1. Terdapat konsentrasi BAP yang terbaik untuk induksi dan proliferasi tunas in
vitro jeruju dari eksplan pucuk dan buku.
2. Terdapat media yang terbaik untuk elongasi tunas in vitro jeruju.
3. Terdapat konsentrasi dan jenis ZPT yang terbaik untuk induksi kalus jeruju
dari eksplan daun dan batang.
4. Terdapat pengaruh dari metode penginduksi akumulasi alkaloid secara in vitro
pada kultur kalus dan tunas in vitro jeruju.

 
 


 

Kultur air jeruju sebagai
sumber bahan tanam

Pucuk dan buku in vivo sebagai
eksplan untuk perbanyakan in vitro

Sumber eksplan in vitro

Induksi kalus dari eksplan daun
dan batang dengan kombinasi
BAP dengan 2.4-D/NAA

Induksi dan proliferasi tunas
dari eksplan pucuk dan buku
dengan BAP

Media induksi kalus
yang terbaik

Media induksi tunas
yang terbaik

Proliferasi kalus

Induksi akumulasi alkaloid dengan:
• Prekursor asam amino triptofan
• Elisitor asam salisilat
• Sukrosa tinggi

Elongasi tunas dengan
atau tanpa GA3

Performa tunas terbaik
Analisis alkaloid
Aklimatisasi

Metode induksi akumulasi
alkaloid terbaik 

Gambar 1 Bagan alir pelaksanaan penelitian.
 

Protokol perbanyakan
tanaman terbaik 

5
 

TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Jeruju (Hydrolea spinosa L.) sebagai Obat Anti Malaria
Tanaman Hydrolea spinosa L. merupakan salah satu tanaman yang
tumbuh di habitat rawa (Gambar 2). Tanaman ini banyak ditemukan di daerah
dengan ketinggian < 50 m di atas permukaan laut (mdpl), yaitu tepian sungai dan
rawa di Kalimantan Selatan. Masyarakat setempat menyebut tanaman ini dengan
nama lokal yaitu Jeruju (Dharmono 2007).

a

b

Gambar 2 Tanaman jeruju pada habitatnya di lahan rawa (a) dan yang ditanam di
polybag dengan media tanah (b).
Tanaman ini merupakan herba tahunan dengan batang tegak berbentuk
silinder atau sebagian batang merayap. Tinggi tanaman antara 0.6 – 1.3 meter.
Batang berwarna hijau, berbulu halus berwarna putih dan berduri yang terletak
aksilar. Setiap sudut antara duri dan batang muncul tunas baru sehingga sering
bercabang. Helaian daun memanjang bentuk lanset dan bertepi rata, tulang daun
menyirip, berbau tak enak dan berasa pahit. Tangkai bunga tegak ujung
mengangguk, bunga berdiri sendiri, kelopak berbagi 5, hijau dan berbulu halus.
Tabung mahkota berbentuk corong, mahkota berwarna ungu. Buah buni berbentuk
memanjang. Buah duduk pada dasar bunga yang melebar ditambah sisa-sisa dari
kelopak (Heryani et al. 2008).

 
 


 

Secara taksonomi, klasifikasi tanaman jeruju adalah sebagai berikut.
Kingdom

: Plantae

Subkingdom

: Tracheobionta

Superdivision

: Spermatophyta

Division

: Magnoliophyta

Class

: Dicotyledonae

Subclass

: Asteridae

Order

: Tubiflorae (Solanales)

Family

: Hydrophyllaceae

Genus

: Hydrolea

Spesies

: Hydrolea spinosa L.

Tanaman jeruju hidup di daerah lembab atau rawa-rawa. Di daerah seperti
ini tanaman jeruju dapat ditemukan berlimpah tetapi secara keseluruhan habitat
tanaman ini termasuk jarang. Hal ini menyebabkan tanaman jeruju merupakan
salah satu indikator dari lahan basah. Tanaman ini tumbuh dengan baik pada
lingkungan dengan intensitas cahaya 1000 - 1500 lux, kelembaban tanah 80 – 100
% dan kelembaban udara 74 – 82 %. Ketinggian tempat yang ideal untuk
pertumbuhan tanaman ini adalah 50 – 560 mdpl (Dharmono 2007).

Tanaman Jeruju sebagai Obat Tradisional
Informasi tentang pemanfaatan bagian tanaman sebagai obat oleh
masyarakat di berbagai daerah di Kalimantan Selatan diperoleh dari beberapa
kajian etnobotani. Menurut Dharmono (2007), tanaman ini digunakan masyarakat
Dayak Bukit Loksado di Daerah Hulu Sungai Selatan sebagai obat malaria, obat
batuk berdarah, obat luka dan bisul serta pengusir nyamuk (repellent). Bagian
tanaman yang digunakan adalah daun dan batang. Masyarakat Dayak Bakumpai di
daerah Barito Kuala (Dharmono 1998) serta masyarakat setempat di wilayah Hulu
Sungai Tengah (Heryani et al 2008) dan Hulu Sungai Selatan (Ramli dan
Dharmono 1997) menggunakan tanaman ini sebagai obat penurun panas dan anti
malaria. Sementara masyarakat di Kabupaten Tanah Laut memanfaatkan daunnya
sebagai obat penyakit darah tinggi selain sebagai anti malaria (Dharmono 1997).

7
 

Bagian tanaman yang berkhasiat diseduh dan diminum airnya (Heryani et al.
2008).

Penyakit Malaria dan Permasalahannya
Malaria masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang
penting terutama di negara-negara tropik. Indonesia menjadi salah satu daerah
endemik untuk penyakit ini karena memiliki iklim yang panas dan lembab yang
merupakan tempat ideal bagi perkembangbiakan vektor penyakit ini, yaitu
nyamuk Anopheles (Lusiana 2009). Penyakit ini disebabkan oleh parasit bersel
tunggal yang tergolong protozoa obligat intraseluler dari Plasmodium.
Plasmodium falciparum merupakan spesies yang paling berbahaya terhadap
manusia karena dapat menyebabkan infeksi akut dan berat serta dapat
menimbulkan kematian. Parasit ini ditularkan kepada manusia melalui vektor
berupa nyamuk Anopheles betina (Aryanti et al. 2006).
Berbagai upaya pemberantasan malaria telah dilakukan tetapi kasus
penderita malaria masih tetap tinggi. Hal ini disebabkan adanya berbagai
hambatan dalam pemberantasan malaria, diantaranya resistensi vektor terhadap
insektisida dan resistensi parasit terhadap obat anti malaria. Resistensi parasit
malaria terhadap klorokuin muncul pertama kali di Thailand pada tahun 1961 dan
di Amerika Serikat pada tahun 1962. Dari kedua tempat ini, resistensi menyebar
ke seluruh dunia. Di Indonesia resistensi P. falciparum terhadap klorokuin
pertama kali dilaporkan di Samarinda pada tahun 1974, kemudian resistensi ini
terus menyebar dan pada tahun 1996 kasus-kasus malaria yang resisten klorokuin
sudah ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia (Tarigan 2003).
Selama ini, berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi masalah
penyakit menular melalui vektor tersebut, baik secara fisik, kimia, maupun
pengendalian hayati (Widyastuti et al. 2008). Usaha pemberantasan nyamuk
biasanya dilakukan dengan cara penyemprotan, namun hal ini berdampak
menimbulkan masalah baru yakni pencemaran lingkungan. Upaya pengobatan
penderita malaria juga menemui kendala dimana telah terjadi resistensi
Plasmodium terhadap senyawa klorokuin yang digunakan sebagai obat (Aryanti et
al. 2006). Resistensi Plasmodium, khususnya P. falciparum telah menjadi

 
 


 

masalah yang serius karena mengakibatkan terjadinya kegagalan dalam
pengobatan dan meningkatnya kematian akibat malaria. Hal ini telah mendorong
para peneliti untuk berupaya menemukan antimalaria baru guna menggantikan
obat antimalaria, seperti klorokuin yang sudah tidak efektif lagi (Syamsudin
2008).
Pengobatan penyakit malaria di suatu daerah dengan menggunakan
tanaman yang tumbuh di daerah tersebut telah dilakukan penduduk secara turuntemurun. Adanya tanaman sebagai obat mengindikasikan adanya kandungan
senyawa bioaktif pada tanaman tersebut (Aryanti et al. 2006). Upaya yang
dilakukan untuk mengetahui senyawa bioaktif yang terkandung pada suatu
tanaman yang berkhasiat obat dilakukan melalui eksplorasi senyawa aktif dari
tanaman tersebut, seperti tanaman obat yang secara tradisional digunakan
masyarakat untuk mengobati malaria. Tumbuhan obat merupakan salah satu
sumber bahan baku antimalaria karena beberapa senyawa aktif yang terkandung di
dalam tumbuhan tersebut memiliki efek antimalaria yang kemungkinan memiliki
mekanisme kerja yang berlainan serta dapat dikembangkan sebagai antigen dan
vaksin antimalaria (Syamsudin 2008).

Penelitian Jeruju sebagai Obat Anti Malaria
Belum banyak dilakukan penelitian pada tanaman jeruju. Berdasarkan
hasil dari kajian etnobotani mengenai pemanfaatan tanaman ini, tim peneliti dari
Farmasi Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Kalimantan
Selatan melakukan pengujian terhadap senyawa fitokimia yang terkandung di
dalamnya. Pada karakterisasi golongan senyawa bioaktif dalam tanaman ini
diperoleh hasil bahwa tanaman ini mengandung senyawa alkaloid, flavonoid dan
tanin. Senyawa alkaloid tersebut diduga memiliki aktivitas sebagai antimalaria
(Sutomo et al. 2009). Hasil ekstraksi penelitian tersebut kemudian diuji aktivitas
antiplasmodialnya untuk mengetahui seberapa besar potensi tanaman ini sebagai
obat antimalaria. Sampai saat ini masih belum dilakukan analisis lanjut untuk
mengetahui senyawa alkaloid spesifik yang memiliki aktivitas sebagai
antimalaria.

9
 

Uji aktivitas antiplasmodial terhadap senyawa alkaloid yang berasal dari
ekstrak daun tanaman ini dilakukan oleh tim penelitian dari Fakultas Kedokteran
Unlam. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstraksi tanaman ini memiliki
kemampuan menurunkan jumlah parasitemia Plasmodium. Pada perlakuan 300
mg/kg ekstrak tanaman ini memberikan penurunan parasitemia Plasmodium
sebesar 68.40% (Istiana dan Hayatie 2009).

Peran Kultur Jaringan dalam Pengembangan Tanaman Obat Anti Malaria
Tumbuhan merupakan sumber utama senyawa-senyawa kimia yang
digunakan sebagai bahan pengobatan penyakit malaria yang dapat menggantikan
klorokuin. Di beberapa negara telah dilaporkan upaya menemukan tanamantanaman yang berkhasiat sebagai obat penyakit malaria. Di Jepang dilakukan
pengujian aktivitas antimalaria dari ekstrak tanaman Hydrangea macrophylla
(Kamei et al. 2000). Di Afrika juga melakukan hal yang sama terhadap tanaman
Swartzia madagascariensis, Combretum glutinosum dan Tinosprora bakis
(Ouattara et al. 2006).
Sebagian besar senyawa tersebut diekstrak dari spesies tumbuhan yang
tumbuh di alam secara liar atau yang telah dibudidayakan. Cara tersebut memiliki
kelemahan, seperti sangat dipengaruhi oleh musim, memerlukan waktu yang lama
dan keterbatasan lahan pertanian. Permasalahan juga dapat ditemui dalam
budidaya tanaman secara konvensional, seperti sulitnya tanaman dalam
beradaptasi dengan lingkungan pembudidayaan. Hal ini terjadi pada tanaman
jeruju dimana percabangan tunas aksilar tanaman ini lebih terhambat jika ditanam
di media tanah. Tanaman ini memerlukan lingkungan tumbuh yang sesuai dengan
habitatnya, yaitu di rawa-rawa untuk dapat tumbuh dengan percabangan tunas
aksilar yang banyak. Tunas yang banyak diperlukan sebagai bahan simplisia yang
memiliki khasiat obat sehingga diperlukan bibit dalam jumlah besar untuk
memenuhi kebutuhan ekstraksi senyawa aktif.
Biji tanaman ini juga tumbuh lambat sehingga tidak ideal jika digunakan
sebagai bahan tanam dalam produksi tanaman yang cepat (Nisa et al. 2009).
Kebutuhan akan budidaya alternatif untuk menghasilkan bibit dalam jumlah besar
dengan waktu yang relatif singkat pada tanaman ini menjadi semakin tinggi.

 
 

10 
 

Teknik in vitro merupakan teknik yang potensial untuk memenuhi kebutuhan
tersebut.
Metode kultur jaringan juga menjadi alternatif cara untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapi dalam budidaya tanaman Artemisia annua L.
Tanaman ini mengandung senyawa artemisinin yang diketahui efektif terhadap
Plasmodium. Perbanyakan tanaman ini secara konvensional di Indonesia
menghasilkan senyawa artemisinin yang rendah sehingga dilakukan upaya
peningkatan senyawa ini melalui kultur akar rambut (BB Biogen 2007).

Perbanyakan Tanaman secara In Vitro
Kultur jaringan sebagai teknik budidaya sel, jaringan dan organ tanaman
dalam keadaan aseptik mengandung dua konsep dasar, yaitu bahan tanam yang
bersifat totipotensi dan budidaya terkendali. Sifat totipotensi lebih banyak dimiliki
oleh bagian tanaman yang masih juvenil dan terdapat pada daerah meristem
tanaman dibandingkan dengan bagian tanaman yang sudah dewasa. Sifat bahan
yang totipotensi saja tidak cukup untuk kesuksesan perbanyakan tanaman melalui
kultur jaringan. Komposisi hara media tempat tumbuh, lingkungan yang
mempengaruhinya (kelembaban, temperatur dan cahaya) serta keharusan sterilitas
adalah hal mutlak yang harus dikendalikan (Santoso dan Nursandi 2000).
Perbanyakan melalui teknik kultur jaringan memiliki keunggulan lain
dibandingkan teknik perbanyakan konvensional, yaitu pekerjaan yang dilakukan
di laboratorium sehingga pelaksanaannya tidak tergantung pada musim dan faktor
lingkungan lain serta tidak memerlukan tempat pembibitan yang luas (Lestari
2008). Selain itu, teknik ini dapat mengatasi kendala yang umumnya dialami
dalam upaya pemenuhan permintaan bibit berskala besar, yaitu masalah
transportasi. Penggunaan bibit yang berasal dari kultur jaringan dapat menghemat
waktu dan biaya yang cukup besar dalam hal transportasi (Hendaryono dan
Wijayani 1994).
Dalam kultur jaringan diperlukan beberapa komponen utama, yaitu bahan
awal (starting materials), media dan lingkungan kultivasi yang sesuai. Bahan
awal yang dapat digunakan untuk kultur jaringan (eksplan) dapat berupa buku,
daun muda, tunas apikal dan aksilar, tangkai daun, akar, antera, polen, ovul dan

11
 

sebagainya (Yuwono 2008). Pemilihan penggunaan jenis eksplan tergantung pada
tipe kultur yang akan diinisiasi, tujuan kultur dan jenis tanaman yang digunakan
(George dan Sherrington 1984).
Pemilihan sumber tanaman sebagai eksplan merupakan tahap 0 dalam
protokol perbanyakan tanaman in vitro. Tahap I adalah tahap sterilisasi eksplan
untuk mendapatkan eksplan yang bebas dari kontaminan, seperti cendawan dan
bakteri. Apabila telah diperoleh eksplan yang steril maka dilanjutkan dengan
tahap II, yaitu induksi dan proliferasi tunas. Dalam tahap ini, setelah tunas
terbentuk, akan dilanjutkan dengan tahap proliferasi tunas sampai beberapa kali
subkultur. Tahapan berikutnya adalah induksi perakaran. Tahap III ini meliputi
induksi perakaran dan elongasi tunas hingga tanaman in vitro menjadi lebih kuat
ketika dipindah ke media in vivo. Tahap IV yang merupakan tahapan terakhir
dalam protokol perbanyakan in vitro adalah aklimatisasi, yaitu pemindahan
tanaman dari kondisi in vitro ke lingkungan in vivo (Trigiano dan Gray 2000).
Pada keadaan alamiah pertumbuhan tanaman, selain dipengaruhi oleh
faktor tanah, pupuk dan agroklimat pertanaman (faktor luar) juga ditentukan oleh
faktor dalam seperti faktor genetik dan kondisi hormonal. Dengan prinsip yang
sama, keberhasilan kultur jaringan sebagai teknik perbanyakan tanaman sangat
ditentukan oleh eksplan, media tumbuh dan lingkungan. Salah satu unsur penting
dalam media adalah zat pengatur tumbuh (ZPT). Penentuan jenis dan konsentrasi
ZPT dapat menentukan arah pertumbuhan dan perkembangan eksplan.

Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh pada Kultur Jaringan
Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan nutrisi yang
dalam konsentrasi rendah (< 1 mM) mampu mendorong, menghambat atau
mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Wattimena et al. 1992).
Senyawa ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu auksin, sitokinin,
giberelin, inhibitor dan etilen. Setiap golongan memiliki fungsi dan karakteristik
masing-masing dalam pengaruhnya terhadap pertumbuhan eksplan (Hendaryono
dan Wijayani 1994). Keberadaan hormon dan ZPT dalam kegiatan kultur jaringan
umumnya mutlak. Dalam kegiatannya, arah pertumbuhan dan perkembangan
eksplan dapat diatur dengan menggunakan macam dan konsentrasi ZPT yang

 
 

12 
 

tepat. Pengaruh setiap golongan ZPT dapat merupakan perannya secara mandiri
atau hasil kerjasamanya dengan golongan ZPT yang lain (Santoso dan Nursandi
2001).
Dalam kultur jaringan, dua kelompok zat pengatur tumbuh yang sangat
penting adalah auksin dan sitokinin (Chawla 2002). Auksin diproduksi secara
alami oleh tanaman dalam bentuk indole acetic acid (IAA) yang disintesis pada
primordia daun, daun muda dan benih yang sedang berkembang. Senyawa ini
umumnya disintesis dari triptofan dan diangkut dari sel ke sel, terutama pada
kambium jaringan pembuluh dan juga sel epidermal. Transpor ke akar juga terjadi
pada floem (Davies 2004). Bentuk sintetis dari auksin yang biasa digunakan
adalah 2,4-dichlorophenoxy acetic acid (2,4-D), α-naphthalene acetic acid
(NAA), 3,6-dichloroanicic acid (dikamba) dan 4-amino-3,5,6-trichloropicolinic
acid (pikloram) (Wattimena et al. 1992). Auksin dapat berperan dalam elongasi
sel, fototropisme, geotropisme, dominansi apikal, pembentukan akar baru,
perkembangan buah, induksi kalus dan embriogenesis (Arteca 1996).
Sitokinin merupakan suatu senyawa adenine (6-aminopurine) yang
menstimulasi terjadinya sitokinesis (pembelahan sel). Senyawa ini disintesis pada
ujung akar dan biji yang berkembang. Secara alami sitokinin ditemukan dalam
bentuk 4-hydroxi-3-methyl-trans-2-butenylaminopurine (zeatin) dan 2-isopentyl
adenine (2-IP). Bentuk sintesis sitokinin yang biasa digunakan dalam kultur
jaringan adalah kinetin (6-furfurylaminopurine) dan BAP (6-benzylaminopurine).
Pengaruh sitokinin pada tanaman selain dalam pembelahan sel juga terlihat dalam
inisisasi

tunas

aksilar

selama

morfogenesis,

penundaan

senesen

daun,

pembentukan kloroplas, pembentukan umbi pada kentang, pemecahan dormansi
dan pembukaan stomata (Davies 2004).
Interaksi antara auksin dengan sitokinin akan menentukan arah diferensiasi
jaringan, tergantung dari kombinasi konsentrasi kedua senyawa. Apabila auksin
dalam konsentrasi tinggi sedangkan konsentrasi sitokininnya rendah maka akan
meningkatkan pertumbuhan akar. Sebaliknya jika konsentrasi auksin rendah dan
sitokinin tinggi konsentrasinya maka akan terbentuk banyak tunas. Namun, bila
konsentrasi kedua senyawa dalam keadaan yang setimbang maka kemungkinan
hanya akan terbentuk kalus tanpa diferensiasi lanjut (Wattimena et al. 1992).

13
 

Keseimbangan, tinggi atau rendahnya konsentrasi ZPT didasarkan pada berat
molekul masing-masing jenis senyawa. Penggunaan sitokinin terbukti dapat
menginduksi pembentukan tunas. Hal ini terlihat pada kultur buku tanaman Vigna
unguiculata dimana tunas diperoleh pada pemberian BAP 6.6 µM (Raveendar et
al. 2009), konsentrasi yang sama pada kultur tanaman Helianthus annuus
(Charriere dan Hahne 1998) sedangkan pada penelitian Laslo dan Vicas (2008)
diperoleh tunas terbaik pada perlakuan BAP 5 ppm.
Dalam perbanyakan in vitro, apabila diperoleh tunas dan telah dilakukan
proliferasinya, maka tahapan selanjutnya adalah elongasi tunas dan induksi
perakaran. Pada umumnya, tahap elongasi tunas dilakukan dengan penambahan
ZPT giberelin (GA3) yang dapat meningkatkan pemanjangan ruas batang. Hal ini
telah dibuktikan pada penelitian Isogai et al. (2008) bahwa pada penambahan GA3
1 ppm dapat memperpanjang ruas batang tanaman Cephaelis ipecacuanha
sedangkan Selvaraj et al. (2007) perpanjangan ruas batang tanaman Cucumis
sativus diperoleh pada perlakuan GA3 1.44 µM. Perakaran dapat diinduksi oleh
ZPT auksin, seperti NAA dan IBA. Banyak penelitian yang telah menggunakan
kedua jenis auksin ini untuk menstimulasi pertumbuhan akar, seperti pada kultur
tanaman Cucurbita pepo (Pal et al. 2007) dan kultur tanaman Gerbera jamesonii
(Duong et al. 2007) yang menggunakan IBA 1 mg l-1, NAA 2.68 µM pada kultur
tanaman Pueraria lobata (Thiem 2003) dan NAA 0.1 mg l-1 pada kultur tanaman
Lysimachia (Zheng et al. 2009). Tunas in vitro yang mudah berakar maka tidak
memerlukan tahap perakaran.

Upaya Peningkatan Kandungan Metabolit Sekunder secara In Vitro
Metabolit sekunder adalah golongan senyawa yang terkandung dalam
tubuh mikroorganisme, flora dan fauna yang terbentuk melalui proses
metabolisme sekunder yang disintesis dari banyak senyawa metabolisme primer,
seperti asam amino, asetil koenzim A, asam mevalonat dan senyawa antara dari
jalur shikimat. Beberapa hal penting yang membedakan antara senyawa
metabolisme sekunder dengan senyawa metabolisme primer adalah tidak
diperlukannya senyawa hasil metabolisme sekunder untuk kelangsungan hidup sel
namun diperlukan dalam mempertahankan kelangsungan hidup tanaman.

 
 

14 
 

Metabolit sekunder diproduksi sebagai hasil interaksi tanaman dengan
lingkungannya dan penyebarannya lebih terbatas serta memiliki sifat dan
karakteristik yang berbeda untuk tiap famili, spesies bahkan organ tanaman
tertentu (Herbert 1995).
Menurut Vickery dan Vickery (1981), fungsi senyawa metabolit sekunder
antara lain sebagai pertahanan tubuh bagi tumbuhan dari serangan hama dan
patogen penyebab penyakit, sebagai atraktan hewan polinator dan sebagai hormon
pengatur pertumbuhan. Bagi manusia senyawa metabolit sekunder digunakan
sebagai bahan obat-obatan, pewangi, fragran pada makanan dan minuman serta
senyawa yang digunakan dalam industri kosmetika.
Tanaman memiliki kemampuan memproduksi metabolit sekunder yang
kompleks untuk mempertahankan diri dalam lingkungan. Beberapa diantaranya
untuk melindungi tanaman dari predator. Manusia telah mengeksploitasi senyawasenyawa pertahanan diri sebagai sumber bahan obat-obatan. Banyak ditemukan
tanaman yang memiliki khasiat farmakologi. Contoh bersejarah seperti ekstrak
dari kulit kayu tanaman kina (Chinchona officinalis) yang berkhasiat sebagai
antimalaria (Kaufman et al. 1999).
Salah satu golongan senyawa metabolit sekunder adalah alkaloid. Sebagai
salah satu golongan besar dari metabolit sekunder, senyawa-senyawanya banyak
yang memiliki khasiat sebagai obat. Senyawa ini merupakan substansi yang
mengandung nitrogen dengan berat molekul yang rendah dengan karakteristik
toksik dan memiliki aktivitas farmakologis. Sekitar 20% jenis tanaman di dunia
mengandung alkaloid (De Luca dan St-pierre 2000; Facchini dan St-Pierre 2005)
yang sebagian besar diturunkan dari asam amino, salah satunya adalah triptofan
(De Luca dan St-pierre 2000). Alkaloid memainkan peranan sebagai sistem
pertahanan tanaman dalam melindungi diri terhadap serangan herbivora dan
patogen. Alkaloid dapat terakumulasi dalam sel dan jaringan tempat dimana
senyawa ini disintesis. Tetapi lintasan intermediet dan produk akhir dapat juga
ditranspor ke lokasi lain (Facchini dan St-Pierre 2005).
Semua alkaloid mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang
biasanya bersifat basa dan dalam sebagian besar atom nitrogen ini merupakan
bagian dari cincin heterosiklik (Lenny 2006). Alkaloid diklasifikasikan

15
 

berdasarkan sifat dasar dari struktur dasar cincin yang mengandung nitrogen,
seperti pirolidin, piperidin, quinolin, isoquinolin, indol dan sebagainya. Atom
nitrogen dalam alkaloid berasal dari asam amino sehingga beberapa asam amino
terlibat dalam biosintesis alkaloid sebagai prekursornya (Dewick 2003).
Dewasa ini, eksplorasi terhadap potensi bahan alami yang banyak
tersimpan dalam sumber daya alam hayati Indonesia yang beraneka ragam
semakin digalakkan oleh pemerintah melalui instansi-instansi yang terkait dengan
bidang ini. Banyak negara maju yang tertarik dengan bahan alami yang terdiri dari
senyawa-senyawa metabolit sekunder karena lebih berkhasiat, aman dan murah
dibandingkan dengan bahan sintetis (Harahap 2005). Produksi metabolit sekunder
melalui kultur jaringan, terutama senyawa obat, dianggap merupakan pilihan yang
mempunyai harapan dibandingkan dengan produksi tanaman utuh. Kultur jaringan
dapat menghasilkan senyawa sepanjang tahun pada kondisi lingkungan yang
diatur sehingga memungkinkan pengaturan proses metabolismenya untuk
memperoleh hasil yang sebesar-besarnya (Wetter dan Constabel 1991).
Teknik kultur jaringan telah dikembangkan dan digunakan untuk beberapa
tanaman obat, karena terbukti multiplikasinya lebih cepat dan aman. Regenerasi
tanaman dengan teknik kultur jaringan ini terbukti menghasilkan bahan kimia
yang sama dengan tanaman induknya. Beberapa diantaranya telah berhasil
dilakukan terhadap tanaman obat, seperti tanaman Cryptolepis sanguinolenta yang
merupakan herbal anti malaria penghasil alkaloid kriptolepin (Ansah et al. 2005),
tanaman Camptotheca acuminate yang menghasilkan kampotesin, senyawa anti
tumor (Silvestrini et al. 2002), tanaman Atropa belladonna, penghasil alkaloid
hyosiamin dan kalistegin (Rothe dan Drager 2002), tanaman Catharanthus roseus
yang banyak menghasilkan senyawa farmasetik (Gaines 2004), tanaman Scopolia
parviflora dengan senyawa skopolamin (Kang et al. 2004) dan lain-lain.
Potensi produksi senyawa alkaloid pada tanaman jeruju secara in vitro
perlu digali. Mengingat sampai saat ini belum dilakukan penelitian mengenai
teknik perbanyakan in vitro dan peningkatan kandungan senyawa bioaktif dari
tanaman ini bahkan pada tanaman dalam satu familia, seperti dari genus Phacelia,
Wigandia dan Nemophila.

 
 

16 
 

Produksi metabolit sekunder dapat dilakukan secara in vitro dalam skala
besar (Radji 2005). Namun, ada kalanya kandungan metabolit sekunder pada
kultur sel relatif rendah. Hal ini menuntut diperlukannya metode untuk
meningkatkan kandungan metabolit sekunder (Mantell dan Smith 1985). Usaha
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi alkaloid adalah dengan
memanipulasi dalam menginduksi produksi senyawa metabolit sekunder. Cara
yang sering digunakan adalah dengan pemberian prekursor (Mulyati 2005) atau
dengan pemberian elisitor (Fitriany 2003). Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Baldi dan Dixit (2008) bahwa permasalahan rendahnya
kandungan metabolit sekunder pada kultur sel tanaman dapat diatasi dengan
penambahan prekursor atau dengan elisitasi.

a

b

Gambar 3 Struktur kimia asam amino triptofan (a) dan asam salisilat (b).

Gambar 4 Biosintesis alkaloid indol dengan prekursor triptofan (Kutchan 1995).

Penggunaan senyawa yang merupakan bahan pemula dalam reaksi
pembentukan suatu metabolit, yang dikenal sebagai prekursor, sering dilakukan

17
 

dalam upaya peningkatan produk sekunder dalam tanaman. Alkaloid merupakan
golongan senyawa metabolit sekunder yang disintesis melalui jalur shikimat dan
menggunakan asam amino sebagai prekursornya. Sebagian besar alkaloid
dibentuk dari banyak asam amino, salah satunya adalah triptofan (Herbert 1995).
Struktur kimia triptofan dapat dilihat pada Gambar 3a. Triptofan merupakan asam
amino yang menjadi prekursor dari jenis alkaloid yang disintesis melalui lintasan
alkaloid indol (Silvestrini et al. 2002) seperti yang terlihat pada Gambar 4.
Dalam kultur jaringan untuk memproduksi senyawa yang diinginkan,
sejumlah pendekatan dilakukan dalam peningkatan produksi, salah satunya adalah
perlakuan dengan prekursor (Biondi et al. 2004). Dalam penelitian Fujita et al.
(1990), diperoleh hasil bahwa penambahan 3 mM L-triptofan pada kultur sel
Catharanthus roseus dapat meningkatkan kandungan katarantin.
Beberapa senyawa atau stimulan dapat digunakan untuk meningkatkan
produksi metabolit sekunder dan dikenal sebagai elisitor. Secara umum, elisitor
diklasifikasikan berdasarkan asal dan struktur molekulnya. Setiap tipe elisitor
menurut karakteristiknya dapat menginduksi respon spesifik yang tergantung pada
interaksi antara elisitor dengan tanaman yang dikulturkan (Vasconsuelo dan
Boland 2007). Salah satu elisitor yang telah dipelajari secara luas dalam
menginduksi senyawa metabolit sekunder adalam asam salisilat (Gambar 3b).
Pada tanaman, asam salisilat terakumulasi setelah adanya pelukaan atau
serangan patogen