Pertumbuhan laju eksploitasi dan reproduksi ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus) di Perairan Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara

PERTUMBUHAN LAJU EKSPLOITASI DAN REPRODUKSI
IKAN KERAPU SUNU (Plectropomus leopardus) DI PERAIRAN
KABUPATEN KOLAKA SULAWESI TENGGARA

ANTI LANDU

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pertumbuhan Laju Eksploitasi
dan Reproduksi Ikan Kerapu Sunu (Plectropomus leopardus) di Perairan
Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2013

ANTI LANDU
NIM. C 251100071

RINGKASAN
ANTI LANDU. Pertumbuhan Laju Eksploitasi dan Reproduksi Ikan Kerapu Sunu
(Plectropomus leopardus) di Perairan Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara.
Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER dan SULISTIONO.
Ikan kerapu merupakan salah satu sumber daya ekosistem terumbu karang
yang memiliki nilai ekologi dan ekonomi tinggi. Permintaan yang tinggi
mengakibatkan ikan kerapu mengalami tekanan yang cukup berat dan beberapa
wilayah dunia termasuk di Indonesia telah mengalami tangkap lebih. Kegiatan
perikanan tangkap kerapu sunu di Kabupaten Kolaka dari tahun 2008 sampai 2011
mengalami penurunan produksi sebanyak 45%. Informasi akan status stok ikan
kerapu sunu belum ada, oleh karena itu dilakukan kajian pertumbuhan, laju
eksploitasi dan reproduksi sebagai dasar pengelolaan ikan kerapu sunu
(Plectropomus leopardus) di perairan Kabupaten Kolaka.

Penelitian dilaksanakan Januari sampai Juni 2012, di perairan Kabupaten
Kolaka Sulawesi Tenggara. Pertumbuhan dan laju eksploitasi dianalisis
menggunakan perangkat lunak ELEFAN I FISAT. Hasil tangkapan maksimum
lestari dengan model Surplus Produksi Schaefer. Tingkat kematangan gonad
dianalisis secara morfologi untuk mengetahui ukuran pertama kali matang gonad
dengan persamaan Sperman Karber dan Indeks Somatik Gonad menggunakan
persamaan Effendie.
Total ikan kerapu sunu yang tertangkap sebanyak 1505 ekor. Koefisien
pertumbuhan 0,75/tahun dengan panjang L∞ 92,4 cm dan t0 -0,15. Berdasarkan
proporsi tingkat kematangan gonad (TKG) musim pemijahan sedang berlangsung
selama penelitian dengan puncak pemijahan Maret/April. Ukuran pertama kali
matang gonad betina dan jantan adalah 35,9 cm dan 69,5 cm. Laju eksploitasi
70%/tahun termasuk dalam kondisi tangkap lebih. Pengaturan hasil tangkap lestari
maksimum dengan jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan 882 ton/tahun.
Kata kunci : kerapu sunu, laju eksploitasi, pertumbuhan, perairan Kabupaten
Kolaka, reproduksi

SUMMARY
ANTI LANDU. Growth Exploitation Rate and Reproduction Sunu Grouper Fish
(Plectropomus leopardus) in the Waters of Kolaka Regency, Southeast Sulawesi.

Supervised by MENNOFATRIA BOER and SULISTIONO
Sunu grouper fish is one of the important fishery resources in the water of
Kolaka Regency, Southeast Sulawesi. The grouper fishing activities in 2008 –
2011 experienced a production decline of 45%. This study was aimed to study the
growth, exploitation rate, maximum sustainable yield, and reproduction of sunu
grouper fish. The data were collected in January to June 2012. The growth and
exploitation rate were analyzed using FISAT. The Maximum sustainable yield
were determined by the Schaefer model of Surplus Production. The first mature
size of gonads was measured by using the Sperman Karber equation and the
gonad somatic indeks was calculated using Effendie equation. The analysis result
showed von Bertalanffy growth coefficient L∞ 92,4 cm, K 0,75/year and t0 -0,15.
The exploitation rate of 70%/year is categorized into an overexploited condition.
The total allowable catch is 882 tones/year. The first mature size of female and
males gonads was 35,9 cm and 69,5 cm respectively.
Keywords : exploitation rate, growth, reproduction, sunu grouper, water of
Kolaka Regency

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang – Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

i

PERTUMBUHAN LAJU EKSPLOITASI DAN REPRODUKSI
IKAN KERAPU SUNU (Plectropomus leopardus) DI PERAIRAN
KABUPATEN KOLAKA SULAWESI TENGGARA

ANTI LANDU

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perairan


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Isdrajad Setyobudiandi, MSc

iii

Judul Tesis

Nama
NIM

: Pertumbuhan Laju Eksploitasi dan Reproduksi Ikan Kerapu
Sunu (Plectropomus leopardus) di Perairan Kabupaten Kolaka
Sulawesi Tenggara
: Anti Landu

: C251100071

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA
Ketua

Dr Ir Sulistiono, MSc
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumber Daya Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Enan M. Adiwilaga


Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian :

Tanggal Lulus :

iv

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah dapat diselesaikan. Tema dalam penelitian yang
dilaksanakan Januari sampai Juni 2012 ialah Pengelolaan Stok Ikan dengan judul
Pertumbuhan Laju Eksploitasi dan Reproduksi Ikan Kerapu Sunu (Plectropomus
leopardus) di Perairan Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Mennofatria Boer,
DEA dan Bapak Dr Ir Sulistiono, MSc selaku komisi pembimbing yang telah
meluangkan waktunya dan banyak memberikan arahan dan saran kepada penulis
sejak pembuatan proposal, penelitian hingga penyusunan karya ilmiah. Bapak Dr
Ir Enan M. Adiwilaga selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya
Perairan serta dosen-dosen pembina mata kuliah atas semua saran dan bimbingan.

Kepada Bapak Dr Ir Isdrajad Setyobudiandi, MSc selaku penguji luar komisi pada
ujian tesis.
Pada kesempatan ini pula, penulis menyampaikan terima kasih kepada
Bapak Rektor Universitas 19 November Kolaka dan DIKTI atas Beasiswa
Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS) serta PT. ANTAM TBk atas bantuan dana
penelitian. Buat teman-teman SDP 2010 (Aliati Iswantari, Munirah Tuli, Haiatus
Shohihah, Sri Wahyuni, Dyah Muji Rahayu, Robin, Gema Wahyu Dewantoro,
Darwin Syahputra). BIW dan Teman-teman mega kost (Tia, Tajul, Ayu, Putri,
Dian, Nia, Anis, Vonny, Fatma, Yus, Kiki, mba Endah, mba Dori dan bu’Tami)
atas cinta, kebersamaan dan rasa kekeluargaannya. Dosen dan mahasiswa USN
Kolaka Ir. Agussalim, MP, Asni, SPi MP, Asis Alkahar, Jumarni, Akbar serta
nelayan dan pengumpul ikan kerapu di perairan Kabupaten Kolaka terima kasih
atas bantuannya.
Kepada Ibunda tercinta Hj.Tjeha dan Bapak H.Landu serta saudarasaudaraku tercinta (Asma landu SH, Drs. Sulham Landu MS, Muh. Hidayat SE,
Asriani Landu, S.Sos, Miminarni, Ihwan Landu, SPd, Ihlas Landu, STp, Ihyar
landu, SPd, Imma Landu, SPt) dengan setulus hati diucapkan terima kasih atas
segala pengertian, pengorbanan, dan doanya selama penulis menyelesaikan
pendidikan. Semoga penelitian ini memberikan manfaat bagi pembaca dan
semoga AllahSWT membalas dan meridhoi usaha yang dilakukan untuk
kelestarian sumber daya perairan.

Bogor, Maret 2013

Anti Landu

v

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan dan Manfaat
2 TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Kerapu Sunu
Tingkat Kematangan Gonad
Pertumbuhan
Laju Eksploitasi

Tangkapan Maksimum Lestari
Pengelolaan Sumber Daya Perikanan
Keadaan Umum Wilayah Kajian
Luas Wilayah
Kependudukan
Keadaan Iklim
Topografi dan Kondisi Hidro-Oseanografi
Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Analisa Data
Hasil Tangkapan Maksimum Lestari
Laju Eksploitasi
Tingkat Kematangan Gonad
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Frekuensi Panjang Ikan Kerapu Sunu
Parameter Pertumbuhan
Laju Eksploitasi
Hasil Tangkap Maksimum Lestari

Tingkat Kematangan Gonad
Pengelolaan Sumber Daya Ikan Kerapu Sunu
5 SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vii
1
1
2
2
2
2
5
6
7
9
10
10
10
11
12
12
13
15
15
15
15
15
17
18
19
19
21
23
26
30
32
33
34
39
63

vi

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

Tahap perkembangan gonad ikan kerapu
Luas wilayah kabupaten Kolaka menurut Kecamatan
Potensi sumber daya perikanan dan tingkat pemanfaatannya di Kabupaten
Kolaka tahun 2011
Jumlah dan panjang ikan kerapu sunu di perairan Kabupaten Kolaka
Nilai kelompok umur ikan kerapu sunu periode Maret sampai April 2012
Parameter pertumbuhan ikan kerapu sunu beberapa hasil penelitian
Nilai mortalitas alami, mortalitas penangkapan, mortalitas total dan laju
Eksploitasi ikan kerapu sunu
Jumlah alat tangkap ikan kerapu di Perairan Kabupaten Kolaka
tahun 2005 sampai 2011

6
11
14
19
20
21
24
27

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus)
Tujuan dasar pengkajian stok ikan
Perkembangan produksi perikanan Kabupaten Kolaka tahun 2004-2008
Sebaran frekuensi panjang ikan kerapu sunu Maret sampai Mei 2012
Grafik pertumbuhan ikan kerapu sunu
Hasil analisis VBGF menggunakan ELEFAN I ikan kerapu sunu
Alat tangkap bubu dan pancing ikan kerapu sunu
Hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) ikan kerapu sunu di perairan
Kabupaten Kolaka tahun 2005 sampai 2011
9 Kurva hubungan antara produksi dan upaya model Schaefer
10 Persentase kematangan gonad ikan kerapu sunu betina dan jantan
periode Maret sampai Mei
11 Hubungan berat badan dengan berat gonad ikan kerapu sunu
12 Nilai indeks kematangan gonad ikan kerapu sunu betina dan jantan

5
9
14
20
22
23
26
28
29
31
31
32

vii

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Peta lokasi penangkapan ikan kerapu di perairan Kabupaten Kolaka
Diagram alir perumusan masalah penelitian
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ikan kerapu sunu
Pengukuran panjang total dan penimbangan berat ikan kerapu sunu
Penimbangan berat gonad ikan kerapu sunu di Laboratorium SMK Negeri
2 Kabupaten Kolaka
Kapal yang digunakan dalam survei lokasi penelitian
Salah satu tempat pengumpul ikan kerapu sunu di Kabupaten Kolaka
Data hasil pengukuran panjang total (TL) dan berat ikan kerapu sunu
Distribusi frekuensi panjang total ikan kerapu sunu Maret sampai Mei
Perhitungan model Schaefer menggunakan data sekunder ikan kerapu
Sunu di DKP Kabupaten Kolaka
Perhitungan nilai hasil tangkap lestari maksimum (HTML) dan upaya
Optimum (UO) berdasarkan model Schaefer
perhitungan ukuran pertama kali matang gonad ikan kerapu sunu betina
dan jantan
Data panjang total, berat badan, berat gonad, indeks kematangan gonad
(IKG) dan jenis kelamin ikan kerapu sunu

39
40
41
43
43
44
44
45
56
57
59
60
62

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan kerapu merupakan salah satu sumber daya ekosistem terumbu karang
yang memiliki nilai ekonomis tinggi (Burgos and Defeo 2004; Mendoza and
Larez 2004; Nelson 2007). Nilai jual ukuran konsumsi dalam kondisi hidup yaitu
US$ 30-50/kg dan diekspor ke beberapa negara seperti Singapura, Jepang,
Hongkong, Taiwan, China, Malaysia dan Amerika Serikat. Harga di pasar
domestik ikan kerapu ukuran ikan hias (4-5 cm) Rp. 7.000,- per ekor, di tingkat
nelayan Rp 70.000–150.000 per kg. Kerapu dalam kondisi hidup untuk spesies
yang langka dihargai jauh lebih mahal (Akbar dan Sudaryanto 2000).
Perdagangan ikan kerapu di Indonesia berkembang dengan cepat, tahun
1995 sebesar 3.800 ton meningkat pada tahun 2011 sebesar 441.000 ton
(Kementerian Kelautan dan Perikanan 2011). Berdasarkan data Dirjen Pengolahan
dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) menyebutkan ekspor kerapu pada tahun
2010 mencapai 6.340 ton. Indonesia menyuplai lebih dari 50% tangkapan ikan
karang hidup ke Hongkong dan Singapura dan tercatat sebagai negara pengekspor
utama ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dan giant grouper (Epinephelus
lanceolatus) (Lau dan Parry-Jones 1999).
Permintaan yang tinggi mengakibatkan ikan kerapu mengalami tekanan
yang cukup berat dan beberapa wilayah di dunia telah mengalami over fishing
(Musick et al. 2000; Sadovy 2005; Lucero dan Sanchez 2009). Daftar The
International Union for the Consevation of Nature and natural Resources
(IUCN) ikan kerapu termasuk dalam spesies yang terancam punah. Hasil
penelitian beberapa wilayah di Indonesia, yaitu Sari (2006) melaporkan di
Kepulauan Seribu pemanfaatan sumber daya ikan kerapu telah melebihi tingkat
pemanfaatan optimal yang disarankan (29.940 kg/tahun). Hal yang sama
diperoleh di perairan Teluk Lasongko Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara
dengan tingkat pemanfaatan telah melebihi kondisi optimal >0,5 (Prasetya 2010).
Umumnya perikanan kerapu di Indonesia (Jawa, Sumatera dan Sulawesi) sudah
mengalami tekanan sumber daya yang tinggi menunjukkan tanda-tanda signifikan
dari over eksploitasi. Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat
mengakibatkan kebutuhan pangan meningkat pula (Soede et al. 1999). Kegiatan
perikanan tangkap kerapu sunu di Kabupaten Kolaka dari tahun 2008 sampai
2011 mengalami penurunan produksi (Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten
Kolaka 2011).
Masyarakat pesisir di Kabupaten Kolaka telah lama memanfaatkan ikan
kerapu sunu (Plectropomus leopardus) sebagai sumber pangan dan pendapatan
seiring nilai jual yang tinggi. Penangkapan intensif akan mengakibatkan tekanan
pada sumber daya di stok lokal meningkat dalam beberapa kasus dapat
menyebabkan over fishing (Gobert et al. 2005; Zeller et al. 2008). Untuk
melakukan pengelolaan dibutuhkan informasi dasar ilmiah yang kuat dan analisis
suatu stok untuk membuat langkah-langkah manajemen yang tepat (Hernandez
dan Seijo 2003; Lucero dan Sanchez 2009). Berdasarkan hal tersebut di perlukan
adanya kajian stok sumber daya ikan kerapu sunu yang diharapkan menjadi dasar
dalam pengelolaan ikan di perairan Kabupaten Kolaka

2

Rumusan Masalah
Kabupaten Kolaka merupakan pintu gerbang bagian barat Sulawesi
Tenggara dengan luas wilayah ± 6.914.94 Km2. Terdapat 15 Kecamatan 10
diantaranya terletak pada wilayah pesisir. Luas laut 15.000 Km2 dengan panjang
garis pantai 295,875 Km yang terbentang dari Kolaka bagian Utara sampai
Kolaka bagian Selatan. Jumlah penduduk wilayah ini secara keseluruhan
sebanyak 243,246 jiwa, yang bermukim pada wilayah pesisir sebanyak 74.882
jiwa (DKP 2011). Berdasarkan hal tersebut Kabupaten Kolaka dapat
dikategorikan sebagai Kabupaten pesisir. Salah satu sumber daya ikan yang
dimanfaatkan oleh masyarakat adalah ikan kerapu sunu. Hasil laporan dinas
perikanan Kabupaten Kolaka menyebutkan produksi komoditi perikanan tangkap
kerapu mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2011 sebanyak 45%. Hal ini
dapat disebabkan oleh kurangnya pengawasan dan pengendalian sumber daya
yang mengakibatkan terjadinya penurunan stok ikan.
Penambahan jumlah unit upaya secara langsung akan memberikan tekanan
terhadap sumber daya dan ekosistem. Dampak nyata yang ditimbulkan dalam
kurun waktu tertentu akan terjadi penurunan biomassa atau stok disebabkan
menurunnya daya dukung lingkungan yaitu sumber makanan dan ruang habitat.
Penurunan jumlah hasil tangkapan, ukuran dan perubahan fishing ground
merupakan bukti terjadinya tekanan terhadap sumber daya. Berdasarkan
permasalahan tersebut, maka yang ingin dikaji adalah memberikan saran tentang
pengelolaan stok sumber daya ikan kerapu yang berkelanjutan di perairan
Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara. Kerangka perumusan masalah
dapat dilihat secara lengkap pada lampiran 2.
Tujuan dan Manfaat
Penelitian bertujuan mengkaji pertumbuhan, hasil tangkapan maksimum
lestari, laju eksploitasi dan reproduksi ikan kerapu sunu. Manfaat penelitian
diharapkan menjadi dasar dalam pengelolaan ikan kerapu sunu di perairan
Kabupaten Kolaka.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Kerapu Sunu
Ikan kerapu hidup pada perairan tropis dan sub tropis di ekosistem terumbu
karang, perairan berlumpur, dan hutan bakau termasuk dalam family Serranidae.
Dunia internasional dikenal dengan nama grouper, trout, rockcod, hinds, sea
basses dan coral reef fish. Terdapat 15 genus dan mencakup 159 spesies
(Heemstra dan Randal 2005; Tucker 1999). Genus Cromileptes, Plectropomus
dan Epinephelus merupakan 3 genus komersial yang telah berhasil dibudidayakan
(Kordi 2001; Ahmad 2002). Tersebar luas di Fasifik barat mulai Jepang bagian
selatan sampai pulau Guam, Kaledonia Baru, Kepulauan Australia bagian selatan
serta laut India bagian timur. Di Indonesia banyak ditemukan di wilayah Perairan

3

Teluk Banten, Ujung Kulon, Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Kepulauan
Karimunjawa, Maluku, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara (Heemstra dan
Randall 2005).
Beberapa jenis kerapu telah diidentifikasi berdasar pada morfologi yang
berbeda-beda tiap jenisnya termasuk bentuk tubuh, ukuran sirip, bentuk kepala,
jumlah jari-jari sirip, gurat sisik, dan gill raker. Beberapa jenis kerapu dewasa
dengan ukuran besar pola pewarnaan cukup untuk membedakan spesies tertentu.
Spesies yang hidup di perairan dalam memiliki pola pewarnaan lebih kemerahan
dibanding spesies yang tertangkap di perairan dangkal. Jenis kerapu yang bisa
diidentifikasi diantaranya kerapu sunu yaitu, badan ikan memanjang tegap, kepala
dan badan serta bagian tengah dari sirip berwarna abu-abu kehijau-hijauan,
cokelat, merah, atau jingga kemerahan dengan bintik-bintik biru yang berwarna
gelap pada pinggirnya. Bintik-bintik pada kepala dan bagian depan badan sebesar
diameter bola matanya atau lebih besar. Bentuk ujung sirip ekor ikan kerapu sunu
rata ujung sirip tersebut terdapat garis putih adapun pada sirip punggung terdapat
duri sebanyak 7-8 buah. Laju pertumbuhan kerapu sunu bervariasi menurut kelas
umurnya. Awal kehidupan laju pertumbuhan kerapu sunu berlangsung cepat, yaitu
0,81 mm/hari dalam waktu 6 bulan sudah mencapai ukuran panjang total 14 cm.
Pada stadia larva ikan ini termasuk jasad pemakan plankton perubahan sifat
menjadi karnivora terjadi sejak mencapai stadia juwana. Menjelang dewasa ikan
ini tergolong jenis ikan predator yang memangsa ikan-ikan kecil, udang, dan
cumi-cumi.
Ikan ini termasuk hermaprhodite protogynous, yaitu proses deferensiasi
gonadnya berjalan dari fase betina ke fase jantan atau memulai siklus hidupnya
sebagai ikan betina kemudian berubah menjadi ikan jantan setelah mencapai
ukuran tertentu (Effendie 2002; Widodo 2006). Perubahan kelamin terjadi pada
saat panjang total ikan berukuran antara 42-62 cm, dan untuk mencapai dewasa
membutuhkan waktu 2-3 tahun dengan berat >2,5 kg (Elevati dan Aditya 2001).
Kerapu sunu merupakan komoditas ekspor yang harganya cukup tinggi. Dua jenis
kerapu sunu yang berharga tinggi dan terdapat di Indonesia yaitu P. leopardus
(leopard corral trout) dan P. maculatus (barred cheek corral trout). Spesies
kerapu dari genus Plectropomus yang dapat dibudidayakan dan memiliki nilai jual
cukup tinggi adalah ikan kerapu sunu atau kerapu merah (Plectropomus
leopardus). Harga jenis leopardus hidup mencapai sekitar US$ 30-50/kg pada
tahun 2010. Jenis ini banyak dibudidayakan karena pertumbuhannya lebih cepat
dari jenis ikan kerapu lainnya, benihnya mudah diperoleh dari alam
(penangkapan) dan pemijahan dalam bak.
Larva dan ikan kerapu muda hidup di perairan pantai dengan dasar pasir
berkarang atau padang lamun dengan kedalaman 0,5–3,0 m. Telur dan larva
bersifat pelagis sedangkan yang muda dan dewasa bersifat demersal dan beruaya
ke perairan kedalaman 7–40 m pada siang dan sore hari (Tampubolon dan
Mulyadi 1989). Beberapa spesies hidup pada kedalaman 100-200 m bahkan
sampai kedalaman 500 m, tetapi umumnya ikan kerapu hidup pada kedalaman
kurang dari 100 m (Philip dan Randall 1993). Perairan dengan parameter
lingkungan yang umum yaitu temperatur 24–31 0C, salinitas 30–33 ppt,
kandungan oksigen terlarut >3,5 ppm dan pH 7,8–8,0 cocok untuk pertumbuhan
ikan kerapu (Setiadi dan Tridjoko 2001; Lembaga Penelitian Undana 2006).

4

Kebiasaan makan ikan kerapu termasuk jenis ikan karnivora dan makan
dengan cara menggerus targetnya yaitu ikan tembang, teri, belanak, crustasea, dan
cephalopoda. Termasuk ke dalam predator yang dominan dan tergolong ikan buas,
hidup soliter, dan menetap (sedentary). Umumnya ikan karang merupakan jenis
ikan yang menetap atau relatif tidak berpindah tempat dan pergerakannya mudah
dijangkau (Utojo et al. 1999). Umumnya ikan karnivora mempunyai gigi untuk
menyergap, menahan, dan merobek mangsa. Jari-jari insang sebagai penahan,
memegang, memarut dan menggilas mangsa. Mempunyai lambung benar dan
palsu, usus pendek, tebal dan elastis (Yeeting et al. 2001; Effendie 2002).
Aktivitas reproduksi terjadi dalam satu pemijahan massal (spawning
agregation) yang melibatkan puluhan hingga puluhan ribuan individu (Sadovy
2005). Pemijahan massal adalah kelompok spesies yang sama berkumpul untuk
tujuan pemijahan dimana densitas dan jumlah ikan secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan dengan densitas dan jumlah ikan dilokasi agregasi tersebut pada
saat tidak dalam masa reproduksi (Utojo et al. 1999). Umumnya lokasi dan waktu
agregasi selalu tetap pada jangka waktu yang lama sehingga kumpulan ini
menjadi target bagi aktivitas penangkapan (Sadovy 2005). Eksploitasi pada lokasi
pemijahan massal akan berimplikasi terhadap ekologi reproduksi. Individu yang
lebih tua dan berukuran besar lebih rentan terhadap penangkapan menyebabkan
proporsi jantan menurun dalam populasi. Individu muda yang belum memiliki
pengalaman melakukan pemijahan di lokasi pemijahan massal akan
menghilangkan lokasi pemijahan tersebut. Namun jika lokasi pemijahan masih
berfungsi akan mengganggu keberhasilan pemijahan sebab penurunan jumlah
individu jantan menyebabkan keterbatasan sperma (Grandcourt et al. 2005).
Catalano dan Allen (2010) menyatakan dalam siklus hidup spesies ikan
reproduksi dan rekruitmen merupakan hal yang sangat penting dan kritis sebab
proses ini melibatkan perpindahan antar wilayah dan beberapa spesies melakukan
migrasi ke daerah pemijahan utama. Umumnya populasi ikan rentan terhadap
dampak aktivitas penangkapan di daerah pemijahan (spawning ground) dan di
daerah pengasuhan (nursery ground) daerah tersebut stok induk dan juvenil
melimpah.
Sistematika ikan kerapu sunu menurut FAO (2005) sebagai berikut :
Phylum
: Chordata
Sub phylum
: Vertebrata
Class
: Pisces
Sub class
: Teleostei
Ordo
: Percomorphi
Sub ordo
: Percoidea
Famili
: Serranidae
Sub famili
: Epinephelinae
Genus
: Plectropomus
Spesies
: Plectropomus leopardus
Nama dagang : Spotted coralgrouper, spotted coraltrout, viele saintsilac,
mero con pintas, mero de coral, coral cod, jin hou, sai
sing
Nama lokal
: Kerapu sunu, sunuk, lodi, tiara.

5

Gambar 1 Ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus) (FAO 2005)
Tingkat Kematangan Gonad
Tahapan penting pada siklus reproduksi ikan adalah proses pematangan
gonad yaitu tahapan perkembangan gonad sebelum dan sesudah memijah. Selama
proses reproduksi sebagian energi dipakai untuk perkembangan gonad dan bobot
ikan akan mencapai maksimum sesaat sebelum memijah kemudian menurun
dengan cepat selama proses pemijahan berlangsung sampai selesai. Menurut
Effendie (2002) pertambahan bobot gonad betina pada saat stadium matang gonad
mencapai 10–25% dan jantan 5-10% dari bobot tubuh. Lebih lanjut dikemukakan
bahwa semakin bertambahnya tingkat kematangan gonad, telur yang ada dalam
gonad akan semakin besar. Romimohtarto dan Juwana (2001) menyatakan
kematangan gonad ikan dicirikan dengan perkembangan diameter rata-rata telur
dan pola distribusi ukuran telurnya.
Perkembangan gonad ikan secara garis besar dibagi atas dua tahap
perkembangan utama yaitu tahap pertumbuhan gonad sampai ikan mencapai tahap
dewasa kelamin dan tahap pematangan produk seksual. Perkembangan gonad ikan
betina (ovarium) terdiri atas beberapa tingkat yang dapat diamati secara
mikroskopis dan makroskopis. Secara mikroskopis perkembangan telur diamati
untuk menilai perkembangan ovarium antara lain tebalnya dinding indung telur,
keadaaan pembuluh darah, inti butiran minyak, vesikula dan kuning telur.
Pengamatan secara makroskopis perkembangan ovarium dengan mengamati
warna indung telur, ukuran butiran telur, dan volume rongga perut ikan.
Umumnya ikan kerapu betina setelah melakukan satu kali pemijahan akan
mengalami proses diferensiasi gonad dari fase betina ke fase jantan (hermaprodit
protogyni) proses perubahan tersebut yaitu jaringan ovarium mengkerut kemudian
jaringan testesnya berkembang. Menurut Effendie (2002) dan Widodo (2006) ikan
kerapu memulai siklus reproduksinya sebagai ikan betina fungsional kemudian
berubah menjadi ikan jantan fungsional. Daur hidupnya masa juvenil hermaprodit,
masa betina fungsional, masa intersex, dan masa terakhir adalah jantan
fungsional. Perkembangan ikan kerapu yang bersifat hermaprodit protogyni dapat
diamati secara morfologi. Melalui perkembangan perubahan oogenesis, dapat
dibagi menjadi 10 kelas yaitu kelas 1 adalah gonad yang tidak masak ; kelas 2, 3
dan 4 adalah tahap perkembangan masak gonad pada ikan betina. Tahap
perkembangan jantan pada kelas 7, 8, 9 dan 10 (Tan dan Tan 1974). Klasifikasi
perkembangan gonad ikan kerapu dapat dilihat pada Tabel 1.

6

Tabel 1 Tahap perkembangan gonad ikan kerapu
Kelas
Keterangan
1
Ovari tidak matang didapatkan oocyt tingkat 1 dan 2 bila tidak terdapat
Jaringan yang mengkerut menunjukkan belum pernah terjadi pemijahan
2
Betina dengan ovary matang beristerahat terdapat oocyt tingkat 1, 2,
dan 3, mungkin terdapat jaringan mengkerut sisa pemijahan dulu
3
Betina matang aktif kebanyakan oocyt tingkat 3 dan 4 dan secara
morfologi ovary berkembang mudah dikenal
4
Betina pasca pemijahan kelas ini susah didapatkan
5
Transisi sukar dikenal dari luar gonad terlihat mengkerut dan
didalamnya kosong jaringan mengkerut banyak didapatkan pada bagian
tengah
6
Testes tidak matang hampir sama dengan kelas sebelumnya banyak
didapatkan kerutan
7
Testes menuju masak didapatkan kelompok kantung spermatogonia
spermatocyt 1 dan 2
8
Testes masak banyak spermatocyt 1 dan 2 didapatkan pula sperma di
dalam kantung
9
Testes masak sekali banyak didapatkan spermatozoa di dalam kantung
spermatocyt tingkat awal sangat jarang
10
Testes pasca pemijahan kantung sperma umumnya kosong
Sumber : Tan dan Tan (1974)

Pertumbuhan
Mempelajari permasalahan pertumbuhan pada disiplin perikanan sering
diucapkan sebagai usaha untuk menghubungkan sebuah peubah yang mencirikan
suatu individu (panjang atau bobot spesies) dengan umur dari spesies tersebut.
Sejak tahun 1975 dipelopori oleh Henderstrom dari Swedia banyak para ahli
dibidang perikanan berikutnya mencoba mengungkapkan teknik-teknik untuk
menduga umur ikan. Beberapa karakteristik yang pernah diungkapkan adalah
sebaran frekuensi panjang, percobaan bertanda (tagging dan marking), sisik, batu
telinga (otolith), bagian tutup insang (opercular), tulang punggung (vertebra),
sirip (fin rays) dan sebagainya. Hubungan antara pendugaan umur dengan
kecepatan pertumbuhan sangat erat dan memainkan peranan penting dalam
dinamika populasi ikan (Boer dan Aziz 2007).
Pertumbuhan ikan merupakan perubahan dimensi (panjang, berat, volume,
jumlah, dan ukuran) persatuan waktu baik individu, stok, dan komunitas.
Sebagian besar individu ikan akan tumbuh sepanjang hidupnya sehingga
pertumbuhan merupakan salah satu aspek biologi ikan yang dipelajari secara
intensif. Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dalam dan
faktor luar. Faktor dalam umumnya sulit dikontrol seperti keturunan (genetik),
jenis kelamin (sex), umur, jumlah ikan, jenis makanan, parasit dan penyakit.
Sedangkan faktor luar utama yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu suhu dan
makanan (Effendie 2002). Pertumbuhan yang cepat dapat mengindikasikan
kelimpahan makanan dan kondisi lingkungan yang sesuai (Hernandez dan Seijo
2003). Menurut Vrijenhoek (1998) faktor genetik yang terbentuk dalam spesies,

7

jumlah pakan, temperature, dan siklus hormonal dapat mempengaruhi laju
pertumbuhan ikan.
Model Von Bertalanffy adalah model yang umum digunakan dalam kajian
stok ikan yaitu panjang badan sebagai fungsi dari umur. Parameter-parameter
yang sering digunakan yaitu panjang infinitif ( ) merupakan panjang maksimum
secara teoritis, koefisien pertumbuhan (K), dan t0 yaitu umur teoritis pada saat
panjang sama dengan nol (Pilling et al. 1999). Model ini menjadi dasar dalam
biologi perikanan digunakan sebagai sub model untuk model yang lebih rumit
dalam menjelaskan berbagai dinamika populasi ikan (Sparre dan Venema 1999).
Pendugaan parameter pertumbuhan metode yang umum digunakan adalah metode
anatomik dan analisis frekuensi panjang. Analisis frekuensi panjang bertujuan
menentukan umur terhadap kelompok umur-umur tertentu dan memisahkan suatu
distribusi frekuensi panjang yang kompleks ke dalam sejumlah kelompok ukuran.
Analisis frekuensi panjang lebih umum digunakan untuk ikan tropis sebab tidak
memerlukan keahlian khusus dalam pengumpulan data dan memerlukan waktu
yang singkat sehingga biayanya lebih murah.
Laju Eksploitasi
Potensi penangkapan ikan tahunan sebesar 6,7 juta ton untuk keseluruhan
perairan Indonesia yang terdiri dari 2 juta ton untuk zona ekonomi ekslusif
Indonesia (ZEEI) dan 4,7 juta ton bagi perairan laut teritorial (zona 12 mil laut)
(Dahuri 2002). Sumber daya ikan demersal Indonesia terdiri dari banyak jenis dan
menyebar hampir diseluruh wilayah pengelolaan, namun potensinya berbeda dari
satu wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Dahuri (2002) menyatakan dari 12
wilayah pengelolaan perikanan beberapa lokasi tingkat pemanfaatannya telah
melebihi atau mendekati potensi lestarinya, seperti Selat Malaka dan Laut Jawa (>
100%), laut Banda (82,19%) serta Selat Makassar dan Laut Flores (70,50%).
Mallawa (2006) mengungkapkan 5 wilayah pengelolaan sumber daya demersal
telah mengalami kelebihan tangkap (over exploited) yaitu Selat Malaka, Laut
Jawa, Laut Flores, Laut Banda dan Samudera Hindia dan 3 wilayah pengelolaan
masih rendah tangkap (under exploited) yaitu Laut Cina Selatan, Laut Seram, dan
Samudera Pasifik dan satu wilayah tangkap penuh (fully exploited) yaitu Laut
Arafuru. Potensi penangkapan ikan menurun secara cepat mulai dari perairan
pantai menuju laut lepas.
Sumber daya ikan termasuk dalam sumber daya hayati yang dapat
diperbaharui (renewable resource) namun juga bersifat dapat rusak (depletable
resource). Perubahan populasi ikan dipengaruhi oleh empat faktor yaitu
rekruitmen, pertumbuhan, mortalitas alami, dan mortalitas penangkapan. Populasi
tertutup (closed population) yaitu tidak ada emigrasi dan imigrasi maka faktor
utama yang mempengaruhi peningkatan dari populasi hanya rekrutmen dan
pertumbuhan (Sparre dan Venema 1999). Pada habitat yang tidak dimanfaatkan
populasi akan tumbuh mendekati daya dukung (carrying capacity) habitat tersebut
(Sanchez 2000). Populasi ikan dihabitat tersebut akan didominasi ikan-ikan yang
berumur tua dan lebih besar jika dibandingkan dengan ikan-ikan yang berada pada
populasi di habitat yang ada kegiatan penangkapan. Pengurangan jumlah ikan
karena penangkapan akan mengakibatkan turunnya biomassa di bawah daya

8

dukung habitat dan meningkatkan kesempatan tumbuh bagi ikan-ikan kecil
(Sparre dan Venema 1999).
Penangkapan yang terus menerus dari suatu stok ikan yang berukuran besar
atau sedang memijah dapat menurunkan karakteristik genetik yaitu kelainan
bentuk atau perilaku. Keragaman genetik dari populasi dapat dipengaruhi
sehingga menurunkan ketahanannya dalam menghadapi variasi dan perubahan
lingkungan (Vrijenhoek 1998). Hurtado et al. 2005; Nelson 2007 menyatakan ciri
populasi yang mengalami eksploitasi tinggi adalah perubahan komposisi ukuran
ikan menjadi lebih kecil sehingga secara signifikan akan berpengaruh terhadap
hasil reproduksi. Ikan berukuran besar memiliki potensi produksi yang lebih besar
dibandingkan ikan yang berukuran kecil. Eksploitasi dengan skala besar
menyebabkan perubahan struktur ikan. Nelayan cenderung menangkap ikan yang
berukuran besar daripada ikan yang berukuran kecil. Akibatnya populasi ikan
akan didominasi oleh ikan ukuran kecil yang mengalami kematangan gonad lebih
awal (Effendie 2002). Sanchez (2000) menyatakan penangkapan yang berlebihan
akan menurunkan ukuran dan umur ikan pada populasi tersebut.
Laju eksploitasi didefenisikan sebagai suatu kelompok umur yang akan
ditangkap selama ikan tersebut hidup dengan kata lain laju eksploitasi adalah
jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati
baik karena kematian alami maupun penangkapan. Menurut Pauly (1984) laju
eksploitasi (E) merupakan rasio antara mortalitas penangkapan (F) dengan
mortalitas total (Z). Mortalitas penangkapan dapat diperoleh setelah mortalitas
total (Z) dan mortalitas alami (M) diketahui. Mortalitas penangkapan (fishing
mortality rate) merupakan fungsi dari upaya penangkapan (fishing effort)
mencakup jumlah, jenis ikan, efektivitas alat penangkapan dan waktu yang
digunakan untuk melakukan penangkapan. Mortalitas alami berkaitan dengan
nilai parameter pertumbuhan Von Bertalanffy yaitu K dan
Ikan yang
pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi) mempunyai nilai M tinggi dan begitu pula
sebaliknya. Pauly (1984) menyatakan faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai
M adalah suhu rata-rata perairan, panjang maksimum teoritis, dan laju
pertumbuhan. Laju mortalitas total dapat diestimasi menggunakan metode
Beverton-Holt berbasis data panjang (Sparre dan Venema 1999). King (1995)
menyatakan laju mortalitas total merupakan hasil penambahan dari mortalitas
alami dan mortalitas penangkapan. Eksploitasi optimal dari suatu stok ikan terjadi
jika mortalitas penangkapan sebanding dengan mortalitas alaminya sehingga laju
eksploitasi optimal (E) = 0,5. Sumberdaya dikatakan mengalami penangkapan
lebih (overfishing) jika laju exsploited >0,5 dan under exploited bila
penangkapannya < 0,5.
Laju eksploitasi merupakan bagian dari populasi yang ditangkap selama
periode waktu tertentu (1 tahun). Populasi yang tidak dieksploitasi mortalitasnya
mencakup mortalitas alami yang terdiri dari proses-proses seperti pemangsaan,
penyakit, dan kematian melalui perubahan drastis dari lingkungan. Populasi yang
di eksploitasi mortalitas totalnya terdiri dari mortalitas alami dan mortalitas
penangkapan. Perbedaan mortalitas alami dan mortalitas total yaitu mortalitas
total berdasarkan pada wilayah penangkapan dan alat tangkap sedangkan
mortalitas alami berdasarkan pada wilayah (Carlson et al. 2008).

9

Tangkapan Maksimum Lestari
Tingkat upaya penangkapan yang dalam jangka panjang memberikan hasil
tertinggi dicirikan oleh Fmsy dan hasil tangkapannya dicirikan oleh MSY
(Maximum Sustainable Yield) yaitu jumlah atau berat tangkapan maksimum yang
dapat diperoleh dari suatu stok sumber daya ikan tanpa mempengaruhi
reproduksinya dan rekruitmen dimasa depan. Sparre dan Venema (1999)
mengungkapkan tangkapan maksimum dapat diperoleh tanpa mempengaruhi
produktivitas stok ikan dalam jangka panjang. Ungkapan dalam jangka panjang
digunakan karena seseorang dapat memperoleh hasil yang tinggi dalam tahun
tertentu lalu serentak meningkatkan upaya penangkapan tapi diikuti dengan hasil
yang makin berkurang pada tahun-tahun berikutnya karena sumber dayanya telah
ditangkap (Gambar 2).
Hasil tangkapan

MSY

FMSY

Upaya penangkapan

Gambar 2 Tujuan dasar pengkajian stok ikan (Sparre dan Venema 1999)
Usaha perikanan tangkap memanfaatkan sumber daya hayati perikanan yang
dapat pulih. Sumber daya tersebut dapat dieksploitasi pada tingkat tertentu tanpa
menimbulkan dampak negatif. Eksploitasi yang lebih besar melalui penambahan
upaya seperti penambahan jaring dan kapal tidak akan meningkatkan hasil
tangkapan namun sebaliknya akan menurunkan stok ikan. Gordon (1957) in Clark
(1985) menjelaskan kondisi perikanan bebas tangkap adalah kondisi siapa saja
dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu perairan tanpa ada
pembatasan. Kondisi perikanan akses terbuka tingkat upaya penangkapan akan
meningkat sedangkan keuntungan yang diperoleh akan sama dengan nol.
Pendugaan model MSY umumnya menggunakan model surplus produksi
melalui estimasi besarnya kelimpahan biomassa dan potensi dari satu jenis atau
kelompok sumber daya. Metode yang sederhana dan murah karena hanya
membutuhkan data tentang hasil tangkapan atau produksi. Surplus produksi
didasarkan pada asumsi bahwa setiap spesies ikan setiap tahunnya akan
menghasilkan jumlah berlebih (surplus) yang dapat ditangkap dan jika ditangkap
sebanyak surplus yang dihasilkan maka sumber daya tersebut akan tetap lestari.
Tujuan penggunaan model surplus produksi untuk menentukan tingkat upaya
optimum yaitu suatu upaya yang menghasilkan suatu hasil tangkapan yang

10

maksimum dan lestari. Metode ini banyak digunakan di daerah perairan tropis
karena dalam penggunaanya model ini hanya menggunakan hasil tangkapan per
upaya (CPUE). Umumnya menggunakan metode produksi surplus dari Schaefer
dan Fox yang menitik beratkan pada perbandingan hasil tangkapan yang
dihubungkan dengan intensitas penangkapan.
Pengelolaan Sumber Daya Perikanan
Pengelolaan sumber daya perikanan memang dihadapkan pada suatu sistem
yang kompleks yang timbul baik dari sistem sumber daya alam maupun interaksi
antara sistem sumber daya alam dengan aspek manusia. Cochrane (2002)
menjelaskan pengelolaan sumber daya perikanan didefenisikan sebagai proses
yang terpadu dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi,
pengambilan keputusan, alokasi sumber daya dan implementasi. Penguatan
regulasi atau undang-undang yang mengatur aktivitas perikanan dapat menjamin
keberlanjutan produktivitas sumber daya dan pencapaian tujuan perikanan. Untuk
mencapai hasil yang optimal dalam pengelolaan sumber daya perikanan harus
memperhatikan semua aspek yang berhubungan dengan sumber daya tersebut
sebab seluruh dinamika alam dan intervensi manusia mempengaruhi baik
langsung maupun tidak langsung terhadap kondisi sumber daya perikanan tersebut
sepanjang waktu.
Keputusan pengelolaan atau eksploitasi yang dilakukan dimasa lalu akan
mempengaruhi kondisi sumber daya perikanan dimasa sekarang dan dimasa akan
datang demikian juga keputusan pengelolaan atau eksploitasi dimasa sekarang
akan mempengaruhi kondisi sumber daya perikanan dimasa depan. Fauzi dan
Anna (2005) menyatakan tantangan untuk memelihara sumber daya yang lestari
menjadi isu yang kompleks dalam pembangunan perikanan meskipun sumber
daya perikanan dikategorikan sebagai sumber daya yang dapat pulih. Pertanyaan
yang sering muncul adalah seberapa besar ikan dapat ditangkap tanpa harus
menimbulkan dampak negatif untuk masa mendatang.
Tujuan utama pengelolaan sumber daya berkelanjutan adalah pencapaian
keuntungan secara maksimum dengan tetap menjaga keberlangsungan
ketersediaan sumber daya sebagaimana tujuan pembangunan berkelanjutan yaitu
pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini tanpa
menurunkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya
(Dahuri 2002). Selanjutnya atas dasar definisi dari tujuan tersebut pembangunan
berkelanjutan mengandung tiga unsur (dimensi) utama yang meliputi dimensi
ekonomi, ekologis, dan sosial.
Keadaan Umum Wilayah Kajian
Luas Wilayah
Kabupaten Kolaka berada di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi dan secara
geografis terletak pada bagian barat Provinsi Sulawesi Tenggara memanjang dari
utara ke selatan berada di antara 02°45' - 05°00' Lintang Selatan dan membentang
dari Barat ke Timur diantara 121°00' - 122°15' Bujur Timur (DKP Kab. Kolaka
2011). Batas-batas wilayah Kabupaten Kolaka :

11






Utara berbatasan dengan Kabupaten Kolaka Utara Provinsi Sulawesi
Tenggara
Timur berbatasan dengan Kabupaten Konawe dan Konawe Selatan Provinsi
Sulawesi Tenggara
Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara
Barat berbatasan dengan Teluk Bone Provinsi Sulawesi Selatan.

Daerah Kabupaten Kolaka mencakup jazirah daratan dan kepulauan yang
memiliki luas wilayah daratan kurang lebih 6.914,94 km2 dan luas wilayah
perairan laut diperkirakan seluas 15.000 km2 dengan panjang garis pantai 295.875
km serta memiliki 13 (tiga belas) buah pulau-pulau kecil dengan luas secara
keseluruhan pulau-pulau kecil tersebut yaitu 4.384 Ha. Berdasarkan luas wilayah
Kabupaten Kolaka menurut Kecamatan masing-masing dapat secara lengkap
dilihat pada Tabel 2 :
Tabel 2 Luas wilayah Kabupaten Kolaka menurut Kecamatan
No

Kecamatan

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Watubangga
Tanggetada
Pomalaa
Wundulako
Baula
Ladongi
Lambandia
Tirawuta
Kolaka
Latambaga
Wolo
Samaturu
Mowewe
Uluiwoi
Pinanggo
Kabupaten Kolaka

Luas
Km²
448,66
468,93
146,62
166,27
201,65
378,70
124,20
381,14
171,08
417,25
543,03
187,20
2.636.14
647,51
274,50
6.914,94

%
6,49
6,78
2,12
2,4
2,91
5,47
1,8
5,51
2,47
6,03
7,85
2,71
38,1
9,36
3,97
100

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kolaka 2011

Secara administratif Kabupaten Kolaka dibagi dalam 15 Kecamatan yang
terdiri dari 45 Kelurahan dan 178 Desa. Dari 15 kecamatan tersebut, terdapat 10
kecamatan yang berbatasan langsung dengan laut atau kecamatan pesisir, yaitu
Kecamatan Wolo, Samaturu, Latambaga, Kolaka, Wundulako, Baula, Pomalaa,
Tanggetada, Watubangga dan Kecamatan Toari (DKP Kolaka 2011).
Kependudukan
Jumlah penduduk Kabupaten Kolaka setelah terpisah dengan Kabupaten
Kolaka Utara tahun 2003 sebesar 259.363 jiwa dan berdasarkan hasil sensus tahun

12

2010 bertambah menjadi 263.677 jiwa dan tahun 2011 jumlah penduduk
Kabupaten Kolaka tercatat sebesar 285.928 jiwa atau 68.625 KK (kepala
keluarga) dengan jumlah keluarga miskin sebesar 70.798 (24,76 %) atau sejumlah
16.992 KK yang sebagian besar mendiami wilayah pantai atau pesisir (DKP
Kolaka 2011).
Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Kolaka tahun 2000 sampai 2010
rata-rata sebesar 3,14 % per tahun. Kecamatan yang pertumbuhan penduduknya
mencapai satu digit ada 10 Kecamatan yaitu Kecamatan watubangga (5,68 %),
Kecamatan Tanggetada (1.51 %) Kecamatan Pomalaa (2,43 %), Kecamatan Baula
(1,06 %), Kecamatan Ladongi sebesar (21,15 %), Kecamatan Tirawuta (6,91 %),
Kecamatan Wolo (1,03 %), Kecamatan Samaturu (1,08 %), Kecamatan Mowewe
(3,32 %), dan Kecamatan Uluiwoi (2,08 %). Kecamatan lainnya memiliki
pertumbuhan di bawah 1 % (DKP Sulawesi Tenggara 2011).
Keadaan Iklim
Iklim umumnya seperti di wilayah lain di Indonesia yang berada disekitar
daerah khatulistiwa yakni beriklim tropis. Memiliki dua musim yaitu musim hujan
yang berlangsung pada bulan November sampai Maret dimana pada bulan
tersebut angin barat bertiup dari Asia dan Samudera Pasifik yang mengandung
banyak uap air yang lazim juga disebut musim barat. Musim kemarau atau angin
timur umumnya pada bulan Mei sampai Oktober setiap tahun. Khusus pada April
terjadi curah hujan dan tiupan angin dengan arah yang tidak menentu sehingga
bulan ini dikenal sebagai musim pancaroba.
Sebaran curah hujan di wilayah Kabupaten Kolaka pada umumnya tidak
merata, hal ini menimbulkan adanya wilayah daerah basah dan wilayah daerah
kering. Wilayah daerah basah dengan curah hujan lebih dari 2000 mm/tahun
berada pada wilayah bagian utara dengan jumlah bulan basah 5–9 bulan/tahun.
Wilayah daerah kering memiliki curah hujan kurang dari 2000 mm/tahun
ditemukan pada wilayah bagian selatan dan timur yang memiliki bulan basah
antara 3–4 bulan/tahun. Suhu udara rata-rata bulanan di wilayah Kabupaten
Kolaka berkisar antara 24oC sampai 28oC, dengan suhu udara minimum sekitar
10oC dan suhu maksimum sekitar 31oC. Keadaan suhu tersebut merupakan
akumulasi kondisi cuaca secara keseluruhan. Wilayah daratan Kabupaten Kolaka
mempunyai ketinggian umumnya dibawah 1000 meter dari permukaan laut (DKP
Kolaka 2011).
Topografi dan Kondisi Hidro-Oseanografi
Keadaan permukaan bumi di wilayah Kabupaten Kolaka umumnya terdiri
dari gunung dan bukit-bukit yang memanjang dari utara ke selatan. Antara gunung
dan bukit terbentang dataran-dataran yang merupakan daerah potensial untuk
pengembangan sektor pertanian dengan tingkat kemiringan yang bervariasi (DKP
Provinsi Sultra 2010) sebagai berikut :
0
0
 Antara 0 - 2 seluas 102,493 Ha (9,94% dari luas daratan).
0
0
 Antara 2 - 15 seluas 88,051 Ha (8,84% dari luas daratan).
0
0
 Antara 15 - 40 seluas 206,068 Ha (19,99% dari luas daratan).

13

Antara 400 keatas seluas 634,388 Ha (61,23% dari luas daratan).
Berdasarkan data tersebut di atas maka dapat dijelaskan Kabupaten Kolaka
memiliki topografi yang pada umumnya berbukit sampai bergunung-gunung dan
hanya sedikit terdapat daerah yang landai. Perkembangan daerah yang landai terus
mengalami peningkatan akibat adanya usaha pemerintah dan masyarakat setempat
untuk melakukan reklamasi pantai. Beberapa daerah yang telah mengalami
reklamasi pada daerah pantai dengan ditemukannya perumahan nelayan di atas
perairan pantai yaitu di Anaiwoi, Hakatutobu, Tambea, Dawi-dawi, Lamokato dan
Kolakaasi. Kabupaten Kolaka memiliki beberapa sungai yang cukup potensial
untuk memenuhi kebutuhan seperti; irigasi, sumber air bersih, industri, serta
pariwisata. Sungai-sungai tersebut yaitu : sungai Wolulu, sungai Oko-Oko, sungai
Huko-Huko, sungai Baula, sungai Lamekongga, sungai Ladongi, sungai
Andowengga, sungai Tokai, sungai Loea, sungai Simbune, sungai Balandete,
sungai Kolaka, sungai Manggolo, sungai Wolo, sungai Tamboli, sungai
Konaweha, sungai Mowewe dan sungai Konawe.
Sudut oseanografi luas wilayah perairan laut Kabupaten Kolaka
diperkirakan mencapai + 15.000 Km2 dan masuk ke dalam kawasan perairan
Teluk Bone. Wagey (2004) mengatakan bahwa kajian daya dukung lahan laut di
perairan Teluk Bone pada tahun 2004 menghasilkan penggambaran fenomena
yang terjadi pada periode Monsun Tenggara (Agustus 2004). Dimana Elevasi
permukaan laut pada kondisi Pasang Purnama adalah berkisar 0,0492 - 2,4140
meter. Sedangkan kecepatan arus permukaan pada kondisi yang sama berkisar
0,5x10-3 - 12,25x10-3 m/dt, dengan arah dominan menyusur pantai timur yang
kemudian menuju ke arah Utara dan Barat. Peristiwa downwelling terjadi di
beberapa lokasi di pantai barat dan upwelling di beberapa lokasi di pantai timur.
Kisaran kecepatan arus vertikal yang menuju ke atas adalah 0,5 x 10-3 - 3,5 x 10-3
m/dt, sedangkan kisaran kecepatan arus vertikal yang menuju ke bawah adalah
0,5x10-3 - 4,6x10-3 m/dt. Kondisi temperatur air di permukaan berkisar 27,083 29,029 ºC, sedangkan kisaran temperatur hingga di kedalaman rata-rata 150 meter
adalah 17,677 - 18,328ºC. Kisaran salinitas di permukaan antara 33 - 32,32 PSU,
dan kisaran salinitas di kedalaman rata-rata 150 meter mencapai 34,388 - 34,860
PSU. Sedangkan kisaran densitas dari seluruh stasiun pengamatan adalah 20 - 25
kg/m3.


Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
Potensi sumber daya kelautan dan perikanan Kabupaten Kolaka cukup besar
baik potensi sumber daya perikanan laut, darat, dan budidaya. Memiliki 13 (tiga
belas) buah pulau-pulau kecil yaitu: P. Padamarang, P. Lambasina Kecil, P.
Lambasina Besar, P. Buaya, P. Pisang, P. Maniang, P. Lemo, P. Kukusan, P.
Lamburoko, P. Campea, P. Ijo, P. Lima, P. Batu Mandi, dengan luas keseluruhan
pulau-pulau tersebut yaitu 4.384 Ha. Kondisi ini sangat mendukung bagi
pengembangan kegiatan disektor perikanan yaitu penangkapan dan budidaya
organisme laut seperti budidaya kerang mutiara di pulau Lambasina kecil dan
pulau Lambasina besar, maupun sektor lainnya seperti pertambangan dan
pariwisata seperti di pulau padamarang sebagai daerah taman wisata alam laut.
Berdasarkan pada potensi sumber daya perikanan di Kabupaten Kolaka dapat
dilihat secara lengkap pada Tabel 3.

14

Tabel 3
No
1
2
3
4
5

Potensi sumber daya perikanan dan tingkat pemanfaatan di Kabupaten
Kolaka tahun 2011
Dugaan Potensi
Tingkat Pemanfaatan
Potensi
Lestari
Volume
%
Perairan laut
37.500 ton/tahun
19.700,70 ton/thn 52,50
Perairan umum
10.000 ton/tahun
213,30 ton/thn
2,10
Budidaya air payau
8.500 Ha
4.643,36 Ha
20,80
Budidaya air tawar
6.000 Ha
369,43 Ha
7,05
Budidaya laut
7.000 Ha
27,73 Ha
8,80

Sumber : DKP Kabupaten Kolaka 2011

Produksi perikanan Kabupaten Kolaka untuk semua jenis perairan dan
kegiatan budidaya cenderung mengalami fluktuasi dari tahun 2004 hingga 2008.
Tahun 2008 tingkat pemanfaatannya mencapai 52,5% dari dugaan potensi
lestarinya sebesar 37.500 ton/thn. Produksi perairan umum tampak mengalami
fluktuasi dan cenderung menurun dimana produksi tertinggi dicapai tahun 2004
dengan volume produksi sebesar 315,90 ton dan produksi terendah tahun 2006
sebesar 144,80 ton.
Produksi perikanan budidaya air payau terlihat mengalami peningkatan
berturut-turut dari tahun 2004 sampai 2007, namun mengalami penurunan pada
tahun 2008 dengan volume produksi hanya sebesar 4.643,36 ton dan merupakan
produksi terendah selama kurung waktu lima tahun. Produksi perikanan budidaya
air tawar mengalami fluktuasi tahun 2004 hingga 2006 terlihat mengalami
peningkatan namun mengalami penurunan tahun 2007 dan kembali meningkat
tahun 2008 yang merupakan produksi tertinggi selama kurun waktu lima tahun
yaitu sebesar 369,43 ton dengan tingkat pemanfaatan sebesar 7,05%. Produksi
perikanan budidaya laut memperlihatkan peningkatan dari tahun ke tahun dan
mencapai produksi tertinggi pada tahun 2008 yaitu sebesar 27.727 ton dengan
tingkat pemanfaatan sebesar 8,8%. Perkembangan produksi perikanan Kabupaten
Kolaka pada tahun 2004 hingga 2008 untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada
Gambar 3.

Gambar 3 Perkembangan produksi perikanan Kabupaten Kolaka tahun 2004
sampai 2008

15

3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan bulan Januari sampai Juni 2012, di perairan
Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara (Lampiran 1). Lokasi dipilih dengan
pertimbangan bahwa perairan ini merupakan salah satu wilayah penangkapan ikan
kerapu di Sulawesi Tenggara.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang