Purifikasi dan Karakterisasi Protease dari Ekskretori Sekretori Stadium L3 Ascaridia galli dan Pengaruhnya Terhadap Pertahanan dan Gambaran Histopatologi Usus Halus Ayam Petelur

PURIFIKASI DAN KARAKTERISASI PROTEASE DARI
EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L3 Ascaridia galli DAN
PENGARUHNYA TERHADAP PERTAHANAN DAN GAMBARAN
HISTOPATOLOGI USUS HALUS AYAM PETELUR

UMMU BALQIS

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Purifikasi dan Karakterisasi
Protease dari Ekskretori/Sekretori Stadium L3 Ascaridia galli dan Pengaruhnya
Terhadap Pertahanan dan Gambaran Histopatologi Usus Halus Ayam Petelur
adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan manapun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.


Bogor, Agustus 2007

Ummu Balqis
NRP. B063040051

RINGKASAN
UMMU BALQIS. Purifikasi dan Karakterisasi Protease dari Ekskretori/Sekretori
Stadium L3 Ascaridia galli dan Pengaruhnya Terhadap Pertahanan dan Gambaran
Histopatologi Usus Halus Ayam Petelur. Dibawah bimbingan RISA TIURIA
PRIOSOERYANTO, BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO, dan MAGGY
THENAWIJAYA SUHARTONO.
Infeksi cacing nematoda parasitik Ascaridia galli berlangsung di dalam usus
halus unggas. Penelitian ini dilakukan untuk memurnikan dan menganalisa karakter
protease dari ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli sebagai pemicu pertahanan
mukosa berdasarkan proliferasi dan hiperplasia sel goblet, sel mast mukosa, sel
eosinofil pada usus halus ayam petelur. Dosis 6000 L2 diberikan langsung ke dalam
oesofagus 100 ekor ayam, dan tujuh hari kemudian larva yang sudah menetas (L3)
diambil kembali dari dalam usus halus. L3 dikultur secara in vitro dalam medium
Rosswell Park Memorial Institute (RPMI 1640), pH 6,8, tanpa merah fenol dalam

inkubator pada temperatur 37oC dan 5% CO2 selama 3 hari. Ekskretori/sekretori
dipreparasi dari produk metabolisme L3 yang dilepaskan ke dalam medium kultur.
Protease dimurnikan dengan ammunium sulfat, dialisis yang diikuti dengan
kromatografi filtrasi gel matriks sephadex G-100. Matriks DEAE sephadex A-50
digunakan untuk pemurnian protease melalui kromatografi anion exchange. Aktivitas
protease diuji pada kasein 2%. Aktivitas protease dikaji terhadap sensitivitas
inhibitor, temperatur, dan pH. Konsentrasi protein dihitung mengikuti metode
Bradford. Berat molekul protease diestimasi melalui sodium dodecyl sulphate
polyacrylamide gel electrophoresis (SDS PAGE).
Ayam diimunisasi dengan dosis 80 μg (dengan aktivitas enzim 0,0098 U/ml
pada crude dan 0,877 U/ml pada pure) protease serin hasil ekskresi cacing yang
dicampur dengan Fruend Adjuvant Complete. Imunisasi diulang tiga kali dengan
dosis 60 μg (dengan aktivitas enzim sebesar 0,0074 U/ml pada crude dan 0,657 U/ml
pada pure setiap kali imunisasi) protease serin yang dicampur dengan Freund
Adjuvant Incomplete dalam interval waktu satu minggu secara intra muskular. Satu
minggu kemudian, ayam ditantang dengan dosis 1000 L2 A. galli, dan dinekropsi dua
minggu pascatantang. Respons sel eosinofil, sel goblet dan sel mast mukosa diamati
dan dihitung jumlahnya pada usus halus ayam petelur. Larva A. galli yang ditemukan
di dalam usus halus dihitung jumlahnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas enzim pada fraksi 31

kromatogram filtrasi gel lebih tinggi dibandingkan dengan anion exchange. Stadium
L3 A. galli melepaskan protease serin yang dihambat oleh PMSF. Temperatur dan pH
optimum enzim berturut-turut 70oC dan 7. Aktivitas dan aktivitas spesifik enzim
adalah 0,625 U/ml dan 4x10-3 U/mg. Estimasi berat molekul enzim pada 28 kDa.
Imunisasi dapat meningkatkan jumlah sel goblet, sel mast, dan sel eosinofil secara
signifikan (P < 0,05). Imunisasi dapat menurunkan secara signifikan jumlah larva
yang bertahan di dalam usus halus ayam petelur setelah dua minggu infeksi dosis
1000 L2 A. galli. Protease serin dapat memicu pertahanan mukosa terhadap penyakit
parasitik yang disebabkan oleh A. galli.
Kata kunci: Ascaridia galli, protease, ekskretori/sekretori , goblet, mast, eosinofil

SUMMARY
UMMU BALQIS. Purification and Characterization Protease from Excretory/
Secretory of Ascaridia galli L3 Stage and it’s effect against Defense and
Histopathology of Intestine in Laying Hens. Under the guidance of RISA TIURIA
PRIOSOERYANTO, BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO, and MAGGY
THENAWIJAYA SUHARTONO.
The parasitic nematode Ascaridia galli occurs in the small intestine of the
poultry. A study was carried out to purify and characterize protease from
exretory/secretory of A. galli L3 stage to trigger mucosal responses based on

proliferation and hyperplasia goblet, mucosal mast cells, and eosinophil in laying
hens. A. galli L3 were recovered from intestines of 100 heads chickens 7 days after
oesophagus inoculation with 6000 L2. L3 recovered in this manner were cultured (5 –
10 ml-1) in flasks containing rosswell park memorial institute (RPMI) 1640 media,
pH 6.8, without phenol red. Cultures were incubated at 370C in 5% CO2 and culture
fluid was collected after 3 days in culture. Excretory/secretory was prepared from
metabolic product of L3 released in culture medium. Protease purified using
ammonium sulphate, dialysis and matrix sephadex G-100 gel filtration
chromatography. Matrix DEAE sephadex A-50 were used to purified protease by
mean of anion exchange chromatography. The protease activity was assayed against
casein. Inhibitor sensitivity, temperature, and pH optimum on protease activity were
studied. Protein concentration were counted as described in Bradford method. The
molecular weight of protease was determined with sodium dodecyl sulphate
polyacrylamide gel electrophoresis (SDS PAGE).
The chickens immunized with 80 µg (with enzyme activity 0,0098 U/ml in
crude and 0,877 U/ml in pure) mixed with Fruend Adjuvant Complete and repeated
three times with dose of each 60 µg (with enzyme activitity 0,0074 U/ml in crude and
0,657 U/ml in pure of each immunization) protease of A. galli L3 mixed with Freund
Adjuvant Incomplete with an interval of one week intra muscularly. One week later,
the chickens were challenged with 1000 L2 of A. galli, and necrop two weeks post

challenged. Goblet, mucosal mast cells, and eosinophil reaction were observed in
intestinal of laying hens immunized with the purity of protease. A. galli larvae
recovered from intestines were counted.
The result showed that enzyme activity after chromatography gel filtration
more highly compared anion exchange. L3 released serine protease which is
inhibited by PMSF. Temperature and pH optimum of the enzyme are 70oC and 7,
respectively. The enzyme activity and protease specific activity are 0,625 U/ml and
4x10-3 U/mg, the molecular weight is estimate on 28 kDa. Immunization was able to
increased significantly (P < 0,05) goblet, mast, and eosinophil cells proliferation on
duodenum, jejunum, and ileum. A. galli larvae recovered in intestinal of immunized
laying hens were decreased significantly at two weeks post infection of 1000 L2 A.
galli. This reseach concluded that the protease was able to trigger mucosal
responses against parasitic diseases caused by A. galli.

Key words: Ascaridia galli, protease, excretory/secretory, goblet, mast, eosinophil

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2007
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

PURIFIKASI DAN KARAKTERISASI PROTEASE DARI
EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L3 Ascaridia galli DAN
PENGARUHNYA TERHADAP PERTAHANAN DAN GAMBARAN
HISTOPATOLOGI USUS HALUS AYAM PETELUR

UMMU BALQIS

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

Judul Disertasi

:

Purifikasi
dan
Karakterisasi
Protease
dari
Ekskretori/Sekretori Stadium L3 Ascaridia galli dan
Pengaruhnya Terhadap Pertahanan dan Gambaran
Histopatologi Usus Halus Ayam Petelur

Nama Mahasiswa

:


UMMU BALQIS

Nomor Pokok

:

B063040051

Program Studi

:

SAINS VETERINER

Disetujui :
Komisi Pembimbing

Dr. drh. Risa Tiuria Priosoeryanto, MS.
Ketua


Dr. drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS Prof.Dr. Ir. Maggy Thenawijaya Suhartono
Anggota
Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi Sains Veteriner

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. drh. Bambang P. Priosoeryanto,MS Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS

Tanggal Ujian: 17 September 2007

Tanggal Lulus:

i

PRAKATA
Syukur Alhamdulillah dipanjatkan kehadhirat Allah SWT. yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan Disertasi yang berjudul: Purifikasi dan Karakterisasi Protease dari
Ekskretori/Sekretori Stadium L3 Ascaridia galli dan Pengaruhnya Terhadap
Pertahanan dan Gambaran Histopatologi Usus Halus Ayam Petelur.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. Risa Tiuria
Priosoeryanto, MS sebagai ketua komisi pembimbing, Dr. drh. Bambang Pontjo
Priosoeryanto, MS dan Prof. Dr. Ir. Maggy Thenawijaya Suhartono, masing-masing
sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan
dorongan sejak awal penulis mengikuti pendidikan. Penulis menyampaikan terima
kasih kepada Dr. drh. Wiwin Winarsih, MSi. dan drh. Suhardono, MSc., Ph.D., APU.
yang bertindak selaku Penguji Luar Komisi yang telah memberikan masukan dan
koreksi untuk penyempurnaan karya ini.
Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya disampaikan kepada
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, dan Rektor Universitas Syiah Kuala yang telah
memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program Doktor
pada program studi Sains Veteriner Institut Pertanian Bogor. Terima kasih juga
disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
Nasional Republik Indonesia, dan Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam
yang telah memberikan bantuan beasiswa masing-masing melalui Beasiswa
Pendidikan Program Pascasarjana (BPPS) dan Bantuan Beasiswa Nanggroe Aceh
Darussalam (BB NAD). Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementrian

Negara Riset dan Teknologi yang telah mendanai penelitian ini melalui Riset
Unggulan Terpadu XII. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah turut serta membantu
dalam penyelenggaraan pendidikan, persiapan, perencanaan, pelaksanaan, dan
pengolahan data penelitian serta penulisan Disertasi ini.
Kepada ayahanda Alm. H. Razali Ahmad, ibunda Alm. Hj. Siti Hawa,
ayahanda dan ibunda mertua Kamaruzzaman dan Fatimah, saudaraku dr. Muhammad
Iqbal, Sp.A., Dr. drh. Muhammmad Hambal dan Muhammad Syaibal, S.Sos, serta
kepada kakak dan adik ipar, penulis mengucapkan terima kasih atas segala doa,
dukungan dan dorongan semangat yang telah diberikan. Kebanggaan penulis kepada
suami tercinta, Dr. drh. Darmawi, MSi. yang senantiasa setia menanamkan kesabaran
dan selalu dapat memberi opsi terbaiknya dalam menghadapi setiap masalah.
Perhatian dan rasa tanggung jawab yang kakanda curahkan sangat berarti. Terima
kasih kepada putra dan putri tersayang, Rahi Abdurrahman dan Rania Samira, yang
telah memberikan kesejukan hati dan pengertian sehingga sangat memudahkan
penulis menempuh studi.
Penulis menyadari bahwa karya ini masih banyak yang harus disempurnakan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang dapat menyempurnakan tulisan ini kiranya
dapat disampaikan kepada penulis, semoga Disertasi ini dapat memberikan
sumbangan ilmu pengetahuan terutama dalam dunia kedokteran hewan.
Bogor, Agustus 2007
Wassalam,
Ummu Balqis

ii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 13 januari 1970, sebagai anak
ketiga dari empat saudara dari pasangan ayahnda Alm. H. Razali Ahmad dan ibunda
Alm. Hj. Siti Hawa. Pendidikan sarjana dan profesi dokter hewan ditempuh pada
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala (FKH-UNSYIAH), lulus tahun
1996. Sejak tahun 1998, penulis diangkat sebagai staf pengajar pada FKHUNSYIAH. Pada tahun 2001, penulis mendapat kesempatan mengikuti pendidikan
program Magister pada program studi Sains Veteriner Institut Pertanian Bogor, lulus
pada tahun 2003. Pada tahun 2004, penulis melanjutkan pendidikan program Doktor
pada program studi dan perguruan tinggi yang sama. Beasiswa pendidikan
pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia melalui Beasiswa Pendidikan Program
Pascasarjana (BPPS) dan Bantuan Beasiswa Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh
Darussalam (BB NAD).

iii

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………

i

PRAKATA ………………………………………………………………….

ii

RIWAYAT HIDUP ………………………………………………………...

iii

DAFTAR ISI .................................................................................................

iv

DAFTAR TABEL …………………………………………………………..

vii

DAFTAR GAMBAR .....................................................................................

viii

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................

ix

PENDAHULUAN ………………………………………………………… .

1

Latar Belakang …………………………………………………….

1

Tujuan Penelitian ………………………………………………….

4

Hipotesis ……………………………………………………………

4

Manfaat Penelitian …………………………………………………

4

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................

5

Cacing Ascaridia galli .......................................................................

5

Enzim Protease Pada Eksretori/Sekretori Cacing ...............................

6

Peranan Sel Goblet Pada Kekebalan Terhadap Cacing .....................

9

Peranan Sel Mast Pada Kekebalan Terhadap Cacing .......................

10

Peranan Sel Eosinofil Pada Kekebalan Terhadap Cacing .................

10

Struktur Usus Halus Unggas .............................................................

11

DISAIN PENELITIAN .................................................................................

13

PURIFIKASI PROTEASE DARI EKSKRETORI/SEKRETORI
STADIUM L3 Ascaridia galli ........................................................................

14

Abstrak .............................................................................................

14

Abstract .............................................................................................

14

Pendahuluan ......................................................................................

15

Metode Penelitian .............................................................................

16

iv

Hasil Penelitian .................................................................................

20

Pembahasan .......................................................................................

24

Kesimpulan .......................................................................................

27

KARAKTERISASI PROTEASE DARI EKSKRETORI/SEKRETORI
STADIUM L3 Ascaridia galli ......................................................................

28

Abstrak .............................................................................................

28

Abstract .............................................................................................

28

Pendahuluan ......................................................................................

29

Metode Penelitian .............................................................................

30

Hasil Penelitian .................................................................................

34

Pembahasan .......................................................................................

37

Kesimpulan .......................................................................................

40

RESPONS PERTAHANAN MUKOSA USUS HALUS AYAM
PETELUR YANG DIIMUNISASI DENGAN PROTEASE DAN
DITANTANG DENGAN DOSIS L2 Ascaridia galli .............................

41

Abstrak .............................................................................................

41

Abstract .............................................................................................

41

Pendahuluan ......................................................................................

42

Metode Penelitian .............................................................................

43

Hasil Penelitian .................................................................................

45

Pembahasan .......................................................................................

56

Kesimpulan .......................................................................................

61

GAMBARAN HISTOPATOLOGI USUS HALUS AYAM PETELUR
YANG DIIMUNISASI DENGAN PROTEASE DAN DITANTANG
DENGAN DOSIS 1000 L2 Ascaridia galli ..............................................

62

Abstrak .............................................................................................

62

Abstract .............................................................................................

62

Pendahuluan ......................................................................................

63

Metode Penelitian .............................................................................

64

v

Hasil Penelitian .................................................................................

66

Pembahasan .......................................................................................

72

Kesimpulan .......................................................................................

74

PEMBAHASAN UMUM ………...…………………………………………

75

KESIMPULAN UMUM …………………………………………………….

85

SARAN ……………………………………………………………………..

85

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..

86

LAMPIRAN …………………………………………………………………

92

vi

DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman

1. Purifikasi protease dari ekskretori/sekretori L3 A. galli dengan gel filtrasi 22
2. Purifikasi protease dari ekskretori/sekretori L3 A. galli dengan
anion exchange

................................................................................

24

3. Prosedur pengukuran aktivitas protease mengikuti metode Bergmeyer .... 31
4. Pengaruh inhibitor atau aktivator terhadap aktivitas protease .................. 36
5. Rata-rata jumlah sel goblet pada 1000 sel absorbtif usus halus ................. 46
6. Rata-rata jumlah sel mast pada 10 VCU mukosa usus halus ..................... 47
7. Rata-rata jumlah sel eosinofil pada 10 lapang pandang ...........................

55

8. Rata-rata jumlah L3 yang ditemukan dalam usus halus dua minggu
pascainfeksi ............................................................................................... 56
9. Rata-rata kerapatan villi per mm pada usus halus ayam petelur ..............

70

10. Rata-rata luas permukaan villi (mm2) usus halus ..................................... 71
11. Karakteristik protease dari parasit ............................................................ 70

vii

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

1. Aktivitas enzim crude ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli pada
buffer dan pH yang berbeda ...................................................................

20

2. Optimasi aktivitas enzim crude ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli
dengan pengendapan ammunium sulfat ...................................................

21

3. Kromatogram gel filtrasi matriks sephadex G-100 ..................................

23

4. Kromatogram anion exchange matriks DEAE sephadex A-50 ...............

23

5. Pengaruh temperatur terhadap aktivitas enzim crude ekskretori/sekretori
stadium L3 A. galli .................................................................................... 34
6. Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim ..................................................... 35
7. Visualisasi pita-pita protein ...................................................................... 36
8. Rata-rata jumlah sel goblet pada 1000 sel absorbtif usus halus ..............

46

9. Rata-rata jumlah sel mast pada 10 VCU mukosa usus halus ...................

48

10. Proliferasi sel goblet duodenum ...............................................................

49

11. Proliferasi sel mast duodenum .................................................................. 52
12. Gambaran histopatologi duodenum masing-masing kelompok ayam
percobaan .................................................................................................. 67
13. Rata-rata kerapatan villi per mm pada usus halus ayam petelur ............... 70
14. Rata-rata luas permukaan villi (mm2) usus halus ...................................... 71

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Halaman

1. Larutan yang digunakan pada medium RPMI 1640 ............................

92

2. Pembuatan Reagen SDS PAGE …..………………………………….

93

3. Pembuatan Reagen Pewarnaan PAS dan HE .......................................

95

4. Prosedur Pewarnaan Khusus (Periodic Acid Schiff) .....................................

96

5. Prosedur Pewarnaan Hematoxylin Eosin .......................................................

97

6. Pembuatan Reagen Pewarnaan Sel Mast ............................................

98

7. Prosedur Pewarnaan Sel Mast .......................................................................

99

ix

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Masalah kecacingan yang disebabkan oleh Ascaridia galli pada ayam petelur
masih saja terjadi, akibatnya dapat menimbulkan

kerugian ekonomi yang

sangat

berarti. Meskipun jarang menimbulkan kematian, namun ayam petelur mengalami
penurunan produksi yang sangat signifikan karena sifat penyakit yang berjalan kronis
(Kanwar et al. 1998). Cacing yang survive di dalam saluran cerna menjadi pengganggu
pertumbuhan sehingga dapat menurunkan 30% bobot badan dan penurunan produksi
telur yang mencapai 63% (Tiuria et al. 2001). Infeksi A. galli dapat menimbulkan lesio
patologis seperti deskuamasi, hiperemi dan hemoragi (Balqis 2004), dan juga ulserasi
intestinal yang kadang-kadang berakhir dengan kematian (Taiwo et al. 2002).
Sampai saat ini metode pengendalian ascaridiosis masih mengandalkan pada
pemberian anthelmintika. Senyawa ini hanya berfungsi mengeluarkan cacing dewasa
dari dalam lumen saluran cerna, sedangkan larva yang hidup dalam fase jaringan tidak
terjangkau. Keburukan lainnya akibat pemberian anthelmintika secara terus-menerus
dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan resistensi cacing terhadap
anthelmintika. Oleh sebab itu harus dicari metode alternatif pengganti anthelmintika.
Untuk mendapatkan metode pengendalian alternatif yang tepat dan akurat,
haruslah dipahami mekanisme interaksi parasit dan inang definitif. Interaksi cacing
dengan inang definitif ditentukan oleh faktor invasif berupa suatu substansi bioaktif
yang dieksresi/sekresikan oleh cacing selama bersarang di dalam tubuh inang definitif.
Ekskretori/sekretori cacing nematoda mengandung protease yang berperan sebagai
pemecah barier pertahanan selaput lendir (mukosa) saluran cerna dan bersifat antigenik
(Rhoads et al. 1997; Harnett et al. 1997; dan Vervelde et al. 2003). Untuk menjalani fase
jaringan, stadium L3 A. galli melepaskan protease ekstraselular yang dapat memecah
jaringan inang definitif sehingga cacing bertahan (survive) mencapai dewasa.
Ekskretori/sekretori A. galli dewasa yang dihasilkan melalui metabolisme cacing dapat
ditanggapi oleh inang definitif sebagai antigen yang dapat memicu terjadinya
peningkatan imunitas selaput lendir ayam petelur (Darmawi 2003 dan Balqis 2004).

2

Penelitian ini dirancang untuk purifikasi dan karakterisasi protease yang akan
diaplikasikan sebagai antigen pemicu respons pertahanan selaput lendir mukosa saluran
cerna ayam petelur. Pemanfaatan protease yang dilepaskan larva A. galli sebagai antigen
untuk merangsang respons imunitas inang definitif sangat prospektif diterapkan. Seperti
laporan peneliti terdahulu telah membuktikan bahwa ekskretori/sekretori yang
dilepaskan cacing nematoda seperti Ostertagia circumcincta dan Onchocerca gipsoni
pada sapi (Harnett et al., 1997), Ascaris suum pada babi (Rhoads et al., 2001),
Haemonchus contortus pada domba (Vervelde et al., 2003) mengandung protease yang
berperan sebagai molekul biologik aktif pemicu respons imunitas inang definitif.
Penelitian yang menunjukkan prospek pengendalian helminthosis secara
imunoprofilaksis telah banyak dikembangkan. Tiuria et al. (2000) melaporkan bahwa
respons imunitas dapat dipicu oleh pemberian larva infektif. Aplikasi 380 μg protein
ekskretori/sekretori A. galli dewasa dapat merangsang proliferasi sel mast mukosa
(Darmawi 2003) dan proliferasi sel goblet (Balqis 2004) sehingga mengurangi ancaman
infeksi A. galli pada ayam petelur. Cacing A. galli memiliki antigen somatis, antigen
permukaan

dan

antigen

ekskretori/sekretori

(Tiuria

et

al.

2003).

Antigen

ekskretori/sekretori terbukti mengandung konsentrasi protein yang lebih tinggi
dibandingkan antigen lainnya (Darmawi 2003 dan Balqis 2004a). Visualisasi pita protein
antigen ekskretori/sekretori stadium L2 dan stadium dewasa A. galli pada uji Sodium
Dodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) menunjukkan berat
molekul masing-masing protein adalah 35 dan 40 – 66 kDa (Tiuria et al. 2003). Namun,
hingga saat ini belum pernah dilakukan purifikasi dan karakterisasi protease yang
dilepaskan oleh stadium L3 A. galli, dan belum juga diketahui potensinya sebagai
pemicu respons pertahanan mukosa intestinum terhadap ascaridiosis.
Protease dipilih menjadi fokus penelitian karena senyawa aktif tersebut berperan
sebagai faktor invasif yang memudahkan invasi larva ke jaringan. Protease juga
berpotensi sebagai pemicu respons imunitas karena dianggap sebagai benda asing oleh
inang definitif. Dengan demikian, protease memfasilitasi interaksi antara cacing A. galli
sebagai parasit dengan ayam petelur sebagai inang definitif dan bersifat antigenik yang
dapat menggertak sistem imun inang definitif untuk menghalangi invasi larva. Apabila

3

strategi pengendalian ascaridiosis dengan cara memutus rantai siklus hidup cacing pada
stadium transisi L3 dapat dilakukan, maka larva gagal bertahan di jaringan, sehingga
larva A. galli dapat dikeluarkan secara cepat (worm expulsion).
Respons imunitas selaput lendir saluran cerna inang definitif terhadap infeksi
cacing nematoda dapat dibangkitkan oleh antigen cacing tersebut (Tizard 1995).
Vervelde et al. (2003) melaporkan bahwa antigen ekskretori/sekretori dapat memicu
peningkatan respons sel T helper 2 (Th-2). Roitt dan Delves (2001) menyatakan bahwa
reaksi sel Th-2 dapat menggertak pelepasan sitokin terutama interleukin (IL-3, IL-4 dan
IL-5). Menurut Tizard (1995) IL-3 merangsang sel mast berdegranulasi untuk
melepaskan mediator peradangan, senyawa vasoaktif dan kemoatraktan yang berfungsi
untuk merekrut sel eosinofil. IL-5 merangsang aktivasi sel eosinofil untuk melepaskan
mediator kimia seperti enzim hidrolitik dan zat sitotoksik. Aktivasi sitokin yang
dilepaskan oleh sel Th-2 merangsang proliferasi, hiperplasia, dan pelepasan mukus yang
bersifat viscoelastic gel oleh sel goblet. Mukus melindungi permukaan usus halus dari
ancaman invasi, dan membatasi gerakan cacing dengan cara menutupi kutikulanya.
Mekanisme pengeluaran cacing dari dalam tubuh dijelaskan oleh Roitt dan
Delves (2001) bahwa kutikula cacing nematoda Nipprostrongylus brasiliensis dirusak
oleh antibodi yang disekresikan ke dalam lumen intestinal tikus. Tizard (1995)
menyatakan bahwa untuk melawan infeksi cacing nematoda Toxocara canis, antibodi
spesifik menutupi oral dan saluran anal (secretory pores) cacing nematoda tersebut.
Cacing dijerat melalui fragment antibodi (Fab), sedangkan fragment constant (Fc)
antibodi tertanam ke dalam reseptor FcєRI yang terdapat pada permukaan sel mast
mukosa dan sel eosinofil. Transduksi sinyal dari rantai γ pada reseptor FcєRI
menyebabkan degranulasi sel mast mukosa untuk melepaskan senyawa faktor
kemotaktik, faktor vasoaktif, histamin dan serotinin. Histamin memicu kontraksi otot
pada usus halus, dan serotonin menyebabkan vasokontriksi sehingga meningkatkan
tekanan darah. Kontraksi usus halus dan sel eosinofil melepaskan major basic protein
yang bersifat helmintoksik sehingga cacing dapat dikeluarkan melalui self cure reaction.

4

Tujuan Penelitian
1. Untuk mendapatkan protease murni yang dipurifikasi dari ekskretori/sekretori
stadium L3 Ascaridia galli asal Bogor.
2. Untuk mengetahui karakter protease yang dilepaskan melalui ekskretori/sekretori
stadium L3 A. galli.
3. Untuk mengetahui potensi protease sebagai pemicu respons kekebalan mukosa
berdasarkan proliferasi sel goblet, sel mast mukosa serta migrasi sel eosinofil ke
jaringan mukosa usus halus ayam petelur.
4. Untuk mengetahui pengaruh pemberian protease dan infeksi A. galli terhadap
perubahan patologi usus halus ayam petelur.

Hipotesis
1. Diduga bahwa ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli mengandung protease.
2. Diduga bahwa ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli memiliki karakter
protease.
3. Diduga bahwa protease dari ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli berpotensi
sebagai pemicu respons kekebalan mukosa berdasarkan hiperplasia dan
proliferasi sel goblet, sel mast mukosa serta migrasi sel eosinofil ke jaringan
mukosa usus halus ayam petelur.
4. Diduga bahwa pemberian protease dapat berpengaruh terhadap perubahan
patologi usus halus ayam petelur yang diinfeksi dengan A. galli.

Manfaat Penelitian
Manfaat Akademik
1. Untuk menambah informasi bahwa protease serin bersifat imunogenik.
2. Untuk melengkapi data mengenai sumber protease serin yang sudah diketahui
pada spesies lain.
Manfaat Operasional
Protease serin diharapkan dapat diaplikasikan sebagai salah satu alternatif untuk
dikembangkan sebagai kandidat vaksin terhadap ascaridiosis pada ayam petelur.

5

TINJAUAN PUSTAKA

Cacing Ascaridia galli
Menurut Soulsby (1982) cacing Ascaridia galli mempunyai sinonim
Ascaridia lineata dan Ascaridia perspiculum yang diklasifikasikan ke dalam kelas
Nematoda, sub kelas Secernentea, ordo Ascaridia, superfamili Ascaridiodea, famili
Ascarididae, dan genus Ascaridia. Cacing A. galli merupakan cacing terbesar dalam
kelas nematoda pada unggas. Tampilan cacing dewasa adalah semitransparan,
berukuran besar, dan berwarna putih kekuning-kuningan. A. galli memiliki kutikula
ekstraseluler yang tebal untuk melindungi membran plasma hipodermal nematoda
cacing dewasa (Bankov dan Barrett 1993). Pada bagian anterior terdapat sebuah
mulut yang dilengkapi dengan tiga buah bibir, satu bibir terdapat pada dorsal dan dua
lainnya pada lateroventral. Pada kedua sisi terdapat sayap yang sempit dan
membentang sepanjang tubuh (Calneck 1997). Permin dan Hansen (1998)
mengatakan bahwa cacing jantan dewasa berukuran panjang 51 – 76 mm dan cacing
betina dewasa 72 – 116 mm. Cacing jantan memiliki preanal sucker dan dua spicula
berukuran panjang 1 – 2,4 mm, sedangkan cacing betina memiliki vulva
dipertengahan tubuh. Telur A. galli berbentuk oval, berkerabang lembut, dan
berukuran 73–92 x 45–57μm.
Siklus hidup A. galli bersifat langsung yaitu pematangan seksual berlangsung
di dalam traktus gastrointestinal inang definitif dan stadium infektif (L2) berlangsung
di dalam telur resisten berembrio di lingkungan bebas. Telur dikeluarkan bersama
feses inang definitif dan akan mencapai stadium infektif dalam waktu 10 – 20 hari
atau tergantung kepada temperatur serta kelembaban lingkungan (Permin dan Hansen
1998). Daur hidup disempurnakan ketika L2 tertelan oleh inang definitif melalui
makanan atau air terkontaminasi. Telur mengandung larva L2 secara mekanik
terbawa ke duodenum atau jejunum hingga menetas setelah 24 jam kemudian.
Selama penetasan gelungan larva muncul dari ujung anterior telur melewati celah
terbuka keluar ke dalam lumen intestinal untuk menjadi L3. Menurut Permin dan
Hansen (1998)

larva L3 A. galli melanjutkan fase histotropik dengan cara

menanamkan dirinya pada lapisan mukosa duodenum (fase jaringan). Durasi fase
histotropik berlangsung selama 3 – 54 hari pasca infeksi. Setelah mengalami empat

6

kali molting, L5 (cacing muda) akan tumbuh dan mencapai dewasa di dalam lumen
duodenum (fase lumen). Periode prepaten cacing A. galli berlangsung dalam waktu 5
– 8 minggu (Soulsby 1982), dan 11 – 15 minggu (Athaillah 1999).
Permin et al. (1998) juga mengatakan bahwa sifat penyakit parasitik cacing
A. galli biasanya berjalan kronis sehingga menimbulkan gejala sakit yang perlahan
atau subklinis. Kecacingan tidak menyebabkan mortalitas tetapi menghasilkan
morbiditas. Infeksi A. galli pada ayam normal umumnya singkat dan jarang
menyebabkan kerusakan permanen

(Permin et al. 1998), karena tubuh ayam

memiliki suatu sistem kekebalan yang dapat melindungi tubuhnya dari unsur-unsur
patogen (Tizard 1996). Namun, Taiwo et al. (2002) melaporkan bahwa Ascaridiosis
yang telah berlangsung dalam waktu yang lama (infeksi kronis) dapat menyebabkan
gastroenteritis ulseratif, hepatitis nekrotik dan nepritis yang dapat berakhir dengan
kematian.

Enzim Protease Pada Eksretori/Sekretori Cacing
Protease adalah enzim yang menghidrolisis ikatan peptida pada protein.
Untuk melakukan aktivitasnya, protease membutuhkan air sehingga dikelompokkan
ke dalam kelas hidrolase. Protease berperan dalam sejumlah reaksi biokimia seluler.
Selain diperlukan untuk degradasi senyawa protein nutrien, protease terlibat dalam
sejumlah mekanisme patogenisitas, sejumlah proses pasca translasi protein, dan
mekanisme ekspresi protein ekstraseluler (Rao et al. 1998).
Pelepasan protease oleh cacing nematode parasitik mempunyai peranan
penting pada proses reaksi biologik seperti metabolisme protein, hatching, molting,
patogenesis, dan respons imun. Aktivitas protease mempunyai korelasi yang
signifikan pada saat cacing parasitik menjalani penetrasi ke jaringan diantaranya
Ascaris suum pada babi (Rhoads et al. 1997), Ostertagia ostertagi pada sapi (Cock et
al. 1993), Ostertagia circumcincta, Haemonchus contortus, Trichostrongylus spp.
pada ruminansia (Knox dan Jones 1990), Onchocerca gibsoni pada sapi (Harnett et
al. 1997), Trichinella spiralis pada mamalia dan manusia (Todorova 2000), dan
Anisakis simplex pada ikan (Iglesias et al. 2005), Onchocerca volvulus pada manusia
(Ford et al. 2005).

7

Hasil identifikasi Rhoads et al. (1997) membuktikan bahwa A. suum
mensekresikan aminopeptidase. Aktivitas protease diidentifikasikan di dalam cairan
kultur yang dikoleksi selama perkembangan larva stadium transisi L3 –L4. Substrat
peptida flurogenik yang tidak menghambat N-terminal secara spesifik dihidrolisa
yang mengidentifikasi aktifitas aminopeptidase. Cairan kultur tidak menghidrolisa
substrat peptida fluorogenik yang dihambat N-terminal (endopeptidase substrat).
Aktifitas aminopeptidase dihambat oleh 1,10-phenanthrolin (metalloprotease
inhibitor), amastatin, dan bestatin (aminopeptidase inhibitor). Berat molekul
aminopeptidase 293 kDa diestimasi dengan densitas gradient sentrifugasi.
Aminopeptidase tersebut menunjukkan keasaman dengan titik isoelektrik pada 4,7.
Pelepasan aminopeptidase dianggap esensial sebagai perantara proses perkembangan
dan survival parasit, seperti penetasan telur, molting, excystment, dan merupakan
interaksi yang kritis antara inang dan parasit sebagai pemecah jaringan inang untuk
menfasilitasi invasi, migrasi, dan modulasi mekanisme imun inang. Produk yang
dilepaskan selama perkembangan larva stadium transisi L3–L4 A. suum berpotensi
digunakan dalam strategi pengendalian imunoprofilaksis infeksi cacing parasitik.
Beberapa enzim yang bercirikan proteinase berukuran 25 – 55 kDa
diidentifikasi pada larva Trichinella spiralis melalui substrat gel elektroforesis dan
dikarakterisasi berdasarkan pH optimum, spesifisitas substrat, dan sensitivitas
inhibitor dengan menggunakan uji azocasein. Aktivitas serine, sisteine, dan
metalloproteinase diidentifikasi pada pH 5 – 7. Proteinase serine yang dilepaskan
pada stadium larva T. spiralis diketahui menghasilkan respons antibodi lebih
menonjol. Aktivitas proteinase dihambat oleh IgG yang diisolasi dari mencit yang
diinfeksi dengan T. spiralis. Aktivitas azolitik dan elastolitik kemungkinan sebagai
implikasi penetrasi ke jaringan. Interaksi host-parasit yang dikaji oleh Todorova
(2000) tersebut menerangkan relevansi pengembangan vaksin anti trichinellosis.
Nagano et al. (2004) membuktikan bahwa protease sistein yang diekspresikan
oleh Clonorchis sinensis dapat diaplikasikan sebagai perangkat diagnostik pada uji
enzyme linked immunosorbant assay (ELISA) untuk imunodiagnosis terhadap
clonorchiasis. Aplikasi protease sistein yang dihasilkan oleh Haemonchus contortus
dapat memberikan imunoproteksi terhadap haemonchosis pada kambing (Ruiz et al.
2004). Eksperimen Yadav et al. (2005) pada ruminansia membuktikan bahwa

8

cathepsin-L protease sistein dari ekskretori/sekretori Fasciola gigantica dapat
digunakan sebagai antigen dalam uji ELISA untuk mendeteksi fasciolosis selama
empat minggu pascainfeksi pada kerbau dan domba.
Menurut komisi tatanama Internasional Union of Biochemist and Molecular
Biologist, protease termasuk kedalam kelompok III sub kelompok IV, yaitu golongan
hidrolase

pemecah

substrat

protein

(Thenawijaya

1989).

Protease

dapat

dikelompokkan berdasarkan jenis reaksi yang dikatalisis, sifat kimiawi sisi aktif
enzim dan hubungan evolusi struktur enzim. Protease dibagi atas 2 golongan besar,
yaitu peptidase dan proteinase. Golongan peptidase terdiri atas aminopeptidase,
karboksipeptidase dan omega peptidase, sedangkan golongan proteinase berdasarkan
kerjanya terdiri atas protease serin, protease sistein atau sulfhidril, protease metal dan
protease asam (Suhartono 2000).
Protease serin adalah enzim yang mempunyai residu serin pada lokasi
aktifnya. Enzim ini bersifat endopeptidase misalnya tripsin, kimotripsin, elstase, dan
subtilisin.

Aktivitas

protease

golongan

ini

dihambat

dengan

kuat

oleh

disoprofilfluorophosphate (DFP) karena adanya reaksi DFP dengan gugus hidroksil
dari residu serin pada sisi aktif (Armas-Serra et al. 1993). Nagano et al. (2004)
menyatakan bahwa protease sistein disebut juga sulfhidril atau protease tiol yaitu
enzim yang aktivitasnya tergantung pada adanya satu atau lebih residu sulfhidril pada
sisi aktifnya. Aktivitas enzim ini menurut Ruiz et al. (2004) dapat dihambat oleh
adanya senyawa oksidator, alkilator, dan ion-ion logam berat yang akan mengikat
grup tiolnya. Protease yang termasuk golongan ini adalah papain, fisin, dan bromelin.
Menurut Armas-Serra et al. (1993) protease metal adalah protease yang
aktivitasnya tergantung pada adanya ion logam. Biasanya terdapat hubungan
stoikiometri yaitu satu mol logam per mol enzim. Logam-logam yang dapat
mengaktifkan enzim-enzim golongan ini adalah Mg, Zn, Co, Mg, Cd, dan Cu.
Aktivitas protease golongan ini dihambat oleh sianida dan logam berbahaya serta
senyawa EDTA karena senyawa ini dapat mengkelat logam sehingga aktivitasnya
akan berkurang. Protease yang termasuk ke dalam golongan ini adalah karboksi
peptidase A dan beberapa amino peptidase. Protease asam adalah enzim yang
aktivitasnya disebabkan oleh adanya dua gugus karboksil pada sisi aktifnya.
Aktivitas protease ini dihambat oleh bromofenolsil bromida atau pelarut diazo.

9

Protease yang termasuk golongan ini adalah pepsin, renin, dan protease yang aktif
pada pH rendah antara 2 sampai 4.

Peranan Sel Goblet Pada Kekebalan Terhadap Cacing
Sel goblet adalah sel yang berbentuk seperti piala yang terletak diantara sel
absobtif pada saluran cerna. Sel goblet menghasilkan lendir intestinal yang berfungsi
sebagai media pertahanan yang penting terhadap infeksi cacing. Menurut McKeand
et al. (1995) sel goblet mensintesis granula-granula yang bersifat netral yang
mengandung musin glikoprotein dan asam sialat. Mukus yang dihasilkan bersifat
protektif terhadap pengeluaran atau penjeratan cacing, menghalangi kontak langsung
dengan mukosa sehingga mencegah establishment bagi cacing. Lendir juga berfungsi
sebagai pelindung bagi epitel dari aktifitas enzim yang dihasilkan oleh bakteri
patogen serta terlibat dalam mekanisme self cure terhadap cacing nematoda
(Takeyama et al.1998).
Tizard (1996) mengatakan bahwa sel goblet berasal dari stem sel yang
terdapat pada dasar kripta, berdiferensiasi dan bermigrasi dari dasar kripta ke bagian
atas villi yaitu lamina propria selanjutnya disalurkan ke dalam lumen. Daya hidup sel
ini berlangsung 2-3 hari, tetapi secara konstan terus-menerus digantikan dengan sel
yang baru. Adanya cacing parasitik menyebabkan proses stimulasi sistem kekebalan
dan merangsang respon kekebalan humoral dan selular. Respon ini ditunjukkan pada
proliferasi sel goblet pada permukaan tubuh (Tiuria et al. 2000).
Nematoda parasitik yang berhabitat dalam saluran cerna inang definitif
menyebabkan proliferasi sel goblet. Aktivitas sel goblet dipicu oleh beberapa reaksi;
didahului oleh adanya antigen nematoda yang mengaktifkan limfosit B dan limfosit
T. IgE yang dihasilkan oleh limfosit B akan merangsang respon inflamasi dan juga
memicu IgG untuk merusak metabolit cacing. Limfosit T yang aktif beserta
sitokinnya akan merangsang sel goblet mensekresikan mukus (Roitt dan Delves
2001). Peran sel goblet dalam mekanisme pengeluaran cacing saluran pencernaan
sering dihubungkan dengan aktivitas sel mast mukosa (Athailah 1999; Tiuria et al.
2000; Darmawi 2003 dan Balqis 2004).

10

Peranan Sel Mast Pada Kekebalan Terhadap Cacing
Sel mast berasal dari stem sel hemopoitik yang ditemukan pada semua hewan
vertebrata. Berdasarkan sifat histokimianya sel mast dibagi menjadi 2 sub tipe, yaitu
tipe mukosa (mucosal mast cells = MMC) dan tipe jaringan (connectif tissue mast
cells/CTMC (Tizard 1996). Sel mast mempunyai inti yang berlobus tunggal,
memiliki granula yang berisi mediator-mediator peradangan. Khusus bagi MMC,
banyak ditemukan pada selaput lendir pernafasan dan saluran pencernaan dengan
distribusi yang bervariasi di setiap organ dan spesies (Kresno 2001).
Sel mast berperan penting dalam mekanisme peradangan dan induksi reaksireaksi peradangan akut. Mediator peradangan yang dihasilkan sel mast seperti
glikosaminoglikan, monoamin dan basik protein (Woodbury et al. 1982), enzim
protease, histamin dan prostaglandin (Bendixsen et al. 1995) dilaporkan dapat
menghambat migrasi larva nematoda (Douch et al. 1996). Mediator-mediator
tersebut juga diketahui dapat menyebabkan larva infektif gagal menempel atau
masuk ke dalam mukosa, sehingga larva-larva tersebut beberapa jam kemudian
dikeluarkan dari saluran pencernaan.
Menurut Else dan Finkelman (1998) antibodi dapat mencegah perlekatan
larva pada mukosa usus halus, dan bersama mukus menjerat larva untuk dikeluarkan
bersama tinja. Tizard (1996) menyatakan bahwa IL-5 yang dilepaskan oleh Th-2
karena rangsangan antigen cacing dapat menggertak eosinophoesis, mobilisasi sel
eosinofil, dan degranulasi sel eosinofil untuk melepaskan substansi helmintoksik
seperti enzim proteolitik, peroksidase, dan major basic protein.

Peranan Sel Eosinofil Pada Kekebalan Terhadap Cacing
Secara normal sel eosinofil berada di dalam buluh darah yang intact. Pada
infeksi cacing, sel eosinofil bergerak menuju situs infeksi untuk membunuh cacing
parasitik. Sel eosinofil termasuk ke dalam famili sel-sel leukosit yang meliputi sel
neutrofil, sel mast, dan sel basofil yang melawan invasi dengan mengembangkan
inflamasi akut (Tizard 1996). Sel eosinofil menyelenggarakan fungsi ini dengan
bermigrasi ke situs invasi parasit dan melepaskan enzim-enzim penghancur atau
perusak parasit. Aktivitas tersebut menyebabkan kerusakan jaringan dan inflamasi
akut (Kresno 2001). Mobilisasi sel eosinofil

merupakan suatu integral dan

11

komponen karakteristik dari reaksi hipersensitifitas tipe I. Tizard (1996) menyatakan
bahwa sel eosinofil diproduksi dalam sumsum tulang dibawah pengaruh IL-3 dan
IL-5 yang dihasilkan

oleh Th-2 dan sel mast. Th-2 menanggapi mobilisasi sel

eosinofil dan dalam waktu yang bersamaan mereka merangsang tanggap kebal Ig E.
Sel eosinofil secara spesifik ditarik
kemotaktik eosinofil, leukotrin

ke situs degranulasi

sel mast oleh faktor

B4, histamin, platelet activating faktor (PAF),

ekstrak cacing, komplemen (C5a) dan produk asam imidiazole asetat pecahan
histamin. Sel eosinofil dapat juga diaktivasi oleh histamin dan leukotrin B4.
Selama ini sel eosinofil yang merupakan salah satu sel fagosit diduga sebagai
sel efektor yang paling efektif dalam membunuh larva cacing. Menurut Tizard
(2000) mekanisme respons imun yang mendasari pembunuhan ini adalah sebagai
berikut, sel eosinofil melalui reseptor Fc berikatan pada komplek antibodi yang
bertindak sebagai opsonin melekat pada permukaan sel sasaran yang terinfeksi.
Pengikatan antibodi pada reseptor Fc merangsang fagosit untuk memproduksi lebih
banyak leukotrien dan prostaglandin, yang merupakan molekul-molekul yang
berperan pada respons inflamasi. Sel efektor yang telah terikat kuat pada membran
sel sasaran

menjadi teraktivasi dan akhirnya dapat menghancurkan sel sasaran.

Sebagian besar kuman patogen difagositosis dan dibunuh intralisosom, ditambah
kemampuan eosinofil untuk memproduksi ROI (reactive oxygen intermediates)
misalnya superoksida. Dari uraian ini jelas bahwa reseptor Fc berfungsi sebagai
jembatan antara sel efektor dengan sel sasaran.

Struktur Usus Halus Unggas
Saluran cerna merupakan alat penghubung antara lingkungan internal dan
eksternal dengan fungsi utamanya sebagai absorbsi zat-zat makanan. Menurut
Yamauchi dan Isshiki (1991) dan Ferrer et al. (1995) karakteristik morfologi saluran
cerna terutama usus halus pada ayam, menentukan fungsi usus pada pertumbuhan
ayam. Morfologi mukosa usus halus terdiri dari villi yang berfungsi memperluas area
penyerapan zat nutrien. Pada permukaan villi terdapat mikrovilli sebagai penjuluran
sitoplasma yang dapat meningkatkan efisiensi penyerapan. Semakin luas permukaan
villi usus semakin besar peluang terjadinya absorbsi pada saluran cerna.

12

Usus halus unggas terdiri dari duodenum, jejunum dan ilium. Dinding usus
halus terdiri atas 4 bagian dasar yaitu: mukosa, sub mukosa, muskularis mukosa dan
serosa (Cotran et al. 1999). Lapisan mukosa diselaputi oleh villi yang panjangnya
0,5-1,5 mm, dan menyebabkan gambaran mukosa menyerupai beludru. Pada
permukaan luar setiap villi terdapat tonjolan berupa jari-jari yang panjangnya 1μm
yang disebut mikrovilli. Pada bagian tengah villi terdapat lamina propria yang terdiri
dari pembuluh darah, pembuluh limfatik, kumpulan sel-sel limfatik, kumpulan sel-sel
limfosit, sel eosinofil, sel mast dan sel fibroblas (Price dan Wilson 1995). Permukaan
villi terdiri atas 3 jenis sel: yaitu sel-sel absorbtif, sel goblet dan sel paneth. Sel
absorbtif adalah epitel kolumnar yang berfungsi mengabsorbsi makanan. Diantara
sel-sel absorbtif terdapat sel goblet yang menghasilkan mukus yang berperan dalam
pertahanan mukosa dengan cara menjerat parasit. Sel ketiga yang terdapat pada villi
adalah sel paneth yang langsung menyentuh sel eosinofil yang berisikan granula anti
cacing, yang juga berperan pada pertahanan selaput lendir (Cotran et al. 1999)
Jaringan mukosa mengandung jaringan limfoid yang termasuk dalam Mucosa
associated lymphoid tisue (MALT). Jaringan limfoid pada mukosa usus termasuk
kedalam Gut-associated lymphoid tissue (GALT). GALT terdiri atas 2 jenis
kumpulan limfoid di sepanjang usus. Jenis pertama dinamakan daun Peyer (Peyer
patches), terutama terdapat pada dinding ilium, sedangkan yang kedua merupakan
kumpulan limfoid yang terpisah, kebanyakan terdapat di usus besar. Struktur
jaringan limfoid terdiri atas folikel yang pusatnya merupakan daerah limfosit B,
sedangkan limfosit T umumnya terdapat di sekitarnya (Subowo 1993).
Di sekeliling villi terdapat sumur kecil yang meluas ke daerah muskularis
mukosa dan dinamakan kripta Liberkuhn. Kripta ini merupakan kelenjar-kelenjar
usus yang menghasilkan sekreta dan mengandung enzim-enzim pencernaan (Price
dan Wilson 1995). Dalam keadaan normal perbandingan antara vili dan kripta
berkisar 4-5:1. Sel-sel yang tidak berdeferensiasi di dalam kripta, berproliferasi
cepat, bermigrasi ke ujung villi, dan menjadi sel-sel absorptif. Pematangan dan
migrasi sel dari kripta ke ujung villi hanya membutuhkan 5-7 hari. Laju pergantian
sel yang tinggi membuat epitel usus rentan terhadap perubahan dalam proliferasi sel
sehingga mengakibatkan atrofi mukosa serta pemendekan kripta dan villi (Cotran et
al. 1999).

13

DISAIN PENELITIAN

Ascaridia galli Betina Dewasa

Kultivasi in vitro (L1)
Kultivasi in vivo (L2 – L3)
Kultivasi in vitro (L3)

....................... Ekskretori/Sekretori (crude) Stadium L A. galli
3

Purifikasi Protease dari
Ekskretori/Sekretori
Stadium L3 Ascaridia galli

.........................................

............................

Karakterisasi Protease dari
Ekskretori/Sekretori
Stadium L3 Ascaridia galli

Ekskretori/Sekretori (pure)

.......................................

Uji Tantang

Respons Pertahanan Mukosa Usus
Halus Ayam Petelur Yang Diimunisasi
Dengan Protease dan Ditantang
Dengan Dosis 1000 L2