Kajian Pengaruh Hidrokoloid dan CaCl2 Terhadap Profil Gelatinisasi Bahan Baku Serta Aplikasinya Pada Bihun Sukun

(1)

TERHADAP PROFIL GELATINISASI BAHAN BAKU

SERTA APLIKASINYA PADA BIHUN SUKUN

SUKMIYATI AGUSTIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Kajian Pengaruh Hidrokoloid dan CaCl2 Terhadap Profil Gelatinisasi Bahan Baku Serta

Aplikasinya Pada Bihun Sukun” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2011

Sukmiyati Agustin NRP F251080091


(3)

SUKMIYATI AGUSTIN. Studies on Hydrocolloids and CaCl2 Effect on

Gelatinization Profile of Raw Material and Its Application on Breadfruit Bihon-Type Noodle. Supervised by DEDI FARDIAZ and SRI WIDOWATI.

The objectives of this research were: (1) to study the effect of rice flour addition on gelatinization characteristics of raw material, (2) to study the effect of hydrocolloids and salt addition on pasting profile of raw material and (3) to investigate the effects of flours, hydrocolloids and salt interactions on the quality of bihon-type noodle making. The pasting properties of breadfruit flour alone and its composite with 15 and 30% rice flour were investigated. The viscosity of the flour mixtures increased with increasing proportion of rice flour, except for peak viscosity. The addition of 15% rice flour resulting in better characteristics of mix flour compared to the addition of 30% rice flour, showed by higher setback and lower breakdown viscosity. The pasting properties of mix flours consists of breadfruit flour alone or composite of 85% breadfruit flour and 15% rice flour, hydrocolloids, including guar gum and konjac flour, in the presence or absence of CaCl2 were investigated using Rapid Visco Analyzer. The addition of 1% CaCl2

lowered the viscosity of mixed flours, while addition of 2% CaCl2 increased the

viscosity of mixed flours. The addition of CaCl2 improved the heat stability of

breadfruit flour in the presence of both guar gum and konjac flour, showed by the decreased value of breakdown viscosity. Bihon-type noodle made from composite mix flours as described above were prepared. Bihon-type noodle quality of composite mix flour in the presence or absence of CaCl2 was examined by

cooking loss, rehydration weight, color, texture analysis and sensory tests. It was found that the substitution of breadfruit flour with 15% rice flour in the presence of guar gum improved the characteristics of bihon-type noodle quality, i.e. lower rehydration weight and higher hardness. In the presence of konjac flour, addition of rice flour resulting in higher cooking loss and lower elasticity.

Keywords: breadfruit flour, rice flour, bihon-type noodle, CaCl2, guar gum,


(4)

SUKMIYATI AGUSTIN. Kajian Pengaruh Hidrokoloid dan CaCl2 Terhadap

Profil Gelatinisasi Bahan Baku Serta Aplikasinya Pada Bihun Sukun. Di bawah bimbingan DEDI FARDIAZ dan SRI WIDOWATI.

Tepung sukun memiliki puncak viskositas sedang dan selama periode holding time viskositasnya cenderung meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa pati sukun lebih mampu menjaga integritas strukturnya pada kondisi perlakuan panas dan pengadukan, sehingga cocok untuk diaplikasikan pada produk pangan yang membutuhkan pemanasan. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka produk berbasis tepung sukun yang potensial untuk dikembangkan adalah bihun. Pati sukun memenuhi syarat untuk menjadi bahan baku bihun yang berkualitas berdasarkan sifat amilografinya. Untuk memperbaiki karakteristik bihun sukun yang dihasilkan maka dilakukan penggunaan tepung campuran dan bahan tambahan pangan (BTP).

Penggunaan tepung campuran dalam produksi mie/bihun telah banyak dilakukan dan diteliti pengaruhnya terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Pemilihan tepung beras didasarkan pada kenyataan bahwa bihun komersial umumnya diproduksi dari bahan baku tepung beras. Selain itu, substitusi parsial pati beras pada mie kentang dapat meningkatkan ketahanan mie terhadap panas. BTP yang digunakan adalah hidrokoloid, yang terdiri atas guar gum dan iles-iles, serta CaCl2. Guar gum banyak digunakan dalam proses produksi mie instan

karena bersifat sangat hidrofilik dan memiliki kapasitas pengikatan air yang besar. Selain itu guar gum juga memiliki kemampuan untuk mengatur tekstur pada produk pangan berpati, sementara iles-iles dipilih berdasarkan kemampuannya dalam meningkatkan kapasitas pengikatan air dari pati jagung. Penggunaan CaCl2

diharapkan mampu memperbaiki tekstur bihun yang dihasilkan.

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap I meliputi kajian terhadap pengaruh substitusi tepung beras terhadap karakteristik gelatinisasi bahan baku dan kualitas bihun yang dihasilkan. Tahap II adalah kajian pengaruh penambahan hidrokoloid dan CaCl2 terhadap profil gelatinisasi bahan baku. Tahap III

merupakan aplikasi dari interaksi jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi CaCl2 pada produk bihun. Pada tahap ini juga dilakukan

karakterisasi terhadap sifat fisik bihun untuk mengetahui kualitas bihun sukun yang dihasilkan.

Tepung beras memiliki pengaruh yang signifikan dalam mengubah karakteristik gelatinisasi campuran bahan baku bihun. Penambahan tepung beras menyebabkan penurunan nilai swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel akibat peningkatan kandungan amilosa dalam campuran tepung. Profil gelatinisasi bahan baku juga berubah dengan adanya penambahan tepung beras. Nilai viskositas puncak, trough, breakdown, akhir dan setback mengalami peningkatan dibandingkan tepung sukun tanpa substitusi tepung beras. Pencampuran tepung beras pada konsentrasi 15% memiliki nilai viskositas setback yang lebih tinggi dan viskositas breakdown yang lebih rendah dibandingkan pencampuran tepung beras pada level 30%, sehingga tingkat


(5)

beras 15% juga memiliki karakteristik yang lebih baik yang ditunjukkan oleh nilai KPAP (4.68% vs 6.69%) dan persen rehidrasi (300.89% vs 352.07%) yang lebih rendah daripada bihun sukun dengan substitusi tepung beras 30%.

Faktor jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi CaCl2 menghasilkan pengaruh yang nyata terhadap seluruh parameter profil

gelatinisasi, tetapi interaksi ketiga faktor tersebut tidak menghasilkan pengaruh yang nyata. Secara umum, tepung sukun menghasilkan nilai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan tepung sukun yang disubstitusi dengan tepung beras 15%, kecuali untuk VB dan VS. VB menunjukkan stabilitas tepung terhadap panas, dimana tepung dengan VB rendah semakin stabil terhadap pemanasan. Dari hasil yang diperoleh, penambahan tepung beras ternyata menurunkan kestabilan bahan baku terhadap panas. Penggunaan guar gum menghasilkan viskositas yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan iles-iles, kecuali untuk VS. Hal ini menunjukkan bahwa guar gum memiliki kemampuan hidrasi yang lebih besar dibandingkan iles-iles, sehingga sinergi antara tepung dengan guar gum menghasilkan viskositas yang lebih tinggi.

Secara umum penambahan CaCl2 1% menyebabkan penurunan VP, VT,

VS dan VA dari seluruh perlakuan, sementara penambahan CaCl2 2%

meningkatkan kembali nilai keempat parameter tersebut. Peningkatan konsentrasi CaCl2 cenderung menurunkan nilai VB pada tepung sukun 100 %, tetapi pada

campuran tepung sukun dan tepung beras peningkatan konsentrasi CaCl2 ternyata

diikuti oleh peningkatan VB.

Perubahan karakteristik gelatinisasi yang terjadi akibat interaksi jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi CaCl2 mengakibatkan

perubahan karakteristik pada produk bihun yang dihasilkan. Interaksi antara ketiga faktor tersebut menghasilkan pengaruh yang nyata terhadap seluruh karakteristik bihun sukun, kecuali untuk waktu rehidrasi. Penggunaan campuran tepung sukun dan tepung beras, hidrokoloid serta CaCl2 menghasilkan bihun

dengan KPAP yang tinggi, persen rehidrasi rendah, kekerasan dan kelengketan tinggi serta elastisitas rendah dibandingkan dengan bihun yang diproduksi dari tepung sukun 100%. Bihun dengan karakteristik terbaik dihasilkan dari penggunaan tepung sukun 85% dan tepung beras 15%, guar gum 1% tanpa penambahan CaCl2. Karakteristik bihun yang dihasilkan dari perlakuan ini

meliputi KPAP 8.63%, berat rehidrasi 332.05%, waktu rehidrasi 5.75 menit, kekerasan 1695.80 gf, elastisitas 0.60 gs dan kelengketan -156.80 gf. Bihun hasil perlakuan ini memiliki skor kesukaan tertinggi 4.88 (netral hingga agak suka).

Kata kunci: tepung sukun, tepung beras, bihun, CaCl2, guar gum, iles-iles, profil


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

TERHADAP PROFIL GELATINISASI BAHAN BAKU

SERTA APLIKASINYA PADA BIHUN SUKUN

SUKMIYATI AGUSTIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

(9)

Nama : Sukmiyati Agustin

NRP : F251080091

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc Dr. Ir. Sri Widowati, M.AppSc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(10)

Bismillaahirrahmaanirrahiim. Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Kajian Pengaruh Hidrokoloid dan CaCl2 Terhadap Profil Gelatinisasi Bahan

Baku Serta Aplikasinya Pada Bihun Sukun”. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad saw dan keluarga beliau, para shahabat dan shahabiyah, serta generasi Islam kãffah. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc dan Dr. Ir. Sri Widowati, M.AppSc selaku komisi pembimbing atas bimbingan, arahan dan saran yang diberikan sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang terbaik atas segala pengorbanan, curahan waktu dan tenaga, serta ilmu yang diberikan kepada penulis. Kepada Dr. Ir. Sugiyono, M.AppSc, penulis mengucapkan terima kasih atas kesediaannya menjadi dosen penguji luar komisi.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada DIKTI melalui tim BPPS IPB 2008 yang telah memberikan beasiswa selama penulis melaksanakan studi dan penelitian di Pascasarjana IPB. Kepada Gubernur Kaltim melalui Pemprov Kaltim, penulis ucapkan terimakasih atas bantuan dana yang diberikan selama studi. Kepada Rektor Universitas Mulawarman, Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, penulis sampaikan terima kasih atas izin dan kesempatan untuk menempuh pendidikan program Magister di Sekolah Pascasarjana IPB.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibunda Daryati serta mertua Ibunda Endang Hadiyati yang selalu memberikan dorongan, semangat dan doa yang tulus tanpa henti. Kepada suami tercinta Tri Nugroho, SE dan putri kecilku Nasywa Ghazia Dhiyaa’ul Haq, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas kasih sayang, pengertian dan pengorbanan yang diberikan selama penulis menjalani studi.


(11)

terjalin selama ini. Kepada Bapak dan Ibu teknisi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Pilot Plant Seafast Centre, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya. Akhirnya penulis berharap semoga karya kecil ini bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, April 2011


(12)

Penulis dilahirkan di Bogor pada 17 Agustus 1979. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara dari pasangan ayah Gima Dihardja dan ibu Daryati. Pada tahun 1998 penulis lulus dari Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor dan melanjutkan pendidikan di Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan selesai pada awal tahun 2003. Pada tahun 2008 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi S2 dengan bantuan beasiswa BPPS Dirjen DIKTI, Depdiknas.

Pada tahun 2005 hingga sekarang, penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman Samarinda, Kalimantan Timur. Sebelumnya penulis bekerja sebagai asisten dosen pada Departemen TIN FATETA IPB dari tahun 2003 – 2005.


(13)

 

xi 

 

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 5

Manfaat ... 5

Hipotesis ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Potensi dan Pemanfaatan Sukun ... 6

Tepung Sukun ... 7

Komposisi Kimia Tepung Sukun ... 10

Sifat Fungsional Pati Sukun ... 12

Tepung Beras ... 16

Evaluasi Pati Sebagai Bahan Baku Bihun ... 19

Hidrokoloid Dalam Bahan Pangan dan Pengaruh Penambahan Garam ... 20

METODE PENELITIAN ... 25

Alat dan Bahan ... 25

Waktu dan Tempat Penelitian ... 25

Metode Penelitian ... 25

Tahap I. Pengaruh Substitusi Tepung Beras Terhadap Karakteristik Bahan Baku Bihun Sukun ... 26

Tahap II. Pengaruh Hidrokoloid dan CaCl2 Terhadap Profil Gelatinisasi Bahan Baku Bihun Sukun ... 28

Tahap III. Pengaruh Hidrokoloid dan CaCl2 Terhadap Karakteristik Bihun Sukun ... 28

Prosedur Penelitian ... 30

Analisis Karakteristik Tepung/Campuran Tepung ... 30


(14)

 

xii 

 

Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 39

Rancangan Percobaan ... 39

Analisis Data ... 40

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

Tahap I. Pengaruh Substitusi Tepung Beras Terhadap Karakteristik Bahan Baku Bihun Sukun ... 41

Tahap II. Pengaruh Hidrokoloid dan CaCl2 Terhadap Profil Gelatinisasi Bahan Baku Bihun Sukun ... 48

Tahap III. Pengaruh Hidrokoloid dan CaCl2 Terhadap Karakteristik Bihun Sukun ... 63

SIMPULAN DAN SARAN ... 88

Simpulan ... 88

Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 90


(15)

 

xiii 

 

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perbandingan komposisi buah sukun dengan sumber karbohidrat lain ... 7

2 Komposisi kimia aneka tepung umbi-umbian dan buah-buahan ... 10

3 Komposisi pati sukun ... 10

4 Profil gelatinisasi pati sukun pada konsentrasi 6 gram/100 ml ... 13

5 Swelling power dan kelarutan tepung sukun pada berbagai suhu ... 15

6 Komposisi kimia tepung beras ... 17

7 Klasifikasi beras berdasarkan kandungan amilosanya ... 18

8 Komposisi kimia tepung iles-iles ... 23

9 Keterangan kode perlakuan ... 28

10 Penetapan gula menurut Luff Schrool ... 34

11 Profil gelatinisasi tepung sukun, tepung beras dan campuran keduanya ... 42

12 Hasil analisis proksimat tepung dan campuran tepung ... 43

13 Swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel dari tepung dan campuran tepung ... 44

14 Nilai KPAP dan berat rehidrasi bihun sukun yang disubstitusi dengan tepung beras ... 46

15 Viskositas puncak hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 ... 51

16 Swelling volume (ml/g) hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 ... 52

17 Viskositas trough hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 ... 54

18 Viskositas breakdown hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 ... 55

19 Viskositas akhir hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 ... 57

20 Viskositas setback hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 ... 59

21 Waktu puncak hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 ... 60

22 Suhu gelatinisasi hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 ... 60

23 Pengaruh hidrokoloid dan CaCl2 terhadap profil gelatinisasi bahan baku ... 62

24 Intensitas warna bihun sukun ... 64

25 Nilai KPAP bihun sukun hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2... 67

26 Pengelompokan bihun berdasarkan nilai KPAP ... 68


(16)

 

xiv 

 

28 Nilai persen rehidrasi bihun sukun hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan

CaCl2 ... 71

29 Pengelompokan bihun berdasarkan persen rehidrasi ... 72

30 Pengelompokan bahan baku berdasarkan nilai VT ... 73

31 Pengelompokan bahan baku berdasarkan nilai swelling volume ... 73

32 Pengaruh hidrokoloid dan CaCl2 terhadap KPAP dan persen rehidrasi bihun ... 74

33 Waktu rehidrasi bihun sukun hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 75 34 Pengelompokan bihun berdasarkan waktu rehidrasi ... 75

35 Pengelompokan bahan baku berdasarkan suhu gelatinisasi dan waktu puncak ... 76

36 Nilai kekerasan bihun sukun hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 77 37 Pengelompokan bihun berdasarkan nilai kekerasan ... 78

38 Pengelompokan bahan baku bihun berdasarkan viskositas setback ... 78

39 Nilai elastisitas bihun sukun hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 79 40 Perbandingan tingkat elastisitas bihun dengan viskositas akhir bahan baku 80 41 Nilai kelengketan bihun sukun hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 ... 81

42 Perbandingan tingkat kelengketan dengan nilai KPAP bihun ... 82

43 Perbandingan tingkat kelengketan dengan viskositas puncak ... 82

44 Nilai kekerasan bihun sukun hasil uji organoleptik ... 83

45 Nilai elastisitas bihun sukun hasil uji organoleptik ... 83

46 Nilai kelengketan bihun sukun hasil uji organoleptik ... 84

47 Nilai kesukaan bihun sukun hasil uji organoleptik ... 85


(17)

 

xv 

 

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Buah sukun dan pohon sukun ... 6

2 Diagram alir proses pembuatan tepung sukun ... 9

3 Struktur amilosa dan amilopektin ... 11

4 Profil gelatinisasi pati sukun pada konsentrasi 6 % ... 14

5 Profil gelatinisasi tepung beras dengan kadar amilosa tinggi dan sedang . 18 6 Struktur guar gum ... 22

7 Struktur glukomanan ... 23

8 Diagram alir penelitian ... 26

9 Diagram alir proses produksi bihun ... 27

10 Kurva profil gelatinisasi pati ... 31

11 Kurva texture profile analysis (TPA) ... 37

12 Profil gelatinisasi tepung dan campuran tepung ... 41

13 Perubahan profil gelatinisasi akibat penambahan CaCl2 terhadap tepung sukun yang diinteraksikan dengan guar gum dan tepung beras ... 49

14 Perubahan profil gelatinisasi akibat penambahan CaCl2 terhadap tepung sukun yang diinteraksikan dengan iles-iles dan tepung beras ... 50

15 Diagram kromatisitas a*b* dari bihun sukun hasil interaksi tepung, hidro- koloid dan CaCl2 ... 66


(18)

 

xvi 

 

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Grafik korelasi swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk

gel ... 96

2 Hasil analisis data pengaruh substitusi tepung beras terhadap swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel dari campuran tepung serta karakteristik bihun yang dihasilkan ... 97

3 Hasil analisis data pengaruh interaksi jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi CaCl2 terhadap swelling volume serta profil gelatinisasi campuran tepung ... 98

4 Hasil analisis data pengaruh interaksi jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi CaCl2 terhadap karakteristik bihun sukun ... 104

5 Data pengaruh interaksi jenis tepung, jenis dan konsentrasi hi- drokoloid serta konsentrasi CaCl2 terhadap skoring tekstur bi- hun sukun ... 111

6 Hasil analisis data pengaruh interaksi jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi garam terhadap skoring tekstur bihun sukun ... 114

7 Rekapitulasi data karakteristik bihun sukun ... 118

8 Data hasil analisis proksimat, daya cerna pati dan serat pangan bahan baku ... 119

9 Produk bihun sukun ... 120

10 Bahan baku yang digunakan dalam produksi bihun sukun ... 124

11 Alat yang digunakan dalam proses produksi dan analisis ... 125


(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sukun (Artocarpus altilis) merupakan salah satu tanaman penghijauan

yang tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia. Prediksi hasil panen sukun dari bibit sukun yang dibagikan oleh Departemen Kehutanan mulai tahun 2010 hingga 2014 (dengan asumsi pohon sukun berbuah setelah 5 tahun) adalah 22 483 574 ton buah sukun atau setara dengan 5 620 893 ton tepung sukun (dengan asumsi produksi tepung sukun setara dengan 25% dari berat panen) (Ditjen RLPS 2009). Potensi sukun yang sangat besar tersebut dapat digunakan sebagai sarana diversifikasi pangan pokok sumber karbohidrat berbahan baku lokal.

Buah sukun mengandung karbohidrat dalam jumlah cukup tinggi (28.2%, Prabawati & Suismono 2009) dan beberapa zat gizi lainnya seperti mineral, vitamin, lemak dan asam amino. Bila dibandingkan dengan beras, sukun memiliki kandungan vitamin dan mineral yang lebih lengkap (Widowati 2003), sehingga sangat potensial dimanfaatkan sebagai pengganti beras. Di Indonesia, buah sukun umumnya dikonsumsi setelah digoreng, direbus atau dibuat keripik. Diversifikasi produk dari sukun masih sangat terbatas karena pola konsumsi pangan pokok masyarakat Indonesia masih mengarah pada beras dan bahan pangan berbasis tepung terigu yang merupakan komoditas impor.

Salah satu bentuk diversifikasi sukun adalah tepung sukun. Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Winarno 2000).

Sifat tepung sukun cukup bervariasi, diantaranya dipengaruhi oleh varietas, lokasi tempat pembudidayaan tanaman sukun, tingkat kemasakan dan lama penyimpanan pasca panen buah sukun (Syah & Nazarudin 1994). Bagian terbesar dari tepung sukun adalah pati (69%, Graham & de Bravo 1981), yang memiliki karakteristik unik dan banyak berperan penting dalam sistem pangan. Pati sukun memiliki derajat pembengkakan yang tinggi yang disebabkan oleh


(20)

rendahnya derajat asosiasi intermolekulernya (Tian et al. 1991 di dalam Akanbi et

al. 2009). Berdasarkan hasil analisis terhadap sifat amilografinya, pati sukun

memiliki puncak viskositas sedang dan selama periode holding time viskositasnya

cenderung meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa pati sukun lebih mampu menjaga integritas strukturnya pada kondisi perlakuan panas dan pengadukan, sehingga cocok untuk diaplikasikan pada produk pangan yang membutuhkan pemanasan. Sifat fungsional pati sukun lain adalah kecenderungannya untuk mengalami retrogradasi selama pendinginan (Rincón & Padilla 2004).

Berdasarkan karakteristik pati sukun tersebut, maka produk berbasis tepung sukun yang potensial untuk dikembangkan adalah bihun. Bihun termasuk jenis mie yang populer di Asia dan pada umumnya berbahan baku tepung beras. Bihun merupakan bahan pangan alternatif di samping mie berbahan dasar

gandum, terutama bagi para penderita gluten intolerance, karena memiliki rasa

yang netral dan bebas dari gluten.

Untuk menghasilkan bihun dengan kualitas yang baik diperlukan bahan baku dengan karakteristik yang sesuai untuk produk bihun. Pati yang ideal untuk

bahan baku bihun adalah pati yang memiliki ukuran granula kecil (Singh et al.

2002), kandungan amilosa tinggi, derajat pembengkakan dan kelarutan terbatas serta kurva Brabender tipe C (tidak memiliki puncak viskositas namun viskositas cenderung tinggi dan tidak mengalami penurunan selama proses pemanasan dan pengadukan) (Lii & Chang 1981). Pati dengan kriteria tersebut lebih tahan terhadap pemanasan maupun pengadukan, sehingga pada saat tergelatinisasi hanya mengalami peningkatan viskositas yang terbatas sebagai konsekwensi dari pembengkakan granula yang terbatas. Terbatasnya pembengkakan granula mengakibatkan granula tidak mudah pecah dan amilosa tidak mudah keluar dari granula. Apabila pati tersebut digunakan sebagai bahan baku bihun maka untaian bihun yang dihasilkan tidak lengket dan pada saat dimasak memiliki berat rehidrasi terbatas serta hanya mengalami sedikit kehilangan padatan.

Pati sukun memenuhi syarat untuk menjadi bahan baku bihun yang berkualitas berdasarkan sifat amilografinya. Untuk memenuhi persyaratan lain, maka dilakukan usaha untuk memperbaiki karakteristik pati sukun, diantaranya melalui penggunaan tepung campuran dan bahan tambahan pangan (BTP).


(21)

Penggunaan tepung campuran dalam produksi mie/bihun telah banyak dilakukan dan diteliti pengaruhnya terhadap kualitas produk yang dihasilkan.

Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Sandhu et al. (2010), substitusi parsial

pati kentang dengan pati beras pada proses produksi mie berbahan baku pati kentang sangat mempengaruhi karakteristik sensori dan kualitas pemasakan mie

yang dihasilkan. Sementara Charles et al. (2006) menyatakan bahwa pencampuran

tapioka pada produksi mie berbahan baku terigu menghasilkan warna dan tekstur yang lebih baik dibandingkan mie yang diproduksi tanpa adanya penambahan tapioka. Hasil penelitian lain melaporkan bahwa penambahan pati jagung pada proses produksi bihun beras akan menurunkan kekerasan bihun dan meningkatkan

kelicinan (slipperiness) serta transparansi bihun (Wang et al. 2000). Oleh karena

itu, untuk memodifikasi karakteristik pati sukun agar dapat menghasilkan bihun sukun berkualitas baik, maka dilakukan substitusi sebagian kecil tepung sukun dengan tepung beras.

Pemilihan tepung beras didasarkan pada kenyataan bahwa bihun komersial umumnya diproduksi dari bahan baku tepung beras. Selain itu, substitusi parsial pati beras pada mie kentang dapat meningkatkan ketahanan mie terhadap panas

(Sandhu et al. 2010). Berdasarkan hal tersebut, substitusi parsial tepung beras

pada bihun sukun diharapkan menimbulkan efek yang sama. Penggunaan tepung beras juga diharapkan dapat meningkatkan nilai kekerasan bihun sukun seperti

yang dilaporkan oleh Wang et al. (2000) dalam studinya mengenai substitusi

parsial pati jagung pada bihun beras.

Bahan tambahan pangan yang banyak digunakan dalam produk pangan berbahan dasar pati adalah hidrokoloid. Fu (2007) menyatakan bahwa hidrokoloid seperti guar gum banyak digunakan dalam proses produksi mie instan karena bersifat sangat hidrofilik dan memiliki kapasitas pengikatan air yang besar. Penambahan gum dalam jumlah kecil (0.2 – 0.5%) dapat memperbaiki karakteristik rehidrasi mie/bihun selama pemasakan dan memodifikasi tekstur

serta keseluruhan mouth-feel dari produk akhir.

Interaksi pati dan hidrokoloid dalam bahan pangan bersifat unik dan menguntungkan karena dapat memodifikasi tekstur dan reologi dari bahan pangan tersebut. Beberapa karakteristik bahan pangan seperti rasa atau tekstur yang tidak


(22)

diinginkan dapat diatasi dengan melakukan substitusi sebagian kecil pati dengan

hidrokoloid seperti xanthan, guar, carboxymethyl cellulose (CMC) dan lain-lain.

Hidrokoloid-hidrokoloid tersebut diketahui memiliki kemampuan dalam mempengaruhi karakteristik gelatinisasi pati, menghambat sineresis gel (Sudhakar

et al. 1996), mengontrol mobilitas air, dan menjaga kualitas produk selama

penyimpanan (Viturawong et al. 2008).

Dalam penelitian ini digunakan dua jenis hidrokoloid yang dilihat pengaruhnya terhadap karakteristik pati sukun. Kedua jenis hidrokoloid tersebut adalah guar gum dan iles-iles. Pemilihan guar gum didasarkan pada hasil penelitian Fu (2007) yang menyatakan guar gum banyak digunakan dalam proses produksi mie instan karena bersifat sangat hidrofilik dan memiliki kapasitas pengikatan air yang besar. Selain itu guar gum juga memiliki kemampuan untuk mengatur tekstur pada produk pangan berpati seperti yang dinyatakan oleh

Funami et al. (2005b). Sementara iles-iles dipilih berdasarkan kemampuannya

dalam meningkatkan kapasitas pengikatan air dari pati jagung (Yoshimura et al.

1998).

Dalam suatu sistem pangan, pati dan hidrokoloid pada umumnya

berinteraksi dengan ingredient lain, misalnya garam. Garam memiliki efek

signifikan terhadap karakteristik gelatinisasi dan reologi dari berbagai jenis pati.

Oosten (1983) seperti yang dikutip oleh Sudhakar et al. (1996) menyatakan bahwa

keberadaan garam pada sistem pati dapat mengontrol pengembangan granula. Kemampuan garam dalam mempengaruhi karakteristik pati sangat tergantung pada jenis garam yang digunakan dan konsentrasinya dalam sistem pangan tersebut (Eliasson & Gudmundsson 2006). Garam juga mempengaruhi karakteristik hidrokoloid, bahkan ion-ion logam pada konsentrasi normal yang sering ditemukan dalam sistem air alami memiliki pengaruh spesifik dan

seringkali tidak terduga terhadap stabilitas hidrokoloid dalam larutan (Sudhakar et

al. 1996).

Kenyataan tersebut menunjukkan perlunya dilakukan penelitian untuk mempelajari interaksi pati sukun, hidrokoloid dan garam, serta pengaruhnya terhadap kualitas bihun sukun. Informasi yang diperoleh diharapkan dapat menjadi dasar untuk melakukan pengembangan produksi bihun sukun.


(23)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pengaruh pencampuran tepung beras terhadap karakteristik

gelatinisasi bahan baku bihun sukun.

2. Mempelajari pengaruh penambahan hidrokoloid dan CaCl2 terhadap profil

gelatinisasi bahan baku bihun sukun.

3. Mengetahui hubungan antara profil gelatinisasi bahan baku dengan

karakteristik produk bihun sukun yang dihasilkan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Informasi karakteristik gelatinisasi tepung sukun yang disubstitusi parsial

dengan tepung beras dapat digunakan sebagai dasar untuk pengembangan produk bihun sukun dan memperkirakan potensi penggunaannya pada berbagai produk pangan.

2. Informasi profil gelatinisasi dan kualitas bihun sukun yang dihasilkan dari

interaksi campuran tepung, hidrokoloid dan CaCl2 dapat digunakan

sebagai dasar untuk pengembangan bihun sukun.

Hipotesis

Penelitian ini dilakukan berdasarkan hipotesis berikut:

1. Pencampuran tepung beras pada konsentrasi berbeda terhadap tepung

sukun menghasilkan karakteristik gelatinisasi campuran tepung yang berbeda.

2. Interaksi antara tepung sukun/campuran tepung sukun dan tepung beras,

hidrokoloid dan garam CaCl2 memberikan karakteristik gelatinisasi yang

berbeda dan menghasilkan bihun sukun dengan karakteristik fisik dan sensori yang berbeda pula.


(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Potensi dan Pemanfaatan Sukun

Sukun (Artocarpus altilis) termasuk genus Artocarpus, famili Moraceae,

ordo Urticales, dan kelas Dicotiledoneae (Citrosoma 1988 di dalam Anonim

2002), merupakan tanaman pekarangan yang telah ratusan tahun dikenal sebagai

tanaman penghijau di Indonesia. Tanaman sukun berasal dari New Guinea Pasific

dan berkembang sampai ke Indonesia. Tanaman ini merupakan tanaman yang dapat tumbuh subur di daerah tropis, baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi (sampai 1000 m di atas permukaan laut). Tanaman sukun memiliki toleransi dan daya adaptasi yang tinggi serta tahan terhadap penyakit (Shadily 1984 yang dikutip dalam Anonim 2002). Hal ini menyebabkan pohon sukun tersebar meluas di Indonesia.

Sukun merupakan tanaman tahunan yang berbuah musiman dengan panen raya di bulan Januari-Februari dan panen susulan di bulan Juli-Agustus. Pada usia 4 tahun setelah tanam, sukun sudah menghasilkan buah yang produksinya bertambah sejalan dengan pertambahan umur tanaman. Produksi sukun berkisar antara 200-750 buah/pohon/tahun (Syah & Nazaruddin 1994). Gambar buah dan tanaman sukun disajikan pada Gambar 1.

(a) (b)

Gambar 1 Buah sukun (a) dan pohon sukun (b)

Buah sukun memiliki bagian daging buah yang dapat dimakan sebesar 81.21% dan bagian yang dibuang yaitu kulit buah serta hati buah yang pahit


(25)

rasanya sebesar 18.79%. Sukun dapat digolongkan sebagai buah yang memiliki potensi sebagai bahan substitusi pangan khususnya karbohidrat karena didukung oleh kandungan zat gizinya yang sangat baik (Tabel 1). Dibandingkan dengan beras, buah sukun memiliki kandungan mineral dan vitamin yang lebih lengkap dengan nilai kalori rendah, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai makanan diet. Buah sukun mengandung asam amino esensial yang tidak diproduksi oleh tubuh manusia seperti histidin, isoleusin, lisin, methionin, triptofan, dan valin (Widowati 2003).

Tabel 1 Perbandingan komposisi buah sukun dengan sumber karbohidrat lain

Zat Gizi

Nilai per 100 gram bagian yang dapat di makan Sukun

tua Terigu

Beras giling

Jagung kuning

Ubi

kayu Talas Energi (kal) Air (g) Potein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Vitamin C (mg)

108 69.3 1.3 0.3 28.2 21 59 0.4 0.12 0.06 17 357 12 8.9 1.3 77.3 16 106 1.2 0 0.12 0 349 13.0 6.8 0.7 78.9 10 140 0.8 0.12 0 0 317 24.0 7.9 3.4 63.6 9 148 2.1 264 0.33 9 158 60 0.8 0.3 37.9 33 40 0.7 230 0.06 0 104 73 1.9 0.2 23.7 38 61 1.0 6 0.13 4 Sumber : USDA ( 2004 )

Tepung Sukun

Sukun termasuk golongan buah klimakterik dengan puncak klimakterik yang dicapai dalam waktu singkat karena proses respirasinya berlangsung cepat. Dibandingkan dengan jenis buah klimakterik lain, buah sukun memiliki kecepatan respirasi yang lebih tinggi. Buah sukun segar mempunyai umur simpan sekitar 2-4 hari setelah dipetik. Buah yang jatuh dan memar mempunyai daya simpan yang lebih pendek (Syah & Nazaruddin 1994). Buah sukun dapat diawetkan dengan

pengeringan dalam bentuk gaplek atau tepung. Berdasarkan   kandungan

karbohidrat yang cukup tinggi (28.2%), buah sukun berpeluang untuk diolah menjadi tepung.


(26)

Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Winarno 2000). Bentuk tepung merupakan produk antara yang fleksibel, mempunyai daya simpan yang lebih baik, serta mudah dalam pendistribusian dan pengangkutan. Pengolahan sukun dalam bentuk tepung memberikan nilai kepraktisan dalam pengolahannya lebih lanjut. Kandungan air yang rendah serta bentuk tepung yang ringan menyebabkan produk antara ini mudah untuk diangkut, dikemas, maupun didistribusikan. Hal ini pula yang memungkinkan produk tepung sukun untuk diproduksi dan dipasarkan secara massal dan meluas. Prosedur pembuatan tepung sangat beragam, dibedakan berdasarkan sifat dan komponen kimia bahan pangan. Secara garis besar bahan pangan yang dapat diolah menjadi tepung dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bahan pangan yang mudah menjadi coklat apabila dikupas dan bahan pangan yang tidak mudah mengalami pencoklatan (Widowati 2003).

Pembuatan tepung sukun dimulai dengan pengupasan buah, perendaman

dan pencucian, pemotongan, pemblansiran selama 10 menit, perajangan/penyawutan, pengeringan, dan penepungan (Gambar 2). Hal yang perlu mendapat perhatian khusus saat pengolahan adalah buah sukun mengandung polifenol cukup tinggi, sehingga saat dikupas dan dirajang akan cepat berubah warna menjadi kecoklatan (Prabawati & Suismono 2009). Pada umumnya umbi-umbian dan buah-buahan mudah mengalami pencoklatan setelah dikupas. Hal ini disebabkan oleh reaksi oksidasi antara bahan pangan dengan udara (oksigen), sehingga terjadi reaksi pencoklatan akibat pengaruh enzim yang terdapat dalam

bahan pangan tersebut (browning enzymatic).

Pencoklatan karena aktivitas enzim merupakan reaksi antara oksigen dengan suatu senyawa polifenol yang dikatalisis oleh enzim polifenol oksidase.

Oleh karena itu, setelah dikupas, buah segera direndam dalam air (Prabawati & Suismono 2009) atau larutan garam 1% (Widowati & Damardjati 2001) kemudian dilakukan pemblansiran untuk menonaktifkan enzim fenolase. Demikian pula saat


(27)

perajangan atau penyawutan, sawut harus segera direndam dalam air lalu dipres untuk mengeluarkan air dan senyawa fenol.

Gambar 2 Diagram alir proses pembuatan tepung sukun (Widowati 2003)

Bobot kotor buah sukun berkisar antara 1200-2500 gram dengan rendemen

daging buah 81.21%. Dari total berat daging buah setelah disawut dan

dikeringkan akan dihasilkan rendemen sawut kering sebanyak 11 – 20% dan

Buah sukun 

Pengupasan 

Pembelahan 

Pemblansiran dengan uap, 10‐20 menit 

Penyawutan/perajangan 

Pengeringan  

Sawut kering 

Penepungan 

Tepung sukun 


(28)

rendemen tepung sebesar 11 – 25%, tergantung tingkat ketuaan dan jenis sukun. Buah sukun yang baik untuk diolah menjadi tepung adalah buah mengkal (setengah matang) yang dipanen 10 hari sebelum tingkat ketuaan optimum.

Pengeringan sawut sukun menggunakan alat pengering sederhana berkisar antara

5-6 jam dengan suhu pengeringan 55-60 oC. Bila pengeringan dilakukan di bawah

sinar matahari maka lama pengeringan sangat tergantung pada cuaca (1-2 hari bila

udara cerah) (Widowati 2003).

Komposisi Kimia Tepung Sukun

Tepung sukun mengandung 84.03% karbohidrat, 9.09% air, 2.83% abu, 3.64% protein dan 0.41% lemak. Tabel 2 menunjukkan bahwa kandungan protein tepung sukun lebih tinggi dibandingkan tepung ubi kayu, tepung ubi

jalar, dan tepung pisang (Widowati et al. 2001).

Tabel 2 Komposisi kimia aneka tepung umbi-umbian dan buah-buahan

Kadar (%)

Komoditas

Sukun Pisang Labu

kuning

Ubijalar Ubikayu

Air Abu Protein Lemak Karbohidrat 9.09 2.83 3.64 0.41 84.03 10.11 2.66 3.05 0.28 84.01 11.14 5.89 5.04 0.08 77.65 7.80 2.16 2.16 0.83 86.95 7.80 2.22 1.60 0.51 87.87

Sumber: Widowati et al. (2001)

Karbohidrat merupakan komponen terbesar dalam tepung sukun. Komponen karbohidrat yang terdapat dalam tepung sukun berada dalam bentuk pati (69%), karbohidrat terlarut (6.9%), total gula (4.07%) dan gula reduksi (2.65%) (Graham & de Bravo 1981). Komposisi kimia dari pati sukun dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi pati sukun

Komponen Kadar (%) Komponen Kadar (%)

Protein kasar 0.53 Lemak 0.39

Air 10.83 Amilosa 22.52

Abu 1.77 Amilopektin 77.48


(29)

Seperti halnya pati dari sumber lain, molekul pati sukun tersusun atas dua kelompok makromolekul, yaitu amilosa dan amilopektin. Kedua polimer tersebut

disusun oleh monomer α-D-glukosa yang berikatan satu sama lain melalui ikatan

glikosidik (Whistler & Daniel 1985). Perbedaan antara kedua makromolekul tersebut terletak pada pembentukan percabangan pada struktur liniernya, ukuran derajat polimerisasi, ukuran molekul dan pengaturan posisi pada granula pati seperti dapat dilihat pada Gambar 3.

(a)

(b)

Gambar 3 Struktur amilosa (a) dan amilopektin (b) (Roder et al. 2005)

Amilosa disusun oleh molekul glukosa yang dihubungkan satu sama lain

dengan ikatan α-1,4-glikosidik, sehingga membentuk polimer yang linier dengan

sedikit cabang yang dibentuk oleh ikatan α-1,6-glikosidik (< 1%) atau satu dari

300-1000 residu glukan (Roder et al. 2005). Berat molekul amilosa berkisar antara

105 – 106 Da dengan derajat polimerisasi mencapai kisaran 500 – 6000. Gugus

hidroksil pada molekul amilosa dapat berinteraksi satu sama lain membentuk struktur heliks melalui ikatan hidrogen (Whistler & Daniel 1985).

Amilopektin memiliki ukuran molekul yang sangat besar dengan berat

molekul mencapai 107 – 109 Da dan derajat polimerisasi antara 3x105 – 3x106.

Glukosa penyusun molekul amilopektin dihubungkan satu sama lain dengan


(30)

percabangannya. Jarak yang dibentuk antara cabang yang satu dengan cabang

yang lain pada struktur amilopektin sekitar 20 residu (Roder et al. 2005).

Proporsi amilosa dan amilopektin dari berbagai sumber pati berbeda-beda, demikian juga berat molekulnya. Umumnya pati memiliki proporsi amilopektin yang lebih besar jika dibandingkan dengan amilosa. Pati sukun memiliki kandungan amilosa beragam, tergantung varietas dan tempat tumbuh. Sebagai contoh kadar amilosa tepung sukun Kulon Progo dan Purworejo adalah sebesar 17 - 20%, sedangkan untuk tepung sukun Cilacap, Kediri, Bone dan Kepulauan Seribu berkisar antara 11 – 17% (Prabawati & Suismono 2009).

Kandungan pati serta proporsi amilosa dan amilopektin tepung sukun menjadi penting apabila tepung sukun tersebut akan digunakan sebagai bahan baku ataupun bahan pembantu pada produk pangan seperti bihun. Kandungan amilosa tinggi (>25 g/100 g) berperan penting dalam pembentukan jaringan gel dan struktur bihun yang diproduksi dari beras (Juliano & Sakurai 1985). Pembentukan gel yang baik akan mengurangi tingkat kelengketan produk bihun yang dihasilkan. Pati sukun asal Indonesia memiliki kandungan amilosa yang tergolong rendah (11-20%), tetapi didukung oleh sifat amilografi dan sifat fungsional lainnya berpotensi untuk diolah menjadi bihun.

Sifat Fungsional Pati Sukun

a. Karakteristik Gelatinisasi

Salah satu karakteristik fisik pati yang penting untuk dievaluasi dalam kaitannya terhadap sifat fungsional pati ketika diaplikasikan pada produk pangan adalah karakteristik gelatinisasi. Jika pati dipanaskan dengan air, maka pati akan mengalami peningkatan kelarutan yang diikuti oleh peningkatan viskositas dan pada akhirnya akan membentuk pasta. Fenomena ini dikenal dengan istilah gelatinisasi pati. Jika pemanasan dilanjutkan selama jangka waktu tertentu kemudian didinginkan, maka perubahan viskositas pati akan membentuk profil yang berbeda-beda, tergantung pada jenis pati.

Menurut Schoch dan Maywald (1968) seperti yang dikutip oleh Purwani et


(31)

dan tipe D. Pati tipe A adalah tipe pasta pati yang mengalami pembengkakan tinggi dengan viskositas puncak yang tinggi kemudian mengalami pengenceran secara cepat selama pemanasan. Tipe B adalah pasta pati yang memiliki karakter pembengkakan sedang dengan memperlihatkan viskositas puncak yang lebih rendah dan lebih tidak encer. Tipe C adalah pasta yang memiliki sifat pembengkakan terbatas, tidak memperlihatkan puncak pada viskositas maksimum namun viskositasnya yang cenderung tinggi tetap dipertahankan atau meningkat selama pemanasan. Tipe D adalah tipe pati yang pastanya sulit membengkak dan sulit mengental pada konsentrasi normal.

Profil gelatinisasi pati dapat ditentukan dengan menggunakan instrumen

Brabender Amylograph atau Rapid Visco Analyzer. Prinsip kedua instrumen tersebut adalah mengukur perubahan viskositas suspensi pati ketika mengalami pemanasan dan pendinginan dengan pola tertentu. Profil gelatinisasi pati sukun disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 4.

Tabel 4 Profil gelatinisasi pati sukun pada konsentrasi 6 g/100 ml

Parameter Nilai

Suhu gelatinisasi 73.3 °C

Viskositas puncak (P) 790 BU

Viskositas pasta panas (H) 786 BU

Viskositas pasta dingin (C) 1091 BU

Viskositas breakdown (P-H) 4 BU

Setback (C-H) 305 BU

Keterangan: BU = Brabender Unit Sumber : Rincón dan Padilla (2004)

Berdasarkan analisis dengan menggunakan Brabender Viscoamylograph,

suhu gelatinisasi pasta pati sukun pada konsentrasi 6 g/100 g adalah 73.3 °C. Nilai

suhu ini lebih tinggi dibandingkan pati kentang (61.6 °C), tetapi lebih rendah dari

pati jagung (83.3 °C). Rincón dan Padilla (2004) menyebutkan bahwa suhu

gelatinisasi dipengaruhi oleh ukuran granula, dimana granula dengan ukuran lebih kecil akan lebih tahan terhadap kerusakan dan gangguan terhadap susunan molekulnya, sehingga suhu gelatinisasinya menjadi lebih tinggi.


(32)

Setelah gelatinisasi, viskositas pati meningkat dengan tajam, terutama disebabkan oleh berkurangnya air yang tersedia. Puncak viskositas merupakan parameter penting yang membedakan antara pati yang satu dengan yang lain. Pati sukun menunjukkan nilai viskositas puncak 790 BU, jauh lebih tinggi dari viskositas puncak pati jagung (302 BU) (Rincón & Padilla 2004). Viskositas pati

jagung dan pati kentang mengalami penurunan selama proses holding isothermal,

sementara pati sukun viskositasnya justru meningkat pada periode ini.

Rincón dan Padilla (2004) menyatakan bahwa viskositas pasta panas dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya efek pencampuran granula pati yang membengkak, fragmen granula, koloid dari molekul pati terdispersi, tingkat pengembangan amilosa dan persaingan untuk mendapatkan air bebas antara amilosa yang mengembang dengan granula yang tersisa. Pati sukun lebih mampu mempertahankan integritas strukturnya di bawah kondisi panas dan tekanan, hal

ini dapat terlihat dari nilai viskositas breakdown yang hanya mencapai 4 BU.

Gambar 4 Profil gelatinisasi pati sukun pada konsentrasi 6% (Rincón & Padilla 2004)

Kenaikan viskositas yang terjadi saat pasta panas mengalami pendinginan disebabkan oleh kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi. Karakteristik ini terutama disebabkan oleh afinitas di antara gugus hidroksil. Molekul amilosa yang terdispersi secara acak dapat menyusun molekul-molekulnya untuk membentuk agregat dengan kelarutan rendah, sampai akhirnya terbentuk gel. Viskositas pasta dingin pati sukun (1091 BU) lebih besar dari viskositas


(33)

puncaknya (790 BU). Hal ini disebabkan selama pendinginan viskositas pasta sukun meningkat karena tingginya kecenderungan fraksi amilosa untuk mengalami retrogradasi (Rincón & Padilla 2004).

b. Swelling Power dan Kelarutan

Kemampuan granula pati untuk mengembang dapat ditentukan dari viskositas puncak pasta pada saat mengalami pemanasan ataupun dari pengukuran

swelling volume atau swelling power. Swelling volume adalah perbandingan

volume pasta pati terhadap berat keringnya (Collado et al. 2001). Sementara

swelling power didefinisikan sebagai perbandingan antara berat sedimen pasta pati

dengan berat kering pati yang dapat membentuk pasta (Wattanachant et al.

2002b).

Pada umumnya pati dengan swelling power atau swelling volume yang

tinggi mempunyai kelarutan pasta pati yang tinggi pula. Kim et al. (1996)

melaporkan bahwa pati kentang yang memiliki swelling power lebih tinggi

dibanding pati kacang-kacangan (navy bean dan pinto bean) memiliki kelarutan

yang lebih tinggi pula.

Swelling power dari pati sukun semakin meningkat dengan peningkatan

suhu (Tabel 5). Fenomena ini terutama terjadi pada peningkatan suhu dari 70 °C

ke 80 °C. Swelling power berhubungan dengan ikatan asosiatif di antara granula

pati. Karakter dan kekuatan jaringan misel pada granula pati berhubungan dengan kandungan amilosa dalam pati tersebut dimana kadar amilosa yang rendah akan

menghasilkan swelling power yang lebih besar (Rincón & Padilla 2004).

Tabel 5 Swelling power dan kelarutan tepung sukun pada berbagai suhu

Suhu (°C)

Swelling power

(g/100 g amilosa)

Kelarutan (g/100 g bk)

60 35.7 ± 0.11 2.31 ± 0.17

70 46.9 ± 0.35 2.75 ± 0.26

80 144.9 ± 0.12 5.28 ± 0.24

90 238.1 ± 2.17 8.93 ± 2.8


(34)

Keterkaitan antara swelling power dan kelarutan berhubungan dengan kemudahan molekul air untuk berinteraksi dengan molekul dalam granula pati dan menggantikan interaksi hidrogen antar molekul, sehingga granula akan lebih

mudah menyerap air dan memiliki pengembangan tinggi. Muhamed et al. (2008)

menyatakan bahwa pengembangan granula terjadi ketika granula dipanaskan bersama air dan ikatan hidrogen yang menstabilkan struktur heliks ganda dalam kristal terputus dan digantikan oleh ikatan hidrogen dengan air. Adanya pengembangan tersebut akan menekan granula dari dalam, sehingga granula akan pecah dan molekul pati terutama amilosa akan keluar.

Sebagai akibat dari peristiwa swelling akan terjadi peningkatan kelarutan,

dimana kelarutan tertinggi terjadi pada suhu 90 °C. Peningkatan kelarutan ini

disebabkan oleh adanya molekul amilosa terlarut yang bocor dan keluar dari

granula pati yang mengalami swelling (Rincón & Padilla 2004). Semakin banyak

molekul amilosa yang keluar dari granula pati maka kelarutan akan semakin tinggi. Oleh karena itu, pati dengan kandungan amilosa tinggi pada umumnya akan memiliki kelarutan yang tinggi pula. Namun demikian tidak selamanya kandungan amilosa berbanding lurus dengan kelarutan. Keberadaan kompleks antara amilosa dengan lipid, seperti pada pati kacang-kacangan, dapat mengurangi

kelarutan amilosa (Kim et al. 1996).

Tepung Beras

Tepung beras diperoleh dari hasil penggilingan beras, baik dengan cara kering maupun cara basah. Tepung beras dapat dihasilkan dari berbagai varietas beras. Tepung beras yang diproduksi dari beras dengan varietas berbeda akan menghasilkan tepung beras yang berbeda pula terutama dalam kandungan protein, lemak, pati dan rasio amilosa dengan amilopektin. Perbedaan komposisi kimia beras turut menentukan keragaman sifat fisiko-kimia tepung beras (Luh & Liu 1980). Komposisi kimia dari tepung beras dapat dilihat pada Tabel 6.


(35)

Tabel 6 Komposisi kimia tepung beras

Komposisi Jumlah (per 100 gram)

Air (g) 11.90

Abu (g) 0.63

Protein (g) 5.95

Lemak (g) 1.39

Karbohidrat (g) 80.38

Serat pangan (g) 2.40 Sumber: USDA SR-21 (2008)

Dalam teknologi pengolahan pangan modern, tepung beras digunakan antara lain untuk mengontrol viskositas, memisahkan adonan dengan adonan lain, mengatur tingkat pencoklatan, memudahkan pengeluaran produk dari cetakan serta memperbaiki kerenyahan. Di Asia, beras terutama dikonsumsi dalam bentuk bihun selain ditanak menjadi nasi (Juliano & Sakurai 1985). Beras tidak memiliki kandungan gluten yang dibutuhkan untuk membentuk adonan yang viskoelastis, sehingga umumnya dalam pembuatan bihun beras dilakukan pragelatinisasi

terhadap tepung beras agar dapat berfungsi sebagai pengikat (binder) bagi adonan.

Derajat pragelatinisasi tepung beras berperan penting dalam membentuk tekstur bihun. Komponen yang berperan dalam membentuk matriks gel dan struktur bihun adalah amilosa (Hormdok & Noomhorm 2007). Bihun beras yang baik dapat dihasilkan dari beras berkadar amilosa sedang hingga tinggi (>22%).

Beberapa penelitian terhadap tepung atau pati beras sebagai bahan baku ataupun bahan pembantu pada proses produksi mie/bihun telah banyak dilakukan.

Sandhu et al. (2010) dalam studinya melaporkan bahwa pencampuran pati

kentang dengan pati beras sangat mempengaruhi karakteristik sensori dan kualitas pemasakan bihun. Dinyatakan lebih lanjut bahwa penggunaan pati beras sebagai bahan pensubstitusi parsial terhadap pati kentang dalam proses pembuatan bihun berbahan dasar pati kentang dapat meningkatkan ketahanan bihun terhadap panas. Hasil penelitian lain melaporkan bahwa bihun yang diproduksi dari beras dan disubstitusi parsial oleh pati jagung akan menghasilkan bihun dengan nilai

kekerasan yang lebih rendah dan tingkat kelicinan (slipperiness) serta transparansi


(36)

Penggunaan tepung beras lebih dari 10% dalam suatu produk pangan memerlukan perhatian terhadap karakteristik tepung beras tersebut. Bean (1986) di dalam Munarso (1998) menyebutkan bahwa rasio amilosa – amilopektin dan suhu gelatinisasi merupakan faktor utama yang menentukan kesesuaian tepung beras dengan spesifikasi produk yang dikehendaki. Berdasarkan kandungan amilosanya, beras dapat dikelompokkan dalam empat kelas (Juliano & Sakurai 1985). Tabel 7 menyajikan kisaran kadar amilosa dan suhu gelatinisasi dari setiap

kelas beras. Suhu gelatinisasi diukur sebagai suhu titik akhir birefringence

(birefringence end point temperature = BEPT), yaitu suhu dimana 95 – 98% sifat

birefringence telah hilang ketika pati dipanaskan dalam air dan diamati dengan mikroskop polarisasi (Bean 1986 di dalam Munarso 1998).

Tabel 7 Klasifikasi beras berdasarkan kandungan amilosanya

Kelas Kadar amilosa (%) BEPT (°C)

Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi

2 – 9 9 – 20 20 – 25 25 – 33

-

55 – 69.5 70 – 74 74.5 - 79

Sumber: Juliano dan Sakurai (1985)

Berdasarkan analisis menggunakan instrumen Brabender Amylograph,

tepung beras menghasilkan profil gelatinisasi yang sangat dipengaruhi oleh kandungan amilosanya. Kurva amilograf dari tepung beras dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Profil gelatinisasi tepung beras dengan kadar amilosa tinggi dan

sedang (Wang et al. 2000)

Waktu (menit)

Viskositas

(RVU

) Amilosa tinggi

(>23.5%)

Amilosa sedang (19-23.5%)


(37)

Profil gelatinisasi yang dihasilkan oleh beras berkadar amilosa tinggi dan sedang menunjukkan pola yang serupa. Beras dengan kandungan amilosa tinggi memiliki nilai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan beras berkadar amilosa

sedang. Pada saat suhu dipertahankan pada 95 °C, pati beras mengalami

penurunan viskositas yang menunjukkan ketahanan panas dari pati tersebut tidak terlalu baik. Tetapi pada saat dilakukan pendinginan, viskositas pati beras mengalami peningkatan yang menunjukkan kecenderungan yang tinggi dari pati tersebut untuk beretrogradasi. Retrogradasi merupakan karakteristik pati yang sangat penting terutama dalam aplikasinya pada produk bihun, karena berkaitan dengan kemampuan pati tersebut untuk membentuk struktur untaian bihun yang tidak rapuh.

Evaluasi Pati Sebagai Bahan Baku Bihun

Sifat fisiko-kimia pati akan sangat mempengaruhi sifat fungsionalnya. Dalam pembuatan bihun berbahan baku pati dibutuhkan pati dengan sifat fungsional tertentu agar bihun yang dihasilkan memiliki karakteristik yang baik. Sifat fungsional pati sebagai bahan baku tersebut terutama berkaitan dengan pembentukan adonan dan tekstur bihun yang dihasilkan.

Pati yang ideal digunakan sebagai bahan baku bihun adalah pati dengan kandungan amilosa tinggi, pembengkakan granula dan kelarutan terbatas serta memiliki profil gelatinisasi tipe C (Lii & Chang 1981). Pati dengan kandungan amilosa tinggi cenderung mudah mengalami retrogradasi dan menghasilkan pasta

dengan penampakan lebih opaque seperti halnya pati beras dan pati jagung

(Wattanachant et al. 2002a).

Kecepatan pati untuk mengalami retrogradasi dibutuhkan dalam pembentukan struktur bihun pada saat bihun mengalami pendinginan. Retrogradasi pati akan menentukan tingkat kekerasan dan penampakan bihun atau

soun (starch noodle). Menurut Kim et al. (1996), soun yang diproduksi dari bahan

baku pati dengan kandungan amilosa tinggi memiliki kekerasan yang lebih tinggi namun transparansinya lebih rendah bila dibandingkan dengan soun yang diproduksi dari pati dengan kandungan amilosa lebih rendah. Pada tingkat tertentu


(38)

kekerasan bihun atau soun dibutuhkan untuk memperoleh soun dengan tekstur

tegar, sehingga dapat memberikan mouthfeel yang disukai ketika dikonsumsi.

Selain mempengaruhi tingkat kekerasan dan transparansi, kandungan amilosa pati mempengaruhi kelengketan serta susut masak dan pengembangan

bihun atau soun kering pada saat dimasak (direhidrasi). Kim et al. (1996)

menyatakan bahwa pati dengan swelling power dan kandungan amilosa yang

tinggi tidak selalu menghasilkan soun dengan susut masak yang tinggi pula. Kompleks antara lemak dengan amilosa diduga dapat menurunkan susut masak

soun yang dihasilkan. Lebih lanjut Kim et al. (1996) menjelaskan bahwa pati

dengan kandungan amilosa tinggi dan ukuran granula kecil akan menghasilkan soun dengan tingkat pengembangan dan susut masak yang lebih rendah bila dibandingkan dengan soun dari pati dengan kandungan amilosa rendah dan granula besar.

Kim et al. (1996) memaparkan hubungan antara profil gelatinisasi dengan karakteristik soun yang dihasilkan. Soun yang berasal dari pati kacang-kacangan dengan profil gelatinisasi tipe C memiliki susut masak dan kelengketan yang rendah namun kekerasannya lebih tinggi bila dibandingkan dengan soun yang dihasilkan dari pati dengan profil gelatinisasi tipe A. Pati dengan profil gelatinisasi tipe C cenderung lebih stabil terhadap pemanasan, sehingga keluarnya padatan dari soun yang diproduksi dengan bahan dasar pati tersebut dapat ditekan dan soun memiliki tingkat kelengketan yang rendah.

Pati sukun memiliki kandungan amilosa rendah (11-20%, Prabawati &

Suismono 2009), swelling power dan kelarutan tinggi (Rincón & Padilla 2004),

viskositas yang cenderung meningkat selama pemanasan dan holding time serta

kecenderungan untuk mengalami retrogradasi setelah didinginkan (Akanbi et al.

2009). Bila dibandingkan dengan syarat pati ideal untuk bahan baku bihun, maka pati sukun potensial untuk dikembangkan sebagai bahan baku bihun.

Hidrokoloid Dalam Bahan Pangan dan Pengaruh Penambahan Garam

Hidrokoloid memiliki peranan penting dalam mengendalikan karakteristik reologi, seperti viskositas ataupun elastisitas, pada produk pangan padat maupun


(39)

cair. Fungsi hidrokoloid ini sangat erat berhubungan dengan karakteristik organoleptik, tekstur dan pelepasan flavor pada produk.

Dalam produk pangan berbahan dasar pati seperti bihun, penambahan hidrokoloid diperlukan untuk mengontrol karakteristik reologi dan memodifikasi tekstur. Telah banyak penelitian yang dilakukan dengan menggunakan sistem pati

aqueous sebagai model percobaan untuk menggali fungsi dan manfaat potensial dari hidrokoloid. Glicksman (1982) menyatakan bahwa hidrokoloid dapat mengontrol karakteristik reologi dan tekstural dari bahan pangan, meningkatkan penyerapan air dan menjaga kualitas produk secara keseluruhan selama penyimpanan. Studi lain melaporkan bahwa penambahan hidrokoloid dapat memperbaiki atau memodifikasi karakteristik gelatinisasi dan retrogradasi pati

(Funami et al. 2005b, Yoshimura et al. 1996), meningkatkan kapasitas pengikatan

air (Yoshimura et al. 1998), dan stabilitas terhadap freeze-thaw dari sistem pati

aqueous (Lee et al. 2002). Funami et al. (2005a) menyatakan bahwa

galaktomanan (guar gum, tara gum, locus bean gum) memiliki pengaruh besar

terhadap karakteristik gelatinisasi dan retrogradasi dari pati gandum. Hidrokoloid tersebut mampu menghambat retrogradasi pati dan meningkatkan kapasitas pengikatan air.

Dua jenis hidrokoloid yang akan digunakan dan dilihat pengaruhnya terhadap karakteristik bihun yang dihasilkan adalah guar gum dan tepung iles-iles sebagai preparat glukomanan.

a. Guar Gum

Guar gum adalah polisakarida non-ionik dengan rantai utama manosa (Man) dengan ikatan -(1-4) yang disubstitusi oleh satu rantai samping galaktosa

(Gal) melalui ikatan α-(1-6) dengan rata-rata rasio molekul Man:Gal = 2:1

(Gambar 6) (Funami et al. 2005b). Guar gum diperoleh dari endosperma biji

tanaman legume (Cyamopsis tetragonalobus dan psoraloides) melalui serangkaian

proses penghancuran dan pengecilan ukuran untuk memisahkan gum dari biji (Panda 2005).


(40)

Gambar 6 Struktur guar gum (Panda 2005)

Guar gum merupakan polimer yang dapat larut dalam air dingin membentuk larutan kental yang bersifat non-Newtonian pseudoplastis. Guar gum umumnya digunakan pada konsentrasi di bawah 1%. Dalam industri pangan, guar gum digunakan karena kemampuannya untuk mengikat dan mengimobilisasi air dalam jumlah besar, sehingga mempengaruhi kekentalan, menghambat pembentukan kristal es dalam produk beku, memodifikasi tekstur produk, dan menstabilkan konsistensi produk terhadap perubahan suhu penyimpanan (Panda 2005).

Pada produk pangan berpati, interaksi guar gum dengan amilosa akan meningkatkan viskositas dari sistem pati-guar gum selama proses pemanasan, sementara interaksi guar gum dengan amilopektin akan meningkatkan viskositas puncak. Selain itu, kemampuan guar gum untuk mengentalkan dan meningkatkan konsentrasi efektif dari komponen-komponen pati juga menjadi faktor penting yang mengendalikan karakteristik gelatinisasi pati. Fenomena ini menjadi dasar

bagi penggunaan guar gum sebagai pengatur tekstur (texture modifier) pada

produk pangan berbasis pati (Funami et al., 2005a).

b. Tepung Iles-iles

Tepung iles-iles (Amorphopallus oncophyllus) diperoleh dari irisan umbi

tanaman iles-iles yang dikeringkan dan digiling menjadi tepung. Tepung iles-iles memiliki kandungan glukomanan yang tinggi (64.98%, Tabel 8), sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pangan karena karakterisik gelatinisasi dan


(41)

dimanfaatkan sejak lebih dari seribu tahun lalu di Asia Timur untuk membuat produk gel yang disebut konyaku (Simon 2008).

Tabel 8 Komposisi kimia tepung iles-iles

Komponen Jumlah (%bb)

Air Pati Protein Serat

Glukomanan

6.80 10.24

3.42 5.90 64.98

Sumber: Direktorat Gizi, Depkes RI (2010) di dalam www.indoagri.com

Jacon et al. (1993) menyatakan bahwa glukomanan yang terkandung

dalam iles-iles merupakan polimer dari D-glukosa dan D-manosa dengan perbandingan 2:3 dan ikatan -1,4 yang disbustitusi secara acak oleh gugus asetil, umumnya pada residu gula ke-19 (Gambar 7). Glukomanan memiliki berat molekul sekitar 1000 – 2000 kilo Dalton.

Gambar 7 Struktur glukomanan (Jacon et al. 1993)

Menurut Jacon et al. (1993), larutan glukomanan dalam air pada suhu

ruang akan memberikan viskositas yang tinggi dan membentuk gel dengan penambahan air kapur. Dijelaskan lebih lanjut, viskositas glukomanan yang tinggi tersebut diakibatkan oleh interaksi antara komponen molekul terlarut yang lebih dominan dibandingkan oleh proses hidrasi.

Penelitian mengenai interaksi glukomanan dengan pati telah banyak

dilakukan. Yoshimura et al. (1998) mempelajari interaksi antara glukomanan

dengan pati jagung dan menemukan bahwa penambahan glukomanan dapat meningkatkan kapasitas pengikatan air dari pati jagung. Sementara Khanna dan Tester (2006) menyatakan bahwa glukomanan meningkatkan suhu gelatinisasi


(42)

pati jagung dan pati kentang serta menghambat retrogradasi kedua jenis pati tersebut.

c. Pengaruh Penambahan Garam

Penambahan kation divalen seperti Ca2+ atau Mg2+ pada campuran

pati-hidrokoloid diketahui memiliki efek signifikan terhadap beberapa karakteristik

gelatinisasi campuran tersebut. Moritaka et al. (2003) menyebutkan bahwa

penambahan garam kalsium atau magnesium pada larutan gum gellan akan mempercepat gelatinisasi larutan tersebut dan mengubah karakteristik reologinya

menjadi lebih tidak tergantung pada suhu (less temperature dependent).

Dinyatakan lebih lanjut bahwa kation divalen akan membentuk ikatan ionik dengan gugus asam karboksilat pada rantai gellan, sehingga menghasilkan

agregasi heliks ganda melalui pembentukan jembatan inter-chain.

Studi lain yang dilakukan oleh Sudhakar et al. (1996) menunjukkan bahwa

viskositas pasta dingin dan suhu gelatinisasi pati sangat dipengaruhi oleh keberadaan garam dalam sistem pangan yang diamati. Gum akan memfasilitasi

pembentukan electrical double layer dari kation di sekeliling pati, sehingga

menurunkan suhu gelatinisasi. Dengan penambahan garam, maka pati akan menukar kation dari larutan dengan ion hidrogen, sehingga terjadi peningkatan volume dan pada akhirnya akan meningkatkan viskositas pasta dingin dari sistem pati-hidrokoloid. Penambahan garam juga menyebabkan karakteristik aliran sistem pati menjadi lebih pseudoplastis.


(43)

METODE PENELITIAN

Alat dan Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung sukun yang berasal dari Gunung Kidul - Yogyakarta dan tepung beras yang berasal dari beras varietas Rojolele. Bahan pendukung yang digunakan antara lain: akuades,

STPP (sodium tripolifosfat), tepung iles-iles, guar gum, CaCl2 serta bahan

pendukung lain yang digunakan untuk persiapan sampel maupun analisis. STPP dan guar gum diperoleh dari toko kimia di Bogor dan tepung iles-iles diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Bogor.

Alat utama yang digunakan terdiri atas pengering kabinet dan

multifunctional noodle machine. Peralatan pendukung yang digunakan antara lain:

timbangan analitik, chromameter, rapid visco analyzer, texture analyzer,

peralatan gelas dan alat memasak.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, yaitu dari bulan Mei – November 2010. Penelitian ini menggunakan fasilitas laboratorium yang terdapat

di lingkungan kampus IPB Darmaga, yaitu laboratorium Pilot Plant Seafast

Centre, laboratorium biokimia dan rekayasa proses pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap I meliputi kajian terhadap pengaruh susbtitusi tepung beras terhadap karakteristik gelatinisasi bahan baku dan kualitas bihun yang dihasilkan. Tahap II adalah kajian pengaruh hidrokoloid

dan CaCl2 terhadap profil gelatinisasi bahan baku. Pada Tahap III dilakukan

kajian terhadap pengaruh hidrokoloid dan CaCl2 terhadap karakteristik bihun

sukun. Pada tahap ini dilakukan karakterisasi terhadap sifat fisik bihun untuk mengetahui kualitas bihun sukun yang dihasilkan. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.


(44)

Gambar 8 Diagram alir penelitian

Tahap I. Pengaruh Substitusi Tepung Beras Terhadap Karakteristik Bahan Baku Bihun Sukun

Pada tahap ini dilakukan studi pengaruh substitusi tepung beras terhadap karakteristik gelatinisasi bahan baku bihun sukun. Sustitusi tepung sukun dengan tepung beras diharapkan dapat memperbaiki sifat fungsional dari campuran tepung yang dihasilkan, sehingga dapat menghasilkan produk bihun sukun dengan kualitas yang lebih baik. Tepung beras disubstitusikan pada campuran tepung kering pada level 15 dan 30% (b/b). Penentuan tingkat substitusi tepung beras didasarkan pada ketentuan bahwa tepung sukun tetap menjadi komponen utama yang dominan dalam produksi bihun sukun, sehingga ditetapkan jumlah tepung sukun minimum yang digunakan adalah 70% dan maksimum 85%. Selanjutnya

Tepung sukun dan tepung beras

Kajian pengaruh substitusi tepung beras terhadap bahan baku

Tingkat substitusi tepung beras terbaik

Kajian pengaruh hidrokoloid dan CaCl2

terhadap profil gelatinisasi bahan baku bihun sukun

Produk bihun

Karakterisasi sifat fisiko-kimia dan fungsional

Kajian pengaruh hidrokoloid dan CaCl2

terhadap karakteristik bihun sukun  

Analisis sifat fisik dan organoleptik


(45)

dilakukan analisis terhadap karakteristik campuran tepung yang meliputi swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel (Collado & Corke 1999, Singh

et al. 2005), profil gelatinisasi pati dengan rapid visco analyzer (Zaidul et al. 2007), kadar air, protein dan lemak (AOAC 1995), kadar pati (SNI

01-2891-1992) dan kadar amilosa (Riley et al. 2006).

Campuran tepung sukun dan tepung beras selanjutnya diaplikasikan pada produk bihun sukun. Diagram alir proses produksi bihun dapat dilihat pada

Gambar 9.Produksi bihun dilakukan dengan menggunakan metode Collado et al.

(2001) yang dimodifikasi.

Gambar 9 Diagram alir proses produksi bihun (Collado et al. 2001) yang

dimodifikasi

Tepung sukun 70% 

Pencampuran 

Pemanasan 

Pengadonan 

Pembentukan untaian bihun 

Pengukusan: 90 °C, 2 menit 

Pengeringan: 60 °C, 2 jam 

Bihun 

Tepung beras 

30% dan 15%

Pencampuran 

Tepung sukun 

0% dan 15%

Air 1:1

Sodium  tripolifosfat 0.3% 


(46)

Tahap II. Pengaruh Hidrokoloid dan CaCl2 Terhadap Profil Gelatinisasi Bahan Baku Bihun Sukun

Kajian pengaruh hidrokoloid dan CaCl2 terhadap bahan baku bihun sukun

dilakukan dengan melakukan analisis terhadap karakteristik gelatinisasinya. Level tepung beras yang digunakan pada tahap ini adalah jumlah tepung beras yang menghasilkan karakteristik campuran tepung terbaik dan karakteristik bihun terbaik yang dihasilkan dari Tahap 1.

Hidrokoloid yang digunakan adalah guar gum dan tepung iles-iles dengan konsentrasi 0.5 dan 1% dari jumlah total bahan baku tepung yang digunakan.

CaCl2 ditambahkan adalah pada level konsentrasi 0, 1, dan 2% dari jumlah total

bahan baku tepung yang digunakan. Parameter yang diukur dan diamati pada

tahap ini meliputi swelling volume (Collado & Corke 1999, Singh et al. 2005) dan

profil gelatinisasi pati dengan rapid visco analyzer (Zaidul et al. 2007). Kode

perlakuan yang digunakan dalam penelitian dirangkum dalam Tabel 9 berikut. Tabel 9 Keterangan kode perlakuan

CaCl2

(%)

Tepung sukun 100% Tepung sukun 85% + tepung beras 15%

Guar gum Iles-iles Guar gum Iles-iles

1% 0.5% 1% 0.5% 1% 0.5% 1% 0.5%

0 G1 G2 I1 I2 B1 B2 BI1 BI2

1 G3 G4 I3 I4 B3 B4 BI3 BI4

2 G5 G6 I5 I6 B5 B6 BI5 BI6

Tahap III. Pengaruh Hidrokoloid dan Garam CaCl2 Terhadap Karakteristik Bihun Sukun

Proses produksi bihun dilakukan dengan metode Collado et al. (2001) yang

dimodifikasi. Bahan baku yang digunakan adalah tepung sukun dan tepung beras dengan tingkat substitusi sesuai hasil yang diperoleh pada tahap I. Bahan tambahan pangan yang digunakan meliputi sodium tripolifosfat (STPP), guar

gum/tepung iles-iles dan CaCl2. STPP dilarutkan dengan air yang digunakan

untuk membuat binder, sementara bahan tambahan pangan yang lain dicampurkan

kering bersama sisa tepung sukun dan tepung beras. Jumlah STPP yang digunakan


(47)

sejumlah 0, 1, dan 2%. Semua persentase berdasarkan jumlah total bahan baku tepung yang digunakan.

Pembuatan bihun sukun diawali dengan membuat binder (pengikat)

adonan. Sebanyak 70% tepung sukun dicampurkan dengan air dengan perbandingan 1:1. Ke dalam air ditambahkan STPP sebagai pembentuk tekstur. Suspensi dipanaskan sambil diaduk hingga tergelatinisasi yang ditandai dengan meningkatnya kekentalan maupun transparansi adonan. Penentuan jumlah tepung

sukun yang dijadikan binder dan jumlah air yang digunakan dalam proses

produksi bihun sukun ditetapkan setelah melalui beberapa percobaan. Faktor yang

menjadi dasar dalam menentukan jumlah dan komposisi binder adalah bentuk

adonan dan untaian yang dihasilkan. Dari hasil percobaan diperoleh kombinasi

jumlah binder 70% dan perbandingan jumlah tepung dan air 1:1 yang memberikan

adonan dan untaian terbaik (tidak lengket dan mudah dibentuk).

Binder yang diperoleh kemudian dicampurkan dengan 30% bagian tepung kering yang sebelumnya telah dicampur dengan hidrokoloid dan/atau tanpa

penambahan CaCl2. Campuran diadon sehingga diperoleh adonan yang homogen.

Adonan dimasukkan ke dalam multifunctional noodle machine yang bekerja

dengan prinsip ekstrusi. Ulir tunggal yang berputar dalam mesin akan menekan

dan mendorong adonan keluar melalui die dengan ukuran tertentu.

Untaian bihun selanjutnya dibentuk dan diletakkan di atas pelat-pelat

berlubang, kemudian dikukus pada suhu 95 °C selama dua menit. Proses

dilanjutkan dengan mengeringkan bihun dalam pengering kabinet (cabinet dryer)

bersuhu 60 °C selama dua jam untuk mencapai kadar air yang relatif aman untuk

penyimpanan. Bihun sukun yang diperoleh dikemas dengan menggunakan plastik PP (polyprophylene) untuk melindunginya selama penyimpanan.

Bihun yang dihasilkan kemudian dianalisis sifat fisiknya yang meliputi

analisis warna, waktu rehidrasi, KPAP,berat rehidrasi dan tekstur. Dilakukan pula

uji organoleptik dengan menggunakan metode skoring terhadap beberapa parameter tekstur bihun yang diperoleh.


(48)

Prosedur Penelitian

Analisis Karakteristik Tepung/Campuran Tepung

a. Swelling Volume dan Kelarutan (Collado & Corke 1999, Singh et al. 2005) Sebanyak masing-masing 0.35 g tepung dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse berukuran 12.5 x 16 mm. Ditambahkan sebanyak 12.5 ml akuades ke dalam tabung kemudian disetimbangkan selama 5 menit. Tabung dipanaskan

dalam penangas bersuhu 92.5 °C selama 30 menit sambil sesekali dikocok.

Sampel didinginkan dengan air es selama 1 menit kemudian didiamkan pada suhu ruang selama 5 menit dan disentrifugasi pada kecepatan 3500 rpm selama 30 menit. Tinggi gel yang terbentuk diukur dan dikonversi menjadi volume gel per g

sampel yang kemudian dinyatakan sebagai swelling volume.

Supernatan yang berada di bagian atas tabung disaring melalui kertas saring yang telah diketahui beratnya dan filtrat yang diperoleh kemudian ditampung dengan cawan yang telah diketahui beratnya pula. Kertas saring dan

cawan dikeringkan pada suhu 110 °C selama satu malam. Sampel yang tertinggal

pada kertas saring merupakan berat pati yang tersuspensi di dalam supernatan dan sampel yang tertinggal pada cawan merupakan pati yang terlarut. Persentase pati yang tersuspensi dan terlarut dihitung berdasarkan perbandingan beratnya terhadap berat kering sampel awal.

b. Analisis Profil Gelatinisasi Pati dengan Rapid Visco Analyzer (Zaidul et al. 2007)

Analisis terhadap profil gelatinisasi pati dilakukan dengan menggunakan

instrumen Rapid Visco Analyzer TecMaster Newport Scientific Pty Ltd.,

Warriewood – Australia. Sampel sebanyak 3 gram (kadar air diketahui)

disuspensikan dalam 25 ml air destilata. Suspensi dipanaskan hingga suhu 50 °C

dan dipertahankan selama 1 menit, kemudian dipanaskan lebih lanjut hingga

mencapai suhu 95 °C dengan kecepatan pemanasan 6 °C/menit dan dipertahankan


(49)

mencapai suhu 50 °C dengan kecepatan pendinginan 6 °C/menit dan dipertahankan pada suhu tersebut selama 5 menit.

Informasi yang dapat diperoleh dari kurva viskograf adalah parameter profil gelatinisasi pati, antara lain: viskositas puncak (VP = viskositas tertinggi

selama proses pemanasan), suhu gelatinisasi (SG = suhu awal gelatinisasi), waktu

puncak (WP = waktu untuk mencapai viskositas puncak), viskositas trough (VT

= viskositas terendah yang teramati setelah VP tercapai), viskositas breakdown

(VB = VP dikurangi VT), viskositas akhir (VA = viskositas setelah satu siklus

terselesaikan), viskositas setback (VS = VA dikurangi VT). Seluruh nilai

dilaporkan dalam menit, °C atau centipoises (cP). Penentuan profil gelatinisasi

pati dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Kurva profil gelatinisasi pati: SG (suhu gelatinisasi), VP (viskositas

puncak), WP (waktu puncak), VT (viskositas trough), VB (viskositas

breakdown), VS (viskositas setback) dan VA (viskositas akhir)

c. Analisis Kadar Air (AOAC 1995)

Sebanyak 1 – 2 g sampel ditimbang ke dalam cawan yang telah diketahui

beratnya. Cawan berisi sampel dimasukkan ke dalam oven bersuhu 130 °C selama

1 jam. Cawan dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Cawan dipanaskan kembali hingga diperoleh bobot konstan. Kadar air dihitung berdasarkan rumus berikut:

SG WP

VT

VA

VS


(50)

Kadar air (g/100 g bahan basah) = Dimana:

W = bobot contoh awal (g)

W1 = bobot contoh + cawan setelah dikeringkan (g)

W2 = bobot cawan kosong (g)

d. Analisis Kadar Lemak (AOAC 1995)

Kadar lemak ditetapkan berdasarkan metode ekstraksi Soxhlet. Prinsip metode ini adalah pelarutan lemak yang akan diekstrak dengan pelarut dietil eter. Setelah pelarutnya diuapkan, lemak dapat ditimbang dan dihitung persentasenya.

Labu lemak dikeringkan di dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel sebanyak 5 g ditimbang langsung dalam kertas

saring, kemudian ditutup dengan kapas wool yang bebas lemak. Kertas saring

berisi sampel diletakkan di dalam alat ekstraksi Soxhlet, kemudian kondensor dipasang di atas dan labu lemak di bawah alat tersebut. Pelarut dietil eter atau petroleum eter dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya, sesuai dengan ukuran Soxhlet yang digunakan. Kemudian, sampel direfluks selama minimum 5 jam hingga pelarut yang turun kembali ke labu lemak, berwarna jernih. Pelarut yang ada di dalam labu lemak didistilasi dan ditampung. Selanjutnya, labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C. Setelah labu dikeringkan hingga beratnya tetap dan didinginkan dalam desikator, labu berisi lemak tersebut ditimbang.

Kadar lemak dapat dihitung berdasarkan rumus berikut: Kadar lemak (g/100 g bahan basah) =

Dimana:

W = bobot contoh awal (g)

W1 = bobot contoh + labu lemak setelah dikeringkan (g)

W2 = bobot labu lemak kosong (g)

e. Analisis Kandungan Protein (AOAC 1995)

Analisis terhadap kadar protein dilakukan dengan menggunakan metode semi-mikro Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0.2 gram dan dimasukkan ke


(51)

dalam labu Kjeldahl 100 ml. Kemudian ditambahkan 2 g K2SO4, 40 mg HgO dan

2.5 ml H2SO4 pekat, selanjutnya didestruksi hingga warna larutan berubah

menjadi hijau jernih dan didinginkan. Setelah dingin, ditambahkan 35 ml akuades dan 10 ml NaOH pekat untuk selanjutnya didestilasi. Destilat ditampung dalam

erlenmeyer 125 ml yang berisi H3BO3 dan indikator, kemudian dititrasi

menggunakan HCl 0.02 N hingga berubah warna. Prosedur analisis yang sama diterapkan juga untuk blanko. Kadar protein dihitung berdasarkan rumus berikut:

Kadar nitrogen dalam sampel (%N) = .

Kadar protein (g/100 g bahan basah) = 6.25 x %N Dimana:

W = bobot contoh awal (g)

Vs = volume HCl yang digunakan untuk titrasi sampel (ml)

Vb = volume HCl yang digunakan untuk titrasi blanko (ml)

f. Analisis Kandungan Pati (SNI 01-2891-1992)

Sebanyak 5 gram sampel dimasukkan dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 200 ml HCl 3%, kemudian dididihkan selama 3 jam menggunakan pendingin tegak. Larutan dinetralkan dengan NaOH 30% dan ditambahkan sedikit

CH3COOH 3% agar suasana larutan menjadi sedikit asam. Larutan dipindahkan

dalam labu ukur 500 ml dan ditepatkan hingga tanda tera dengan akuades kemudian disaring. Sebanyak 10 ml filtrat dipipet ke dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambah dengan 25 ml larutan Luff, batu didih dan 15 ml akuades kemudian dipanaskan dengan nyala api tetap. Setelah mendidih selama 10 menit, erlenmeyer didinginkan di dalam bak berisi es. Setelah campuran dingin, dilakukan

penambahan KI 20% sebanyak 15 ml dan H2SO4 25% sebanyak 25 ml. Campuran

dititrasi menggunakan larutan Na2S2O3 0.1 N dengan indikator pati 0.5% hingga

diperoleh titik akhir. Prosedur analisis yang sama diterapkan terhadap blanko. Perhitungan kadar pati dilakukan berdasarkan kandungan glukosa yang terukur pada titrasi sampel. Kadar glukosa dihitung berdasarkan rumus berikut:


(52)

Dimana:

Vb = volume Na2S2O3 yang digunakan pada titrasi blanko

Vs = volume Na2S2O3 yang digunakan pada titrasi sampel

N = konsentrasi Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi

Jumlah (mg) gula yang terkandung untuk ml Na2S2O3 yang digunakan

ditentukan melalui tabel Luff Schoorl (Tabel 9). Dari tabel tersebut dapat

diketahui hubungan antara volume Na2S2O3 0.1 N yang digunakan dengan jumlah

glukosa yang ada pada sampel yang dititrasi. Selanjutnya kadar glukosa dan kadar pati dihitung berdasarkan rumus berikut:

Kadar glukosa (%G) =

Kadar pati (%) = %G x 0.90 Dimana:

W = glukosa yang terkandung untuk ml Na2S2O3 yang digunakan (mg) dari

tabel

W1 = bobot sampel

fp = faktor pengenceran

Tabel 10 Penetapan gula menurut Luff Schoorl Na2S2O3

0.1 N (ml)

Glukosa, fruktosa dan gula inversi (mg)

Na2S2O3 0.1 N (ml)

Glukosa, fruktosa dan gula inversi (mg)

1 2.4 13 33.0

2 4.8 14 35.7

3 7.2 15 38.5

4 9.7 16 41.3

5 12.2 17 44.2

6 14.7 18 47.1

7 17.2 19 50.0

8 19.8 20 53.0

9 22.4 21 56.0

10 25.0 22 59.1

11 27.6 23 62.2

12 30.3

g. Analisis Kandungan Amilosa dan Amilopektin (Riley et al. 2006)

Penetapan Sampel

Sebanyak 100 mg sampel tepung bebas lemak dimasukkan dalam labu takar 100 ml, dan ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9.0 ml NaOH 1 N. Setelah


(53)

itu sampel dipanaskan dengan penangas air selama 10 menit dan ditambahkan akuades hingga tanda tera. Sebanyak 5 ml sampel dipipet ke dalam labu takar 100

ml dan ditambahkan 1 ml CH3COOH 1 N dan 2 ml larutan iod (0.2% iod dalam

2% KI) lalu ditepatkan dengan akuades hingga tanda tera. Setelah dikocok, larutan didiamkan selama 20 menit dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm.

Pembuatan Kurva Standar

Standar amilosa disiapkan dengan cara menimbang 40 mg amilosa murni ke dalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Larutan standar dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit dan ditambahkan akuades hingga tanda tera. Sebanyak masing-masing 1, 2, 3, 4, dan 5 ml larutan standar dipipet ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan

CH3COOH 1 N sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1 ml, kemudian masing-masing

tabung ditambahkan 2 ml larutan iod dan ditepatkan dengan akuades hingga tanda tera. Setelah didiamkan selama 20 menit, absorbansi dari intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Kurva standar dibuat sebagai hubungan antara kadar amilosa (sumbu x) dengan absorbansi (sumbu y).

Kadar amilosa dalam sampel dihitung berdasarkan rumus berikut:

Kadar amilosa =

Dimana:

C = konsentrasi amilosa dari kurva standar (mg/ml)

V = volume akhir sampel (ml)

F = faktor pengenceran

W = berat sampel (mg)

Kandungan amilosa dalam sampel dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan amilopektin yang dihitung berdasarkan selisih total kadar pati dengan kadar amilosa.


(54)

Analisis Karakteristik Bihun

(Chen 2003, Purwani et al. 2006, Codex Stan 249-2006)

a. Analisis Kadar Air Metode Oven

Sebanyak 1 g sampel ditimbang ke dalam cawan kering kosong yang telah

diketahui bobotnya. Sampel dikeringkan dalam oven bersuhu 105 °C selama 3

jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Cawan beserta sampel dipanaskan kembali hingga diperoleh bobot konstan. Kadar air dihitung berdasarkan rumus berikut:

Kadar air (g/100 g bahan basah) = Dimana:

W = bobot contoh awal (g)

W1 = bobot contoh + cawan setelah dikeringkan (g)

W2 = bobot cawan kosong (g)

b. Waktu Pemasakan (Waktu Rehidrasi)

Waktu pemasakan ditentukan dengan cara merebus 5 g bihun dengan ukuran 2-3 cm di dalam 200 ml air mendidih. Setelah 2 menit, bihun diambil setiap 30 detik dan ditekan di antara dua permukaan gelas. Waktu pemasakan optimum tercapai ketika bagian tengah bihun telah terehidrasi sempurna.

c. Analisis Tekstur

Pengukuran tekstur bihun dilakukan terhadap bihun yang telah dimasak pada suhu dan waktu tertentu. Pemasakan dilakukan dengan cara memasukkan 25

gram bihun ke dalam 500 ml air mendidih bersuhu 100 °C selama 5 menit. Bihun

yang telah dimasak kemudian disiram dengan 200 ml air dingin untuk menghentikan pemanasan, selanjutnya ditiriskan dan diukur menggunakan

Texture Analizer TA-XT2. Dilakukan juga pengukuran tekstur terhadap bihun komersial.

Kondisi yang digunakan pada pengukuran tekstur bihun antara lain test

mode and option: TPA, probe dengan bentuk silinder berdiameter 35 mm, pre test speed: 2.0 mm/s, test speed: 0.1 mm/s, post test speed: 2.0 mm/s, distance: 75%,


(55)

time: 5 sec dan calibrate probe: 15 mm. Selama pengukuran, bihun akan diberi gaya kompresi sebanyak dua kali. Dari kondisi pengukuran tersebut akan

diperoleh kurva texture profile analysis (TPA) bihun seperti yang terdapat pada

Gambar 11. Kurva TPA yang diperoleh dapat memberikan informasi mengenai

parameter tekstur bihun, antara lain: kekerasan (hardness), daya rekat

(adhesiveness), elastisitas (elasticity) dan kelengketan (gumminess/stickyness).

Gambar 11 Kurva texture profile analysis (TPA)

Kekerasan ditentukan dari maksimum gaya (nilai puncak) pada

tekanan/kompresi pertama dan dinyatakan dengan satuan gf (gram force). Daya

kohesif dihitung dari luasan di bawah kurva pada tekanan kedua (A2) dibagi dengan luasan di bawah kurva pada tekanan pertama (A1) atau A2/A1. Elastisitas ditentukan dari jarak yang ditempuh oleh produk pada tekanan kedua sehingga tercapai nilai gaya maksimumnya (L2) dibandingkan dengan jarak yang ditempuh oleh produk pada tekanan pertama sehingga tercapai nilai gaya maksimumnya

(L1) atau L2/L1 (satuan gs; gram second). Kelengketan ditentukan dari luasan

yang berada di bawah sumbu x (nilai negatif dengan satuan gf).

d. Analisis Warna (Hutching 1999)

Sistem notasi warna yang diterapkan dalam penelitian ini adalah sistem notasi Hunter. Sistem notasi Hunter menggunakan tiga notasi warna, yaitu L*


(1)

Lampiran 9 Produk bihun sukun a. Tepung sukun 100% dan guar gum

Guar gum 1%, CaCl2 0% Guar gum 0.5%, CaCl2 0%

Guar gum 1%, CaCl2 1% Guar gum 0.5%, CaCl2 1%


(2)

b. Tepung sukun 100% dan Iles-iles

Iles-iles 1%, CaCl2 0% Iles-iles 0.5%, CaCl2 0%

Iles-iles 1%, CaCl2 1% Iles-iles 0.5%, CaCl2 1%


(3)

c. Tepung sukun 85% + tepung beras 15% dan guar gum

Guar gum 1%, CaCl2 0% Guar gum 0.5%, CaCl2 0%

Guar gum 1%, CaCl2 1% Guar gum 0.5%, CaCl2 1%


(4)

d. Tepung sukun 85% + tepung beras 15% dan Iles-iles

Iles-iles 1%, CaCl2 0% Iles-iles 0.5%, CaCl2 0%

Iles-iles 1%, CaCl2 1% Iles-iles 0.5%, CaCl2 1%


(5)

Lampiran 10 Bahan baku yang digunakan dalam produksi bihun sukun

Tepung sukun Tepung beras


(6)

Lampiran 11 Alat yang digunakan dalam produksi bihun sukun dan analisis bahan baku bihun sukun

Multifunctional Noodle Machine Rapid Visco Analyzer