Kajian Konektivitas Sedimentasi Dan Dampaknya Terhadap Sistem Sosial Ekologis Laguna (Studi Kasus Laguna Segara Anakan)

i

KAJIAN KONEKTIVITAS SEDIMENTASI DAN DAMPAKNYA
TERHADAP SISTEM SOSIAL-EKOLOGIS LAGUNA
(STUDI KASUS LAGUNA SEGARA ANAKAN)

LILIK KARTIKA SARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kajian Konektivitas
Sedimentasi dan Dampaknya terhadap Sistem Sosial-Ekologis Laguna (Studi
Kasus Laguna Segara Anakan) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi

mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Lilik Kartika Sari
NIM C262100021

ii

RINGKASAN
LILIK KARTIKA SARI. Kajian Konektivitas Sedimentasi dan Dampaknya
terhadap Sistem Sosial-Ekologis Laguna (Studi Kasus Laguna Segara Anakan).
Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO, KADARWAN SOEWARDI, AGUS
SALEH ATMADIPOERA dan ENDANG HILMI.
Laguna Segaran Anakan (LSA) memiliki potensi ekonomi yang besar
sebagai penyumbang produksi perikanan tangkap, utamanya udang dengan nilai
lebih dari atau US$ 11,7 juta atau Rp. 154 Milyar pertahun. Besarnya manfaat ini
dipengaruhi oleh keberadaan mangrove di dalamnya yang menunjang serta

mendukung siklus kehidupan ikan, kepiting, kerang, udang serta fauna lainnya.
Selain potensi ekonomi yang dirasakan masyarakat, LSA juga berfungsi secara
ekologis sebagai tempat berkembang biak (spawning ground), pengasuhan
(nursery ground), serta sumber nutrisi (feeding ground) bagi biota perairan serta
mendukung lestarinya ketersediaan plasma nutfah serta keanekaragaman hayati.
Perkembangan dan pertumbuhan daratan pada kawasan LSA berkembang begitu
cepat. Pada tahun 1990an Segara Anakan masih dinyatakan sebagai daerah
nelayan dan perikanan darat yang potensial. Dewasa ini, kawasan LSA makin
menyempit karena proses sedimentasi yang sangat intensif.
Menurunnya luasan mangrove ini mengakibatkan fungsi ekosistem
mangrove sebagai tempat berkembang biak, pengasuhan dan area mencari makan
ikan berkurang. Tingginya sedimentasi di kawasan tersebut mengakibatkan makin
kecilnya badan air serta menurunnya kualitas perairan sebagai tempat hidup ikan.
Kedua hal diatas mengakibatkan kemampuan menunjang kehidupan (carrying
capacity) LSA menurun sehingga kesempatan ikan untuk hidup dan berkembang
biak juga semakin terbatas. Akibat dari terbatasnya kesempatan hidup ikan
tersebut mengakibatkan sumberdaya ikan di kawasan ini mengalami penurunan.
Adanya penurunan hasil tangkapan menyebabkan masyarakat atau sistem sosial
yang hidup di kawasan ini melakukan adaptasi agar tetap dapat hidup di kawasan
ini. Adaptasi dan konektivitas sistem sosial-ekologis LSA ini menghasilkan

dinamika perubahan kawasan, ekologi dan sosial. Dinamika perubahan ini akan
mempengaruhi proses ekologi sehingga akan mengakibatkan berubahnya fungsi
lingkungan. Perubahan fungsi lingkungan ini mempengaruhi ketersediaan barang
dan jasa yang nantinya akan masuk dalam sistem sosial (human system) yang akan
mempengaruhi manfaat serta biaya yang ditimbulkan akibat adanya permasalahan
pada sistem ekologi sehingga akan mempengaruhi nilai bersih (net value) suatu
sumberdaya.
Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) memprediksi laju sedimentasi dan
mengetahui perubahan kawasan Laguna Segara Anakan; (2) memetakan jasa
ekosistem dan ko-evolusi sistem sosial-ekologis Kawasan Laguna Segara Anakan
(3) mengetahui nilai ekonomi total kawasan Laguna Segara Anakan dan (4)
mengidentifikasi dampak sedimentasi terhadap sistem sosial-ekologis kawasan
Laguna Segara Anakan. Penelitian ini dilakukan melalui survey dan pengamatan
laboratorium. Pada penelitian ini laju sedimentasi dan perubahan luasan LSA
diketahui melalui pengamatan dinamika hidro-oseanografi dengan pengamatan
arus, temperatur, salinitas dan Muatan Padatan Tersuspensi (MPT).

iii

Hasil pengukuran menunjukkan laju sedimentasi pada musim hujan sangat

besar dimungkinkan karena adanya sedimen yang dipasok oleh DAS Citanduy.
Laju sedimentasi dari Sungai Citanduy ini sebesar 7,4 juta ton per tahun dan yang
mengendap di LSA 0,8 juta ton per tahun. Kecepatan rata-rata arus Sungai
Citaduy pada musim hujan adalah 0,20 meter per detik dan 0,05 meter per detik
pada musim kemarau. Debit rata-rata musim hujan adalah 1.083,3 meter kubik per
detik, debit rata-rata musim kemarau 273,43 meter kubik per detik, dengan fluks
sedimen sebesar 257,7 gram per meter persegi per detik saat musim hujan dan 6,8
gram per meter persegi per detik saat musim kemarau. Berdasarkan analisa
perubahan luas laguna pada tahun 2003 dan 2016 pada citra OLI 7 dan 8 yang
digunakan dalam penelitian ini, terjadi perubahan luas laguna dari 1.199 ha
menjadi 1.043 ha, sehingga terjadi perbedaan luasan sebesar 156 ha selama 13
tahun atau laju penambahan area daratan pada laguna tersebut sebesar 12 ha per
tahun pada 13 tahun terakhir.
Penelitian nilai ekonomi kawasan LSA dilaksanakan dengan melakukan
pengambilan contoh populasi yang turut serta dalam penelitian ini adalah
masyarakat beserta lembaga terkait baik langsung maupun tidak langsung dalam
pemanfaatan kawasan Laguna Segara Anakan, dalam semua ragam penggunaan
lahan. Jumlah responden ditetapkan berdasarkan azas keterwakilan serta berdasar
jenis kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya di kawasan ini pada empat desa
yang termasuk dalam Kecamatan Kampung Laut. Hasil penelitian menunjukkan

nilai ekonomi total kawasan LSA dengan luasan area 14.807 ha yang meliputi
Kecamatan Kampung Laut yang terdiri dari 4 desa ini memiliki nilai ekonomi
total Rp 153.873.795.181,50 atau Rp 86.025.491,68 dari tiap ha hutan mangrove.
Dampak perubahan kawasan Laguna Segara Anakan terhadap sosial
ekonomi masyarakat dikethui dengan melakukan pengumpulan data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh dengan metode wawancara masyarakat mengenai
persepsi masyarakat terhadap jasa lingkungan dengan dilakukan terhadap
masyarakat yang terkait dengan manfaat LSA yang terdiri dari nelayan, petani,
petambak, pembuat gula merah dan pengrajin ikan asin, ebi serta petis. Hasil
penelitian menunjukkan perubahan bentang alam yang terjadi di Laguna Segara
Anakan mendorong penduduk setempat mengembangkan mata pencaharian lain
yang sesuai dengan perubahan alam yang terjadi. Penduduk beradaptasi untuk
melakukan kegiatan yang bertumpu pada keberadaan tanah timbul tersebut.
Adanya pengaruh dari pendatang yang sebagian besar adalah petani memberi
wawasan kepada penduduk asli untuk melakukan kegiatan selain kegiatan
kenelayanan. Mata pencaharian beragam, masyarakat melakukan adaptasi
terhadap perubahan alam dan untuk mempertahankan kehidupannya. Jasa
ekosistem kawasan LSA n masih memungkinkan untuk mendukung sistem
sosial-ekologis. Natural capital asset di kawasan laguna ini dalam kondisi
mampu menyediakan sejumlah barang dan jasa ekosistem berupa kondisi

perairan laguna dan hutan mangrove yang mampu menjalankan fungsinya
sebagai penyedia jasa regulasi, penyedia jasa penunjang dan penyedia jasa
budaya.
Kata kunci: dinamika hidro-oseanografi, Laguna Segara Anakan, sedimentasi,
sistem sosial-ekologis, nilai ekonomi total

iv

SUMMARY
LILIK KARTIKA SARI. Study of Connectivity Sedimentation and Its Impact on
Social-Ecological System of Lagoon (Case Study on Segara Anakan Lagoon).
Supervised by LUKY ADRIANTO, KADARWAN SOEWARDI, AGUS SALEH
ATMADIPOERA and ENDANG HILMI.
Segara Anakan Lagoon (SAL) has a great economic potential as a
contributor to the production of capture fisheries, mainly shrimp with a value
greater than or USD 8.3 million or IDR 96 billion per year. The amount of benefit
is influenced by the presence of mangroves in it that support the life cycle of fish,
crabs, shrimp and other fauna. In addition to the economic potential that is felt by
a social system that live in it, the SAL also functions ecologically as a spawning
ground, nursery ground, and feeding ground for marine life. It strongly supports

the conservation of germ-plasm and biodiversity. Development and growth of the
mainland in the region SAL growing so fast. In the 1990s Segara Anakan still
declared as an area of fisheries and freshwater aquaculture potential. Nowadays,
the area of SAL have narrowed due to sedimentation process whichvery intensive.
Decline covering of mangrove resulted mangrove ecosystem function as a
spawning ground, nursery ground, and feeding ground to be reduced. The high
sedimentation in this region resulted in increasingly smaller water bodies as fish
habitats. Sedimentation in addition to filling the water body is also causes
turbidity of the water body. Both of the condition resulted in decreased ability
SAL carrying capacity so that the chance of fish to live and breed is getting
limited. As a result of limited opportunities resulted in the fish habitats fish
resources in this region decreases both of population and of size. A decrease in
catches led to community or social system that live in the region to adapt in order
to continue living in this region. Adaptation and connectivity socio-ecological
system in this SAL produces the changing dynamics of the area. The dynamics of
these changes will affect ecological processes that will result in changes in the
function of the environment. This function changes the environment affects the
availability of goods and services that will be included in the human system that
will affect benefits and costs incurred as a result of problems in the ecological
system so that it will affect the net value of a resource.

The purpose of this study are: (1) prediction of sedimentation rate and
changes in the SAL area; (2) mapping of ecosystem services and co-evolution of
Social-Ecological System of Segara Anakan Lagoon (3) determine Total
Economic Value of mangrove forests of SAL and (4) identify effect of
sedimentation to social-ecological system in SAL area. Dynamics of hydrooceanographic research in the area of SAL implemented by taking the
observational data flow, temperature, salinity and TSS at six different stations.
The study results show the rate of sedimentation in the rainy season made possible
by the very large sediment supplied by DAS Citanduy. Debit average in rainy
season was 1,083.3 m3s-1. Debit average in dry season 273.5 m3 s-1, with sediment
flux of 257.7 g m-2 s-1 during the rainy season and 6.8 g m-2 s-1 during the dry
season. Based on comprehensive analysis of changes in the lagoon between 2003
and 2016 in the image OLI 7 and 8 were used in this study, changes in the lagoon

v

area of 1,199 ha to 1,043 ha, which results in different area of 156 ha for 13 years
or the rate of increase in land area in the lagoon of 12 ha per year in the last 13
years.
Research co-evolution of social-ecological systems in the SAL conducted
by collecting primary and secondary data. Primary data were obtained by

interview people about the public perception of environmental services with
committed against people associated with the benefit Segara Anakan consisting of
fishermen, farmers, shrimp farmers, craftspeople maker brown sugar and salted
fish, dried shrimp and shrimp paste. The results showed changes that occurred in
the landscape Segara Anakan encourage local people to develop other livelihood
according to the natural changes that occur. Residents adapted to engage in
activities that based on the the presence of the raised ground. The influence of
entrants who are mostly farmers give insight to the natives to carry out activities
other than fishing activities. Livelihood increasingly diverse. Peoples adapt to
natural changes and to preserve life. Ecosystem services Region Segara Anakan
show is still possible to support the socio-ecological systems on top of society.
Natural capital assets in the area of the lagoon is in condition to be able to provide
a number of ecosystem goods and services such as water conditions lagoons and
mangrove forests are able to function as a regulation services provider, supporting
service providers and providers of cultural services.
Regional economic value SAL study carried out by sampling the population
that participated in this study is the community, along with related parties, directly
or indirectly in the area use Segara Anakan Lagoon, in all manner of land use. The
number of respondents is determined based on the principle of representation as
well as by type of activities that the resources in this area in four villages in

Kampung Laut subdistrict. The results showed the total economic value Segara
Anakan region with an area of 14,807 ha area, which includes subdistrict
Kampung Laut consisting of 4 villages have a total economic value of IDR
153,873,795,181.50 or IDR 86,025,491.68 from each ha of mangrove forest.
Keywords: hydro-oceanographic dynamics, sedimentation, Segara Anakan
Lagoon, social-ecological system, total economic value (TEV)

vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

i


KAJIAN KONEKTIVITAS SEDIMENTASI DAN DAMPAKNYA
TERHADAP SISTEM SOSIAL-EKOLOGIS LAGUNA
(STUDI KASUS LAGUNA SEGARA ANAKAN)

LILIK KARTIKA SARI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

ii

Penguji pada Ujian Tertutup dan Sidang Promosi :
1 Prof. Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc
Guru Besar Eko-Biologi,
Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor
2 Dr Agung Dhamar Syakti, DEA
Kepala Pusat Studi Biosains Maritim –
LPPM Universitas Jenderal Soedirman

iii

Judul Disertasi : Kajian Konektivitas Sedimentasi dan Dampaknya Terhadap
Sistem Sosial-Ekologis Laguna (Studi Kasus Laguna Segara
Anakan)
Nama
: Lilik Kartika Sari
NIM
: C262100021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc.
Ketua

Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi,MS
Anggota

Dr. Ir. Agus Saleh Atmadipoera, DESS
Anggota

Dr. Endang Hilmi, S Hut., M.Si.
Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

Tanggal Ujian Tertutup : 20 Juli 2016
Tanggal Sidang Promosi : 29 Agustus 2016

Tanggal Lulus:

iv

v

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt atas segala berkat dan
rakhmat-Nya sehingga disertasi dengan judul: Kajian Konektivitas Sedimentasi
dan Dampaknya terhadap Sistem Sosial-Ekologis Laguna (Studi Kasus
Laguna Segara Anakan) dapat terselesaikan. Disertasi ini disusun atas
serangkaian penelitian di Kawasan Laguna Segara Anakan guna menyelesaikan
pendidikan Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada :
1. Komisi Pembimbing; Dr Ir Luky Adrianto, MSc sebagai Ketua Komisi
Pembimbing, Prof Dr Ir Kadarwan Soewardi, MS, Dr Ir Agus Saleh
Atmadipoera, DESS dan Dr Endang Hilmi, SHut M.Si masing-masing
sebagai Anggota Komisi Pembimbing serta Penguji; Prof Dr Ir Sulistiono,
MSc dan Dr Agung Dhamar Syakti, DEA yang telah memberikan waktu serta
sumbangan pikirannya yang sangat berharga serta kesabarannya dalam
mengarahkan penulis untuk penyelesaian penulisan disertasi ini,
2. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen DIKTI) Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan atas beasiswa yang diberikan serta Kemetrian Riset dan
Teknologi dan Pendidikan Tinggi atas bantuan dana penelitian berupa Hibah
Program Doktor yang diberikan sehingga membantu kelancaran disertasi ini,
3. Ketua, Sekretaris dan Staf Pendidik Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas bekal
ilmu yang telah diberikan,
4. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB beserta jajarannya atas
segala fasilitas dan bantuannya,
5. Rektor Universitas Jenderal Soedirman, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Jenderal Soedirman beserta jajarannya atas segala
fasilitas, bantuan serta kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk
menempuh pendidikan tertinggi,
6. Keluarga tercinta, suami tersayang Wahyu Widiatmoko, ST dan anandaananda tercinta, Wijdaan Dzaki Mulya Ardi, Aida Atsiyl Saraswati dan Arfa
Aryasatya Wistara atas segala pengorbanan, pengertian dan kasih sayang
serta semangatnya,
7. Teman seperjuangan, Pak Zairion, Mbak Dewi Susiloningtyas, Mas Paryono
dan Mbak Selvi Tebay, serta Mbak Yuli Purwandari Kristianingrum,
Ibu Nurul Dhewani Mirah Sjafrie, serta Nunung Nur Azizah, Arbi Mei
Gitarama, Erik Munandar, Bang Iqbal, Bp. Yudi Wahyudin, Yulma, Ferdi
Gustian Utama, Mas Agus Supriyanto (Ujung Gagak), Mas Tri Nur Cahyo,
Agus Alim Hakim, alm. Bp Yayat, Bp. Muhajir, Bp. Edi Kusmanto, Bp.
Gentio Harsono, teman-teman HILMI.com, teman-teman Perikanan Undip
‟90, dan Alste ‟90, terimakasih atas dorongan semangat, doa dan bantuannya.
8. Keluarga Besar drh. R. Soetrisno, keluarga besar Bani Partadidjaja dan
keluarga Ibu Sumindaryati Amir atas doa dan dukungannya, serta

vi

9. semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan
bantuan dalam penyelesaian studi ini.
Semoga jasa Bapak, Ibu, Saudara serta suami dan anak-anakku mendapat
imbalan baik dan berlipat dari Allah SWT. Semoga karya tulis ini berguna bagi
semua. Aamiin.

Bogor, Agustus 2016
Lilik Kartika Sari

vii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kebaruan
Ruang Lingkup Penelitian

x
1
1
5
9
10
18
18

2 DINAMIKA HIDRO-OSEANOGRAFI KAWASAN LAGUNA SEGARA
ANAKAN
19
Pendahuluan
19
Tujuan
19
Metode Penelitian
20
Hasil dan Pembahasan
23
Simpulan
40
3 KO-EVOLUSI SISTEM SOSIAL – EKOLOGIS LAGUNA SEGARA
ANAKAN
Pendahuluan
Tujuan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

41
41
42
42
45
74

4 NILAI EKONOMI KAWASAN LAGUNA SEGARA ANAKAN
Pendahuluan
Tujuan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

75
75
76
76
80
90

5 DAMPAK SEDIMENTASI TERHADAP SISTEM SOSIAL-EKOLOGIS
LAGUNA SEGARA ANAKAN
91
Pendahuluan
91
Tujuan
92
Metode Penelitian
92
Hasil dan Pembahasan
92
Simpulan
98
6 PEMBAHASAN UMUM

99

viii

7 SIMPULAN DAN SARAN

104

DAFTAR PUSTAKA

105

LAMPIRAN

114

RIWAYAT HIDUP

140

ix

DAFTAR TABEL
1 Luas hutan mangrove di Laguna Segara Anakan
5
2 Hidrologi Sungai dan Anak Sungai yang menuju LSA
5
3 Publikasi yang berkaitan dengan konektivitas, sedimentasi dan sistem
sosial-ekologis laguna
11
4 Lokasi pengamatan CTD
22
5 Suhu, curah hujan dan banyaknya hari hujan pada 2011 s.d 2014
46
6 Perubahan Komposisi Lahan Kawasan Laguna Segara Anakan
49
7 Jumlah individu dan luas penampang pohon dan pancang mangrove
49
8 Indeks Nilai Penting (INP) Mangrove pada Kawasan Laguna Segara
Anakan
50
9 Produksi mutiara Segara Anakan
55
10 Dinamika Sistem Sosial-Ekologis Laguna Segara Anakan
56
11 Keberadaan sarana pendidikan formal di Kampung Laut
60
12 Ragam Pendukung Kegiatan Penduduk Desa Ujung Gagak
65
13 Sarana Kesehatan Kecamatan Kampung Laut
67
14 Suplai Jasa Ekosistem Laguna Segara Anakan
69
15 Kebutuhan Jasa Ekosistem Laguna Segara Anakan
70
16 Ketersediaan Jasa Ekosistem Laguna Segara Anakan
71
17 Hasil tangkapan nelayan dahulu dan saat ini
72
18 Klasifikasi Fungsi dan Manfaat Kawasan Laguna Segara Anakan
76
19 Nilai Ekonomi Manfaat Langsung Kawasan Laguna Segara Anakan
87
20 Perkembangan Produksi Udang (H), Upaya Tangkap (E) dan Luas
Mangrove
88
21 Nilai Ekonomi Total Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove di Kawasan
Laguna Segara Anakan
90
22 Pasokan Sedimen dari Sungai Citanduy ke Laguna Segara Anakan
93
23 Kandungan Oksigen Terlarut Perairan Laguna Segara Anakan
93
24 Dinamika Nilai Karbon Laguna Segara Anakan
95
25 Mata Pencaharian Penduduk Kampung Laut dari Masa ke Masa
96
26 Rumah Tangga Perikanan Laguna Segara Anakan
98
27 Arahan dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Laguna Segara Anakan
103

DAFTAR GAMBAR
1 Siklus kerusakan lingkungan di Segara Anakan (Al Amin 2002)
2 Saling keterkaitan antara permasalahan yang terjadidi hulu dari sungaisungai yang bermuara di LSA dengan model DPSIR (Driving-ForcePressure-State-Impact-Respon)
3 Kerangka pemikiran dinamika Dinamika Sistem Sosial-Ekologis
Laguna Segara Anakan
4 Perangkap Sedimen (Sediment Trap)
5 Stasiun Letak Perangkap Sedimen
6 Kondisi Pasang Surut saat Pengamatan
7 Variasi Temporal Temperatur Muara Sungai Citanduy dalam Satu
Siklus Pasang-surut

4

9
10
21
21
24
26

x

8 Variasi Temporal Salinitas Muara Sungai Citanduy dalam Satu Siklus
Pasang-surut
9 Arus Rata-rata Muara Sungai Citanduy pada Musim Hujan dan Musim
Kemarau
10 MPT pada Musim Hujan (2 Maret 2014) dan Musim Kemarau (25
Agustus 2014)
11 Laju sedimentasi selama satu tahun pada Perairan Laguna Segara
Anakan
12 Komposisi sedimen Kawasan Laguna Segara Anakan
13 Perubahan luas lahan badan air Laguna Segara Anakan 2003 – 2016
14 Lokasi Penelitian
15 Letak stasiun pengamatan kualitas air
16 Tren perubahan luas laguna
17 Perubahan luas laguna 1978 - 2016
18 (a) Distribusi tingkat kerusakan mangrove di Segara Anakan dan (b)
Distribusi kerapatan (ind/m2) spesies Acanthus ilicifolius
19 Peta Kecamatan Kampung Laut
20 (a) Perkampungan perikanan di Segara Anakan yang merupakan cikal
bakal Kampung Laut Cilacap pada sekitar tahun 1900 (Sumber: Koleksi
KITLV, Leiden, The Netherlands dalam Manez 2010) dan (b) Desa
Ujung Gagak, Kecamatan Kampung Laut saat ini
21 Keragaman Dinding Rumah Kecamatan Kampung Laut
22 Dinamika penduduk Kecamatan Kampung Laut
23 Jumlah penduduk dari tiap desa dan luas wilayah di Kecamatan
Kampung Laut
24 Penduduk Kampung Laut berdasar kelompok umur
25 Ragam mata pencaharian penduduk tiap desa di Kecamatan Kampung
Laut
26 Komposisi Penduduk Asli dan Penduduk Pendatang di Kecamatan
Kampung Laut
27 Komposisi penduduk tamat pendidikan Tahun 2014
28 Jenis alat tangkap yang beroperasi di Laguna Segara Anakan
29 Jaring apong dalam sketsa (1) dan keyataan di lapangan (2)
30 Ragam mata pencaharian penduduk Desa Ujung Gagak
31 Keragaman agama penduduk Kecamatan Kampung Laut
32 Tahap Penilaian Nilai Ekonomi Total Kawasan Laguna Segara Anakan
33 Kurva Permintaan terhadap Sumberdaya Kepiting
34 Kurva Permintaan terhadap Sumberdaya Kerang
35 Kurva Permintaan terhadap Sumberdaya Udang
36 Kurva Permintaan terhadap Sumberdaya Ikan
37 Perubahan Luas Laguna 1978 s.d 2016 (Data Primer diolah dari Citra
Landsat OLI 7 dan 8)
38 Laju Perubahan Kedalaman Perairan Laguna Segara Anakan
39 Dinamika Total Produksi Laguna Segara Anakan 1978-2001 (Sumber:
Boesono 2003)
40 Dinamika CPUE (Catch per Unit Effort) Udang Segara Anakan 19882015

30
34
36
38
39
39
43
47
47
48
51
53

54
55
57
57
58
59
60
61
63
64
64
66
77
83
84
85
86
92
93
94
94

xi

41 Dinamika Kerang Totok di Kawasan Segara Anakan (Sumber:
Listyaningsih 2013)
95
42 Dinamika Pendapatan Masyarakat Kampung Laut 1980-2011 (diolah
dari Prayitno (2001) dalam Ramadhan dan Hafasaridewi 2012, dengan
asumsi nilai tukar rupiah tahun 2011, 1 US Dollar = Rp 8.500,00)
97
43 Dampak Sedimentasi dan Sistem Sosial terhadap Perairan Laguna
102

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Variasi Temporal Arus Maret dan Agustus 2014
115
Nilai MPT Maret dan Agustu 2014
117
Perhitungan Fluks Sedimen
118
Laju sedimentasi pada tiap tanggal pengamatan
123
Nilai Ekonomi Kayu Bakar Mangrove pada Kawasan Laguna Segara
Anakan
124
Nilai Ekonomi Nipah pada Kawasan Laguna Segara Anakan
125
Nilai Ekonomi Satwa pada Kawasan Laguna Segara Anakan
126
Hasil Analisis Regresi Berganda Tangkapan Kepiting
127
Model Ekonomi Sumberdaya Kepiting
128
Hasil Analisis Regresi Berganda Tangkapan Kerang
130
Model Ekonomi Sumberdaya Kerang
131
Hasil Analisis Regresi Berganda Tangkapan Udang
133
Model Ekonomi Sumberdaya Udang
134
Hasil Analisis Regresi Berganda Tangkapan Ikan
136
Model Ekonomi Sumberdaya Ikan
137
Manfaat Pembelajaran Kawasan Laguna Segara Anakan
139
Peraturan Pemerintah yang berhubungan dengan Segara Anakan
140

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengelolaan pesisir terpadu (ICM-Integrated Coastal Management)
menurut Thia-Eng (2006) memiliki tiga prinsip dasar, yaitu pengelolaan yang
adaptiv (adaptive management), integrasi dan inter-relationship, serta pengelolaan
berbasis ekosistem (Ecosystem-Based Management, EBM). Adapun prinsip
integrasi dan interelationship memastikan konsistensi internal antara kebijakan
dan tindakan pengelolaan, meliputi integrasi sistem, integrasi fungsional, serta
integrasi kebijakan. Integrasi sistem terkait dengan konektivitas yang merupakan
instrumen atau alat dari sistem sosial-ekologis, dimana didalamnya terdapat koevolusi. Ilmu tentang konektivitas ini dalam prespektif perencanaan spasial,
prespektif konflik dan prespektif fisik. Prespektif fisik disini adalah sedimentasi,
oleh karenanya perlu adanya penelitian tentang konektifitas sedimentasi dan
dampaknya yang terjadi pada Laguna Segara Anakan.
Laguna Segara Anakan (LSA) yang terletak diantara 7o35‟ – 7o46‟ S dan
o
108 45‟ – 109o01‟ E berada di perbatasan antara Provinsi Jawa Barat dan Provinsi
Jawa Tengah. Luas keseluruhan kawasan sekitar 24.000 ha dan merupakan
kawasan estuari yang terbentuk dari beberapa ekosistem yang saling berhubungan
erat. Ekosistem Segara Anakan mencakup wilayah perairan terbuka, tanah timbul,
rawa air asin dan hutan mangrove yang memberikan tempat dan habitat bagi
kehidupan berbagai flora dan fauna. LSA yang berada di daerah pesisir selatan
Jawa merupakan sistem ekologi yang terkait dengan peristiwa sedimentasi akibat
kegiatan Daerah Aliran Sungai diatasnya serta sistem perikanan yang terkait
dengan pelaku, struktur dan proses sosial didalamnya.
LSA memiliki potensi ekonomi yang besar yaitu sebagai penyumbang
produksi perikanan tangkap (utamanya udang dengan nilai lebih dari atau US$ 8,3
juta atau Rp. 96 Milyar pertahun). Besarnya manfaat ini dipengaruhi oleh
keberadaan mangrove di dalamnya yang menunjang serta mendukung siklus
kehidupan ikan, kepiting, udang serta fauna lainnya. Hasil riset yang pernah
dilakukan menyatakan bahwa setiap hektar mangrove di LSA dengan biota laut
yang menumpangnya memiliki nilai ekonomis hingga US$ 1.400 atau Rp. 16 Juta
(Sukardi, 2010).
Selain potensi ekonomi yang bermanfaat bagi sistem sosial yang hidup
didalamnya, LSA berfungsi secara ekologis sebagai tempat berkembang biak
(spawning ground), pengasuhan (nursery ground), serta sumber nutrisi (feeding
ground) bagi biota perairan. Hal tersebut sangat mendukung lestarinya
ketersediaan plasma nutfah serta keanekaragaman hayati.
Perkembangan dan pertumbuhan daratan pada kawasan LSA berkembang
cepat. Pada tahun 1990an Segara Anakan masih dinyatakan sebagai daerah
nelayan dan perikanan darat yang potensial. Saat ini, kawasan LSA makin
menyempit karena proses sedimentasi yang sangat intensif. Beberapa lokasi yang
sebelumnya dinyatakan sebagai gosong pasir, sekarang telah menyatu dengan
daratan Cilacap (Usman et al, 2005).
Hal ini menjadi masalah penting, karena sesuai dengan Peraturan
Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

2

j.o. Peraturan Presiden No 28 Tahun 2012 kawasan Pangandaran, Kali Pucang,
Segara Anakan dan Nusa Kambangan (Pacangsanak) ditetapkan sebagai Kawasan
Strategis Nasional khususnya terkait dengan konservasi wilayah dan sumberdaya
alam.
Lebih lanjut Máñez (2010) menyatakan bahwa kawasan laguna Segara
Anakan saat ini hanya tinggal 2.200 ha. Berdasar analisa peta sejarah, foto udara
dan citra satelit menunjukkan bahwa sekitar 6.300 ha atau lebih dari dua per tiga
dari daerah perairan telah berubah menjadi lahan baru sejak 1850. Letusan gunung
berapi juga kemungkinan telah memainkan peranan penting, seperti letusan
Gunung Galunggung tahun 1822, 1983 dan 1984.
Sedimentasi yang tinggi memperparah kerusakan LSA karena adanya beban
materi yang tinggi yang masuk ke badan perairan. Zuardi (2002) memperkirakan
pada tahun 2040 Segara Anakan akan tertutup sedimentasi dengan perkiraan
sedimen yang masuk ke LSA dari Sungai Citanduy sebesar 8,05 juta ton per
tahun, Sungai Cimeneng sebesar 0,87 juta ton per tahun, serta Sungai Cikonde
0,22 juta ton per tahun, sehingga total pasokan sedimen 9,14 juta ton per tahun.
Dari 9,14 juta ton tersebut, 0,66 juta ton sedimen mengendap di LSA, dan 8,5 juta
ton sedimen menuju ke laut. Hal tersebut mengakibatkan penurunan luas LSA dari
6.898 ha pada tahun 1890 menjadi hanya 800 ha pada tahun 2007 (Departemen
Kimpraswil dalam Suryawati, 2011). Berkurangnya luas LSA juga diperkirakan
tinggal 673 ha pada 2011 (Ramadhan dan Hafsaridewi, 2012), dan 400 ha saat ini
(Kompas, 2013). LSA memiliki catchment area DAS Cimeneng 76.536 ha, DAS
Citanduy 350.109 ha dan Sub DAS Cikawung 72.250 ha dengan total 498.894 ha
(DPU, 2013).
Keberlanjutan LSA saat ini semakin terancam dengan adanya pembabatan
hutan mangrove yang dipicu oleh pemanfaatan mangrove sebagai bahan
bangunan, bahan baku arang, kayu bakar serta kebutuhan rumah tangga lainnya.
BPKSA (2008) melaporkan terjadinya perubahan luasan mangrove di kawasan
LSA dari 15.551 ha (pada tahun 1974) menjadi 8.359 ha (pada tahun 2003).
Perubahan ini disebabkan oleh adanya konversi areal mangrove menjadi areal
persawahan, pertambakan, pemukiman, serta pemanfaatan kayu sebagai material
bahan bangunan, serta bahan baku arang untuk keperluan industri.
Menurunnya luasan mangrove mengakibatkan berkurangnya hasil
tangkapan ikan oleh nelayan setempat dari waktu ke waktu. Hal tersebut
dituliskan oleh Máñez (2010) bahwa hasil tangkapan menurun, dengan adanya
laporan ketiadaan beberapa jenis ikan, moluska dan spesies mamalia yang
sebelumnya terdapat di Segara Anakan. Dinamika perubahan hasil tangkapan
tersebut, antara lain disebabkan karena fungsi mangrove secara ekologis
berkurang sehingga makin sedikit kesempatan ikan untuk melewatkan hidupnya di
mangrove. Selain hasil tangkapan yang makin sedikit, biaya atau usaha yang
dilakukan nelayan untuk mendapatkan hasil tangkapan juga makin besar. Hal
tersebut terlihat dari makin sedikit dan makin kecilnya ukuran ikan hasil
tangkapan juga makin lamanya waktu yang diperlukan untuk mendapatkan hasil
tangkapan. Dinamika atau perubahan luas mangrove serta badan air LSA ini
berkaitan dengan besarnya manfaat yang diperoleh serta usaha atau biaya yang
dikorbankan untuk mendapatkan hasil tangkapan.
Sistem ekologi LSA dipengaruhi juga oleh sistem sosial yang ada di
dalamnya. Keberadaan laguna sebagai tempat berbagai kegiatan sosial maupun

3

ekonomi masyarakat menghasilkan keragaman profesi masyarakat itu sendiri,
seperti nelayan, petani, petambak, pedagang dan penyedia jasa lainnya. Dilain
pihak, keberadaan LSA ini juga dipengaruhi oleh kegiatan masyarakat yang
beraktifitas di dalamnya. Pendekatan dengan peran masyarakat serta aktifitas di
dalamnya dalam suatu lingkup ekologi merupakan pendekatan dengan
menggunakan sistem sosial ekologis, atau yang dikenal dengan Social Ecological
System (SES) yang merupakan keterpaduan dan hubungan timbal balik alam dan
manusia yang hidup didalamnya. Anderies et al (2004) menyatakan bahwa sistem
sosial ekologis merupakan sistem dari unit biologi atau ekosistem yang
dihubungkan serta dipengaruhi oleh satu atau lebih sistem sosial.
Sistem Sosial-Ekologis (SSE) LSA sangat dipengaruhi oleh faktor internal
(ecological changes) dan faktor eksternal (human behavior changes;
anthropogenic) termasuk dalam hal ini persoalan kebijakan, ekonomi politik
kawasan dan lain sebagainya. Adanya sistem sosial di kawasan tersebut beserta
aktifitas masyarakat yang memanfaatkan hutan mangrove sebagai penopang
kehidupan mereka mengakibatkan berkurangnya luasan hutan mangrove. Semakin
besar hubungan antara kehidupan manusia dan sumber daya alam (dalam hal baik
spasial dan temporal), para pengguna sumberdaya semakin gencar dan pembuat
kebijakan diharapkan memiliki kemampuan untuk menjaga integritas dan
produktivitas ekosistem (Salafsky et al, 2008).
Nelayan di bagian utara LSA kehilangan sumber penghidupan sebagai
nelayan akibat meluasnya tanah timbul yang umumnya kemudian beralih menjadi
lahan pertanian dan pertambakan. Kondisi internal masyarakat LSA diperparah
dengan dengan adanya faktor luar yang ikut mempengaruhinya. Banyak
petambak yang berasal dari luar kawasan LSA memulai usaha budidaya di
kawasan LSA. Sebagian masyarakat lokal mendapat kesempatan untuk
mempelajari teknologi dari luar tersebut dan kemudian terdorong untuk membuka
lahan mangrove dan mengkonversinya menjadi areal-areal pertambakan. Seperti
halnya di Desa Ujungalang, pada tahun 1997 luas lahan yang dibuka untuk
tambak adalah 187 ha. Perambahan hutan mangrove juga dilakukan oleh petani
guna mencukupi kebutuhan mereka akan lahan pertanian. Seperti halnya yang
terjadi pada tahun 1997-1998, terdapat sebuah proyek perkebunan pisang
cavendish yang dilakukan di kawasan LSA dan Nusakambangan. Berhektarhektar lahan di tanah timbul dari Pesuruhan hingga Klaces dibuka dengan
menggunakan buldoser dan mendatangkan tenaga kerja dari luar Kampung Laut.
Kegiatan ini berakhir dengan pengusiran para pendatang tersebut oleh penduduk
asli Kampung Laut dengan dukungan pemerintah dan tentara pada tahun 1999.
Sebagian besar pulang ke daerah asal di Jawa Barat dan sebagian menetap di
Lempong Pucung dan Klaces sebagai buruh tani (Sonjaya, 2007).
Menurunnya luasan mangrove ini mengakibatkan fungsi ekosistem
mangrove sebagai tempat berkembang biak, pengasuhan dan area mencari makan
ikan menjadi berkurang. Tingginya sedimentasi di kawasan tersebut
mengakibatkan makin kecilnya badan air sebagai tempat hidup ikan. Sedimentasi
selain mengisi badan air juga menyebabkan kekeruhan badan air tersebut. Kedua
hal diatas mengakibatkan kemampuan menunjang kehidupan (carrying capacity)
LSA menurun sehingga kesempatan ikan untuk hidup dan berkembang biak juga
semakin terbatas. Akibat dari terbatasnya kesempatan hidup ikan tersebut
mengakibatkan sumberdaya ikan di kawasan ini berkurang baik dari populasi

4

maupun dari ukuran. Adanya penurunan hasil tangkapan menyebabkan
masyarakat atau sistem sosial yang hidup di kawasan ini melakukan adaptasi agar
tetap dapat hidup di kawasan ini. Adaptasi dan konektivitas sistem sosial ekologi
di LSA ini menghasilkan dinamika perubahan kawasan. Konektivitas atau
keterkaitan antara dinamika perubahan kawasan memberi pengaruh terhadap
kehidupan sosial masyarakat yang hidup dalam kawaan tersebut sehingga
melakukan adaptasi untuk dapat tetap hidup dan memanfaatkan sumberdaya
kawasan tersebut. Dinamika perubahan ini akan mempengaruhi proses ekologi
sehingga akan mengakibatkan berubahnya fungsi lingkungan. Perubahan fungsi
lingkungan ini mempengaruhi ketersediaan barang dan jasa yang nantinya akan
masuk dalam sistem sosial (human system) yang akan mempengaruhi manfaat
serta biaya yang ditimbulkan akibat adanya permasalahan pada sistem ekologi
sehingga akan mempengaruhi nilai bersih (net value) suatu sumberdaya.
Permasalahan diatas akan berdampak pada ancaman ekologi yang lebih
besar. Hutan mangrove di kawasan LSA merupakan habitat penting bagi
kelangsungan jaringan makanan (food web) di perairan selatan Pulau Jawa.
Kerusakan dalam siklus ini yang terjadi secara interaktif antara aspek sosial dan
aspek ekologis dan akan terus berlangsung kecuali dilakukan tindakan yang tepat
dan cepat dalam mengatasinya. Seperti halnya ilustrasi yang diberikan oleh Al
Amin (2002) pada Gambar 1.

Gambar 1 Siklus kerusakan lingkungan di Segara Anakan (Al Amin, 2002)
Degradasi lingkungan di LSA berdampak pada kehidupan masyarakat yang
kesehariannya bergantung pada sumberdaya hutan mangrove dan perairan. Luas
perairan LSA berkurang sedangkan penduduk makin bertambah. Perairan LSA
yang luasnya tinggal 400 ha (Sonjaya, 2007), bisa menghidupi 15.278 jiwa yang
sebagian besar hidupnya tergantung pada kegiatan nelayan padahal jumlah ideal
penduduk yang diharapkan berdiam di kawasan LSA hanyalah sekitar 8.000 jiwa
agar daya dukung lingkungan tidak mendapat tekanan yang terlalu berat
(Monografi Kampung Laut, 2008 dalam Mumpuni, 2012).
Upaya penyelamatan kawasan Laguna Segara Anakan harus segera
dilakukan mengingat pentingnya peran LSA dalam pemenuhan kebutuhan
sumberdaya ikan dan kelangsungan hidup suatu kawasan guna dapat menopang
kesejahteraan masyarakat di wilayahnya. Atas dasar ini pula penelitian ini

5

dirancang untuk mengetahui laju sedimentasi, memetakan jasa ekosistem, serta
mengetahui nilai ekonomi kawasan dan memberikan arahan dan sumbang saran
kebijakan agar kawasan laguna Segara Anakan ini tetap lestari.
Perumusan Masalah
Peranan ekosistem di Laguna Segara Anakan (LSA) mendukung kestabilan
ekologis wilayah pesisir Pantai Selatan Jawa, karena menyimpan beragam fungsi
ekologis, diantaranya spawning ground, nursery ground, dan feeding ground.
Fungsi ini sering diterjemahkan sebagai konversi dan penyuplai nutrien, penyerap
dan peredam gelombang, serta tempat mencari makan bagi biota pesisir. LSA juga
memainkan peranan yang sangat penting dalam menopang kehidupan masyarakat
setempat melalui hasil tangkapan ikan dan produksi hutan mangrove.
Pentingnya laguna sebagai kawasan pembibitan menunjukkan pilihan untuk
pengelolaan yang bekerjasama antara pemerintah dan nelayan LSA. Menurut
Dudley (2000) sebagai sebuah kawasan LSA yang sehat mampu memberikan
manfaat yang signifikan bagi nelayan sehingga dalam setiap tahunnya nelayan
dapat memanen sekitar US $ 6 juta atau lebih dari Rp. 69 Milyar nilai produk
perikanan (didominasi udang). Setiap hektar kawasan LSA menghasilkan lebih
dari US $ 1.500 atau Rp. 17 Juta tiap tahunnya. Lebih lanjut Purnamaji (2006)
menyatakan bahwa LSA dan kawasan di sekitarnya telah menyumbang produksi
perikanan pantai lebih dari Rp. 62 Milyar dan nilai hutan mangrove mencapai Rp
125 Juta per haer tahun dan akan semakin meningkat seiring dengan makin
berfungsinya ekosistem LSA.
Sumberdaya ikan di LSA merupakan sumber makanan dan mata
pencaharian utama masyarakat yang tinggal di sekitarnya, terutama penduduk
Kampung Laut. Makin berkembangnya penduduk di kawasan LSA, maka
kebutuhan terhadap sumber pangan juga meningkat. Kebutuhan masyarakat yang
sebelumnya tercukupi dari hasil perikanan tangkap ternyata sudah tidak tercukupi
lagi sejalan dengan berkurangnya volume badan perairan tempat berkembang
biaknya ikan. Peningkatan kekeruhan, berkurangnya badan air, berkurangnya
luasan mangrove, serta peningkatan intensitas penangkapan telah mengakibatkan
penurunan hasil tangkapan. Kerusakan dan berkurangnya lahan mangrove
berakibat menurunnya hasil tangkapan, karena siklus hidup dari ikan-ikan tersebut
terganggu akibat tidak adanya kawasan yang menunjang dalam siklus hidup
mereka. Berikut Tabel 1 merupakan laju perubahan luasan hutan mangrove di
LSA.
Tabel 1 Luas hutan mangrove di Laguna
Segara Anakan
Tahun
Luas Hutan Mangrove
1974
15.551 ha
1978
10.975 ha
1994
8.975 ha
1998
8.892 ha
2001
8.482 ha
2003
8.359 ha
2007
6.823 ha
Sumber : BPKSA (2007) dalam A‟in (2009)

6

Penyempitan dan pendangkalan perairan LSA serta berkurangnya luasan
mangrove sangat mempengaruhi populasi larva dan juvenil ikan potensial dan
udang pada khususnya. Produksi sumberdaya ikan potensial yaitu produksi
tangkapan menurun dari 5.250 ton (pada tahun 1979) menjadi 2.000 – 3.000 ton
per tahun (pada tahun 2011) dengan jumlah tangkapan per nelayan berkisar 1,5 –
3 kg per trip (Tjahjo dan Riswanto, 2011). Hal ini makin memperparah keadaan
Segara Anakan sebagai sumber plasma nutfah seperti yang dinyatakan Saputra
(2010) bahwa pemanfaatan Udang Jahe atau Dogol Biru atau Udang Jari
(Metapenaeus elegans) di kawasan LSA sudah berada dalam kondisi over
exploited; tingkat pemanfaatan sudah mencapai 154% dari nilai Emsy dimana
spesies tersebut yang tertangkap berukuran antara 8,4 s.d. 11,8 cm dan umumnya
ditangkap dengan jebakan (traps), push nets, set nets dan peralatan perikanan
artisanal.
Dudley (2000) menyatakan kekayaan sumberdaya perikanan LSA dicirikan
dengan melimpahnya biota khas dan potensial meliputi 60 jenis ikan, 19 jenis
udang alam yang didominasi Udang Jerbung (Penaeus marguiensis), Udang Peci
(Penaeus indiscus) dan Udang Jari (Metapenaeus elegans), dua jenis kepiting
ekonomis penting; rajungan dan kepiting bakau yang didominasi jenis Scylla
olivacea dan Scylla serrata. Terdapat 3 jenis kepiting bakau dalam kawasan ini,
yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica dan Scylla olivacea (Nazar et al, 2007)
Sebanyak 8% dari total tangkapan ikan dan 34% dari total udang yang tertangkap
nelayan, menetas dan dibesarkan di kawasan LSA. Hal ini menandakan LSA
memiliki peran yang penting dalam pengelolaan pesisir dimana beberapa jenis
udang menggunakan laguna ini sebagai daerah asuhan. Beberapa jenis udang
tersebut ditemukan di LSA pada stadia juvenil sampai ukuran sedang, dan
selanjutnya ketika telah mencapai ukuran yang lebih besar keluar dari LSA
menuju area pesisir.
Tjahjo dan Riswanto (2011) menyatakan bahwa dengan tingkat tingkat
penutupan vegetasi mangrove saat ini dapat memberikan kecukupan hidup bagi
kelimpahan rata-rata telur 45 – 1.363 butir per 1.000 m2, larva ikan 284 – 1.181
individu per 1.000 m2 dan larva udang 2.400 – 22.265 individu per 1.000 m2. Hal
ini tergantung dari besar kecilnya tingkat penutupan vegetasi mangrove. Tingkat
penutupan vegetasi mangrove yang tinggi mampu memberikan nutrisi dan
perlindungan yang cukup bagi populasi juvenil ikan, udang dan biota lain
sehingga kawasan LSA mampu berperan sebagai daerah asuhan bagi ikan dan
udang.
PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN bahwa “Kawasan Ekosistem
Laguna Segara Anakan merupakan salah satu Kawasan Strategis Nasional yang
perlu mendapat perhatian khusus” dari pemerintah dan pemerintah daerah, serta
adanya Peraturan Daerah Jawa Tengah No. 6 Tahun 2001 Tentang Rencana Tata
Ruang Segara Anakan yang bertujuan mengendalikan tingkat kerusakan
ekosistem LSA dari berbagai macam praktek pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya oleh penduduk lokal ternyata belum berjalan sesuai harapan, bahkan
seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di sekitar kawasan LSA tekanan
terhadap ekosistem LSA semakin besar.
Kegiatan penebangan liar hutan bakau dilakukan guna kepentingan
pemukiman penduduk, material bahan bangunan, pertanian, pertambakan dan juga
bahan bakar industri. Menariknya, intensitas penebangan hutan bakau dilakukan

7

oleh orang-orang yang berada di luar kawasan LSA. Namun demikian, sistem
pegendalian terhadap aktivitas illegal logging lebih banyak diserahkan kepada
pemerintah saja, dalam hal ini BPKSA dan aparat hukum. Tindakan masyarakat
terhadap aktivitas penebangan liar tersebut hampir tidak ada. Masyarakat
beranggapan bahwa pengawasan hukum terhadap penebangan liar adalah tugas
dan kewajiban pemerintah. Selain pendekatan penegakan hukum yang bersifat top
down, masyarakat juga tidak memiliki budaya lokal yang mengajarkan tentang
mekanisme menjaga lingkungan dan melestarikannya. Dampak dari lemahnya
pengawasan oleh masyarakat adalah berbagai kegiatan yang merusak hutan bakau
tidak mendapat tindakan berarti dari masyarakat sekitar. Sementara keberadaan
aparat hukum di lokasi kejadian juga tidak dapat diandalkan.
Setyoko dan Rosidi (2009) menyatakan, upaya untuk merehabilitasi hutan
mangrove pernah dilakukan oleh Dinas Kehutanan, namun demikian upaya
tersebut tidak melibatkan masyarakat. Menurut seorang tokoh nelayan
diungkapkan bahwa sejak awal khususnya tahap perencanaan masyarakat tidak
pernah dilibatkan. Apabila ada beberapa anggota masyarakat yang terlibat
sebenarnya mereka hanya dilibatkan pada tahap pelaksanaannya saja. Akibatnya,
kerusakan hutan bakau akibat penebangan liar tidak efektif dikendalikan, karena
masyarakat memandang tanggung jawab pengendalian berada di bawah kendali
pemerintah daerah dan aparat keamanan. Diungkapkan pula dalam studi di LSA
yang dilakukan Reichel et al (2009) mengidentifikasikan paling tidak empat jenis
konflik, yaitu konflik antara nelayan dan petani, konflik antar nelayan, konflik
antara nelayan dan industri, dan konflik antara pemerintah (negara) dan
masyarakat lokal. Koran Tempo (2012) bahkan menyatakan hutan mangrove di
LSA diusulkan masuk skema Reduce Emissions from Deforestation and Forest
Degradation (REDD plus) dikarenakan mangrove di LSA sudah sangat rusak.
Selain penebangan liar, sedimentasi dan banyaknya industri besar memperburuk
keadaan LSA sehingga diharapkan dengan masuknya LSA dalam program REDD
plus mangrove di kawasan ini terselamatkan.
Karaktersitik LSA yang merupakan pertemuan pertemuan dari beberapa
sungai seperti Citanduy, Cimeneng, Cibereum, Cikonde dan beberapa sungai
lainnya semakin mendorong tingginya sedimentasi tiap tahun. Penelitian Ludwig
(1985) dalam CRMP (1992) menyatakan estimasi lumpur yang masuk ke LSA
mencapai 5,24 juta m3 per tahun (Tabel 2).
Tabel 2 Hidrologi Sungai dan Anak Sungai yang menuju Laguna Segara
Anakan
Sungai
Rata-rata Aliran (juta m3 / hari)
Estimasi lumpur
yang masuk ke LSA
Musim
Musim
Rata-rata
(juta m3/ tahun)
Hujan
Kemarau
per tahun
Citanduy
24,45
14,77
19,61
3,04
Cibereum
0,17
0,05
0,11
0,01
Cikonde
1,50
0,08
0,79
2,19
Total
26,12
14,90
20,51
5,24
Sumber : Ludwig (1985) dalam CRMP (1992)

Beberapa dampak akibat penyusutan LSA adalah hilangnya ekosistem
laguna. Hal tersebut seperti dinyatakan oleh Tjahjo dan Riswanto (2011) bahwa
penyempitan dan pendangkalan perairan LSA juga akan sangat mempengaruhi

8

populasi larva dan juvenil ikan potensial dan udang pada khususnya. Hal tersebut
terbukti bahwa produksi sumberdaya ikan potensial antara lain produksi
tangkapan udang menurun dari 5.250 ton pada tahun 1979 dan pada tahun 2011
menjadi 2.000-3.000 ton/tahun dengan jumlah tangkapan per nelayan berkisar
antara 1,5-3 kg/trip. Sebagai perbandingan pula, Zarohman (2000) dalam
Purnamaji (2003) mengungkapkan laju tangkapan jaring apong menurun menjadi
kurang dari setengahnya, yaitu 15,1 kg per trip pada tahun 1987-1988 menjadi 6,5
kg per trip (pada 1999-2000), serta total tangkapan udang pada tahun 1987-1988
tercatat antara 700-800 ton menjadi hanya 150-250 ton pada 1999-2000.
Demikian juga sumberdaya ikan yang pada awalnya berjumlah lebih dari 60
spesies (10 famili) dengan dominasi spesies potensial dari kelompok Anguillidae
seperti sidat (Anguilla sp) dan Scatophagidae, saat ini hanya tinggal 45 jenis tanpa
ada dominansi spesies (Dudley, 2000).
Lebih lanjut Suryawati (2012) menyatakan bahwa intervensi kebijakan
dengan cakupan spasial yang rendah, seperti pengerukan muara sungai, belum
mampu menurunkan tingkat permasalahan sosial ekonomi di LSA secara nyata.
Pengerukan reguler muara sungai oleh sebagian pengamat diperkirakan berpotensi
memunculkan konflik ketidakadilan distribusi. Hal tersebut positif bagi petani,
akan tetapi nelayan memandangnya sebagai sesuatu yang negatif karena
menyebabkan penurunan sumberdaya ikan.
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Reichel et al (2009) adanya hubungan
yang tidak harmonis antara petani Sunda imigran dan para nelayan Jawa
tradisional lokal. Sementara petani biasanya bisa membangun sedikit dari
eksistensi yang layak, nelayan malah menjadi semakin miskin. Berbeda dengan
nelayan, yang mengungkapkan minat dalam melestarikan permukaan air laguna,
para petani biasanya melihat proses peningkatan pendangkalan sebagai sesuatu
yang positif karena akan menghasilkan tanah yang bisa diolah, dan di sisi lain,
sebagian besar petani menganggap hutan mangrove sebagai „wasteland’ yang
dapat diatasi dengan dikonversi menjadi lahan untuk pertanian.
Secara umum, permasalahan yang terjadi di LSA adalah penurunan fungsi
ekologis yang disebabkan oleh sedimentasi, kerusakan lahan mangrove akibat
pemanfaatan sumberdaya secara berlebihan, serta permasalahan sosial ekonomi
yang antara lain disebabkan rendahnya kesadaran masyarakat dan pemangku
kepentingan akan arti penting mangrove, konflik pemanfaatan tanah timbul,
kemiskinan, mata pencaharian alternatif serta pengawasan pengelolaan.
Pengelolaan DAS yang bermuara di LSA serta perlunya rehabilitasi lahan dari
hulu hingga hilir menjadi pemikiran penting untuk segera dilaksanakan sehingga
sedimentasi dapat terkendali. Perlu adanya pengelolaan terbaik bagi LSA
sehingga mendukung sistem ekologi sosial demi meningkatnya kualitas LSA
sehingga dapat mendukung kelestarian serta keselarasan kehidupan diatasnya.
Gambar 2 merangkum dalam diagram saling keterkaitan antara
permasalahan tersebut diatas, termasuk keterkaitan dengan permasalahan yang
terjadi di hulu dari sungai-sungai yang bermuara di LSA dengan model DPSIR
(Driving-Force-Pressure-State-Impact-Response).

9

Gambar 2 Saling keterkaitan antara permasalahan yang terjadi di hulu dari
sungai-sungai yang bermuara di LSA dengan model DPSIR (DrivingForce-Pressure-State-Impact-Response).
Berdasarkan uraian permasalahan pokok tersebut diatas, maka pertanyaan
penelitian adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana laju sedimentasi dan perubahan lahan di kawasan Laguna Segara
Anakan ?
2. Bagaimana jasa ekosistem kawasan Laguna Segara Anakan akibat sedimentasi
dan perubahan lahan serta bagaimana ko-evolusi sistem sosial-ekologis
kawasan laguna Segara Anakan?
3. Berapa nilai ekonomi total kawasan ini ?
4. Bagaimana dampak sedimentasi terhadap sistem sosial-ekologis kawasan
Laguna Segara Anakan?
Tujuan Penelitian
Seiring dengan pertanyaan penelitian yang diajukan diatas, maka tujuan
utama penelitian ini adalah mengetahui dinamika perubahan lahan yang
diakibatkan sedimentasi pada kawasan Lag