A. Latar Belakang
Sektor perbankan yang memiliki posisi strategis sebagai lembaga intermediasi dan penunjang sistem pembayaran merupakan faktor yang sangat menentukan dalam rangka
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Guna
mencapai tujuan
tersebut, pelaksanaan
pembangunan harus
senantiasa memperhatikan keserasian, keselarasan, dan kesinambungan berbagai unsur pembangunan
termasuk di bidang ekonomi dan keuangan. Saat ini bank-bank semakin gencar menyalurkan kreditnya ke sektor ritel dengan
mengeluarkan produk kredit konsumsi yaitu Kredit Tanpa Agunan KTA.
2
Selama ini nasabah tidak dapat mengakses kredit bank karena mereka tidak mampu menyediakan
agunan. Lazimnya bank menjadikan agunan sebagai factor yang menentukan besar nilai pinjaman yang akan disetujui, dan berapa besar bunga yang mereka kutip dari debitur alias
nasabah kreditnya. Kredit Tanpa Agunan merupakan kredit program yang disalurkan menggunakan
pola penjaminan kredit bank diperuntukkan bagi pengusaha mikro dan kecil yang tidak memiliki agunan tetapi memiliki usaha yang layak dibiayai bank.
3
Dalam pelaksanaan program Kredit Tanpa Agunan atau KTA perbankan yang telah menandatangani
kesepakatan menjalani program Kredit Tanpa Agunan tetap tidak diperbolehkan meminta jaminan atau agunan kepada pelaku usaha. Perbankan sendiri diragukan untuk
menyalurkan Kredit Tanpa Agunan dikarenakan minimnya peraturan perbankan dalam penyaluran Kredit Tanpa Agunan KTA sehingga menyurutkan kemauan perbankan untuk
turut serta.
4
Hal ini dikarenakan jika kredit yang disalurkan itu macet dan karena tidak adanya agunan maka akan menyulitkan bank untuk pengembalian dana yang
disalurkannya. Program Kredit Tanpa Agunan dikeluarkan oleh Bank BUMD dengan nama Kredit
Cinta Rakyat atau disingkat KCR atau disebut juga Kredit Usaha Mikro Layak Tanpa Agunan. Kredit tersebut adalah fasilitas kredit atau pembiayaan untuk investasi atau modal
kerja yang diberikan dengan mata uang rupiah kepada usaha mikro dengan plafon kredit maksimum Rp. 50.000.000,- lima puluh juta rupiah per debitur untuk membiayai usaha
yang produktif.
2
Novrida Manurung, Kredit Tanpa Agunan Semakin Terbuka Lebar, Kontan, 18 Februari 2009.
3
Rahmat, Kredit Usaha Rakyat Diluncurkan, Tempo Interaktif, 3 Juni 2014.
4
Mujiono, Perbankan Diragukan Salurkan Kredit Tanpa Agunan, Berita Ekonomi, 20 Juli 2010
Bank memiliki resiko tinggi dikarenakan dana yang disalurkan untuk pemberian kredit berasal dari simpanan nasabah, dimana Bank harus membayar sebesar suku bunga
simpanan. Oleh karena itu dalam setiap pemberian kredit kepada nasabah, Bank harus mencadangkan dana dengan besaran nilai tertentu tergantung dari pada kolektibilitas
kredit. Berdasarkan Penjelasan Pasal 8 Ayat 1 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
Tentang Perubahan Atas Undang-undang No 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan menegaskan bahwa untuk memperoleh keyakinan terjadinya hubungan antara bank dengan
nasabah, maka sebelum melakukan suatu perikatan terutama dalam hal terjadinya kredit, bank harus melakukan penilaian-penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan,
modal, dan prospek usaha dari nasabah. Dalam praktik perbankan hal tersebut dikenal dengan istilah “The Five C’s of Analysis”. Hal tersebut biasa disebut dengan prinsip kehati-
hatian. Setiap bank wajib melaksanakan prinsip ini dalam melakukan hubungan kredit dengan nasabah, hal ini tentunya untuk menghindari terjadinya kerugian di pihak bank
dalam hal terjadinya kredit macet oleh nasabah. Dalam Pasal 54 Peraturan Bank Indonesia Nomor 84PBI2006 tentang
Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum disebutkan dalam rangka menghindari kegagalan usaha bank terhadap potensi intervensi dari pihak terkait, bank
wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyediaan dana antara lain dengan menerapkan penyebarandiversifikasi portofolio penyediaan dana yang diberikan.
Yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku antara lain tentang penilaian kualitas aktiva bank umum, batas maksimum
pemberian kredit bank umum, prinsip-prinsip pemberian kredit yang sehat dan prinsip- prinsip penerapan manajemen resiko.
5
Penulis mengambil 1 satu debitur macet an. Yuningsih di salah satu Cabang bank BUMD yaitu Kredit Modal Kerja Kredit Cinta Rakyat dengan Plafond Kredit Rp.
5.000.000,- lima juta rupiah Pada saat ini posisi kredit atas nama Yuningsih tersebut sudah dalam posisi macet atau collect 5.
Dari berbagai keadaan seperti yang dikemukakan diatas maka diperlukan kehati- hatian dari bank sebagai kreditur dalam memberikan kredit tanpa agunan kepada nasabah
sebagai debitur.
Terkait dengan
permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk tesis dengan judul
:
5
Penjelasan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 74PBI2005 tentang Prinsip Kehati-hatian Dalam Aktivitas Sekuritiasasi Aset Bagi Bank Umum.
B . Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan hukum yang akan dibahas penulis adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Penerapan prinsip kehati-hatian di dalam peraturan internal dari bank
BUMD dalam pengaturan Kredit Cinta Rakyat ditinjau dari Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan?
2. Bagaimana penerapan Good Corporate Governance pemberian kredit cinta rakyat pada bank BUMD dikaitkan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 814PBI2006
Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 84Pbi2006 Tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum?
C. Metode Penelitian