Konsep Dan Aplikasi Akad Murabahah Pada

Konsep Dan Aplikasi Akad Murâbahah Pada Perbankan Syariah Di Indonesia
Oleh : Yody Tistanto
Magister Hukum Ekonomi Syariah UIN Syarif Hidayatullah
Abstrak
Penulisan ini bersifat deskriptif analisis yaitu penulisan yang bertujuan untuk
menjelaskan secara umum tentang Konsep Dan Aplikasi Akad Murâbahah Pada Perbankan
Syariah Di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif.
Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa dalam hal konsep Murâbahah yang
merupakan salah jenis jual beli yang bersifat amanah dalam hukum Islam merupakan skema
akad yang paling dominan digunakan dalam praktik perbankan syariah di Indonesia. Namun
dalam praktiknya, murabahah telah mengalami banyak modifikasi di bandingkan konsep
dasarnya yang ada dalam fikih muamalat klasik. Modifikasi ini ada yang tidak menimbulkan
persoalan dari sisi prinsip-prinsip dasar hukum Islam sehingga para ulama tidak merasa
keberatan, tetapi tidak sedikit model modifikasi yang menimbulkan perdebatan karena
dilakukan semata-mata untuk memenuhi ketentuan formal yuridis demi pertimbangan
efektivitas dan efisiensi administrasi perbankan. Tulisan berikut akan mengulas pelbagai
model dan latar belakang serta motif perubahan skema murâbahah dalam fikih klasik ketika
dipraktikan di perbankan syariah, di samping menjelaskan penggunaan skema murâbahah
untuk pelbagai model pembiayaan di perbankan syariah.
Kata kunci : murâbahah, murâbahah li al-âmir bi al-syirâ’
Pendahuluan

Sebagai lembaga intermediary keuangan, bank syariah memiliki kegiatan utama
berupa penghimpunan dana dari masyarakat melalui simpanan dalam bentuk giro, tabungan,
dan deposito yang menggunakan prinsip wadî’ah yad al-dhamânah (titipan), dan murâbahah
(investasi bagi hasil). Kemudian menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat
umum dalam pelbagai bentuk skema pembiayaan, seperti skema jual beli/al-bay’ (murâbahah,
salam, dan istishnâ), sewa (ijârah), dan bagi hasil (musyârakah dan mudhârabah), serta
produk pelengkap, yakni fee based service, seperti hiwâlah (alih utang piutang), rahn (gadai),
qardh (utang piutang), wakâlah (perwakilan, agency), kafâlah (garansi bank). Di perbankan
syariah pada saat ini masih mendominasi dibandingkan dengan produk bank syariah yang

lain. Berdasarkan data dari Bank Indonesia akhir tahun 2010, jumlah pembiayaan perbankan
syariah yang menggunakan skema murâbahah mencapai 61,7 persen dari total pembiyaan
sebesar 61,7 persen dari total pembiyaan. Ini karena dalam produk murâbahah, prinsip kehatihatian (prudential) bank relatif bisa diterapkan dengan ketat dan standar sehingga tingkat
risiko kerugian sangat kecil. Bahkan bank-bank syariah yang baru umumnya portofolio
pembiayaanya yang paling besar menggunakan murâbahah karena lebih aman. Sementara
produk bagi hasil belum menjadi produk unggulan karena tingkat risiko dan kerugiannya
sangat tinggi. Kecenderungan menjadikan skema murâbahah sebagai skema pembiayaan
yang utama terjadi di beberapa negara Muslim seperti Bahrain Islamic Bank, Faysal Islamic
Bank, Dubai Islamic Bank, Bank Islam Malaysia, Kuwait Finance House, dan lain-lain, di
mana kalau dirata-ratakan, skema murâbahah-nya mencapai persentase 70 persen. 1 Berbagai

kritik banyak dilontarkan dari para peneliti terkait dengan dominasi murâbahah dalam produk
perbankan syariah, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang kemudian menjuluki bank
syariah sebagai ”bank murâbahah”. Di samping itu, praktik murâbahah di perbankan syariah
juga telah banyak dilakukan pelbagai modifikasi, bahkan untuk sebagian dinilai menyimpang
dari konsep dasar murâbahah dalam fikih muamalat klasik. Tulisan ini akan mengulas
pelbagai model dan latar belakang serta motif perubahan skema murâbahah dalam fikih
klasik ketika dipraktikan di perbankan syariah, di samping menjelaskan penggunaan skema
murâbahah untuk pelbagai model pembiayaan di perbankan syariah.
Konsep Murâbahah dalam Fikih
Murâbahah dalam istilah fikih klasik merupakan suatu bentuk jual beli tertentu ketika penjual
menyatakan biaya perolehan barang (al-tsaman al-awwal) dan tingkat keuntungan yang
diinginkan.2 Biaya perolehan barang bisa meliputi harga barang dan biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut. Sedangkan tingkat keuntungan bisa
berbentuk lumpsum atau persentase tertentu dari biaya perolehan. Pembayaran oleh pembeli
bisa dilakukan secara tunai (naqdan) atau bisa dilakukan di kemudian hari dalam bentuk
angsuran (taqshîth) atau dalam bentuk sekaligus (lumpsum/mu‘ajjal) sesuai kesepakatan para
pihak yang melakukan akad (al-‘âqidayn). Murâbahah masuk kategori jual beli muthlaq dan
jual beli amânah. Ia disebut jual beli muthlaq karena obyek akadnya adalah barang (‘ayn) dan

1 Irfan Syauqi Beik, “Syariah dan Pengembangan Sektor Riil Bank Syariah dan Pengembangan Sektor Riil”,

2007, PesantrenVirtual.com.

2 Antonio, M. Syaf’i’i, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani. h. 36

uang (dayn).3 Sedangkan ia termasuk kategori jual beli amânah karena dalam proses
transaksinya penjual diharuskan dengan jujur menyampaikan harga perolehan (al-tsaman alawwal) dan keuntungan yang diambil ketika akad.
Para ulama telah sepakat (ijmak) akan kebolehan akad murâbahah, tetapi Alquran tidak
pernah secara langsung dan tersurat membicarakan tentang murâbahah, walaupun di
dalamnya ada sejumlah acuan tentang jual beli dan perdagangan. Demikian juga tampaknya
tidak ada satu Hadis pun yang secara spesifik membicarakan mengenai murâbahah. Oleh
karena itu, meskipun Imam Mâlik dan Imam Syâfi’î membolehkan jual beli murâbahah,
tetapi keduanya tidak mempekuat pendapatnya dengan satu Hadis pun. 4 Sedangkan dasar
hukum yang dijadikan sandaran kebolehan jual beli murâbahah di buku-buku fikih muamalat
kotemporer lebih bersifat umum karena menyangkut jual beli atau perdagangan pada
umumnya.5 Namun demikian, menurut al-Kasanî, jual beli murâbahah telah diwariskan dari
generasi ke generasi sepanjang masa dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Di
samping itu, keberadaan model jual beli murâbahah sangat dibutuhkan masyarakat karena ada
sebagian mereka ketika akan membeli barang tidak mengetahui kualitasnya, maka ia
membutuhkan pertolongan kepada yang mengetahuinya, kemudian pihak yang dimintai
pertolongan tersebut membelikan barang yang dikehendaki dan menjualnya dengan

keharusan menyebutkan harga perolehan (harga beli) barang dengan ditambah keuntungan
(ribh).6 Sebagai bagian dari jual beli, murâbahah memiliki rukun dan syarat yang tidak
berbeda dengan jual beli (al-bay’) pada umumnya. Namun demikian, ada beberapa ketentuan
khusus yang menjadi syarat keabsahan jual beli murâbahah yaitu: Pertama, adanya kejelasan
informasi mengenai besarnya modal awal (harga perolehan/pembelian). Semuanya harus
diketahui oleh pembeli saat akad dan ini merupakan salah satu syarat sah murâbahah. Kedua,
adanya keharusan menjelaskan keuntungan (ribh) yang ambil penjual karena keuntungan
merupakan bagian dari harga (tsaman). Sementara keharusan mengetahui harga barang
merupakan syarat sah jual beli pada umumnya. Ketiga, jual beli murâbahah harus dilakukan
atas barang yang telah dimiliki/hak kepemilikan telah berada di tangan penjual. Artinya
3 Menurut ahli fikih dari segi obyek pertukarannya (badalayn) apakah berupa barang (‘ayn) atau berupa uang
(dayn), jual beli dibagi menjadi empat macam. Pertama, jual beli barter (al-muqâydhah), yaitu jual beli yang
obyek pertukarannya barang (‘ayn) dengan barang (‘ayn), seperti jual beli pakaian dengan beras. Kedua, jual
beli mutlak, yaitu jual beli yang umumnya dipraktikkan saat ini, di mana obyek pertukarannya antara barang
(‘ayn) dengan harga/uang (dayn)
4 Abdullah Saeed, A Study of Riba And Its Contemporary Interpretation, (New York: Koln, 1966),
h.110.
5 Karim, Adiwarman, (2003), Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta: IIIT Indonesia.
6 Hisâm al-Dîn ‘Afanah, Bai’ al-Murâbahah li al-Âmir bi al-Syirâ‘, (Palestina, 1996), h. 2.


bahwa keuntungan dan risiko barang tersebut ada pada penjual sebagai konsekuensi dari
kepemilikan yang timbul dari akad yang sah. Keempat, transaksi pertama (antara penjual dan
pembeli pertama) haruslah sah, jika tidak sah, maka tidak boleh jual beli secara murâbahah
(antara pembeli pertama yang menjadi penjual kedua dengan pembeli murâbahah), karena
murâbahah adalah jual beli dengan harga pertama disertai tambahan keuntungan.
Murabahah dalam Perbankan Syari’ah
Salah satu skim fiqh yang paling populer diterapkan oleh perbankan syari’ah adalah skim jual
beli murabahah. Murabahah dalam perbankan syari’ah didefinisikan sebagai jasa pembiayaan
dengan mengambil bentuk transaksi jual beli barang antara bank dan nasabah dengan cara
pembayaran angsuran. Dalam perjanjian murabahah, bank membiayai pembelian barang atau
asset yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan membeli barang itu dari pemasok barang dan
kemudian menjualnya kepada nasabah tersebut dengan menambahkan suatu mark-up atau
margin keuntungan. Dengan kata lain, penjualan barang oleh bank kepada nasabah dilakukan
atas dasar cost-plus profit.7
Murabahah sebagaimana yang diterapkan dalam perbankan syari’ah, pada prinsipnya
didasarkan pada 2 (dua) elemen pokok, yaitu harga beli serta biaya yang terkait dan
kesepakatan atas mark-up. Ciri dasar kontrak pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut:8
Pembeli harus memiliki pengetahuan tentang biaya-biaya terkait dan harga pokok barang dan
batas mark-up harus ditetapkan dalam bentuk persentase dari total harga plus biaya-biayanya;
Apa yang dijual adalah barang atau komoditas dan dibayar dengan uang;

Apa yang diperjualbelikan harus ada dan dimiliki oleh penjual dan penjual harus mampu
menyerahkan barang itu kepada pembeli, hendaknya akad yang dilakukan terhindar dari
praktik riba, baik akad yang pertama (antara penjual dalam murâbahah sebagai pembeli
dengan penjual barang) maupun pada akad yang kedua antara penjual dan pembeli dalam
akad murâbahah. Bank-bank syari’ah umumnya mengadopsi murabahah untuk memberikan
pembiayaan jangka pendek kepada para nasabah guna pembelian barang meskipun mungkin
nasabah tidak memiliki uang untuk membayar. Sejumlah alasan diajukan untuk menjelaskan
popularitas murabahah dalam operasi investasi perbankan syari’ah, antara lain:9
7 Sutan Remy Sjahdeini. Perbankan Islam, hlm. 64.
8 Abdullah Saeed. Islamic Bankin, hlm. 77
9 Ibid., hlm. 78.

Murabahah adalah suatu mekanisme investasi jangka pendek, dan dibandingkan dengan
sistem Profit and Loss Sharing (PLS), cukup memudahkan;
1. Mark-up dalam murabahah dapat diterapkan sedemikian rupa sehingga memastikan
bahwa bank dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan bankbank berbasis bunga yang menjadi saingan bank-bank Islam;
2. Murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada pada pendapatan dari bisnis-bisnis
dengan sistem PLS;
3. Murabahah tidak memungkinkan bank-bank Islam untuk mencampuri manajemen
bisnis, kerana bank bukanlah mitra si nasabah, sebab hubungan mereka dalam

murabahah adalah hubungan antara kreditur dan debitur.
4. Mark-up dalam murabahah dapat diterapkan sedemikian rupa sehingga memastikan
bahwa bank dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan bankbank berbasis bunga yang menjadi saingan bank-bank Islam;
5. Murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada pada pendapatan dari bisnis-bisnis
dengan sistem PLS;
6. Murabahah tidak memungkinkan bank-bank Islam untuk mencampuri manajemen
bisnis, kerana bank bukanlah mitra si nasabah, sebab hubungan mereka dalam
murabahah adalah hubungan antara kreditur dan debitur.
Kritik terhadap Praktek Murabahah di Perbankan Syari’ah
Maraknya perbankan syari’ah tak lepas dari kritik dan kecaman, yang justru datang dari para
ilmuwan

Islam

sendiri.

Mereka

berpendapat


bahwa

bank-bank

syari’ah

dalam

menyelenggarakan transaksi-transaksi perbankan syari’ah justru telah melaksanakannya
bertentangan dengan konsepnya. Dengan kata lain, bertentangan dengan semangat dari
prinsip-prinsip syari’ah. Penerapan usaha-usaha bisnis bank syari’ah, terutama produk
murabahah telah menimbulkan masalah moralitas. Dari pengamatan dan penelitian beberapa
ilmuwan Islam itu, bank-bank syari’ah, dalam penerapan produk-produknya ternyata
bukannya meniadakan bunga dan membagi resiko, tetapi tetap mempertahankan praktek
pembebanan bunga dengan menggunakan istilah ”label Islam”.
Beberapa kritik terhadap praktek murabahah di perbankan syari’ah juga dikemukakan oleh
beberapa ulama, diantaranya adalah:10
1. Murabahah ini bukan jual beli melainkan hilah dengan tujuan mengambil riba.
2. Murabahah merupakan jual beli ‘inah yang diharamkan Islam.
10 Perdebatan pendapat ulama mengenai status keabsahan praktek murabahah di perbankan syari’ah ini dapat

dibaca lebih detail dalam Yusuf Qardhawi, Bai’ al-Murabahah ,hlm. 26.

3. Murabahah merupakan ba’iatani fi bai’ah.
4. Murabahah merupakan bai’ al-ma’dum.
Meskipun banyak kritik yang diarahkan kepada praktek murabahah di perbankan syari’ah,
namun hal ini justru mengindikasikan bahwa sebenarnya produk murabahah ini direspon
secara luas. Oleh karena itu, dalam perjalanannya para teoritisi dan praktisi perbankan
syari’ah masih terus melakukan kajian dan mengkritisi secara serius mekanisme kontrak
murabahah yang sesuai dengan semangat dari prinsip-prinsip syari’ah dalam rangka
mencapai tujuan pembumian ekonomi syari’ah di Indonesia.
Mengkaji Ulang Aplikasi Produk Murabahah di Perbankan Syari’ah
Barangkali ada yang beranggapan bahwa ada kemiripan antara praktek pembiayaan
murabahah di bank syari’ah dengan profit margin-nya dengan pembiayaan kredit di bank
konvensional dengan bunga-nya. Untuk itu, kita perlu mengkritisi serta menganalisis
pembiayaan berbasis murabahah sebagai berikut:
A. Harga jual (pricing) yang lebih tinggi dalam murabahah.
Bank konvensional dalam meminjamkan uang, misalnya untuk pembelian barang-barang
tertentu, bunga yang dikenakan pada pinjaman dikaitkan dengan pokok pinjaman dan jatuh
tempo pinjaman. Sedangkan berapa harga barang nasabah itu bukanlah menjadi urusan bank
konvensional. Hal utama yang menjadi perhatian bank konvensional adalah memperoleh

suku bunga yang sedang berlaku bagi pengeluran-pengeluaran, semisal dalam hal resiko dan
jatuh temponya.
Berbeda dengan bank konvensional, dalam mekanisme pembiayaan murabahah di bank
syari’ah, nasabah dapat mengetahui total harga barang sebelumnya, dimana hal ini tidak akan
diketahui dalam pembiayaan berbasis bunga. Dalam murabahah, faktor-faktor yang
tampaknya mempengaruhi besarnya mark-up adalah kebutuhan bank syari’ah untuk
memperoleh keuntungan riil, inflasi, suku bunga berjalan, kebijakan moneter, dan
marketabilitas barang-barang murabahah serta tingkat laba yang diharapkan dari barangbarang itu. Dengan demikian, mark-up dalam murabahah bisa saja lebih tinggi atau lebih
rendah dari suku bunga.11 Namun, nampaknya, menurut penulis, perbedaan antara mark up
murabahah di bank syari’ah dengan suku bunga dalam pinjaman kredit di bank konvensional
ini tidak terlalu jauh. Hal inilah yang memicu munculnya persepsi masyarakat yang
11 Muhammad. 2004. Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin pada Bank Syariah. Yogyakarta: UII
Press. hlm. 103.

menyamakan praktek murabahah di bank syari’ah dengan pinjaman kredit di bank
konvensional. Untuk itu, perlu adanya konsep yang jelas dalam penentuan harga jual
(pricing) murabahah. Para Fuqaha berbeda pendapat tentang harga kredit yang lebih tinggi
(sebagai lawan dari harga tunai) dalam murabahah. Para Fuqaha generasi awal, seperti Malik
dan Syafi’i tidak menyetujui jual beli suatu barang berdasarkan murabahah dengan harga
kredit yang lebih tinggi daripada harga kontannya. Namun, para pengikut Madzhab Hanafi,

Syafi’i dan beberapa Fuqaha dari madzhab-madzhab lain menganut pandangan bahwa
kenaikan harga pada jual beli dengan pembayaran tunda adalah boleh. Baghawi sebagaimana
dikemukakan oleh Saeed12, menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat mengenai
murabahah dengan syarat bahwa si pembeli dan penjual setuju terhadap salah satu harga (dari
dua harga, yaitu harga tunai dan harga kredit). Bamyak fuqaha, termasuk Sarakhsi,
Marghinani, Ibn Qudamah dan Nawawi secara tegas menyatakan bahwa pengenaan harga
yang lebih tinggi pada jual beli kredit adalah praktik yang biasa dalam perdagangan dan
berdasarkan hal ini, para fuqaha membolehkan harga yang lebih tinggi.
Ada perbedaan antara uang yang tersedia sekarang dengan uang tersedia di masa datang;
1. Kenaikan harga ini bukan sebagai imbalan waktu tunda pembayaran dan karenanya
tidak sama dengan riba;
2. Kenaikan harga dikenakan pada saat penjualan, tidak setelah penjualan terjadi
3. Kenaikan harga disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi pasar, seperti
permintaan dan penawaran, dan naik turunnya daya beli uang sebagai akibat inflasi
dan deflasi;
4. Penjual sedang melakukan suatu aktivitas dagang yang ”produktif” dan diakui;
5. Penjual boleh menetapkan harga berapapun yang dikehendakinya.
Argumen-argumen di atas sering diajukan bank-bank Islam untuk membenarkan kenaikan
harga jual beli murabahah dengan pembayaran tunda dan hal ini sudah menjadi praktek baku
dalam murabahah. Namun demikian, menurut penulis, penentuan harga jual produk-produk
bank syari’ah harus tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan yang dibenarkan menurut
syari’ah. Oleh karena itu, bank syari’ah perlu menetapkan metode yang tepat dan efisien agar
kemasan produk murabahah dapat memberikan keuntungan secara adil antara pihak bank
syari’ah dengan nasabah pembiayaan murabahah.
Resiko dalam pembiayaan murabahah

12 Abdullah Saeed. Islamic Banking, hlm. 79.

Pembiayaan berdasarkan pembagian resiko yang diidentikkan dengan model teoritis
perbankan Islam tidak tampak menjadi karakter utama praktek murabahah bank-bank Islam.
Namun demikian, para pendukung bank syari’ah mengatakan bahwa dalam murabahah,
faktor pembagian resiko tetap ada, yang itu menjadi alasan diambilnya laba, sampai nasabah
memenuhi janji awal untuk membeli barang. Berikut ini adalah resiko-resiko yang terkait
dalam murabahah sebagai berikut:13
1. Resiko yang terkait dengan barang
Bank syari’ah membeli barang-barang yang diminta oleh nasabah murabahah-nya dan secara
teoritis menanggung resiko kehilangan atau kerusakan pada barang-barang tersebut dari saat
pembelian sampai diserahkan kepada nasabah. Dalam kontrak murabahah, bank syari’ah
diwajibkan untuk menyerahkan barang kepada nasabah dalam kondisi yang baik. Bahkan,
nasabah berhak menolak barang-barang yang rusak, yang kurang jumlahnya atau tidak sesuai
dengan spesifikasinya. Bank syari’ah, bagaimanapun juga, dalam prakteknya menghindari
resiko-resiko tersebut dengan asuransi dan klausul kontrak, yang telah disusun sedemikian
rupa sehingga membantu bank syari’ah untuk menghindari segala resiko yang terkait dengan
barang. Dengan demikian, segala resiko yang terkait dengan barang, yang secara teoritis
harus ditanggung bank, secara efektif telah terhindarkan.
2. Resiko yang terkait dengan nasabah
Janji nasabah murabahah untuk membeli barang yang dipesan dalam suatu transaksi
murabahah, tidaklah mengikat. Oleh sebab itu, nasabah berhak menolak untuk membeli
barang ketika bank syari’ah menawari mereka dalam penjualan. Dalam prakteknya, resiko
terhadap kemungkinan penolakan nasabah untuk membeli barang dapat dihindari dengan
pembayaran di muka (sepertiga dari total harga, misalnya), dengan jaminan, jaminan pihak
ketiga, dan dengan klausul kontrak. Dengan demikian, semua resiko yang secara teoritis
mungkin ada dalam kaitannya dengan penolakan nasabah untuk membeli barang, sebenarnya
telah hilang dalam praktek perbankan syari’ah.
3. Resiko yang terkait dengan pembayaran
Resiko tidak terbayar penuh atau sebagian dari uang muka, seperti yang dijadwalkan dalam
kontrak, memang ada dalam pembiayaan murabahah. Bank syari’ah menghindari resiko ini
dengan adanya janji tertulis, jaminan, jaminan pihak ketiga dan klausul kontrak yang
13 Ibid., hlm. 84-87

menyatakan bahwa semua hasil dari barang-barang murabahah yang dijual kepada pihak
ketiga dengan tunai maupun
kredit harus ditaruh di bank sampai apa yang menjadi hak bank dibayar kembali sepenuhnya.
Jika tidak adanya pembayaran itu disebabkan oleh faktor di luar kemampuan nasabah, bank
syari’ah secara moral berkewajiban menjadwal ulang utang. Di pihak lain, jika nasabah
memiliki kemampuan untuk membayar tepat waktu, tetapi ia tidak melakukannya, maka bank
syari’ah telah mengadopsi konsep “denda” untuk dijatuhkan kepada nasabah. Dengan
demikian, dalam praktek, bank syari’ah secara efektif telah menghilangkan semua resiko
dalam pelaksanaan murabahah.
C. Jaminan
Dalam konteks pemberian pinjaman bank konvensional, jaminan memainkan peran penting
untuk memastikan pengembalian pinjaman ketika jatuh tempo. Namun, dalam perbankan
syari’ah, pada dasarnya, jaminan bukanlah satu rukun atau syarat yang mutlak dipenuhi
dalam murabahah. Jaminan diterapkan sebagai suatu cara untuk memastikan bahwa hak-hak
kreditur tidak dihilangkan dan untuk menghindarkan diri dari “memakan harta orang dengan
cara batil”. Dalam kontrak murabahah jaminan itu dapat berupa benda bergerak maupun
benda tidak bergerak, atau barang-barang murabahah itu sendiri. Meskipun demikian,
kontrak-kontrak murabahah bank-bank Islam dan cabang-cabang syari’ah bank konvensional
berisi klausul-klausul yang menekankan pentingnya jaminan. 14 Jika demikian adanya
perhatian bank Islam terhadap jaminan, maka praktek bank Islam ini tidak jauh berbeda
dengan bank konvensional.
D. Penyelesaian hutang murabahah
Pembiayaan berbasis murabahah harus dilunasi pada jangka waktu tertentu tidak jauh
berbeda dengan pembiayaan berbasis bunga. Namun ada perbedaan yang paling mendasar
dari kedua pembiayaan tersebut dalam hal debitur gagal melunasi hutang pada waktu yang
telah ditentukan. Pinjaman dengan bunga, pada umumnya menimbulkan sanksi bunga
tambahan jika pinjaman tidak dilunasi pada saat jatuh tempo. Sedangkan, dalam perbankan
syari’ah, nasabah harus diberi waktu toleransi untuk melunasi jika ia tidak mampu.
Penundaan semacam ini harus diberikan, tanpa menambahkan beban tambahan kepada
nasabah atas waktu yang diberikan untuk pembayaran. Namun bagi nasabah yang mampu
14 Ibid., hlm. 88.

melunasinya tetapi mereka lalai untuk melunasi hutang tepat waktu, maka bank syari’ah
menerapkan konsep “denda”.
Semua hal di atas menunjukkan bahwa sampai dalam penyelesaian hutang pun, bank syari’ah
telah menggunakan cara-cara untuk menjamin agar hutang dilunasi tepat waktu, dan jika
tidak ‘kerugian’ yang diderita bank ditanggung oleh nasabah. Berdasarkan uraian di atas,
maka peran bank syari’ah dalam murabahah sebagaimana dikemukakan oleh Saeed sebagai
“pembiaya” (a financier) bukan “penjual” barang (a seller). Bank tidak memegang barang,
dan tidak pula mengambil resiko atasnya. Kerja bank hampir semuanya terkait dengan
penanganan dokumen-dokumen terkait dan kontrak penjualan adalah sekedar formalitas. Di
samping itu, penentuan mark-up dalam kontrak murabahah yang secara bebas ditentukan oleh
bank syari’ah, akan dapat memicu munculnya persepsi bahwa mark-up itu identik dengan
bunga. Untuk itu, perlu kajian secara mendalam tentang konsep pricing dalam murabahah.
Dasar Hukum Murabahah
Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin
keuntungan yang disepakati (lihat Pasal 1 angka 7 Peraturan Bank Indonesia No.
7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah).
Murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal
(pemilik modal) dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan
penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang
merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara
tunai atau angsur (lihat Pasal 20 angka 6 Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun
2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah).
Mengenai utang dalam Murabahah, ketentuan Bagian Keempat Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Murabahah mengatur sebagai berikut:15
1.

Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada
kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas
barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau
kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank.

15 (sumber www.mui.or.id)

2.

Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib
segera melunasi seluruh angsurannya.

3.

Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus
menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat
pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.

Jadi, berdasarkan uraian tersebut, dapat kita ketahui bahwa dalam murabahah barang yang
dijual harus secara prinsip sudah beralih kepemilikannya ke tangan penjual. Karena itu,
nasabah dapat secara bebas menjual barang (objek) perjanjian murabahah, walaupun belum
dilunasi pembayarannya.
Mengenai penyelesaian sengketa antara bank syariah, ketentuan Pasal 55 UU No. 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah mengatur bahwa:16
1. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama.
2. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketaselain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.
3. Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan
dengan Prinsip Syariah.

Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU 21/2008 menguraikan sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah
upaya sebagai berikut:
a. Musyawarah;
b. Mediasi perbankan;
c. Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain;
dan/atau
d. Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.”

16 Undang – Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

Jadi, berdasarkan Pasal 55 UU 21/2008, penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan
di Pengadilan Agama. Pada prinsipnya, penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syariah (lihat Pasal 55 ayat [3] UU 21/2008).
Namun, di sisi lain, Pasal 55 ayat (2) UU 21/2008 memungkinkan dilakukannya
penyelesaian sengketa tanpa berpedoman pada prinsip-prinsip syariah. Karena penyelesaian
sengketa melalui peradilan umum dilakukan berdasarkan Hukum Acara Perdata, bukan
prinsip-prinsip syariah. Begitu juga penyelesaian sengketa melalui mediasi perbankan yang
berpedoman pada Peraturan Bank Indonesia No. 8/ 5/ PBI/ 2006 Tahun 2006 tentang
Mediasi Perbankan sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 10/ 1/
PBI/ 2008.
Kesimpulan
Bahwa dalam perbankan, barangkali memiliki label ’syari’ah’ saja, tidaklah cukup
untuk menjadi suatu bank syari’ah. Pertama-tama dan terutama, sebuah institusi perbankan,
entah itu dinamai ’syari’ah’ atau tidak, perlu menjadi institusi yang lebih manusiawi, mampu
membuat orang memiliki akses kepada dana berdasarkan syarat-syarat yang manusiawi, dan
dengan biaya yang pantas. Tawaran konsep pricing dalam kontrak murabahah diharapkan
dapat mencerminkan nilai syari’ah dalam perbankan syari’ah. Oleh karena hadirnya bank
syari’ah di tengah-tengah kita diharapkan mampu memecahkan segala problem ekonomi
umat dengan payung syari’ah, perlu ada perbaikan dalam pelaksanaan murabahah, sehingga
dapat mengangkat institusi bank syariah menjadi lebih menarik masyarakat termasuk yang
masih ragu-ragu.
Hukum yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah akan
tergantung pada lembaga yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Hal ini
menimbulkan perdebatan, karena di satu sisi disebutkan bahwa penyelesaian sengketa
perbankan syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah, namun di sisi lainya
dimungkinkan dilaksanakan penyelesaian sengketa tanpa berpedoman pada prinsip-prinsip
syariah melalui peradilan umum, lembaga arbitrase, dan mediasi perbankan.

Daftar Pustaka
Antonio, M. Syaf’i’i, (2001) Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani.
Arifin, Zainul, (2005), Dasar-dasar Manajemen Bank Syari’ah, Jakarta: AlvaBet.

Ibn Rusyd, (t.t), Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Fikr.
Irfan Syauqi Beik, (2007) “Syariah dan Pengembangan Sektor Riil Bank Syariah dan
Pengembangan Sektor Riil”
Jusmaliani, dkk., (2005), Kebijakan Ekonomi dalam Islam, Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Karim, Adiwarman, (2003), Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta: IIIT Indonesia.
Liquat Ali Khan Niazi, (1990), Islamic Law of Contrac, Lahore: Research Cell Dyal Singh
Trust Library.
Muhamad, (2005), Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta: UPP AMPYKPN.
Robbyanto, (2007), ”Ekonomi Syari’ah Rahmat Bagi Sektor Usaha”, Makalah dalam
Seminar Nasional dan Launching Jurnal LEBI 2007, Yogyakarta, 17 Desember 2007.
Saeed, Abdullah, (1996), Islamic Banking and Interest, A Study of Prohibition of Riba and its
Contemporary Interpretation, Leiden: E.J. Brill.
Dasar hukum:
1.

Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;

2.

Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan
Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah

3.

Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 Tahun 2006 tentang Mediasi Perbankan;

4.

Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank
Indonesia No. 8/5/PBI/2006 Tahun 2006 tentang Mediasi Perbankan;

5.

Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah;

6.

Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 04/DSN-MUI/IV/2000
tentang Murabahah.