46
2 FGD adalah group bukan individu. Prinsip ini masih terkait dengan prinsip sebelumnya. Agar terjadi dinamika kelompok, moderator
harus memandang para peserta FGD sebagai suatu group, bukan orang per orang.
Selalu melemparkan topik ke ―tengah‖ bukan diarahkan ke peserta FGD.
3 FGD adalah diskusi terfokus bukan diskusi bebas. Prinsip ini melengkapi prinsip pertama di atas. Selama diskusi berlangsung
moderator harus fokus pada tujuan diskusi, sehingga moderator akan selalu berusaha mengembalikan diskusi ke
―jalan yang benar‖.
2.6 Multi Criteria Decision Making MCDM
Analisis MCDM merupakan suatu teknik analisis untuk menentukan alternatif keputusan yang akan diambil dengan menentukan kriteria yang dapat
digunakan dalam memilih alternatif tersebut. Seorang pengambil keputusan dapat memberikan bobot yang lebih atau kurang pada setiap kriteria tergantung seberapa
penting atau kriteria tersebut menjadi penilai dalam pengambilan keputusan. Jumlah bobot seluruh kriteria harus sama dengan satu.
Menurut Jankkowski 1994 dalam Hanim 2007, penerimaan MCDM pada beberapa bidang ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya:
1 Teknik MCDM memiliki kemampuan menangani jenis data yang bervariasi kuantitatif, kualitatif, campuran dan pengukuran yang
intangible .
2 Dapat mengakomodasi perbedaan yang diinginkan dalam kriteria. 3 Skema bobot yang bervariasi, menghadirkan prioritas yang berbeda
atau pandangan dari stakeholder yang berbeda dapat diterapkan dalam MCDM.
4 Teknik MCDM tidak membutuhkan penilaian ambang seperti pada operasi overlay sehingga kehilangan informasi yang dihasilkan tidak
terjadi penurunan skala dari variabel yang kontinyu pada skala nominal.
5 Prosedur analisis atau agregat dalam MCDM relatif sederhana dan straightforward
.
47
Analisis kriteria memerlukan sejumlah pendekatan dengan menghitung banyak kriteria untuk membentuk struktur dan mendukung proses pengambilan
keputusan. Penggunaan Simple Multi Attribute Rating Technique SMART merupakan salah satu software untuk mendukung analisis MCDM.
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Potensi sumberdaya kelautan di Indonesia telah dimanfaatkan dalam berbagai aktivitas perekonomian yang di dalamnya termasuk usaha perikanan
tangkap. Perikanan tangkap selama ini telah menjadi salah satu soko guru pembangunan di tanah air, baik dalam bentuk pengembangan ekonomi nasional
secara umum maupun dalam peningkatan kesejahteraan. Perikanan tangkap adalah satu aktivitas ekonomi yang unik, karena
sumberdaya yang ada merupakan milik bersama common property resources. Pemanfaatan sumberdaya ikan melalui aktivitas perikanan tangkap memberikan
dampak eksternalitas baik positif maupun negatif. Sumberdaya ikan bersifat renewable resources
sumberdaya yang dapat pulih tetapi bukan berarti tak terbatas sehingga apabila tidak dikelola secara hati-hati akan memberikan dampak
negatif terhadap ketersediaan sumberdaya ikan dan lingkungan. Luas wilayah perikanan laut sekitar 5, 8 juta km
2
, terdiri dari perairan kepulauan dan teritorial seluas 3,1 juta km
2
serta perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ZEEI seluas 2,7 juta km2. Dengan memperhatikan
karakteristik sumberdaya ikan dan lingkungannya, wilayah perikanan di laut tersebut dibagi ke dalam 11 wilayah pengelolaan perikanan WPP.
Khusus untuk Sulawesi Utara, diapit oleh 2 wilayah pengelolaan perikanan yaitu wilayah pengelolaan perikanan 715 dan wilayah pengelolaan perikanan 716.
Berdasarkan tingkat pemanfaatan tuna di wilayah pengelolaan Laut Seram hingga Teluk Tomini sebesar 35,17 WPP 715 dan untuk wilayah Laut Sulawesi dan
Samudera Pasifik sebesar 87,54 WPP 716 seperti yang dikemukakan oleh Sugiarta 2008. Berdasarkan rekomendasi Komisi Pengkajian Stok Ikan 2005,
bahwa WPP 716 untuk pelagis besar berada dalam kondisi overfishing dan WPP 715 dalam kondisi fully exploited, dengan demikian peluang untuk memanfaatkan
sumberdaya ke depan semakin kecil. Meskipun gambaran secara makro bahwa perikanan tangkap masih berpeluang untuk dikembangkan, namun di satu
sisi masih terdapat beberapa permasalahan pembangunan perikanan tangkap,
2
antara lain : 1 Sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional dengan karakteristik sosial budaya yang memang belum begitu kondusif untuk
suatu kemajuan. 2 Struktur armada perikanan yang masih didominasi oleh skala keciltradisional dengan kemampuan IPTEK Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
yang rendah. 3 Masih timpangnya tingkat pemanfaatan stok ikan antara satu kawasan dengan kawasan perairan laut lainnya. 4 Masih banyaknya praktek
Illegal, Unregulated, and Unreported IUU fishing yang terjadi karena
penegakan hukum law enforcement di laut masih lemah. 5 Belum memadainya dukungan sarana dan prasarana perikanan tangkap. 6 Terjadinya kerusakan
lingkungan ekosistem laut, seperti kerusakan hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun seagrass beds, yang sebenarnya merupakan tempat habitat
ikan dan organisme laut lainnya berpijah spawning ground, mencari makan feeding ground, atau membesarkan diri nursery ground. 7 Masih rendahnya
kemampuan penanganan dan pengolahan hasil perikanan, terutama oleh usaha tradisional sesuai dengan selera konsumen dan standardisasi mutu produk secara
internasional seperti Hazard Analysis of Critical Control PointHACCP, persyaratan sanitasi, dan lainnya. 8 Lemahnya market intelligence yang
meliputi penguasaan informasi tentang pesaing, segmen pasar, dan selera preference para konsumen tentang jenis dan mutu komoditas perikanan. 9
Belum memadainya prasarana ekonomi dan sarana sistem transportasi dan komunikasi untuk mendukung distribusi atau penyampaian delivery produk
perikanan dari produsen ke konsumen secara tepat waktu, terutama di luar Jawa dan Bali Barani 2004.
Di kawasan perikanan Indonesia terdapat 16 jenis ikan tuna yang diatur pengelolaanya oleh IOTC, yaitu: Yellow Fin Tuna, Skipjack, Bigeye Tuna,
Albacore Tuna, Southern Bluefine Tuna, Long tail Tuna, Kawakawa, Frigate Tuna, Bullet Tuna, Narrow Barred Spanish Mackerel, Indo Pacific King
Mackerel, Indo Pacific Blue Marlin, Black Marlin, Strip Marlin, Indo Pacific Sailfish,
dan Swordfish. Produksi tuna Indonesia selang tahun 1999 hingga 2007 yang terdiri dari
sailfish, black marlin, blue marlin, swordfish, skipjack tuna, albacore, yellowfin tuna,
dan bigeye tuna seperti yang dikemukakan oleh DKP and JICA 2009.
3
Tuna dipasarkan dalam bentuk segar, asap, beku dan kaleng. Berdasarkan kajian potensi sumberdaya ikan tuna tahun 1998, bahwa wilayah pengelolaan 716
Samudera Pasifik dan Laut Sulawesi mempunyai potensi ikan madidihang yellowfin tuna sebesar 29.408 ton per tahun dan untuk wilayah pengelolaan 715
Teluk Tomini dan Laut Maluku sebesar 13.795 ton per tahun, ikan tuna mata besar bigeye tuna masing-masing sebesar 15.529 ton per tahun dan 6.032 ton per
tahun, ikan albakora masing-masing sebesar 528 ton per tahun dan 34 ton per tahun dan ikan cakalang masing-masing sebesar 121.201 ton per tahun dan 55.403
ton per tahun, ikan tongkol masing-masing sebesar 37.615 ton per tahun dan 14.963 ton per tahun. Menurut PRPT 2001, bahwa tingkat pemanfaatan tuna di
wilayah pengelolaan Laut Seram hingga Teluk Tomini sebesar 35,17 dari potensi sebesar 106,51 x 10
3
tontahun, sedangkan untuk wilayah Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik sebesar 87,54 dari potensi sebesar 175,26 x 10
3
tontahun. Besarnya perhatian dunia akan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya
dapat pulih sekarang ini tertuang pada konferensi Persatuan Bangsa-Bangsa PBB bidang Lingkungan dan Pembangunan UNCED yang dilakukan di Rio de
Janeiro Brasil tahun 1992, menggambarkan konsensus global untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang lebih berbasis pada ekosistem lintas semua
sektor aktivitas manusia, sebagai satu alat untuk pengembangan kesejahteraan manusia generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang FAO
2000. Dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan diperlukan peran substansial pemerintah, pengembangan yang didukung dengan sains dalam
pembuatan keputusan dan peningkatan informasi strategis. Oleh sebab itu, dalam membangun investasi dalam dunia usaha perikanan tangkap terpadu
pengintegrasian investasi penangkapan ikan dengan industri pengolahan ikan yang dapat berkelanjutan, maka diusulkan untuk mengadopsi seperangkat
Indikator Kinerja Kunci IKK. Perangkat IKK ini adalah salah satu bagian statistik yang menggunakan uji yang dikenal dengan SMART: Specific jelas dan
terfokus, Measurable dapat dikuantifikasi dan dibandingkan dengan data lain, Attainable
dapat dicapai, masuk akal dan dapat dipercaya, Realistic sesuai dengan keadaan organisasiperusahaan dan biayanya efektif and Timely dapat
dilaksanakan sesuai dengan kerangka waktu yang ditentukan McNeeney 2004.
4
Sebagian dari perangkat IKK didasarkan atas data yang telah dikumpulkan, sehingga dapat dijadikan baselines dalam membuat perbandingan akan kemajuan
yang telah dicapai. Setiap usaha penangkapan ikan tuna terpadu mempunyai produk yang bernilai tambah tinggi dan memiliki kualitas ekspor, sehingga dapat
menciptakan iklim yang kondusif, menggerakkan ekonomi lokal dan memperluas penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat secara berkelanjutan
dengan memilih IKK yang baik melalui pemahaman apa yang menjadi penggerak kemajuan.
Perkembangan IKK sebagai dasar penilaian atau kriteria analisis saat ini sangat pesat, khususnya pada industri manufaktur yang mulai dikembangkan
dengan ―green IKK‖, dimana standar kualitas produk harus memperhatikan keberlangsungan dari lingkungan. Demikian juga dalam perikanan, memang tidak
disebutkan IKK harus green tapi persyaratan import dalam negeri di negara- negara tertentu, terutama Uni Eropa dan Amerika Serikat perlu ada health
certification, ecolabelling, HACCP untuk mengaplikasi SPS Sanitary and
Phytisanitary Agreement , catch certification dan khusus untuk Uni Eropa pada
awal Januari 2010 memberlakukan catch document scheme untuk semua produk import Dirjen P2HP 2009. Hal ini menunjukkan secara tidak langsung green
IKK telah masuk dalam industri perikanan dan menunjukkan bahwa konsumen sudah memperhatikan standar mutu produk.
Sejauh ini Indonesia telah berperan baik dalam perikanan dunia, namun masih sangat terbuka peluang untuk dapat dioptimalkan. Dari berbagai potensi,
kekuatan, peluang dan tantangan yang di hadapi sub sektor ini, baik dari sisi pengelolaan sumberdayanya, kemiskinan nelayan dan kelembagaan menunjukan
bahwa diperlukan suatu formula indikator kinerja perikanan. Namun demikian sampai saat ini usaha penangkapan ikan dan lembaga pemerintahan serta
stakeholder perikanan lainnya bukan saja tidak tersedia tapi belum memiliki IKK
sebagai kriteria analisis kunci keberhasilan atau potensi kelanjutan dari perikanan tuna baik di tingkat nasional maupun daerah. Untuk itulah penelitian ini menjadi
penting dilakukan sebagai formulasi dasar dalam menyusun formula IKK perikanan tuna di Indonesia. Jadi dengan kata lain indikator-indikator kinerja
merupakan alat yang sangat dibutuhkan untuk melihat apakah suatu strategi,
5
program, atau kegiatan berhasilgagal dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan.
1.2 Perumusan Masalah