SADISME DALAM FILM GENRE NOIR (Analisis Isi Pesan Sadisme dalam Film Noir Musikal : Sweeney Todd)

(1)

i SADISME DALAM FILM GENRE NOIR

(Analisis Isi Pesan Sadisme dalam Film Noir Musikal : Sweeney Todd)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

Sebagai Persyaraktan untuk Mendapatkan Gelar Sarjana (S-1)

Oleh : Hery Purwana

07220051

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


(2)

ii LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Hery Purwana NIM : 07220051

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Jurusan : Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi : SADISME DALAM FILM GENRE NOIR

(Analisis Isi Pesan Sadisme dalam Film Noir Musikal: Sweeney Todd)

Telah dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Malang Jurusan Ilmu Komunikasi dan dinyatakan LULUS

Pada : Kamis, 26 Juli 2012 Tempat : Gedung GKB I, Ruang 605

Mengesahkan, Dekan FISIP UMM

DR. Wahyudi, M.Si

Dewan Penguji :

1. Widiya Yutanti, S.Sos, MA (……….) 2. Novin Farid Setyo Wibowo, S.Sos (……….) 3. Drs. Abdullah Masmuh, M.Si (……….) 4. Sugeng Winarno, S.sos. MA (……….)


(3)

iii LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI

Nama : Hery Purwana NIM : 07220051

Fakulas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Jurusan : Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi : SADISME DALAM FILM GENRE NOIR

(Analisis Isi Pesan Sadisme dalam Film Noir Musikal: Sweeney Todd)

Disetujui :

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Abdullah Masmuh, M.Si Sugeng Winarno, S.sos. MA

Mengetahui :

Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi


(4)

iv PERNYATAAN ORISINALITAS

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Hery Purwana

Tempat, tanggal lahir : Mataram, 25 April 1989 Nomor Induk Mahasiswa : 07220051

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)

Jurusan : Ilmu Komunikasi

Menyatakan bahwa karya ilmiah (skripsi) dengan judul :

SADISME DALAM FILM GENRE NOIR

(Analisis Isi Sadisme dalam Film Noir Musikal : Sweeney Todd)

adalah bukan karya tulis ilmiah (skripsi) orang lain, baik sebagian ataupun seluruhnya, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah saya sebutkan sumbernya dengan benar.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini tidak benar, saya bersedia mendapatkan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Malang, 11 Juli 2012 Yang Menyatakan,


(5)

v BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI

Nama : Hery Purwana

NIM : 07220051

Fakulas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Jurusan : Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi : SADISME DALAM FILM GENRE NOIR

(Analisis Isi Pesan Sadisme dalam Film Noir Musikal: Sweeney Todd)

Pembimbing : 1. Drs. Abdullah Masmuh, M.Si 2. Sugeng Winarno, S.sos. MA Kronologi Bimbingan :


(6)

vi - De profundis clamo ad te domine -


(7)

vii ABSTRAKSI

Hery Purwana, 07220051

SADISME DALAM FILM GENRE NOIR

(Analisis Isi Pesan Sadisme dalam Film Noir Musikal: Sweeney Todd) Pembimbing: Drs. Abdullah Masmuh, M.Si dan Sugeng Winarno, S.sos. MA

(vii + 74 halaman + 6 tabel + 9 gambar + 5 lampiran) Bibliografi; 11 buku, 7 website, 2 jurnal

Kata kunci: Sadisme dalam Film, Analisis Isi, Genre Noir, Musikal, Sweeney Todd.

Film menjadi idola dan punya tempat sendiri di dalam seseorang dengan keunikan serta keefektifannya dalam menyampaikan suatu pesan dalam sekejap. Tujuan konsumsi masyarakat pada film berbeda-beda, begitu pula pesan yang disampaikan dengan film. Pesan yang muncul dalam film secara sadar atau tidak, akan mengajak untuk melakukan sesuatu dan menginformasikan sesuatu kepada semua umur tanpa terkecuali. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah unsur-unsur sadisme apa saja yang muncul dan berapa banyak frekuensi unsur sadisme yang terdapat pada film bergenre Noir Musikal : Sweeney Todd – The Demon Barber of Fleet Street. Dengan tujuan mencari tahu unsur-unsur sadisme apa saja yang muncul dalam sebuah film Noir dan frekuensi kemunculan unsur sadisme tersebut.

Pada saat ini tindak kekerasan semakin marak bahkan banyak tindak kekerasan berubah ke taraf yang lebih tinggi seperti tindak sadisme. Film dengan unsur sadisme memberikan pengetahuan, pesan, serta cara bagaimana dan seperti apa tindak sadisme dilakukan. Namun dalam film sendiri tindak sadisme tersebut sudah menjadi suatu bentuk hiburan itu sendiri, disaat jenuh dengan film percintaan, film yang mengandung sadisme mungkin menjadi pilihan, apalagi dengan adanya genre yang mengkhususkan dan bercirikan unsur tertentu. Kurangnya kesadaran masyarakat akan batasan dan pemfilteran tayangan terhadap umur, memungkinkan anak kecil pada masa golden age menyaksikan tindak sadisme seperti menyayat bagian vital manusia, memotong-motong tubuh, menusuk, atau mungkin tidakan sadisme yang lebih mengarah psikis seseorang yang dengan mudah ditiru dan akan menjadi pribadinya saat dewasa nanti.

Dalam penelitian ini menggunakan metode analisis isi deskriptif kuantitatif dengan perangkat statistik. Penelitian menggunakan unit analisis berupa shot dalam film dengan satuan ukur frekuensi kemunculan dan katagorisasi di dalamnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa frekuensi kemunculan total sadisme bersifat fisik dan psikis yaitu 115 kali dari 1559 shot. Sadisme bersifat fisik sendiri muncul sebanyak 91 kali (74.5%) dari total kemunculan, dengan kemunculan sub-katagori memukul sebanyak 10 kali atau 11%, sub-katagori menyayat sebanyak 30 kali atau 33%, sub-katagori memotong 12 kali atau 13%, katagori menggiling sebanyak 5 kali atau 5.5%, sub-katagori menjatuhkan 21 kali atau 23%, sub-sub-katagori membakar sebanyak 5 kali atau 5.5%, dan sub-katagori menusuk sebanyak 8 kali atau 9% dari total


(8)

viii kemunculan katagori sadisme bersifat fisik. Serta sadisme bersifat psikis sendiri muncul sebanyak 31 kali (25.5%) dari total kemunculan, dengan sub-katagori pengurungan muncul sebanyak 27 kali atau sebanyak 87.1%, sub-katagori pemisahan paksa muncul sebanyak 3 kali atau sebanyak 9.7%, dan sub-katagori berbohong sebanyak 1 kali atau 3.2% dari total kemunculan katagori sadisme bersifat psikis. Dari hasil diatas dan setelah diuji peneliti memperoleh hasil lebih dari 0.75 dari kedua katagori, sehingga data pada penelitian ini dinyatakan reliabel.

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa tindak sadisme yang muncul merupakan sadisme bersifat fisik dengan sub-katagori memukul, menyayat, memotong, menggiling, menjatuhkan, membakar dan menusuk. Sedangkan katagori sadisme bersifat psikis muncul dengan sub-katagori pengurungan dan sub-katagori pemisahan paksa, dimana dalam hasil kedua katagorisasi ini, katagori yang paling dominan muncul adalah katagori fisik pada sub-katagori menyayat sebesar 30 kali, dan diikuti dengan sub-katagori psikis pengurungan sebanyak 27 kali.

Malang, 8 Juli 2012 Peneliti,

Hery Purwana

Mengetahui,

Pembimbing I Pembimbing II


(9)

ix ABSTRACT

Hery Purwana, 07220051

SADISM IN NOIR GENRE MOVIE

(Content analysis of sadism message in Musical Noir movie: Sweeney Todd)

Advisors: Drs. Abdullah Masmuh, M.Si and Sugeng Winarno, S.sos. MA

(vii + 74 pages + 6 tables + 9 images + 5 attachments) bibliographies; 11 books, 7 websites, 2 journal

Keywords: Sadism in movie, content analysis, Noir genre, Musical, Sweeney Todd.

Movie becomes idol and provide its own place in someone with its uniqueness and effectiveness in sending a message in a glance. People consumption purpose in movies are different, also with message in movie. Message appeared in movie, conscious or not will ask us to do something and inform something to all ages without any exception. Statement of problems in this research is, what sadism elements displayed and how many frequency of sadism elements in musical noir genre movie: Sweeney Todd – The Demon Barber of Fleet Street. With the aim to find out what sadism elements appeared in Noir movie and the frequency of sadism elements.

This time, violence happened rapidly, even move into higher rate, such as sadism. Movie with sadism element gives knowledge, message, also effort how and like what sadism is done. However, in movie itself, the sadism has been entertainment itself, when we’re bored with love movie, sadism movie became an option, moreover, by genre which specialized and has certain element characteristic. Lack of people awareness about limitation and filter to age, makes children in their golden age watch sadism act such as, cutting human vital part, cutting their bodies, stabbing, or probably sadism which directed to psychological sadism which would easily imitated and become their personality when they grow up.

This research uses content analysis quantitative descriptive research with statistical tool. Research uses analysis unit in form of shot in movie with frequency unit of appearance and categorization inside it. This research shows that frequency of sadism total appearance in form of physical and psychological, which is 115 times from 1559 shot. Physical sadism itself appeared for 91 times (74.5%) of total appearance with sub-category of hitting for 10 times or 11%, slicing sub-category for 30 times or 33%, cutting sub-category for 12 times or 13%, grinding sub-category for 5 times or 5.5%, dropping sub-category for 21 times or 23%, burning category for 5 times or 5.5% and stabbing sub-category for 8 times or 9% from total sadism sub-category in physical form. Also sadism in physical itself appeared for 31 times (25.5%) from total displays, by isolating sub-category for 27 times or 87.1%, forced-separation sub-category appeared for 3 times or 9.7% and lying sub-category just once or 3.2% from total psychological sadism category. From the result above and after tested, the


(10)

x researcher found result more than 0.75% from both categories, so data in this research can be considered as reliable.

Conclusion from this research shows that sadism displayed is physical sadism with sub-category hitting, slicing, cutting, grinding, dropping, burning, and stabbing, while psychological sadism displayed with sub-category isolation and separation, where in both categorizations, the most dominant category appeared is physical category in cutting sub-category for 30 times and followed with psychological sub-category for 27 times.

Malang, 8 Juli 2012 Researcher,

Hery Purwana

Acknowledged by,

Advisor I Advisor II


(11)

xi KATA PENGANTAR

Puji sukur atas karunia Allah. SWT, yang telah memberikan kita semua kesehatan, kebahagian, anugrah dan bimbingannya selama ini Sholawat dan salam mari kitapanjatkan kepada Rasul kita Muhammad SAW, yang telah mencerahkan alam fana ini dengan ilmu pengetahuan dan keteladanan yang sempurna.

Sebenarnya secara logika pelaksanaan membuatskripsi itu lebih mudah dari pada ujian UAN saat masih SMA, namun pada kenyataannya menjadi sangat susah karena harus dihadapkan dengan masalah terdekat yaitu diri kita sendiri. Mungkin karena harus melawan diri kita yang malas itulah mengapa skripsi cukup terasa sulit, padahal kuncinya ada pada diri kita sendiri. Namun pada akhirnya skripsi yang mengambil judul SADISME DALAM FILM GENRE NOIR (Analisis Isi Pesan Sadisme dalam Film Noir Musikal: Sweeney Todd) selesai dan sekali lagi dengan puji sukur terhadap Allah SWT dan izinNyalah skripsi ini akhirnya rampung juga, Alhammdulillah.

Dalam pemilihan judul dan tema dalam penelitian ini, peneliti kembali disadari kurangnya perlindungan terhadap tontonan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Karena itulah tindak kekerasan sadisme ini dapat dengan mudah disaksikan oleh semua umur tanpa terkecuali. Alasan lain lain judul ini diambil adalah karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan genre film yang ada, terutama genre noir ini sendiri dan maka itulah film berjudul Sweeney Todd – The Demon Barber of Flat Street ini diambil untuk diteliti karena keunikan terhadap film ini sendiri.

Penyusunan skripsi ini digunakan untuk melengkapi salah satu tugas akhir, sekaligus syarat untuk memperoleh gelar (S1) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang. Dalam pelaksanaannya penelitian ini tidak akan berjalan baik maka dengan terselesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesas-besarnya kepada:


(12)

xii 2. Wawan Parawancana dan Harti sebagai orang tua tersayang yang tak

kunjung letih berjuang untuk anaknya.

3. Drs. DR. Muhadjir Effendy, M. AP., selaku rektor UMM. 4. Wahyudi, DR, M.Si., selaku Dekan FISIP, UMM.

5. Nurudin, S.Sos, M.Si, selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, UMM dan Wali Dosen.

6. Drs. Abdullah Masmuh, M.Si., selaku Dosen Pembimbing I 7. Sugeng Winarno, S.Sos, MA., selaku Dosen Pembimbing II

8. Suci Prima Yousya yang memberikan semangat dalam pengerjaan skripsi ini.

9. Kepada Fadly, Silvi dan Angga yang membantu menuntun dalam pengerjaan skripsi ini, dan juga teman-teman seperjuangan yang menempuh skripsi juga.

10.Teman-teman Anomaly Pictures, Kine Klub UMM, serta teman-teman Fantashit Film, juga tak lupa seluruh teman-teman yang saya kenal terimakasih sebesar-besarnya.

Tentu saja penelitian ini masih mengalami kekurangan-kekurangan di dalamnya dan masih memerlukan pengkajian yang lebih dalam. Dengan demikian terima kasih atas segala kebaikan, bantuan dan dorongan yang di berikan pada saya selaku peneliti, semoga mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin amin yarobbal alamin….

Malang, 8 Juli 2012 Peneliti.


(13)

xiii DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN……… ii

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI………... iii

PERNYATAAN ORISINALITAS………. iv

BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI………... v

MOTO………. vi

ABSTRAKSI……….. vii

KATA PENGANTAR……… xi

DAFTAR ISI…….………. xiii

DAFTAR TABEL……….. xvi

DAFTAR GAMBAR……….. xvii

LAMPIRAN………... xviii

BAB I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang……… 1

B.Rumusan Masalah……….. 4

C. Tujuan penelitian……… 4

D. Manfaat Penelitian………. 4

E. Tinjauan Pustaka……… 5

E.1. Film Sebagai Alat Komunikasi……… 5

E.2. Film Sebagai Media Komunikasi Massa………. 10

E.3. Genre Sebagai Sebuah Ciri Khas Film……….. 16

E.4. Sadisme Dalam Film……… 19

E.5. Noir Sebagai Sebuah Genre Film……… 24

E.5.1. Karakteristik Film Noir……….. 25

E.5.2. Perbedaan Film Noir dan Thriller……….. 26

F. Metode Penelitian……….. 30

F.1. Ruang Lingkup Penelitian……… 30

F.2. Unit Analisis……… 30

F.3. Satuan Ukur………... 31


(14)

xiv

F.5. Tekhnik Pengumpulan Data………. 35

F.6. Teknik Analisis Data……… 37

F.7. Uji Reliaabilitas………... 37

BAB II. GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN A. Sekilas Tentang Film Sweeney Todd……… 39

A.1. Sweeney Todd, Benar Terjadi atau Mitos……….. 39

B. Sinopsis Film Sweeney Todd – The Demon Barber of Fleet Street.. 40

C. Biografi Timothy William Burton………. 47

D. Daftar Pemeran dalam Film Sweeney Todd……….. 48

E. Tim Produksi Film Sweeney Todd – Demon Barber of Fleet Street. 50

BAB III. PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA A. Penyajian Data………... 54

A.1. Sadisme dalam Film Noir Musikal Sweeney Todd………… 54

A.2. Tindak Sadisme pada Katagori Sadisme Bersifat Fisik…….. 55

A.2.1. Sub-katagori Fisik Memukul………... 56

A.2.2. Sub-katagori Fisik Menyayat……….. 57

A.2.3. Sub-katagori Fisik Memotong………. 58

A.2.4. Sub-katagori Fisik Menggiling……… 59

A.2.5. Sub-katagori Fisik Menjatuhkan………. 60

A.2.6. Sub-katagori Fisik Membakar……… 61

A.2.7. Sub-katagori Fisik Menusuk………... 62

A.3. Tindak Sadisme pada Katagori Sadisme Bersifat Psikis…… 63

A.3.1. Sub-katagori Psikis Pengurungan..………. 64

A.3.2. Sub-katagori Psikis Pemisahan Paksa……….... 66

A.3.3. Sub-katagori Psikis Berbohong...………... 67

B. Analisis Data……….. 68

B.1. Uji Reliabilitas………. 68

B.1.1 Uji Reliabilitas Sadisme Bersifat Fisik……… 69

B.1.2 Uji Reliabilitas Sadisme Bersifat Psikis……….. 72


(15)

xv BAB IV. PENUTUP

A. Kesimpulan………. 77

B. Saran……….. 78

B.1. Saran Akademis……….. 78

B.2. Saran Praktis………... 78


(16)

xvi DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tabel Klasifikasi Genre……… 18

Tabel 2. Contoh Tabel Lembar Coding……….. 36

Tabel 3. Tabel Proporsi Kemunculan Katagori……….. 55

Tabel 4. Tabel Proporsi Kemunculan Katagori Sadisme Fisik……….. 56

Tabel 5. Tabel Proporsi Kemunculan Katagori Sadisme Psikis………. 64

Tabel 6. Expected Agreement Unit Analisis Kategori Sadisme Bersifat Fisik.. 69


(17)

xvii DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Memukul……….. 57

Gambar 2. Menyayat………. 58

Gambar 3. Memotong………... 59

Gambar 4. Menggiling………... 60

Gambar 5. Menjatuhkan……….... 61

Gambar 6. Membakar……….... 62

Gambar 7. Menusuk……….. 63

Gambar 8. Pengurungan……… 65

Gambar 9. Pemisahan Paksa………... 66


(18)

xviii LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Coding Peneliti………. 82

Lampiran 2. Lembar Coding Coder 1……….... 86

Lampiran 3. Lembar Coding Coder 2……….... 90

Lampiran 4. Lembar Coding Coder 3……… 94

Lampiran 5. LEMBAR PERNYATAAN KODER 1………. 98

Lampiran 6. LEMBAR PERNYATAAN KODER 2………. 99


(19)

xix DAFTAR PUSTAKA

Biagi, Shirley. 2010. Media / Impact Pengantar Media Massa. Jakarta: Salemba Humanika..

Camara, Dom Helder. 2005. Spiral Kekerasan. Yogyakarta: Resist Book.

Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra

Dayakisini, Tri, dan Hudaniah. 2006. Psikologi Sosial. Malang: UMM Press. Effendy, Heru. 2002. Mari Membuat Film: panduan Menjadi Producer.

Yogyakarta: Panduan & Pustaka Konfiden.

Eriyanto. 2011. Analisis Isi : Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Fromm, Erich. 2002. Akar Kekerasan: Analisis Sosio-psikologis atas Watak Manusia. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Kolker, Robert. 2002. Film, Form, and Culture. New York: McGraw-Hill.

Krippendorff, Klaus. 1991. Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi. Jakarta: Rajawali Pers.

Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Saptaria, Rikrik El. 2006. Acting Handbook: Panduan Praktis Acting Untuk Film


(20)

xx Susanto, I.S. 2011. Kriminologi. Yogyakarta: Genta Publishing.

Wilmer, Roger D. and Joseph R. Dominick. 2000. Mass Media Research: An Introduction. California: Wadsworth Publishing Company.

Non Buku

Dirks, Tim. 2012. Film Site. Film Genre : Origin & Types. http://www.filmsite.org/filmgenres.html (diakses tanggal : 3 April 2012, 12.55 WIB)

Lutviah. 2011. Media Massa dalam Film. http://lutviah.net/2011/01/14/media-massa-film/ (diakses tanggal 28 Maret 2012, 16.05 WIB).

Meyati, Nur. 2010. Taman Bahasaku. Pengertian Genre. https://sites.google.com/ site/tamanbahasaku/Home/genre/pengertian-genre (diakses tanggal : 3 April 2012, 10.50 WIB).

Pratista, Himawan. 2010. Perkembangan Film Noir – Film Noir Genre tau Gaya.

http://montase.blogspot.com/2008/05/montase-edisi-ke-empat-film-noir.html (diakses tanggal 30 Maret 2012, 15.30 WIB).

Valendia, Zauza. 2010. Sadisme. http://fallenngel.blogspot.com/2010/05/sadisme. html (diakses tanggal 9 April 2012, pukul 20.00 WIB).

Yuindartanto, Andre. 2009. Dampak Tayangan Film Kekerasan Pada Anak.

http://yumizone.wordpress.com/2009/01/17/dampak-tayangan-film-kekerasan-pada-anak/ (diakses tanggal 26 Juli 2012, 15.40 WIB).

_____. 2007. Sweeney Todd. http://knowledgeoflondon.com/sweeny.html/. (diakses tanggal 30 Juli 2012, pukul 10.06 WIB).


(21)

xxi _____. 2008. What is Film Noir?. http://filmsnoir.net/what-is-film-noir (diakses

tanggal 5 Juni 2012, pukul 18.00 WIB).

_____. 2009. Royal Media. UU Penyiaran, Tayangan TV Tanpa Sadisme &

Pornografi.http://royalmedia-royalmedia.blogspot.com/2009/01/uu-penyiaran-tayangan-tv-tanpa-sadisme.html (diakses tanggal 9 April 2012, pukul 22.20 WIB).

_____. 2012. Cerita Getaran. http://info.pertanyaan.com/cerita-getaran. (diaksaes tanggal 28 Juli 2012, pukul 13.37 WIB).

Skripsi :

Azhari, Fadly. 2012. KEKERASAN TERHADAP HEWAN DALAM FILM – Analisis Isi Unsur Kekerasan Terhadap Hewan dalam Rise of The Planet ApesKarya Rupert Wyatt.

Putra, Panji Mahardian. 2009. KEKERASAN DALAM FILM RAMBO - Analisis Isi Unsur Kekerasan Dalam Film Rambo IV: In The Serpents Eye


(22)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Industri perfilman yang semakin berkembang mengakibatkan mulai banyaknya jumlah dan jenis film dari segi cerita dan konsep seperti triller, percintaan, sejarah (kolosal), animasi, horror, noir, musikal dan sebagainya. Masyarakat semakin tertarik dengan dunia film karena film atau gambar bergerak merupakan media yang sangat komunikatif dan dianggap paling efisien dalam penyampaian suatu pesan di dalamnya, dan itu mempengaruhi juga munculnya berbagai jenis genre film yang diproduksi untuk dikonsumsi masyarakat. Jenis (genre) film sendiri memiliki waktu kejayaannya masing masing sesuai dengan minat konsumsi penonton saat itu, tapi ada juga yang tenggelam setelah mengalami masa kejayaan yang cukup lama, seperti yang dialami oleh berbagai film dengan genre Noir.

Film bergenre Noir sendiri mampu muncul dan berkembang menjadi sebuah genre sendiri yang memiliki ciri khas terlepas dari berbagai genre lainnya terutama pada genre triller. Dengan berciri khas dan mengadaptasi unsur-unsur kekerasan, pembunuhan, hingga kelainan jiwa yang terkemas pada setiap film bergenre ini. Genre ini mampu memberikan kesan sadisme dalam kekerasan dan rasa takut bagi para penonton pada genre ini yang mungkin merasakan sensasi yang berbeda dari film-film yang lain. Prilaku sadis yang ada dalam genre ini terlihat masuk akal dapat terjadi dalam dunia nyata, karena didukung oleh


(23)

berbagai kesan lainnya yang ditanamkan seperti rasa keputusasaan, benci, iri, kesedihan yang mendalam bahkan rasa ingin balas dendam itulah yang membangun rasa sadisme yang memberi warnanya sendiri dalam genre ini, tidak semata-mata unsur sadis yang serta merta muncul dengan sendiri dalam film. Tindak sadisme itu sendiri menjadi sebuah asset hiburan bagi para pemirsa yang menyaksikan sebuah film yang mengandung unsur sadisme di dalamnya, dan bukan rahasia umum lagi bila unsur sadisme tersebut mempengaruhi secara berlahan terhadap psikologi manusia yang menontonya akibat berubahnya suatu tindak kekerasan menjadi sebuah hiburan. Hasil penelitian Dr. Brandon Centerwall dari Universitas Washington memperkuat survai itu. Ia mencari hubungan statistik antara meningkatnya tingkat kejahatan yang berbentuk kekerasan dengan masuknya TV di tiga negara (Kanada, Amerika, dan Afrika Selatan). Fokus penelitian adalah orang kulit putih. Hasilnya, di Kanada dan Amerika tingkat pembunuhan di antara penduduk kulit putih naik hampir 100% dalam kurun waktu yang sama (Yuindartanto 2009).

Dari awal kemunculannya di tahun 1940an hingga sekarang kesan sadisme dalam genre noir tetap bertahan bahkan menempel menjadikannya sebuah ciri utama yang masih dipertahankan sampai sekarang, namun sayang, semakin maju genre noir ini tenggelam, dan mungkin hampir terlupakan walau ada beberapa sutradara yang masih menerapkan genre noir pada filmnya, seperti sutradara Tim Burton salah satunya. Beberapa faktor menjadi penyebab popularitas film

noir mulai menurun pada dekade 50-an ini, yakni munculnya televisi, era emas genre fiksi-ilmiah, akhir era sistem studio, serta semakin sejahteranya masyarakat


(24)

Amerika sehingga memilih hiburan yang lebih ringan. Neo-noir disebut untuk film modern saat ini bagi yang mengusung unsur noir di dalam filmnya (Pratista 2010).

Sweeney Todd – The Demon Barber of Fleet Street merupakan film karya sutradara Tim Burton pada tahun 2007 yang lalu, dan ini adalah remake film ke dua yang berjudul sama diproduksi pada tahun 1930an. Kisah Sweeney Todd telah diceritakan dalam berbagai bentuk, namun muncul kembali sangat berbeda ketika berada di tangan sutrada yang terkenal dengan imajinasi gelapnya, Timothy William Burton atau lebih dikenal dengan nama Tim Burton. Tim mampu mengangkat cerita Sweeney Todd yang gelap dan menabrakkannya dengan unsur musikal yang merupakan suatu perpaduan yang baru yang belom pernah ada di dunia film Noir. Film yang berlatar belakang dendam ini sendiri bercerita tentang seorang kriminal yang kembali kekotanya setelah mengalami pengasingan yang cukup lama dan berprofesi sebagai tukang cukur. Ia membunuh dengan sadis setiap korbannya yang tak lain adalah pelanggan cukurnya sendiri, dan daging mayat tersebut digunakan untuk bahan makanan pie dan dijual kembali ke masyarakat.

Banyaknya kekerasan dan sadisme yang tampil dalam scene pada film ini dalam perlakuan sadis terhadap sesama manusia dan aspek-aspek pendukung sadisme itu sendiri, yang mengesankan tidak adanya rasa manusiawi dalam memperlakukan sesama, menjadikan peneliti mengambil judul “SADISME

DALAM FILM GENRE NOIR (Analisa Isi Pesan Sadisme dalam Film Noir


(25)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan atas latar belakang yang tertera diatas, maka peneliti mengangkat rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Unsur-unsur sadisme apa saja yang muncul dan berapa banyak frekuensi unsur sadisme yang terdapat pada film bergenre Noir Musikal : Sweeney Todd – The Demon Barber of Fleet Street.

C.Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui unsur-unsur sadisme yang muncul dalam sebuah film Noir dan frekuensi kemunculan unsur sadisme tersebut, dalam film yang berjudul Sweeney Todd – The Demon Barber of Fleet Street.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Akademis

Diharapkan mampu memberikan tambahan wawasan dan pengetahuan dalam bidang ilmu komunikasi khususnya, terutama dalam studi konsentrasi Audio-visual Universitas Muhammadiyah Malang yang berkenaan tentang film dan juga diharapkan dapat bermanfaat untuk peneliti selanjutnya dan menjadi referensi bagi peneliti yang akan meneliti dalam bidang analisis isi kuantitatif,

2. Manfaat praktis

Diharapkan dapat menambah pemahaman pada khalayak luas tentang genre

Noir dalam film, yang mungkin tidak semua mengerti dan tau genre Noir itu sendiri. Serta juga memberi pengetahuan tentang tindak kekerasan sadisme dan perbedaannya dengan tindak kekerasan biasa.


(26)

E. Tinjauan Pustaka

E.1. Film Sebagai Alat Komunikasi

Film pertama kali lahir pada paruh ke dua abad ke 19, dibuat dengan bahan seluloid yang sangat mudah terbakar, bahkan dengan percikan abu rokok sekalipun. Sesuai dengan berjalannya waktu para ahli berlomba lomba membuat film yang aman dan mudah diproduksi serta enak ditonton.

Sebelumnya film digunakan untuk merekam gambar tak bergerak dalam fotografi, hingga film berubah menjadi gambar bergerak ketika Lumiere bersaudara berhasil membuat alat perekam gerak pertama dan mempertontonkan rekaman mereka pada publik. Lumiere bersaudara, Auguste dan Louis mengembangkan kamera dan sebuah proyektor film yang dapat menampilkan film pada layar lebar. Pertunjukan publik pertama Lumiere adalah pada tanggal 28 Desember 1895 dengan 10 subjek pendek dan judul memukau Lunch Hour at The Lumiere Factory yang memperlihatkan pekerja meninggalkan gedung, dan Arrival of a Train at a Station (Biagi 2010: 174).

Baik gambar bergerak atau tak bergerak dalam film, keduanya menampilkan pesan yang ingin disampaikan oleh sang perekam (kreator gambar) kepada publik, baik dari sisi pengalaman, pribadi, mungkin juga dalam unsur politik. Menurut Effendy (2002 : 11), film terbagi menjadi beberapa jenis yaitu:

1. Film Dokumenter (Documentary Film)

2. Film Cerita Pendek (Short Film)

3. Film Cerita Panjang (Feature-length Film)


(27)

a) Profil Perusahaan (Corporate profile)

b) Iklan Televisi (TV Comercial)

c) Program televis (TV Programme)

d) Video Clip (Music Vidieo)

Dalam film dokumenter pesan yang ingin disampaikan biasanya tentang sesuatu obyek, kisah, atau suatu unsur kehidupan yang nyata terjadi di dunia ini, dan pesan yang disampaikan merupakan pesan jujur tanpa ada rekayasa di dalamnya. John Grierson berpendapat dokumenter merupakan cara kreatif mempresentasikan realitas (Hayward, Key Concepts in Cinema Studies, 1996, hal 72) (Effendy 2002: 11).

Sedangkan pada jenis film cerita pendek dan film cerita panjang pesan yang disampaikan dalam filmnya lebih menceritakan cerita dramatic yang bertujuan menghibur, seperti layaknya seseorang menceritakan kisah sesuatu. Kebanyakan dari film jenis ini cerita pesan yang disampaikan berbentuk fiksi, berbeda dengan film dokumenter yang bersifat reality, namun ada beberapa dari jenis film ini juga mengangkat kejadian nyata atau biografi seseorang sebagai cerita di dalamnya. Berbeda dari 2 jenis film sebelumnya, film-film jenis lain (profil perusahaan, iklan televisi, program televisi, dan video clip) diproduksi untuk kepentingan intuisi tertentu berkaitan dengan kegiatan yang mereka lakukan.

Film dirasa menjadi alat komunikasi yang efektif karena didalamnya memiliki pengikat waktu yang dapat menampilkan pesan jauh ke generasi mendatang dengan proporsi yang sama. Alfred Korzybski (Mulyana 2007: 7)


(28)

menyatakan bahwa kemampuan manusia berkomunikasi menjadikan mereka “pengikat waktu” (time-blinder). Peningkatan-waktu (time-blinding) merujuk kepada kemampuan manusia untuk mewariskan pengetahuan dari generasi ke generasi dan dari budaya ke budaya. Film-film sejarah pun termasuk media komunikasi massa. Mengapa? sebab, faktanya ada. Hanya proses pembuatannya dilakukan dengan prinsip-prinsip yang berlaku dalam pembuatan film. Tokoh dapat ditambahkan agar film itu menarik. Prinsip ini hampir sama dalam pembuatan feature dalam majalah atu surat kabar (Nurudin 2007: 67).

Sebagai media komunikasi massa, film memiliki beberapa unsur di dalamnya yang berpengaruh pada keefektifan media film dalam menyampaikan pesan kepada khalayak luas. Adapun unsur-unsur seperti yang ditulis dalam buku

Acting (Saptaria 2006: 21) tersebut ialah: 1. Plot (Alur Cerita)

Plot atau alur cerita merupakan rangkaian peristiwa yang satu dngan yang lain dihubungkan dengan hokum sebab-akibat. Plot disusun oleh pengarang dengan tujuan mengungkapkan buah pikirannya secara khas. Plot sendiri terbagi menjadi empat buah plot, yaitu:

a. Simple Plot / single Plot

Memiliki satu alur cerita dan satu konflik yang bergerak dari awal sampai akhir. Simple plot biasanya bergerak circular, dimana alur bergerak dari awal sampai kahir cerita dan kembali lagi ke awal.


(29)

b. Multi Plot

Memiliki alur cerita yang utama dengan beberapa sub plot yang saling berkesinambungan.

c. Episodic Plot

Plot yang berdiri sendiri secara bagian perbagian secara mandiri, dimana setiap episode memiliki alur cerita sendiri. Setiap plot tidak memiliki hubungan sebab akibat antara yang satu dengan yang lain.

d. Concentric Plot

Terdiri dari beberapa plot yang berdiri sendiri, dimana pada akhir cerita semua tokoh akan terlibat dalam cerita yang terpisah tadi dan akhirnya menyatu.

2. Struktur Dramatik

Struktur dramatic adalah suatu kesatuan peristiwa yang terdiri dari bagian-bagian yang membuat unsur-unsur plot yang saling memelihara kesinambungan dari awal hingga akhir. Filsuf Aristoteles mengajarkan triloginya tentang tiga kesatuan dalam drama, yakni kesatuan waktu, kesatuan tempat, dan kesatuan kejadian. Teori dramatik versi Aristotelian (Aristoteles) meliputi elemen-elemen eksposisi, komlikasi, klimaks, resolusi, dan konklusi. Sedangkan teori dramatic versi Brechtian (Bertolt Brecht) terdiri dari eksposisi, inciting action, complication, crisis, klimaks, resolusi, dan konklusi. Pada dasarnya kedua teori tersebut sama, namun teori Brechtian lebih lengkap tahapannya :


(30)

a. Exposition, bagian awal atau pembukaan dari sebuah cerita yang membari keterangan tentang tokoh, masalah, tempat, dan waktu cerita tersebut. b. Inciting-action, sebuah peristiwa atau tindakan yang dilakukan seorang

tokoh yang membangun penanjakan aksi menuju konflik.

c. Conflication, penggawatan yang merupakan kelanjutandan peningkatan dari eksposisi dan inciting-action pada bagian ini seorang tokoh mulai mengambil prakarsa untuk mencapai tujuan tertentu.

d. Crisis, berkembangnya suatu tindakan menuju klimaks. Artinya benih-benih kegentingan konflik antar tokoh mulai mengemuka menjelang klimaks.

e. Climax, merupakan tahapan peristiwa dramatic yang telah dibangun oleh konflikasi. Tahapan ini melibatkan pihak-pihak yang berlawanan untuk saling berhadapan dalam situasi puncak pertentangan.

f. Resolution, adalah bagian struktur dramatic yang mempertemukan maslah-maslah yang diusung oleh para tokoh dengan tujuan untuk mendapat solusi atau pencerahan.

g. Conclution, adalah tahapan akhir dari jalinan struktur dramatic, dimana nasib para tokoh mendapat kepastian. Bias berupa pesan moral dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.

3. Tokoh Cerita (Karakter)

Tokoh cerita atau karakter adalah seseorang yang mengambil bagian dan mengalami peristiwa-peristiwa, baik itu sebagian maupun keseluruhan cerita yang sebagaimana digambarkan oleh plot. Sifat dan kedudukan tokoh dalam


(31)

suatu karya drama terdiri dari katagori tokoh penting (Mayor) dan tokoh pembantu (Minor). Tokoh Mayor memiliki watak masing-masing yang digambarkan secara seksama oleh pengarang. Keberagaman perwatakan ini diciptakan atas dasar kemungkinan yang dimiliki oleh manusia pada umumnya, seperti baik, jahat, berani, pengecut, sabar dan lain sebagainya. Kekhususan watak yang disemayamkan pada tokoh merangsang tumbuhnya motivasi yang mendorong terjadinya peristiwa. Ia menjelma menjadi penggerak cerita yang menyebabkan terjadinya tensi dramatik dalam setiap tahapan peristiwa.

E.2. Film Sebagai Media Komunikasi Massa

Komunikasi massa merupakan suatu tipe komunikasi manusia (human communication) yang lahir bersamaan dengan mulai digunakannya alat-alat mekanik, yang mampu melipatgandakan pesan pesan komunikasi (Wiryanto 2000: 1). Yang mana dalam pelaksanaannya komunikasi tidak hanya berlangsung dari komunikator ke komunikan, tetapi juga melalui sebuah perantara atau biasa yang disebut media, dan media serta alat mekanik itulah yang sebagian besar sebagai alat-alat komunikasi massa atau yang lebih popular dengan nama media massa. Dalam buku “Pengantar Komunikasi Massa” (Nurudin 2007: 66-93) mengakan fungsi komunikasi massa adalah sebagai:

1. Fungsi Informasi

Fungsi informasi merupakan fungsi paling penting yang terdapat dalam komunikasi massa. Komponen paling penting untuk mengetahui fungsi informasi ini adalah berita-berita yang disajikan. Iklan pun dalam beberapa


(32)

hal memiliki fungsi memberikan informasi di samping fungsi-fungsi yang lain. Fakta-fakta yang dicari wartawan di lapangan kemudian dituangkan kedalam tulisan juga merupakan infrmasi. Dalam istilah jurnalistik, fakta-fakta tersebut biasa diringkas dalam istilah 5W + 1H (What, Where, Who, When, Why, How) atau Apa, Dimana, Siapa, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana.

2. Fungsi Hiburan

Fungsi hiburan untuk media elektronik menduduki posisi yang paling tinggi dibandingkan dengan fungsi-fungsi yang lain. Masalahnya, masyarakat kita masih menjadikan televisi sebagai media hiburan. Dalam sebuah keluarga, televisi bisa menjadi perekat keintiman keluarga itu karena masing masing anggota mempunyai kesibukan sendiri-sendiri, misalnya suami dan istri kerja seharian sedangkan anak-anak sekolah. Setelah kelelahan dengan aktivitasnya masing-masing, ketika malam hari berada dirumah, kemungkinan besar mereka menjadikan televisi sebagai media hiburan sekaligus sarana untuk berkumpul keluarga.

3. Fungsi Persuasi

Fungsi persuasi komunikasi massa tidak kalah pentingnya dengan fungsi informasi dan hiburan. Banyak bentuk tulisan yang kalu diperhatikan sekilas hanya berupa informasi, tetapi jika diperhatikan secara lebih jeli ternyata terdapat fungsi persuasi. Tulisan pada tajuk rencana, artikel dan surat pembaca merupakan contoh tulisan persuasif.


(33)

4. Fungsi Transmisi Budaya

Transmisi budaya merupakan fungsi komunikasi massa yang paling luas, meskipun paling sedikit dibicarakan. Transmisi budaya tidak dapat dielakkan selalu hadir dalam bentuk komunikasi yang mempunyai dampak pada penerimaan individu. Melalui individu, komunikasi menjadi bagian dari pengalaman kolektif kelompok, publik, audiens berbagai jenis, dan individu dari dari suatu bangsa.

5. Fungsi Mendorong Kohesi Sosial

Kohesi yang dimaksud disini adalah penyatuan. Artinya, media massa mendorong masyarakat untuk bersatu. Dengan kata lain, media massa merangsang masyarakat untuk memikirkan dirinya bahwa bercerai-berai bukan keadaan yang baik dalam kehidupan mereka.

6. Fungsi Pengawasan

Bagi Laswell, komunikasi massa merupakan fungsi pengawasan. Artinya, menujuk pasa pengumpulan dan pnyebaran informasi mengenai kejadian-kejadian yang ada di sekitar kita. Fungsi pengawasan dibagi menjadi dua, yakni warning or beware surveillance atau pengawasan peringatan dan

instrumental surveillance atau pengawasan instrumental. 7. Fungsi Korelasi

Fungsi korelasi yang dimaksud adalah fungsi yang menghubungkan bagian-bagian dari masyarakat agar sesuai dengan lingkungannya. Erat kaitannya dengan fungsi ini adalah peran media massa sebagai penghubung antara berbagai komponen masyarakat.


(34)

8. Fungsi Pewarisan Sosial

Dalam hal ini media massa berfungsi sebagai seorang pendidik, baik yang menyangkut pendidikan formal maupun informal yang mencoba meneruskan atau mewariskan suatu ilmu pengetahuan, nilai, norma, pranata, dan etika dari generasi ke generasi selanjutnya.

9. Fungsi Melawan Kekuasaan dan Kekuatan Represif

Dalam kurun waktu lama, komunikasi massa dipahami secara linier memerankan fungsi-fungsi klasik seperti yang diungkapkan sebelumnya. Hal yang dilupakan oleh banyak orang adalah bahwa kominikasi massa bisa menjadi sebuah alat untuk melawan kekuasaan dan kekuatan represif. Komunikasi massa berperan memberikan informasi, tetepi informasi yang diungkapkannya ternyata mempunyai motif-motif tertentu untuk melawan kemapanan.

10.Fungsi Menggugat Hubungan Trikotomi

Hubungan trikotomi adalah hubungan yang bertolak belakang antara tiga pihak. Dalam kajian komunikasi, hubungan trikotomi melibatkan pemerintah, media, dan masyarakat. Ketiga pihak ini dianggap tidak pernah mencapai sepakat kerana perbedaan kepentingan masing masing pihak.

Definisi komunikasi massa itu sendiri adalah komunikasi melalui media massa (media cetak dan elektronik), namun media massa disini dikatakan media massa berbentuk antara lain media elektronik (televisi dan radio), media cetak (surat kabar dan majalah), buku, dan film (Nurudin 2007: 5).


(35)

Film sendiri termasuk dalam salah satu media komunikasi massa karena film mampu menyampaikan pesan atau tujuan tertentu seseorang kepada khalayak luas sekaligus secara serentak, seperti orang-orang yang datang berbondong-bondong kebioskop untuk menyaksikan sebuah film, begitu mereka keluar setelah menyaksikan film tersebut, mereka akan dapat menangkap apa maksud dan pesan yang disampaikan oleh penulis cerita dan film maker melalui film itu, dan pesan yang dibawa oleh film tersebut secara serentak terkirim dan terekam kepada semua penonton yang menyaksikan film tersebut.

Film tidak serta merta mejadi sebuah media komunikasi massa yang muncul secara ajaib, semua bermula dari zaman cetak yang dimana sebelum abad ke-15 orang-orang Eropa memproduksi buku-buku dngan mempersiapkan manuscript (manuskrip) berupa salinan yang di cetak dengan menggunakan tangan, hingga pada tahun 1455 seorang pandai emas bernama Johan Gutenberg menemukan mesin cetak.

Hingga pada zaman komunikasi massa, dengan kemunculan media cetak, langkah aktivitas komunikasi mulai menanjak cepat. Apalagi dengan penemuan telegraf, semua menjadi kenyataan. Walaupun bukan sebagai media komunikasi, peralatan ini menjadi elemen penting bagi akumulasi tekhnologi yang akhirnya mengarahkan masyarakat memasuki era media massa elekronik. Beberapa decade terakhir, percobaan percobaan yang dilakukan telah membawa kesuksesan untuk memasuki era dunia motion picture (film bioskop dan televisi) (Nurudin 2007: 59).


(36)

Teknologi film memiliki karakter yang spesial karena bersifat audio dan visual. Karakter ini menjadikan film sebagai cool media yang artinya film merupakan media yang dalam penggunaannya menggunakan lebih dari satu indera. Film pun menjadi media yang sangat unik karena dengan karakter yang audio-visual film mampu memberikan pengalaman dan perasaan yang spesial kepada para penonton/khalayak. Para penonton dapat merasakan ilusi dimensi parasosial yang lebih ketika menyaksikan gambar-gambar bergerak, berwarna, dan bersuara. Dengan karakter audio-visual ini juga film dapat menjadi media yang mampu menembus batas-batas kultural dan sosial (Lutvia 2011).

Karena karakternya yang audio visual dan menggunakan 2 indra pelihat dan pendengar dalam penyampaiannya, menjadikan film merupakan media yang kuat dalam penyampaiannya kepada khalayak luas yang multikultur dan lintas kelas sosial. Perasaan dan pengalaman yang hadir saat menonton film pun menjadikan film sebagai media yang spesial karena dapat membuat khalayak terbawa ke dalam film bersama dimensi parasosial yang dihadirkan. Bagi para pembuat film, film merupakan media yang sangat representatif atas ide-ide kreatif mereka. Dan keakraban film terhadap khalayak menjadikan ide-ide dan pesan para pembuat film lebih gampang diterima khalayak.

Namun sebagai sebuah media komunikasi massa film juga juga memiliki kekurangan dan menjadikan kekurangan tersebut menjadi sangat multitafsir. Dalam beberapa film dibutuhkan analisa unsur-unsur semiotik di dalamnya, dan karena film dapat menembus batas batas kultural disisi lain justru dapat menimbulkan intepretasi yang salah akan budaya tertentu apa bila film tersebut


(37)

disaksikan orang dari kultur yang berbeda. Kekurangan yang lain dari film sebagai media komunikasi massa ialah begitu efektifnya sebuah film sehingga mampu mempengaruhi khalayak banyak yang menontonnya, dan pada beberapa jenis film seperti film horror, action, dan yang mengandung unsur pornografi membawa pengaruh yang negatif pada masyarakat, terutama anak-anak.

E.3. Genre Sebagai Sebuah Ciri Khas Film

Pembuat film awal menggunakan bahan dari novel, vaudeville, sirkus, dan berbagai sumber sebagai scenario mereka. Tetapi mereka juga menggunakan genre mereka sendiri yang tetap mempengaruhi pembuatan film. Dalam bukunya, Marcel Danesi (2010 : 158) mengatakan asal-usul genre yang paling popular saat ini bisa dilacak dari masa awal dan keemasan pembuatan film. Yang termasuk di dalamnya antara lain:

- Drama Kriminal: seperti Little Caesar (1930).

- Fiksi Ilmiah: seperti A Trip to the Moon (1902).

- Animasi : seperti Snow White and the Seven Dwarfs (1937).

- Komedi: seperti It Happened One Night (1934).

- Drama Karakter: seperti Citizen Keane (1941).

- Drama Sejarah: seperti Intolorance (1916).

- Dokumenter: seperti Nanookof the North (1921).

- Film Detektif: seperti The Maltase Falcon (1941).

- Film Suspense: seperti M (1931).

- Film Moster: seperti King Kong (1933).


(38)

- Film Musik: seperti Flying Down to Rio (1933) dan The Wizard of Oz (1939).

- Film Perang: seperti Birth of a Nation (1915) dan Wings (1931).

- Film Aksi-Petualangan: seperti Thief of Baghdad (1921).

- Film Noir: seperti Double Indemnity (1944).

- Western: seperti The Great Train Robbery (1903).

- Roman: seperti The Sheik (1921).

- Melodrama: seperti The Perils of Pauline (1941).

Genre atau aliran dalam kamus besar kesusastraan, berarti gaya atau aliran sastra

(literary genre). Teori genre dalam karya kesusatraan adalah suatu prinsip keteraturan yang tidak didasarkan dari waktu dan tempat, namun berlandaskan tipe struktur dan susunannya. Penilaian ini ditentukan oleh konsepsi kita secara deskriptif maupun normative tentang sebuah karya. Begitu pula dengan genre dalam film (Rikrik El Saptaria 2006: 38).

Menurut English Oxford Learner’s Thesaurus © Oxford University Press, 2008, genre diartikan sebagai "a particular style or type of literature, art, music or film that can be recognized because of its special features”. Jadi genre merupakan suatu gaya atau jenis karya sastra , seni, musik atau film tertentu yang bisa dikenali atau dibedakan karena ciri khasnya (Meyati 2010).

Dalam film sendiri sebuah genre lebih diartikan sebagai bentuk atau jenis identifikasi, katagori, klasifikasi atau sekelompok film yang berulang dan memiliki pola serupa. Genre film juga bersifat langsung akrab dikenali, sintaks, bersifat teknis filmis atau konvensi yang mencangkup satu atau lebih tentang


(39)

pengaturan (dan alat peraga), isi dan materi subyek, tema, suasana hati, plot, pusat narasi peristiwa, motif, gaya, struktur, situasi, icon berulang, dan karakter. Banyak juga jenis film yang dianggap film hybrida karena mengangkat beberapa genre. Film terbagi menjadi tiga sub klasifikasi, yaitu film genre utama (main film genres), film genre kelas dua (film sub-genre), dan film kelas tiga (other major film catagories).

Tabel 1. Tabel Klasifikasi Genre

Main Film Genres FilmSub-Genres Other Major

Film Catagories

Action Films

Biographical Films (or "Biopics")

Animated Films

Adventure Films 'Chick' Flicks

British (UK Films)

Comedy Films Detective & Mystery Films

Childrens - Kids -

Family-Oriented Films

Crime & Gangster Films

Disaster Films Classic Films

Drama Films Fantasy Films Cult Films


(40)

Films

Horror Films Guy Films Serial Films

Musicals (Dance) Films

Melodramas, Women's or "Weeper" Films

Sexual - Erotic Films

Science Fiction Films Road Films Silent Films

War (Anti-War) Films Romance Films

Westerns Sports Films

Supernatural Films

Thriller-Suspense Films

(http://www.filmsite.org/filmgenres.html)

Pada akhir era film diam, banyak genre utama didirikan seperti melodrama, film barat, film horor, komedi, dan film petualangan. Film musikal dimulai dengan era Talkies, dan genre fiksi ilmiah film secara umum tidak populer sampai 1950-an. Satu masalah dengan genre film adalah bahwa genre film bisa menjadi basi, sangat klise, dan mudah ditiru secara berlebihan. Sebuah genre tradisional yang telah ditafsirkan kembali, telah tertantang, atau menjadi sasaran pengawasan dapat disebut revisionis.

E.4. Sadisme Dalam Film

Dalam film-film yang ada sekarang, khususnya film bergenre yang mempunyai unsur kekerasan di dalamnya tak jarang menampilkan kesan unsur


(41)

sadistik sebagai alat untuk menjual film kepada para penonton sebagai hiburan. Tentu saja ada kalangan penonton yang senang melihat hal tersebut dan ada juga yang tidak suka melihat hal tersebut dinilai tak mendidik secara moral, namun semua itu tergantung bagai mana kita melihatnya. Dalam pelaksanaannya sendiri sadisme memiliki hakikat-hakikat sebagai berikut:

a. Sadisme bersumber dari keinginan agar tidak seorangpun mencampuri urusannya dan semua berada di bawah kendali kekuasaannya.

b. Sadisme adalah sejenis upaya menghilangkan penderiaan dengan melakukan berbagai tindakan keji.

c. Sadisme bersumber dari keinginan membalas dendam dan perseteruan yang mengubah seseorang menjadi haus darah,sehingga terdorong melenyapkan rasa haus tersebut.

Sadisme sendiri memiliki arti perolehan kenikmatan karena menyaksikan akibat dari penderita sakit, dan sadisme juga berarti kekejaman, kebuasan, keganasan, kekasaran. Sedangkan sadis sendiri adalah pernyakit karena kelainan kejiwaan, dan juga biasanya mengandung unsur kebiadapan, keberutalan, kebuasan, keberingasan (Valendia 2010). Berikut adalah beberapa faktor yang menyebabkan tumbuhnya sadisme :

a. Kekurangan dan kemiskinan b. Kedisiplinan

c. Perasaan putus asa d. Kelainan jiwa


(42)

Istilah sadisme ini sendiri berawal dari nama seorang bangsawan, yang juga penulis filsafat,yang dalam meraih kepuasan seksual, cenderung menyakiti dan menyiksa wanita pasangannya tanpa belas kasihan, yaitu Donatien Alphonse François Marquis de Sade. Tulisan filsafatnya beraliran kebebasan ekstrim dan tak terikat dengan etika agama atau hukum dengan prinsip utama pengejaran kepuasan personal. Sade ditahan di beberapa penjara dan rumah sakit jiwa selama 29 tahun. Dan selanjutnya kata sadisme berubah makna menjadi penyiksaan gila-gilaan, meraih kepuasan seksual dengan menyakiti, dan seluruh bentuk penyiksaan tubuh, seperti memukul, mencambuk, menggigit, merobek perut, melecehkan secara keji, dan bentuk penyiksaan lainnya dengan berdasarkan untuk mememenuhi hasrat (Valendia 2010).

Karena tindak dasar sadisme menyerang individu lain, tindak sadisme ini juga bisa dimasukkan kedalam tindakan agresi, yang secara umum agresi dapat diartiakan sebagai suatu serangan yang dilakukan organisme terhadap organisme lain atau bahkan pada dirinya sendiri (Tri Dayakisni & Hudaniah, 2009: 231). Ada beberapa faktor yang mengurangi prilaku agresi yang dapat dilihat juga dalam tindakan sadistik; pertama adalah rendahnya kesadaran diri yang dapat mengurangi hambatan (inhibiliton) untuk berprilaku agresi, adanya anonimitas, tingginya arousal emotional, kekaburan tanggung jawab, dan keanggotaan dalam suatu kelompok yang kohesif. Sedangkan yang kedua adalah dehumanisasi, hambatatan untuk tidak menyakiti orang lain menjadi rendah jika seseorang menganggap atau melihat target person dari tindakan agresinya itu bukan sebagai manusia.


(43)

Kembali kepada pemikiran Marquis de Sade tentang sadisme, Erich Fromm dalam bukunya yang berjudul Akar Kekerasan (2001: 405) mengatakan “sadisme merupakan hasrat manusia, dan bahwa kebebasanlah yang menuntut agar manusia memiliki hak untuk melampiaskan hasrat sadistik mereka”. Serta pada halaman lain juga tertulis bahwa seseorang yang termotivasi oleh keinginannya untuk menghancurkan dan bisa menikmati tindakan penghancuran, nyaris tidak bisa lagi berdalih bahwa dia berhak berprilaku destruktif karena itu merupakan keinginannya dan sumber kenikmatan baginya (Fromm 2001: 406).

Berdasarkan hal diatas, sadisme bisa dikatakan tidak hanya berorientasi atas kepuasan hasrat seksual, namun sadisme juga bisa berbentuk non-seksual sehingga tindak sadisme sendiri bisa dikatakan lebih bertekankan pada pemenuhan pemuasan hasrat tersebut. Prilaku sadisme non-seksual, dari yang bertujuan menimbulkan nyeri fisik hingga yang paling ekstrem yaitu menimbulkan kematian, mengambil sasaran makhluk hidup yang tak berdaya, baik manusia maupun binatang. Tawanan perang, budak, orang sakit jiwa, narapidana, etnik minoritas, kesemuanya merupakan sasaran empuk sadisme fisik, termasuk di dalamnya penyiksaan yang paling kejam (Fromm 2001: 408).

Dalam kenyataannya sadisme berbeda dengan kekerasan, perlu diingat sadisme merupakan bentuk atau tindak kekerasan namun tindak kekerasan belum tentu sebuah sadisme. Letak perbedaannya yang paling mendasar adalah latar belakang tindakan tersebut, bila tindak kekerasan berlatar belakang karena ketidak sukaan akan sesuatu, kemarahan dan emosi, tindak sadisme dalam pelaksanaannya dikarenakan pelaku memiliki hasrat, kepuasan dan kesenangan terhadap tindakan


(44)

yang dilakukan, atau adanya kesenangan melihat korban atas tindakannya tersebut, contoh seorang suami memukul istrinya hingga terjerembab di lantai memiliki arti dan kesan yang berbeda dengan seorang suami menjahit bibir istrinya dalam sebuah pertengkaran. Disini terlihat perbedaan level kekerasan antar memukul dengan menjahit bibir sang istri, sehinga menunjukkan jelas bahwa kekerasan dengan level yang lebih besar belum tentu merupakan sebuah tindakan sadistik, tetapi dengan kekerasan yang lebih kecil dapan melakukan tindakan sadistik dalam tindakan kekerasannya. Namun dari hal dan unsur sadisme itulah beberapa film menggunakannya sebagai unsur cerita sebagai variasi dengan macam-macam film yang lainnya, yang menyajikan sajian bagi para penonton yang mungkin telah jenuh dengan jenis film tertentu sebagai hiburannya. Karena tindak kekerasan dan sadisme memiliki dampak yang sangat krusial dan mengancam kehidupan individual maupun sosial, pemerintah Indonesia membuat undang-undang perfilman dan juga badan sensor yang mengurus dan menyaring unsur-unsur tersebut pada masyarakat.

Ancaman sanksi pidana yang dicantumkan dalam UU itu cukup berat. Seperti pada Pasal 65, yang menyangkut penyiaran (baik berupa berita, iklan, maupun film) atas hal-hal yang bersifat sadisme dan pornografi. Dalam pasal itu dinyatakan: Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan hal-hal yang bersifat sadisme, pornografi, dan atau bersifat perjudian, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Ayat (7), dipidana penjara paling lama tiga tahun dan atau denda paling banyak Rp 300 juta (Royal Media 2009).


(45)

Pemerintah sendiri sadar akan dampak yang diberikan pada media termasuk film yang mengandung unsur sadisme dan kekerasan terhadap masyarakat. Katagorisasi film tidak berkerja dengan baik karena masyarakat sendiri cenderung tidak peduli terhadap efek yang diberikan atau mungkin masyarakat kurang mengerti atas efek yang diterima dari tayangan yang memiliki unsur tersebut sehingga pemerintah terpaksa harus mensensor film dan membuat undang-undang untuk melindungi masyarakat, walaupun pada akhirnya film lah yang menjadi korban atas tindakan perlindungan ini.

E.5. Noir Sebagai Sebuah Genre Film

Genre noir mampu berubah menjadi sebuah genre yang berdiri sendiri terlepas dari genre triller yang membayangi. Istilah noir sendiri muncul pertama kali digunakan oleh kritikus asal Perancis untuk mengistilahkan film-film kriminal-detektif produksi Amerika yang membanjiri bioskop-bioskop Perancis selepas Perang Dunia Kedua. Dalam perkembangannya film noir kerap kali diperdebatkan antara sebuah genre ataukah gaya (Himawan 2010), Noir sendiri adalah anakan dari film bergenre horror triller misteri karena berbasic sama mengusung unsur umum film mencekam, namun karena film noir memiliki gaya pengambilan dan unsur yang khas didalamnya, genre noir lepas dan menjadi sebuah genre sendiri dan berkembang, namun karena noir merupakan anakan dari genre triller menjadikan noir sebagai genre kelas dua (sub-genre). Dalam film bergenre noir terdapat unsur pengambilan gambar yang mayoritas bernuasa gelap, menggunakan gambar siluet dalam adegannya untuk membangun mood cerita, dan terdapat unsur kekerasan, politik dan cinta di dalamnya.


(46)

Awal kemunculan film noir pertama dianggap oleh beberapa kalangan adalah film kelas dua, Stranger on The Third Floor (1940) arahan Boris Ingster. Namun adalah The Maltese Falcon (1941) arahan John Huston yang secara tema dan estetik dianggap secara utuh memakai semua elemen film noir. Film noir banyak dipengaruhi oleh sutradara-sutradara asal Jerman yang berimigrasi ke Amerika yang lalu menjadi motor penggerak film noir, disisi lain juga film noir juga dipengaruhi dan berkembang pesat akibat ramainya novel-novel kriminal detektif yang muncul pada saat itu, seperti yang tertulis pada buku

Film, Form, and Culture (Robert Kolker 2002: 186), mengatakan Three main currents fed into the development of Noir: German Expresionism, the hard-boiled detective fiction of thirties, and the cultural turmoil of World War II. Secara tematis noir adalah about the swampy dark place in the soul where crime ferments. It's about what people want, how badly they want it and how far they'll go to get it.

E.5.1. Karakteristik Film Noir

Sesuai dengan maknanya, gelap atau suram, film noir menggunakan tema serta aspek estetik yang mendukung mood tersebut. Mood film noir terbentuk dari rasa melankolis, keterasingan, kesuraman, kekecewaan, pesimisme, ambiguitas, kerusakan moral, kejahatan, rasa bersalah, putus asa, dan paranoid, serta aspek sisi gelap manusia lainnya. Tema umumnya tidak lepas dari misteri dan teka-teki. Alur cerita biasanya kompleks serta membingungkan (Himawan 2010). Cerita bisa berubah arah kapan saja tanpa bisa kita tebak. Film noir umumnya tidak lepas dari tindak kriminal, seperti pembunuhan, korupsi, pemerasan, serta pula upaya


(47)

penyelidikan dari pihak tertentu, seperti polisi, detektif, petugas asuransi, veteran dan lainnya. Karakter pria pada umumnya sinis, keras, obsesif serta delusionis. Sementara karakter wanita (diistilahkan: femme fatale) umumnya berpenampilan menarik, berambut pirang, manipulatif, bermuka dua, serta misterius. Kisah umumnya berakhir non happy ending, serta terkadang tidak jelas (ambigu). Film noir juga kerap kali menggunakan narasi untuk menuntun alur cerita serta sering menggunakan kilas balik (Himawan 2010).

Film noir secara teknis lebih banyak menggunakan unsur setting di dalamnya, tata cahaya dan senimatografi dalam membangun mood suramnya. Biasanya film noir berseting pada kota-kota besar dan seting dominan adalah malam hari. Baik setting eksterior maupun interior menggunakan tata cahaya temaram yang kontras antara gelap-terang (low-key lighting). Penggunaan efek bayangan tampak begitu dominan. Setting eksterior yang menjadi ciri khas film

noir adalah gang-gang gelap, jalanan (aspal) yang licin dan basah lengkap dengan cahaya neon yang berkedip-kedip. Sementara setting interior umumnya mengambil lokasi di kamar hotel, kantor, bar, apartemen, atau gudang. Setting interior kerap kali dipenuhi asap rokok yang tebal. Unsur sinematografi diwakili oleh penggunaan teknik deep-focus (fokus yang tajam pada foreground maupun background), sudut kamera high-angle dan low-angle, serta komposisi yang tidak seimbang (Himawan 2010).

E.5.2. Perbedaan Film Noir dan Thriller

Secara sekilas film thriller dan film noir adalah sama, sangat susah untuk membedakan kedua jenis film tersebut, tapi ingat film noir adalah anakan dari


(48)

film thriller yang menjadikannya genre yang berdiri sendiri menjadi sub-genre atau film kelas dua, jadi sangat wajar apa bila banyak kesamaan dalam kedua jenis film ini. Thriller dalam bahasa Inggris adalah sebuah tipe literatur, film dan televisi yang memiliki banyak sub-tipe di dalamnya. Kata tersebut berasal dari kata bahasa Inggris yang dapat diartikan secara bebas sebagai "petualangan yang mendebarkan". Tipe alur ceritanya biasanya berupa para jagoan yang berpacu dengan waktu, penuh aksi menantang, dan mendapatkan berbagai bantuan yang kebetulan sangat dibutuhkan yang harus menggagalkan rencana-rencana kejam para penjahat yang lebih kuat dan lebih lengkap persenjataannya (Pertanyaan 2012). Sedangkan seperti yang telah tertulis pada karakteristik film noir diatas, mood film noir terbentuk dari rasa melankolis, keterasingan, kesuraman, kekecewaan, pesimisme, ambiguitas, kerusakan moral, kejahatan, rasa bersalah, putus asa, dan paranoid, serta aspek sisi gelap manusia lainnya. Tema umumnya tidak lepas dari misteri dan teka-teki. Alur cerita biasanya kompleks serta membingungkan.

Dari hal tersebut sangat jelas perbedaan antara film noir dan thriller, dari secara alur dan tema, namun perbedaan noir dan thriller juga bisa kita lihat dari beberapa hal berikut:

a. Setting (tempat)

Thriller seringkali mengambil tempat (dalam seluruh atau sebagian cerita) di lokasi-lokasi eksotis seperti kota-kota di luar negeri, gurun, kutub bumi atau di tengah-tengah lautan (pertanyaan 2012). Sedangkan setting eksterior yang menjadi ciri khas film noir adalah gang-gang gelap,


(49)

jalanan (aspal) yang licin dan basah lengkap dengan cahaya neon yang berkedip-kedip. Sementara setting interior umumnya mengambil lokasi di kamar hotel, kantor, bar, apartemen, atau gudang seperti yang telah dipaparkan pada karakteristik film noir diatas.

b. Tokoh

Para jagoan dalam cerita ini biasanya adalah orang-orang berwatak keras yang terbiasa menghadapi bahaya: para petugas penegak hukum, mata-mata, tentara, pelaut atau pilot/penerbang. Namun kadang-kadang para jagoan ini adalah juga orang biasa yang terbawa pada bahaya secara tidak sengaja. Walau para jagoan ini biasanya adalah pria, jagoan-jagoan wanita menjadi semakin lumrah belakangan ini (Pertanyaan 2012). Sedangkan seperti yang ditulis oleh Tim Dirks dalam websitenya (Filmsite 2012), “Very often, a film noir story was developed around a cynical, hard-hearted, disillusioned male character who encountered a beautiful but promiscuous, amoral, double-dealing and seductive femme fatale”, yang mengatakan seringkali dalam film noir karakter yang dikembangkan diseputar karakter pria yang bersifat sinis, keras hati, laki-laki kecewa yang ditemui oleh wanita cantik, amoral, bermuka dua dan femme fatale yang menggoda. Sementara karakter wanita (diistilahkan: femme fatale) umumnya berpenampilan menarik, berambut pirang, manipulatif, bermuka dua, serta misterius seperti yang telah dijelaskan pada karakteristik film


(50)

c. Ending (penutup/akhir cerita)

Kalau sebuah cerita misteri berakhir ketika misteri tersebut berhasil dibongkar, sebuah cerita thriller berakhir ketika sang jagoan akhirnya berhasil mengalahkan sang penjahat, menyelamatkan dirinya sendiri dan nyawa orang lain. Dalam thriller yang dipengaruhi oleh film noir dan tragedi, jagoannya seringkali kehilangan nyawa dalam usahanya tersebut (Pertanyaan 2012). Dari pernyataan tersebut sangat jelas perbedaan atara film thriller dan flm noir, karena pernyataan tersebut menjelaskan perbedaan ending antara film thriller dan film noir serta bagaimana bila film thriller tersebut mengadaptasi unsur dari film noir itu sendiri.

Saat ini hal pembeda atara jenis film yang satu dengan yang lainnya semakin buram, karena banyaknya jenis film tertentu mengaadaptasi unsur film lain membuat film thriller sendiri seperti jenis film sci-fi, atau jenis film lainnya seperti yang ditulis dalam wibesite pertanyaan.com (Pertanyaan 2012), “Belakangan ini, ketika thriller semakin banyak dipengaruhi oleh tampilan-tampilan horor dan horor-psikologis dalam budaya pop, sebuah elemen yang menakutkan atau menjijikkan telah menjadi hal yang wajar untuk meningkatkan ketegangan. "Monster" ini bisa berbentuk apa saja, mulai dari seorang yang lemah secara fisik tapi menjadi kuat karena intelektualnya (Saw), sebuah kekuatan supernatural (Dracula, The Amityville Horror, The Ring), makhluk luar angkasa (The End of The World, Independence Day), pembunuh berantai (Halloween, Friday the 13th, The Texas Chainsaw Massacre, Psycho), atau bahkan mikroba


(51)

atau zat-zat kimia (Cabin Fever, 28 Days Later)”. Dimana pengaruh-pengaruh tersebut semakin mengsuramkan pembeda antar jenis film tersebut.

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian disini adalah pendekatan deskriptif kuantitatif yang bersifat statistik. Metode kuantitatif adalah penelitian ilmu dan seni yang berkaitan dengan tata cara (metode) pengumpulan data, analisis data, dan interpretasi hasil analisis untuk mendapatkan informasi guna penarikan kesimpulan dan pengambilan keputusan. Analisis isi menurut Krippendorff (1991: 15), analisis isi adalah suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicable) dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. F.1. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian disini adalah penggalan seluruh scene dalam film Sweeney Todd – The Demon Barber of Fleet Street, dengan durasi film 1 jam 57 menit yang menggambarkan tindak kekerasan sadistik atau tindak yang manggambarkan unsur sadisme dalam film

F.2. Unit Analisis

Unit analisis yang digunakan adalah shot dimana setiap shot yang akan diambil dan kemudian dimasukkan kedalam kategori yang telah ditentukan. Hal ini berarti peneliti menggunakan unit analisis shot untuk membatasi isi penelitian yang telah jelas dalam pengkatagorian. Shot yang menjadi unit analisis disini adalah shot-shot yang mengandung unsur sadisme didalamnya.


(52)

F.3. Satuan Ukur

Satuan ukur yang dipakai dalam penelitian ini adalah frekuensi kemunculan shot yang mengandung unsur sadisme pada scene dalam film

Sweeney Todd – The Demon Barber of Fleet Street. F.4. Struktur Katagori

Dalam penelitian kuantitatif yang menggunakan analisis isi dalam metodenya, katagorisasi merupakan salah satu hal yang penting dalam memperoleh validitas akan data yang diteliti, oleh karena itu peneliti membatasi scene-scene dalam film yang akan diteliti dengan katagorisasi untuk memperoleh hasil data yang maksimal. Adapun katagorisasi dalam aspek sadisme adalah:

a. Sadisme bersifat fisik

Sadisme bersifat fisik merupakan sadisme yang dalam melakukan kekerasan dan penganiyayaan terhadap korban melakukan kontak langsung dengan dengan fisik, dengan tujuan kepuasan, kesenangan, rasa lega, bahkan dendam pada korban, biasanya tindakan yang dilakukan dalam film ini berupa memukul, menyayat, menggiling, memotong, membakar, menjatuhkan.

1. Memukul

Disini memukul diartikan memiliki suatu unsur sadisme ketika memukul korban manusia dengan benda-benda tumpul seperti teko yang berisi air mendidih, palu, tongkat kayu secara berkali-kali terus menerus tanpa jeda pada bagian krusial tubuh manusia seperti kepala,


(53)

punggung, kaki, telapak tangan hingga mengakibatkan dampak kerusakan luka yang parah.

2. Menyayat

Dalam film ini sayatan yang dimaksud adalah menyayat fisik korban dengan pisau kucur pada bagian leher dengan sekali sayatan yang dalam hingga membuat korbannya mati dalam waktu singkat akibat kehabisan darah dan saluran pernafasan yang terpotong.

3. Memotong

Memotong disi dalam artian mutilasi korban, tubuh korban terpotong potong menjadi beberpa bagian, biasanya untuk memudahkan pelaku dalam melakukan sesuatu terhadap tubuh korban.

4. Menggiling

Tubuh korban digiling dengan alat penggilingan manual besar yang terbuat dari besi setelah dipotong menjadi beberapa bagian, menjadikan daging daging tersebut halus menjadi satu dan ditempatkan dalam satu wadah.

5. Menjatuhkan

Korban dijatuhkan dengan ketinggian melebihi tiga meter seperti dari lantai dua sebuah rumah menuju ruang bawah tanah hingga menyebabkan kerusakan pada bagian tubuh seperti pecahnya tengkorak kepala, patahnya leher atau tangan akiban berbenturan dengan benda keras yang menjadi alas jatuh korban seperti lantai batu, lantai semen, atau sebuah batu.


(54)

6. Membakar

Disini membakar berarti korban dibakar hidup-hidup, dijatuhkan langsung dalam api yang ada pada oven tradisional besar untuk memanggang sebuah pai, lalu dikunci dari luar dan dibiarkan tewas terbakar.

7. Menusuk

Menusuk disini dikatakan menusuk dalam katagori sadis apabila tindak penusukan dilakukan berkali kali pada tubuh korban hingga mengakibatkan kerusakan luka pada tubuh korban yang cukup parah. Seperti menusuk pada bagian leher berkali kali, atau menusuk berkali kali pada tubuh korban di tempat yang berbeda.

b. Sadisme bersifat psikis

Sadisme bersifat psikis ialah suatu siksaan psikologis dengan membuat suatu kondisi, yang dimana kondisi tersebut mengakibatkan rasa traumatik, hilangnya akal sehat, dan penderitaan yang berkepanjangan dengan tujuan tertentu dan memperoleh kepuasan. Seperti dlam film ini yang ada dalam film ini:

1. Pengurungan

Pengurungan bisa menjadi suatu tindakan sadisme psikis, karena dengan pengurungan seseorang dibatasi gerakannya dalam suatu ruangan tertentu dan tidak diperbolehkan bersosialisasi dengan seseorang secara bebas, ataupun bersosialisasi dengan dunia luar. Sedangkan manusia sendiri merupakan makhluk sosial yang tidak bisa


(55)

hidup sendiri. Contoh kegiatan tindakan ini adalah seperti pemasungan, atau pengurungan seseorang di dalam rumah dan tidak diperbolehkan untuk keluar rumah sekalipun.

2. Pemisahan Paksa

Pemisahan disini berarti proses dipisahkannya dua orang individu yang memiliki suatu ikatan yang kuat secara kejiwaan, baik antara yang satu dengan yang lain, atau seorang individu, dengan kelompok, ataupun dengan keluarga, secara paksa. Karena ikatan yang kuat dan perlakuan paksaan itulah korban dari tindakan ini bisa menjadi sangat terpukul jiwanya, menyebabkan kesepian yang teramat sangat, dan kesedihan yang sangat mendalam, menjadikannya siksaan kejiwaan yang berpengaruh besar pada psikologis seseorang. Contohnya seperti pemisahan paksa antar seseorang dengan istri anak bayinya, pemisahan anak dengan kedua orang tuanya.

3. Berbohong

Berbohong bisa diartikan berkata tidak sesuai dengan realita sebenarnya, dan tindakan berbohong ini bisa dikatakan sebagai tindakan sadisme apabila tindak pembohongan tersebut dilakukan pada tingkat yang sangat krusial dan hal yang dibohongi sangat penting sangat penting terhadap korban secara ikatan dan kejiwaan. Seperti contoh seorang wanita yang melahirkan dikatakan bahwa bayinya meninggal saat proses berlangsung, namun hatinya menolak pernyataan itu. Beberapa tahun berselang ia beru mengetahui


(56)

kenyataan bahwa bayinya diserahkan pada pantai asuhan karena sang ayah si wanita tidak merestui kelahiran anak diluar pernikahan, dan memilih bohong demi menjaga karier sang anak, bayangkan sang wanita yang terus menolak perkataan bahwa anaknya telah meninggal selama ini hingga ia mendengar kenyataan sesungguhnya dan ia tak mengetahui diamana anaknya sekarang. Dari contoh diatas bisa kita lihat bahwa tindak berbohong bisa muncul sebagai tindak sadisme pada tingkatan tertentu karena ketika berbohong yang terkena dampaknya adalah jiwa manusia.

F.5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam tehnik pengumpulan data peneliti menggunakan dua cara, yaitu: 1. Pengamatan

Peneliti mengamati film yang akan diteliti yaitu film Sweeney Todd, dan kemudian memilih scene dan shot-shot yang yang terdapat unsur sadisme didalamnnya guna mempermudah dalam melakukan penelitian.

2. Dokumentasi

Peneliti mendokumentasikan scene-scene atau shot-shot yang dinilai mengandung unsur sadis dengan cara mengcapture scene tersebut dalam bentuk jpg dan lalu diteliti kembali. Peneliti juga menggunakan data-data dari luar berupa jurnal, buku, data dari internet, maupun bentuk tulisan lainnya guna sebagai data pendukung penelitian.

Peneliti membuat lembaran coding yang akan diisi oleh coder guna mempermudah pengkatagorian pada objek yang akan diteliti. Coder adalah orang


(57)

yang diminta memberi penilaian dan mengisi lembar coding pada gatagorisasi yang dibuat peneliti, dalam penelitian ini diperlukan minmal dua orang coder, dan coder itu sendiri adalah orang yang mengerti tentang audio-visual dan dapat memahami isi film yang menjadi bahan penelitian. Berikut adalah contoh tabel pada lembar coding yang akan diberikan peneliti:

Tabel 2. Contoh Tabel Lembar Coding

Shot

Sadisme

Fisik Psikis

K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10

Total

Keterangan : K1 = Memukul K2 = Menyayat K3 = Memotong K4 = Menggiling K5 = Menjatuhkan K6 = Membakar K7 = Menusuk K8 = Pengurungan K9 = Pemisahan Paksa K10 = Berbohong


(58)

F.6. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dimulai dari data-data yang terkumpul, kemudian data dari lembaran coding tersebut dimasukkan ke dalam tabel distribusi frekuensi untuk memperjelas dan mengetahui frekuensi kemunculan dari tiap-tiap katagorisasi pada film yang diteliti. Kemudian setelah data dari lembar coding diisi peneliti melakukan perhitungan tingkat frekuensi yang muncul dari katagori-katagori tersebut.

F.7. Uji Reliaabilitas

Selain valid analisis isi juga harus bersifat reliabilitas, oleh karena itu perlu adanya diadakan perhitungan reliabilitas. Perhitungan tersebut perlu adanya terlebih dahulu dihitung nilai kesepakatan (percentage of agreement) dengan formula Holsti (1969) :

��=

+

Keterangan:

CR = Reliablitas antar coder (Coefficient Reliability)

M = Jumlah pernyataan yang sama

N1 = Jumlah pernyataan yang dibuat oleh koder 1 N2 = Jumlah pernyataan yang dibuat oleh koder 2

Dari hasil realibilitas yang terdapat dengan rumus diatas, lalu hasil kembali diukur dengan rumus Scoot guna memperkuat hasil uji reliabilitas diatas tersebut.


(59)

��=

% � � −% � �

−% � �

Keterangan:

Observed agreement adalah presentase persetujuan yang ditemukan dari pernyataan yang disetujui antar pengkode (yaitu nilai CR).

Expected agreement adalah presentase persetujuan yang diharapkan, yaitu proporsi dari jumlah pesan yang dikuadratkan.

Ambang penerimaan yang sering dipakai untuk uji reabilitas kategorisasi adalah 0,75, yang berarti apabila tingkat kesepakatan 0,75 atau lebih data yang didapat dinyatakan valid atau reliable, dan begitu pula sebaliknya.


(1)

6. Membakar

Disini membakar berarti korban dibakar hidup-hidup, dijatuhkan langsung dalam api yang ada pada oven tradisional besar untuk memanggang sebuah pai, lalu dikunci dari luar dan dibiarkan tewas terbakar.

7. Menusuk

Menusuk disini dikatakan menusuk dalam katagori sadis apabila tindak penusukan dilakukan berkali kali pada tubuh korban hingga mengakibatkan kerusakan luka pada tubuh korban yang cukup parah. Seperti menusuk pada bagian leher berkali kali, atau menusuk berkali kali pada tubuh korban di tempat yang berbeda.

b. Sadisme bersifat psikis

Sadisme bersifat psikis ialah suatu siksaan psikologis dengan membuat suatu kondisi, yang dimana kondisi tersebut mengakibatkan rasa traumatik, hilangnya akal sehat, dan penderitaan yang berkepanjangan dengan tujuan tertentu dan memperoleh kepuasan. Seperti dlam film ini yang ada dalam film ini:

1. Pengurungan

Pengurungan bisa menjadi suatu tindakan sadisme psikis, karena dengan pengurungan seseorang dibatasi gerakannya dalam suatu ruangan tertentu dan tidak diperbolehkan bersosialisasi dengan seseorang secara bebas, ataupun bersosialisasi dengan dunia luar. Sedangkan manusia sendiri merupakan makhluk sosial yang tidak bisa


(2)

hidup sendiri. Contoh kegiatan tindakan ini adalah seperti pemasungan, atau pengurungan seseorang di dalam rumah dan tidak diperbolehkan untuk keluar rumah sekalipun.

2. Pemisahan Paksa

Pemisahan disini berarti proses dipisahkannya dua orang individu yang memiliki suatu ikatan yang kuat secara kejiwaan, baik antara yang satu dengan yang lain, atau seorang individu, dengan kelompok, ataupun dengan keluarga, secara paksa. Karena ikatan yang kuat dan perlakuan paksaan itulah korban dari tindakan ini bisa menjadi sangat terpukul jiwanya, menyebabkan kesepian yang teramat sangat, dan kesedihan yang sangat mendalam, menjadikannya siksaan kejiwaan yang berpengaruh besar pada psikologis seseorang. Contohnya seperti pemisahan paksa antar seseorang dengan istri anak bayinya, pemisahan anak dengan kedua orang tuanya.

3. Berbohong

Berbohong bisa diartikan berkata tidak sesuai dengan realita sebenarnya, dan tindakan berbohong ini bisa dikatakan sebagai tindakan sadisme apabila tindak pembohongan tersebut dilakukan pada tingkat yang sangat krusial dan hal yang dibohongi sangat penting sangat penting terhadap korban secara ikatan dan kejiwaan. Seperti contoh seorang wanita yang melahirkan dikatakan bahwa bayinya meninggal saat proses berlangsung, namun hatinya menolak pernyataan itu. Beberapa tahun berselang ia beru mengetahui


(3)

kenyataan bahwa bayinya diserahkan pada pantai asuhan karena sang ayah si wanita tidak merestui kelahiran anak diluar pernikahan, dan memilih bohong demi menjaga karier sang anak, bayangkan sang wanita yang terus menolak perkataan bahwa anaknya telah meninggal selama ini hingga ia mendengar kenyataan sesungguhnya dan ia tak mengetahui diamana anaknya sekarang. Dari contoh diatas bisa kita lihat bahwa tindak berbohong bisa muncul sebagai tindak sadisme pada tingkatan tertentu karena ketika berbohong yang terkena dampaknya adalah jiwa manusia.

F.5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam tehnik pengumpulan data peneliti menggunakan dua cara, yaitu: 1. Pengamatan

Peneliti mengamati film yang akan diteliti yaitu film Sweeney Todd, dan kemudian memilih scene dan shot-shot yang yang terdapat unsur sadisme didalamnnya guna mempermudah dalam melakukan penelitian.

2. Dokumentasi

Peneliti mendokumentasikan scene-scene atau shot-shot yang dinilai mengandung unsur sadis dengan cara mengcapture scene tersebut dalam bentuk jpg dan lalu diteliti kembali. Peneliti juga menggunakan data-data dari luar berupa jurnal, buku, data dari internet, maupun bentuk tulisan lainnya guna sebagai data pendukung penelitian.

Peneliti membuat lembaran coding yang akan diisi oleh coder guna mempermudah pengkatagorian pada objek yang akan diteliti. Coder adalah orang


(4)

yang diminta memberi penilaian dan mengisi lembar coding pada gatagorisasi yang dibuat peneliti, dalam penelitian ini diperlukan minmal dua orang coder, dan coder itu sendiri adalah orang yang mengerti tentang audio-visual dan dapat memahami isi film yang menjadi bahan penelitian. Berikut adalah contoh tabel pada lembar coding yang akan diberikan peneliti:

Tabel 2. Contoh Tabel Lembar Coding

Shot

Sadisme

Fisik Psikis

K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10

Total

Keterangan : K1 = Memukul K2 = Menyayat K3 = Memotong K4 = Menggiling K5 = Menjatuhkan K6 = Membakar K7 = Menusuk K8 = Pengurungan K9 = Pemisahan Paksa K10 = Berbohong


(5)

F.6. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dimulai dari data-data yang terkumpul, kemudian data dari lembaran coding tersebut dimasukkan ke dalam tabel distribusi frekuensi untuk memperjelas dan mengetahui frekuensi kemunculan dari tiap-tiap katagorisasi pada film yang diteliti. Kemudian setelah data dari lembar coding diisi peneliti melakukan perhitungan tingkat frekuensi yang muncul dari katagori-katagori tersebut.

F.7. Uji Reliaabilitas

Selain valid analisis isi juga harus bersifat reliabilitas, oleh karena itu perlu adanya diadakan perhitungan reliabilitas. Perhitungan tersebut perlu adanya terlebih dahulu dihitung nilai kesepakatan (percentage of agreement) dengan formula Holsti (1969) :

��=

+

Keterangan:

CR = Reliablitas antar coder (Coefficient Reliability) M = Jumlah pernyataan yang sama

N1 = Jumlah pernyataan yang dibuat oleh koder 1 N2 = Jumlah pernyataan yang dibuat oleh koder 2

Dari hasil realibilitas yang terdapat dengan rumus diatas, lalu hasil kembali diukur dengan rumus Scoot guna memperkuat hasil uji reliabilitas diatas tersebut.


(6)

��=

% � � −% � �

−% � �

Keterangan:

Observed agreement adalah presentase persetujuan yang ditemukan dari pernyataan yang disetujui antar pengkode (yaitu nilai CR).

Expected agreement adalah presentase persetujuan yang diharapkan, yaitu proporsi dari jumlah pesan yang dikuadratkan.

Ambang penerimaan yang sering dipakai untuk uji reabilitas kategorisasi adalah 0,75, yang berarti apabila tingkat kesepakatan 0,75 atau lebih data yang didapat dinyatakan valid atau reliable, dan begitu pula sebaliknya.