Pengaruh perubahan institusi terhadap respon pemerintah dan perusahaan, dan kinerja pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam produksi

PENGARUH PERUBAHAN INSTITUSI TERHADAP
RESPON PEMERINTAH DAN PERUSAHAAN, DAN
KINERJA PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN
HUTAN ALAM PRODUKSI

DISERTASI

AGUS DJOKO ISMANTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010

SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
disertasi saya yang berjudul :
PENGARUH PERUBAHAN INSTITUSI TERHADAP RESPON
PEMERINTAH DAN PERUSAHAAN, DAN KINERJA PENGELOLAAN DAN
PEMANFAATAN HUTAN ALAM PRODUKSI
Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan
Komisi Pembimbing, kecuali yang jelas ditunjukkan rujukannya.


Disertasi ini

belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada Program sejenis di perguruan
tinggi lain. Sumber-sumber informasi yang dipergunakan dinyatakan secara jelas dan
dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, September 2010

Agus Djoko Ismanto
NRP. A. 5460140914

PENGARUH PERUBAHAN INSTITUSI TERHADAP
RESPON PEMERINTAH DAN PERUSAHAAN, DAN
KINERJA PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN
HUTAN ALAM PRODUKSI

AGUS DJOKO ISMANTO

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik
atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


Judul

:

PENGARUH PERUBAHAN INSTITUSI TERHADAP
RESPON PEMERINTAH DAN PERUSAHAAN, DAN
KINERJA PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN
HUTAN ALAM PRODUKSI

Nama Mahasiswa

:

AGUS DJOKO ISMANTO

Nomor Pokok

:

A. 5460140914


Menyetujui :
1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA
Ketua

Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA
Anggota

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS
Anggota

Mengetahui :

2. Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi Pertanian,

Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, MA


Tanggal Ujian : 14 Juli 2010

3. Dekan Sekolah Pascasarjana, IPB

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,MS

Tanggal Pengesahan :

Penguji luar komisi pembimbing pada ujian tertutup :
Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MSc, dosen Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor, dan Dr. Ir. Haryanto, MS, dosen pada Program Studi Ilmu Ekonomi
Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penguji luar komisi pembimbing pada ujian terbuka:
Prof. Dr. Ir. Harjanto, MS, dosen Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, dan
Dr. Ir. Hadi Daryanto, DEA, Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan,
Kementrian Kehutanan.

PRAKATA

Disertasi ini disusun sebagai bagian akhir dari proses penyusunan karya

ilmiah yang dimulai dari penelitian, analisa, dan sintesa hasil-hasil penelitian, yang
merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar doktor pada Program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Proses penyelesaian disertasi ini tidak dapat dipisahkan dari peran dan
dukungan yang berharga dari rekan, sahabat dan keluarga, melalui kesempatan ini
saya sampaikan apresiasi dan ucapan terima kasih atas segala sesuatu yang telah
diberikan hingga disertasi ini dapat terselesaikan. Arahan dan bimbingan dari Komisi
Pembimbing, kesabaran dan dukungan yang tanpa reda adalah pembangkit semangat
dan pembuka inspirasi saat tiada asa tersisa. Secara khusus terima kasih dan rasa
hormat saya berikan kepada Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Komisi
Pembimbing, dan Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA dan Dr. Ir. Hariadi
Kartodihardjo, MS sebagai Komisi Pembimbing.
Pengetahuan terus berkembang dan informasi terus bertambah, oleh
karenanya apa yang telah saya tuliskan selalu memiliki ruang untuk penyempurnaan
dan terbuka ruang untuk penelitian lanjutan
Bogor, September 2010
Penulis

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 20 Februari 1960 di Magelang Jawa Tengah,

sebagai anak ke lima dari delapan bersaudara dari Bapak R Soerachmat dan Ibu R
Soelasih. Menyelasikan studi tingkat dasar di SD Negeri Banyudono I – Magelang
tahun 1972, dan melanjutkan ke SMP Negeri I Muntilan sampai dengan tahun 1975,
kemudian melanjutkan ke SMA Negeri I Magelang dan lulus pada tahun 1979.
Jenjang pendidikan tinggi dimulai dengan memasuki IPB pada tahun 1979,
dan Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 1980 hingga meraih gelar Sarjana Kehutanan
bulan Desember 1984. Pada tahun 1989 berkesempatan menerima beasiswa dari The
Ford Foundation untuk melanjutkan studi S2 bidang Development Management dan
meraih Master in Development Management dari Asian Institute of Management di
Manila tahun 1990. Selesai studi S2 berkesempatan untuk menjadi Proffesional
Associate di Institute on Policy and Environment – East West Center di Hawaii pada
tahun 1991. Selanjutnya studi S3 di Sekolah Pascasarjana IPB pada program Studi
Ilmu Ekonomi Pertanian Selesai pada tahun 2010.
Setelah selesai jenjang pendidikan S1 pada 1984, penulis langsung bekerja
sebagai Staf Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan Departemen Kehutanan.
Berbagai jabatan yang telah dijalani selama berkarier di Departemen Kehutanan
antara lain, sebagai Kepala Bagian pada Biro Humas, pada Biro Kerjasama Luar
Negeri, pada Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional IV, pada
Direktorat Penyidikan dan Perlindungan Hutan, pada Pusat Penelitian dan
Pengembangan di Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Selama bekerja telah mendapatkan 3 penghargaan dari Presiden Republik
Indonesia, yaitu Satya Lencana Pembangunan XIII dari Presiden BJ. Habibie sebagai
penghargaan atas prestasi dalam mengembangkan investasi kehutanan. Satya Lencana
Karya Satya X dari Presiden Megawati Sukarno Putri dan Satya Lencana Karya Satya
XX dari Presiden Susilo Bambang Yudoyono.
Menikah dengan Siti Nurhayati Q, SST tahun 1991 dan dikaruniai tiga anak
Harist Adinursanto (1993), Ishadi Adikusumo (1996) dan Chaerani Agustin (1998).

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman

1.

Kontribusi Kehutanan terhadap PDB Tahun 1993-2006 ……………

3

2.


Rerata Produksi per Hektar per Tahun pada Hutan Alam …………

4

3.

Rerata Produksi Kayu Per Perusahaan Tahun 1997-2007 …………...

5

4. Hubungan Keterkaitan Masalah Struktur, Perilaku dan Kinerja ……..

10

5. Hubungan Kualitas Institusi dan Kualitas Kebijakan Ekonomi
dengan Pertumbuhan Ekonomi ……………………………………….

15


6. Kuadran Kebijakan Publik ……………………………………………

47

7. Sumber, Penyebab Langsung dan Penyebab Utama Deforestasi …….

50

8. Ilustrasi Alokasi Faktor Produksi Allocable dan Non-allocable dalam
Proses Produksi Multiproduk ………………………………………

55

9. Produksi Optimal pada Pasar Bersaing Sempurna dan Tak Sempurna

57

10. Kerangka Penelitian “Keterkaitan Struktur, Perilaku dan Kinerja ….

60


11. Kerangka Penelitian Substansi Peraturan ……………………………

61

12. Format Peta Peletakan Kewenangan Urusan Berdasarkan Peraturan
Tertentu ………………………………………………………………

69

13. Format Peta Kuadran Kebijakan ……………………………………..

72

14. Hirarki Organisasi Kehutanan Berdasarkan UU. 41/1999 …………

82

15. Distribusi Posisi Penempatan Kewenangan Berdasarkan Peraturan
Menteri Kehutanan antar tahun 2000-2008 …………………………

91

16. Peta Peletakan Kewenangan Berdasarkan PP. 34/2002 ………………

95

17. Posisi Wewenang Pengurusan, Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan
pada Kuadran Kebijakan …………………………………………
104

18. Jenis Usaha dan Pelaku Usaha di dalam KPHP ……………………… 109
19. Pengaturan Wewenang Perijinan …………………………………….

110

20. Kepentingan Pengelola dan Pengguna atas Kewajiban IUPHHK ……

129

21. Kedudukan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dalam Hirarki
Organisasi Kehutanan ………………………………………………

188

22. Hirarki yang Berlaku di Kehutanan …………………………………

189

23. Adverse Selection pada Perijinan Pemanfaatan Kayu ………………

208

24. Hubungan antara Struktur Tidak Efektif dengan Kapasitas Penegakan

211

25. Keterkaitan Unsur-unsur Penyebab Institusi Tidak Efektif ………….

215

26. Moral Hazard pada Sistem Produksi Kayu di Hutan Alam …………..

226

27. Konsep Berfikir Terkungkung dan Kreatif …………………………..

229

28. Situasi Masalah dan Implikasi Kebijakan Pengelolaan dan
Pemanfaatan Hutan Produksi Alam …………………………………

241

xiv

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
1.1.1 Perubahan Institusi Kehutanan
Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam
perubahan undang-undang no 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan menjadi
Undang-undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Perubahan undang-undang ini
telah diikuti dengan berbagai perubahan peraturan-peraturan di bawahnya seperti
Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Direktur Jenderal dan lain-lain.
Fenomena perubahan ini menarik untuk dikaji guna mengetahui apa yang telah terjadi
baik dalam hal perubahan institusi maupun perilaku dan kinerja para pihak yang
berhubungan dengan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Alam di Indonesia.
Dalam kajian Komite Reformasi Kehutanan dan Perkebunan (Departemen
Kehutanan dan Perkebunan, 1999) masalah pembangunan kehutanan yang dihadapi
pada saat itu sehingga diperlukan perubahan institusi adalah sebagai berikut :
Pertama, kekayaan alam dan potensi hutan baru sebagian kecil yang diketahui
manfaatnya. Sebagian besar jenis flora, fauna dan mikroorganisme serta isi hutan
lainnya masih belum diketahui kedudukan, fungsi dan perannya dalam sistem
kehidupan. Sedangkan disisi lain pemanfaatan hutan produksi telah dilakukan secara
intensif yang berorientasi pada produksi kayu dan telah terjadi kerusakan hutan yang
luas, hal ini menyebabkan resiko hilangnya nilai hutan bagi kesejahteraan masa
depan. Berdasarkan pemahaman atas permasalahan ini, perubahan yang dikehendaki

2

adalah peningkatan kemampuan untuk mendapatkan informasi yang komprehensif
tentang isi hutan, dan perubahan pengelolaan hutan dari yang berorientasi kayu
menjadi pengelolaan hutan yang berbasis sumberdaya serta menekan dampak
kerusakan hutan.

Pemikiran ini telah diadopsi dan diwujudkan dalam Undang-

Undang No. 41 tahun 1999, yang secara khusus dinyatakan pada butir a dan b
mukadimah dan pasal-pasal di dalamnya. Kebutuhan akan informasi yang lengkap
dinyatakan dalam pasal 13 ayat 1, bahwa tujuan inventarisasi adalah untuk
memperoleh data dan informasi tentang sumberdaya, potensi kekayaan alam hutan,
serta lingkungan secara lengkap;
Kedua, pemanfaatan hutan dirasakan belum memenuhi azas keadilan, dimana
masyarakat di dalam dan di sekitar hutan masih hidup dalam keterbelakangan dan
kemiskinan, sementara di pihak lain terdapat kelompok masyarakat yang meningkat
kesejahteraannya

dari

memanfaatkan

hutan.

Perubahan

menghendaki

agar

pemanfaatan hutan berkeadilan, dimana pemberian luas setiap unit HPH harus
dibatasi, pembatasan ini dimaksudkan agar pengelolaan lebih rasional dan mampu
memberikan kesempatan kepada lebih banyak orang untuk berusaha. Disamping itu
kesempatan bekerja dan berusaha melalui berbagai kerjasama antara pemilik HPH
dengan masyarakat dapat dibuka lebih luas. Pemikiran ini telah diadopsi dengan
memperkenalkan pembatasan luas IUPHHK dan mekanisme lelang. Namun demikian
mekanisme lelang yang dibangun oleh pemerintah bukan merupakan mekanisme
pasar bersaing, namun sebuah mekanisme pasar yang terdistorsi antara lain berupa
hambatan teknik yaitu mekanisme yang mendasarkan pada kompetensi teknik, dan
distrosi berupa rekomendasi pemerintah daerah.

3

1.1.2. Perkembangan Kinerja Makro Kehutanan
Berdasarkan data Departemen Kehutanan (2008), kinerja sektor kehutanan secara
makro yang berupa data kontribusi sektor kehutanan terhadap Produk Domestik
Bruto cenderung menurun selama 14 tahun seperti disajikan pada gambar 1.
Kecenderungan penurunan peran ini tidak dapat secara langsung disimpulkan sebagai
penurunan kinerja kehutanan, karena peran yang menurun ini dapat saja terjadi
karena faktor lain seperti peningkatan peran sektor lain yang lebih besar, atau
masuknya industri baru seperti industri teknologi informasi. Untuk mendapatkan
gambaran yang lebih baik, maka pengetahuan tentang perkembangan produktivitas
hutan alam layak untuk diperhatikan.

Grafik 3.1 Kontribusi Kehutanan
Terhadap PDB 1993-2006
2
1.5
1
0.5

20
05

20
03

20
01

19
99

19
97

19
95

19
93

0

Gambar 1. Kontribusi Sektor Kehutanan Terhadap PDB Tahun 1993-2007

4

Secara umum produktivitas hutan cenderung menurun, atau setidaknya tidak lebih
baik dari periode sebelum reformasi. Trend kenaikan yang terjadi sejak periode
setelah 2001 diduga bukan merupakan kinerja pengelolaan hutan, mengingat bahwa
pada tahun 1998 terdapat kondisi tidak normal dan pada tahun 2001 terdapat
kebijakan moratorium penebangan, yang merupakan intervensi oleh pihak ekternal
terhadap unit manajemen.

Grafik 3.1 Rerata Produksi per Ha
Hutan Alam

19
97
19
98
19
99
20
00
20
01
20
02
20
03
20
04
20
05
20
06
20
07

350
300
250
200
150
100
50
0

Gambar 2. Rarata Produksi Kayu per Hektar Pertahun pada Hutan Alam

Sementara itu, Departemen Kehutanan (2007) dan Badan Libang Kehutanan
(2007) menunjukkan bahwa laju deforestasi rata-rata tahunan pada periode tahun
1995-2005 seperti pada Tabel 1

5

Tabel 1. Laju Deforestasi tahun 1995-1997, 1998-2000 dan 2000-2005
Periode
19982000
2.830.0

19951997
1.870.0

Laju Deforestasi /tahun (Ha)
00

00

20002005
1.089.0
00

Data laju deforestasi yang menunjukkan angka positif mengindikasikan bahwa
luas kerusakan hutan setiap tahun lebih besar daripada kemampuan merehabilitasi
hutan. Data ini juga menunjukkan bahwa keadaan hutan di Indonesia semakin banyak
yang mengalami kerusakan.
Produktivitas setiap unit manajemen hutan alam dapat diperhatikan dari gambar 3.
Rata-rata perusahaan memproduksi lebih sedikit kayu pada periode setelah reformasi.
Penurunan ini dapat terjadi karena jatah tebang rata-rata perusahaan lebih kecil dan
dimungkinkan pula bahwa

produksi per hektar per perusahaan mengalami

penurunan. Gambaran tersebut di atas menunjukkan bahwa kinerja sektor kehutanan
sebelum reformasi dan sesudah reformasi tidak mengalami perubahan.

6

Grafik 3.3. Produksi Kayu Rerata
Perusahaan

19
97
19
98
19
99
20
00
20
01
20
02
20
03
20
04
20
05
20
06
20
07

40000
35000
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0

Gambar 3. Rerata Produksi Kayu Per Perusahaan Tahun 1997-2007
1.1.3. Kebijakan Pasar dan Teknologi
Kondisi hutan yang semakin memburuk telah direspon oleh pemerintah melalui
kebijakan-kebijakan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pasar (market shocks)
dan melalui kebijakan-kebijakan di bidang teknologi. Dengan asumsi bahwa
pengusaha HPH tidak memiliki insentif untuk mengelola hutan dengan baik sebagai
akibat tidak adanya pasar kayu bulat yang bersaing, maka IMF menganjurkan agar
Indonesia membuka ekspor kayu bulat. Pembukaan pasar ekspor ini dilakukan pada
tahun 2000, namun setelah berlangsung kurang lebih satu tahun pasar ekspor ini
ditutup kembali karena pada saat yang bersamaan aktivitas illegal logging dan ekspor
kayu illegal berkembang pesat.
Pemerintah juga mempercayai bahwa kerusakan hutan terjadi akibat dari jumlah
permintaan melampaui batas kemampuan pasokan kayu yang dapat disediakan oleh
hutan secara lestari. Untuk menurunkan permintaan kayu bulat, pemerintah

7

mengambil kebijakan restrukturisasi industri, diantara tujuan yang diinginkan adalah
menurunkan kapasitas terpasang industri primer. Tidak berhasil menurunkan
permintaan melalui restrukturisasi Industri, pemerintah kemudian menempuh
kebijakan softlanding, yaitu melakukan intervensi di sisi penawaran

dengan

menurunkan secara tajam quota produksi kayu perusahaan HPH atau IUPHHK.
Upaya mempengaruhi pasar juga dilakukan dengan standarisasi dan sertifikasi,
pada waktu terjadi kampanye anti kayu tropis yang dimulai di Amerika Serikat,
Indonesia bersama-sama dengan negara-negara anggota ITTO menetapkan target
tahun 2000 yaitu bahwa hanya perusahaan yang telah mengelola hutan secara lestari
yang diijinkan berproduksi, target ini tidak pernah tercapai hingga saat ini. Berbagai
skema sertifikasi, mulai dari sertifikasi model Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI),
hingga kepada model-model sertifikasi yang bersifat sukarela maupun wajib telah
diberlakukan oleh pemerintah.
Intervensi pemerintah melalui goyangan pasar (market shocks) tidak mampu
menghentikan penebangan hutan, bahkan pada kenyataannya ketika kebijakan itu
dijalankan berkembang secara luas praktek illegal logging dan perdagangan illegal
kayu bulat di pasar domestik maupun pasar internasional. Secara keseluruhan laju
kerusakan hutan masih positif yang menunjukkan bahwa keseimbangan antara
penebangan dan pembangunan hutan belum terwujud.
Pemerintah juga melakukan intervensi dalam bentuk kebijakan teknologi
pengelolaan hutan. Sistem silvikultur telah mengalami berbagai perubahan dimulai
dari sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI), yang kemudian beralih menjadi Tebang
Pilih dan Tanam Indonesia (TPTI), berkembang pula Tebang Pilih Tanam Jalur

8

(TPTJ), kemudian Silvikultur Intensif (SILIN), Sistem Pembalakan Ramah
Lingkungan (RIL, reduced impact logging), dan kebijakan-kebijakan teknik lainnya.
Faktanya bahwa laju kerusakan hutan masih tetap positif.

1.1.4. Operasi Pengamanan Hutan
Upaya untuk mencegah kerusakan hutan juga telah ditempuh melalui berbagai
operasi pengamanan hutan. Kegiatan pengamanan hutan dilakukan secara rutin oleh
jajaran polisi kehutanan di Dinas-Dinas Kehutanan seluruh Indonesia, merupakan
tugas rutin yang wewenangnya telah lama di desentralisasikan. Lalu lintas kayu hasil
tebangan telah diatur dengan keharusan membawa dokumen Surat Angkutan Kayu
Bulat (SAKB) yang kemudian diubah menjadi Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan
(SKSHH), sebabagi upaya mencegah peredaran kayu illegal, namun instrumen ini
tidak berhasil mencapai tujuannya.
Di luar kegiatan rutin tersebut, juga dilakukan operasi-operasi yang melibatkan
instansi pemerintah lainnya, pembentukan Tim Koordinasi Pengamanan Hutan
(TKPH) yang beranggotakan aparat Kajaksaan, Polisi, hingga organisasi militer.
Dalam perkembangannya tim ini diubah menjadi Tim Pengamanan Hutan Terpadu
(TPHT). Tidak berhasil dengan pengorganisasian melalui tim, pemerintah
menjalankan operasi-operasi pengamanan antara lain Operasi Wana Lestari, Operasi
Wana Bahari, Operasi Wana Laga, dan lain sebagainya.
Berbagai operasi-operasi tersebut tidak dapat menghentikan aktivitas yang
merusak hutan, hal ini mendorong Presiden Republik Indonesia menerbitkan Instruksi
Presiden yang memerintahkan kepada 18 instansti pemerintah pusat dan Gubernur

9

seluruh Indonesia di bawah koordinasi Menteri Koordinasi Politik, Hukum dan
Keamanan untuk memberantas praktek illegal logging. Departemen Kehutanan
menempatkan program pemberantasan illegal logging sebagai salah satu program
prioritasnya.

1.2. Rumusan Masalah
Pada latar belakang tersebut diatas dijelaskan bahwa reformasi institusional belum
mampu meningkatkan kinerja sektor kehutanan secara umum, dan secara khusus
belum mampu mencapai tujuan pengelolaan hutan, tetapi yang terjadi laju kerusakan
hutan pertahun masih positif pada angka di atas 1.000.000 Ha pertahun. Kebijakankebijakan untuk merestrukturisasi pasar dan induksi teknologi pengelolaan hutan
telah dilakukan, serta operasi penegakan hukum telah ditangani lansung oleh Presiden
Republik Indonesia namun tidak menunjukkan hasil yang memuaskan dalam
mencapai pengelolaan hutan lestari. Sangat mungkin bahwa kebijakan pemerintah
dibuat dalam rangka menjawab permasalahan yang diformulasikan secara salah.
Dunn (1996) mengangkat isu “kesalahan ketiga” yang diambil dari pemikiran
Howard Raiffa (1968), di dalam Nugroho (2008), yaitu : ‘kesalahan karena
memecahkan masalah yang salah karena salah memformulasikan masalah’.
Pernyataan ini menekankan bahwa sangat penting untuk merumuskan masalah
dengan tepat agar diperoleh jawaban yang tepat pula. Memperhatikan kegagalan
pemerintah dalam melakukan intervensi pasar dan induksi teknologi, serta penegakan
hukum maka menjadi penting untuk memperhatikan aspek institusi yang merupakan

10

perangkat yang mengatur hubungan-hubungan para pihak dalam melaksanakan
praktek-praktek yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dimungkinkan adanya berbagai masalah
ditingkat peraturan, perilaku atau ditingkat kinerja yang memerlukan penelitian,
hubungan-hubungan antar masalah digambarkan pada Gambar 4. Oleh karenanya
berdasarkan kepada latarbelakang, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut :
“Mengapa perubahan peraturan pengelolaan hutan alam produksi tidak mampu
menghasilkan kinerja pengelolaan hutan pemanfaatan yang baik, apakah respon
pemerintah dan perusahaan bermasalah,

dan masalah institusional apa yang

KINERJA
SEKTOR
KEHUTANAN

Perubahan Institusional
Tahun 1999
UU No.
41 /99

PP

Permen
Permen

PP

PERILAKU

Permen
Permen

KINERJA
PENGELOLAAN
DAN
PEMANFAATAN
HUTAN

terjadi pada kurun waktu antara tahun 1999 sampai dengan 2007 ?”.
Gambar 4. Hubungan Keterkaitan Masalah Struktur, Perilaku dan Kinerja

1.3. Tujuan Penelitian

11

Sebagaimana telah dikemukanan diatas bahwa diduga telah terjadi kesalahan
perumusan masalah dalam mengurus hutan di Indonesia sehingga perubahan
peraturan, intervensi pasar, induksi teknologi dan penegakan hukum belum mampu
memperbaiki kinerja pengelolaan dan pemanfaatan hutan, oleh sebab itu penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Mengkaji perubahan institusi di bidang pengelolaan dan pemanfaatan hutan
alam produksi;
2. Mengkaji respon pemerintah dan perusahaan, dan kinerja pengelolaan dan
pemanfaatan hutan hutan alam produksi, dan
3. Mengkaji dan merumuskan masalah institusi yang mendasar yang terkait
dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam produksi.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam konteks ini institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan dibatasi pada
peraturan-peraturan yang terkait dan penegakan atas aturan-aturan yang diberlakukan
sejak tahun 1999 yang terkait secara langsung dengan pengelolaan dan pemanfaatan
hutan alam produksi. Adapun wewenang dalam penelitian ini adalah kewenangan
tentang pengelolaan hutan (forest management), wewenang yang dibahas dalam hal
ini bukan wewenang yang dimaksudkan dalam Undang-Undang no. 32 tahun 2004
dan perubahannya termasuk Undang-Undang no. 112 Tahun 2008.
Pengelolaan hutan dibatasi pada pengelolaan hutan tingkat unit manajemen,
sedangkan pemanfaatan hutan berupa hasil hutan kayu melalui mekanisme IUPHHK
yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan

12

Peraturan-peraturan yang digunakan dalam analisa ini dibatasi pada peraturan
yang diterbitkan pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2007 yang berkaitan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan kayu di hutan alam produksi, dan jika diperlukan
peraturan yang terbit susudahnya dimanfaatkan sebagai bahan pembahasan.
Penegakan aturan difokuskan pada penegakan aturan administrasi yang menjadi
wewenang Menteri Kehutanan, sedangkan penegakan hukum pidana digunakan
sebagai bahan pembahasan apabila terdapat keterkaitan dengan subyek tertentu.
Kinerja dalam penelitian ini adalah kinerja pengelolaan hutan, oleh sebab itu tidak
melibatkan analisa atas kinerja sektor kehutanan.

1.5. Manfaat yang Diharapkan
Dengan mengetahui arah perubahan instusi yang dilakukan oleh pemerintah,
perilaku perusahaan atas peraturan dan masalah institusi yang sedang dihadapi, maka
diharapkan dapat memberikan arahan guna membantu merumuskan pilihan-pilihan
kebijakan publik dalam bidang pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam produksi.
Disamping itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi pembuka
pandangan untuk melakukan penelitian-penelitian selanjutnya yang diperlukan untuk
menjawab masalah institusi ini.

1.6. Keterbatasan Penelitian

13

Penelitian ini memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam beberapa hal sebagai
berikut :
1. Penelitian tidak dimaksudkan untuk mempelajari hubungan antara kinerja
tingkat mikro (IUPHHK) dengan kinerja makro (sektor kehutanan);
2. Tidak secara khusus mempelajari kinerja UU Kehutanan dalam mencapai
tujuan baru pengelolaan hutan yaitu menghasilkan hutan berkualitas tinggi dan
lestari, dan optimalisasi aneka manfaat hutan dan distribusi manfaat yang
berkeadilan;
3.

Tidak mempelajari secara langsung latarbelakang, motivasi dan kendala yang
dihadapi pembuat peraturan (regulator) dalam menghasilkan institusi yang
efisien;

4.

Kesenjangan waktu (lag) yang terjadi antara pemberlakuan kebijakan dengan
terjadinya dampak dari kebijakan tidak secara khusus dijadikan pertimbangan
dalam penelitian ini;

5.

Penelitian lebih memfokuskan pada tataran konsep, sehingga aspek-aspek
tentang biaya dan manfaat yang timbul akibat perubahan kebijakan tidak
menjadi bagian dari penelitian ini;

6.

Tidak dikaitkannya penelitian ini dengan aturan main yang berkaitan dengan
kewenangan pemerintah daerah dalam bidang kehutanan, menyebabkan
gambaran tentang permasalahan yang dihadapi menjadi relatif lebih sederhana
dibandingkan dengan kondisi aktual di lapangan, mengingat bahwa aturan
main tentang desentralisasi juga mempunyai implikasi pada kompleksitas
permasalahan; dan

14

7. Data contoh 40 perusahaan yang digunakan merupakan data yang tersedia di
Departemen

Kehutanan

pada

periode

tahun

2008-2009,

sehingga

memungkinkan adanya bias terutama terhadap ijin-ijin yang diberikan dalam
ukuran luasan yang kecil.

II. STUDI PUSTAKA DAN KERANGKA PENELITIAN

2.1. Peran Institusi dalam Ekonomi
Van den Berg (2001), mengemukakan bahwa alasan mengapa institusi diperlukan
adalah karena individu, kelompok atau perusahaan mempunyai dua pilihan cara untuk
memperkaya dirinya yaitu dengan memproduksi sesuatu yang berharga atau dengan
mengambil sesuatu yang berharga dari orang lain. Tetapi kesejahteraan nasional
hanya meningkat jika ada peningkatan produksi, transfer kekayaan (termasuk
kekayaan alam) hanya berperan sebagai redistribusi dari output yang telah ada.
Masyarakat secara keseluruhan hanya meningkat standar hidupnya jika output perkapita meningkat. Jadi institusi akan mendukung peningkatan kesejahteraan
masyarakat jika ia dapat mengarahkan usaha-usaha masyarakat pada aktivitas
produktif.

Institusi mempunyai pengaruh yang besar terhadap kinerja ekonomi,

sebagaimana dikemukakan oleh Coase (1998) di dalam Menard (2000), yang
mengutip Adam Smith sebagai berikut :
“produktivitas ekonomi tergantung pada spesialisasi, tetapi spesialisasi
hanya mungkin kalau pertukaran (exchange) dan biaya pertukaran lebih
murah, makin banyak spesialisasi makin produktif sebuah sistem ekonomi.
Sedangkan biaya pertukaran (biaya transaksi) sangat tergantung pada
institusi yang bekerja di suatu negeri, oleh karena itu institusi akan
menentukan kinerja ekonomi”.

Yeager, (1999) mengemukakan bahwa dalam pendekatan lama, para ahli ekonomi
umumnya menggunakan empat factor utama sebagai hipotesis untuk menjelaskan

15

sumber kemajuan ekonomi suatu negara. Faktor tersebut adalah sumberdaya manusia
(human capital), sumberdaya alam, kepadatan penduduk dan teknologi. Akan tetapi
hasil-hasil penelitian mengindikasikan bahwa faktor-faktor penjelas tersebut tidak
secara konsisten menjelaskan hubungannya dengan kemajuan ekonomi. Oleh karena
itu ada faktor lain yang turut berpengaruh, yang dalam berbagai model yang
digunakan selama itu sering dianggap sebagai faktor residu. Faktor dimaksud adalah
institusi. Hasil Penelitian Keefer dan Shirley (2000) yang diilustrasikan pada gambar
5, menyimpulkan bahwa negara dengan kualitas institusi yang tinggi dan kualitas
kebijakan makroekonomi rendah mempunyai pertumbuhan ekonomi dua kali lipat
dari pada negara yang memiliki kebijakan makroekonomi baik tetapi institusinya
buruk.

Gb.1 Institusi, Kebijakan dan Pertumbuhan

3
2
GDP riil
Perkapita

Kualitas
Institusi

1
0

Tinggi
Rendah

-1
Tinggi

Rendah

Kebijakan
Ekonom i

Gambar 5. Hubungan antara Kualitas Institusi dan Kualitas Kebijakan Ekonomi
dengan Pertumbuhan Ekonomi. (Sumber Keefer dan Shirley, 2000)

16

Sementara itu Knack dan Keefer (2000) dalam Fereira (2004) mengaitkan antara
keamanan hak-hak property dan kontrak dengan pertumbuhan ekonomi. Keamanan
hak-hak dimaksud diambil dari indeks International Country Risk Guide (ICRG) 1
yang mengukur berbagai dimensi tentang keamanan hak property dan kemanjuran
(efficacy) penegakan suatu kontrak. Terdapat hubungan yang signifikan antara ICRG
dengan pertumbuhan ekonomi, yaitu bahwa setiap kenaikan satu standar deviasi
indeks ICRG akan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi lebih dari 1.2 persen
pertahun. Dengan demikian semakin efektif institusi yang mengatur hak-hak properti
cenderung semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan Wells (1997) menyatakan bahwa
insentif untuk konservasi biodiversitas hanya akan efektif apabila didukung oleh
kerangka institusional yang tepat. Disamping peraturan yang dirancang secara
seksama

juga

diperlukan

organisasi

yang

mempunyai

kemampuan

untuk

melaksanakan, memantau, menegakan (enforcing) dan mengevaluasi kebijakan
tersebut pada tingkat lokal, nasional atau internasional.
Ferreira (2004) melakukan studi antar negara untuk mencari penjelasan atas
perdebatan “perdagangan-lingkungan hidup” dengan cara melakukan explorasi
interaksi antara perdagangan internasional dengan factor-faktor institusional dan
dampaknya pada laju deforestasi dunia. Hasilnya menunjukkan bahwa perdagangan
bebas tidak berpengaruh secara langsung terhadap deforestasi, pengaruh perdagangan
tersebut baru signifikan ketika faktor-faktor institusi dimasukkan ke dalam model.
1

Hal-hal yang diukur adalah keamanan hak-hak kepemilikan dan kemanjuran penegakan kontrak :
aturan main, resiko pengambil-alihan, pembatalan kontrak oleh pemerintah, korupsi dan kualitas
birokrasi.

17

Hal ini mempertegas bahwa faktor-faktor institusional mempunyai pengaruh yang
lebih dominan dari pada perdagangan bebas terhadap laju deforestasi di dunia.
Pendapat ini mempertegas bahwa institusi adalah komponen penting yang dapat
digunakan untuk menjelaskan kemajuan di bidang kehutanan yang merupakan salah
satu pendukung ekonomi Indonesia. Lebih dari itu adalah penegakan aturan main itu
merupakan landasan yang penting untuk menciptakan insentif perilaku produktif.
Dari sisi pandang ini dapat dipahami bahwa institusi merupakan faktor penting
dalam mempengaruhi pilihan perilaku seseorang, masyarakat atau populasi tertentu
yang selanjutnya berpengaruh terhadap kinerja, termasuk terhadap deforestasi yang
terjadi di suatu negara.

2.2. Pengertian Institusi Ekonomi
Banyak ahli ekonomi (North, 2000; Werin, 2000; Williamson, 2000;) di dalam
Menard, (2000) yang menempatkan Ronald Harry Coase sebagai tokoh penting
peletak dasar teori Ekonomi Institusi. Namun Ronald H Coase sendiri menyebutkan
bahwa istilah “the New Institutional Economics” dikemukakan untuk pertama kali
oleh Oliver Williamson.

North, (2000) menyatakan bahwa dalam kehidupan

masyarakat politik atau perekonomian telah ada struktur, dan struktur-struktur itu
adalah fungsi-fungsi yang dibuat oleh manusia yang mengatur hubungan-hubungan
antar manusia di dalam masyarakat yang bersangkutan. Struktur dimaksud terdiri dari
campuran yang rumit antara aturan-aturan, norma-norma, konvensi-konvensi, dan
perilaku karena kepercayaan (behavioral belief), yang kesemuanya membentuk caracara bagaimana orang-orang bertindak untuk mencapai tujuannya. Lebih lanjut ia

18

mengelaborasi bahwa proses-proses pembentukan struktur sesungguhnya diawali dari
adanya keyakinan tentang sesuatu, kemudian diterjemahkan ke dalam institusi, dan
kemudian institusi diterjemahkan ke dalam cara-cara perkenomian bekerja
(berperilaku) dari waktu ke waktu.

Rutherford, (1994) mendefinisikan institusi

sebagai :
“a regulatory of behaviour or a rule that is generally accepted by
members of a social group, that specifies behaviour in specific
situations, and that is either self-policed or policed by external
authority”.

Menurut Hayami and Ruttan (1985), institusi adalah aturan-aturan yang berlaku di
masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antara orang-orang yang
terlibat, dengan cara membantu mereka untuk membentuk harapan dimana setiap
orang dapat secara rasional mempergunakannya untuk berhubungan dengan yang
lainnya. Dalam hubungan-hubungan ekonomi aturan main ini mempunyai peranan
yang penting dalam menciptakan harapan tentang hak untuk menggunakan
sumberdaya pada aktivitas ekonomi dan harapan tentang pembagian aliran
pendapatan yang diperoleh dari aktivitas ekonomi dimaksud.
Institusi pada percakapan sehari-hari sering dimaknai sebagai sebuah organisasi
seperti pemerintah, universitas, perusahaan, yayasan, organisasi keagamaan, dan lainlain. Talcott Parsons (1940) di dalam Hodgson (1998), menegaskan bahwa institusi
bukanlah struktur organisasi semata : ”Ia adalah pola normatif yang menentukan apa
yang mesti dilakukan, pada suatu komunitas tertentu, cara-cara bertindak atau
hubungan-hubungan sosial yang dianggap tepat, legal atau yang diharapkan. Aoki

19

(2000) menganalogikannya dengan sebuah permainan, ia mengambil pernyataan dari
Adam Smith :
”Dalam sebuah papan catur besar tentang masyarakat manusia, setiap
“single piece’ (orang) mempunyai prinsip jalannya masing-masing, dan
secara keseluruhan berbeda dengan apa yang mungkin dipilih oleh
pembuat peraturan untuk memuaskan mereka sendiri.

Dalam analogi ini ekonomi memandang institusi sebanding dengan pemain, aturan
main, dan hasil dari permainan itu. Namun demikian North (1990) menyarankan
agar institusi diidentifikasikan sebagai aturan main, dan dibedakan (as distinct from)
dari pemain itu sendiri. Menurutnya terdapat aturan formal dan informal. Aturan
formal – perdefinisi – tidak dapat diubah atau dibuat oleh pemain pada saat yang
bersangkutan sedang bermain, tetapi aturan itu sudah ditetapkan sebelum permainan
dimulai. Aturan dimaksud menjadi insentif bagi para pemain mengenai bagaimana
melakukan transaksi, memilih inovasi, dan akhirnya meningkatkan permintaan akan
perubahan aturan main itu. Kemudian terjadilah negosiasi yang akan diputuskan di
‘pasar politik’, berdasarkan aturan main politik dan akhirnya jadilah aturan baru.
Ditegaskan oleh North (1990) bahwa “ Adalah politik yang akan menentukan dan
memaksakan (enforces) aturan ekonomi dari suatu permainan”.

North (2000) di

dalam Menard (2000) menyampaikan bahwa aturan informal adalah sama pentingnya
dengan aturan formal. Dengan demikian North menegaskan bahwa institusi memiliki
tiga komponen yaitu aturan formal, aturan informal dan mekanisme penegakan. Lebih
tegas lagi ia memandang bahwa ketidakmampuan masyarakat untuk membangun
efektivitas dan menurunkan ongkos penegakan inilah yang dianggap sebagai faktor

20

kunci sehingga menyebabkan negara dunia ketiga masih terbelakang sampai sekarang
(North, 1990).
Dapat dijelaskan disini bahwa institusi adalah aturan main yang dapat bersifat
formal atau informal yang akan memberikan pilihan perilaku produktif atau perilaku
yang hanya bersifat transfer kekayaan. Institusi menjadi ‘infrastruktur’ yang
diperlukan untuk menjalin hubungan-hubungan berbagai pihak yang terlibat dalam
suatu sistem perekonomian dan menjadi pedoman berperilaku dalam mencapai
tujuan. Jika kebijakan makroekonomi sebagai resep untuk mencapai tujuan, maka
institusi sebagai prosedur operasional yang harus diikuti oleh para pelakunya. Apakah
orang-orang atau para pelakunya akan bertindak sesuai dengan aturan main, sangat
dipengaruhi oleh efisiensi biaya pelaksanaan aturan itu dan kemampuan penegakan
aturan itu sendiri. Jika untuk menjalankan aturan main itu menimbulkan biaya-biaya
transaksi yang terlalu mahal, maka aturan itu cenderung dilanggar,. Jika pelanggaran
banyak terjadi maka aturan itu cenderung tidak berlaku, dan jika hal-hal ini terjadi
maka institusi menjadi tidak efektif, sehingga institusi tidak mampu mengarahkan
orang-orang berperilaku produktif, akibatnya kinerja ekonomi akan menurun karena
akan lebih banyak orang memilih melakukan transfer kekayaan melalui tindakan
mengambil kekayaan dari pihak lain.
Keadaan seperti itu menurut Van den Berg, (2001) sebagai kondisi yang dapat
mendorong terjadinya bencana ekonomi, jika penegakan hukum lemah maka dengan
batasan “rational behaviour” sebagai konsep berfikir untuk memaksimumkan
keuntungan sendiri pada suatu situasi tertentu, terciptalah insentif untuk bertindak
tidak produktif dan melawan hukum, dan tidak terjadi peningkatan kesejahteraan

21

karena

tidak ada tambahan produksi.

Menurut Van den Berg (2001), bencana

ekonomi disebabkan oleh sikap rasional sebagai reaksi atas insentif yang disediakan
oleh institusi yang cacat. Kegagalan ekonomi seperti kelaparan, kemiskinan dan
pengangguran adalah akibat dari institusi yang menyediakan insentif untuk orangorang rasional untuk berperilaku merusak bukan berbuat yang konstruktif. Perilaku
rasional yang dimaksudkan oleh ekonom adalah bahwa orang-orang akan mengambil
yang terbaik pada situasi dimana mereka berada. Orang-orang yang rasional berupaya
mengurangi kerusakan di dalam situasi yang buruk dan mengambil keuntungan pada
kesempatan baik.
Dalam konteks penelitian ini, yang dimaksudkan sebagai institusi ekonomi adalah
institusi pengelolaan hutan alam yang berupa hasil-hasil inovasi dalam bentuk
peraturan-peraturan pengelolaan hutan alam yang dimaksudkan untuk mengarahkan
perilaku para pelaku usaha kehutanan untuk mencapai tujuan kegiatan ekonomi yang
berupa pengelolaan hutan lestari dan memperoleh keuntungan.

2.3. Institusi dan Hak Properti
Di dalam ilmu ekonomi hak properti merujuk kepada satu kesatuan kepemilikan
yang menentukan hak pemilik, keistimewaan, dan pembatas penggunaan sumberdaya
(Tietenberg, 1992).

Hayami dan Ruttan (1985) menekankan bahwa pengaturan

tentang hak-hak properti merupakan bagian dari dasar ekonomi institusi. Sedangkan
Tietenberg (1992) berpandangan bahwa pada pasar ekonomi yang berfungsi dengan
baik, struktur hak properti dapat efisien jika memiliki empat karakter yaitu (a)
Universality, dimana semua sumberdaya dimiliki secara privat, dan semua hak

22

terdefinisikan dengan baik; (b) Exclusivity, semua manfaat dan biaya yang timbul
akibat kepemilikan dan penggunaan sumberdaya berada pada pemiliknya, dan hanya
kepada pemiliknya, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui penjualan
kepada pihak lain; (c) Trasnferability, semua hak properti harus dapat dipindahtangankan dari satu pemilik ke pemilik yang lain melalui pertukaran yang bersifat
sukarela; dan (d) enforceability, hak properti harus aman dari pengambilan secara
paksa atau perambahan oleh orang lain.
sumberdaya

milik

negara,

seperti

Dalam kaitannya dengan pemanfaatan

hutan,

Schlager

dan

Ostrom

(1992)

mengemukakan bahwa dalam pelaksanaannya, hak properti (property right) dapat
dijabarkan menjadi bentuk access dan withdrawal, management, exclusion dan
alienation.

Berdasarkan konsep Ostrom ini maka ragam strata kepemilikan hak

adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Hak-hak yang Terikat Berdasarkan Posisi Kelompok Masyarakat

Strata Hak
Access and
Withdrawal
Management
Exclusion
Alienation

PEMILIK
(Owner)

PENGELOLA
(Proprietor)

PENYEWA
(Claimant)

PENGGUNA
(Autorized
User)

X

X

X

X

X
X
X

X
X

X

Sumber : Schlager dan Ostrom (1992). Property Right Regimes and Natural Resources :
A Conceptual Analysis. Land Economic 68(3) :249-262, di dalam Kartodihardjo
(1999)

Yang dimaksudkan sebagai Access adalah hak untuk memasuki areal atau
sumberdaya tertentu yang telah ditetapkan batas-batasnya secara fisik, withdrawal

23

adalah hak untuk memanfaatkan atau memanen produk dari sumberdaya tertentu.
Management adalah hak untuk mengubah / memanipulasi sumberdaya menjadi
produk tertentu dan hak untuk mengatur manfaatnya. Exclusion diartikan sebagai hak
untuk menentukan siapa yang akan mendapatkan dan yang tidak mendapat akses dan
hak menentukan cara tersebut dapat dialihkan. Sedangkan alienation diartikan
sebagai hak untuk menjual dan atau menyewakan sumberdaya tersebut.
Keberadaan hak-hak tersebut perlu dilindungi agar dapat bekerja secara efisien.
Van den Berg, (2001) menyatakan jika hukum dan penegakan hukum tidak memadai
maka orang-orang yang rasional akan bertindak memanfaatkan atau mengambil yang
berharga dari orang lain, bukan memproduksinya sendiri. Di negara-negara yang hak
propertinya didefinisikan secara jelas dan ditegakkan secara ketat, kejahatan jarang
terjadi, orang-orang rasional akan lebih cenderung beraktivitas produktif daripada
mencuri. Oleh sebab itu keamanan properti dapat mempunyai pengaruh kepada
kinerja ekonomi suatu negara.
Ferreira (2004) mengutip berbagai studi yang dilakukan oleh Gordon (1954),
Schaefer (1957), Dasgupta dan Heal (1979) dan Munro dan Scott (1985), dan
menarik kesimpulan bahwa batasan yang tidak lengkap tentang hak atas properti
(property rights) dan kepemilikan yang tidak aman berdampak buruk terhadap hutan
yang mempunyai kontribusi pada deforestasi. Ketika hutan berada dalam kondisi
open access para pihak akan berpandangan dan bertindak secara miopik dengan tidak
mempertimbangkan ekternalitas negatif yang ditanggung oleh pihak lain atas aktivitas
yang ia lakukan, dan tindakan itu akan menyebabkan ekstraksi atas sumberdaya
melebihi kapasitas optimalnya. Penegakan hukum yang lemah atas hak property

24

membuat hutan beresiko tinggi untuk dirambah, diambil alih oleh pihak lain atau
dikonversi, direspon oleh pihak lembaga keuangan dengan tingkat suku bunga tinggi.
Hal ini mendorong orang untuk tidak melakukan investasi pada tanaman hutan,
mengurangi minat untuk melakukan pengelolaan hutan dengan intensitas yang lebih
tinggi (Mendelsohn, 1994) dan mendorong pemanenan yang lebih sering pada
tanaman hutan (Clark, 1990).
Kepemilikan yang tidak aman berpengaruh pada pengurangan investasi ekonomi
dalam arti luas, dalam hal-hal tertentu juga menyebabkan dis-investasi, meningkatkan
kerusakan hutan dan konversi lahan hutan. Ketidak-amanan itu juga dapat mendorong
alokasi yang tidak efisien karena adanya kendala akses terhadap kredit bagi para
petani yang tidak mempunyai hak property dan ketiadaan pasar formal atas lahannya
untuk melakukan transaksi kepada pihak lain yang mempunyai produktivitas
marginal yang lebih tinggi (Jaramillo dan Kelly 1997, dalam Ferriera, 2004). Studi
antar Negara yang dilakukan oleh Deacon (1994); Bohn dan Deacon (2000) dalam
Ferreira (2004) membuktikan secara nyata pandangan ini. Indikator-indikator kualitas
institusi dan proxi atas aturan main menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap
deforestasi, dimana negara-negara dengan kualitas institusi buruk cenderung
mengalami laju deforestasi yang lebih tinggi.
Yin (2003), mempelajari inovasi institutional yang terjadi di China yang dimulai
pada tahun 1978. Perubahan inovatif yang dimaksud adalah perubahan organisasi
produksi dan tenurial lahan dari sistem kolektif menjadi sistem tanggung jawab
keluarga (HRS : Houshold Responsibility System) dan pengenalan mekanisme pasar
melalui perubahan bertahap dari batasan kuota dan penetapan harga menuju kepada

25

transaksi komoditas berdasarkan harga pasar.

Respon atas perubahan tersebut

berbeda antara China bagian utara dan China bagian selatan. Di wilayah pertanian
bagian utara-tengah, termasuk Henan, Shandong dan wilayah sekitarnya, penanaman
yang luas telah terjadi meskipun wilayah ini adalah daerah pertanian non-hutan.
Bukan hanya perkebunan dan pohon-pohon pelindung telah dibangun, tetapi juga
pohon-pohon komersial telah ditanam di lahan pertanian. Hasilnya adalah penutupan
hutan meningkat dari 5 persen pada 1977 menjadi 12,5 persen pada tahun 1999.
Selain itu sejumlah besar pepohonan telah ditanam di seluruh wilayah, sehingga dapat
mengatasi masalah kelangkaan suplai kayu lokal dan kebutuhan bahan bakar.
Sebaliknya di wilayah hutan bagian selatan yang merupakan daerah berhutan
termasuk provinsi-provinsi di selatan Sungai Yangtze, tidak ada progress yang nyata
dalam membangun hutan baru. Yin menyimpulkan bahwa aturan panenan dan
pemasaran kayu di China Selatan telah mencegah para petani menikmati manfaat
dari perubahan institusi. Sebaliknya kombinasi perbaikan hak tanah dan penghapusan
kontrol dan distorsi pasar membuat petani merespon dan mempengaruhi kondisi
pasar. Sebagai hasilnya pohon, buah-buahan, minyak, peneduh dan pohon-pohon
pelindung banyak di tanam di lahan pertanian, sehingga hutan berkembang pesat di
daerah yang secara tradisional merupakan daerah pertanian. Selain itu kebijakan
yang stabil dan terduga juga menjadi faktor penentu yang berpengaruh.
Sedangkan di Indonesia, Kartodiharjo (1998) mendapatkan bahwa pengusahaan
hutan negara melalui HPH, tidak memberikan wewenang kepada perusahaan untuk
menentukan management, exclusion dan alienation terhadap sumberdaya hutan yang
dikelolanya. Perusahaan hanya berhak atas kayu dengan berbagai kewajiban, dengan

26

pengaturan yang seperti ini menyebabkan perusahaan tidak menjalankan prinsip
pengelolaan hutan lestari dengan baik sehingga resiko kerusakan hutan tinggi.
Berbagai studi-studi tersebut di atas menunjukkan bahwa peraturan berpengaruh
kuat terhadap kepastian akan hak properti atas hutan dan hasil hutan, dan kepastian
hak-hak tersebut menjadi faktor penting insentif atau disinsentif untuk perkembangan
investasi yang selanjutnya mempengaruhi perkembangan hutan dan kelestariannya.

2.4. Institusi dan Perversi Kekuasaan (Perversion of Power)
Scott (2008) membangun konsep institusi yang terdiri dari elemen-elemen
regulatif, normatif dan kognitif yang secara bersama-sama dikaitkan dengan kegiatan
dan sumberdaya, serta menjadikan kehidupan sosial yang mapan dan bermakna.
Dalam pandangan ini institusi dijalankan oleh gabungan dari struktur sosial, aktivitas
sosial dan sumberdaya material, sebagaimana tabel 3 berikut ini.
Tabel 3 Tiga Pilar-Pilar Institusi
Dimensi
Basis
Kepatuhan
Basis
Perintah
Mekanisme
Logika
Indikator

Pengaruh

Regulatif
Kelayakan
(expedience)
Aturan hukum
Paksaan
Instrumentalitas
Aturan, Hukum,
Sanksi
Efek jera / tidak
bersalah
Sanksi Hukum

Tiga Pilar
Normatif
Cultural koqnitif
Kewajiban
Terima apa adanya
sosial
Saling pengertian
Harapan yang
Skema resmi
mengikat
Normatif
Meniru
Kepatutan
Menurut adat
Certifikasi,
Kepercayaan masyarakat,
Akreditasi
Logika umum untuk berbuat,
isomorphisme
Malu / Bangga
Kepastian / Kebingungan

Berlandaskan
Basis
moral
Legitimasi
Sumber : Scott, W Richard. 2008.

Kelengkapan, pengakuan,
dukungan budaya

27

Berger dan Luckman (1967) di dalam Scott (2008), institusi itu “mati” jika hanya
ditampilkan dalam bentuk penunjukan verbal dan obyek-obyek fisik saja. Semua
penampilan tersebut kehilangan realitas subyektifnya, kecuali dihidupkan di dalam
tingkah laku nyata manusia. Selanjutnya Scott (2008) dan Sewel (1992) agar institusi
dapat hidup, maka harus dikaitkan atau dilekatkan pada sumberdaya : jika tidak
diberdayakan atau diwariskan oleh sumberdaya hampir pasti institusi akan dibuang
atau dilupakan, seperti halnya sumberdaya yang tanpa pola-pola kultural yang
mengatur penggunaannya hampir pasti akan menghilang atau membusuk.
Giddens (1979,1984) dan Sewel (1992) di dalam Scott (2008) menekankan
pentingnya menyertakan sumberdaya (material dan manusia) ke dalam setiap konsep
struktur sosial sedemikian rupa sehingga dapat memperhitungkan kekuasaan yang
tidak simetrik. Agar aturan dan norma menjadi efektif maka harus didukung dengan
kekuatan sanksi. Sebaliknya mereka yang memegang kekuasaan atas sumberdaya
memerlukan wewenang dan legitimasi untuk menggunakannya.
Menurut Scott (2008), pilar regulatif berupa konsep regulasi yang meliputi
kapasitas untuk membuat aturan, memeriksa kepatuhan pihak lain terhadap aturan,
dan jika diperlukan memberikan sanksi – penghargaan atau hukuman - dalam rangka
mempengaruhi perilaku kedepan selanjutnya. Pemaksaan, sanksi dan respon yang
layak adalah inti pilar regulatif, tetapi mereka sering terhalang oleh aturan yang ada,
baik formal maupun informal. Oleh sebab itu North (1990) menekankan perlunya
penegakan aturan dijalankan oleh “pihak ketiga” yang bukan pelaku itu sendiri. Hal
ini pula yang menjadi perhatian Skocpol (1985) di dalam Van den Berg (2001),
bahwa negara sebagai pihak yang membuat aturan membangun kepentingannya

28

sendiri dan menjalankannya secara otonomi dan terpisah dari aktor-aktor sosial
lainnya. Disini letak penting aspek regulatif institusi membangun kembali batasan
peran negara sebagai : pembuat aturan, wasit dan penegak peraturan.
Van den Berg (2001), menengarai bahwa negara atau pemerintah sebagai “pihak
ketiga” disatu sisi diperlukan untuk memfasilitasi transaksi yang semakin kompleks
untuk menggapai kesejahteraan yang lebih tinggi bagi setiap anggota masyarakatnya,
namun di sisi lain ada bahaya atas kekuasaan yang terpusat pada pemerintah yang
akan mengarah kepada “perversi kekuasaan” (perversion of power) untuk
memberikan keuntungan kepada sekelompok orang-orang atas beban pihak-pihak
yang lain. Sejalan dengan kekhawatiran atas terjadinya perversi kekuasaan, North
(1987), menengarai bahwa dalam sejarah, sistem politik cenderung tidak membuat
institusi yang efisien, karena alasan bahwa membatasi transaksi (fokus, previliledge),
akan memudahkan memungut pajak atau mengeksploitasi para pihak untuk
kepentingannya, disamping itu institusi yang efisien tidak menguntungkan kelompok
tertentu yang penting bagi keberlangsungan penguasa atau oligarchi. Keberadaan
perversi kekuasaan perlu mendapatkan perhatian, terutama kecenderung