Diskusi Sesi Pertama
Moderator;
Ir Titus Sarijanto, MSc.
Dr. Ir. Togu Manuuulzg (Fakultas Kehutanan IPB)
Pada kenyataamya indusei pulp dan kertas memmg memiliki tingkat
keuntungan yang sangat besar. Namm dibalik keuntungan yang diperoleh
tersebut ada sebuah pertanyaan: " Berapa besar yang harus dibayar untuk
sampai pada keuntungan yang besar tersebut?". Dasar permasalahannya
adalah untuk memproduksi pulp dan kertas tersebut diperlukan bahan baku
yang berasal dari hutan alam dimana diperkirakan mencapai 90 % dari total
bahan baku yang dipergunakan dalam proses produksi. Data yang diperoleh
dari Departemen Kehutanan menunjukkan bahwa kayu yang dipanen berasal
dari H l l pada tahun 1997/1998 baru mencapai 425 ribu m3 . Sebagaimiana juga
dikatakan oleh Bapak Titus selaku Dirjen Penpsahaan Hutan dalam Jakarta
Post bulan Juni 199%bahwa 100 % untuk keperluan industri pulp dan kertas di
negara ini mas* berasaI dari hutan afam. Dengan demikian dapat kita
simpulkan bahwa dalam memproduksi pulp dan kertas ini yang manjadi
tumpuan adalah hutan alam, sehingga boleh dikatakan kegiatan indusW ini
merusak hutan alam yang ada di Indonesia ini. Sebagahana juga kalangan
W M menyebutkamya dengan istilah pulping the rain forest. Dan yang paling
menonjol adalah kayu-kayu yang berasal dari IPK (Ijin Pemdaatan K a y ) dari
hutan konversi. Disatu ski tingkat keberhasilan program HTI yang telah
bejalan sekian lama, baru menunjukkan angka sekitar 22 %, atau boleh
dikatakan belum berkasil. Dengan demikian dalam kerangka issue ecolabehg,
negara kita akan menghadapi posisi yang sangat sulit memasarkan produk
pulp dan kertas di negara-negara yang sangat sensilif dengan isue lingkungan.
. Memang masih ada peluang rnisalnya dengan memasarkannya di negara-
negara Asia Timur yang belum terlalu sensitif dengan masalah isue
hgkungan, dimana konsumennya belum menuntut produk yang eco-friendly.
Berdasarkan kriteria yang dibuat oleh FSC (Forest Stewaard Council), sebagai
sebuah lembaga internasional yang ungguI dalam menangani ecolabeling
diluar 1% 14000 menunjukkan bahwa tidak mungkin mengeksport produk
pulp dan kertas dari Indonesia yang dihasilkan dari Ifl[? yang dibangun dari
hutan konversi. Ada ketentuan yang mengatur tentang hal itu terdapat dalam
Principle No. 9. Dan ini adalah salah satu tanbngan bagi kita. Ketentuan h i
dibuat sejak tahun 1996 atau 1993, dimana isinya adalah apabila E-ITI dibangun
dari hutan konversi maka lidak dapat memenuhi kriteria ecolabeling untuk FSC.
Yang ingin saya katakan adalah bagaimana tantangan kita kedepan ini dalam
rangka menghadapi ecolabeling. Memang sekali lagi saya katakan bahwa kita
mas& dapat mengekspor hasil hutan untuk negara-negara yang belum sensitif
mengenai isue lingkungan, namun demikian perkernbangan menunjukkan
bahwa semakin banyak sekali buyers grozlp yang dibangun oleh lembaga
lingkungan hidup dunia, seperti WWF agar hanya mengkonsumsi produkproduk kayu yang berasal dari hutan lestari, yang arlinya bahwa tantangan kita
adalah semakin besar.
Tentang gambaran tentang industri pulp dan kertas, faktanya mentmjukkan
bahvva secara gamblang merusak hutan alam. Oleh karena itu pembangunan
I-STI harus direalisasikafi. Secara teknologi dapat ditanyakan kepada saudara
Makmur Damanik dari IIU bahwa pembangunan I-FTI itu Lidak ada masalah.
Namun bagaimana itu tidak bisa berhasil, itu adaIah problem terbesar kita.
Jadi itu komentar saya, mohon dapat ditanggapi.
Drs. Ir. S ~ r m a wAbas
i
(Balai Besar Selulosa)
Saya tertarik kepada ide yang dilontarkan oleh Bapak Bungaran Saragih
tentang cornmzinity development. Apabila kita melihat fakta, pabrik pulp
u m u m y a berlokasi di luar Jawa dan pabrik kertas berada di luar kota. Maka
dalam rangka otonorni, dapat diramalkan akan tejadi tarikan kepenkgan
dengan masyarakat di daerah tersebut. Pengamatan saya terhadap tenaga kerja
menunjukkan bahwa pabrik pulp yang ada di luar Jawa keterlibatan
masyarakat yang ada di sekitar pabrik itu sedikit sekali ke pabrik. Disatu sisi
karena lokasinya yang jauh, dan faktor yang lain adalah masalah kemampuan
yang rendah.
Ide dari Bapak Bungaran ini adalah sangat baik, maka barangkali yang perlu
kita dishsikan atau mungkin Pak Saragih punya pemikiran-pemikiran yang
lebih rinci bagaimana cara melengkapi ide-ide ini. Sebab dalam rangka masa
transisi irui menurut saya sangat sukar siapa yang har& mengambil inisiatif
memperkuat indusiri kita di daerah tapi sekaligus juga memuaskan masyarakat
yang ada di daerah tersebut. Jadi masalah akan mengemuka namgaknya
adalah "putra daerah, bagaimana masyarakat daerah tidak semakin
termarjinalkan dengan adanya kehadiran industri di daerah tersebut. Dalam
pengamatan saya, apabila rnasalah putra daerah ini tidak diatasi atau
diantisipasi maka dapat menjadi embrio adanya friksi di rnasa yang akan
datang. Sekali saya berharap barangkali Pak Saragih memiliki pandmgan atau
pernah mengamati masalah ini sehingga dalam mngantisipasi keadaan ini
kedepan mungkin dapat lebih terencana lagi.
Bapak Sufamat (PTKertas Krap Aceh)
Pertanyaan saya ditujukan kepada Bapak Gatot atau Hariadi atau kepada
rimbawan yang lain. Mengenai bahan baku disebutkan didalam paper Pak
Gatot bahwa bahan baku I-TTI itu adalah US $ 26, tetapi dari Pak Hariadi
dikatakan bahwa ria cost belum tentu semurah yang kita perkirakan semula
karena adanya nilai/biaya atas dasar sesuatu yang "semu". Pertanyaan saya
adalah :
1.
Berapa "riil cost" bahan baku . Pertanyaan ini saya tujukan kepada
Bapak Hariadi barangkali ada data yang menunjukkan ha1 itu,
terutama untuk hard wood.
2.
Dari paper Pak Gatot disebutkan bahwa dalam satu tahun kita masih
mengimpor sekitar 900 s / d 1 juta ton pulp, yang sebagian besar
merupakan longfiber, kemdian ada pulp yang berasal dari non wood.
SebetuInya dari daerah kita yang merupakan hasil dari penghijauan
banyak sekali hutm pinus. Pertanyaan saya adalah dari reserve hutan
pinus yang ada ini apakah tidak bisa dibuat sebagai bahan baku ? Dari
perusaham kami pernah menjajaki kepada Inhutani TV dan P e r h u ~
Jawa Barat dan Jawa Tengah, tetapi memang hasilnya belurn bisa
diharapkm. Dan sebagai informasi sehubungan dengan kondisi yang
terjadi di daerah Aceh, maka kebutuhan kami untuk bahan baku tidak
dapat dipenuhi daerah Aceh sendiri.
Bapak WiZEy Laluyan (PTPradnya Paramifa)
Dalam diskusi ini saya memperhatikan aksentuasinya yaitu: "kertas untuk
rnenghasilkan uang" . Pertanyaamya sekarang adalah bagaimana "kertas
untuk hunzntz investrnenf". Bahwa ternyata kekayaan hutan alam ini berakibat
terbalik pada lapisan masyarakat menengah kebawah karena mengakibatkan
kekayaan hutan alam kita h i memiskinkan masyarakat kita dari segi sosial
ekonomi dan terutama kultural. Hal ini dikarenakan jutaan anak usia sekolah
yang sama sekali tidak dapat membeli buku karena harga kertas yang sangat
mahal. Padahal u n h k memproduksi buku itu, kertas mengambil porsi kurang
Iebih 50 %.
Bekrapa waktu yang lalu kami berdiskusi dengan para mahasiswa didapat
keshpulan bahwa mereka mengeluh karena tidak mampu membeli buku.
Harga buku-buku yang diterbi&an oieh perusahaan kami rata-rata diatas Rp 50
ribu, lalu mereka bertanya dimana kesanggupan karni untuk dapat membeli
buku ini. Akibat dari faktor itu adalah bangsa kita dinilai tidak bisa membaca.
Padahal dasar masalahnya bukan terletak disitu, yaitu malas dan lemah
membaca.
Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, dalam kurun waktu 10 hingga 15 tahun
mendatang internet akan melahirkan electronic book, electronic news paper, dan
electronic leaming. Semua produk globalisasi itu akan rnemaksa kita untuk
mengikuG pola hidup global. Disisi lain tingkat pendidikan d m kemampuan
masyarakat kita mas* rendah, sehingga golongan masyarakat sebagahana
saya sebutkan tadi akan terkggal. Faktor yang paling mempengamlni adalah
sebagian besar diantara mereka belum sampai gada kemampuan melek hufuf,
apalagi rnelek membaca. Sehingga apabila kemampuan mereka tidak kita
tingkatkan dengan misalnya banyak membaca, maka mereka akan tertinggaii.
Selanjubya adalah sebagaimana telah saya dengar pembicaraan tadi bahwa
waste paper yang banyak mengandung serat pmjang sebagian besar mas* kita
peroleh dari h p o r . Tingginya h p o r akan jenis kertas ini barangkali terletak
pada kebiasaan masyarakat Indonesia yang lebih menyukai kertas sebagai
Menurut pendapat saya,
pembungkus dibandingkan dengan daun.
seharusnya kita galakkan dan sosiakasikan kembali penggunam daun sebagai
pembungkus. Daun merniliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan
kertas, antara Iain adalah daun merniliki berbagai aroma alamiah yang hamm,
besih dan sehat. Penggunaan kertas sebagai pembungkus rnakanan akan
sangat berbahaya manakala kertas yang digunakan tersebut mengandung h t a ,
karena k t a ini adalah racun yang berbahaya bagi kesehaian.
Prof. Dr. Ir. Oemi Hani'in Stleseno (Fa kut-as &hatarran UGM)
Sebagaimana telah dikemukakan oleh pembicara tadi bahwasanya kayu yang
merniliki serat panjang mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kayu serat pendek. Karena kelebihan ini maka negara New Zealland
dan Australia rnemiliki keuntungan karena hutan mereka mempunyai potensi
yang besar dengan kayu serat panjang. Namun seberapa besar nilai tambah
yang dimiliki oleh kayu serat panjang ini, mohon dapat dijelaskan.
Berkaitan dengan pertanyaan saya sebelumnya, negara kita sebenarnya
merniliki potensi yang juga besar akan kayu serat panjang yaitu jenis Pinzis
rnevktrsii. Saya m e n y a r d a n agar jenis kayu ini dikembangkan di hutan-hutan
kita karena berbagai kelebihamya itu.
Kemudian, saya menyambut baik upaya yang diusulkan oleh pembicarapembicara tadi bahwasanya untuk keberlanjutan industri pulp dan kertas
sudah tidak la@ dapat mengandalkan hutan alam, melainkan hutan buatan..
Disamping karena hutan alam kita sudah menyusut, perhatian negara-negara
maju akan keberlanjutan hutan alam menjadi pertimbangan kita. Oleh karena
itu upaya yang harus dilakukan adalah sudah saatnya kita mengembangkan
hutan buatan, yaitu HTI yang dikembangkan dari benih yang dihasilkan
breeding dan biotehologi. FIT1 yang dikembangkan ini mampu menghasilkan
sekitar 40 sampai 60 m3 per ha pertahun di hutan Indonesia. Maka dengan FIT1
intensif, luasan tanam dapat kita batasi sehingga tidak mengganggu hutan alam
dan peruntukan lainnya. Dengan demikian biarlah hutan alam itu turnbuh
menjadi area konservasi. Kita membuat hutan tanaman produksi yang efisien
kompetifif dan lestari mengandalkan dari breeding dan tehologi biotek,
sedangkan breeding dan biotehologi h i mengharapkan layanan materi dari
hutan alam itu. Dalam hal ini konservasi yang dimaksud ada konservasi in situ,
yaitu di hutan alam sebagai penyediaan semua materi-materi yang akan kita
budidayakan; serta jenis konservasi ex-situ.
Kemudian saya ingin menanggapi apa yang dikemukakan okeh Bapak
G m a m a n Soeraho d m Bapak Wariadi mengenai hal yang menyangkut HTI.
Saya telah banyak mengarnati beberapa IlTI di Indonesia, bahwasanya IFTI itu
tidak sejelek yang dikemkakan Bapak Gmarwan dan Bapak Hariadi.
Tenhnya diantara yang baik tersebut ada juga yang jelek dapat dirnaklumi.
Narnun yang ingin saya k e m k a k m adalah dengan adanya HTI, sektor
kehuianan mengalami banyak perkembangan, diantaranya adalah bila pada
jaman dahulu nursenj itu menggunakan sebor, sekarang sudah' menggunakan
sprinkle untuk sistem pengairamya, sehingga waktu tanam dapat diatur.
Selanjubya adalah ditemukamya medium-medium yang efisien serta benihbenih bermutu. Beberapa contoh kasus yang terjadi pada banyak perusaham
dan mereka
yang mengetahui akan arti penkgnya breeding,
mengembmgkannya, temyata setelah saya amati pada seluruh IITI, terdapat
korelasi positif anbra perusaham IlTI yang mengembangkan breeding dengan
b a a dan mutu hasil tanaman I-ITI-nya.
PT IIU hingga saat ini mas& menggunakan mayoritas bahan baku yang berasal
dari hutan dam, dengan catatan apabila pabrik kita rnasih bisa beroperasi.
Proporsinya adalah sekitar 80 % bahan baku yang kami pergunakan berasal
dari hutan alam atau dengan perkataan lakt baru sekitar 20 % yang kami
peroleh dari hutan IFTI. Perkiraan kami pada tahun 2006/2007 kelak, kami
sudah. menggunakan bahan baku yang berasal dari hutan buatan sebanyak 100
%, artinya kami sudah tidak bergantung lagi kepada hutan alam. Perkiraan
karni tersebut dengan catatan bahwa pertambahan riap sebesar 24 m3 per ha
perbhun. Padahal peneiitian yang sudah kami lakukan di laborafotium
mampu menghasilkan pertambahan riap sebesar 100 m3 per ha pertahun.
Meskipun hasil tersebut mas* dalam taraf penelitian, bila seandainya dalam
,
aplikasi nanti, tingkat kegagalannya sebesar 30 %, maka angka 70 % mash
cukup baik untuk mengurang ketergantungan kami kepada hutan alam atau
mernpercepat ketidaktergantungan kami kepada hutan alam
Njauw h e f Meen (PT. Indah Kiat Pulp +&Paper)
Sebelummya saya ingin katakan bahwa saya rnemang sangat tertarik dengan
seminar prospek dan tantangan industri pulp dan paper ini. Sebelum saya
mengomentari mengenai kecukupan bahan baku saya ingin katakan dahulu
mengenai prospek dan tantangan ini.
Dalam pandangan saya, prospek industri ini sebagaimana dikemukakan oleh
Bapak Dirjen dan Bapak Bungaran, memang cukup menarik. Begitu juga
dengm yang dikemukakm ooleh Bapak Hariadi dalam perhitungan blaya
produksi itu, sering tejadi distorsi memang ada benamya. Jadi apa yang
dikemukakan oleh para pembicara tersebut hampix semanya benar. Namun
sejak tejadizlya krisis yang melanda negeri kita ini, yaitu kira-&&-a2-3 tahun ini
telah tejadi pembahan yang besar sekali. Uang kami rasakan adalah selama 23 tahun ini tidak ada lagi pembukaan kebun atau konversi hutan untuk daerah
transmigrasi.
Sehingga kami sebagai pengusaha jauh-jauh hari sudah
mengantir;ipasi sesuai dengan komimen dengan masyarakat kita bahwa di
tahun 2001) kami mengharapkan bahan baku dari IFTI kita sendiri. Dalam
kenyataannya hingga saat ini YT. Indah Kiat masih menggunakan bahan baku
dengan memanfaatkan mekanisme IPK, tetapi dalam persiapan perusaham
kita sudah bisa katakan 100 % mencukupi dari IlTI kita sendiri.
Selanjutnya yang kedua adalah tentang prospek dan tantangan industri pulp
kita. Tantangan yang kita hadapi dari group industri pulp kita berasal dari
semua arah. Kita tidak hanya harus menghadapi persaingan karena adanya
globalisasi ekonomi, tetapi ada juga tantangan yang berkaitan dengan kesiapan
kita menghadapi otonomi, serta keseimbangan antara pusat dan daerah.
Kondisi saat inipun kita belum bntas memfokuskan perhatian kita pada
hdustri, disebabkan perhatian kita harus terbagi untuk menanggulangi
bermacam-macam masalah. Sehingga kita mas& belum bisa baymgkan akan
ada atau tejadi apa setelah otonorni dijalankan nanti. Saya kira itu suatu
tantangan yang besar. Disamping itu belum adanya kesepakatan pendapat dan
pandangm di rnasyarakat kita akan kebutuhan industri pulp kita di negeri ini.
Sebagian masyarakat berpandangan bahwa industri ini sangat mencemari
h g k m g a n sehingga harus ditiadakan dari atas bumi Indonesia ini, padahal
apa yang dikemukakan oleh Bapak Gatot selaku Dijen, prospek industri pulp
$an paper ini smgat bagus dimasa mendatang. Bagaimana kita bisa
konsensuskan atau satukan visi kita mengenai pandangan terhadap industri ini
adalah merupakan tantangan I a h bagi kita. Begitu juga bagaimana kita
menyatukan visi h i menghadapi era otonom nanti, saya kira juga merupakan
tantangan yang besar.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bapak Bungaran, bahwa industri pulp ini
merupakan cluster indusfy, yang terdiri dari banyak Fndusiri dintaranya
Fndustri pulp sendiri, industri kimia dan industri kertas. Jadi dapat dikatakan
rnultidisipb industri. Diddam makalah Pak Bungarm d b a n a popup industri
hi membawa suautu sinergism untuk memenuhi airibut lokahya addah
sesuatu yang sangat menarik. Tetapi apakah tidak terlalu terlambat mengingat
industri telah terlanjur dibangun.
Bagaimana kita mengintegrasikan
kepentingan antara local people dengan industri yang ada, dan apabila ini tidak
kita rumuskan dengan baik, dan tidak kita sesuaikan dengan kondisi lapangan
akan menimbulkan suatu ko
atau mengundang suatu tuntutan yang sulit
untuk diatasi.
Yang terakhir adalah tentang sinergis atau atribut lokal sebagaimana yang
dikemukakan oleh Pak Bungaran menyangkut comrnunihj development.
Memang sudah menjadi slogan industri kita bagaimma membawakan economic
and social benejt bagi local people. Dan nampaknya angan-angan atau slogan ini
akan dapat tercapai apabila terdapat satu visi antara pemerintah, pengusaha
dan masyarakat sendiri. Oleh karena yang sellama ini terjadi adalah hanya
beruga bantuan sporadis saja dari perusaham, d m tidak sanzpai pada
rnenyelesaikan permasalahannya, bahkan sering d k a l a h p a k a n . 81eh karena
itu dalam co~nmunitydevelopment ini hams kita kembangkan cara yang dapat
diterinna oleh semua pihak agar supaya tidak menjadi bumerang dimadaa&an
oleh orang-orang pinter. Bila ini terjadi, akibatnya adalah biarpun pengusaha
telah mengeluarkan banyak uang untuk program pengembangan masyarakat,
hjuannya tidak a k a tercapai sebagaimana yang telah tejadi sebelumya dan
tetap akan sia-sia.
Leo Batubara (Seur'kaf Penerbit Surat Ka bar)
Yang akan saya komentari adalah mengenai posisi kertas dalam ha1
pencerdasan bangsa. Yang pertama adalah bahwa surat kabar kita tirasnya
baru mencapai 4,7 juta, yang arlinya 1 eksemplar surat kabar diperpnakan
untuk 43 orang penduduk.
Sebagai perbandingan Jepang 1 surat kabar
diperpnakan untuk 1,13 penduduk, Singapura 1 untuk 3 penduduk dan
MaIaysia 1untuk 8 penduduk. Artinya dilihat dari tingkat pexerdasan bangsa
itu sangat rendah, karena reading ratio ini suatu indikator u n h k melihat tingkat
kecerdasan bangsa menunjukkan angka yang rendah. Kemudian yang kedua
adalah buku, tingkat produksi sekiiar 1000 judul pertahun, sehlngga
mengakiba&an kegemaran membaca kita sangat rendah. Dan yang ketiga
adalah harga koran sangat mahal. St?bagai perbandingan untuk seorang buruh
di Arnerika dengan berlangganan USA Today sebulan, alokasi uang gaji yang
dikeluarkan untuk membayar langganan koran tersebut adalah cukup dibayar
dengan uang dari aIokasi kerja 1 jam 5 menit, sedangkan di Indonesia perlu
mengalokasikan gaji 4 hari kerja. Kemdian pertanyaanya adalah mengapa
jadi begitu rnahal ? yang pertama adalah karena harga kertas sangat maha1 dan
.
banyak yang diimpor, khususnya untuk kertas koran. Hal lainnya adalah
memang budaya kita dimana menginginkan buku dan kertas koran semuanya
dari bahan yang diimpor. Bangsa Bangladesh bangga kertas korannya berasal
dari mangrove meskipun second class quality, tapi yang terpenting adalah reading
habit hinggi. Kemudian masalah daya beli sebenarnya tidak ada soal, karena
reading habit kita rendah. Menurut hasil studi yang pernah dilakukan oleh
organisasi kami, spending masyarakat kita untuk membaca koran hanya 1,9
trilyun pertahun, sementara untuk rokok sebesar 47 trilyun pertahun dan
untuk narkoba sebesar 140 trilyun. Hasil penelitian itu menujukkan bahwa
kita sebenarnya memiiki uang untuk membeli rokok dan narkoba, tetapi tidak
untuk koran dan buku.
Selanjutnya rnengenai prospek adalah kita tidak boleh dibodoh-bodohi bahkan
oleh pemerintah sekalipun karena pengalaman sejarah menunjukkan dernikim,
dan apabila kedepan mas& seperti itu maka prospeknya adalah ltidak secerah
yang kita bayangkan. Oleh karena itu tantangamya adalah mengurangi
ketergantungan kita terhadap impor dan n~enggalakkanlocal content. Apalagi
dalarn rangka otonomi daerah, koran kita juga akan semakin mendaerah (local
based news paper). Tanpa harga kertas yang mmah, saya kira otonomi hanya
ada di angan-angan. Tanhngan yang kedua adalah rnenymgkut krisis, d h a n a
bagahana kita merubah life style untuk menggunakan kertas koran yang
murah.
Ir. H. R.lansur (Ketaa APKI)
Saya sangat tertarik dengan apa yang diajukan oleh Pak Bungaran mengenai
(CD). Dalam hal ini terutarna
hubungan industri dengan conrnzunit7~deuelop~?~e~zt
adalah adanya hutan kemasyarakatan. Hutan kemasyarakatan ini sudah
berhasil di Scandinavia bahkan Thailand. Idenya itu adalah disamping FIT1
pulp rakyat mendirikan hutan kemasyarakatan yang kalau bisa di Indonesia
dibantu dengan dana reboisasi. Di Riau Andalan model seperti itu sudah mutai
dilakukan, dimana ada 10 ribu Ha hutan rakyat, 8 ribu Ha ditanami pohon, 2
ribu Ha ditanami tanaman pangan, sehingga sarnbil rnenunggu pohon menjadi
besar, rakyat bisa rnakan, disamping perusahaan membantu teknis bibit dan
lain-lain dan janji untuk membeli kayunya. Hal ini baik karena akan
memakmurkan perusahaan dan masyarakat.
Tekad industri pulp adalah akan menggunakan kayu dari tanaman sendiri atau
dari mitra hutan kemasyarakatan. Jadi kami selalu tebang - tanam - tebang dan
tanaman selalu diperluas, karena kapasitas industri pulp makin lama makin
tinggi. Kalau tadinya 300 ribu ton/tahun maka sekarang 1500 ribu ton/tahun,
malah m m j u 1 atau 1,5 juta ton/tahun. Kami tidak akan meninggallcan hutan
karena investasi karni terlalu besar, misalnya, untuk 1 pabrik kayu lapis perlu
50 juta d o h , sedangkan industri pulp perlu 1,2 miliar dolar.
Yang kedua, tentang otonorni daerah. Dari segi industri kami berpegang k w h ,
bahwa kita ini semua dalarn satu kesatuan negara RI. Moderator mengatakan
harus tunduk kepada komiwen nasional dan internasional. Mengenai .
pungutan, kami khawatirkan kalau berlain-lainan baik jenis maupun besarnya.
Hal ini akan mengganggu negara kesatuan dan investor menjadi takut untuk
masuk ke suatu daerah kecuali untuk suatu daerah yang pabriknya terlanjur
ada di situ dan akan menjadi sapi perahan. Hal itu perlu ada keseragarnan
antar daerah tentang jenis dan besar pungutan. Perlu ada pembicaraan antar
pusat dan daerah sehingga peraturan yang disiapkan oleh pusat dan dijalankan
oleh daerah sejalan dan daerah tidak menciptakan Perda-Perda sendiri kecuali
sudah bicara (koordinasi) dengan pemerintah pusat. Dengan demikian
investor akan lebih tenang bekerja dan mendirikan pabrik dimanapun akan
mendapat perlakuan yang sama.
2. 3awaban Pemrasaran
Dr. Ir. Gatot Ibnusantosa
Dari segi teknologi terjadi revolusi yang besar sekali. Dahulu di tahun 1980-an
(1976-1980-an) kita hanya mampu merubah komoditi kayu (yaitu 1 ton pulp)
mnjadi kertas sebesar 30%. Sedangkan sekarang telah mencapai 50%.
Teknologi bilangan kappa rendah rata-rata sudah mulai dipnakan sejak tahun
86-an. Dengan teknologi ini mampu menaikkan efisiensi dari segi pemakaian
bahan baku. Sebagai contoh adalah 1 ton pulp kebuMan bahan bakunya
(tergantung dari jenis kayunya dan jenis pemasakamya) 4.5 m3 . Ekspor kertas
kita telah menembus pasar Eropa yaitu di Finland, Swedia, Belanda, Itali dan
Spanyol. Dan bahkan ekspor kita telah menembus Kanada.
Kemampuan menembus ekspor ini merupakan pengakuan secara tidak
langsung di negara pengimpor. Bahwa kita telah mampu bersaing. Jenis pulp
yang diekspor adalah dari jenis hard wood. Yang digunakan di Eropa sebagai
substitusi sama seperti kita menggunakan pulp dari soff wood sebagai
substitusi. Masih banyak negara-negara di Asia yang menggunakan hard wood.
Komenhr u n b k Bapak Surmawi, saya berprinsip bahwa adanya satu industri
di satu ternpat harus mampu menggabungkan ketiga himpunan, yaitu:
1.
Membangun sosio perfomzance didaerah setempat
2.
Membangun enviro~znzental perfonrzalzce;
perpotongan dari kedua
himpunan diatas adalah menciptakan sosio environmental performance.
3.
Economic performance, yang rnenggambarkan keberadaan indusiri
tersebut efisien atau tidak didalam menggunakan prosesnya.
Perpotongan dari ketiga himpunan inilah yang dikenal sebagai konsep
sustainable performance. Komunity development akan bisa dikembangkan
dari interaksi ketiga himpunan ini dengan sendirinya.
budaya masyarakat kita yang lebih menyukai kertas dengan kualitas baik, .
mendorong biaya produksi menjadi tinggi dan akibatnya harga kertas meqadi
mahal. Padahal sebagaimana telah saya kernukakm tadi upaya-upaya untuk
rnereduksi biaya tadi sudah kita lakukan. Padahal untuk harga kertas di
Indonesia ini kita telah mengikuti harga dunia, namun kebijakan pemerintah
yang diberlakukm untuk beberapa penerbitan kita juga perlakukan harga yang
khusus.
Prof. Dr. Pr. Bungamn Saragz'k MEc.
Ada cerita menarik yang saya peroleh dari negeri Jerman dari pejalanan yang
baru saja saya lakukan. Bahwasanya hutan yang ada disana saat ini sernuanya
adalah bukan hutan alam, melainkan hutan buatan. Sebelum hutm alam di
Indonesia rusak, negara-negara rnaju telah terlebih dahulu merusak hutan
mereka. Namun saat ini mereka m e ~ m p a k a nkerusakan hutan alam itu ke
negara-negara bopis seperti Indonesia h i . Namun yang ingin saya katakan
adalah berapa sebenarnya optimunl size dari hutan alam kita hi. Saya kira
beIum ada yang gernah melakukan penelitian ini atau yang mengatakan.
Apabila angka tersebut dapat diketahui rnaka dapat juga ditentukm apakah
hutan tersebut sudah terlalu banyak diigunakan atau masih dapat dieksploitasi.
Kemudian bagaimana caranya agar ICITI h i dapat menjadi substitusi yang baik
untuk hutan darn tersebut. Jadi menurut pendapat saya, kita jangan terlalu
environmentalisme, tapi juga jangan terlalu comercialisme, tetapi kita harus
sustainable developmenSalisme. Saya mendengar dari Indah Kiat dan Indorayon
tadi bahwa pada mulanya rnereka memang menggunakan hutan alam, tetapi
secara perlahan rnereka berusaha menghilangkan ketergantungamya kepada
hutan alam.
Menurut pendapat saya marilah kita percepat
upaya
menghilangkan ketergantungan tersebut.
Realita bahwa pemerintah pusat dengan daerah mempunyai visi yang tidak
sarna, pemerintah dengan penpsaha, pengusaha dengan pemerintah daerah,
pemerintah daerah dan masyarakat, perusahaan dan masyarakat dan itulah
yang menyebabkan kita menjadi chaos seperti sekarang ini. Tapi kita jangan
dikalahkan dengan chaos, kita harus berbuat sesuatu, kita harus berbicara
banyak dan implikasinya ada cost untuk itu. Jangan hanya bisa menunlut,
tetapi yang p a h g baik adalah ambilah inisiatif. Sekarang ini Pusat Studi
Fernbangunan sedang mencoba untuk mengambil inisiatif ini supaya kita mulai
menciptakan visi bersama itu dengan cara menpndang pihak pemerintah,
LSM d m akaderni. Pertemuan h i mahaI mentang tapi penting karena kita
harus melakukan sesuatu, tidak hanya selalu mengeluh. Penyatuan visi itu
penting karena bila visi itu tidak kita cigtakan dengan rnisalnya duduk bersarna
sepeti h i , maka apa saja yang kita lakukan menjadi permma. Saya anjurkan
agar perusahaan pulp dan paper ini mengamba inisiatif teristirnewa pada level
kabupaten apabila ada masalah. Bila anda tidak mengambil inisiatif itu, rnaka
orang lain akan mengambil inisiatif iitu. Saya pikir itu yang tejadi dengan
hdorayon, dirnana orang lain yang justru mengambil inisiatif. Saya harapkan
hal yang sarna tidak terjadi di tempat lain. Saya kira perusahaan pulp dan
paper hams selalu mengambil inisiatif dan pro aktiif bila menghadapi masalah.
Sebelumya masalah seperti ini bisa diselesaikan pada tingkat nasional
misahya dengan berbicara dengan menteri atau dengan dijen, namun
sekarang sudah tidak ada manfaatnya upaya seperti itu. Dalam rangka
otonomi ini kewenangan memang telah didaerahkan dimana peran pusat
sudah sangat berkurang.
Memang benar pada waktu yang lalu, kita bisa menyalahgunakan community
developmenf termasuk juga penyalahgunaan oleh pengusaha. Nlenurut pendapat
saya salah satu kesulitan dari cornmurzity development pada masa lalu itu adalah
masalah pendekatanxlya yang terlalu pendekam teknis d m bisnis saja.
Kelemahan perusaham kita, di perkebunan juga tejadi, .yaitu tidak me
sosiolog dan ankopholog, yang banyak adalah e n e e e r s dan maester
managemen sehingga tidak bisa mengerti apa yang tejadi saat itu. Oleh
karena itu pembiayaan untuk communiftJ development lebih banyak dari yang
dibutuhkan, seperti yang tejadi pada Indorayon pada waktu ymg lalu.
CommuniftJ development fidak bisa dibuat secara nasional, hams local spesijic,
bahkan harus dari perusahaan ke perusahaan.
Selanjutnya jawaban saya untuk pertanyaan mengenai kertas unttlk humnn
investment. Menurut pendapat saya kertas harus menjadi uang terlebih dahulu,
baru kemudian uang dapat digunakan untuk hukan invesfnrent. Karena bila
tidak ada uang tidak mungkin ada investasi, dan pendapat ini yang sering
salah. Karena kaertas itu adalah hztnlan investmenf, maka beban biaya itu
semuanya diberikan kepada pabrik pulp dan paper. Sehingga yang salah selalu
pabrik pulp d m paper, padahal tidak demikian sebenarnya. Perusahaan
tersebut harus memenuhi tanggung jawabnya untuk commzinity development,
harus membayar modal, dan tentunya wajar bila harus mengharapkan
keuntungan.
Keuntungan yang diperoleh itulah digergunakan untuk
membayar pajak, dan pajak inilah yang seharusnya dipergunakan untuk hurnnrz
investmenf. Tetapi memang pada waktu yang lalu itu disalahgunakan, dan ini
yang akan kita perbaiki dimasa yang akan datang.
Jadi kertas uniuk hunzan invesfment itu memang benar, narnun jangan
dipergunakan untuk melawan para pengusaha pulp dan paper ini. Artinya
jangan kita membuat jargon-jargon yang hanya menguntungkan kita tetapi
merugikm orang lain.
Memang mengenai ketidakpastian ini tidak bisa kita hindari d h a s a reformasi
ini. Oleh karena itu marfiah kita bersama-sama rnengurangi ketidakpastim itu
dengan berdiskusi bersama dan berdialog dengan banyak pihak. Karena
menurut pendapat saya hanya dengan cara itu kita dapat mengurangi
ketidakpastian itu. Saya kira memang tidak ada cara lain, kecuali meIakukan
cara itu. Cara-cara lama misalnya dengan pemaksaan itu sudah tidak bisa kita
terapkan lagi karena banyak orang yang berani menentang pemaksaan.
Sehingga kuncinya memang dialog, dan dialog itu merupakan proses, sehhgga
memerlukan waktu dan biaya.
Prof. Dr. F.G. Soeratmo
Saya akan memulai dengan Pak Togu Manurung, bahwa mengenai aspek biaya
sejak tahun 1990 saat diadakamya Inter Parliamenter Conference di Washington,
telah disepakati bahwa sistem akuntasi (accounting system), harus dirubah
dengan apa yang disebut dengan environmental accounting. Maka didalam
sistem yang baru ini telah diinternalisasikan environmental cost.
Yang
d h a k s u d dengan environmental cost ini bukalah alat untuk membuang limbah
dsb, tetapi adalah biaya yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan atau proyek,
IlPisalnnya HPW. Dampak yang dimaksud adalah yang intangible, yaitu
diantaranya cost by diversify, cost karena erosi, cost karena penurunan kualitas
tmah, cost karena hilangnya mata air, dsb. Semua unsur biaya tersebut
dhasukkan dalam environmental cost, dan daiam anahis yang telah dilakukan
apabila biaya tersebut dimasukkan, ternyata cost-benefit kita menjadi sangat
buruk.
Accozlnting system yang barn sebagainnana saya kemukakm tadi hingga
sekarmg behm dijalankan di Indonesia. Environmental cost yang sehamsnya
masuk dalam Environmental accotlnting sama sekali belum kita jalankan. Untuk
mernperdalam ini saya saat ini sedang membimbing mahasiswa S3 agar kita
sama-sama dapat mempelajarinya nanti. Masaliah dalam environmental cost itu
terletak pada intangible value hgkungan itu sendiri sebenarnya harganya
berapa rupiah? Misalnya kerugian yang harus kita mggung karena adanya
asap pencemaran, seperti yang dialami oleh polisi lalu lintas, penjaga tol, dan
sebagainya. Nah, Kemgian-kerugian itu seharusnya dibayar. Hingga saat ini
pengusaha-pengusaha kita belum menggunakan sistem akuntasi seperti itu,
d h a n a kerugian orang lain yang diakiba&an oleh pengusaha itu,
diinternalisasikm dalam cost-pow. Oleh karena itu environmental accounting
yang dideklaras&an sejak tahun 1990 dan p e m e r i n ~kita juga turut
menandabngani ha1 itu.
Selanjuwya jawaban untuk Ibu Oemi. Tadi seolah-olah saya mengatakan
bahwa HI1 itu jelek. Skarang saya balik bertanya apakah I I P W itu jelek atau
buruk ?. Penilaian orang bisa baik atau jelek. Nah, yang saya katakan adalah
selama ini bahwa sebagian
pengalaman dan pengamatan saya terhadap
besar diantara yang saya amah tersebut rata-rata jeIek. Jadi saya banyak
rnengamati banyak IITI yang ternyata jelek sekali. Kejelekan flT1 menurut saya
adalah antara lain : (1) disebabkan oleh kesalahan departemen dalam
memberikan $in pengusahaan. Para pengusaha karena diberi maka u m m n y a
mengzkuti saja, n m u n yang fatal adalah misalnya faktor kemiringan lahan di
suatu lokasi diatas 40 derajat tentu saja itu tidak dapat digunakan untuk HTI,
.
padahal batas maksimal yang diijinkan adalah 9 derajat.
Selanjutnya
ketinggian diatas 800 m dpl, padahal paling tinggi yang diijinkan adalah 500 m
dpl. Ketentuan ini dimuat dalam Peraturan Pemerintah. Nah kesalahan yang
seperti ini adalah kesalahan pemerintah, d m bukan kesalahan pengusaha.
Yang ke (2) mengenai pembahan monokultur tanaman; saya kira Pak Rudy
Tarumingkeng dapat berbicara disini, misalnya mengenai pest and disease yang
diakibatkan jenis tanaman tadi. Oleh karena itu I-ITI jelek mengapa masih
diteruskan saja. Menurut pendapat saya, IITI ada yang jelek dan ada yang
b a s . Nah, perbedaan antara saya dengan Ibu Oemi adalah saya lebih banyak
mengamati HTI yang jelek, sedangkan Ibu Oemi banyak yang baa. Oleh
karena itu mengapa ITTB pada tahun 1990 mengeluarkan guide line mengenai
sustainable forest marzagenzenf untuk HPH, menghdikasikan bahwa HPH kita
belurn sustain.
Jadi contoh-contoh seperti di Porsea mil% IT. IIU, Karangos milik FT.
Sumalindo menun?ukkan pada kita bahwa ada IlTI yang bagus dan ada juga
yang jelek. Yang penting menurut saya adalah kita mengauti kriteria HTI yang
bagus.
Selanjuhrya mengenai percetakan; yang menjadi masalah apakah harga
kertasnya yang mahal atau daya beli kita yang rendah?
Mengenai pembungkus; yang sangat dominan adalah faktor budaya. Di suatu
negara, sebagai contoh kardus, pemerintah tidak mampu melarang perusahaan
makanan menggunakan pembungkus plastik.
Namun ketika ibu-ibu di negara tersebut tidak mau membeli makanan dengan
pembungkus plastik, maka dengan sendirinya, makanan-makanan yang dijual
di toko-toko tidak lagi menggunakan pembungkus plastik. Berkaitan dengan
penggunaan daun sebagai pembungkus maka faktor budaya juga erat
memegang peranan. Dahulu orang Jawa banyak menggunakan daun jaei
sebagai pembungkus makanan. Sampai-sampai bila tidak menggunakan daun
jati tidak mau, atau daun pisang sebagai pembungkus gudeg, makanan khas
Kogya. Nah itu s e m a faktor budaya.
Tentang zvaste paper yang dipergunakan disini sebagian telah menggunakan
lapisan pelindung, sebagaimana pernah saya amati di sebuah perusahaan di
Bekasi, dimana caranya adalah waste paper tersebut diblow dengan warna coklat,
menjadi boks, dan untuk pembungkus makanan, diberi lapisan.
Dr. Iilart'adi Pi;avfodihaujo
Saya ingin menambahkan mengenai hutan darn karena dalam pandangan saya
Ketika Pak Bungaran menceritakan
mas& ada yang belum clear.
pengalamamya di Jerman tadi. Mengapa FSC (Forest Steward Council),
rnenetapkan bahwa pembangunan IFTI dibawah tahun 1994 dikatakan
uncertified sebagaimana tercantum dalam point 9. Sebetulnya persoalannya
begini, bahwa s e m a negara/warganegara wajib mematuhi national law di
negarmya masing-mashg. lndonesia sudah menetapkan adanya pemisahan
bahwa HPH adalah pengelolaan hutan alam, s e d a n g k m I-FTI adalah
pengelolaan bukan hutan alam. K e m u d i m pada saat proses ecolabeling ini
berlangsung kita ( d u ~ amelihat
)
bahwa ada sekitar 16 juta Ha d i hutan alam
( d i HPH) itu rusak. Kenapa rusak, yang menyebabkan adalah antara lain IPKIPK oleh IITI. Sehingga dalam konteks misalnya seorang warga negara harus
mematuhi undang-undang d i negaranya sendiri, maka itu tidak kena d i level
itu. Jadi persoalamya bukan terletak pada boleh tidaknya negara-negara Eropa
dahulu telah merusak hutan alam mereka, sehingga kita juga boleh
merusaknya. Saya kira dalam konteks ini tidak relevan. Sehingga semua
negara-negara sepakat sejak tahun 1994 itu begitu juga kita, b u k a m y a kita
menghgkari peraturan d i negara kita sendiri. Sehingga p e r s o a l w y a
k e m d i a n adalah pemerintah harus memastikan kalau memang H T I itu dibuat
tidak mengkonversi hutan alam, maka tmplementasi d i lapangan juga harus
begitu. Ketika diketahui oleh publik bahwa sekitar 72 % itu sebenarnya adalah
secondan] forest, 24 % itu adalah virgin forest didalarn IITI, rnaka kennudim
kornplain ada disana. Sehingga ada persoalan-persoalan yang menentang ha1
ini. Seandainya k l a r w a s i dari policy ini jelas, sebenarnya tidak akan
m e n i n b u l k a n masalah. Jadi dengan perkataan lain selesai sudah permasalahan
baik atau buruk h d i bila masing-masing memegang rule ofthe game.
Tentu kita mempunyai pengalaman mengenai kekurang-berhasilan
gembangunan HTI. Mengapa jadi dernikian, menurut saya yang menonjol
adalafi pada tahun 1984 ke&a ada seminar mengenai timber estate, itu adalah
sebenarnya pemikiran HT'I pertama d i Indonesia. Saya kira kita semua
sependapat dengan pemerintah bahwa ketika p r o d u k t i ~ t a s hutan alam
menurun, maka HTI adalah salah satu solusinya. Saya kira tidak ada yang
menentang itu dan kita disini semua sepakat. Tetapi persoalamya adalah
bahwa pernerintah yang memiliki kemauan yang didukung oleh khalayak ini
menjalankamya dengan inslruksional, cona7zand and control policy. Misalnya
menarik 100 WPH harus m m b u a t flTI transmigrasi, yang berarti membuat
AkibaGnyra adalah orang-orang yang t a d m a tidak memiliki
subsidi.
kemampuan enkqreneurship coba-coba masuk, karena ada value disitu yang
non-marketable. S h i n g g a h p l i k a s i n y a banyak penyalahgunaan dalam konteks
command and control policy tersebut. Oleh karena ittu pelajaran yang sangat
berharga adalah tidak bisa lagi ha1 semacam h i dilakukan. Studi saya
menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan perusahaan yang tidak menerima
DR (dana reboisasi), lebih k g @ dibandingkan dengan perusaham yang
menerima DR, tentunya secara nasional, kita Gdak dapat menyebu&an PT demi
PT. N a h ini m e n u n j u k k m bahwa k e m a u m pemerintah tidak bisa dilakukan
dengan intmiksi be@tu saja.
Kedepan saya &a perusahaan dfiarapkan meninggalkan hutan alam dan
menuju IfTI untuk pulp d a n kerbs. Saya kira inipun tidak bisa dilakukan
dengan instruksional. Selama kayu dari hutan alam itu masih lebih murah
daripada kayu dari HTI, saya pikir semua pengusaha akan menggunakan
hutan alam, sehingga kebijakamya harus komprehensif, tidak bisa hanya
karena keinginan, tetapi harus tahu persis mengapa tedadi banyak persoalan,
misahya IPK fiktif. Itu saya kira yang harus diket&ui secara pasti oleh
pemerintah. Pemerintah juga harus mengetahui supply-demand kayu untuk
pulp dan kertas.
Uang terakhir saya ingin menanggapi tentang riil cost. Ketika saya melakukan
penelitian ke beberapa I-ITI, nilai US $ 26 itu sebenarnya cukup marjinal bagi
pembangun HTInya, mesEpun industri pulp dan kertas dapat menarik
keuntungan dari sana. Uang harus kita pikirkan adalah apabila sampai teqadi
harga kayu nntuk HIT itu US $ 26 per kubik, masalahnya adalah apakah ada
masyarakat yang tertarik untuk membangun HTI. Apabila antara HTI dan
perusahaan pulp dan kertas merupakan suatu holding company, tidak ada
masalah berapapun anda beli bahan baku tersebut. Namun apabila membeli
dari masyarakat maka kita gunya kepentingan agar supaya harga itu tidak
terlalu jatuh. Oleh karena itu sebenarnya perlu harga yang tidak under price,
sehingga betul-betul masyarakat pun akan tertarik karena harganya bagus. Ini
saya kira yang harus menjadi policy pemerintah. Sehingga harus ada sharing
disitu antara kepe~tingan pulp d m kertas disatu sisi dan kepentingm
masyarakat di sisi lain
3. Komentar Moderator
0
Pertama: hingga saat h i pasaran pulp dan kertas masih dikuasai oleh
negara Nort Scandinavia dimana pangsanya mencapai 62%. N a m
demikian Indonesia mas& punya peluang untuk memasuki pasar dunia.
Hingga saat ini pangsanya baru mencapai 10%.
0
Kedua: dalam proses pengembangan industri kertas dan pulp hi harus
tetap memperhatikan aspek ecolabeling secara terintegralii, yaitu dari
perolehan bahan baku, pemasaran, hingga penanganan limbah pabrik.
Saat ini kita rnasih mengandalkan hutan alam, namun harus dipersiapkan
untuk lepas dari hutan alam; semua perusahaan harus siap dengan hutan
tanaman.. Saat ini kita sudah mampu rnenghasilkan sekitar 40-60 m3 per ha
pertahun bahkan sebagian industri pulp sudah mempersiapkan diri untuk
mencapai 100 % pemenuhan bahan baku dari hutan buatan. Karena kita
tidak lagi dapat mengandalkan hutan, maka solusinya adalah kita harus
membangun IITI, dengan bibit dan benih yang unggul meskipun saat ini
mas& banyak ElTI yang belum memenuhi ketenlrum yang ada, rnisahya
lokasinya salah, IPK fiktif, dan sebagainya. Ternyata MTI yang tidak
memperoleh Dana Reboisasi menampakkan 'tingkat keberhasilan dan
kebaikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan IlTI yang menerima Dana
Reboisasi. Kenyataan hi menyimpulkan bahwa kemauan keras untuk
membangun IlTI itu jauh lebih penting dibandingkan dengan sekedar
menjalankan instruksi. Diharapkan karena saat ini terdapat 30% hutan
alam yang gundul, maka sebaiknya dkitulah Iokasi IFTI tersebut, sehingga
tidak hams mengkonversi fiutan alam.
Q
Ketiga: suatu ha1 yang harus segera kita atasi yang menyangkut
ketidakpastian otonomi, ketidakpastian kewenangan, ketidakpastian areal.
Hams ada persepsi yang sama anbra pemerintah, rakyat dan perusahaan
dan dirumskan secara lokal spesifik
Q
Keempat: yang menyangkut communiw development yang harus segera
dhmuskan dan tidak hanya dilepaskan saja. Harus diperhaaan social
cost bagi yang akan membanpn industri pulp dan IFTI. Setah saya sudah
ada industri-hdustri yang telah terbentuk dengan mengikut-sertakan
masyarakat dalam suatu program percontohan, atau demplot-demplot.
Notufis:
Ir. Agit KriwanMyono
Ir. Frans Dabukke
PSD
.
7%. IPB
Ir Titus Sarijanto, MSc.
Dr. Ir. Togu Manuuulzg (Fakultas Kehutanan IPB)
Pada kenyataamya indusei pulp dan kertas memmg memiliki tingkat
keuntungan yang sangat besar. Namm dibalik keuntungan yang diperoleh
tersebut ada sebuah pertanyaan: " Berapa besar yang harus dibayar untuk
sampai pada keuntungan yang besar tersebut?". Dasar permasalahannya
adalah untuk memproduksi pulp dan kertas tersebut diperlukan bahan baku
yang berasal dari hutan alam dimana diperkirakan mencapai 90 % dari total
bahan baku yang dipergunakan dalam proses produksi. Data yang diperoleh
dari Departemen Kehutanan menunjukkan bahwa kayu yang dipanen berasal
dari H l l pada tahun 1997/1998 baru mencapai 425 ribu m3 . Sebagaimiana juga
dikatakan oleh Bapak Titus selaku Dirjen Penpsahaan Hutan dalam Jakarta
Post bulan Juni 199%bahwa 100 % untuk keperluan industri pulp dan kertas di
negara ini mas* berasaI dari hutan afam. Dengan demikian dapat kita
simpulkan bahwa dalam memproduksi pulp dan kertas ini yang manjadi
tumpuan adalah hutan alam, sehingga boleh dikatakan kegiatan indusW ini
merusak hutan alam yang ada di Indonesia ini. Sebagahana juga kalangan
W M menyebutkamya dengan istilah pulping the rain forest. Dan yang paling
menonjol adalah kayu-kayu yang berasal dari IPK (Ijin Pemdaatan K a y ) dari
hutan konversi. Disatu ski tingkat keberhasilan program HTI yang telah
bejalan sekian lama, baru menunjukkan angka sekitar 22 %, atau boleh
dikatakan belum berkasil. Dengan demikian dalam kerangka issue ecolabehg,
negara kita akan menghadapi posisi yang sangat sulit memasarkan produk
pulp dan kertas di negara-negara yang sangat sensilif dengan isue lingkungan.
. Memang masih ada peluang rnisalnya dengan memasarkannya di negara-
negara Asia Timur yang belum terlalu sensitif dengan masalah isue
hgkungan, dimana konsumennya belum menuntut produk yang eco-friendly.
Berdasarkan kriteria yang dibuat oleh FSC (Forest Stewaard Council), sebagai
sebuah lembaga internasional yang ungguI dalam menangani ecolabeling
diluar 1% 14000 menunjukkan bahwa tidak mungkin mengeksport produk
pulp dan kertas dari Indonesia yang dihasilkan dari Ifl[? yang dibangun dari
hutan konversi. Ada ketentuan yang mengatur tentang hal itu terdapat dalam
Principle No. 9. Dan ini adalah salah satu tanbngan bagi kita. Ketentuan h i
dibuat sejak tahun 1996 atau 1993, dimana isinya adalah apabila E-ITI dibangun
dari hutan konversi maka lidak dapat memenuhi kriteria ecolabeling untuk FSC.
Yang ingin saya katakan adalah bagaimana tantangan kita kedepan ini dalam
rangka menghadapi ecolabeling. Memang sekali lagi saya katakan bahwa kita
mas& dapat mengekspor hasil hutan untuk negara-negara yang belum sensitif
mengenai isue lingkungan, namun demikian perkernbangan menunjukkan
bahwa semakin banyak sekali buyers grozlp yang dibangun oleh lembaga
lingkungan hidup dunia, seperti WWF agar hanya mengkonsumsi produkproduk kayu yang berasal dari hutan lestari, yang arlinya bahwa tantangan kita
adalah semakin besar.
Tentang gambaran tentang industri pulp dan kertas, faktanya mentmjukkan
bahvva secara gamblang merusak hutan alam. Oleh karena itu pembangunan
I-STI harus direalisasikafi. Secara teknologi dapat ditanyakan kepada saudara
Makmur Damanik dari IIU bahwa pembangunan I-FTI itu Lidak ada masalah.
Namun bagaimana itu tidak bisa berhasil, itu adaIah problem terbesar kita.
Jadi itu komentar saya, mohon dapat ditanggapi.
Drs. Ir. S ~ r m a wAbas
i
(Balai Besar Selulosa)
Saya tertarik kepada ide yang dilontarkan oleh Bapak Bungaran Saragih
tentang cornmzinity development. Apabila kita melihat fakta, pabrik pulp
u m u m y a berlokasi di luar Jawa dan pabrik kertas berada di luar kota. Maka
dalam rangka otonorni, dapat diramalkan akan tejadi tarikan kepenkgan
dengan masyarakat di daerah tersebut. Pengamatan saya terhadap tenaga kerja
menunjukkan bahwa pabrik pulp yang ada di luar Jawa keterlibatan
masyarakat yang ada di sekitar pabrik itu sedikit sekali ke pabrik. Disatu sisi
karena lokasinya yang jauh, dan faktor yang lain adalah masalah kemampuan
yang rendah.
Ide dari Bapak Bungaran ini adalah sangat baik, maka barangkali yang perlu
kita dishsikan atau mungkin Pak Saragih punya pemikiran-pemikiran yang
lebih rinci bagaimana cara melengkapi ide-ide ini. Sebab dalam rangka masa
transisi irui menurut saya sangat sukar siapa yang har& mengambil inisiatif
memperkuat indusiri kita di daerah tapi sekaligus juga memuaskan masyarakat
yang ada di daerah tersebut. Jadi masalah akan mengemuka namgaknya
adalah "putra daerah, bagaimana masyarakat daerah tidak semakin
termarjinalkan dengan adanya kehadiran industri di daerah tersebut. Dalam
pengamatan saya, apabila rnasalah putra daerah ini tidak diatasi atau
diantisipasi maka dapat menjadi embrio adanya friksi di rnasa yang akan
datang. Sekali saya berharap barangkali Pak Saragih memiliki pandmgan atau
pernah mengamati masalah ini sehingga dalam mngantisipasi keadaan ini
kedepan mungkin dapat lebih terencana lagi.
Bapak Sufamat (PTKertas Krap Aceh)
Pertanyaan saya ditujukan kepada Bapak Gatot atau Hariadi atau kepada
rimbawan yang lain. Mengenai bahan baku disebutkan didalam paper Pak
Gatot bahwa bahan baku I-TTI itu adalah US $ 26, tetapi dari Pak Hariadi
dikatakan bahwa ria cost belum tentu semurah yang kita perkirakan semula
karena adanya nilai/biaya atas dasar sesuatu yang "semu". Pertanyaan saya
adalah :
1.
Berapa "riil cost" bahan baku . Pertanyaan ini saya tujukan kepada
Bapak Hariadi barangkali ada data yang menunjukkan ha1 itu,
terutama untuk hard wood.
2.
Dari paper Pak Gatot disebutkan bahwa dalam satu tahun kita masih
mengimpor sekitar 900 s / d 1 juta ton pulp, yang sebagian besar
merupakan longfiber, kemdian ada pulp yang berasal dari non wood.
SebetuInya dari daerah kita yang merupakan hasil dari penghijauan
banyak sekali hutm pinus. Pertanyaan saya adalah dari reserve hutan
pinus yang ada ini apakah tidak bisa dibuat sebagai bahan baku ? Dari
perusaham kami pernah menjajaki kepada Inhutani TV dan P e r h u ~
Jawa Barat dan Jawa Tengah, tetapi memang hasilnya belurn bisa
diharapkm. Dan sebagai informasi sehubungan dengan kondisi yang
terjadi di daerah Aceh, maka kebutuhan kami untuk bahan baku tidak
dapat dipenuhi daerah Aceh sendiri.
Bapak WiZEy Laluyan (PTPradnya Paramifa)
Dalam diskusi ini saya memperhatikan aksentuasinya yaitu: "kertas untuk
rnenghasilkan uang" . Pertanyaamya sekarang adalah bagaimana "kertas
untuk hunzntz investrnenf". Bahwa ternyata kekayaan hutan alam ini berakibat
terbalik pada lapisan masyarakat menengah kebawah karena mengakibatkan
kekayaan hutan alam kita h i memiskinkan masyarakat kita dari segi sosial
ekonomi dan terutama kultural. Hal ini dikarenakan jutaan anak usia sekolah
yang sama sekali tidak dapat membeli buku karena harga kertas yang sangat
mahal. Padahal u n h k memproduksi buku itu, kertas mengambil porsi kurang
Iebih 50 %.
Bekrapa waktu yang lalu kami berdiskusi dengan para mahasiswa didapat
keshpulan bahwa mereka mengeluh karena tidak mampu membeli buku.
Harga buku-buku yang diterbi&an oieh perusahaan kami rata-rata diatas Rp 50
ribu, lalu mereka bertanya dimana kesanggupan karni untuk dapat membeli
buku ini. Akibat dari faktor itu adalah bangsa kita dinilai tidak bisa membaca.
Padahal dasar masalahnya bukan terletak disitu, yaitu malas dan lemah
membaca.
Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, dalam kurun waktu 10 hingga 15 tahun
mendatang internet akan melahirkan electronic book, electronic news paper, dan
electronic leaming. Semua produk globalisasi itu akan rnemaksa kita untuk
mengikuG pola hidup global. Disisi lain tingkat pendidikan d m kemampuan
masyarakat kita mas* rendah, sehingga golongan masyarakat sebagahana
saya sebutkan tadi akan terkggal. Faktor yang paling mempengamlni adalah
sebagian besar diantara mereka belum sampai gada kemampuan melek hufuf,
apalagi rnelek membaca. Sehingga apabila kemampuan mereka tidak kita
tingkatkan dengan misalnya banyak membaca, maka mereka akan tertinggaii.
Selanjubya adalah sebagaimana telah saya dengar pembicaraan tadi bahwa
waste paper yang banyak mengandung serat pmjang sebagian besar mas* kita
peroleh dari h p o r . Tingginya h p o r akan jenis kertas ini barangkali terletak
pada kebiasaan masyarakat Indonesia yang lebih menyukai kertas sebagai
Menurut pendapat saya,
pembungkus dibandingkan dengan daun.
seharusnya kita galakkan dan sosiakasikan kembali penggunam daun sebagai
pembungkus. Daun merniliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan
kertas, antara Iain adalah daun merniliki berbagai aroma alamiah yang hamm,
besih dan sehat. Penggunaan kertas sebagai pembungkus rnakanan akan
sangat berbahaya manakala kertas yang digunakan tersebut mengandung h t a ,
karena k t a ini adalah racun yang berbahaya bagi kesehaian.
Prof. Dr. Ir. Oemi Hani'in Stleseno (Fa kut-as &hatarran UGM)
Sebagaimana telah dikemukakan oleh pembicara tadi bahwasanya kayu yang
merniliki serat panjang mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kayu serat pendek. Karena kelebihan ini maka negara New Zealland
dan Australia rnemiliki keuntungan karena hutan mereka mempunyai potensi
yang besar dengan kayu serat panjang. Namun seberapa besar nilai tambah
yang dimiliki oleh kayu serat panjang ini, mohon dapat dijelaskan.
Berkaitan dengan pertanyaan saya sebelumnya, negara kita sebenarnya
merniliki potensi yang juga besar akan kayu serat panjang yaitu jenis Pinzis
rnevktrsii. Saya m e n y a r d a n agar jenis kayu ini dikembangkan di hutan-hutan
kita karena berbagai kelebihamya itu.
Kemudian, saya menyambut baik upaya yang diusulkan oleh pembicarapembicara tadi bahwasanya untuk keberlanjutan industri pulp dan kertas
sudah tidak la@ dapat mengandalkan hutan alam, melainkan hutan buatan..
Disamping karena hutan alam kita sudah menyusut, perhatian negara-negara
maju akan keberlanjutan hutan alam menjadi pertimbangan kita. Oleh karena
itu upaya yang harus dilakukan adalah sudah saatnya kita mengembangkan
hutan buatan, yaitu HTI yang dikembangkan dari benih yang dihasilkan
breeding dan biotehologi. FIT1 yang dikembangkan ini mampu menghasilkan
sekitar 40 sampai 60 m3 per ha pertahun di hutan Indonesia. Maka dengan FIT1
intensif, luasan tanam dapat kita batasi sehingga tidak mengganggu hutan alam
dan peruntukan lainnya. Dengan demikian biarlah hutan alam itu turnbuh
menjadi area konservasi. Kita membuat hutan tanaman produksi yang efisien
kompetifif dan lestari mengandalkan dari breeding dan tehologi biotek,
sedangkan breeding dan biotehologi h i mengharapkan layanan materi dari
hutan alam itu. Dalam hal ini konservasi yang dimaksud ada konservasi in situ,
yaitu di hutan alam sebagai penyediaan semua materi-materi yang akan kita
budidayakan; serta jenis konservasi ex-situ.
Kemudian saya ingin menanggapi apa yang dikemukakan okeh Bapak
G m a m a n Soeraho d m Bapak Wariadi mengenai hal yang menyangkut HTI.
Saya telah banyak mengarnati beberapa IlTI di Indonesia, bahwasanya IFTI itu
tidak sejelek yang dikemkakan Bapak Gmarwan dan Bapak Hariadi.
Tenhnya diantara yang baik tersebut ada juga yang jelek dapat dirnaklumi.
Narnun yang ingin saya k e m k a k m adalah dengan adanya HTI, sektor
kehuianan mengalami banyak perkembangan, diantaranya adalah bila pada
jaman dahulu nursenj itu menggunakan sebor, sekarang sudah' menggunakan
sprinkle untuk sistem pengairamya, sehingga waktu tanam dapat diatur.
Selanjubya adalah ditemukamya medium-medium yang efisien serta benihbenih bermutu. Beberapa contoh kasus yang terjadi pada banyak perusaham
dan mereka
yang mengetahui akan arti penkgnya breeding,
mengembmgkannya, temyata setelah saya amati pada seluruh IITI, terdapat
korelasi positif anbra perusaham IlTI yang mengembangkan breeding dengan
b a a dan mutu hasil tanaman I-ITI-nya.
PT IIU hingga saat ini mas& menggunakan mayoritas bahan baku yang berasal
dari hutan dam, dengan catatan apabila pabrik kita rnasih bisa beroperasi.
Proporsinya adalah sekitar 80 % bahan baku yang kami pergunakan berasal
dari hutan alam atau dengan perkataan lakt baru sekitar 20 % yang kami
peroleh dari hutan IFTI. Perkiraan kami pada tahun 2006/2007 kelak, kami
sudah. menggunakan bahan baku yang berasal dari hutan buatan sebanyak 100
%, artinya kami sudah tidak bergantung lagi kepada hutan alam. Perkiraan
karni tersebut dengan catatan bahwa pertambahan riap sebesar 24 m3 per ha
perbhun. Padahal peneiitian yang sudah kami lakukan di laborafotium
mampu menghasilkan pertambahan riap sebesar 100 m3 per ha pertahun.
Meskipun hasil tersebut mas* dalam taraf penelitian, bila seandainya dalam
,
aplikasi nanti, tingkat kegagalannya sebesar 30 %, maka angka 70 % mash
cukup baik untuk mengurang ketergantungan kami kepada hutan alam atau
mernpercepat ketidaktergantungan kami kepada hutan alam
Njauw h e f Meen (PT. Indah Kiat Pulp +&Paper)
Sebelummya saya ingin katakan bahwa saya rnemang sangat tertarik dengan
seminar prospek dan tantangan industri pulp dan paper ini. Sebelum saya
mengomentari mengenai kecukupan bahan baku saya ingin katakan dahulu
mengenai prospek dan tantangan ini.
Dalam pandangan saya, prospek industri ini sebagaimana dikemukakan oleh
Bapak Dirjen dan Bapak Bungaran, memang cukup menarik. Begitu juga
dengm yang dikemukakm ooleh Bapak Hariadi dalam perhitungan blaya
produksi itu, sering tejadi distorsi memang ada benamya. Jadi apa yang
dikemukakan oleh para pembicara tersebut hampix semanya benar. Namun
sejak tejadizlya krisis yang melanda negeri kita ini, yaitu kira-&&-a2-3 tahun ini
telah tejadi pembahan yang besar sekali. Uang kami rasakan adalah selama 23 tahun ini tidak ada lagi pembukaan kebun atau konversi hutan untuk daerah
transmigrasi.
Sehingga kami sebagai pengusaha jauh-jauh hari sudah
mengantir;ipasi sesuai dengan komimen dengan masyarakat kita bahwa di
tahun 2001) kami mengharapkan bahan baku dari IFTI kita sendiri. Dalam
kenyataannya hingga saat ini YT. Indah Kiat masih menggunakan bahan baku
dengan memanfaatkan mekanisme IPK, tetapi dalam persiapan perusaham
kita sudah bisa katakan 100 % mencukupi dari IlTI kita sendiri.
Selanjutnya yang kedua adalah tentang prospek dan tantangan industri pulp
kita. Tantangan yang kita hadapi dari group industri pulp kita berasal dari
semua arah. Kita tidak hanya harus menghadapi persaingan karena adanya
globalisasi ekonomi, tetapi ada juga tantangan yang berkaitan dengan kesiapan
kita menghadapi otonomi, serta keseimbangan antara pusat dan daerah.
Kondisi saat inipun kita belum bntas memfokuskan perhatian kita pada
hdustri, disebabkan perhatian kita harus terbagi untuk menanggulangi
bermacam-macam masalah. Sehingga kita mas& belum bisa baymgkan akan
ada atau tejadi apa setelah otonorni dijalankan nanti. Saya kira itu suatu
tantangan yang besar. Disamping itu belum adanya kesepakatan pendapat dan
pandangm di rnasyarakat kita akan kebutuhan industri pulp kita di negeri ini.
Sebagian masyarakat berpandangan bahwa industri ini sangat mencemari
h g k m g a n sehingga harus ditiadakan dari atas bumi Indonesia ini, padahal
apa yang dikemukakan oleh Bapak Gatot selaku Dijen, prospek industri pulp
$an paper ini smgat bagus dimasa mendatang. Bagaimana kita bisa
konsensuskan atau satukan visi kita mengenai pandangan terhadap industri ini
adalah merupakan tantangan I a h bagi kita. Begitu juga bagaimana kita
menyatukan visi h i menghadapi era otonom nanti, saya kira juga merupakan
tantangan yang besar.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bapak Bungaran, bahwa industri pulp ini
merupakan cluster indusfy, yang terdiri dari banyak Fndusiri dintaranya
Fndustri pulp sendiri, industri kimia dan industri kertas. Jadi dapat dikatakan
rnultidisipb industri. Diddam makalah Pak Bungarm d b a n a popup industri
hi membawa suautu sinergism untuk memenuhi airibut lokahya addah
sesuatu yang sangat menarik. Tetapi apakah tidak terlalu terlambat mengingat
industri telah terlanjur dibangun.
Bagaimana kita mengintegrasikan
kepentingan antara local people dengan industri yang ada, dan apabila ini tidak
kita rumuskan dengan baik, dan tidak kita sesuaikan dengan kondisi lapangan
akan menimbulkan suatu ko
atau mengundang suatu tuntutan yang sulit
untuk diatasi.
Yang terakhir adalah tentang sinergis atau atribut lokal sebagaimana yang
dikemukakan oleh Pak Bungaran menyangkut comrnunihj development.
Memang sudah menjadi slogan industri kita bagaimma membawakan economic
and social benejt bagi local people. Dan nampaknya angan-angan atau slogan ini
akan dapat tercapai apabila terdapat satu visi antara pemerintah, pengusaha
dan masyarakat sendiri. Oleh karena yang sellama ini terjadi adalah hanya
beruga bantuan sporadis saja dari perusaham, d m tidak sanzpai pada
rnenyelesaikan permasalahannya, bahkan sering d k a l a h p a k a n . 81eh karena
itu dalam co~nmunitydevelopment ini hams kita kembangkan cara yang dapat
diterinna oleh semua pihak agar supaya tidak menjadi bumerang dimadaa&an
oleh orang-orang pinter. Bila ini terjadi, akibatnya adalah biarpun pengusaha
telah mengeluarkan banyak uang untuk program pengembangan masyarakat,
hjuannya tidak a k a tercapai sebagaimana yang telah tejadi sebelumya dan
tetap akan sia-sia.
Leo Batubara (Seur'kaf Penerbit Surat Ka bar)
Yang akan saya komentari adalah mengenai posisi kertas dalam ha1
pencerdasan bangsa. Yang pertama adalah bahwa surat kabar kita tirasnya
baru mencapai 4,7 juta, yang arlinya 1 eksemplar surat kabar diperpnakan
untuk 43 orang penduduk.
Sebagai perbandingan Jepang 1 surat kabar
diperpnakan untuk 1,13 penduduk, Singapura 1 untuk 3 penduduk dan
MaIaysia 1untuk 8 penduduk. Artinya dilihat dari tingkat pexerdasan bangsa
itu sangat rendah, karena reading ratio ini suatu indikator u n h k melihat tingkat
kecerdasan bangsa menunjukkan angka yang rendah. Kemudian yang kedua
adalah buku, tingkat produksi sekiiar 1000 judul pertahun, sehlngga
mengakiba&an kegemaran membaca kita sangat rendah. Dan yang ketiga
adalah harga koran sangat mahal. St?bagai perbandingan untuk seorang buruh
di Arnerika dengan berlangganan USA Today sebulan, alokasi uang gaji yang
dikeluarkan untuk membayar langganan koran tersebut adalah cukup dibayar
dengan uang dari aIokasi kerja 1 jam 5 menit, sedangkan di Indonesia perlu
mengalokasikan gaji 4 hari kerja. Kemdian pertanyaanya adalah mengapa
jadi begitu rnahal ? yang pertama adalah karena harga kertas sangat maha1 dan
.
banyak yang diimpor, khususnya untuk kertas koran. Hal lainnya adalah
memang budaya kita dimana menginginkan buku dan kertas koran semuanya
dari bahan yang diimpor. Bangsa Bangladesh bangga kertas korannya berasal
dari mangrove meskipun second class quality, tapi yang terpenting adalah reading
habit hinggi. Kemudian masalah daya beli sebenarnya tidak ada soal, karena
reading habit kita rendah. Menurut hasil studi yang pernah dilakukan oleh
organisasi kami, spending masyarakat kita untuk membaca koran hanya 1,9
trilyun pertahun, sementara untuk rokok sebesar 47 trilyun pertahun dan
untuk narkoba sebesar 140 trilyun. Hasil penelitian itu menujukkan bahwa
kita sebenarnya memiiki uang untuk membeli rokok dan narkoba, tetapi tidak
untuk koran dan buku.
Selanjutnya rnengenai prospek adalah kita tidak boleh dibodoh-bodohi bahkan
oleh pemerintah sekalipun karena pengalaman sejarah menunjukkan dernikim,
dan apabila kedepan mas& seperti itu maka prospeknya adalah ltidak secerah
yang kita bayangkan. Oleh karena itu tantangamya adalah mengurangi
ketergantungan kita terhadap impor dan n~enggalakkanlocal content. Apalagi
dalarn rangka otonomi daerah, koran kita juga akan semakin mendaerah (local
based news paper). Tanpa harga kertas yang mmah, saya kira otonomi hanya
ada di angan-angan. Tanhngan yang kedua adalah rnenymgkut krisis, d h a n a
bagahana kita merubah life style untuk menggunakan kertas koran yang
murah.
Ir. H. R.lansur (Ketaa APKI)
Saya sangat tertarik dengan apa yang diajukan oleh Pak Bungaran mengenai
(CD). Dalam hal ini terutarna
hubungan industri dengan conrnzunit7~deuelop~?~e~zt
adalah adanya hutan kemasyarakatan. Hutan kemasyarakatan ini sudah
berhasil di Scandinavia bahkan Thailand. Idenya itu adalah disamping FIT1
pulp rakyat mendirikan hutan kemasyarakatan yang kalau bisa di Indonesia
dibantu dengan dana reboisasi. Di Riau Andalan model seperti itu sudah mutai
dilakukan, dimana ada 10 ribu Ha hutan rakyat, 8 ribu Ha ditanami pohon, 2
ribu Ha ditanami tanaman pangan, sehingga sarnbil rnenunggu pohon menjadi
besar, rakyat bisa rnakan, disamping perusahaan membantu teknis bibit dan
lain-lain dan janji untuk membeli kayunya. Hal ini baik karena akan
memakmurkan perusahaan dan masyarakat.
Tekad industri pulp adalah akan menggunakan kayu dari tanaman sendiri atau
dari mitra hutan kemasyarakatan. Jadi kami selalu tebang - tanam - tebang dan
tanaman selalu diperluas, karena kapasitas industri pulp makin lama makin
tinggi. Kalau tadinya 300 ribu ton/tahun maka sekarang 1500 ribu ton/tahun,
malah m m j u 1 atau 1,5 juta ton/tahun. Kami tidak akan meninggallcan hutan
karena investasi karni terlalu besar, misalnya, untuk 1 pabrik kayu lapis perlu
50 juta d o h , sedangkan industri pulp perlu 1,2 miliar dolar.
Yang kedua, tentang otonorni daerah. Dari segi industri kami berpegang k w h ,
bahwa kita ini semua dalarn satu kesatuan negara RI. Moderator mengatakan
harus tunduk kepada komiwen nasional dan internasional. Mengenai .
pungutan, kami khawatirkan kalau berlain-lainan baik jenis maupun besarnya.
Hal ini akan mengganggu negara kesatuan dan investor menjadi takut untuk
masuk ke suatu daerah kecuali untuk suatu daerah yang pabriknya terlanjur
ada di situ dan akan menjadi sapi perahan. Hal itu perlu ada keseragarnan
antar daerah tentang jenis dan besar pungutan. Perlu ada pembicaraan antar
pusat dan daerah sehingga peraturan yang disiapkan oleh pusat dan dijalankan
oleh daerah sejalan dan daerah tidak menciptakan Perda-Perda sendiri kecuali
sudah bicara (koordinasi) dengan pemerintah pusat. Dengan demikian
investor akan lebih tenang bekerja dan mendirikan pabrik dimanapun akan
mendapat perlakuan yang sama.
2. 3awaban Pemrasaran
Dr. Ir. Gatot Ibnusantosa
Dari segi teknologi terjadi revolusi yang besar sekali. Dahulu di tahun 1980-an
(1976-1980-an) kita hanya mampu merubah komoditi kayu (yaitu 1 ton pulp)
mnjadi kertas sebesar 30%. Sedangkan sekarang telah mencapai 50%.
Teknologi bilangan kappa rendah rata-rata sudah mulai dipnakan sejak tahun
86-an. Dengan teknologi ini mampu menaikkan efisiensi dari segi pemakaian
bahan baku. Sebagai contoh adalah 1 ton pulp kebuMan bahan bakunya
(tergantung dari jenis kayunya dan jenis pemasakamya) 4.5 m3 . Ekspor kertas
kita telah menembus pasar Eropa yaitu di Finland, Swedia, Belanda, Itali dan
Spanyol. Dan bahkan ekspor kita telah menembus Kanada.
Kemampuan menembus ekspor ini merupakan pengakuan secara tidak
langsung di negara pengimpor. Bahwa kita telah mampu bersaing. Jenis pulp
yang diekspor adalah dari jenis hard wood. Yang digunakan di Eropa sebagai
substitusi sama seperti kita menggunakan pulp dari soff wood sebagai
substitusi. Masih banyak negara-negara di Asia yang menggunakan hard wood.
Komenhr u n b k Bapak Surmawi, saya berprinsip bahwa adanya satu industri
di satu ternpat harus mampu menggabungkan ketiga himpunan, yaitu:
1.
Membangun sosio perfomzance didaerah setempat
2.
Membangun enviro~znzental perfonrzalzce;
perpotongan dari kedua
himpunan diatas adalah menciptakan sosio environmental performance.
3.
Economic performance, yang rnenggambarkan keberadaan indusiri
tersebut efisien atau tidak didalam menggunakan prosesnya.
Perpotongan dari ketiga himpunan inilah yang dikenal sebagai konsep
sustainable performance. Komunity development akan bisa dikembangkan
dari interaksi ketiga himpunan ini dengan sendirinya.
budaya masyarakat kita yang lebih menyukai kertas dengan kualitas baik, .
mendorong biaya produksi menjadi tinggi dan akibatnya harga kertas meqadi
mahal. Padahal sebagaimana telah saya kernukakm tadi upaya-upaya untuk
rnereduksi biaya tadi sudah kita lakukan. Padahal untuk harga kertas di
Indonesia ini kita telah mengikuti harga dunia, namun kebijakan pemerintah
yang diberlakukm untuk beberapa penerbitan kita juga perlakukan harga yang
khusus.
Prof. Dr. Pr. Bungamn Saragz'k MEc.
Ada cerita menarik yang saya peroleh dari negeri Jerman dari pejalanan yang
baru saja saya lakukan. Bahwasanya hutan yang ada disana saat ini sernuanya
adalah bukan hutan alam, melainkan hutan buatan. Sebelum hutm alam di
Indonesia rusak, negara-negara rnaju telah terlebih dahulu merusak hutan
mereka. Namun saat ini mereka m e ~ m p a k a nkerusakan hutan alam itu ke
negara-negara bopis seperti Indonesia h i . Namun yang ingin saya katakan
adalah berapa sebenarnya optimunl size dari hutan alam kita hi. Saya kira
beIum ada yang gernah melakukan penelitian ini atau yang mengatakan.
Apabila angka tersebut dapat diketahui rnaka dapat juga ditentukm apakah
hutan tersebut sudah terlalu banyak diigunakan atau masih dapat dieksploitasi.
Kemudian bagaimana caranya agar ICITI h i dapat menjadi substitusi yang baik
untuk hutan darn tersebut. Jadi menurut pendapat saya, kita jangan terlalu
environmentalisme, tapi juga jangan terlalu comercialisme, tetapi kita harus
sustainable developmenSalisme. Saya mendengar dari Indah Kiat dan Indorayon
tadi bahwa pada mulanya rnereka memang menggunakan hutan alam, tetapi
secara perlahan rnereka berusaha menghilangkan ketergantungamya kepada
hutan alam.
Menurut pendapat saya marilah kita percepat
upaya
menghilangkan ketergantungan tersebut.
Realita bahwa pemerintah pusat dengan daerah mempunyai visi yang tidak
sarna, pemerintah dengan penpsaha, pengusaha dengan pemerintah daerah,
pemerintah daerah dan masyarakat, perusahaan dan masyarakat dan itulah
yang menyebabkan kita menjadi chaos seperti sekarang ini. Tapi kita jangan
dikalahkan dengan chaos, kita harus berbuat sesuatu, kita harus berbicara
banyak dan implikasinya ada cost untuk itu. Jangan hanya bisa menunlut,
tetapi yang p a h g baik adalah ambilah inisiatif. Sekarang ini Pusat Studi
Fernbangunan sedang mencoba untuk mengambil inisiatif ini supaya kita mulai
menciptakan visi bersama itu dengan cara menpndang pihak pemerintah,
LSM d m akaderni. Pertemuan h i mahaI mentang tapi penting karena kita
harus melakukan sesuatu, tidak hanya selalu mengeluh. Penyatuan visi itu
penting karena bila visi itu tidak kita cigtakan dengan rnisalnya duduk bersarna
sepeti h i , maka apa saja yang kita lakukan menjadi permma. Saya anjurkan
agar perusahaan pulp dan paper ini mengamba inisiatif teristirnewa pada level
kabupaten apabila ada masalah. Bila anda tidak mengambil inisiatif itu, rnaka
orang lain akan mengambil inisiatif iitu. Saya pikir itu yang tejadi dengan
hdorayon, dirnana orang lain yang justru mengambil inisiatif. Saya harapkan
hal yang sarna tidak terjadi di tempat lain. Saya kira perusahaan pulp dan
paper hams selalu mengambil inisiatif dan pro aktiif bila menghadapi masalah.
Sebelumya masalah seperti ini bisa diselesaikan pada tingkat nasional
misahya dengan berbicara dengan menteri atau dengan dijen, namun
sekarang sudah tidak ada manfaatnya upaya seperti itu. Dalam rangka
otonomi ini kewenangan memang telah didaerahkan dimana peran pusat
sudah sangat berkurang.
Memang benar pada waktu yang lalu, kita bisa menyalahgunakan community
developmenf termasuk juga penyalahgunaan oleh pengusaha. Nlenurut pendapat
saya salah satu kesulitan dari cornmurzity development pada masa lalu itu adalah
masalah pendekatanxlya yang terlalu pendekam teknis d m bisnis saja.
Kelemahan perusaham kita, di perkebunan juga tejadi, .yaitu tidak me
sosiolog dan ankopholog, yang banyak adalah e n e e e r s dan maester
managemen sehingga tidak bisa mengerti apa yang tejadi saat itu. Oleh
karena itu pembiayaan untuk communiftJ development lebih banyak dari yang
dibutuhkan, seperti yang tejadi pada Indorayon pada waktu ymg lalu.
CommuniftJ development fidak bisa dibuat secara nasional, hams local spesijic,
bahkan harus dari perusahaan ke perusahaan.
Selanjutnya jawaban saya untuk pertanyaan mengenai kertas unttlk humnn
investment. Menurut pendapat saya kertas harus menjadi uang terlebih dahulu,
baru kemudian uang dapat digunakan untuk hukan invesfnrent. Karena bila
tidak ada uang tidak mungkin ada investasi, dan pendapat ini yang sering
salah. Karena kaertas itu adalah hztnlan investmenf, maka beban biaya itu
semuanya diberikan kepada pabrik pulp dan paper. Sehingga yang salah selalu
pabrik pulp d m paper, padahal tidak demikian sebenarnya. Perusahaan
tersebut harus memenuhi tanggung jawabnya untuk commzinity development,
harus membayar modal, dan tentunya wajar bila harus mengharapkan
keuntungan.
Keuntungan yang diperoleh itulah digergunakan untuk
membayar pajak, dan pajak inilah yang seharusnya dipergunakan untuk hurnnrz
investmenf. Tetapi memang pada waktu yang lalu itu disalahgunakan, dan ini
yang akan kita perbaiki dimasa yang akan datang.
Jadi kertas uniuk hunzan invesfment itu memang benar, narnun jangan
dipergunakan untuk melawan para pengusaha pulp dan paper ini. Artinya
jangan kita membuat jargon-jargon yang hanya menguntungkan kita tetapi
merugikm orang lain.
Memang mengenai ketidakpastian ini tidak bisa kita hindari d h a s a reformasi
ini. Oleh karena itu marfiah kita bersama-sama rnengurangi ketidakpastim itu
dengan berdiskusi bersama dan berdialog dengan banyak pihak. Karena
menurut pendapat saya hanya dengan cara itu kita dapat mengurangi
ketidakpastian itu. Saya kira memang tidak ada cara lain, kecuali meIakukan
cara itu. Cara-cara lama misalnya dengan pemaksaan itu sudah tidak bisa kita
terapkan lagi karena banyak orang yang berani menentang pemaksaan.
Sehingga kuncinya memang dialog, dan dialog itu merupakan proses, sehhgga
memerlukan waktu dan biaya.
Prof. Dr. F.G. Soeratmo
Saya akan memulai dengan Pak Togu Manurung, bahwa mengenai aspek biaya
sejak tahun 1990 saat diadakamya Inter Parliamenter Conference di Washington,
telah disepakati bahwa sistem akuntasi (accounting system), harus dirubah
dengan apa yang disebut dengan environmental accounting. Maka didalam
sistem yang baru ini telah diinternalisasikan environmental cost.
Yang
d h a k s u d dengan environmental cost ini bukalah alat untuk membuang limbah
dsb, tetapi adalah biaya yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan atau proyek,
IlPisalnnya HPW. Dampak yang dimaksud adalah yang intangible, yaitu
diantaranya cost by diversify, cost karena erosi, cost karena penurunan kualitas
tmah, cost karena hilangnya mata air, dsb. Semua unsur biaya tersebut
dhasukkan dalam environmental cost, dan daiam anahis yang telah dilakukan
apabila biaya tersebut dimasukkan, ternyata cost-benefit kita menjadi sangat
buruk.
Accozlnting system yang barn sebagainnana saya kemukakm tadi hingga
sekarmg behm dijalankan di Indonesia. Environmental cost yang sehamsnya
masuk dalam Environmental accotlnting sama sekali belum kita jalankan. Untuk
mernperdalam ini saya saat ini sedang membimbing mahasiswa S3 agar kita
sama-sama dapat mempelajarinya nanti. Masaliah dalam environmental cost itu
terletak pada intangible value hgkungan itu sendiri sebenarnya harganya
berapa rupiah? Misalnya kerugian yang harus kita mggung karena adanya
asap pencemaran, seperti yang dialami oleh polisi lalu lintas, penjaga tol, dan
sebagainya. Nah, Kemgian-kerugian itu seharusnya dibayar. Hingga saat ini
pengusaha-pengusaha kita belum menggunakan sistem akuntasi seperti itu,
d h a n a kerugian orang lain yang diakiba&an oleh pengusaha itu,
diinternalisasikm dalam cost-pow. Oleh karena itu environmental accounting
yang dideklaras&an sejak tahun 1990 dan p e m e r i n ~kita juga turut
menandabngani ha1 itu.
Selanjuwya jawaban untuk Ibu Oemi. Tadi seolah-olah saya mengatakan
bahwa HI1 itu jelek. Skarang saya balik bertanya apakah I I P W itu jelek atau
buruk ?. Penilaian orang bisa baik atau jelek. Nah, yang saya katakan adalah
selama ini bahwa sebagian
pengalaman dan pengamatan saya terhadap
besar diantara yang saya amah tersebut rata-rata jeIek. Jadi saya banyak
rnengamati banyak IITI yang ternyata jelek sekali. Kejelekan flT1 menurut saya
adalah antara lain : (1) disebabkan oleh kesalahan departemen dalam
memberikan $in pengusahaan. Para pengusaha karena diberi maka u m m n y a
mengzkuti saja, n m u n yang fatal adalah misalnya faktor kemiringan lahan di
suatu lokasi diatas 40 derajat tentu saja itu tidak dapat digunakan untuk HTI,
.
padahal batas maksimal yang diijinkan adalah 9 derajat.
Selanjutnya
ketinggian diatas 800 m dpl, padahal paling tinggi yang diijinkan adalah 500 m
dpl. Ketentuan ini dimuat dalam Peraturan Pemerintah. Nah kesalahan yang
seperti ini adalah kesalahan pemerintah, d m bukan kesalahan pengusaha.
Yang ke (2) mengenai pembahan monokultur tanaman; saya kira Pak Rudy
Tarumingkeng dapat berbicara disini, misalnya mengenai pest and disease yang
diakibatkan jenis tanaman tadi. Oleh karena itu I-ITI jelek mengapa masih
diteruskan saja. Menurut pendapat saya, IITI ada yang jelek dan ada yang
b a s . Nah, perbedaan antara saya dengan Ibu Oemi adalah saya lebih banyak
mengamati HTI yang jelek, sedangkan Ibu Oemi banyak yang baa. Oleh
karena itu mengapa ITTB pada tahun 1990 mengeluarkan guide line mengenai
sustainable forest marzagenzenf untuk HPH, menghdikasikan bahwa HPH kita
belurn sustain.
Jadi contoh-contoh seperti di Porsea mil% IT. IIU, Karangos milik FT.
Sumalindo menun?ukkan pada kita bahwa ada IlTI yang bagus dan ada juga
yang jelek. Yang penting menurut saya adalah kita mengauti kriteria HTI yang
bagus.
Selanjuhrya mengenai percetakan; yang menjadi masalah apakah harga
kertasnya yang mahal atau daya beli kita yang rendah?
Mengenai pembungkus; yang sangat dominan adalah faktor budaya. Di suatu
negara, sebagai contoh kardus, pemerintah tidak mampu melarang perusahaan
makanan menggunakan pembungkus plastik.
Namun ketika ibu-ibu di negara tersebut tidak mau membeli makanan dengan
pembungkus plastik, maka dengan sendirinya, makanan-makanan yang dijual
di toko-toko tidak lagi menggunakan pembungkus plastik. Berkaitan dengan
penggunaan daun sebagai pembungkus maka faktor budaya juga erat
memegang peranan. Dahulu orang Jawa banyak menggunakan daun jaei
sebagai pembungkus makanan. Sampai-sampai bila tidak menggunakan daun
jati tidak mau, atau daun pisang sebagai pembungkus gudeg, makanan khas
Kogya. Nah itu s e m a faktor budaya.
Tentang zvaste paper yang dipergunakan disini sebagian telah menggunakan
lapisan pelindung, sebagaimana pernah saya amati di sebuah perusahaan di
Bekasi, dimana caranya adalah waste paper tersebut diblow dengan warna coklat,
menjadi boks, dan untuk pembungkus makanan, diberi lapisan.
Dr. Iilart'adi Pi;avfodihaujo
Saya ingin menambahkan mengenai hutan darn karena dalam pandangan saya
Ketika Pak Bungaran menceritakan
mas& ada yang belum clear.
pengalamamya di Jerman tadi. Mengapa FSC (Forest Steward Council),
rnenetapkan bahwa pembangunan IFTI dibawah tahun 1994 dikatakan
uncertified sebagaimana tercantum dalam point 9. Sebetulnya persoalannya
begini, bahwa s e m a negara/warganegara wajib mematuhi national law di
negarmya masing-mashg. lndonesia sudah menetapkan adanya pemisahan
bahwa HPH adalah pengelolaan hutan alam, s e d a n g k m I-FTI adalah
pengelolaan bukan hutan alam. K e m u d i m pada saat proses ecolabeling ini
berlangsung kita ( d u ~ amelihat
)
bahwa ada sekitar 16 juta Ha d i hutan alam
( d i HPH) itu rusak. Kenapa rusak, yang menyebabkan adalah antara lain IPKIPK oleh IITI. Sehingga dalam konteks misalnya seorang warga negara harus
mematuhi undang-undang d i negaranya sendiri, maka itu tidak kena d i level
itu. Jadi persoalamya bukan terletak pada boleh tidaknya negara-negara Eropa
dahulu telah merusak hutan alam mereka, sehingga kita juga boleh
merusaknya. Saya kira dalam konteks ini tidak relevan. Sehingga semua
negara-negara sepakat sejak tahun 1994 itu begitu juga kita, b u k a m y a kita
menghgkari peraturan d i negara kita sendiri. Sehingga p e r s o a l w y a
k e m d i a n adalah pemerintah harus memastikan kalau memang H T I itu dibuat
tidak mengkonversi hutan alam, maka tmplementasi d i lapangan juga harus
begitu. Ketika diketahui oleh publik bahwa sekitar 72 % itu sebenarnya adalah
secondan] forest, 24 % itu adalah virgin forest didalarn IITI, rnaka kennudim
kornplain ada disana. Sehingga ada persoalan-persoalan yang menentang ha1
ini. Seandainya k l a r w a s i dari policy ini jelas, sebenarnya tidak akan
m e n i n b u l k a n masalah. Jadi dengan perkataan lain selesai sudah permasalahan
baik atau buruk h d i bila masing-masing memegang rule ofthe game.
Tentu kita mempunyai pengalaman mengenai kekurang-berhasilan
gembangunan HTI. Mengapa jadi dernikian, menurut saya yang menonjol
adalafi pada tahun 1984 ke&a ada seminar mengenai timber estate, itu adalah
sebenarnya pemikiran HT'I pertama d i Indonesia. Saya kira kita semua
sependapat dengan pemerintah bahwa ketika p r o d u k t i ~ t a s hutan alam
menurun, maka HTI adalah salah satu solusinya. Saya kira tidak ada yang
menentang itu dan kita disini semua sepakat. Tetapi persoalamya adalah
bahwa pernerintah yang memiliki kemauan yang didukung oleh khalayak ini
menjalankamya dengan inslruksional, cona7zand and control policy. Misalnya
menarik 100 WPH harus m m b u a t flTI transmigrasi, yang berarti membuat
AkibaGnyra adalah orang-orang yang t a d m a tidak memiliki
subsidi.
kemampuan enkqreneurship coba-coba masuk, karena ada value disitu yang
non-marketable. S h i n g g a h p l i k a s i n y a banyak penyalahgunaan dalam konteks
command and control policy tersebut. Oleh karena ittu pelajaran yang sangat
berharga adalah tidak bisa lagi ha1 semacam h i dilakukan. Studi saya
menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan perusahaan yang tidak menerima
DR (dana reboisasi), lebih k g @ dibandingkan dengan perusaham yang
menerima DR, tentunya secara nasional, kita Gdak dapat menyebu&an PT demi
PT. N a h ini m e n u n j u k k m bahwa k e m a u m pemerintah tidak bisa dilakukan
dengan intmiksi be@tu saja.
Kedepan saya &a perusahaan dfiarapkan meninggalkan hutan alam dan
menuju IfTI untuk pulp d a n kerbs. Saya kira inipun tidak bisa dilakukan
dengan instruksional. Selama kayu dari hutan alam itu masih lebih murah
daripada kayu dari HTI, saya pikir semua pengusaha akan menggunakan
hutan alam, sehingga kebijakamya harus komprehensif, tidak bisa hanya
karena keinginan, tetapi harus tahu persis mengapa tedadi banyak persoalan,
misahya IPK fiktif. Itu saya kira yang harus diket&ui secara pasti oleh
pemerintah. Pemerintah juga harus mengetahui supply-demand kayu untuk
pulp dan kertas.
Uang terakhir saya ingin menanggapi tentang riil cost. Ketika saya melakukan
penelitian ke beberapa I-ITI, nilai US $ 26 itu sebenarnya cukup marjinal bagi
pembangun HTInya, mesEpun industri pulp dan kertas dapat menarik
keuntungan dari sana. Uang harus kita pikirkan adalah apabila sampai teqadi
harga kayu nntuk HIT itu US $ 26 per kubik, masalahnya adalah apakah ada
masyarakat yang tertarik untuk membangun HTI. Apabila antara HTI dan
perusahaan pulp dan kertas merupakan suatu holding company, tidak ada
masalah berapapun anda beli bahan baku tersebut. Namun apabila membeli
dari masyarakat maka kita gunya kepentingan agar supaya harga itu tidak
terlalu jatuh. Oleh karena itu sebenarnya perlu harga yang tidak under price,
sehingga betul-betul masyarakat pun akan tertarik karena harganya bagus. Ini
saya kira yang harus menjadi policy pemerintah. Sehingga harus ada sharing
disitu antara kepe~tingan pulp d m kertas disatu sisi dan kepentingm
masyarakat di sisi lain
3. Komentar Moderator
0
Pertama: hingga saat h i pasaran pulp dan kertas masih dikuasai oleh
negara Nort Scandinavia dimana pangsanya mencapai 62%. N a m
demikian Indonesia mas& punya peluang untuk memasuki pasar dunia.
Hingga saat ini pangsanya baru mencapai 10%.
0
Kedua: dalam proses pengembangan industri kertas dan pulp hi harus
tetap memperhatikan aspek ecolabeling secara terintegralii, yaitu dari
perolehan bahan baku, pemasaran, hingga penanganan limbah pabrik.
Saat ini kita rnasih mengandalkan hutan alam, namun harus dipersiapkan
untuk lepas dari hutan alam; semua perusahaan harus siap dengan hutan
tanaman.. Saat ini kita sudah mampu rnenghasilkan sekitar 40-60 m3 per ha
pertahun bahkan sebagian industri pulp sudah mempersiapkan diri untuk
mencapai 100 % pemenuhan bahan baku dari hutan buatan. Karena kita
tidak lagi dapat mengandalkan hutan, maka solusinya adalah kita harus
membangun IITI, dengan bibit dan benih yang unggul meskipun saat ini
mas& banyak ElTI yang belum memenuhi ketenlrum yang ada, rnisahya
lokasinya salah, IPK fiktif, dan sebagainya. Ternyata MTI yang tidak
memperoleh Dana Reboisasi menampakkan 'tingkat keberhasilan dan
kebaikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan IlTI yang menerima Dana
Reboisasi. Kenyataan hi menyimpulkan bahwa kemauan keras untuk
membangun IlTI itu jauh lebih penting dibandingkan dengan sekedar
menjalankan instruksi. Diharapkan karena saat ini terdapat 30% hutan
alam yang gundul, maka sebaiknya dkitulah Iokasi IFTI tersebut, sehingga
tidak hams mengkonversi fiutan alam.
Q
Ketiga: suatu ha1 yang harus segera kita atasi yang menyangkut
ketidakpastian otonomi, ketidakpastian kewenangan, ketidakpastian areal.
Hams ada persepsi yang sama anbra pemerintah, rakyat dan perusahaan
dan dirumskan secara lokal spesifik
Q
Keempat: yang menyangkut communiw development yang harus segera
dhmuskan dan tidak hanya dilepaskan saja. Harus diperhaaan social
cost bagi yang akan membanpn industri pulp dan IFTI. Setah saya sudah
ada industri-hdustri yang telah terbentuk dengan mengikut-sertakan
masyarakat dalam suatu program percontohan, atau demplot-demplot.
Notufis:
Ir. Agit KriwanMyono
Ir. Frans Dabukke
PSD
.
7%. IPB