Analisis Potensi Tumbuhan Pakan Domestik pada Padang Penggembalaan di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
ANALISIS POTENSI TUMBUHAN PAKAN DOMESTIK PADA
PADANG PENGGEMBALAAN DI KABUPATEN
TIMOR TENGAH SELATAN
VIVIN ELMIYATI SEU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Potensi
Tumbuhan Pakan Domestik pada Padang Penggembalaan di Kabupaten Timor
Tengah Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, 27 Mei 2015
Vivin Elmiyati Seu
NIM D152110091
RINGKASAN
VIVIN ELMIYATI SEU. Analisis Potensi Tumbuhan Pakan Domestik pada
Padang Penggembalaan di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Dibimbing oleh
PANCA DEWI MANU HARA KARTI dan LUKI ABDULLAH.
Wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan berada di pesisir pantai hingga
pegunungan, salah satu sentra peternakan ruminansia di Nusa Tenggara Timur
yang pola penyediaan hijauannya bergantung pada hijauan domestik. Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis komposisi botani, potensi produksi bahan kering
rumput dan kapasitas tampung serta potensi produksi nutrisi rumput pada padang
penggembalaan di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juli 2013 di
Kecamatan Mollo Utara, Noebeba dan Amanuban Selatan. Metode yang
digunakan adalah survey lapang yaitu pengamatan pada padang penggembalaan.
Pengambilan data primer terdiri dari 94 responden. Variabel komposisi botani,
potensi produksi bahan kering rumput dan kapasitas tampung pada kondisi riil
dianalisis secara deskriptif sedangkan data potensi produksi bahan kering rumput
dan kapasitas tampung berdasarkan pengaturan pemotongan dianalisis
menggunakan Rancangan Acak Kelompok berpola faktorial 3 x 2 dengan 5 kali
ulangan dan uji lanjut Duncan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis rumput mendominasi padang
penggembalaan di Kecamatan Mollo Utara, sedangkan jenis leguminosa
mendominasi padang penggembalaan Kecamatan Noebeba dan Amanuban
Selatan. Potensi produksi bahan kering rumput pada kondisi riil di Kabupaten
Timor Tengah Selatan sebanyak 150 sampai 390 kg ha-1 thn-1 dapat menampung
0.24 sampai 0.63 ST ha-1 thn-1. Pengaturan pemotongan pada musim hujan
maupun musim kemarau dengan interval pemotongan 1 bulan di Kecamatan
Mollo Utara dan 2 bulan di Kecamatan Noebeba, Amanuban Selatan dapat
meningkatkan (P 2 000 000,-/bulan.
Keadaan Peternakan. Salah satu pendukung berjalannya roda
perekonomian di Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah sektor peternakan
karena daerah ini memiliki padang rumput yang sangat luas sehingga cocok untuk
9
pengembangbiakan ternak. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat
Statistik (Tabel 2) maka sapi merupakan ternak ruminansia besar yang paling
banyak dikembangbiakan.
Tabel 2 Populasi ternak ruminansia di Kecamatan Mollo Utara, Kecamatan
Noebeba dan Kecamatan Amanuban Selatan
Jenis
ternak
Sapi
Kuda
Kambing
Jumlah
Jumlah populasi ternak dewasa (ekor)
Kec. Mollo Utara
Kec. Noebeba
Kec. Amanuban Selatan
Dewasa*)
ST**)
Dewasa*)
ST**)
Dewasa*)
ST**)
10 658
10 658
5 866
5 866
14 659
14 659
78
78
0
0
11
11
783
125.28
1 281
204.96
3 241
518.56
11 519
10 861.28
7 147
6 070.96
17 911
15 188.56
Keterangan : *) Badan Pusat Statistik (2014). **) Hasil perhitungan satuan ternak (ST) =
Jumlah populasi x standar ST (sapi dan kuda dewasa = 1, kambing = 0.16).
Pemeliharaan ternak sapi Bali di Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan
perentase tertinggi yaitu 61.7% dibandingkan dengan ternak kuda dan kambing.
Polpulasi ternak di Kecamatan Amanuban Selatan lebih banyak tetapi bobot
badan rendah, dibandingkan populasi ternak di Kecamatan Mollo Utara dan
Noebeba tetapi bobot badan lebih tinggi. Hal ini dikarenakan produksi pakan, air,
konsumsi dan suhu lingkungan yang berbeda. Beragam jenis tanda pengenal
untuk ternak mereka akan tetapi di kabupaten ini lebih dominan yaitu sebesar
68.1% menandai ternak dengan pemberian nomor pada telinga sedangkan yang
menandai dengan cap pusaka di bagian paha sebesar 31.9%.
Ternak ruminansia seperti sapi, kuda dan kambing sangat berpotensi
dipelihara di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), karena terdapat padang
rumput yang sangat luas. Sistem pemeliharaan yang diterapkan di Kabupaten TTS
adalah sistem pemeliharaan intensif, semi intensif dan ekstensif.
Gambar 1 Sistem pemeliharaan ternak di Kabupaten Timor Tengah Selatan
Sistem pemeliharaan intensif diterapkan untuk sapi jantan dan pedet
dengan persentase sebesar 22.3% dan sistem pemeliharaan semi intensif
diterapkan untuk sapi betina dengan persentase sebesar 55.3%, sedangkan sistem
pemeliharaan ekstensif diterapkan untuk sapi betina dan kuda dilepas di padang
10
rumput dengan persentase sebesar 22.4%. Peternak menggembalakan ternak baik
sapi, kuda dan kambing di daerah ini dilakukan pada waktu pagi dan sore hari.
Sistem perkandangan yang diterapkan di kabupaten ini adalah sistem
perkandangan secara individu dengan persentase sebesar 3.2%, sistem
perkandangan terpisah antara jantan, betina atau anak dengan persentase sebesar
7.4% sedangkan persentase tertinggi 89.4% diterapkan untuk sistem
perkandangan campuran antara ternak jantan, betina dan anak (Gambar 2).
Kandang ternak ruminansia yang ada di daerah ini sangat sederhana dan
terbuat dari bahan kayu hutan yang tersedia sangat banyak. Untuk membangun
kandang tidak memerlukan keahlian khusus, akan tetapi kandang di bangun
dengan cara memagari dengan kayu membentuk sebuah lingkaran atau persegi
dengan atap dari daun kelapa atau daun lontar. Sebagian besar kandang tidak
menggunakan atap (Gambar 2).
Gambar 2 Sistem perkandangan di Kabupaten Timor Tengah Selatan
Jarak rumah peternak dengan kandang bervariasi yaitu 50-100 meter
sebesar 33.0% ; 100-150 meter sebesar 1.1% ; 150-200 meter sebesar 16.0% dan
> 200 meter sebesar 50%. Kandang pada umumnya tidak jauh dari lahan usaha
tani, sehingga ternak dapat memanfaatkan sisa hasil pertanian dan limbah kandang
digunakan sebagai pupuk bagi tanaman pertanian.
Manajemen Hijauan Pakan. Kebutuhan hijauan pakan bagi ternak,
semua peternak menanam di kebun kosong bekas lahan pertanian, pekarangan
rumah dan pinggir jalan. Jenis rumput yang ditanam di daerah ini adalah rumput
raja (kinggrass). Peternak juga memanfaatkan hijauan pakan yang tumbuh liar di
sekitar sawah maupun kebun. Peternak yang memanfaatkan hijauan pakan dengan
persentase terbanyak yaitu komposisi batang pisang (Musa paradisiaca L.), turi
(Sesbania grandiflora Pers.), kaliandra (Calliandra sp), lamtoro (Leucaena
leucocephala LAMK.), gamal (Gliricidia sepium Jacq. Kunth ex. Walp), kabesak
(Acacia leucophloea (Roxb.) Willd.), dan putak (Borassus flabellifer L.) sebesar
22.3% ; diikuti dengan komposisi lamtoro (Leucaena leucocephala LAMK.),
gamal (Gliricidia sepium Jacq. Kunth ex. Walp), kabesak (Acacia leucophloea
(Roxb.) Willd.) sebesar 21.3% ; lamtoro (Leucaena leucocephala LAMK.), gamal
(Gliricidia sepium Jacq. Kunth ex. Walp), kabesak (Acacia leucophloea (Roxb.)
Willd.), turi (Sesbania grandiflora Pers.), sentro (Centrocema pubescens Benth)
11
dan lamtoro (Leucaena leucocephala LAMK.), turi (Sesbania grandiflora Pers.),
kaliandra (Calliandra sp), batang pisang (Musa paradisiaca L.) sebesar 11.7% ;
sedangkan persentase penggunaan batang pisang (Musa paradisiaca L.), turi
(Sesbania grandiflora Pers.), kaliandra (Calliandra sp) sebesar 10.6%.
Penggunaan
dengan komposisi yang berbeda-beda ini disebabkan oleh
ketersediaan bahan pakan yang berbeda di setiap lokasi pemeliharaan atau
penggembalaan ternak dan tingkat kesukaan ternak.
Kendala utama yang dihadapi peternak adalah ketersediaan hijauan pakan
yang berkurang pada musim kemarau. Untuk mengantisipasi kekurangan hijauan
pakan adalah dengan memanfaatkan pakan lain seperti daun kapuk, daun kabesak,
batang pisang, batang ubi jalar dan batang lontar (putak).
Persentase frekuensi pemberian pakan pada ternak sebanyak tiga kali
sehari (pagi, siang dan sore hari) lebih banyak diterapkan di daerah ini yaitu
sebesar 89.4% dibandingkan dengan frekuensi pemberian pakan yang dilakukan
dua kali sehari (pagi dan sore hari) yaitu sebesar 10.6%. Jumlah pemberian
rumput tiap peternak berbeda, ada peternak yang memberikan 5-15 kg sebanyak
29.8%; 15-25 kg sebanyak 44.7% dan > 25 kg sebanyak 25.5% setiap hari.
Sedangkan pemberian tambahan konsentrat sebanyak 10 kg setiap hari.
Peternak mencari dan mengumpulkan hijauan pakan pada pagi hari jam
07.00-10.00 WITA dan sore hari jam 15.00-16.00 WITA. Jarak pengambilan
hijauan pakan berkisar 50 meter sampai dengan > 200 meter. Hijauan pakan
ternak diperoleh dengan cara menanam sendiri di pekarangan rumah, lahan
kosong bekas pertanian, kebun, pinggir jalan maupun mengarit dari tempat lain
dengan menggunakan parang, kemudian hijauan dimasukan dalam karung atau di
ikat sehingga tidak tercecer pada saat dibawa ke kandang. Setelah itu hijauan di
bawa ke kandang dan diberikan pada ternak untuk dikonsumsi oleh ternak atau
yang di kenal dengan sistem cut and carry (Gambar 1).
Moda penyediaan hijauan pakan ternak di Kabupaten Timor Tengah
Selatan oleh sebagian peternak adalah dengan cara menjunjung di pundak
merupakan persentase terbanyak yaitu 78.7% sedangkan menjunjung di kepala
sebanyak 3.2% (Gambar 3). Ada juga peternak yang menggunakan karung, kuda
dan motor untuk mengangkut hijauan pakan masing-masing sebanyak 1.1%.
Peternak juga mengkobinasikan diantara beberapa moda untuk mengangkut
hijauan pakan sebanyak 14.9%.
Gambar 3 Moda penyediaan hijauan di Kabupaten Timor Tengah Selatan
Alat yang digunakan oleh peternak untuk mengambil hijauan pakan adalah
parang atau sabit.
12
Manajemen Kesehatan Ternak. Penyakit ternak adalah salah satu faktor
yang menghambat dalam budidaya ternak ruminansia. Sebanyak 97.8% penyakit
yang menyerang ternak sangat beragam diantaranya mata buta, diare, batuk,
Septichaemia Epizotica (SE), mulut luka, kepala dan paha bengkak. Sehingga
peternak di daerah ini melakukan pencegahan dengan vaksinasi sebanyak 2 kali
dalam setahun. Peternak juga menggunakan obat-obat tradisional untuk
penyembuhan penyakit ternak.
Potensi Budidaya Ternak. Budidaya ternak ruminansia tidak terlepas
dari jumlah tenaga kerja. Peternak di daerah ini menggunakan tenaga kerja yang
berasal dari dalam keluarga, tidak menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga.
Hal ini disebabkan karena jenis usaha ternak masih bersifat jenis peternakan
rakyat dan masih bisa dilakukan oleh anggota keluarga.
Masyarakat menggunakan lahan yang ada untuk bercocok tanam, baik itu
sawah, ladang, kebun, beternak dan sebagai tempat untuk membangun rumah
(Wicaksono 2002). Sebagian besar lahan di Kabupaten Timor Tengah Selatan
dipergunakan untuk berkebun yaitu sebanyak 83%, ladang 9.6% dan untuk sawah
7.4%. Masyarakat di daerah ini menanam jenis rumput raja (kinggrass) di
pekarangan rumah, pinggir jalan dan kebun.
Kendala Kekurangan Pakan di Musim Kemarau. Kendala yang
dihadapi dalam memelihara ternak di Kabupaten Timor Tengah Selatan
diantaranya ketersediaan air, penyakit, obat-obatan, hijauan pakan dengan
persentase tertinggi yaitu 86.2%, sedangkan sisanya peternak hanya mengalami
kendala pada ketersediaan hijauan pakan saja. Kabupaten ini sebagian besar
wilayahnya beriklim tropis dengan curah hujan dan jumlah hari hujan rendah
sehingga kurang air maupun hijauan pakan. Penyakit menjadi kendala karena
sistem peternakan yang masih tradisional dan sistem perkandangan yang kurang
memadai sehingga ternak mudah terserang penyakit. Obat-obatan menjadi kendala
karena peternak susah mendapatkannya, baik itu ketersediaan dan tidak memiliki
uang untuk membeli obat atau vaksin.
Analisis Komposisi Botani
Komposisi botani di Kabupaten Timor Tengah Selatan secara rinci
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi botani di Kabupaten Timor Tengah Selatan pada musim hujan
dari interval pemotongan 1 bulan
Lokasi
Mollo Utara (1 007 m dpl)
Noebeba (500 m dpl)
Amanuban Selatan (65 m dpl)
Komposisi botani (%)
Rumput
Leguminosa
Gulma
73.27±10.25
7.10±3.71
19.63±6.67
64.51±6.08
20.23±4.28
15.26±3.33
63.98±6.33
23.46±2.77
12.56±2.73
Sumber : Hasil olahan data primer (2015), m dpl: meter di atas permukaan laut.
Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 3 menunjukkan lokasi dengan
ketinggian yang berbeda, persentase komposisi botani di Kecamatan Mollo Utara
terdiri dari rumput 73.27±10.25%; persentase komposisi jenis legum 7.10±3.71%
13
kemudian Kecamatan Noebeba terdiri dari rumput 64.51±6.08%, legum
20.23±4.28% dan Kecamatan Amanuban Selatan terdiri dari rumput 63.98±6.33%,
legum 23.46±2.77% (persentase jenis spesies rumput, legum dan gulma di
masing-masing lokasi dapat dilihat pada Lampiran Tabel 4, 6 dan 8). Komposisi
jenis rumput lebih mendominasi padang penggembalaan di Timor Tengah Selatan
dibandingkan jenis legum (Hall dan Walker 2005; Angassa et al. 2006). Hal ini
disebabkan karena pertumbuhan rumput lebih cepat yaitu membentuk rumpun,
mempunyai sistem perakaran yang kuat sehingga tahan terhadap injakan dan
renggutan ternak, pertumbuhan kembali sangat cepat setelah pemotongan
sehingga menghambat pertumbuhan legum. Walaupun rumput yang ada relatif
baik namun produksinya relatif rendah, sedangkan gulma yang ada di ketiga
lokasi ini cukup banyak dan beragam (Lowe et al. 2009). Komposisi botani suatu
padang penggembalaan tidak konstan. Hal ini dipengaruhi oleh iklim, kondisi
tanah dan sistem penggembalaan (Nunez et al. 2007). Tinggi rendahnya kualitas
suatu padang penggembalaan berkaitan erat dengan komposisi botani yang
terdapat pada padang penggembalaan tersebut (Junaidi dan Sawen 2010).
Analisis Produksi Bahan Kering Rumput yang Tersedia dan Kapasitas
Tampung Berdasarkan Kondisi Riil
Berdasarkan pengamatan pada Kabupaten Timor Tengah Selatan
diperoleh hasil produksi bahan kering rumput yang tersedia dan kapasitas
tampung berdasarkan kondisi riil dapat di lihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Produksi bahan kering rumput yang tersedia dan kapasitas tampung
berdasarkan kondisi riil
Komponen (satuan)
Prod. BK rumput 1 m2 (kg ha-1)
Proper use factor/PUF (%)
Prod. BK rumput tersedia (kg ha-1 thn-1)
Kebutuhan konsumsi ternak (kg ST-1)
Tetapan voisin (y-1) s = r
Kebutuhan luas lahan per bulan (ha ST -1)
Kebutuhan luas lahan per tahun (ha ST -1)
Kapasitas tampung (ST ha-1 thn-1)
Mollo Utara
(1 007 m dpl)
Lokasi
Noebeba
(500 m dpl)
420
70
290
190
3.3
0.65
2.14
0.46
560
70
390
190
3.3
0.48
1.58
0.63
Amanuban
Selatan
(65 m dpl)
220
70
150
190
3.3
1.26
4.15
0.24
Keterangan : Hasil olahan data primer (2015), m dpl: meter diatas permukaan laut.
Berdasarkan Tabel 4, menunjukkan bahwa produksi bahan kering rumput
yang tersedia di Kecamatan Noebeba (390 kg ha-1) lebih tinggi dari Kecamatan
Mollo Utara dan Noebeba. Penentuan nilai Proper Use Factor (PUF) berdasarkan
pengamatan di setiap kuadran, dengan mengamati banyaknya renggutan oleh
ternak, kemiringan lereng, jenis tanah, tipe iklim, dan kondisi tanah (Nunez at al.
2007; Susetyo 1980). Berdasarkan data yang diperoleh bahwa produksi bahan
kering rumput yang tersedia dengan persentase tertinggi di Kecamatan Noebeba
sebanyak 390 kg ha-1 thn-1 dapat menampung ternak sebanyak 0.63 ST ha-1 thn-1,
produksi bahan kering rumput yang tersedia di Kecamatan Mollo Utara sebanyak
290 kg ha-1 thn-1 dapat menampung ternak sebanyak 0.46 ST ha-1 thn-1, Sedangkan
produksi bahan kering rumput yang tersedia di Kecamatan Amanuban Selatan
14
sangat rendah yaitu 150 kg ha-1 thn-1 hanya mampu menampung ternak sebanyak
0.24 ST ha-1 thn-1. Jumlah populasi ternak di ketiga kecamatan lebih banyak
(Tabel 2) dibandingkan dengan produksi bahan kering rumput yang tersedia
(Tabel 4) sehingga terjadi overgrazing. Menurut Riwu-Kaho (1993) bahwa
kapasitas tampung padang penggembalaan di Timor berkisar antara 0.70-4.60 ST
ha-1 thn-1. Hal yang mempengaruhi penurunan kualitas dan kuantitas padang di
Timor adalah jumlah curah hujan dan hari hujan semakin sedikit, kerusakan yang
diakibatkan karena renggutan, injakan ternak (Jones and Lefeuvre 2006) dan
topografi lokasi dengan kelerengan, akan terjadi pencucian unsur hara pada
musim hujan (Njurumana et al. 2008) sehingga berkurangnya unsur hara dan
pertumbuhan kembali yang terhambat mempengaruhi produksi bahan kering
rumput.
Analisis Potensi Produksi Bahan Kering Rumput yang Tersedia dan
Kapasitas Tampung Berdasarkan Pengaturan Pemotongan
Berdasarkan pengamatan pada Kabupaten Timor Tengah Selatan diperoleh
hasil produksi bahan kering rumput yang tersedia dan kapasitas tampung
berdasarkan pengaturan pemotongan dapat dilihat pada Tabel 5, 6, 7 dan 8.
Tabel 5 Rataan potensi produksi bahan kering rumput yang tersedia (kg ha-1)
musim hujan
Interval
pemotongan
1 Bulan
2 Bulan
Rataana
a
Mollo Utara
(1 007 m dpl)
270.75±52.54
492.56±89.58
350.16±112.30a
Lokasi
Noebeba
(500 m dpl)
298.50±90.19
391.32±99.30
344.91±65.63a
Amanuban Selatan
(65 m dpl)
187.80±48.16
249.47±65.49
218.64±43.61b
Rataana
252.35±57.60b
356.78±94.88a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda nyata pada taraf
uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Interaksi antara lokasi dengan interval pemotongan tidak mempengaruhi
produksi bahan kering rumput (P>0.05). Lokasi dan interval pemotongan
berpengaruh (P
PADANG PENGGEMBALAAN DI KABUPATEN
TIMOR TENGAH SELATAN
VIVIN ELMIYATI SEU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Potensi
Tumbuhan Pakan Domestik pada Padang Penggembalaan di Kabupaten Timor
Tengah Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, 27 Mei 2015
Vivin Elmiyati Seu
NIM D152110091
RINGKASAN
VIVIN ELMIYATI SEU. Analisis Potensi Tumbuhan Pakan Domestik pada
Padang Penggembalaan di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Dibimbing oleh
PANCA DEWI MANU HARA KARTI dan LUKI ABDULLAH.
Wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan berada di pesisir pantai hingga
pegunungan, salah satu sentra peternakan ruminansia di Nusa Tenggara Timur
yang pola penyediaan hijauannya bergantung pada hijauan domestik. Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis komposisi botani, potensi produksi bahan kering
rumput dan kapasitas tampung serta potensi produksi nutrisi rumput pada padang
penggembalaan di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juli 2013 di
Kecamatan Mollo Utara, Noebeba dan Amanuban Selatan. Metode yang
digunakan adalah survey lapang yaitu pengamatan pada padang penggembalaan.
Pengambilan data primer terdiri dari 94 responden. Variabel komposisi botani,
potensi produksi bahan kering rumput dan kapasitas tampung pada kondisi riil
dianalisis secara deskriptif sedangkan data potensi produksi bahan kering rumput
dan kapasitas tampung berdasarkan pengaturan pemotongan dianalisis
menggunakan Rancangan Acak Kelompok berpola faktorial 3 x 2 dengan 5 kali
ulangan dan uji lanjut Duncan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis rumput mendominasi padang
penggembalaan di Kecamatan Mollo Utara, sedangkan jenis leguminosa
mendominasi padang penggembalaan Kecamatan Noebeba dan Amanuban
Selatan. Potensi produksi bahan kering rumput pada kondisi riil di Kabupaten
Timor Tengah Selatan sebanyak 150 sampai 390 kg ha-1 thn-1 dapat menampung
0.24 sampai 0.63 ST ha-1 thn-1. Pengaturan pemotongan pada musim hujan
maupun musim kemarau dengan interval pemotongan 1 bulan di Kecamatan
Mollo Utara dan 2 bulan di Kecamatan Noebeba, Amanuban Selatan dapat
meningkatkan (P 2 000 000,-/bulan.
Keadaan Peternakan. Salah satu pendukung berjalannya roda
perekonomian di Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah sektor peternakan
karena daerah ini memiliki padang rumput yang sangat luas sehingga cocok untuk
9
pengembangbiakan ternak. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat
Statistik (Tabel 2) maka sapi merupakan ternak ruminansia besar yang paling
banyak dikembangbiakan.
Tabel 2 Populasi ternak ruminansia di Kecamatan Mollo Utara, Kecamatan
Noebeba dan Kecamatan Amanuban Selatan
Jenis
ternak
Sapi
Kuda
Kambing
Jumlah
Jumlah populasi ternak dewasa (ekor)
Kec. Mollo Utara
Kec. Noebeba
Kec. Amanuban Selatan
Dewasa*)
ST**)
Dewasa*)
ST**)
Dewasa*)
ST**)
10 658
10 658
5 866
5 866
14 659
14 659
78
78
0
0
11
11
783
125.28
1 281
204.96
3 241
518.56
11 519
10 861.28
7 147
6 070.96
17 911
15 188.56
Keterangan : *) Badan Pusat Statistik (2014). **) Hasil perhitungan satuan ternak (ST) =
Jumlah populasi x standar ST (sapi dan kuda dewasa = 1, kambing = 0.16).
Pemeliharaan ternak sapi Bali di Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan
perentase tertinggi yaitu 61.7% dibandingkan dengan ternak kuda dan kambing.
Polpulasi ternak di Kecamatan Amanuban Selatan lebih banyak tetapi bobot
badan rendah, dibandingkan populasi ternak di Kecamatan Mollo Utara dan
Noebeba tetapi bobot badan lebih tinggi. Hal ini dikarenakan produksi pakan, air,
konsumsi dan suhu lingkungan yang berbeda. Beragam jenis tanda pengenal
untuk ternak mereka akan tetapi di kabupaten ini lebih dominan yaitu sebesar
68.1% menandai ternak dengan pemberian nomor pada telinga sedangkan yang
menandai dengan cap pusaka di bagian paha sebesar 31.9%.
Ternak ruminansia seperti sapi, kuda dan kambing sangat berpotensi
dipelihara di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), karena terdapat padang
rumput yang sangat luas. Sistem pemeliharaan yang diterapkan di Kabupaten TTS
adalah sistem pemeliharaan intensif, semi intensif dan ekstensif.
Gambar 1 Sistem pemeliharaan ternak di Kabupaten Timor Tengah Selatan
Sistem pemeliharaan intensif diterapkan untuk sapi jantan dan pedet
dengan persentase sebesar 22.3% dan sistem pemeliharaan semi intensif
diterapkan untuk sapi betina dengan persentase sebesar 55.3%, sedangkan sistem
pemeliharaan ekstensif diterapkan untuk sapi betina dan kuda dilepas di padang
10
rumput dengan persentase sebesar 22.4%. Peternak menggembalakan ternak baik
sapi, kuda dan kambing di daerah ini dilakukan pada waktu pagi dan sore hari.
Sistem perkandangan yang diterapkan di kabupaten ini adalah sistem
perkandangan secara individu dengan persentase sebesar 3.2%, sistem
perkandangan terpisah antara jantan, betina atau anak dengan persentase sebesar
7.4% sedangkan persentase tertinggi 89.4% diterapkan untuk sistem
perkandangan campuran antara ternak jantan, betina dan anak (Gambar 2).
Kandang ternak ruminansia yang ada di daerah ini sangat sederhana dan
terbuat dari bahan kayu hutan yang tersedia sangat banyak. Untuk membangun
kandang tidak memerlukan keahlian khusus, akan tetapi kandang di bangun
dengan cara memagari dengan kayu membentuk sebuah lingkaran atau persegi
dengan atap dari daun kelapa atau daun lontar. Sebagian besar kandang tidak
menggunakan atap (Gambar 2).
Gambar 2 Sistem perkandangan di Kabupaten Timor Tengah Selatan
Jarak rumah peternak dengan kandang bervariasi yaitu 50-100 meter
sebesar 33.0% ; 100-150 meter sebesar 1.1% ; 150-200 meter sebesar 16.0% dan
> 200 meter sebesar 50%. Kandang pada umumnya tidak jauh dari lahan usaha
tani, sehingga ternak dapat memanfaatkan sisa hasil pertanian dan limbah kandang
digunakan sebagai pupuk bagi tanaman pertanian.
Manajemen Hijauan Pakan. Kebutuhan hijauan pakan bagi ternak,
semua peternak menanam di kebun kosong bekas lahan pertanian, pekarangan
rumah dan pinggir jalan. Jenis rumput yang ditanam di daerah ini adalah rumput
raja (kinggrass). Peternak juga memanfaatkan hijauan pakan yang tumbuh liar di
sekitar sawah maupun kebun. Peternak yang memanfaatkan hijauan pakan dengan
persentase terbanyak yaitu komposisi batang pisang (Musa paradisiaca L.), turi
(Sesbania grandiflora Pers.), kaliandra (Calliandra sp), lamtoro (Leucaena
leucocephala LAMK.), gamal (Gliricidia sepium Jacq. Kunth ex. Walp), kabesak
(Acacia leucophloea (Roxb.) Willd.), dan putak (Borassus flabellifer L.) sebesar
22.3% ; diikuti dengan komposisi lamtoro (Leucaena leucocephala LAMK.),
gamal (Gliricidia sepium Jacq. Kunth ex. Walp), kabesak (Acacia leucophloea
(Roxb.) Willd.) sebesar 21.3% ; lamtoro (Leucaena leucocephala LAMK.), gamal
(Gliricidia sepium Jacq. Kunth ex. Walp), kabesak (Acacia leucophloea (Roxb.)
Willd.), turi (Sesbania grandiflora Pers.), sentro (Centrocema pubescens Benth)
11
dan lamtoro (Leucaena leucocephala LAMK.), turi (Sesbania grandiflora Pers.),
kaliandra (Calliandra sp), batang pisang (Musa paradisiaca L.) sebesar 11.7% ;
sedangkan persentase penggunaan batang pisang (Musa paradisiaca L.), turi
(Sesbania grandiflora Pers.), kaliandra (Calliandra sp) sebesar 10.6%.
Penggunaan
dengan komposisi yang berbeda-beda ini disebabkan oleh
ketersediaan bahan pakan yang berbeda di setiap lokasi pemeliharaan atau
penggembalaan ternak dan tingkat kesukaan ternak.
Kendala utama yang dihadapi peternak adalah ketersediaan hijauan pakan
yang berkurang pada musim kemarau. Untuk mengantisipasi kekurangan hijauan
pakan adalah dengan memanfaatkan pakan lain seperti daun kapuk, daun kabesak,
batang pisang, batang ubi jalar dan batang lontar (putak).
Persentase frekuensi pemberian pakan pada ternak sebanyak tiga kali
sehari (pagi, siang dan sore hari) lebih banyak diterapkan di daerah ini yaitu
sebesar 89.4% dibandingkan dengan frekuensi pemberian pakan yang dilakukan
dua kali sehari (pagi dan sore hari) yaitu sebesar 10.6%. Jumlah pemberian
rumput tiap peternak berbeda, ada peternak yang memberikan 5-15 kg sebanyak
29.8%; 15-25 kg sebanyak 44.7% dan > 25 kg sebanyak 25.5% setiap hari.
Sedangkan pemberian tambahan konsentrat sebanyak 10 kg setiap hari.
Peternak mencari dan mengumpulkan hijauan pakan pada pagi hari jam
07.00-10.00 WITA dan sore hari jam 15.00-16.00 WITA. Jarak pengambilan
hijauan pakan berkisar 50 meter sampai dengan > 200 meter. Hijauan pakan
ternak diperoleh dengan cara menanam sendiri di pekarangan rumah, lahan
kosong bekas pertanian, kebun, pinggir jalan maupun mengarit dari tempat lain
dengan menggunakan parang, kemudian hijauan dimasukan dalam karung atau di
ikat sehingga tidak tercecer pada saat dibawa ke kandang. Setelah itu hijauan di
bawa ke kandang dan diberikan pada ternak untuk dikonsumsi oleh ternak atau
yang di kenal dengan sistem cut and carry (Gambar 1).
Moda penyediaan hijauan pakan ternak di Kabupaten Timor Tengah
Selatan oleh sebagian peternak adalah dengan cara menjunjung di pundak
merupakan persentase terbanyak yaitu 78.7% sedangkan menjunjung di kepala
sebanyak 3.2% (Gambar 3). Ada juga peternak yang menggunakan karung, kuda
dan motor untuk mengangkut hijauan pakan masing-masing sebanyak 1.1%.
Peternak juga mengkobinasikan diantara beberapa moda untuk mengangkut
hijauan pakan sebanyak 14.9%.
Gambar 3 Moda penyediaan hijauan di Kabupaten Timor Tengah Selatan
Alat yang digunakan oleh peternak untuk mengambil hijauan pakan adalah
parang atau sabit.
12
Manajemen Kesehatan Ternak. Penyakit ternak adalah salah satu faktor
yang menghambat dalam budidaya ternak ruminansia. Sebanyak 97.8% penyakit
yang menyerang ternak sangat beragam diantaranya mata buta, diare, batuk,
Septichaemia Epizotica (SE), mulut luka, kepala dan paha bengkak. Sehingga
peternak di daerah ini melakukan pencegahan dengan vaksinasi sebanyak 2 kali
dalam setahun. Peternak juga menggunakan obat-obat tradisional untuk
penyembuhan penyakit ternak.
Potensi Budidaya Ternak. Budidaya ternak ruminansia tidak terlepas
dari jumlah tenaga kerja. Peternak di daerah ini menggunakan tenaga kerja yang
berasal dari dalam keluarga, tidak menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga.
Hal ini disebabkan karena jenis usaha ternak masih bersifat jenis peternakan
rakyat dan masih bisa dilakukan oleh anggota keluarga.
Masyarakat menggunakan lahan yang ada untuk bercocok tanam, baik itu
sawah, ladang, kebun, beternak dan sebagai tempat untuk membangun rumah
(Wicaksono 2002). Sebagian besar lahan di Kabupaten Timor Tengah Selatan
dipergunakan untuk berkebun yaitu sebanyak 83%, ladang 9.6% dan untuk sawah
7.4%. Masyarakat di daerah ini menanam jenis rumput raja (kinggrass) di
pekarangan rumah, pinggir jalan dan kebun.
Kendala Kekurangan Pakan di Musim Kemarau. Kendala yang
dihadapi dalam memelihara ternak di Kabupaten Timor Tengah Selatan
diantaranya ketersediaan air, penyakit, obat-obatan, hijauan pakan dengan
persentase tertinggi yaitu 86.2%, sedangkan sisanya peternak hanya mengalami
kendala pada ketersediaan hijauan pakan saja. Kabupaten ini sebagian besar
wilayahnya beriklim tropis dengan curah hujan dan jumlah hari hujan rendah
sehingga kurang air maupun hijauan pakan. Penyakit menjadi kendala karena
sistem peternakan yang masih tradisional dan sistem perkandangan yang kurang
memadai sehingga ternak mudah terserang penyakit. Obat-obatan menjadi kendala
karena peternak susah mendapatkannya, baik itu ketersediaan dan tidak memiliki
uang untuk membeli obat atau vaksin.
Analisis Komposisi Botani
Komposisi botani di Kabupaten Timor Tengah Selatan secara rinci
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi botani di Kabupaten Timor Tengah Selatan pada musim hujan
dari interval pemotongan 1 bulan
Lokasi
Mollo Utara (1 007 m dpl)
Noebeba (500 m dpl)
Amanuban Selatan (65 m dpl)
Komposisi botani (%)
Rumput
Leguminosa
Gulma
73.27±10.25
7.10±3.71
19.63±6.67
64.51±6.08
20.23±4.28
15.26±3.33
63.98±6.33
23.46±2.77
12.56±2.73
Sumber : Hasil olahan data primer (2015), m dpl: meter di atas permukaan laut.
Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 3 menunjukkan lokasi dengan
ketinggian yang berbeda, persentase komposisi botani di Kecamatan Mollo Utara
terdiri dari rumput 73.27±10.25%; persentase komposisi jenis legum 7.10±3.71%
13
kemudian Kecamatan Noebeba terdiri dari rumput 64.51±6.08%, legum
20.23±4.28% dan Kecamatan Amanuban Selatan terdiri dari rumput 63.98±6.33%,
legum 23.46±2.77% (persentase jenis spesies rumput, legum dan gulma di
masing-masing lokasi dapat dilihat pada Lampiran Tabel 4, 6 dan 8). Komposisi
jenis rumput lebih mendominasi padang penggembalaan di Timor Tengah Selatan
dibandingkan jenis legum (Hall dan Walker 2005; Angassa et al. 2006). Hal ini
disebabkan karena pertumbuhan rumput lebih cepat yaitu membentuk rumpun,
mempunyai sistem perakaran yang kuat sehingga tahan terhadap injakan dan
renggutan ternak, pertumbuhan kembali sangat cepat setelah pemotongan
sehingga menghambat pertumbuhan legum. Walaupun rumput yang ada relatif
baik namun produksinya relatif rendah, sedangkan gulma yang ada di ketiga
lokasi ini cukup banyak dan beragam (Lowe et al. 2009). Komposisi botani suatu
padang penggembalaan tidak konstan. Hal ini dipengaruhi oleh iklim, kondisi
tanah dan sistem penggembalaan (Nunez et al. 2007). Tinggi rendahnya kualitas
suatu padang penggembalaan berkaitan erat dengan komposisi botani yang
terdapat pada padang penggembalaan tersebut (Junaidi dan Sawen 2010).
Analisis Produksi Bahan Kering Rumput yang Tersedia dan Kapasitas
Tampung Berdasarkan Kondisi Riil
Berdasarkan pengamatan pada Kabupaten Timor Tengah Selatan
diperoleh hasil produksi bahan kering rumput yang tersedia dan kapasitas
tampung berdasarkan kondisi riil dapat di lihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Produksi bahan kering rumput yang tersedia dan kapasitas tampung
berdasarkan kondisi riil
Komponen (satuan)
Prod. BK rumput 1 m2 (kg ha-1)
Proper use factor/PUF (%)
Prod. BK rumput tersedia (kg ha-1 thn-1)
Kebutuhan konsumsi ternak (kg ST-1)
Tetapan voisin (y-1) s = r
Kebutuhan luas lahan per bulan (ha ST -1)
Kebutuhan luas lahan per tahun (ha ST -1)
Kapasitas tampung (ST ha-1 thn-1)
Mollo Utara
(1 007 m dpl)
Lokasi
Noebeba
(500 m dpl)
420
70
290
190
3.3
0.65
2.14
0.46
560
70
390
190
3.3
0.48
1.58
0.63
Amanuban
Selatan
(65 m dpl)
220
70
150
190
3.3
1.26
4.15
0.24
Keterangan : Hasil olahan data primer (2015), m dpl: meter diatas permukaan laut.
Berdasarkan Tabel 4, menunjukkan bahwa produksi bahan kering rumput
yang tersedia di Kecamatan Noebeba (390 kg ha-1) lebih tinggi dari Kecamatan
Mollo Utara dan Noebeba. Penentuan nilai Proper Use Factor (PUF) berdasarkan
pengamatan di setiap kuadran, dengan mengamati banyaknya renggutan oleh
ternak, kemiringan lereng, jenis tanah, tipe iklim, dan kondisi tanah (Nunez at al.
2007; Susetyo 1980). Berdasarkan data yang diperoleh bahwa produksi bahan
kering rumput yang tersedia dengan persentase tertinggi di Kecamatan Noebeba
sebanyak 390 kg ha-1 thn-1 dapat menampung ternak sebanyak 0.63 ST ha-1 thn-1,
produksi bahan kering rumput yang tersedia di Kecamatan Mollo Utara sebanyak
290 kg ha-1 thn-1 dapat menampung ternak sebanyak 0.46 ST ha-1 thn-1, Sedangkan
produksi bahan kering rumput yang tersedia di Kecamatan Amanuban Selatan
14
sangat rendah yaitu 150 kg ha-1 thn-1 hanya mampu menampung ternak sebanyak
0.24 ST ha-1 thn-1. Jumlah populasi ternak di ketiga kecamatan lebih banyak
(Tabel 2) dibandingkan dengan produksi bahan kering rumput yang tersedia
(Tabel 4) sehingga terjadi overgrazing. Menurut Riwu-Kaho (1993) bahwa
kapasitas tampung padang penggembalaan di Timor berkisar antara 0.70-4.60 ST
ha-1 thn-1. Hal yang mempengaruhi penurunan kualitas dan kuantitas padang di
Timor adalah jumlah curah hujan dan hari hujan semakin sedikit, kerusakan yang
diakibatkan karena renggutan, injakan ternak (Jones and Lefeuvre 2006) dan
topografi lokasi dengan kelerengan, akan terjadi pencucian unsur hara pada
musim hujan (Njurumana et al. 2008) sehingga berkurangnya unsur hara dan
pertumbuhan kembali yang terhambat mempengaruhi produksi bahan kering
rumput.
Analisis Potensi Produksi Bahan Kering Rumput yang Tersedia dan
Kapasitas Tampung Berdasarkan Pengaturan Pemotongan
Berdasarkan pengamatan pada Kabupaten Timor Tengah Selatan diperoleh
hasil produksi bahan kering rumput yang tersedia dan kapasitas tampung
berdasarkan pengaturan pemotongan dapat dilihat pada Tabel 5, 6, 7 dan 8.
Tabel 5 Rataan potensi produksi bahan kering rumput yang tersedia (kg ha-1)
musim hujan
Interval
pemotongan
1 Bulan
2 Bulan
Rataana
a
Mollo Utara
(1 007 m dpl)
270.75±52.54
492.56±89.58
350.16±112.30a
Lokasi
Noebeba
(500 m dpl)
298.50±90.19
391.32±99.30
344.91±65.63a
Amanuban Selatan
(65 m dpl)
187.80±48.16
249.47±65.49
218.64±43.61b
Rataana
252.35±57.60b
356.78±94.88a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda nyata pada taraf
uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Interaksi antara lokasi dengan interval pemotongan tidak mempengaruhi
produksi bahan kering rumput (P>0.05). Lokasi dan interval pemotongan
berpengaruh (P