Awas Media Manipulator

Awas Media Manipulator!

Sekarang di sektor komunikasi, khususnya media online, terdapat orang-orang bayaran (professional
communicator) yang kerjaannya membuat berita dengan memalsukan fakta dan meme-meme
pendukung. Mereka dibayar untuk memproduksi pesan untuk mendistorsi dan memanipulasi
informasi yang ada di masyarakat agar menciptakan opini publik bahkan gerakan politik sesuai
pesanan aktor politik yang berkepentingan di belakang layar. Bahkan ditengarai dana asingpun banyak
mengalir utk menciptakan keadaan tertentu sesuai kepentingan mereka.
Fakta-fakta palsu pesanan politik itu kemudian diberitakan serentak dan terus menerus di beberapa
media online abal abal jaringan mereka, kemudian dishare oleh para buzzer yg sudah disiapkan
sebagai pasukan siber.
Di Amerika Serikat komunikator profesional dibayar untuk bikin media abal-abal di internet untuk
dishare dan dibenarkan oleh teman-teman buzzernya sudah cukup lama. Ryan Holiday menulis
pengakuannya dalam buku "Trust me I am lying, The confession of an media manipulator" (2012).
Pengalaman Ryan inilah yg kemudian dicontoh dan dikembangkan di Indonesia. Sekarang media dan
akun abal-abal jadi marak, membiaskan informasi di media sosial.
Di masyarakat kita berita palsu yg sensasional, beserta meme buatan itu justru dianggap menarik dan
disukai, bahkan dianggap fakta yg harus dishare. Banyak warga masyarakat tidak peduli asal, sumber,
kualitas apalagi kebenaran informasi yg mereka terima tersebut. Mereka yg punya sikap tidak kritis
lalu begitu gemar ikut menyebarkan dan membagikan ke relasinya karena menganggap info-info palsu
itu adalah A1. Sehingga informasi-informasi buruk yg tidak benar tersebut lalu menjadi words of

mouth yg laris dan terus saja disebarkan.
Terjadilah Ten Ninety Communication, komunikasi 10 : 90. Dimana hasil penyebaran komunikasi itu,
justru 90% dilakukan suka rela oleh masyarakat yg suka pada informasi palsu itu. Sedang pelaku
komunikasi politik yg sesungguhnya hanya melakukan 10% saja. Tapi hasilnya bisa menjadi kekuatan
besar karena didukung "ketidaktahuan" masyarakat yg ikut menyebarkannya. Lewat mass self
communication, informasi palsu itu tersebar, bahkan juga dikonfirmasi atau diperkuat oleh media abal
abal lain yg memiliki misi senada.
Hasilnya banyak informasi palsu dianggap sebagai kebenaran oleh publik. Saat informasi itu makin
banyak dishare dan dibahas, maka orang-orang yg tidak sependapat, atau kritis pada kasus-kasus
cenderung diam, karena menghindari "keributan". Lama-lama suara yang membenarkan informasi
palsu tersebut bisa mendominasi media sosial. Karena mereka yang tidak setuju cenderung makin
diam (silent). Mereka khawatir sedang menghadapi "suara mayoritas" (padahal tidak, itu hanya
persepsi). Disitulah kemudian informasi palsu tersebut, tidak hanya dianggap sebagai suara mayoritas,
tapi juga menjadi nilai-nilai yang meresap dan mempengaruhi sikap politik.
Itulah kekuatan propaganda komunikasi lewat media sosial yang menciptakan Spiral of Silence atau
istilah Jermannya Die Schweigerspirale. Kurban2nya tidak sadar karena banyak yang isi propaganda
tersebut sesuai dengan predisposisi atau kecenderungan sikap mereka sebelum diterpa informasi
palsu itu.
Idealnya, memang harus ada counter propaganda yang mengungkap fakta-fakta. Sayangnya gerakan
kebaikan sering "kalah" dengan yang negatif. Maka salah satu cara menangkalnya adalah, dengan

tidak membiarkan kita menjadi korban propaganda politik yang akan memporak porandakan negeri
ini. Saatnya setiap memperoleh informasi negatif, dicheck dulu siapa sumbernya? Terpercaya atau
tidak? Kemudian dicheck isinya logis apa tidak? Apa isinya berbasis suudzon atau khusnudzon? Kalau
justru mudzarotnya lebih banyak, sebaiknya tidak usah kita ikut-ikut ngeshare informasi yang isi dan

sumbernya tidak jelas. Kecuali kita sendiri memang bagian dari orang-orang yang mengharapkan
kekacuan dan kehancuran negeri ini. Tapi apakah niat kita seburuk itu? Saya yakin tidak.
Henry Subiakto

Orang berpendidikanpun tidak kebal dari hoax, terutama kalau punya kesamaan sikap dengan isi
hoax. Orang seperti ini menjadi tidak kritis terhadap hoax, karena isinya cocok dengan sikap dan
kepentingannya, malah hoaxpun dipercaya dan dibenarkan, bahkan disebarkan. Kecerdasan
dan intelektualitas kadang memang bisa tumpul saat bersemayam bersama fanatisme yg
berlebihan.

CIRI CIRI PESAN HOAX
Akhir akhir ini, hampir setiap ada issue (peristiwa) yg bisa dimanfaatkan untuk disinformasi
mempengaruhi opini, maka muncullah hoax. Tatkala ada peristiwa yg menarik diketahui, tp
faktanya tdk atau belum lengkap (premature facts) padahal dlm kultur digital, masyarakat ingin
mengetahui segala informasi dengan cepat. Maka bnyk pihak melengkapi fakta yg blm lengkap

itu dengan informasi spekulatif, hasil interpretasi, atau bahkan rekaan yg sesuai kecenderungan
sikap atau kepentingan mereka. Hoax inilah yg muncul melengkapinya.
Hoax diproduksi untuk membenarkan misi, atau sikap, atau kepentingan dari para penyebar Hoax yg
menghalalkan kebohongan. Hoax begitu mudah diproduksi dan disebarkan krn perkembangan teknologi
digital dan pemanfaatan media sosial serta kultur masyarakat yg suka getol ngeshare pesan tanpa
dipikirkan mendalam. Korban hoax sering tidak sadar bahwa pikirannya sudah diarahkan oleh berbagai
hoax yg terserap dlm jangka waktu lama.
Hoax bisa berupa berita dusta di sebuah situs. Berupa pesan menyesatkan yg disebarkan di WA, atau
sosmed. Berupa foto hasil rekayasa atau editan. Berupa Meme yg menyesatkan. Bisa pula berupa berita
benar dari sebuah link situs berkredibilitas tapi depannya ditempeli judul dan pengantar yg menipu.
Kalau diamati ciri ciri hoax adalah:
1. Sumber yg membuat tdk jelas sehingga tdk bisa dimintai tanggung jawab.
2. Pesannya sepihak, hanya membela atau menyerang saja.
3. Sering mencatut nama nama tokoh seakan berasal dari tokoh itu.
4. Memanfaatkan fanatisme dengan nilai2 idiologi atau agama untuk meyakinkan.
5. Judul atau tampilan provokatif.
6. Judul dengan isi atau link yg dibuka tdk cocok.
7. Nama media mirip dengan nama media terkenal.
8. Minta spy dishare atau diviralkan.
Kalau ketemu pesan yang memenuhi sebagian ciri ciri seperti ini, jangan mudah percaya, dan jangan

dishare, itu jelas mengindikasikan ciri ciri Hoax.
Henry Subiakto.
7. Bersifat hiperealitas
8. Bisa membaik-baikkan atau menjelek-jelekkan
9. Biasanya 5W dan 1H nya ngga lengkap
10. Biasanya one sided message
11. Sumber berita kadang ngga ada, at jika ada, ngga jelas

Hati hati saat menyebarkan pesan di socmed. Menyebarkan pesan dari sumber yg tidak jelas, itu
berarti kita membenarkan isinya sekaligus mengambil tanggung jawab atas kebenarannya.
Kalau isinya ternyata fitnah atau tuduhan, maka kita secara hukum harus mempertanggung
jawabkannya, diancam UU ITE dan delik fitnah di KUHP.

Kekerasan verbal yg sering disuarakan elit politik, dan pendukung2nya di ruang publik atau
media sosial, memberikan kontribusi memanasnya politik di negeri ini. Kekerasan verbal sering
disuarakan oleh mereka yg frustrasi dengan menyerang, melecehkan, memberikan cap buruk,
pd pihak lain, justru mengeraskan konflik yg sdh ada.
Saatnya kita menghindari kekerasan verbal. Selain dengan tdk memproduksi atau
menyebarkannya, juga jangan mudah mempercayai informasi yg tdk jelas, dan provokatif, atau
memanaskan suasana. Abaikan orang atau informasi yg hny sengaja memancing kebencian

atau kemarahan kita. Dengan kesabaran dan tdk terpancing kekerasan verbal, kita telah
menyumbang ketenangan, minimal di lingkungan kita sendiri.
TOKOH
Setiap tokoh itu selalu memiliki dua karakter, yaitu karakter publik dan karakter privat. Karakter
publik itu sifat sang tokoh menurut publik, misal kesolehannya, kemulyaannya, hingga akhlak
kebaikan yg lain.
Karakter publik ini terlihat dari tampilannya di depan publik atau umum. Yaitu gambaran tokoh
tersebut di benak orang banyak yg interaksinya tdk terlalu dekat, atau tdk langsung sehingga
hanya melihat kulit luar, pakaian dan berbagai penampilan di panggung depan (Erfing Goffman :
Front Stage).
Sedangkan karakter privat, adalah sifat asli sang tokoh yg hanya diketahui oleh orang orang
dekatnya. Orang orang yg akrab, bahkan intim bergaul secara pribadi di panggung belakang
(Back Stage kata Erving Goffman).
Seorang tokoh, bisa memiliki karakter publik dan karakter privatnya tidak sama atau tidak sesuai.
Banyak tokoh yg karakter publiknya amat mulia dan mengagumkan, tapi ternyata dicibir oleh
orang orang dekat, yg berinteraksi langsung dengan sang tokoh. Ini karena buruknya karakter
privat sang tokoh di panggung belakang. Orang orang yg dekatlah yang bisa tahu tentang
keburukan atau belangnya sang tokoh. Ada pula tokoh yang karakter privatnya sangat baik
dihormati oleh lingkungan sekitar dan kerabatnya, tapi yang bersangkutan tidak menonjol di
publik. Publik tidak kagum dan tidak memuja mujanya.

Ini semua karena peran media. Peran media komunikasi yg membangun the pictures in our
heads tentang orang yang ditokohkan dan dikagumi secara luas (Lippmann). Kalau media
termasuk medsos mengekspose terus menerus tentang kiprah mulya, tampilan suci yg
mengagumkan dari tokoh tersebut, maka karakter publik tokoh itupun akan moncer. Masyarakat
luas akan memuja muja bahkan bisa rela melakukan apa saja untuk sang tokoh.
Tapi bisa beda 180 derajad dengan yg kenal secara pribadi. Terlebih kalau ada yang punya
hubungan pribadi tersebut punya pengalaman nyata yang buruk, kemudian fakta buruk itu
terungkap di publik, di media. Sisi gelap yang ada di back stage atau di panggung belakang itu
terbingkar di publik, maka ributlah publik atau masyarakat luas, yg selama ini hanya bisa melihat
dari jauh. Jadilah kontroversi, jadilah keributan, jadilah kekecewaan.
Disitulah kenapa kita harus hati hati menilai seorang tokoh, apalagi yg kita kagumi. Jangan
hanya melihat dari tampilan fisik yg nampak di panggung depan. Contoh sudah banyak yg
mengecewakan, katakalah dari Kanjeng Dimas Taat Pribadi, Gatot Brojomusti, atau yg lain.
Tokoh itu kadang kadang dipandang baik, bukan karena nyata nyata baik. Tapi karena Allah
masih menutup aibnya. Ini berlaku juga bagi kita semua. Kita terlihat baik juga belum tentu benar
benar baik, tapi karena ditutup aib kita oleh Allah. Maka jangankah kita merasa lebih baik dan
merasa lebih suci dari yang lain. Padahal sebenarnya hanya karena Allah masih melindungi kita.
Semoga semua ini menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak bersikap secara berlebihan. Baik

dalam hal suka atau benci pada seorang tokoh, jangan pula kaget jika tokoh idaman kita ternyata

punya sisi amat gelap tak sesuai yg kita bayangkan.
Wasalam
Henry Subiakto

Penutupan situs meresahkan mungkin bisa meredam konflik tapi tidak bisa mengatasi akar permasalahan. Oleh
karenanya saya sepakat agar RPTRA yang sudah ada di Jakarta dapat ditumbuhkan di daerah lain agar setiap
warga masyarakat dapat ikut berperan aktif menjaga kententraman lingkungannya masing-masing

Apresiasi Penerapan UU ITE secara benar oleh PN Surabaya
Kamis lalu sdh ada keputusan PN Surabaya thd kasus pak Singki Suwaji yg didakwa melanggar
UU ITE pasal 27 ayat 3 karena mengkritik "penjarahan Satwa" di KBS. Walau awalnya Pak
Singky sempat ditahan di Rutan Medaeng lalu tahanan kota. Akhirnya ini tadi diputus "Bebas
Murni" oleh PN Surabaya. Saya ikut bersyukur krn sempat diminta jadi saksi ahli di persidangan.
Dan secara tegas saya katakan UU ITE tdk melarang orang berpendapat atau mengkritik. Pak
Singky saya nyatakan tdk melanggar UU ITE secara clear. Karena beliau hanya mengkritik dengan
pendapatnya. Kalau UU ITE dipakai untuk mengadili orang2 yg kritis atau berpendapat, maka UU ITE
akan mjd draconian code yg menjelekkan nama Indonesia di luar negeri. UU ITE itu filosofinya adalah
perlindungan hukum terhadap transaksi ekektronik, bukan pembatasan terhadap kebebasan berpendapat.
Alhamdulillah ternyata hakim PN Surabaya mendengarkan keterangan saya. Terbukti dalam keputusannya
sempat mensitir beberapa pendapat saya. Dan hasilnya pak Singky bebas murni.

Ini adalah kali kedua saya sbg saksi ahli kasus UU ITE pasal 27 ayat 3. Dan keduanya berhasil
memenangkan tersangka dengan bebas murni. Pertama dulu adalah kadus mbak Irvani di PN Bantul, yang
kasusnya sampai MA. Hasilnya bebas murni. Yang kedua adalah pak Singky Suwaji yang tadi siang
diputus bebas murni oleh PN Surabaya.
Alhamdulillah. Biasanya saat saya diminta jd saksi ahli, baru pemberkasan BAP dan gelar perkara sdh
tidak dilanjutkan oleh penegak hukum, krn sering saya tunjukkan unsur unsurnya tidak memenuhi. Tp
untuk di Bantul dan di Surabaya ini yg minta adalah pengacara, jadi memang harus tampil di pengadilan.
Apresiasi untuk Majelis Hakim PN Surabaya yg telah mengadili pak Singky dan hakim yg mengadili mbak
Irfani. Mereka telah menerapkan UU ITE secara benar. Mereka mengerti perbedaan berpendapat dengan
menuduh atau pencemaran nama baik. Selamat untuk pak Singky yg sudah bebas. Dan silahkan utk tetap
kritis dan galak he he. Tapi jangan lupa syukuran makan duren Wonosalam. Saya tunggu. Nak gak
syukuran mengko genti disyukurno uwong he he he. Wassalam.

Pasal 27 ayat 3 : Tiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat
bisa diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yg bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik.

Hoax itu bukan produk civil society tp produk aktor aktor hitam yg memanfaatkan keluguan
publik. Bhkn tak sedikit lho hoax itu diproduksi asing sebagai bagian dari geo politik. Apalagi
hoax yg motifnya dagang, penyesatan itu jelas anti etika dan regulasi.
Apa hoax harus dibiarkan atas nama Demokrasi? Atas nama HAM? Apa mmg demokrasi dan

HAM membenarkan kebebasan untuk memalsu fakta? Kebebasan untuk menghalalkan segala
cara yg tdk jujur?
Eko Parmadi Semua posting yg berkaitan dengan subyek tertentu yang tidak didasari dengan document legal adalah hoax,
ini dapat dikategorikan dengan pencemaran nama baik yg di kuhp RI dapat dipidanakan. Ada baik nya kalo Polisi RI

membuat suatu bagian khusus IT legal reinforcement yg dilengkapi dengan peralatan dan sumberdaya yg mumpuni untuk
menindak tegas para penyebar hoax.

Menyimak ILC tadi malam. Kok masih ada ya "orang orang hebat" yg tidak bisa membedapakan
antara kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dengan larangan memfitnah, penyebaran
kebencian SARA dan produksi hoax. Mosok larangan UU terhadap memfitnah, penyebaran
kebencian SARA dan hoax di sosmed dianggap ciri2 negara otoriter? Lalu apa kalau hoax, fitnah
dan kebencian SARA di negara demokrasi harus dibebaskan?

Kalo namanya Tim Sukses itu ya harus membaik baikkan pasangan yg dibela, dan menunjukkan
keburukan lawan. Aneh saja kalau tim sukses dianggap objektif. Walau dia ngaku objektif dan
akademik.
Tetep hrs objektif pak...artinya sy memaknai objektif dlm konteks ini sbg melebihkan diri dan menunjukkan
kelemahan/kekurangan kompetitor, tetap dg data, dan bhs santun. Tdk asal bunyi, tdk fitnah. Tdk apa2 negative
campaign asal ada data dan santun....jgn black campaign...


HOAX ITU SENJATA POLITISI BUSUK
Selalu ada kelompok masyarakat yg dijadikan obyek Hoax. Di Eropa dan Amerika Serikat,
kelompok sasaran hoax itu adalah imigran muslim yang datang kesana. Hoax dijadikan senjata
kalangan politisi Nasionalis sayap kanan untuk membangkitkan kecemasan menentang lawan
politiknya, dengan cara menggambarkan bhw orang Islam itu ancaman bagi negara mereka.
Maka munculah berita hoax, "Jutaan imigran muslim mengancam kebebasan". "Awas
pengangguran karena imigran Muslim, dan berita2 sejenis yg cenderung rasis, menyudutkan muslim.
Di Indonesia, hoax juga jd jualan yg laris. Ada publik yg menjadi market pengkonsumsi hoax. Hoax
seakan menjadi suara "kebenaran" untuk menyadarkan adanya ancaman. Hoax sengaja menyebarkan
kecemasan di tengah masyarakat yg kondisinya msh buruk atau timpang sebagai akibat, kegagalan atau
lemahnya pembangunan kesejahteraan selama BERPULUH tahun.
Hoax jadi katarsis, pembenar prasangka sosial yg sering juga dimanipulasi seakan sebagai "suara publik"
atau masyarakat sipil. Padahal hoax itu alat elite busuk yg tdk jujur, pemain politik yg berkolaborasi
dengan para "professional hitman", manusia bayaran yg bersedia melakukan apa saja demi uang atau
kekuasaan.
Kalau di negara Barat yang dipakai untuk sasaran Hoax adalah imigran muslim. Publik ditakut takuti
dengan keberadaan imigran. Sedang di Indonesia sasaran Hoax adalah "ancaman bahaya China". Di Barat
maupun di Indonesia Hoax sama2 menjual kecemasan dengan informasi palsu.
Tapi hasilnya, Donald Trump yg rasis bisa menang di Pilpres AS berkat banyaknya hoax menyerang

Hillary. Menurut laporan FBI, CIA dan NSA, ada bukti keterlibatan asing di AS dalam peretasan dan
penyebaran Hoax. Pola asing mempengaruhi negara lain lewat peretasan dan hoax dinilai serius dan
bahaya, serta menjadi model. Itulah salah satu bentuk proxy war. Serangan asing yg tdk disadari telah
memunculkan cara berpikir yg salah dari sebagian masyarakat gara2 hoax.
Say No To Hoax, Saring Sebelum Sharing.
Prof. Henry Subiakto

DEKLARASI ANTI HOAX
Hari ini ada Deklarasi Anti Hoax di berbagai kota. Hoax memang sudah mewabah dimana mana.
Ada yang memproduksi, ada yg sengaja menyebarkan, ada yg ikut asal ngeshare, dan ada yg
begitu mudah percaya. Akibatnya, bagi korban hoax hidup penuh kecemasan, berpikir tidak
rasional, penuh kebencian, dan mudah berkonflik dengan siapapun yg berbeda pandangan.
Hoax itu disinformasi yang bisa berupa "berita" yg berasal dari media abal abal. Berupa "meme"
hasil rekayasa. Berupa "wisdom", informasi atau pengetahuan rekaan yg sumbernya gak jelas tp
dishare2 lewat WA atau sosmed lain.
Hoax itu, bisa faktanya tdk ada. Faktanya ditambahi, atau dikurangi. Foto dan text yang tdk
sesuai. Judul dan berita tdk sesuai. Foto lama dikesankan baru untuk mendukung isu yg sdg
aktual. Foto dari luar negeri direkayasa dan diberi text seakan di dalam negeri. Tulisan yg nara
sumbernya tdk jelas dan kebenarannya tdk bisa diklarifikasi. Secara umum hoax selalu
menyerang atau memusuhi pihak tertentu dengan mengatasnamakan "kebaikan" atau
"kebenaran". Tapi isinya sebagian besar menjual kecemasan.

Saatnya kita lbh kritis dan selektif menerima informasi. Jangan biarkan otak kita dicemari hoax.
Dan jangan pula mencemari otak orang lain dengan ikut menyebarkan hoax.
Membiarkan Hoax berlalulalang di sosmed, berarti kita membiarkan "ketidakjujuran",
membiarkan "kepalsuan". Membiarkan "kerusakan" dalam berpikir. Dan membiarkan
"menghalalkan" segala cara dalam berkomunikasi. Bahkan membiarkan hoax bisa mengubah
kepalsuan, lama lama dianggap sebagai "kebenaran". Say No to Hoax". Saring sebelum
Sharing.
Prof. Henri Subiakto







GoodShare

Info ini penting. Banyak dari kita salah paham ttg UU ITE..... Intinya, tdk ada hak asasi mutlak, tdk ada kebebasan mutlak...
Mutlak itu hanya milik Rabb.....

Ada 5 tipe orang terkait informasi hoax di medsos:
1. Si pembuat dan pengedar hoax (informasi palsu). Klo terus-terusan dan jd komoditas cari duit,
bs dsb peternak hoax.
2. Orang lain yg tahu bahwa itu Hoax tp tetep share (meski sekedar "like")
3. Orang lain yg tdk tahu itu si Hoax dan ia share.
4. Orang lain yg tahu itu si Hoax dan tdk share
5. Orang lain yg tdk tahu itu si Hoax dan tdk share.
No 3 bs dsb korban si Hoax (perlu disosialisasi/literasi)
No 4 perlu dijempol
No 5, perlu disosialisasi/literasi agar jgn sampe menjadi no 2-3.
No 1, 2, 3, berpotensi terkena delik UU ITE.
- Apapun kepentingan dan tujuan kita, informasi dari kita hrs benar, yakni faktual-accuracy dan baik
(relevan dg kepentingan masy)
- hoax dan fake information bs dilakukan siapa saja: pendukung dan oposan pemerintah, org2 pemerintah,
tokoh agama, akademisi, mahasiswa, orang awam, dan lain2... Karena hal ini bukan hanya masalah
intelektual, tp jg masalah nilai rasa dan hati.
Indahnya pagi di kantor merangsang semangat meraih yg lebih baik. Salam. RK.



"Kebohongan" dan "Kepalsuan" banyak dijadikan komoditas mencari duit. Termasuk
informasi palsu (Hoax) dan informasi rekayasa palsu (Fake). Portal/situs2 peternak dan
penyebar Hoax dan Fake news bisa meraup 50-60jt per bulan dari jumlah pengunjung situs.
Salah satu maraknya info palsu ini adalah buntut perseteruan pilpres 2014: yg calonnya kalah,
memilih jadi oposisi dg mengkritik yg menang, tp melalui hoax dan fake (Tempo, 8 Jan
2017).
Hoax dan fakes bs mengandung hiperealitas yg menjelek-jelekkan maupun membaikbaikkan. Betul kata pengomen: bahwa Tempo bnyk bercerita satu frame....sedangkan frame
lain, yakni: mengapa muncul hoax dan fake news tdk dikupas lbh detail. Yg disampaikan
bnyk hoax2 yg menyerang pemerintah...dan tdk bicara yg mendukung.
Mari kita gunakan ilmu komunikasi sesuai kebenaran ilmunya. Kebenaran suatu ilmu
dikembalikan pada filosofis bangsa sbg titik harmoni. Jadi, Pancasila adalah titik harmoni yg
ingin diraih ilmu komunikasi sbg kebenaran ilmunya. Menyebarkan kepalsuan dan kebohongan
telah menjauhkan praktik jurnalistik dari kebenaran ilmu komunikasi. RK.

SARING sebelum SHARING... Cek & Ricek, dg logika rasional dan data. "Jika ada informasi yg
datang, cek dulu kebenarannya, jika sdh pasti benar, pikir dulu dampaknya jika disebarkan"; "Jgn
tergesa-gesa share informasi"; "Setiap omongan/informasi hrs ada bukti yg jelas, agar kita
menjadi org2 yg benar" dan "Berkatalah benar atau diamlah". Science, misalnya Public Relations
& jurnalistik mengajarkan: "tell the truth & building trust" agar persuasi kita tdk bersifat
manipulatif..."Janganlah kebencian kita thd seseorang/suatu kaum membuat kita tdk adil pada mereka",
yakni dg menyebarkan berita2 palsu at fitnah dan menutupi kebaikan org/kaum tsb.
Semua itu ajaran Allah SWT yg jg terepresentasi pada Pancasila, landasan filosofis bangsa Indonesia.
Apapun tujuan dan kepentingan kita, hanya ada satu jalan, yakni jalan kebenaran dan jalan kebenaran itu
hanya satu, yakni jalan Allah SWT. Jalan dari Allah melarang fitnah, menghujat, olok-mengolok,
merendahkan org lain, adu domba, ghibah, bohong dan memalsukan fakta.
Mari kita jaga facebook yg indah ini dari informasi hoax. RK

Halaman depan harian bermoto "Dari Rakyat-Oleh Rakyat-Untuk Rakyat"...Ketika dikatakan bahwa we have to tell the
truth, framing media dengan politik ekonominya ko jadi membuatnya terkesan munafik ya...Bukankah dgn adanya framing
dan politik ekonomi media itu telah menjadikan ruang redaksi sebagai ruang yang tidak steril?... Memang kita dipaksa
percaya bahwa media mainstream yg sudah duluan established itu menerapkan prinsip check and recheck yang jika benar
sudah sekian lama diterapkan negeri ini tdk akan diisi oleh banyak warga negara yang gemar hoax. Who's to blame? Only
God know the masked men...

Suka · Balas · 8 Januari pukul 9:17
Rachmat Kriyantono Framing itu suatu keniscayaan pak Wawan Stew...setiap media pasti punya frame sbg bagian agenda
publik yg ingin media setting, sbg cermin kepentingan media. Hanya, cara memframe dan cara mengomunikasikan frame itu
mesti sesuai kaidah kebenaran, seperti bukan fakta palsu, relevansinya, akurasi dan 5W 1H nya jelas. Graming itu
konsekuensi logis manusia yg punya selective attention, selective perception, selective reminding dan selective action jika
berhadapan dg realitas. Para pengajar, seperti sy, patut to be blamed pak krn kurang transfer esensi sikap agamis kpd peserta
didik
Suka · Balas · 8 Januari pukul 9:28 · Telah disunting

Wawan Stew What is not deeply rooted is common sense...Sense making has been lost...
Suka · Balas · 8 Januari pukul 9:31

Wawan Stew Yang menyedihkan adalah fakta bahwa bahwa kendali komunikasi tidak berada di tangan orang orang yang
jago teori komunikasi. Kendali komunikasi sekarang berada di tangan mereka yang menguasai teknologi informasi dan
komunikasi. Sudah waktunya program studi ilmu komunikasi membekali para mahasiswanya dgn technology know-how.
Tidak perlu menjadi geeks. Tapi setidaknya mampu menguasai yg dasar, seperti menggunakan aplikasi macromedia
dreamweaver, wordpress yang bukan blog gratisan dgn semua plugin nya, dan teknologi teknologi aplikatif lain. Orientasi
pendidikan di prodi komunikasi saya lihat masih pada menghasilkan output lulusan yang akan jadi "tukang nyari berita,
tukang ngurusin PR perusahaan". Ketika jaman sekarang sudah content oriented, rasanya orientasi ulang hrs segers
dilakukan. Makanya jangan heran banyak hoax karena internet dibiarkan oleh para ahli ilmu komunikasi untuk dikuasai oleh
mereka yang justru menguasai piranti canggih komunikasi.

1) Media Penyebar Hoax
Saat ini, yang pertama dan utama, hoax dengan mudah disebarluaskan lewat media
sosial (Medsos), seperti Facebook, Twitter, dan Whatsapp.
Siapa yang mengendalikan medsos? Apakah penguasa? Bukan! Penguasa (baca:
pemerintah) hanyalah salah satu pemain saja, yang posisi dan kekuatannya sama di
muka medsos, sejajar dengan seorang penjual sate dari pelosok kota Semarang.
Jika ada 140 juta akun Facebook yang dimiliki warga indonesia, baik individu
maupun lembaga, sipil atau tentara, lembaga pemerintah maupun lembaga
swadaya, maka 140 juta pemilik akun itu punya kedudukan yang sama di muka
medsos, tidak ada yang lebih berkuasa.
Ada yang lebih kuat? Mungkin. Lebih kuat karena bisa membayar iklan ke
Facebook, sehingga postingannya bisa muncul di halaman jutaan pemilik akun
lainnya. Tapi, pemilik akun yang bisa membayar iklan pun bisa siapa saja, bukan
hanya penguasa.
Pembredelan terhadap akun medsos bukan kuasa pemerintah, sekali lagi perlu
ditegaskan BUKAN KUASA PEMERINTAH, melainkan dilakukan oleh pengelola
atas dasar laporan atau permintaan pengguna medsos lainnya. Mekanisme
penutupan akun oleh pengelola medsos ini sangat demokratis, dari sisi mekanisme.
Meski begitu, sistem ini memiliki kelemahan. Karena penutupan akun didasarkan
kepada minimal jumlah tertentu atas laporan pengguna lain, "organisasi" dengan
jumlah akun yang banyak bisa melakukan pembredelan terhadap suatu akun.
Organisasi seperti Jasmev atau Muslim Cyber Army, misalnya, bisa menggalang
ribuan anggota dan simpatisannya untuk beramai-ramai melakukan pelaporan
(spam report) untuk menutup suatu akun yg tidak disukai kelompok tersebut. Itu
semua bisa dilakukan oleh siapa saja, bukan hanya pemerintah.
Menurut catatat seorang wartawan reuter, mayoritas hoax di Indonesia beredar
bukan di website, seperti di Amerika Serikat, tapi via Whatsapp. Ini membuat
peredaran hoax jadi liar sekali, karena peredarannya sangat personal, tidak bisa
sama sekali dikontrol oleh pemerintah.

Kedua, hoax disebarluaskan oleh media online, yaitu situs-situs media internet yg
dikelola baik oleh individu maupun kelompok.
Dalam tata kelola internet sekarang ini, siapa saja bisa membuat situs online, tanpa
ada batasan. Cukup registrasi secara online melalui internet, bayar beberapa puluh
maksimal ratus ribu rupiah saja, maka sebaris alamat situs web bisa didapatkan saat
itu juga.
Pemerintah melalui Kemenkominfo memang benar punya kuasa untuk memblokir
suatu situs yang dianggap melanggar ketentuan perundangan. Tapi ingat, dengan
kemudahan registrasi untuk mendapatkan alamat situs web, masyarakat bisa
menghidupkan kembali isi situs yang dibkokir pemerintah kapan saja dan dari mana
saja.
Jika jam sekarang ini, misal, situs fulanngawur.com diblokir pemerintah, maka pada
jam yang sama bisa muncul badungawur.com, sijonngawur.com,
fulanradangawur.com, fulansemingawur.com, fulanngawurperjuangan.com,
fulantobat.com, dan ribuan kombinasi nama seperti itu, bisa dihidupkan seketika itu
juga dengan isi yang sama persis dengan situs yang telah diblokir pemerintah tadi.
Lalu di mana kekuasaan mutlak pemerintah dalam hal ini? Kekuasaan pemerintah
dalam hal ini sama sekali tidak ada.
Jika pemerintah memblokir atas dasar alamat internet (IP address), maka
masyarakat bisa dengan mudah menggunakan alamat yang lain. Jika tidak bisa
menggunakan alamat indonesia, masyarakat bisa menggunakan alamat dari negara
lain, melalui settingan yang dilakukan tetap dari Indonesia, tanpa perlu pindah
secara fisik ke negara lain.
Ketiga, hoax disebarluaskan secara offline, melalui mimbar-mimbar khutbah
keagamaan, seperti kasus Rhoma Irama yang menyebarluaskan informasi hoax
lewat podium sebuah masjid, dalam suatu acara pengajian, bahwa ibunda Jokowi
beragama Kristen, saat musim kampanye pilpres 2014 kemarin. Apa kuasa
pemerintah atas media-media offline seperti pengajian atau khotbah Jumat
misalnya? Tidak ada!
2) Produsen Hoax
Saat ini, bukan hanya pemerintah, bahkan seorang penjual sprei juga bisa
memproduksi, di samping menyebarluaskan dari sumber lain, hoax. Setiap saat,
setiap tempat, siapa saja dari mereka yang terhubung ke internet bisa memproduksi
hoax dan menyebarluaskannya.
Kedudukan satu institusi pemerintah dan penjual sprei dalam hal ini sama di depan
internet. Jika pemerintah bisa membuat seratus akun palsu, maka seorang penjual
sprei juga boleh membuat seratus akun palsu. Tidak ada diskriminasi, dan tidak ada
yang lebih berkuasa.
Hsnya orang yang masih berpikir dalam kerangka kekuasaan Orde Baru saja yang
berpendapat, bahwa pemerintah memiliki perangkat yang lengkap untuk
memproduksi hoax.
Mungkin yang bersangkutan tertidur sesudah Orde Baru runtuh, kemudian baru
terbangun saat AHY maju dalam kontes Pilgub DKI 2017. Karenanya, beliau luput
memperhatikan, saat Pilpres 2014 lalu, bagaimana rakyat disuguhi aneka kabar

hoax oleh tabloid Obor Rakyat yang dicetak jutaan eksemplar dan materinya
didigitalkan kemudian disebarluaskan lewat Whatsapp, media online
pkspiyungan.com yang berulangkali terbukti membuat berita palsu, serta puluhan
situs anti-Jokowi lainnya yang aktif mengabarkan hoax dan fitnah. Padahal, sebagai
produsen hoax, mereka bukan pemegang kekuasaan.