BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit demam tifoid bersifat endemis yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis
Prasetyo dan Ismoedijanto, 2005. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh provinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358100.000
penduduktahun dan didaerah perkotaan 760100.000 penduduktahun atau sekitar 600.000 sampai 1,5 juta kasustahun Pawitro dkk.,2001. Lalu demam tifoid juga
menduduki posisi kedua dalam pola sepuluh penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit yakni sebesar 3,6 dan urutan ke delapan dalam penyakit
penyebab kematian pada pasien rawat inap di rumah sakit yakni sebesar 2,4 Prasetyo dan Ismoedijanto, 2005.
Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif yang termasuk genus Salmonella Handoyo, 2002, merupakan agen penyebab demam tifoid dan
memiliki bentuk infeksi paling serius dibanding genus yang lainnya karena sering menyebabkan komplikasi berupa perdarahan dan perforasi usus yang tidak jarang
berakhir dengan kematian Karsinah dkk., 2002. Terapi yang digunakan sampai saat ini adalah trilogi penatalaksanaan
demam tifoid, yaitu istirahat, diet dan pemberian antimikroba. Antimikroba yang digunakan adalah kloramfenikol, ampisilin, amoksilin dan trimetropim-
sulfamektoksasole dengan kloramfenikol sebagai drug of choice DOC Widodo, 2006. Insiden multidrug of resisten MDR Salmonella typhi meningkat terutama
di India dan kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia WHO, 2005. Selain itu perubahan lingkungan, pola hidup manusia, dan perkembangan pola penyakit
serta kondisi perekonomian yang terpuruk yang dialami bangsa kita berdampak juga dengan melonjaknya biaya pengobatan dan harga obat-obatan. Di sisi lain,
adanya kenyataan bahwa tingkat kebutuhan masyarakat terhadap pengobatan semakin meningkat. Sementara taraf kehidupan sebagian masyarakat kita masih
banyak yang kemampuannya pas-pasan. Maka dari itu, gerakan kembali ke alam back to nature yakni pengobatan tradisional yang ekonomis merupakan solusi
yang baik untuk menanggulangi masalah tersebut Khalid, 2009. Jambu biji dapat digunakan sebagai obat alternatif dalam perspektif
kesehatan karena mengandung berbagai zat yang berfungsi sebagai penghambat berbagai jenis penyakit, diantaranya jenis flavonoid, minyak atsiri, tanin dan juga
terdapat saponin berkombinasi dengan asam oleanolat Dweck, 2001. Buah, daun dan kulit batang pohon jambu biji mengandung tanin, sedang pada bunganya tidak
banyak mengandung tanin. Daun jambu biji sering dimanfaatkan sebagai obat, diketahui mengandung tanin, minyak atsiri, minyak lemak, damar, zat samak,
triter pinoid, dan asam apfel Evika, 2008. Bagian tumbuhan jambu biji, yang memiliki aktifitas antimikroba yang
paling kuat adalah bagian daun karena kandungan derivat flavonoid, tanin dan derivat minyak atsiri yang cukup banyak sehingga dapat menghambat
perkembangan bakteri baik gram positif maupun gram negatif Dweck, 2001. Selain itu pada penelitian Adyana dkk 2004, ekstrak daun jambu biji memiliki
Kadar Hambat Minimal KHM terhadap bakteri Shigella dysentriae pada
konsentrasi 40 mgml, Shigella flexeneri pada konsentrasi 30 mgml, Escherichia coli pada konsentrasi 40 mgml dan Salmonella typhi pada konsentrasi 60 mgml.
Lalu dari hasil eksplorasi yang telah dilakukan penulis di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang,
didapatkan bahwa ekstrak daun jambu biji memiliki efek antimikroba terhadap bakteri Salmonella typhi dengan Kadar Hambat Minimal KHM dan Kadar
Bunuh Minimal KBM sebesar 6,25. Berdasarkan data di atas penelitian ini, maka diajukan penggunaan tumbuhan obat melalui penelitian yang berjudul “Efek
Antimikroba Ekstrak Etanol Daun Jambu Biji Psidium guajava Linn terhadap Salmonella typhi in vitro
”.
1.2 Rumusan Masalah