jika pelanggar merasa kesenangannya di ganggu, walaupun WH memberikan pengarahan dengan cara yang lembut, sehingga hal ini tetap dinilai sebagai
sumber stres oleh responden I. Begitu juga dengan responden III. Responden III menilai ancaman terhadap keselamatan fisik merupakan salah satu sumber
stres karena responden menilai pelanggar yang terganggu kesenangannya akan marah dan akan melakukan tindakan balas dendam terhadap WH
walaupun WH memberikan pengarahan dengan cara yang lembut. 5.
Walaupun ketiga orang responden memiliki tupoksi yang sama, hanya responden III yang menganggap bahwa tupoksi WH belum jelas sehingga
menyebabkan timbulnya stres, sementara responden I dan II menganggap bahwa tupoksi WH telah jelas sehingga tidak menganggapnya sebagai sumber
stres. Responden III menganggap tupoksi WH sebagai sumber stres karena responden menilai Qanun yang mengatur WH belum jelas, masih setengah-
setengah, antara iya dan tidak, sehingga responden III seringkali merasa ketakutan jika akan melaksanakan tugas, responden III merasa takut jika
ternyata apa yang dilakukannya sebenarnya bukanlah tupoksi WH. Berbeda hal nya dengan responden III, responden I dan II merasa bahwa tupoksi WH
telah jelas, sehingga tidak menganggapnya sebagai sumber stres.
B. Diskusi
1. Dalam bukunya Personal Psychology for Life, Rita 1983 menyatakan bahwa
pimpinan yang baru berarti orang yang berbeda, dan hubungan yang baru terhadap pimpinan yang baru selalu membutuhkan penyesuaian. Hal ini bisa
menjadi suatu kesulitan untuk di terima dan membutuhkan perubahan terhadap penerimaan orang lain. Perubahan atau penggantian pimpinan dalam
sebuah instansi dapat menjadi penyebab timbulnya stres bagi karyawan. Hal ini sesuai dengan apa yang dialami ketiga responden. Pada awalnya ketiga
responden merasa dapat melakukan kerja sama yang baik dengan atasannya yaitu Dinas Syariat Islam, namun ketika atasan mereka diganti menjadi Satpol
PP yang dinilai bertolak belakang dengan WH, ketiga responden merasa kurang nyaman dan merasa sulit untuk bekerja sama dengan baik.
2. Ketiga responden umumnya memilih menggunakan strategi problem focused
coping untuk menyelesaikan masalah di awal timbulnya stressor. Namun saat usaha tersebut tidak berhasil, akhirnya masing-masing responden
menggunakan emotion focused coping. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman 1984 bahwa saat suatu kondisi dinilai dapat dirubah,
individu cenderung melakukan problem focused coping, namun saat seseorang menilai bahwa tidak ada yang dapat dilakukan untuk merubah kerusakan,
ancaman, atau kondisi lingkungan, individu akan cenderung menggunakan emotion focused coping.
3. Pada ketiga orang responden, responden wanita menggunakan emotional focus
coping lebih sering dari pada responden pria. Hal ini sesuai dengan penelitian Billings dan Moos dalam Sarafino 2006 yang menemukan bahwa walaupun
wanita dan laki-laki sama-sama menggunakan problem focus coping dan emotional focus coping, ternyata wanita lebih sering menggunakan emotional
focus coping dibandingkan dengan laki-laki.
4. Dari ketiga orang responden, responden I dan II yang merupakan WH wanita
menilai tupoksi WH sudah jelas dan tidak ambigu, sementara responden III yang merupakan WH laki-laki menganggap tupoksi WH belum jelas, masih
setengah-setengah, antara iya dan tidak. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan French dkk dalam Greenberg, 2004 yang menyatakan bahwa
wanita cenderung untuk mempersepsikan suatu tugas tersebut ambigu dibandingkan dengan laki-laki.
C. Saran 1. Saran Praktis