berpartisipasi dalam pembuatan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi pada setiap kebijakan publik. Pola partisipasi seperti ini tumbuh dengan baik
dalam Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tinggi, tingkat kehidupan ekonomi cukup, akses informasi bisa diperoleh dengan cepat.
Biasanya pola ini berkembang dengan baik pada masyarakat perkotaan. Partisipasi politik pasif adalah partisipasi dengan tingkat kesadaran politik
rendah dan pada saat yang bersamaan tingkat kepercayaan politik tinggi. Pola partisipasi seperti ini mendominasi pada masyarakat yang tingkat pendidikan
renadah, tingkat ekonomi yang serba kekurangan, dan akses informasi yang sulit. Biasanya pola partisipasi model ini berkembang di masyarakat pedesaan. Dalam
menentukan pilihan politik dan sikap terhadap setiap kebijakan yang
berkaitan dengan hajat bersama, masyarakat mempercayakan kepada tokoh masyarakat atau kepala desa. Masyarakat menganggap dirinya tidak punya
kemampuanapapun dalam menentukan kepentingan bersama. Mereka sepenuhnya percaya pada orang yang memiliki kharisma dan ketokohan, seperti
:kiyai dan jawara, serta pada orang yang memiliki kekuasaan struktural, seperti kepala desa, camat, bupati dan lainnya. Partisipasi politik apatis masa bodoh adalah
partisipasi politik dengan tingkat kesadaran dan kepercayaan politik yang rendah. Pola partisipasi seperti ini terjadi pada masyarakat yang tidak menyadari
terhadap hak dan kewajibannya untuk melakukan penilaian pada kebijakan pemerintah. Walaupun mereka sadar, tetapi mereka lebih memilih diam dan
mengabaikan dengan masalah-masalah yang menyakut kepentingan publik. Sedangkan partisipasi politik militan adalah pola partisipasi politik dengan tingkat
kesadaran politik tinggi dan pada saat yang bersamaan tingkat kepercayaan politik yang rendah. Partisipasi politik militan ini biasanya terjadi pada masyarakat dengan
melakukan seperti demonstrasi dan aksi-aksi menentang kebijakan publik dengan cara merusak fasilitas umum, menganggu keamanan, melakukan kerusuhan atau
kekacauan. Sedangkan Wasburn, membagi bentuk partisipasi politik kedalam dua
kategori yakni konvesional dan nonkonvesional. Partisipasi konvesional sebagai bentuk yang sudah umum dilakukan pada negara-negara maju. Sedangkan di
negara-negara berkembang cenderung menggunakan partisipasi yang berbeda karena tidak berjalannya sistem politik. Sehingga, menyebabkan Inputnya sulit
berkembang dikompensasikan kedalam bentuk-bentuk kegiatan partisipasi yang tidak biasa dilakukan di negara-negara dengan sistem politik yang bekerja dengan
baik.
Gambar 1.
32
Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik
Konvesional Nonkonvesional
Pemberian Suara voting, Pemilu Pengajuan Petisi
Diskusi Politik Berdemonstrasi
Kegiatan Kampanye Mogok
Bergabung dengan Partai Politik Tindakan Kekerasan Politik Terhadap
Harta Benda Perusakan, pemboman, penjarahan, pembakaran
Membentuk danatau berbagung dalam Kelompok Kepentingan
Tindakan Kekerasan Politik terhadap Manusia penculikan, pembunuhan,
terror
Komunikasi IndividualKelompok dengan Pejabat Politik dan Birokrasi
Perang Gerilya dan revolusi Kudeta
32
Toto Pribadi dkk,. Sistem Politik Indonesia Jakarta: Universitas Terbuka, Cet: 1, 2006, h. 36
B. Langkah-Langkah Perjuangan Mathla’ul Anwar 1. Bidang Politik
Sebelum penulis membahas tentang peran atau partisipasi politik MA, terlebih dahulu akan dibahas tentang hubungan antara
Islam dan politik di Indonesia. Keterlibatan Islam dalam politik, telah dimulai ketika adanya penjajahan kolonialisme Barat yang hegemonik secara
politik, militer, ekonomi, dan budaya. Islam dijadikan sebagai kekuatan politik oleh para pemimpin-pemimpin Muslim Nusantara dalam menghadapi penjajah
Portugis dan Belanda pada abad ke-13 dan 14 Masehi.
33
Dalam konteks ini, Islam berfungsi sebagai lambang pemersatu dan sekaligus sebagai ideologi politik, sehingga menimbulkan kekuatan luar biasa
yang memiliki kekayaan doktrinal dan pengalaman politik yang direkonstruksi menjadi keyakinan politik seperti gerakan Sabilillah, Perang Jihad,
Pemberontakan Petani Banten Tahun 1888 dan sebagainya. Maka dibawah pimpinan orang-orang Islam memperoleh kekuatan untuk melawan penjajahan
Belanda. Fenomena distingsi Islam politik dan Islam kultural mencapai puncaknya ketika pada masa pasca runtuhnya kesultanan Banten oleh
kolonialisme Belanda pada tahun 1813 oleh Gubernur Herman William Daendels.
34
Menurut Irsyad Djuwaeli, MA sebagai salah satu organisasi keagamaan yang memiliki kepentingan untuk memajukan bangsa dan
33
Pramono U. Tanthowi, Kebangkitan Politik Kaum Santri, Islam dan Demokrasi di Indonesia, 1990-2000 Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2005, h. 16
34
M. Irsjad Djuwaeli, Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996, h. 15
organisasinya, berusaha mencoba masuk ke wilayah kebijakan dan politik. Selanjutnya menyatakan diri secara teoritis ada dua peluang atau pintu masuk
bagi MA untuk menentukan arah perkembangannya di masyarakat. Pertama, adalah pada tingkat kultural pendidikan, dakwah dan sosial. Tingkat ini
secara formal dilakukan oleh MA sejak kelahirannya tahun 1916, namun secara out put yang dihasilkan perlu dievaluasi. Kedua, adalah pada tingkat
struktural, dimana MA dapat berperan dengan turut berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan, sehingga MA akan menjadi
penentu kecenderungan trend maker masyarakat.
35
Keterlibatan MA dalam politik cenderung untuk menggabungkan diri dengan kekuatan politik yang ada. Hampir bersamaan dengan pendirian MA, para
pendirinya seperti KH. Entol Yasin dan KH. Mas Abdurrahman telah menjadi tokoh utama Sarekat Islam SI
36
di wilayah Banten. Dalam fatwanya, KH. Mas Abdurrahman memberikan dukungan kepada SI sebagai salah satu wujud dari
ibadah ke Allah SWT.
37
Pada tanggal 01 September 1926, terjadi pemberontakan rakyat Menes dan Labuan melawan pemerintahan kolonial Belanda. Keterlibatan tokoh-
tokoh MA seperti K. Abdulhadi Bangko dan Khusen Cisaat dalam peristiwa pemberontakan melawan Pemerintah kolonial Belanda, menyebabkan mereka
35
Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 4
36
Sarekat Islam SI bermula dari sebuah organisasi Sarekat Dagang Islam SDI, yang didirikan oleh Samanhudi di Solo pada tahun 1911 pada perkembangnya menjadi organisasi
politik nasional pertama di Indonesia sebagai satu-satunya kekuatan pemersatu bagi seluruh elemen bangsa dalam membawa aspirasi ke-Islaman dan kebangsaan. Lihat. Bahtiar Effendy,
Islam dan Negara, Trasformasi Pemikiran dan praktik Politik Islam di Indonesia Jakarta: Paramadina, 1998, cet: 1, h. 63. Selanjutnya lihat. Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan, Pergeseran
Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004, h. 63.
37
Didin Nurul Rosidin, Quo Vadis Mathla’ul Anwar, h. 5