32
b. Pengambilan Sampel Darah
Pengambilan darah dilakukan setiap satu minggu sekali yang dimulai satu minggu setelah vaksinasi. Setiap sampling dilakukan pengambilan 3 ekor
ikan untuk masing-masing perlakuan. Pengambilan sampel darah dilakukan dengan menggunakan spuit pada vena caudalis yang telah dibasahi dengan
antikoagulan Na-sitrat 3,8 untuk mencegah pembekuan darah. Darah yang telah terambil diberi antikoagulan dengan perbandingan 1:4 dengan jumlah
darah yang diambil. Selanjutnya dilakukan pengamatan jumlah lekosit total, diferensial leukosit dan indeks fagositik.
c. Penghitungan Jumlah Leukosit Total
Penghitungan leukosit total dilakukan dengan cara mengencerkan darah terlebih dahulu dengan menggunakan larutan Turk’s. Penambahan larutan
Turk’s yang bersifat asam akan menyebabkan sel darah mengalami lisis sehingga yang tertinggal hanya sel darah putih saja. Pencampuran dilakukan di
dalam pipet pencampur berskala maksimum 11. Pipet ini berisi bulir berwarna putih yang berfungsi sebagai pengaduk. Untuk menghitung sel darah putih,
darah dihisap dengan pipet pencampur sampai skala 0,5 dan selanjutnya ditambah dengan larutan Turk’s. Pipet digoyang membentuk angka delapan
selama 3-5 menit sehingga darah tercampur rata. Sebelum dilakukan penghitungan, dua tetes pertama dari campuran
tersebut dibuang dan selanjutnya diteteskan pada haemacytometer tipe Neubauer dan ditutup dengan gelas penutup. Jumlah sel darah putih dihitung
dengan bantuan mikroskop pada pembesaran 400 kali. Penghitungan dilakukan pada 5 kotak besar haemacytometer dengan rumus sebagai berikut Nabib
Pasaribu 1989 Σ leukosit = rataan Σ sel terhitung x ____1___________ x pengenceran
Volume kotak besar
d. Aktivitas Fagositosis
Penghitungan indeks fagositosis dilakukan menurut Anderson dan Siwicki 1993, yaitu dengan memasukkan sampel darah dari ikan sampel ke
dalam mikrotiter plate sebanyak 50 µl dan ditambahkan suspensi Staphylococcus aureus dalam PBS 10
7
sel, kemudian dicampur secara
33
homogen dan diinkubasi selama 20 menit. Campuran darah dan bakteri diambil sebanyak 5 µl, dibuat sediaan ulas dan dikeringudarakan. Ulasan darah
tersebut diwarnai dengan pewarna Giemsa selama 15 menit dan dicuci dengan air mengalir dan berikutnya dikeringkan dengan kertas tissue. Aktivitas
fagositosis dihitung berdasarkan persentase sel yang menunjukkan proses fagositosis dari 100 jumlah sel yang dihitung.
Uji Tantang Tahap II
Ikan uji yang digunakan adalah ikan mas strain wildan dari daerah Cianjur. Ikan yang berukuran 10-15 gram tersebut diadaptasikan selama dua
minggu sebelum perlakuan. Perlakuan yang diberikan adalah vaksinasi dengan dosis
2,5 µg100 µl, 7,5 µg100 µl dan 12,5 µg100 µl serta kontrol negatif ikan tidak divaksinasi dan tidak diuji tantang dan kontrol positif ikan
tidak divaksinasi dan diuji tantang. Tiap-tiap perlakuan dirancang dengan tiga kali ulangan. Selama masa adaptasi maupun perlakuan ikan diberi pakan
berupa pelet sebanyak 2 kali sehari yaitu pagi dan sore. Vaksinasi dilakukan selama 28 hari dan setelah itu ikan diuji tantang dengan virus KHV. Gejala klinis
diamati secara visual.
Uji Keamanan Vaksin
Bersamaan dengan uji tantang tahap kedua ini dilakukan vaksinasi ikan dengan vaksin DNA untuk melihat keamanan vaksin terhadap ikan yang
divaksinasi. Keamanan vaksin dapat dibuktikan dengan membuat sayatan tipis jaringan ikan yang divaksinasi dan diamati secara mikroskopis KinKelin 1988.
Uji keamanan vaksin dilakukan dengan menyuntik 10 ekor ikan mas berukuran 10-
15 gram dengan vaksin DNA dengan dosis 12,5 µg per ekor. Ikan tersebut dipelihara dalam akuarium beraerasi dan diberi pakan pellet sebanyak
dua kali per hari. Ikan ini diamati dan dicatat kelangsungan hidupnya. Untuk melihat kelainan jaringan atau organ secara mikroskopik dilakukan melalui
pembuatan preparat jaringan. Preparat dibuat dari jaringan otot yang menjadi tempat penyuntikan vaksin, insang, limpa dan ginjal. Selanjutnya potongan
jaringan diproses lebih lanjut untuk dibuat preparat dan diwarnai Lampiran 5.
34
Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis secara deskriptif yang disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan gambar. Untuk membedakan efektivitas
dosis yang dikaitkan dengan penghitungan nilai RPS dianalisis dengan ANOVA dan diuji lanjut dengan uji BNT beda nyata terkecil.
35
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahap I: Pembuatan Konstruksi Vaksin Isolasi DNA Glikoprotein Koi Herpers Virus
Hasil yang diperoleh dari tahap pertama penelitian ini adalah fragmen DNA GP25 yang diisolasi dari isolat KHV lokal koleksi Balai Riset Perikanan Budidaya Air
Tawar BRPBAT Bogor yang berukuran 1,8 kbp Gambar 5a dan fragmen DNA yang siap dipurifikasi Gambar 5b dan yang telah dipurifikasi Gambar 5c.
Gambar 5. Fragmen DNA GP25 yang diisolasi dari insang yang diduga kuat terinfeksi virus KHV a; Fragmen GP25 KHV yang siap dipurifikasi b;
Fragmen DNA GP25 yang telah dipurifikasi c yang divisualisasikan di agarose dengan konsentrasi 0,7 dengan M adalah marker DNA 2-
log ladder, Biolabs, England
Fragmen DNA GP25 yang telah dipurifikasi tersebut siap diligasikan dengan vektor pGEMT-Easy pT-Easy sehingga terbentuk pT-GP25 Lampiran 1.
Konstruksi baru yang terbentuk ini siap diintroduksikan ke bakteri E.coli DH5- α
melalui proses transformasi.
Transformasi pada E.coli Kompeten
Hasil transformasi berupa koloni bakteri yang berwarna biru dan putih. Koloni biru adalah koloni yang membawa plasmid pT-Easy tanpa sisipan gen
a
b c
1,8 kb p
1,8 kb p 1,8 kb p
36
glikoprotein. Koloni putih adalah koloni yang membawa plasmid pT-Easy dengan
sisipan gen glikoprotein Gambar 6.
Gambar 6. Hasil transformasi bakteri E.coli DH5α berupa koloni biru b dan
koloni putih p. Plasmid pT-Easy adalah plasmid yang mudah digunakan sebagai vektor
kloning. Plasmid ini berukuran 3 kb dan mengandung penanda seleksi warna koloni yaitu warna biru untuk klon yang tidak membawa sisipan gen asing dan warna putih
untuk klon yang membawa sisipan gen asing. Plasmid pT-Easy ini mengandung gen lacZ yang
menyandi β-galaktosidase yang akan mengubah molekul 5-bromo-4-chloroindolyl-
β-galactisidase X-gal yang ada di media dari tidak berwarna menjadi molekul yang berwarna biru. Gen lacZ
ini diinduksi oleh IPTG isopropylthiogalactoside. Apabila gen lacZ tersisipi oleh molekul DNA lain, maka lacZ tidak dapat diekspresikan. Sel yang mengandung
plasmid ini tidak dapat mengubah X-gal menjadi berwarna biru. Dengan menambahkan IPTG dan X-gal pada media yang telah mengandung ampisilin,
maka dapat dilakukan seleksi yaitu sel yang mengandung plasmid dan mempunyai sisipan pada daerah lacZ serta sel yang mengandung plasmid dan tidak
mengandung sisipan pada daerah lacZ. Koloni yang berwarna biru mengandung plasmid yang tidak tersisipi gen
GP25. Koloni yang berwarna putih mengandung sisipan gen GP25 pada situs SalI. Koloni yang berwarna putih inilah yang selanjutnya diverifikasi lebih lanjut dengan
37
metode cracking yaitu dipecah selnya sehingga plasmid utuhnya dapat divisualisasikan di agarose 0,7 Gambar 7.
Gambar 7. Fragmen DNA GP25 yang diverifikasi dengan metode cracking, tanda panah menunjukkan plasmid yang berukuran lebih
besar daripada marker yaitu koloni biru tanda + . Plasmid yang berukuran lebih besar daripada marker tersebut adalah
plasmid pT-Easy yang telah tersisipi gen asing. Plasmid marker koloni biru adalah pT-Easy yang mengalami self-ligation atau tersambung dengan ujung plasmidnya
sendiri sehingga ukuran plasmidnya tetap 3 kbp. Plasmid yang berukuran lebih besar berarti mengandung sisipan gen asing. Plasmid yang telah diverifikasi
menggunakan PCR dengan primer F-GP dan R-GP menghasilkan fragmen DNA yang berukuran 1,8 kbp Gambar 8. Hasil ini mengkonfirmasi koloni putih hasil
transformasi ini memang membawa plasmid pT-GP25.
Gambar 8. Fragmen DNA hasil verifikasi dengan menggunakan PCR. Tanda menunjukkan fragmen GP25 yang tersisip di pT-GP25
Koloni bakteri transforman yang berwarna putih teramplifikasi menghasilkan fragmen DNA berukuran 1,8 kbp. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri transforman
tersebut mengandung plasmid yang tersisipi gen GP25. Bakteri transforman yang sudah diverifikasi dengan PCR tersebut selanjutnya disekuensing sehingga
menghasilkan urut-urutan basa nitrogen Gambar 9. Sekuen GP25 diawali dengan start codon ATG yang terdapat pada primer F-GP25 dan diakhiri dengan stop
codon TAA yang terdapat pada primer R-GP.
1,8 kb p 2 kb p
38
Gambar 9. Hasil pengurutan sekuen GP25. Huruf miring di awal urutan nukleotida
adalah primer forward F-GP, sedangkan huruf miring di akhir adalah urutan primer reverse R-GP.
Urutan nukleotida hasil sekuensing yang dianalisis dengan software Genetix Version 7 menghasilkan kesejajaran GP25 virus KHV asal Jepang, Amerika Serikat
dan Israel Gambar 10.
Gambar 10. Hasil penyejajaran allignment parsial GP25 asal Indonesia dengan GP25 KHV asal Israel, Jepang dan Amerika Serikat
Berdasarkan hasil analisis kemiripan similarity dengan menggunakan software BLAST 2.0 with gaps WU-Blast 2; www.ebi.ac.uk diketahui bahwa GP25
dari virus KHV asal Indonesia memiliki kemiripan yang tinggi 99 dengan GP25 KHV asal Jepang, Amerika Serikat dan Israel Gambar 11. Hanya ada tiga data
tiga isolat di Bank Gen yang berkaitan dengan virus KHV. Perbedaan sekuen terletak pada urutan basa ke 69-71 dan 1630-1650. Ada perbedaan tiga basa dan
sekitar 20 basa yang ada di GP25 KHV asal Indonesia yang tidak ada pada GP25 KHV asal ketiga negara yang lain. Selain itu ada juga sedikit perbedaan dimana
ada basa nitrogen yang terdapat ketiga GP25 dari KHV asal Jepang, Amerika Serikat dan Israel, tetapi tidak terdapat pada GP25 asal Indonesia. Perbedaan ini
akan menjadi kekhasan dari isolat KHV asal Indonesia yang membedakan dengan ketiga isolat asal negara lain.
39
Gambar 11. Hasil analisis kemiripan gen GP25 virus KHV asal Indonesia dengan virus KHV asal Jepang strain TUMST1, Amerika Serikat strain KHV-
U, dan virus KHV asal Israel strain KHV-I. Persentase kemiripan ditunjukkan oleh kolom Identity.
Pembuatan Konstruksi Vaksin DNA
Vektor dasar yang digunakan untuk ekspresi gen GP25 gen imunogenik adalah pActD6 Alimuddin et al. 2005. Plasmid pAct yang mengandung gen
∆6- desaturase- like D6 ini terlebih dahulu harus dieleminasi gen D6-nya melalui
proses digesti menggunakan enzim SalI sehingga dihasilkan dua fragmen yaitu pAct dan D6 Gambar 12. Plasmid pAct yang berbentuk linier ini siap untuk
diligasikan dengan fragmen GP25. GP25 merupakan hasil digesti pTGP25 menggunakan enzim SalI sehingga terbentuk dua fragmen yaitu pT-Easy dan GP25
Gambar 13.
Gambar 12. Hasil digesti pActD6 dengan enzim SalI menjadi pAct dan D6, pAct ini akan menjadi tulang punggung backbone pembuatan konstruksi
pAct-GP25
Gambar 13. Hasil digesti pT-GP25 dengan enzim SalI menjadi pT-Easy dan gen glikoprotein GP25; dimana D adalah fragmen hasil digesti
sedangkan K adalah kontrol plasmid yang tidak didigesti.
40
Setelah pAct diligasi dengan gen GP25 dihasilkan plasmid pAct-GP25 dengan ukuran sekitar 8,8 kbp. Hasil pembuatan konstruksi vaksin DNA melalui
transformasi berupa koloni yang berwarna putih. Koloni bakteri transforman yang telah diverifikasi dengan menggunakan metode cracking seperti verifikasi pada
transformasi pertama yang menggunakan plasmid pT-Easy menghasilkan plasmid DNA yang dapat diseleksi untuk diuji lanjut Gambar 14.
Gambar 14 .
Hasil verifikasi dengan metode cracking terhadap hasil transformasi tahap kedua yang menggunakan plasmid pAct. Tanda panah
menunjukkan klon bakteri yang dipilih untuk diuji lanjut; tanda positif + menunjukkan marker yang berasal dari koloni biru.
Kandidat koloni yang memenuhi syarat tanda panah yang telah diverifikasi dengan metode PCR menggunakan sepasang primer F-GP dan R-GP
menghasilkan produk PCR sebesar 1,8 kbp Gambar 15. Situs restriksi yang digunakan hanya satu jenis sehingga arah ligasi memiliki dua macam kemungkinan.
Kemungkinan arah ligasi tersebut adalah start codon terligasi dengan promoter atau start codon terligasi dengan bagian terminator poly A, begitu juga sebaliknya
dengan stop codon. Plasmid yang telah diuji orientasi dengan primer F-GP an R-T7 menghasilkan fragmen DNA yang berukuran 2,1 kbp, yaitu pada koloni nomor 6, 17
dan 20 Gambar 16.
41
Gambar 15. Hasil verifikasi plasmid dengan metode PCR menggunakan primer F-GP dan R-GP. Tanda menunjukkan fragmen GP25 yang
tersisip dip Act-GP25.
Gambar 16. Terdapat 3 klon bakteri transforman yang memiliki orientasi ligasi yang benar yang ditunjukkan dengan adanya fragmen berukuran 2,1 kbp
Orientasi ligasi yang benar akan menyambungkan promoter dengan start codon dan terminatorpolyA bovine growth hormone dengan terminator stop codon
Gambar 17. Situs restriksi dalam peta tersebut sangat berguna dalam pembuatan konstruksi DNA vaksin baru dengan gen yang berbeda.
Gambar 17. Peta plasmid pAct-GP25. Act=promoter aktin; GP25=glikoprotein
ORF 25; BGH=poly-A dari bovine growth hormone; E= Eco RI; S= Sal I; dan X= Xho I.
1,8 kb p
2 2,1
kb p 1,8
G P
42
Gambar 18. Perbandingan ukuran fragmen pT-GP yang berukuran 5,8 kb 3 kbp pT-Easy+1,8 kbp GP25 dan pAct-GP25 yang berukuran 8,8 kbp 3
kbp pBlueScript+3,7mBA+1,8 GP+0.3 BGH. M adalah marker DNA. Plasmid pAct-GP25 inilah yang dijadikan vaksin DNA untuk mencegah
penyakit yang diakibatkan oleh virus KHV pada ikan mas maupun koi. Aktivitas plasmid sebagai vaksin ini perlu dibuktikan terlebih dahulu sebelum digunakan
sebagai vaksin. Gen glikoprotein yang merupakan bahan aktif dari vaksin DNA ini berukuran
1,8 kbp atau tepatnya 1824 bp. Ukuran protein yang ditranslasi oleh sekuen gen ini setara dengan 66,94 kDa 1 bp = 36,7 Da. Imunogenisitas suatu antigen ditentukan
oleh ukuran molekulnya. Vaksin DNA untuk lymphocystis disease virus LCDV pada ikan flounder mengandung bahan aktif gen imunogenik berukuran 800 bp atau
setara dengan 29,36 kDa Zheng et al. 2006. Bahan aktif ini terbukti imunogenik walaupun ukuran molekulnya lebih kecil dari bahan aktif vaksin DNA untuk KHV.
Vaksin DNA KHV memiliki peluang dari sisi imunogenisitasnya. Imunogenisitas tidak semata-mata ditentukan oleh ukuran molekulnya akan tetapi juga ditentukan
oleh faktor virulen. Faktor virulen adalah faktor yang bertanggung jawab terhadap sifat sakit. Tidak semua faktor virulen bersifat imunogenik. Oleh karena itu untuk
membuktikan imunogenisitas dari antigen perlu dibuktikan lebih lanjut. Tahap II: Uji Ekspresi
Efektivitas vaksin DNA dapat dilihat dari aktivitas promoternya. Aktivitas promoter
β-aktin dapat dilihat dari kemampuannya dalam mengekspresikan gen yang dibawa serta dalam konstruksinya. Dalam penelitian ini uji aktivitas promoter
dilakukan dalam mengekspresikan gen GFP green fluorescent protein dan GP25. Ekspresi gen GFP dengan level relatif tinggi terdeteksi pada semua jaringan
yang dianalisis, yaitu ginjal G, insang I, limpa L dan otot O pada jam ke-24
p Ac t-G P25 8,8 kb p
p TG P 5,8 kb p p T-G P25 5,8 kb p
43
Gambar 19 A. Hal ini menunjukkan bahwa promoter β-aktin ikan medaka Jepang
dapat aktif pada ikan mas. Ekspresi gen GFP masih terdeteksi seminggu setelah injeksi dilakukan Gambar 19 B, meskipun tingkat ekspresinya lebih rendah
dibandingkan dengan pada jam ke-24. Hal ini menunjukkan bahwa pAct-GFP dapat bertahan dan promoter
β-aktin ikan medaka Jepang aktif pada otot, insang dan ginjal sampai seminggu setelah injeksi.
Gambar 19. Ekspresi gen GFP pada ginjal G, insang I, limpa L, dan otot O ikan mas pada jam ke-24 A dan seminggu B setelah injeksi dengan
pAct- GFP. Ekspresi gen β-aktin sebagai kontrol internal terdeteksi
pada semua jaringan C. K+: kontrol positif plasmid pAct-GFP, K-: kontrol negatif tanpa cetakan DNA.
Gambar 20. Ekspresi gen GP25 pada otot yang tidak diinjeksi O- dan otot yang
diinjeksi O+, insang I, limpa L dan ginjal G pada hari keempat belas setelah dua minggu setelah injeksi.
Ekspresi gen β-aktin sebagai kontrol internal terdeteksi pada semua jaringan dengan level
yang relatif sama C. Angka di sebelah kanan gambar merupakan ukuran DNA produk PCR.
Selanjutnya, hasil analisis RT-PCR pada ikan mas yang telah diinjeksi dengan pAct-GP25 menunjukkan bahwa ekspresi gen GP25 dapat terdeteksi
setelah 14 hari injeksi pada semua jaringan yang diamati. Hal ini sejalan dengan sifat promoter
β-aktin yang dapat aktif pada semua jaringan; bersifat ubiquitos Volkaert et al. 1994. Perbedaan tingkat ekspresi antara gen GFP dan GP25
0,5 kb p
0,5 kb p
0,2 kb p
1,8 kb p 0,2 kb p
44
diduga berhubungan dengan sensitivitas primer untuk melekat pada cDNA cetakan dan ukuran fragmen DNA target PCR. Secara umum, target produk PCR yang
berukuran lebih kecil akan lebih mudah diamplifikasi dibandingkan dengan DNA yang lebih besar. Panjang DNA target PCR dengan primer GP25 sekitar 1,8 kbp,
sementara gen GFP sekitar 0,6 kbp. Hasil ekspresi gen tersebut menunjukkan bahwa promoter
β-aktin bersifat aktif. Promoter ini dapat mengekspresikan gen GFP dan gen GP25. Ekspresi gen
dari vaksin DNA dalam waktu singkat short-term expression sudah cukup untuk membangkitkan respons imun. Respons imun dimulai oleh sel-sel APC antigen
presenting cells yaitu sel-sel dendrit maupun makrofag setelah vaksinasi dengan vaksin DNA Tonheim et al. 2008. Vaksin DNA berupa plasmid masuk ke dalam
sel dan mengalami baik transkripsi maupun translasi di dalam sitoplasma Rawat et al. 2007. Sel-sel APC yaitu makrofag dan sel-sel dendrit berisi plasmid DNA yang
kemungkinan akan ditranskripsi dan ditranslasi sehingga menghasilkan protein imunogenik, menyembunyikan adanya infeksi patogen intraseluler cytosolic
pathway dan berikutnya mempresentasikan antigen berupa protein asing di permukaan sel. Presentasi dilakukan oleh molekul MHC kelas I Tonheim et al.
2008. Sistem imun menggunakan dua jalur untuk mengeleminasi antigen
intraseluler dan ekstraseluler. Antigen endogeneous diproses di jalur sitosolik cytosolic pathway dan dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I. Antigen
eksogeneous diproses di jalur endositik endocytic pathway Rawat et al. 2007. Sel-sel APC dapat mengambil antigen terlarut peptida yang dilepas oleh sel yang
lain misalnya myosit. Sel-sel APC tersebut selanjutnya memprosesnya dan mempresentasikannya melalui molekul MHC kelas II yang ada di permukaan sel.
Sel TCR T cell receptor mengenali peptida yang dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I dan kelas II masing-masing melalui molekul CD8
+
yang ada di Tcell cytotoxic T cell dan CD4
+
dari T cell T helper Tonheim et al. 2008. Jalur sitosolik berperanan dalam membangkitkan respon kekebalan seluler, sedangkan
jalur endositik berperanan dalam membangkitkan respons kekebalan humoral.
45
Tahap III: Uji Tantang Skala Laboratorium Uji Tantang I: RPS dan Aktivitas Sel Darah Putih
Hasil uji tantang terhadap ikan yang telah divaksinasi menggunakan vaksin DNA penyandi glikoprotein KHV dipresentasikan oleh kelangsungan hidup ikan
dalam persen Gambar 21. Grafik tersebut menunjukkan dinamika kelangsungan hidup ikan berdasarkan nilai kelangsungan hidup. Vaksinasi menggunakan dosis
12,5 µg dalam 100µl PBS pada suhu 24
o
C menghasilkan kelangsungan hidup terbaik yaitu sebesar 96,7 sampai 30 hari setelah uji tantang. Nilai kelangsungan
hidup ini cukup tinggi sehingga dosis ini memenuhi syarat untuk digunakan dalam memvaksinasi ikan.
Gambar 21. Grafik kelangsungan hidup ikan setelah diuji tantang dengan virus KHV
Vaksinasi dengan dosis yang lebih rendah tidak efektif karena semua ikan perlakuan mengalami kematian total setelah uji tantang termasuk ikan kontrol
positif. Kontrol negatif yang tidak divaksinasi maupun tidak diuji tantang hidup 100. Kondisi kematia
n ikan yang divaksinasi dengan dosis 2,5 µg100µl mendahului kematian ikan kontrol dengan selisih waktu dua hari. Selisih waktu ini
diduga karena vaksinasi dilakukan dengan injeksi. Injeksi memungkinkan terjadinya cekaman pada ikan. Ikan kontrol positif yang tidak divaksinasi tidak diinjeksi
mengalami kematian lebih lambat dibanding dengan ikan yang divaksinasi dengan dosis paling rendah yaitu 2,5 µg100µl. Kondisi ini diduga terkait dengan adanya
cekaman pada ikan yang diinjeksi.
46
Kematian ikan kontrol terjadi pada hari ke-17 setelah uji tantang dengan virus KHV. Jarak waktu uji tantang dan kematian ini sedikit berbeda dengan hasil
penelitian Rosenkranz et al. 2008 dimana jarak waktu uji tantang secara perendaman dengan KHV adalah 7-11 hari. Perbedaan ini kemungkinan
disebabkan oleh perbedaan strain ikan mas yang digunakan sehingga berpengaruh pada tingkat resistensi ikan terhadap virus KHV. Penelitian uji tantang vaksin DNA
ini menggunakan ikan mas strain wildan. Ikan strain ini merupakan ikan mas yang lebih tahan terhadap KHV dibanding dengan strain lain. Oleh karena itu ikan ini
lebih tahan terhadap KHV dibanding dengan ikan mas yang digunakan oleh Rosenkranz et al. 2008 yang tidak menyebutkan strain ikan mas yang digunakan
dalam uji infeksi dengan perendaman. Sedangkan kematian ikan yang divaksin dengan dosis 7,5 µg relatif lebih lama dibanding yang divaksin dengan dosis 2,5 µg
maupun dengan ikan penelitian Rosenkranz et al. 2008. Hal ini disebabkan
karena vaksinasi yang diberikan berpengaruh terhadap kinerja sistem imun ikan dalam menghadapi infeksi KHV. Dosis virus yang digunakan dengan pengenceran
10
-5
juga berpengaruh terhadap jarak waktu antara uji tantang dan kematian ikan. Nilai kelangsungan hidup relatif atau relative percent survival RPS
merupakan nilai yang menggambarkan tingkat kelangsungan hidup ikan dengan perhitungan yang melibatkan persentase kematian ikan perlakuan dengan ikan
kontrol setelah diuji tantang Tabel 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan v
aksinasi dengan dosis 12,5 µg100 µl menghasilkan nilai RPS sebesar 96,7 . Nilai RPS yang sudah dibandingkan dengan mortalitas ikan kontrol ini
termasuk tinggi karena lebih dari 50. Dosis 12,5 µg100 µl merupakan dosis yang memenuhi syarat untuk menghasilkan RPS sebesar 96,7.
Tabel 4. Kelangsungan hidup relatif ikan pasca uji tantang tahap I No
Perlakuan Mortalitas
RPS 1.
2. 3.
4. Kontrol
Vaksinasi dosis 2,5 µg100 µl
Vaksinasi dosis 7,5 µg100 µl Vaksinasi dosis 12,5 µg100 µl
100 100
100 3,3
- 96,7
47
Aktivitas Sel Darah Putih Leukosit Total
Pengamatan terhadap jumlah total rata-rata leukosit dalam darah ikan mas
pada perlakuan yang berbeda, menunjukkan bahwa nilai tertinggi terdapat pada perlakuan B yaitu 127.000 selmm
3
pada hari ke 42 setelah ikan divaksinasi. Nilai terendah terdapat pada perlakuan A yaitu 27.200 selmm
3
, pada hari ke 49
seminggu setelah uji tantang. Secara umum jumlah leukosit total mengalami peningkatan setelah vaksinasi, tidak terkecuali kontrol. Jumlah total rata-rata
leukosit dalam darah ikan mas merupakan nilai tengah jumlah sel darah putih ikan
contoh Gambar 22.
Gambar 22. Kecenderungan jumlah leukosit total ikan mas pada masing-masing perlakuan vaksinasi dosis 2,5
µg100µl A; dosis 7,5 µg100µl B;
dosis 12,5
µg100µl C dan tanpa vaksinasi K. Jumlah leukosit dalam darah ikan adalah 3390-14200 selmm
3
Salasia et al. 2001. Jumlah leukosit terendah terdapat pada perlakuan A dan tertinggi pada
perlakuan B berada di atas nilai normal. Kondisi ini menunjukkan bahwa ikan sedang merespons sesuatu, misalnya patogen. Hal ini dapat dilihat dari tren jumlah
leukosit pasca vaksinasi yang cenderung meningkat sampai menjelang uji tantang. Sekalipun demikian ikan percobaan tidak menunjukkan gejala klinis yang
mengindikasikan bahwa ikan tersebut sakit. Jumlah leukosit ikan kontrol yang lebih rendah dibanding ikan perlakuan menunjukkan bahwa ikan kontrol maupun
perlakuan berada dalam kondisi yang sama. Hal ini disebabkan karena jumlah
leukosit tersebut masih berada dalam kisaran normal.
Kecenderungan jumlah leukosit total pasca vaksinasi meningkat dan puncaknya pada hari ke-42 menjelang uji tantang. Dari grafik total leukosit tersebut
dapat dilihat terdapatnya gap antara ikan kontrol dan ikan perlakuan. Gap ini
48
kemungkinan disebabkan oleh aktifnya gen penyandi glikoprotein dari virus KHV yang tersisip dalam vaksin DNA yang diinjeksikan ke tubuh ikan perlakuan. Aktifnya
gen ini mendorong terjadinya translasi glikoprotein. Glikoprotein dengan jumlah yang semakin meningkat ini mendorong tubuh ikan untuk mengenali glikoprotein
sebagai antigen. Tubuh ikan merespons melalui meningkatnya produksi sel-sel darah putih atau leukosit untuk menghadapi infeksi glikoprotein sebagai
representasi virus KHV. Dalam penelitian sebelumnya tentang ekspresi gen dapat dibuktikan bahwa gen glikoprotein yang tersisip dalam vaksin DNA terbukti bersifat
aktif dan terekspresi pada hari ke-14 setelah vaksinasi. Transkripsi gen yang berulang mengakibatkan banyaknya glikoprotein yang dihasilkan.
Secara umum tren penurunan jumlah leukosit pada ikan perlakuan maupun ikan kontrol setelah uji tantang menunjukkan bahwa leukosit tersebut diduga aktif
dan keluar dari pembuluh darah menuju jaringan yang terinfeksi. Penelitian ini hanya menghitung jumlah leukosit dalam saluran darah. Peningkatan jumlah
leukosit seharusnya terjadi segera setelah infeksi. Peningkatan jumlah leukosit yang berfungsi dalam kekebalan seluler ini terjadi segera setelah sampai beberapa
hari setelah infeksi, dan seminggu kemudian akan menurun. Peran kekebalan selanjutnya diambil alih oleh kekebalan humoral yaitu oleh antibodi.
Aktivitas Fagositosis
Pengamatan terhadap aktivitas fagositosis dalam darah ikan mas pada perlakuan yang berbeda, menunjukkan nilai yang berfluktuasi. Secara umum
aktivitas fagositosis ikan kontrol lebih rendah dibanding dengan ikan yang divaksinasi baik sebelum maupun setelah uji tantang. Apabila dibandingkan dengan
kedua perlakuan yang lain, maka perlakuan C yaitu vaksinasi dengan dosis 12,5 µg100 µl memiliki tren penurunan aktivitas fagositosis yang lebih tajam setelah hari
ke-63 dibanding dengan perlakuan yang lain. Namun demikian penurunan aktivitas
fagosiosis ini berbanding terbalik dengan kelangsungan hidup ikan. Kelangsungan hidup ikan pada perlakuan C adalah 96,67 selama satu bulan setelah uji tantang.
49
Inde ks Fagositik
5 10
15 20
25 30
21 28
35 42
49 56
63 70
Hari k e- P
e rs
e n
A B
C K
Gambar 23. Aktivitas fagositosis pada perlakuan vaksinasi dengan dosis 2,5
µg100µl perlakuan A, 7,5 µg100µl perlakuan B, 12,5 µg100µl perlakuan C dan tanpa vaksinasi perlakuan K.
Kondisi paradoks ini kemungkinan disebabkan karena ada kekebalan seluler lain yang aktif selain aktivitas fagositosis maupun kekebalan humoral yaitu
antibodi. Hal ini menunjukkan bahwa dosis vaksinasi terbesar yaitu 12,5µg100 µl
berpengaruh terhadap aktivitas kekebalan seluler yang ada di sistem sirkulasi. Kemungkinan besar aktivitas fagositosis berlangsung di tempat terjadinya infeksi
sehingga sel-sel leukosit yang ditemukan di pembuluh darah dan melakukan aktifitas fagositosis lebih rendah dibanding perlakuan A, B maupun kontrol. Hal ini
juga sejalan dengan aktivitas kekebalan humoral yang diperankan oleh limfosit B. Kresno 2001 menjelaskan bahwa limfosit yang teraktivasi berdiferensiasi
dari sel kognitif yang mengenal antigen menjadi sel efektor yang berfungsi menyingkirkan antigen. Sel T-sitolitik yang berdiferensiasi mempunyai granula
sitoplasmik lebih banyak yang mengandung protein yang berfungsi melisiskan sel sasaran. Limfosit B berdiferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi.
Sel plasma umumnya tidak terdapat dalam sirkulasi tetapi hanya terdapat dalam organ limfoid dan pada tempat-tempat terjadinya respons imun. Oleh karena itu
perlakuan C yaitu vaksinasi dengan dosis 12,5 µg100 µl dapat meningkatkan peranan kekebalan seluler di jaringan yang terinfeksi. Hal ini didukung oleh data
kelangsungan hidup ikan pada perlakuan C yang mencapai 96,7 sampai satu bulan setelah uji tantang dibandingkan dengan perlakuan A dan B dengan dosis
50
vaksinasi 2,5 dan 7,5 µg yang mengalami kematian total 2-3 minggu setelah uji tantang.
Gambar 24. Fagositosis yang dilakukan oleh limfosit a, monosit b, neutrofil c. Huruf F dan tanda panah menunjukkan tonjolan
yang berisi benda asing yang telah difagositosis oleh sel-sel fagosit.
Fagosit adalah bagian paling kuat most powerful dan paling penting dari sistem pertahanan tubuh yang dapat beroperasi segera tanpa penundaan dalam
melawan invasi mikroorganisme setelah melintasi permukaan tubuh dan masuk ke dalam tubuh Mims et al., 2001. Aktivitas fagositosis ini mengalami peningkatan
setelah vaksinasi dengan vaksin DNA dan mengalami penurunan menjelang uji tantang dengan virus KHV.
Peningkatan ini menunjukkan adanya korelasi antara vaksinasi dan uji tantang dengan aktivitas fagositosis. Pola peningkatan persentase aktivitas
fagositik ini mencerminkan fungsi peningkatan total leukosit maupun persentase sel- sel leukosit masing-masing pada limfosit, monosit dan neutrofil. Proses fagositosis
terhadap bakteri Staphylococcus aureus menunjukan terjadinya tahapan dari proses fagositosis. Pada proses tersebut meliputi tahap kemotaksis, tahap pelekatan, tahap
penelanan dan tahap pencernaan Tizard 1988. Penelitian ini tidak membedakan aktivitas masing-masing sel fagosit dalam
memfagositosis benda asing termasuk mikroorganisme. Sebagai bahan perbandingan, Overlanda et al. 2009 membuktikan adanya aktivitas fagositosis
yang berbeda antara sel B limfosit dan neutrofil. Sel B memiliki kemampuan fagositosis phagocytosis activity yang lebih tinggi dibanding neutrofil pada ikan
salmon dengan sampel yang diambil dari ginjal depan head kidney, sedangkan kapasitas fagositosis phagocytosis capacity sel B lebih rendah dibanding neutrofil .
Kemampuan fagositosis sel B lebih rendah dibanding dengan neutrofil pada ikan
51
cod dengan sampel yang diambil dari ginjal depan dan pembuluh darah tepi, sedangkan kapasitas fagositosis sel B lebih besar dibanding dengan sel neutrofil.
Uji Tantang II: RPS dan Keamanan Vaksin Dalam uji tantang I maupun uji tantang II, semua ikan mas yang tidak
divaksin dan tidak diuji tantang dengan KHV hidup hingga akhir penelitian kontrol negatif. Sementara itu, kelangsungan hidup ikan mas yang divaksin dengan dosis
12,5 SR 70,0 dan 7,5 µg pada suhu 25
o
C sebelum diuji tantang lebih tinggi dibandingkan dengan dosis 2,5 µg dan kontrol positif SR 23,3 Gambar 25.
Gambar 25. Grafik kelangsungan hidup ikan setelah diuji tantang dengan virus KHV Dari Gambar 25 terlihat bahwa ikan kontrol positif dan perlakuan A
vaksinasi dosis 2,5µg mengalami kematian pada hari ke-12 setelah uji tantang, sedangkan ikan p
erlakuan B dan C vaksinasi dengan dosis 7,5 dan 12,5 µg terjadi pada hari ke-13 dengan uji tantang. Apabila dibandingkan dengan uji tantang I
maka kematian ikan kontrol dan perlakuan A pada uji tantang II lebih cepat 3 hari. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan dosis virus yang digunakan. Uji tantang I
menggunakan virus KHV yang diencerkan dengan perbandingan 1:100000, sedangkan uji tantang II menggunakan virus KHV dengan pengenceran 1:1000.
Virus KHV pada uji tantang II lebih tinggi konsentrasinya dibanding dengan uji tantang I.
52
Apabila dikaitkan dengan aktivitas promoter β-aktin yang digunakan dalam vaksin DNA ini maka ekspresi gen terjadi 24 jam setelah vaksinasi dan masih
terekspresi 2 minggu setelah vaksinasi. Kontrol ikan yang tidak diinjeksi dengan GP25 menunjukkan tidak adanya ekspresi GP25 pada jaringan maupun organ yang
diamati. Ikan kontrol yang tidak divaksinasi dengan GP25 juga menghasilkan kelangsungan hidup yang rendah yaitu sebesar 23,3. Dosis 12,5
µg100 µl
menghasilkan kelangsungan hidup sebesar 70. Nilai kelangsungan hidup relatif atau relative percent survival RPS yang diperoleh pasca uji tantang cukup
bervariasi Tabel 4. Tabel 4. Kelangsungan hidup relatif ikan pasca uji tantang II dengan virus KHV
No Perlakuan
Mortalitas RPS
1. 2.
3. 4.
Kontrol K Vaksinasi dosis 2,5 µg100 µl A
Vaksinasi dosis 7,5 µg100 µl B Vaksinasi dosis 12,5 µg100 µl C
76,67 63,33
36,67 30
- 17,4
52,2 60,9
Hasil ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa ikan yang divaksinasi dengan dosis 12,5 µg100µl mampu memproduksi glikoprotein KHV di tubuh ikan.
Protein ini dikenali tubuh sebagai antigen KHV sehingga ikan dapat mengaktifkan respons imun. Aktifnya respons imun direpresentasikan oleh tingginya
kelangsungan hidup ikan yang divaksinasi dengan dosis 12,5 µg100µl dibandingkan dengan dosis lain yang lebih rendah. Kondisi ini sekaligus
mengonfirmasi bahwa GP25 bersifat imunogenik dan ekspresinya dapat meningkatkan kekebalan ikan mas terhadap infeksi KHV. Vaksin DNA yang
mengandung GP25 ini dapat digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi KHV pada ikan mas. Vaksin ini dapat direkomendasikan untuk langkah pencegahan
dalam mengelola kesehatan ikan mas yang dibudidayakan. Nilai RPS yang tertinggi dihasilkan dari vaksinasi menggunakan dosis 12,5
µg100 µl. Nilai ini mencapai 60,9. Nilai RPS tersebut lebih besar dari 50 yang
berarti lebih banyak ikan yang hidup dibanding dengan ikan yang mati. Dosis 7,5 µg100
µl menghasilkan nilai RPS sebesar 52,2. Nilai RPS ini juga lebih tinggi dari nilai standar minimal RPS. Masing-masing dosis ini memungkinkan untuk
dijadikan sebagai dosis standar untuk vaksinasi. Namun demikian pemilihan dosis
53
yang akan digunakan harus mempertimbangkan nilai efisiensi yang melibatkan perhitungan dari sisi ekonomi.
Setelah dilakukan analisis data RPS pada uji tantang II dengan ANOVA dan diuji lanjut dengan uji BNT beda nyata terkecil didapatkan hasil bahwa minimal
ada sepasang perlakuan yang berbeda pengaruhnya F hit F tabel. Untuk mengetahui perlakuan yang berbeda pengaruhnya maka dilakukan uji lanjut BNT
beda nyata terkecil. Hasil uji tersebut menunjukkan
b a hwa
perlakuan A berbeda pengaruhnya dengan perlakuan B dan C. Sedangkan, perlakuan B memberikan
pengaruh yang sama dengan perlakuan C Lampiran 6. Metode transfer vaksin melalui injeksi plasmid juga harus dipertimbangkan.
Tahapan isolasi plasmid mengambil porsi biaya yang paling mahal dibanding dengan tahap kultur bakteri. Oleh karena itu harus ada alternatif metode transfer
vaksin dengan memangkas tahapan isolasi plasmid. Aplikasi ini memungkinkan pemberian vaksin dalam bentuk bakteri konstruksi.
Uji tantang tahap pertama dilakukan dengan memberikan virus KHV dari 1 gram insang terinfeksi KHV yang dencerkan dengan PBS dengan pengenceran
1:100000 atau 10
-5
. Uji tantang tahap kedua dilakukan dengan memberikan virus KHV yang diencerkan dengan perbandingan 1:1000, lebih pekat dibanding dengan
uji tantang tahap pertama. Uji tantang ini sebaiknya dengan menggunakan TCID
50
atau LD
50
. Namun karena sifat virus KHV yang tergantung suhu maka standarisasi infeksi virus dengan TCID
50
atau LD
50
ini memerlukan waktu yang cukup sehingga standar yang dihasilkan dapat digunakan sebagai patokan untuk uji tantang.
Waktu uji tantang yang berbeda berkaitan erat dengan perbedaan suhu air Lampiran 7. Suhu air yang berbeda diduga berpengaruh pada tingkat virulensi
virus. Virulensi virus yang berbeda tiap uji tantang menghasilkan keragaman pola kematian ikan percobaan seperti yang digambarkan pada grafik baik pada uji
tantang tahap pertama maupun uji tantang tahap kedua. Nilai RPS baik pada uji tantang tahap pertama yaitu sebesar 96,7 pada
dosis vaksin 12,5 µg dan tahap kedua sebesar 52,2 dan 60,9 untuk dosis vaksin masing-
masing 7,5 dan 12,5 µg cukup memenuhi syarat untuk digunakan sebagai penentu keberhasilan vaksinasi. Nilai RPS tersebut lebih besar dari 50
seperti pada uji tantang vaksin DNA dengan virus SVCV dari Amerika Utara spring
54
viremia of carp virus pada ikan koi yang dilakukan oleh Emmenegger Kurath 2008. Uji vaksinasi yang menghasilkan nilai 50-80 tersebut dinyatakan sebagai
uji vaksinasi yang berhasil dilakukan. Nilai RPS tersebut juga lebih tinggi dibanding dengan hasil uji tantang vaksin
DNA pada ikan mas terhadap virus SVCV. Nilai RPS hasil uji tantang tersebut sebesar 48 untuk vaksin DNA yang menggunakan gen lengkap full length
glikoprotein Kanellos et al. 2006. Hasil RPS yang berbeda antara uji tantang tahap pertama dan uji tantang
tahap kedua disebabkan perbedaan dosis virus yang digunakan dalam uji tantang. Dosis virus yang berbeda menyebabkan jumlah partikel virus juga berbeda.
Perbedaan hasil uji tantang ini juga dapat disebabkan oleh perbedaan tingkat virulensi virus KHV. Virus KHV adalah virus yang tingkat virulensinya tergantung
musim. Pada musim hujan virus ini akan bersifat lebih ganas. Adanya pergeseran musim yang disebabkan oleh adanya perubahan iklim global diduga berpengaruh
terhadap tingkat virulensi virus. Kondisi ini juga berpengaruh dalam penentuan dosis standar virus yang digunakan dalam uji tantang. Pada penelitian pendahuluan
didapatkann dosis LD50 lethal dose 50 untuk virus KHV yang diencerkan dengan perbandingan 1:10
7
. Dosis ini terbukti tidak dapat digunakan pada waktu uji tantang ikan yang telah divaksinasi dengan vaksin DNA.
Ikan yang digunakan dalam penelitian ini bukan ikan klon. Ikan bukan klon memungkinkan terjadinya variasi hasil uji tantang sebagai akibat dari level respon
imun yang berbeda antar ikan. Ikan klon maupun ikan SPF specific pathogen free khusus untuk ikan mas belum tersedia secara komersial. Hal ini menjadi kendala
dalam pengadaan ikan uji untuk penelitian vaksin.
Keamanan Vaksin
Vaksin DNA yang diberikan ke ikan akan mengalami beberapa kemungkinan. Beberapa kemungkinan tersebut adalah: a DNA akan masuk
uptake ke dalam sel yang ada di lokasi injeksi; b DNA akan tertinggal di bagian luar sel ekstraseluler; c DNA akan didegradasi oleh enzim endonuklease di
jaringan tempat injeksi, dan d DNA terdistribusi melalui darah ke jaringan lain Gillund et al. 2008.
55
Apabila vaksin DNA tersebut terdistribusi ke jaringan lain dan terekspresi maka vaksin DNA tersebut akan mentranslasikan glikoprotein virus KHV.
Glikoprotein virus harus dipastikan tidak menginfeksi inangnya sendiri sehingga inangnya, dalam hal ini ikan. Jaringan ikan yang terinfeksi virus biasanya
membentuk badan inklusi. Badan inklusi ini dapat dijadikan penanda status
kesehatan ikan yang terkait dengan keamanan vaksin Ellis 1988.
Meskipun target yang diharapkan dari pemberian vaksin DNA ini adalah munculnya respon imun pada ikan yang divaksin, akan tetapi aspek keamanan
vaksin DNA tersebut bagi ikan harus diperhatikan. Vaksin DNA GP25 yang diberikan ke ikan selama lebih dari tiga bulan tidak mengalami kematian. Dari
pemeriksaan jaringan pada jaringan otot, insang, limpa dan ginjal tidak menunjukkan adanya kelainan Lampiran 8 dan 9.
Jaringan otot dan insang ikan yang telah divaksinasi tidak menunjukkan kelainan patologis Lampiran 8. Kelainan
yang dimaksud adalah munculnya badan inklusi yang menandai adanya infeksi virus pada seljaringan.
Insang yang merupakan salah satu indikator adanya ganggunan infeksi KHV tidak mengalami hiperplasia. Hal ini menunjukkan bahwa vaksin yang membawa
fragmen gen virus KHV tersebut tidak membahayakan insang ikan mas. Kematian massal ikan yang terinfeksi KHV disebabkan oleh hiperplasia yang menyebabkan
jumlah sel epitel meningkat sehingga terjadi penempelan antar lamella dan antar filamen insang. Kondisi ini menyebabkan ikan mengalami kesulitan dalam bernafas
untuk mengambil oksigen dari media air. Jaringan limpa yang divaksinasi juga tidak menunjukkan tanda-tanda mengalami kelainan, demikian juga dengan jaringan
ginjal Lampiran 9. Tidak ditemukan kelainan berupa vakuolisasi epitel, inflamasi renal tubular, intranuclear inclusion body dan epithelial cytopathic effect. Kondisi
jaringan di atas meneguhkan bahwa vaksin DNA yang diberikan tidak berbahaya bagi ikan yang divaksinasi. Data pendukung keamanan vaksin adalah semua ikan
yang divaksinasi dengan GP25 sebanyak 12,5 µg tidak mengalami kematian dalam pengamatan selama dua bulan.
Aspek yang telah dibahas di atas merupakan aspek keamanan dari sisi hewan yang divaksin. Aspek keamanan yang lain yang harus dilihat adalah
keamanan bagi consumer pengonsumsi dan lingkungan Lorenzen LaPatra
56
2005. Melalui uji coba terhadap sukarelawan yang mengonsumsi beberapa milligram vaksin DNA didapatkan hasil bahwa tidak ada efek negatif yang muncul
pada sukarelawan tersebut Liu 2003. Vaksin DNA berupa plasmid yang diinjeksikan ke ikan terbukti tidak mengalami integrasi dengan DNA genom
Kanellos et al. 1999. Perdebatan tentang ikan yang divaksin menjadi GMO genetic modified
organinism atau tidak maka hal ini perlu ditelaah lebih dalam lagi. The British Agriculture and Environmental Biotechnology Commission dan Danish Medical
Authorities memberi batasan bahwa selama DNA asing tidak terintegrasi ke DNA genom maka tidak diklasifikasikan sebagai GMO. Sedangkan Norwegian
Directorate for Nature Management mempertimbangkan selama ada DNA asing dalam tubuh binatang maka binatang tersebut termasuk GMO Lorenzen LaPatra
2005. Pendapat yang pertama dibantah oleh hasil penelitian Kanellos et al. 1999.
Pendapat yang kedua bertentangan dengan fakta bahwa banyak binatang ternak yang mengonsumsi pakantanaman hasil rekayasa genetika yang termasuk GMO.
Binatang ternak tersebut pada akhirnya akan dikonsumsi oleh manusia. Fakta yang lain adalah bahwa penduduk Indonesia menggemari tempe dan tahu yang
berbahan baku kedelai. Untuk memenuhi kebutuhan akan kedelai tersebut maka pemerintah melakukan impor kedelai dari luar negeri yang merupakan GMO.
Mengenai keamanan lingkungan maka yang dikhawatirkan adalah terjadinya up take vaksin DNA yang merupakan plasmid oleh bakteri liar di alam. Secara teori,
up take ini memungkinkan untuk terjadi walaupun tidak dengan mudah. Yang dikhawatirkan adalah terjadinya transfer plasmid yang mengandung penanda
resisten terhadap Ampisilin maupun antibiotik yang lain. Namun berdasarkan paparan Horn 2005 disebutkan bahwa tidak terjadi transfer gen DNA plasmid
pada mikro flora normal yang ada pada ikan yang telah diberi vaksin DNA. Plasmid yang sudah masuk ke tubuh ikan akan diuptake sel dan selebihnya akan
didegradasi oleh enzim endonuklease Tonheim et al. 2008. Berdasarkan kelebihan maupun kekurangan masing-masing vaksin maka
perlu dilakukan pengkajian yang mendalam mengenai dampak positif dan negatif dari vaksin DNA tersebut. Pemilihan harus dilakukan berdasarkan manfaat terbesar
57
yang dapat diberikan oleh vaksin termasuk vaksin DNA dengan meminimalisasi resiko yang ditimbulkan. Minimalisasi resiko terhadap lingkungan dapat dilakukan
dengan vaksinasi secara terkontrol.
KESIMPULAN
Konstruksi vaksin DNA pAct-GP25 telah berhasil dibuat dengan promoter β-
aktin dari ikan medaka dan fragmen gen GP25 dengan ukuran total 8,8 kb. Dari uji ekspresi gen penyandi glikoprotein didapatkan hasil bahwa promoter tersebut
bersifat aktif pada semua organjaringan yang diperiksa. Aktivitas promoter ini terdeteksi mulai 24 jam, satu minggu dan dua minggu setelah vaksinasi. Setelah
dilakukan uji tantang didapatkan hasil bahwa ikan mas yang divaksinasi dengan dosis 12,5 µg menghasilkan kelangsungan hidup relatif RPS sebesar 60,9 dan
96,7. Setelah dilakukan analisis terhadap uji tantang II didapatkan hasil bahwa dosis 7,5 µg memberikan pengaruh yang sama dengan dosis 12,5 µg. Hal ini
menunjukkan bahwa vaksin DNA pAct-GP25 tersebut bersifat protektif.
SARAN
Perlu dilakukan penelitian tentang metode vaksinasi massal melalui injeksi untuk diaplikasikan pada ikan koi. Penelitian tentang vaksinasi massal melalui
pakan perlu dilakukan untuk diaplikasikan pada ikan mas. Penelitian tersebut harus mempertimbangkan faktor biaya produksi vaksin yang murah, kemudahan dalam
diaplikasi dan keamanan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Alimuddin. 2003. Introduction and Expression of foreign Δ6 desaturase-Like Gene
in a teleostean fish. Thesis. Graduate School of Fisheries Science. Tokyo
University of Fisheries. Alimuddin, Yoshizaki G, Kiron V, Satoh S, Takeuchi T. 2005. Enhancement of EPA and
DHA biosynthesis by over- expression of masu salmon Δ6-desaturase – like
gene in zebrafish. Transgenic Research, 14: 159-165. Anderson DP, Siwicki AK. 1993. Basic Haematology and Serology for Fish Health
Programs. Paper Presented in Second Symposium on Diseases in Asian Aquaculture ”Aquatic Animal Health and Environment”. Phuket, Thailand. 25-
29th October. P: 185-202. Aoki T, Hirono I, Kurokawa K, Fukuda H, Nahary R, Eldar A, Davison AJ, Waltzek TB,
Bercovier H, Hedrick RP. 2007. Genomic sequences of three koi herpesvirus isolates representing the expanding distribution of an emerging diseses
threatening koi and common carp worldwide. J.Virol, 81 10: 5058-5065. Arvin, A. 1996. Varicella Zoster Virus. J.Clin. Micro., 9:361-381.
Bretzinger A, Fischer-Scherl T, Oumouna M, Hoffmann R, Truyen U. 1999. Mass
mortalities in koi carp, Cyprinus carpio, associated with gill and skin disease. Bull. Eur. Assoc. Fish. Pathol., 19:182-185
Ath-thar MHF. 2007. Efektivitas promoter β-actin ikan medaka Oryzias latipes dengan
penanda gen hrGFP Humanized Renilla reniformis Green Fluorescent protein pada ikan lele Clarias sp. Keturunan F0. Skripsi. Departemen Budidaya
Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Corbeil S, LaPatra SE, Anderson ED, Jones J, Vincent B, Hsu YL, Kurath G. 1999.
Evaluation of the protective immunogenicity of the N, P, M, NV and G proteins of infectious hematopoietic necrosis virus in rainbow trout Onchorhyncus
mykiss using DNA vaccines. J. Dis Aquat Org., 39: 29-36. Crane M, Sano M, Komar C. 2004. Infection with koi herpesvirus-disease card.
Develop to support the NACAFAOOIE regional quarterly aquatic animal disease QAAD reporting system in the Asia Pacific. NACA, Bangkok,
Thailand. 11 pp. Dishon A, Parerlberg A, Bishara-Shieban J, Ilouze M, Davidovich M, Werker S, Kotler
M. 2005. Detection of carp interstitial nephritis and gill necrosis virus in fish dropping. Applied and Environmental Microbiology, 7111:.7285-7291.
Ellis EA. 1988. General Principles of Fish Vaccination. In Ellis AE, editor. Fish Vaccination. London: Academic Press. Hlm 1-19.
60
Emmenegger EJ, Kurath G. 2008. DNA vaccine protects ornamental koi Cyprinus carpio koi against North American spring viremia of carp virus. Vaccine,
26:6415-6421. Ewart KV, Johnson SC, Ross NW. 2001. Lectins of innate immune system and their
relevance to fish health. J. Marine Science, 58:380-385. Gilad O, Yun S, Andree KB, Adkison MA, Zlotkin A, Bercovier H, Eldar A, Hedrick RP.
2002. Initial characteristics of koi herpesvirus and development of a polymerase chain reaction assay to detect the virus in koi Cyprinus carpio koi.
Diseases of Aquatic Orgnisms., 48: 101-108. Gillund, F, Dalmo, R, Tonheim TC, Seternes T, Myhr AI. 2008. DNA vaccination in
aquaculture-Expert judgments of impacts on environment and fish health. Aquaculture, 284:25-34.
Gravningen K, Berntsen JO. 2008. Fish Vaccination: success with salmon expanding to other marine species. Global Aquaculture Advocad. www.phrmacy.no.
Gray WL, Mullis L, LaPatra SE, Grott JM, Goodwin A. 2002. Detection of koi herpesvirus DNA in tissues of infected fish. J. Fish Disease, 25:171-178.
Haenen OLM, Way K, Bergmann SM, Ariel E. 2004. The emergence of koi herpesvirus and its significance to European aquaculture. Bull. Eur. Assoc. Fish Pathol.,
24:293–307. Hacket PB. 1993. The molecular biology of transgenic fish. In : Hocachka and
Mommesen Eds.. Biochemistry and Molecular Biology of Fishes, 2:218 - 221. Hedrick RP. 1996. Movement of pathogens with the international trade of live fish:
problems and solutions. Rev. Sci. Technol., 15:523–531 Hedrick RP, Gilad O, Yun O, Spangenberg J, Marty R, Nordhausen M, Kebus M,
Bercovier H, Eldar A. 2000. A herpesvirus associated with mass mortality of juvenile and adult koi, a strain of common carp. J. Aquat. Anim. Health,. 12:44–
55. Hedrick RP, Marty GD, Nordhausen RW, Kebus M, Bercovier H, Eldar A. 1999. An
herpesvirus associated with mass mortality of juvenile and adult koi Cyprinus carpio. Fish Health Newsl. Am. Fish. Soc,. 27:7.
Hidayani AA. 2009. Isolasi dan Efektifitas Tiga Promoter dalam Mengarahkan Ekspresi Gen dan Transgenesis Ikan Mas. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Hirono I. 2005. Biotechnology for prevention of infectious diseases of fish. Available at
www.soi.wide.ad.jp .
Horn MT. 2005. Advanced Vaccine Technology. Available at www.imb.ie. Tanggal penelusuran: 11 Juli 2010.
61
Hutoran M, Ronen A, Parelberg A, Ilouze M, Dishon A, Bejerano T, Chen N, Kotler M. 2005. Description of an as yet unclassified DNA virus from diseased Cyprinus
carpio sepecies. J. Virol, 79:1983-1991 .
Ingram GA. 1980. Substances involved in the natural resistance of fish to infection-A review. J. Fish Biol., 16: 23-60.
Iwama G, Nakanishi Teds. 1996. The Fish Immune System: Organism, Pathogen, and Environment. Academic Press. 380 p.
Kanellos T, Sylvester ID, Ambali AG, Howard DR, Russel PH. 1999. The safety and longevity of DNA vaccine for fish. Immunology, 96:307-313.
Kanellos T, Sylvester ID, D’Mello F., Howard CR, Mackie A, Dixon PF, Chang KC, Ramstad A, Midlying PJ, Russel PH. 2006. DNA vaccination can protect
Cyprinus carpio against spring viremia of carp virus. Vaccine, 24:4927-4933. Kim CH, Johnson MC, Drennan JD, Simon BE, Thomann E, Leong JC. 2000. DNA
Vaccines encoding viral glycoprotein induced non-specific immunity and Mx protein synthesis in fish. J. Virology, 7415: 7048-7054.
KinKelin P de. 1988. Vaccination Against Viral Haemorrhagic Septicaemia. In Ellis AE, editor. Fish Vaccination. London: Academic Press. P. 172-192.
Kobayashi S, Alimuddin, Morita T, Miwa M, Lu J, Endo M, Takeuchi T, Yoshizaki G. 2007. Transgenic Nile tilapia Oreochromis niloticus over-expressing growth
hormone show reduced ammonia excretion. Aquaculture, 270: 427-435. Kresno SB. 2001. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium, Edisi Keempat.
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 341 hal. Kuby J. 1997. Immunology: third edition. WH freeman and company. New York.
LaPatra SE, Corbeil S, Jones GJ, Shewmaker WD, Lorenzen N, Kurath G. 2001.
Protection of rainbow trout against infectious hematipoietic necrosis virus four days after specific or semi-specific DNA vaccination. Vaccine, 19: 4011-4019.
Leong JA. Annual Report, 1986. Evaluation of a Sub Unit Vaccine to infectious Hematopoietc Necrosis Virus. Bonneville Power Administration, Division of
Fish and Wildlife. Oregon. Leong JC, Alonso M, Leisy , Lewis T, Robertsen B, Simon B, Song CB, Thomann E.
Available at www.nps.ars.usda.gov
. Biotechnology, Aquaculture Interface: The Site of Maximum Impact Workshop, Genetic Vaccine for Aquaculture.
Departmen of Microbiology, Oregon State University, Corvalis, Oregon. Liu M. 2003. DNA vaccines: a review. J.Intern. Med., 253 4: 402-410.
Lorenzen N; LaPatra SE. 2005. DNA vaccines for aquacultured fish.
Rev.sci.tech.Off.int.Epiz., 241: 201-213.
62
Mims CA, Nash A, Stephen J. 2001. Mim’s Pathogenesis of Infectious Disease: Fifth Edition. Academic Press. London. 474 p.
Mohanty BR, Sahoo PK, Mahapatra KD, Saha JN. 2007. Innate immune responses in families of Indin najor carp, Labeo rahita to Edwardsiella tarda infection.
Current science, 92 9:1270-1274. Nabib R, FH pasaribu. 1989. Patologi dan Penyakit Ikan. Pusat Antar Universitas,
Institut Pertanian Bogor. 158 hal. Overlanda HS, EF Petttersena, A.Ronnesetha and HI Wergeland. 2009. Phagocytosis
by B-cells and Neutrophils in Atlantic salmon Salmo salar L. and Atlantic cod Gadus morhua L.. Abstract online, doi:10.1016j.fsi 2009.10.021.
Pikarsky E, Ronen A, Abramowitz J, Lovali-Sivan B, Hutoran M, Saphira Y, Steinitz M, Parelberg A, Soffer D, Kotler M. 2005. Pathogenesis of acute viral disease
induce in fish by carp interstitial nephritis and gill necrosis virus. J. Virol., 78 17:9544-51.
Pokorova D, Veseley T, Piackova V , Rechova S, Hulova J. 2005. Current knowledge on koi herpesvirus KHV: a review. Vet.Med.-Czech, 50: 139-147.
Purwanti LI. 2007. Uji efektivitas promoter β-actin ikan medaka Oryzias latipes dengan
penanda gen hrGFP Humanized Renilla reniformis Green Fluorescent protein. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan. Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor.
Rakus KL. 2008. Major Histocompatibility MH polymorphism of common carp link with disease resistance. PhD Thesis. Cell Biology and Immunology Group,
Wageningen Institute
of Animal
Sciences, Wageningen University.
Wageningen. P115-128. Rawat M, Singh D, Saraf S, Saraf S. 2007. An overview of biochemical aspects of DNA
vaccine. Asian Journal of Biochemistry, 24: 208-223. Rijkers GT. 1982. Introduction to fish immunology. Develop.and comp.Immunol., 6: 1-
13. Roitt IM. 2003. Imunologi . Terjemah: Essential Immunology. Alih bahasa: Harahap A,
Kurniawan L, Djauzi S, Kresno SB dan Dachlan YP. Penerbit Widya Medika. Jakarta.
Rosenkrans D, Klub BG, Teifke JP, Granzow H, Fichtner D, Mettenleiter TC, Fuchs W. 2008. Journal of Virol., 80: 896-900.
Rosenshein IL, Schluter SF, Marchalonis JJ. 1986. Conservation among te immunoblobulin of carchacine sharks and phylogenetic conservation of variable
region determinants. Vet.Imunol. and Immunopathol., 12: 13-20.
63
Salasia SIO, Sulanjari D, Ratnawati A. 2001. Studi hematologi ikan air tawar. Biologi, Vol 2, No.12.
Sano M, Ito T, Kurita J, Yanai T, Watanabe N, Satoshi W, Iida T. 2004. First detection of koi herpesvirus in cultured common carp Cyprinus carpio in Japan. Fish Pathol.,
39:165-168. Soliman H; El-Matbouli M. 2005. An inexpensive and rapid diagnostic method of Koi
Herpesvirus KHV infection by loop-mediated isothermal amplification. J.Virol., 2:83.
Sunarto A, Rukyani A, Itami I. 2005. Indonesian experience on the outbreak of koi herpesvirus in koi and carp Cyprinus carpio. Bulletin of Fisheries Research
Agency, Yokohama, Japan, 86:15-2i. Sunarto A, Taukhid, Koeshyani I, Supriadi H, Gardenia L. 2004. Strategi Pengendalian
Penyakit Koi Herpesvirus pada Ikan Mas dan Koi. Makalah pada Workshop Strategi Pengendalian Penyakit Koi Herpesvirus pada Ikan Mas dan Koi.
Sunarto A, Kusrini E. 2006. Kasus kematian massal ikan mas di keramba jaring apung Danau Toba, Sumatra Utara. Media Akuakultur,11.
Tort L, Balasch C, Mckenzie S. 2003. Fish immune system: A cross between innate and adaptive responses. Immunologia, 223: 277-286.
Tonheim TC, BØgwald J, Dalmo RA. 2008. What happens to the DNA vaccine in fish? A review of current knowledge. Fish Shellfish Immunology, 25: 1-18.
Tizard I. 1988. An introduction to Veterinary Immunology. Second Ed. Wb. Sanders Company. Philadelphia
Tu C, Weng MC, Shiau JR, and. Lin SY. 2004. Detection of koi herpesvirus in koi Cyprinus carpio in Taiwan. Fish Pathol., 39:109-110
Volckaert FA, Hellemans BA, Galbusera P dan Ollevier F. 1994. Replication, expression and fate of foreign DNA during embryonic and larval development of the African
catfish Clarias gariepinus. Molecular Marine Biology and Biotechnology, 32 : 57 – 69.
Walczak BZ. 1985. Immune capability of fish- a literature review. Canadian Tech. Report of Fisheries. Report of Fisheries and Aquatic Science No.1334. 33 hal.
Yoshizaki G. 2001. Gene transfer in salmonidae : applications to aquaculture. Suisanzoshoku, 492 : 137 – 142.
Zheng FR, XQ Sun, HZ Liu, JX Zhang. 2006. Study on the distribution and expression of a DNA vaccine against lymphocystis disease virus in Japanese flounder
Paralichthys olivaceus. Aquaculture, 261:1128-1134.
64
Lampiran 1. Ilustrasi ligasi antara GP25 dan pT-Easy
65
Lampiran 2. Skema pembuatan konstruksi vaksin DNA
Va ksin DNA untuk p e nya kit a kib a t infe ksi KHV
66
Lampiran 3. Metode kultur cair perbanyakan bakteri dan isolasi plasmid
67
Lampiran 4. Peta plasmid pBluescript
68
Lampiran 5. Prosedur pembuatan preparat jaringan
Prosedur pembuatan preparat jaringan Angka et al. 1990: 1. Jaringan otot, insang, limpa dan ginjal dipotong dengan ukuran sebesar 10
mm
3
2. Jaringan difiksasi dalam fiksatif Bouin’s selama 24 jam, setelah itu dipindahkan ke alkohol 70 selama 24 jam sampai beberapa hari
3. Jaringan didehidrasi dalam alkohol 80, 90, 95, 95 masing-masing selama 2 jam dan selanjutnya dimasukkan dalam alkohol absolut overnight
4. Proses clearing dilakukan di dalam campuran alcohol-xylol 1:1 selama ½ jam, xylol I, xylol II dan xylol III masing-masing ½ jam
5. Jaringan selanjutnya diisi dengan paraffin dengan cara memindahkan jaringan ke dalam campuran xylol-parafin selama ¾ jam di dalam oven
bersuhu 65-70
o
C, dilanjutkan dengan perendaman di paraffin I, paraffin II dan paraffin III masing-masing selama ¾ jam
6. Jaringan di-blocking dengan parafin 7.
Pemotongan jaringan dilakukan dengan ketebalan 5 µm Prosedur pewarnaan jaringan:
1. Jaringan diwarnai dengan pewarnaan haematoxylin-eosin. Pewarnaan dilakukan dengan prosedur perendaman berturut-turut dalam xylol I, xylol II,
alkohol absolut I, alkohol absolut II, alkohol 95, alkohol 90, alkohol 80, alkohol 70, perendaman dilakukan masing-masing selama 3 menit,
kemudian dicuci 2 kali 2. Jaringan diwarnai dengan haematoxylin selama 7 menit, dicuci dengan
akuades 3 detik, diwarnai dengan eosin 3 detik dan dicuci kembali 3. Jaringan didehidrasi dalam alkohol 50, 70, 85, 90, absolute I,
absolute II, xylol I dan xylol II masing-masing selama 2 menit 4. Preparat di-mounting dengan entellan.
69 La m p ira n 6. Ana lisis d a ta RPS Re la tive Pe rc e nt Surviva l d e ng a n ANO VA
d a n uji la njut d e ng a n BNT b e d a nya ta te rke c il Da ta RPS a d a la h se b a g a i b e rikut:
Ula ng a n A: 2.5 µg 100µl
B: 7.5
µg 100µl
C : 12.5
µ
g 100
µl
1 -
66.67 66.67
2 12.50
37.50 62.50
3 33.33
55.56 55.56
Se te la h d io la h d e ng a n m e ng g una ka n ANO VA d ip e ro le h ha sil: ANO VA
So urc e o f Va ria tio n
SS d f
MS F
P-va lue F c rit
Be twe e n G ro up s
3653.978052 2 1826.989 10.307134 0.011458 5.143253
Within G ro up s 1063.528807
6 177.2548 To ta l
4717.506859 8
Da ri ha sil p e rhitung a n d i a ta s m e nunjukka n b a hwa m inim a l a d a se p a sa ng p e rla kua n ya ng b e rb e d a p e ng a ruhnya F hit F ta b e l. Untuk m e ng e ta hui
p e rla kua n m a na sa ja ya ng b e rb e d a p e ng a ruhnya m a ka d ila kuka n uji la njut BNT b e d a nya ta te rke c il. Ha silnya d ip e ro le h se b a g a i b e rikut:
b nt = 26.63296133
Pe rla kua n Ra ta -ra ta
A: 2.5 µg 100µl
17.40 A
B: 7.5 µg 100µl
52.20 B
C : 12
.5 µg100 µl
60.87 B
Da ri ha sil uji te rse b ut d a p a t d isim p ulka n b a hwa p e rla kua n A b e rb e d a p e ng a ruhnya d e ng a n p e rla kua n B d a n C . Se d a ng ka n, p e rla kua n B
m e m b e rika n p e ng a ruh ya ng sa m a d e ng a n p e rla kua n C .
70
Lampiran 7. Suhu air setelah uji tantang dengan virus KHV Uji Tantang I
Har i ke-
Pagi Sor e
1 24
25 2
24 25
3 24
25 4
24 25
5 23.5
25 6
24 25
7 24
25 8
24 25
9 24
25 10
24 25
11 23.5
25 12
23.5 25
13 23.9
25 14
24 24.5
15 23.5
24.5 16
23.5 25
17 23.8
24.8 18
24 25
19 23.8
24.8 20
23.5 24.5
21 23.5
24.8 22
23.5 24.5
23 23.5
24.5 24
24 25
25 24
25 26
24 25
37 24
25 28
23.5 24.5
29 23.5
24.5
Suhu Terendah: 23,5
o
C pagi Suhu tertinggi: 25
o
C sore
Suhu uji ta nta ng ta ha p I
71
Lampiran 7 Lanjutan. Suhu air setelah uji tantang dengan virus KHV Uji Tantang II
Ha ri ke -
Pa g i So re
1 25
26 2
23 25
3 24
26 4
24 25
5 24
24 6
24 26
7 24
24 8
24.5 24
9 24
23 10
24 24
11 23
24 12
23 24
13 23
24 14
23 24
Suhu Terendah: 23
o
C pagi Suhu Tertinggi: 26
o
Csore
Suhu uji ta nta ng ta ha p II
72
Lampiran 8. Jaringan otot dan insang yang tidak divaksinasi dan yang divaksinasi Pewarnaan Hematoxylin dan Eosin.
Keterangan Gambar: A1= jaringan otot yang tidak divaksinasi
A2= jaringan otot yang divaksinasi A1= myosit
B1= insang yang tidak divaksinasi B2= insang yang divaksinasi
b1= filamen b2= lamella
Insert= filamen dan lamella insang yang diperbesar 20x
73
Lampiran 9.
Jaringan limpa dan ginjal yang tidak divaksinasi dan yang divaksinasi Pewarnaan Hematoxylin dan Eosin.
Keterangan Gambar: C1= jaringan limpa yang tidak divaksinasi
C2= jaringan yang divaksinasi c1= pulpa putih
c2= pulpa merah D1= ginjal yang tidak divaksinasi
D1= ginjal yang divaksinasi d1= jaringan hematopoietik
d2= tubulus proksimal Insert= pulpa putih pada limpa dan tubulus ginjal yang diperbesar 20x