PENGUASA KORUPSI DAN ORANG GILA.docx

1|Page
Flores Pos Jumat, 13 Juli 2012

PENGUASA, KORUPSI DAN ORANG GILA

s

John Sinartha Wolo
Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero
Kru Kelompok Menulis di Koran
Kita ingat, Soeharto dikutuk di mana-mana bahkan keluarga dan
kroni-kroninya mendapat prahara

kutukan yang hampir serupa dalam

beberapa generasi keturunan yang variatif. Semuanya karena satu:
Soeharto tampil heroik sebagai koruptor kelas angin di zamannya. Gaya
kepemimpinan yang terpusat, plus pendekatan otoriter yang keras, lantas
melicinkan monopoli kekuasaan dan praktek penimbunan harta. Yang
melawan ditangkap. Yang mengumbar kejahatannya diamankan. Bahkan
yang coba-coba menyerang ‘diliangkan’ dengan paksa.

Ketika Soeharto turun takhta, tensi publik pun membuncah. Semua
berkonsentrasi mengutuk, melawan, mengorbitkan seribu satu cerita
buram tentang Soeharto dan kekuasaannya. Ketika itu ratusan juta
penduduk lawan satu. Lawan Soeharto. Ini dahulu. Ketika kebebasan
sedang direpresi. Ketika demokrasi belum mendapat tempat. Kini, tatkala
demokrasi tengah mekar dan mencakar langit pertiwi, kita dihadapkan
dengan soal yang sama tapi dengan racikan yang berbeda yang tentunya
lebih genial.
Tanpa

bermaksud

mendugai

secara

paksa,

tapi


dengan

menyaksikan aksi akrobatik birokrasi pemerintahan yang ramai berebut
‘mencukur’ banyak uang rakyat untuk keperluan liar, dengan itu saya bisa

2|Page
menebak betapa arsip lembaga hukum negara kita nyaris meluap dengan
dokumen kasus korupsi. Publik dihadapkan dengan warna-warni masalah
korupsi yang berpendar silih berganti. Angka kerugian yang diciptakanpun
mencengangkan sehingga menimbulkan tingginya tingkat keresahan
bangsa.
Trias politika Indonesia: eksekutif, legislatif dan yudikatif seperti
kehilangan

taringnya.

Apalagi

ketiganya


pernah,

kalau

tidak

mau

dikatakan sedang menikmati uang haram. Dari sini, bisa dimengerti
kenapa sih lembaga hukum seolah semacam etalase, tempat di mana
ragam kasus korupsi dipajangkan. Rakyat pun dibodohi. Lihat, kerja aparat
keamanan kita sekadar membuat batasan police line, plus olah TKP.
Syukur-syukur

kalau

agak

serius,


biasanya

disempurnakan

dengan

rekonstruksi ulang kejadian. Misalnya, kejadian maling uang, untuk
kemudian diekspose di TV, yang juga bisa dibaca sebagai metode
sosialisasi kesuksesan aparat keamanan. Setelah itu, proses selanjutnya
terangkum dalam frase menarik: nanti akan ditindaklanjuti!
Masyarakat kemudian bengong. Masalah korupsi yang satu belum
sempat menguap, mekar wacana korupsi baru. Begitulah seterusnya. Ini
baru wacana korupsi bung. Belum lagi kalau kita tengok persoalan lain,
seperti kekerasan, diskriminasi, dll. Jutaan. Nyaris setara dengan jumlah
mata uang rupiah yang beredar sekarang. Inilah yang mengakibatkan
semangat persatuan untuk menuntaskan persoalan KKN tampak tercecer,
bersimpul dalam sekian gerakan kecil dan tidak mengarah pada titik fokus
yang

pasti.


Banyak

yang

bosan.

Jenuh.

Masyarakat

lalu

pasrah.

Menyimpan semua persoalan dalam hati adalah pilihan yang barangkali
terkesan kurang ksatria. Tapi apa mau dikata, perjuangan masyarakat
yang berteriak menagih uangnya sendiri bak menggayung air dalam
tempayan bocor. Diam, meski kecewa, adalah pilihan yang tepat.
Cerita tentang korupsi di negeri ini adalah cerita tentang orangorang yang berkuasa, cerita tentang orang-orang yang punya akses

terhadap kepentingan publik. Oleh karena itu, tidak perlu heran, kalau
sesekali kita mengintip rutan-rutan atau LP, di sana banyak penghuni

3|Page
‘berkacamata’. Mereka mantan

‘abdi’ masyarakat mulai dari tingkat

terendah hingga pejabat teras dan berpangkat lencana. Mereka bukan
orang pinggiran. Pun mereka tidak terlahir dari rahim leluhur yang telah
direkayasa konstruksi gen-nya dan mengakibatkan pergeseran minat dari
bertani kepada hobi mencuri. Barangkali yang terakhir ini: mereka
mengalami metamorfosis roh, atau mendapat iluminasi dari barisan
panjang roh kolonialisme yang dulunya suka sita dan maling harta rakyat.
Bedanya, mereka ini maling budiman yang suka menghibur orang dalam
kata-kata memukau, plus pandai menyesuaikan ekspresi tubuh dengan
situasi kemelaratan rakyat. Mereka suka bersedekah dari upah curiannya
untuk kenalan-kenalan mereka, meski dalam keadaan tertentu mereka
agak


nakal

berkata:

ini

pemberian

tulus

dari

hasil

usaha

saya.

Bermodalkan kecerdasan ‘main curang’, dari balik meja kerjanya, mereka
cerdik mengibarkan pendekatan yang berbentur hebat dengan janji-janji

manis misalnya, saat program kunjungan kerja ke tangah kawula jelata.
Banyaknya pejabat teras yang masuk bui tentu adalah tanda
keberingasan pemerintahan SBY dalam memburu pelaku korupsi di tanah
ini. Namun, hal ini tidak lalu mengantar kita pada cara baca tergesa-gesa,
kalau SBY dan jajarannya adalah pahlawan korupsi. Barisan panjang
koruptor dari jajaran pejabat VIP negara yang masih bertamasya bebas,
adalah ironi menggelikan untuk suatu negara dengan itikad memburu
para koruptor.
Di depan rakyat, orang-orang kepercayaan kita begitu beribah hati.
Sementara setelah mereka kembali ke kantor, karakter aslinya mulai
bergentayangan di antara arsip dan rancangan-rancangan keputusan
yang akan mereka ambil. Jumlah permasalahan yang diciptakan pun
seperti tak lekas terkontrol arusnya. Makanya, beban represi yang tak
dapat terbendung dalam alam ketaksadaran, dengan akses pencairan
yang terbatas mengakibatkan banyak orang-orang kita yang bak tengah
hidup di atas batas normal.
Kalau sesekali kita coba tengok di kampung-kampung, atau di
tempat kita tinggal, hampir pasti ditemukan beberapa orang gila. Nyaris

4|Page

di tiap dusun ada saja orang yang tidak waras. Terutama banyak yang
tidak waras bukan semenjak kelahiran, melainkan ketika ia sudah mampu
berinteraksi dengan dunia sekitarnya dalam kurun usia tertentu. Banyak
juga orang-orang kita yang mengakhiri hidupnya dengan militansi radikal:
bunuh diri. Apakah semuanya ini semacam efek dari praktek korupsi dan
runyamnya peradaban negeri, yang konon sering diidentikkan dalam tiga
terminus cantik: negeri sejuta toleransi?
Pribadi yang piknik dari kapasitas normal ke keadaan tak waras,
adalah sederet masyarakat sederhana yang tak tahan dengan gurita
korupsi di pertiwi ini. Himpitan ekonomi yang keras, beban hidup yang
tinggi, plus tekanan psikis dari wacana korupsi yang kian merekah adalah
kompleksitas problem yang turut menciptakan peluang bagi orang-orang
normal untuk cepat jadi gila. Maka Heidegger benar dalam hal ini,
“manusia mengalami keterceburan ke tengah dunia”.
Peradaban suatu bangsa dapat menentukan rakyatnya menjadi
cerdas atau brutal, bijaksana atau serampangan, pun waras atau tidak
waras. Kalau memang seperti ini, misalnya banyaknya angka masyarakat
yang stres, bukankah ini pratanda bahwa pertiwi kita sedang sakit? Jika
rasa sakit ini tidak dicegah dan tidak terobati segera, tiada kata lain selain
bahwa Indonesia akan mati pada suatu titik kelak.

Masih segar dalam ingatan kita, dulu badan negara Indonesia
pernah sakit. Salah satu anggota kita diamputasi. Timor Leste pun
berpisah. Dan kini, kita berhasil mendeteksi kalau salah satu anggota
tubuh kita juga sedang sakit-sakitnya. Doa kita, Papua lekas sembuh,
kalau tak mau segera diamputasi atau mengamputasi bagiannya. Kita
sedang sakit. Maka, kita perlu berbenah. Ini harga mati bung, kalu tidak
mau kita tercecer dalam banyak simpul kelak!