Diagnostic & Screening

Diagnostic & Screening
Syahril
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
TUJUAN: Untuk mengetahui Sensitifitas, Spesifisitas, Nilai duga positip, Nilai duga
negatip, Prevalensi dan Ketepatan (Akurasi).
Ketika kita ingin mengetahui informasi dari uji saring dan uji diagnostik, kita
harus percaya bahwa informasi yang akan diperoleh lebih bernilai dari biaya yang
dikeluarkan untuk melakukan pengujian ini. Nilai suatu hasil tes bergantung kepada
Ketepatan (Accuracy) dan sejauh mana hasil tes ini dapat mempengaruhi perjalanan
penyakit (membuat orang menjadi sehat).
Ketepatan suatu tes bergantung kepada reabilitas (keadaan yang dapat dipercaya)
dimana apabila tes ini diulang kembali akan . memberikan hasil yang sama dan validitas
(berlakunya) yaitu sejauh mana pengukuran ini berlaku (dapat dipergunakan)5.
Terdapat 6(enam) nilai yang digunakan dalam uji Saring dan uji diagnostik yaitu :
Sensitifitas, Spesifisitas, Nilai duga positip [(+) predictive value], Hilai duga negatip [(-)
predictive value], Prevalensi dan Ketepatan [Accuracy]1.

SCREENING
Defenisi


: Identifikasi sangkaan terhadap suatu penyakit atau kelainan yang tidak
dikenal dengan menggunakan tes, pemeriksaan atau prosedur lainnya yang
dapat digunakan dengan cepat, untuk membedakan pada orang sehat
apakah ia mempunyai kemungkinan untuk sakit atau tidak.
Ketentuan : uji saring berarti suatu cara penentuan dari sesuatu individu untuk
mendapatkan pengobatan dini, dimana pengobatan ini sangat
memungkinkan dan efektif atau deteksi dari suatu keadaan yang sangat
bermanfaat bagi seseorang.
Mengapa uji saring dilakukan ?
1. Untuk memperbaiki prognosis pada seseorang melalui pengobatan dini.
2. Mencegah penularan penyakit di masyarakat (TBC, Infeksi HIV)
KWALITAS UJI SARING :
1. Etika :
- penguji harus mengadakan pendekatan terhadap subyek, uji saring mempunyai
manfaat bila hasil tes positif dan tidak berbahaya bila tes negatif serta perlu untuk
pengobatan yang efektif.
- Tes harus mudah dilakukan, tanpa resiko dan mempunyai manfaat yang nyata.
Keuntungan dan kerugiannya harus diberitahu.


e-USU Respository ©2005 Universitas Sumatera Utara

1

2. Seleksi terhadap penyakit atau keadaan :
- Prevalensi ----- Lebih patut dilakukan pada keadaan yang sering dari pada yang
jarang.
- Keseriusan -----

Dihubungkan dengan prevalensi. Jika keadaannya serius,
walaupun prevalensinya rendah dapat dilakukan pengujian.

3. Uji saring yang patut :
- Mudah, murah dan dapat digunakan pada suatu populasi yang besar.
- Baik, yaitu resiko rendah, sedikit efek samping.
- Sedikit kesalahan yang dilakukan peneliti.
- Validitasnya diketahui, yaitu tinggi sensitifitas dan spesifisitas.
Hasil uji saring tidak digunakan sebagai pegangan diagnostik. Orang dengan hasil uji
saring positif harus diperiksa lebih lanjut untuk mengetahui diagnosis-nya dan untuk
mendapat pengobatan seperlunya.


GAMBAR 1. Bagan Pemeriksaan uji saring dan uji diagnostik.
TN
FN
TP
FP

: True negative (Negatip Benar)
: False negative (Negatip Palsu)
: True positive (Positip Benar)
: False positive (Positip Palsu)

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan bila ingin melakukan uji saring:
1. Dapatkah uji saring ini diperbaiki hasilnya ?
- Kurangi kesalahan yang dilakukan peneliti.
- Evaluasi sensitifitas dan spasifisitas yaitu dibandingkan dengan standard yang
diketahui atau prosedur diagnostik lainnya.
- Bekerja lebih baik lagi.

e-USU Respository ©2005 Universitas Sumatera Utara


2

2. Dapatkah metoda-nya diperbaiki ?
- Mudah atau sulitnya suatu prosedur uji saring bervariasi dalam situasi yang
berbeda-beda. Usahakanlah menggunakan metoda yang lebih mendekati
keadaan.
3. Evaluasi ketepatan (effectiveness) suatu prosedur uji saring
- Yang paling ideal yaitu dengan melakukan RCT ( randomized control trial ). Ini
dapat dilakukan bila semua populasi di uji atau dengan memakai cara random.
4. Efisiensi uji saring.
- Kalkulasi biaya dan keuntungan dari uji saring.
5. Grup resiko tinggi.
- Uji saring tidak selalu harus meliputi seluruh populasi. Jadi dapat dilakukan
pada sub-populasi dengan resiko tinggi (anak-anak)3.

DIAGNOSTIC
Kita selalu berhubungan dan mengumpulkan data untuk menegakkan diagnosa
penderita yang kita rawat. Cara pengukuran dan interpretasi hasil sangat memegang
peranan dalam menegakkan diagnosa. Data yang dikumpulkan dapat berupa nilai normal,

ordinal maupun interval. Dalam hal ini dokter mempunyai kecenderungan untuk
menyederhanakan data yang dipakainya dalam praktek sehari-hari. saring data yang
kompleks dibuat demikian sederhana sehingga kebiasaan ini menghilangkan sensitifitas
pengukuran. Cara mengangkat diagnosis seperti ini menyebabkan hasil yang diperoleh
hanya mencapai beberapa persen kebenaran. Untuk memperbaiki keadaan tersebut telah
dikenalkan pendekatan matematika untuk menganalisa tes diagnostik.
Secara sederhana terdapat 4 (empat) kategori dalam menegakkan diagnosa
(Gambar 2). Ada 2 (dua) kategori diagnosis yang benar yaitu positip (benar sakit) dan
negatip (benar tidak sakit). Dan ada 2(dua) kategori diagnosis yang tidak benar yaitu
positip palsu (tes menyebutkan positip tetapi tidak sakit) dan negatip palsu (tes
menyebutkan negatip tetapi sakit).
PENYAKIT
(Yang sebenarnya)

GAMBAR 2. Hubungan hasil tes dengan status penyakit

TUJUAN : Untuk dapat menentukan keadaan yang sebenarnya dari peyakit atau
mendekatinya. Untuk ini dibutuhkan pengujian yang rumit dan mahal
atau sama sekali tidak dapat dilaksanakan.
e-USU Respository ©2005 Universitas Sumatera Utara


3

Beberapa alat diagnosa yang tepat seperti autopsi untuk mendiagnosa Hyaline
Membrane Disease belum dapat dikerjakan secara rutin, atau kultur streptokokus B
hemolitikus Group A pada Demam Rheumatik. Pemeriksaan ini disebut sebagai tes baku
emas (Gold Standard) yang dipakai sebagai dasar menentukan keadaan sebenarnya
tentang ada/tidaknya penyakit yang dicari. Oleh karena saring prosedur baku emas tidak
mudah dikerjakan, maka dibutuhkan suatu tes diagnostik yang lebih sederhana, kurang
invasive sebagal pengganti.. Misalnya pemeriksaan klinik dan radiologi untuk
mendiagnosa NEC (Enterokolitis nekrotikans) sebagai pengganti autopsi. Untuk ini perlu
dilakukan suatu tes diagnostik pengganti dengan dukungan metodologi yang baik dan
dibandingkan dengan baku emas yang dikenal.
Beberapa syarat uji diagnostik :
1. Harus dikerjakan secara terpisah dan mandiri, dimana pembacaan hasilnya tidak
dipengaruhi oleh hasil pembacaan tes baku emas.
(Double blind study).
2. Perlu diperhatikan spektrum dari penyakit yang ikut dalam diagnostik. Disini
perlu diikutkan penyakit yang ringan sampai yang berat, yang pernah mendapat
pengobatan dan yang pernah, disamping yang tidak mengidap penyakit.

3. Nilai duga suatu tes sangat dipengaruhi oleh prevalensi penyakit. Dimana nilai
duga adalah tinggi pada suatu keadaan dengan prevalensi yang tinggi.
4. Ketepatannya (Accuracy) harus tinggi.
5. Tata cara melakukan uji diagnostik harus dijelaskan secara rinci sehingga calon
pengguna uji diagnostik dapat mengerjakan di tempat lain.
6. Kegunaan uji diagnostik tersebut l.
SENSITIFITAS DAN SPESIFISITAS :
Adalah 2 ratio yang digunakan untuk mengukur kemampuan suatu uji Saring atau
uji diagnostik untuk membedakan individu - individu yang mendapat penyakit dengan
yang tidak mendapat penyakit. Sensitifitas ialah kemampuan untuk mengetahui secara
benar siapa yang menderita sakit. Spesifisitas ialah kemampuan untuk mengetahui secara
benar siapa-siapa yang tidak menderita sakit. Komponen ini diperoleh dengan
memmbandingkan hasil yang didapat dengan prosedur diagnostik yang telah dikenal.
Sensitifitas ialah kemampuan suatu tes untuk memberikan gambaran positip pada
orang yang benar-benar sakit. Hal ini dinyatakan dalam persen :
Subyek yang sakit dengan tes positip
----------------------------------------------Jumlah orang sakit yang mendapat tes

x 100


Dengan sensitifitas saja kita belum dapat mengetahui secara benar keadaan suatu
penyakit, untuk itu perlu diketahui konsep spesifisitas. Spesifisitas ialah kemampuan
suatu tes untuk memberikan gambaran negatip bila subyek yang di tes adalah bebas dari
penyakit.
Subyek yang tidak sakit dengan tes negatip
------------------------------------------------------ x 100
Jumlah orang yang tidak sakit yang di tes

e-USU Respository ©2005 Universitas Sumatera Utara

4

Sensitifitas dan Spesifisitas dapat dengan mudah dimengerti bila kita melihat
contoh dibawah ini yaitu Glaukoma yang merupakan penyakit dengan peninggian
tekanan bola mata.
Bila cut off point diagnostik Glaukoma adalah tekanan intra okular 22 mmHg, maka
diperoleh sensitifitas 100 % dan spesifisitas < 100 %. Sedangkan hila cut off point kita
naikkan pada tekanan intra okular 27 mmHg, maka sensitifitas menjadi < 100 % dan
spesifisitas menjadi 100 %.4


e-USU Respository ©2005 Universitas Sumatera Utara

5

Nilai duga (Predictive value = PV) bergantung pada :
o Sensitifitas
o Spesifisitas
o Prevalensi penyakit dari populasi yang di tes.
1. Sensitifitas tinggi ---> Negatip palsu rendah ---> Nilai duga negatip tinggi.
2. Spesifisitas tinggi ---> Positip palsu rendah ---> Nilai duga positip tinggi.
3. Dipengaruhi oleh prevalensi penyakit.
Jika prevalensi rendah, maka kasus dengan positip benar juga akan sedikit ------> Nilai
duga positip rendah.
PREVALENSI (Pre-test probability) : Jumlah subyek yang menderita sakit dari
seluruh subyek yang di tes.
ACCURACY (Ketepatan) : Kemampuan suatu tes untuk mendeteksi secara benar dart
seluruh subyek yang di tes2.
CONTOH: 2 orang dokter mencoba membuat kriteria yang akan dipakat sebagai
pegangan pada kasus trauma kepala, dimana sebagai konfirmasi adalah
pemeriksaan radiologi kepala.

Beberapa kriteria yang dipakai ialah tidak sadar, adanya luka di kepala dan
kelainan neurologis. Mereka memeriksa 1500 orang dan hasilnya dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.
RADIOLOGI
(Fraktur)

Hitunglah: Sensitifitas, Spesifisitas, Nilai duga positip, Nilai duga negatip,
Prevalensi dan Akurasi.
Jawab: 1. Sensitifitas = 92/93 x 100 = 98.9%
2. Spesifisitas = 434/1407 x 100 = 30.8%
3. Nilai duga positip = 92/1065 x 100 = 8.6%
4. Nilai duga negatip = 434/435 x 100 = 99.8%
5. prevalensi = 93/1500 x 100 = 6.2%
6. Akurasi = 526/1500 x 100 = 35.07%
CONTOH: Dari 200 anak yang diperiksa terhadap suatu penyakit, di jumpai prevalensinya 50%, sensitifitas dan spesifisitas masing-masing 50%.
pertanyaan : Hitunglah nilai dugs positip, nilai dugs ne gatip, akurasi :

e-USU Respository ©2005 Universitas Sumatera Utara

6


1. Dari penelitian ini
2. Bila prevalensi naik menjadi 60%, sedangkan sensitifitag dan spesifisitas
tetap 50%.
3. Bila prevalensi turun menjadi 40%, sedangkan sensitifi tag dan spesifisitas
tetap 50%.

Jawab: 1

PENYAKIT

1. Nilai duga positip = 50/100 x 100 = 50%
2. Nilai duga negatip = 50/100 x 100 = 50%
3. Akurasi = 100/200 x 100 = 50%
Jawab: 2.

PENYAKIT

1. Nilai duga positip = 60/100 x 100 = 60%
2. Nilai duga negatip =60/100x100=60%
3. Akurasi = 100/200 x 100 = 50%
Jawab : 3.

PENYAKIT

1. Nilai duga Positip = 40/100 x 100 = 40%
2. Nilai duga Negatip = 40/100 x 100 = 40%
3. Akurasi = 100/200 x 100 = 50%

e-USU Respository ©2005 Universitas Sumatera Utara

7

KEPUSTAKAAN:
1. Sadjimin T. Tes Diagnostik. Bahan kursus Epidemiologi Klinik.
Tim Epidemiologi Klinik dan Biostatistika FK UGM/RSUP DR Sardjito, Yogyakarta
26-28 Juni 1989.
2. Fletcher RH, Fletcher SW, Wagner EH. Diagnostic Clinical Epidemiology – the
essentials. William & Wilkins, 1982;41-58.
3. Indonesian Course in Clinical Epidemiology IV, 1990.
4. Morton RF, Hebel JR. A study Guide to Epidemiology and Biostatistics. 2nd Edition.
Aspen Publisher, 1984;59-66.
5. Weiss NS. Clinical Epidemiology: The Study of the Outcome of Illness. Oxford
University Press, 1986;14-32.s

e-USU Respository ©2005 Universitas Sumatera Utara

8