Karakterisasi Enzim Katepsin yang Dihasilkan

Gambar 11 Kadar protein zat terlarut setelah didialisis Gambar 10 menunjukkan terjadinya peningkatan aktivitas spesifik pada pellet yang didialisis. Peningkatan terjadi sampai titik optimum tertentu. Pada penelitian ini titik optimum untuk proses dialisis ialah 6 jam. Enzim yang dihasilkan dari tahap dialisis memiliki aktivitas spesifik sebesar 14,4404 UmL dengan kadar protein sebesar 0,1385 mgmL. Gambar 11 menunjukkan bahwa kadar protein selama dialisis mengalami penurunan selama dialisis. Hal ini disebabkan karena protein- protein yang berukuran lebih kecil dari 12 kDa sudah terbuang selama dialisis.

4.2 Karakterisasi Enzim Katepsin yang Dihasilkan

Karakterisasi dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh kondisi lingkungan terhadap aktivitas enzim. Karakterisasi juga dapat diketahui kondisi optimum lingkungan untuk mendapatkan enzim dengan aktivitas yang tinggi. Karakterisasi yang dilakukan pada enzim katepsin berupa konsentrasi substrat, tingkat keasaman pH, suhu, dan pengaruh logam. 4.2.1 Tingkat keasaman pH Pengikatan antara enzim dengan substrat dan reaksi katalisisnya bergantung pada interaksi antara substrat dengan rantai samping asam amino yang menyusun sisi aktif enzim Bender 2002. Peristiwa ini harus berada pada keadaan ionisasi yang tepat untuk mengikat, dan hal ini tergantung pada pH medium. Semua reaksi enzim dipengaruhi oleh pH medium tempat reaksi terjadi. Setiap enzim memiliki pH optimum yang khas. Profil aktivitas pH enzim menggambarkan pH pada saat pemberi dan penerima proton yang penting pada sisi katalitik enzim berada pada tingkat ionisasi yang diinginkan. pH tertentu dapat menyebabkan enzim terdenaturasi yang menyebabkan enzim kehilangan aktivitas biologisnya Lehninger 1993. Pengaruh aktivitas spesifik terhadap tingkat keasaman disajikan pada Gambar 12. 2 4 6 8 10 12 14 2 3 4 5 6 7 pH A k ti v ita s sp es ifik U m g Gambar 12 Pengaruh pH terhadap aktivitas spesifik katepsin Gambar 12 memberikan informasi bahwa tingkat keasamaan berpengaruh terhadap aktivitas spesifik enzim katepsin. Enzim katepsin digambarkan memiliki aktivitas spesifik optimal pada pH 4 sebesar 11,5523 Umg. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Choi et al. 2005 bahwa enzim katepsin aktif pada pH asam. Sementara penelitian yang dilakukan Toyohara et al. 1981 pada carp muscle, bahwa katepsin A memiliki pH optimum 5. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Balti et al. 2010 terhadap katepsin D yang berasal dari hepatopankreas sotong memiliki aktivitas spesifik optimum pada pH 3. Penelitian yang dilakukan oleh Krause et al. 2010 terhadap enzim katepsin D yang berasal dari daging ikan ostrich menyebutkan bahwa katepsin D memiliki aktivitas optimal pada pH 4. Penelitian lain yang dilakukan oleh Jiang et al. 2002 terhadap katesin D ikan tongkol dan ikan bandeng, menyatakan bahwa katepsin D memiliki aktivitas tertinggi pada pH 5,04 ikan tongkol dan pH 4,91 ikan bandeng. 4.2.2 Suhu Seperti halnya reaksi kimia, tingkat enzim mengkatalisis reaksi akan meningkat sejalan dengan peningkatan suhu Polgar 1990. Setiap enzim memiliki kisaran suhu tertentu untuk mencapai aktivitas yang optimum. Di luar kisasan suhu tersebut enzim akan tidak aktif atau aktivitasnya akan terhambat. Hal ini terjadi karena suhu menyediakan pasokan energi termal untuk memecah beberapa atraksi intramolekul grup polar ikatan hidrogen, atraksi dipol-dipol, interaksi inonik serta kekuatan hidropobik diantara grup non polar di dalam struktur enzim. Pengaruh suhu terhadap aktivitas spesifik enzim katepsin digambarkan pada Gambar 13. Gambar 13 Pengaruh suhu terhadap aktivitas spesifik katepsin Berdasarkan Gambar 13 dapat dilihat bahwa peningkatan suhu akan menyebabkan peningkatan aktivitas spesifik enzim katepsin sampai pada titik tertentu. Sementara peningkatan suhu lebih lanjut akan membuat aktivitas spesifik 1 2 3 4 5 6 7 20 30 40 50 60 70 Suhu O C Akt iv it a s sp es if ik U m g enzim menjadi menurun. Pada penelitian ini enzim katepsin memiliki aktivitas spesifik optimum pada suhu 40 °C dengan nilai aktivitas sebesar 6,4982 Umg. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Balti et al. 2010 terhadap katepsin D yang berasal dari hepatopankreas sotong memiliki aktivitas spesifik optimum pada 50 ºC. Penelitian yang dilakukan oleh Krause et al. 2010 terhadap enzim katepsin D yang berasal dari daging ikan ostrich menyebutkan bahwa katepsin D memiliki aktivitas optimal pada suhu 45 ºC. Penelitian lain yang dilakukan oleh Jiang et al. 2002 terhadap katesin D ikan tongkol dan ikan bandeng, menyatakan enzim katepsin pada ikan tongkol akan memiliki aktivitas tertinggi pada suhu 45 °C dan pada ikan bandeng pada suhu 50 °C. Suhu yang lebih tinggi akan membuat molekul lebih sering bertabrakan. Konsep ini berlaku juga untuk tumbukan antar molekul substrat dengan enzim. Hal ini disebabkan suhu yang tinggi akan mengkatalisis reaksi enzimatis. Namun, ketika kenaikan suhu melebihi titik tertentu akan menyebabkan gangguan terhadap struktur tersier enzim. Perubahan struktur tersier pada sisi aktif akan menghambat aktivitas katalitik enzim Stoker 2010. 4.2.3 Pengaruh logam Pengaruh logam dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh logam tertentu terhadap kerja enzim. Logam yang dipilih dalam penelitian ini ialah logam monovalen, bivalen, dan trivalent. Pengaruh logam terhadap aktivitas spesifik enzim disajikan pada Gambar 14. 2 4 6 8 10 12 14 16 Kontrol NaCl BaCl2 CaCl2 FeCl3 AlCl3 Logam A kt ivit as sp esif ik U m g Gambar 14 Pengaruh logam terhadap aktvitas spesifik Gambar 14 menunjukkan bahwa keberadaan logam sangat berpengaruh terhadap aktivitas spesifik enzim. Keberadaan logam pada enzim akan menghambat kerja enzim, sehingga aktivitas spesifik enzim akan lebih kecil jika dibandingkan dengan enzim yang tanpa adanya logam. Berdasarkan Gambar 14 didapatkan informasi bahwa ion logam divalen akan menghambat kerja enzim tertinggi, dibandingkan dengan logam monovalen maupun trivalen. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Balti et al. 2010 terhadap katepsin D yang berasal dari hepatopankreas sotong, menyebukan bahwa aktivitas enzim katepsin D akan meningkat oleh keberadaan ion logam Mg 2+ , Ni 2+ , Zn 2+ , Cu 2+ , Cd 2+ , Sr 2+ , and Co 2+ . Sementara keberadaan ion logam Na + , K + , dan Ca 2+ tidak akan berpengaruh terhadap aktivitas enzim katepsin D. Penelitian lain yang dilakukan oleh Jiang et al. 2002 terhadap katesin D ikan tongkol dan ikan bandeng, menyatakan bahwa keberadaan ion logam Na + dan K + akan meningkatkan aktivitas katepsin D, sementara ion logam Mg 2+ , Sr 2+ , Fe 2+ , dan Hg 2+ akan menghambat aktivitas katepsin D. Kerja enzim dapat dihambat oleh zat penghambat atau inhibitor. Inhibitor non-kompetitif tidak bersaing dengan substrat untuk berikatan dengan enzim. Inhibitor jenis ini akan berikatan dengan enzim pada sisi yang berbeda bukan sisi aktif. Jika telah terjadi ikatan enzim-inhibitor, sisi aktif enzim akan berubah sehingga substrat tidak dapat berikatan dengan enzim. Banyak ion logam bekerja sebagai inhibitor non-kompetitif Firmansyah et al. 2007. 4.2.4 Konsentrasi substrat Konsentrasi substrat merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap jumlah produk yang dihasilkan. Substrat dibutuhkan oleh enzim untuk berikatan dengan sisi aktif enzim sehingga akan terbentuk produk. Pengaruh konsentrasi substrat terhadap aktivitas spesifik enzim disajikan pada Gambar 15. Gambar 15. Pengaruh konsentrasi substrat terhadap aktivitas spesifik katepsin Gambar 15 menunjukkan bahwa konsentrasi substrat berpengaruh terhadap aktivitas spesifik enzim yang dihasilkan. Jika konsentrasi substrat dinaikkan, maka aktivitas spesifik cenderung akan meningkat sampai pada titik tertentu. Konsentrasi substrat sebesar 3 merupakan konsentrasi subtrat optimal untuk enzim katepsin dengan nilai aktivitas spesifik sebesar 9,3863 Umg. Semakin banyak molekul substrat yang tersedia, semakin sering molekul- molekul tersebut memasuki sisi aktif molekul enzim. Akan tetapi, terdapat keterbatasan dalam memacu kecepatan reaksi dengan cara menambahkan lebih banyak lagi substrat ke suatu konsentrasi enzim yang tetap. Pada suatu titik tertentu, konsentrasi substrat itu akan menjadi cukup tinggi sehingga semua sisi aktif pada semua molekul enzim sudah ditempati oleh substrat. Segera setelah produk meninggkalkan sisi aktif, molekul substrat yang lain akan masuk. Pada konsentrasi substrat seperti ini, enzim itu dikatakan mengalami kejenuhan, dan laju reaksi ditentukan oleh kecepatan sisi aktif mengubah substrat menjadi produk. Ketika suatu enzim telah jenuh, satu-satunya cara untuk meningkatkan produktivitas ialah menambahkan lebih banyak lagi enzim Campbell 2002. 4.2.5 Penentuan bobot molekul Penentuan bobot molekul dilakukan menggunakan SDS-PAGE dan zimogram. Hasil analisis menggunakan SDS-PAGE dan zimogram dapat dilihat pada Gambar 16. A B Gambar 16. Hasil SDS A dan zimogram Bkatepsin Penetuan bobot molekul ditentukan berdasarkan kurva standar dimana pada SDS diketahui persamaannya Y= - 1,037x + 2,112 Gambar 17, sementara pada zimogram diketahui persamaannya Y= - 1,384x + 2,145 Gambar 18 dimana Y= log berat molekul marker kDa, sedangkan x= mobilitas relatif protein cm. Gambar 17. Kurva standar SDS-PAGE Gambar 18. Kurva standar zimogram Nilai Rf sendiri merupakan jarak migrasi markersampel dibagi dengan nilai run nya. Data jarak migrasi marker untuk SDS maupun bobot molekul standar SDS disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 menggambarkan bahwa protein dengan bobot molekul yang kecil akan memiliki jarak migrasi yang besar atau jauh, sementara protein dengan bobot molekul yang besar akan memiliki jarak migrasi yang kecil. Tabel 6. Jarak migrasi dari marker SDS beserta nilai RF dan bobot molekul dari masing-masing pita Jarak marker RF marker BM marker kDa Log BM 0,8 0,1818 97 1,987 1,1 0,25 66 1,820 1,8 0,409 45 1,653 2,7 0,614 30 1,477 3,3 0,75 20,1 1,303 4,2 0,955 14,4 1,158 Untuk menentukan bobot molekul sampel, pertama kali jarak migrasi sampel diukur kemudian dibagi dengan nilai run nya untuk diketahui nilai RF nya. Persamaan standar SDS kemudian digunakan untuk menentukan bobot molekul sampel, nilai RF sampel yang telah diketahui dimasukkan dalam persamaan standar SDS. Nilai Y yang didapatkan belum merupakan nilai bobot molekul sampel, untuk menentukkannya nilai Y dianti-log kan terlebih dahulu. Teknik zimogram dapat mendeteksi protein yang masih memiliki aktivitas katalitik. Perbedaan antara SDS-PAGE dan zimogram terletak pada penambahan substrat pada gel elektroforesis. Pada pembuatan gel untuk zimogram, komposisi gel ditambahkan hemoglobin 0,5 dengan tujuan protein yang mengandung katepsin akan mendegradasi substrat hemoglobin sehingga ketika dilakukan pewarnaan diperoleh zona bening pada pita protein. Pada Tabel 7 terlihat bahwa pada ektrak kasar enzim katepsin masih mempunyai banyak band yang berarti masih banyak molekul disini, termasuk protein yang berasal dari sel dan protein pengotor lainnya. Pada tahap dialisis terlihat adanya pengurangan jumlah band protein. Hal ini berati selama proses dialisis banyak menghilangkan protein. Pada Tabel 8 terlihat bahwa enzim katepsin baru terlihat aktivitas katalitiknya pada tahap presipitasi dan dialisis, pada tahap ini enzim katepsin teridentifikasi memiliki bobot molekul 88,67 kDa. Sementara hasil penelitian yang dilakukan oleh Balti et al. 2010 terhadap katepsin D yang berasal dari hepatopankreas sotong Sepia officinalis terestimasi memiliki bobot molekul 37,5 kDa. Katepsin D yang berasal dari daging ikan ostrich memiliki bobot molekul 29,1 kDa Krause et al. 2010. Penelitian lain yang dilakukan oleh Jiang et al. 2002 terhadap katesin D ikan tongkol dan ikan bandeng, menyatakan bahwa katepsin D pada ikan tongkol terestimasi sebesar 51 kDa dan pada ikan bandeng sebesar 54 kDa. Tabel 7. Estimasi bobot molekul protein kDa pada setiap tahap pemurnian Ekstrak kasar tanpa pengenceran Ektrak kasar dengan pengenceran 2X Pengendapan dengan pengenceran 2x Pengendapan dengan pengenceran 5x Pengendapan dengan pengenceran 10x Dialisis dengan pengenceran 2x Dialisis dengan pengenceran 5x Dialisis dengan pengenceran 10x 93,45 35,18 88,52 104,17 104,17 98,66 98,66 98,66 22,79 22,79 35,19 48,73 37,15 39,22 48,73 46,15 18.35 15,59 24,07 37,15 18,35 26,82 26,82 18,35 15,59 17,38 18,35 22,80 19,37 12,58 15,59 14,77 18,35 13,25 12,88 Tabel 8. Estimasi bobot molekul enzim katepsin kDa pada setiap tahap pemurnian Ekstrak kasar tanpa pengencera Ektrak kasar dengan pengenceran 2X Pengendapan dengan pengenceran 2x Pengendapan dengan pengenceran 5x Pengendapan dengan pengenceran 10x Dialisis dengan pengenceran 2x Dialisis dengan pengenceran 5x Dialisis dengan pengenceran 10x - - - 86,87 86,87 86,87 86,87 86,87

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Metode pemurnian katepsin dilakukan dengan presipitasi menggunakan ammonium sulfat 70, kemudian didialisis menggunakan kantong dialisis berukuran 12 MWCO selama 6 jam. Pemurnian secara ekstraksi kasar didapatkan aktivitas spesifik sebesar 0,8598 Umg dan setelah dipresipitasi dengan konsentrasi pengendapan 70 didapatkan aktivitas spesifik sebesar 4,4643 Umg dan setelah didialisis selama 6 jam didapatkan aktivitas spesifik sebesar 14,4404 Umg. Karakteristik enzim katepsin yang dihasilkan yaitu mempunyai suhu dan pH optimum 40 °C dan 4, konsentrasi substrat sebesar 3, sementara keberadaan ion logam akan mengganggu atau menghambat aktivitas enzim. Ion logam divalen akan menghambat kerja enzim tertinggi, jika dibandingkan dengan logam monovalen maupun trivalen. Enzim katepsin teridentifikasi memiliki bobot molekul sebesar 86,87 kDa

5.2 Saran

Perlu dikaji lebih dalam mengenai aktivitas spesifik enzim katepsin setelah dimurnikan lebih lanjut dengan kromatografi kolom. Pemurnian tahap dialisis perlu dikaji mengenai pengaruh frekuensi pergantian buffer terhadap aktivitas spesifik yang dihasilkan, serta disarankan pada tahap dialisis dilakukan pemilihan ukuran kantong dialisis yang lebih kecil dari 12 kDa.