Fermentation modification of acid hydrolisates of euchema cottonii to produce bioethanol using Saccharomyces cerevisiae and Pachysolen tannophilus.

MODIFIKASI FERMENTASI HIDROLISAT ASAM ENCER
Euchema cottonii MENJADI BIOETANOL MENGGUNAKAN
Saccharomyces cerevisiae DAN Pachysolen tannophilus

MUHAMMAD SYUKUR SARFAT

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Modifikasi Fermentasi
Hidrolisat Asam Encer Euchema cottonii Menjadi Bioetanol Menggunakan
Saccharomyces cerevisiae dan Pachysolen tannophilus adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2013

Muhammad Syukur Sarfat
NRP F351110121

RINGKASAN
MUHAMMAD SYUKUR SARFAT. Modifikasi Fermentasi Hidrolisat Asam
Encer Euchema cottonii Menjadi Bioetanol Menggunakan Saccharomyces
cerevisiae dan Pachysolen tannophilus. Dibimbing oleh MULYORINI
RAHAYUNINGSIH, ANI SURYANI, dan DWI SETYANINGSIH.
Euchema cottonii adalah alga merah yang terdiri dari polisakarida linear
yang biasa disebut “karagenan”. Karagenan merupakan galaktan (polisakarida
sulfat) tersulfatasi linear hidrofilik yang merupakan polimer dari galaktosa.
Tujuan dari penelitian ini adalah adalah modifikasi fermentasi secara curah
bioetanol dari rumput laut (Euchema cottonii) sebagai substrat sehingga
dihasilkan rendemen produk bioetanol yang tinggi.
Penelitian dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan tahap
pendahuluan yang meliputi pengecilan ukuran, pengeringan, karakterisasi E.

cottonii dengan parameter yang diuji adalah kadar karbohidrat (selulosa dan
hemiselulosa), protein, serat kasar, abu, dan kadar air. Tahap pendahuluan yang
terakhir adalah hidrolisis E. cottonii menggunakan asam sulfat sehingga
komponen selulosa dan hemiselulosa dari E. cottonii dapat terhidrolisis menjadi
gula-gula penyusunnya (galaktosa) dan kemudian hasil hidrolisis disaring
sehingga diperoleh padatan dan hidrolisat yang mengandung galaktosa. Tahap
kedua merupakan tahap penelitian utama yang dibagi menjadi dua tahap, yaitu
tahap adaptasi dan tahap fermentasi. Pada tahap adaptasi, khamir diadaptasi pada
media yang mengandung galaktosa untuk mengkondisikan khamir tersebut pada
media yang mengandung galaktosa. Tahap kedua adalah fermentasi hidrolisat
asam encer E. cottonii yang mengandung galaktosa menjadi bioetanol dengan
menggunakan dua jenis khamir yang telah teradaptasi (Saccharomyces cerevisiae
IPBCC AL IX dan Pachysolen tannophilus IPBCC AC IX). Untuk proses
fermentasi, pada media hidrolisat asam encer E. cottonii ditambahkan vitamin,
nitrogen, dan mineral-mineral (trace element) untuk memacu aktivitas
pertumbuhan khamir dalam mengkonsumsi galaktosa menjadi bioetanol.
Euchema cottonii memiliki kandungan polisakarida yang tinggi dan dapat
dikonversi menjadi gula yang dapat difermentasi setelah dihidrolisis
menggunakan enzim atau asam. Polisakarida Euchema cottonii terdiri dari
29.45% (bk) karbohidrat, 3.21% (bk) hemiselulosa, dan 11.30% (bk) selulosa.

Jenis gula yang terdapat pada hidrolisat asam Euchema cottonii terdiri dari 4.95%
galaktosa, 0.25% glukosa, 0.04% xilosa, dan 0.02% maltoheptaosa. Produksi
etanol tertinggi dari Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX teradaptasi adalah
2.38% (v/v etanol pada fermentasi cair), dengan 79.09% efisiensi penggunaan
substrat, dan 56.30% efisiensi fermentasi yang difermentasi selama 6 hari.
Produksi etanol tertinggi dari Pachysolen tannophilus IPBCC AC IX teradaptasi
adalah 0.11% (v/v etanol pada fermentasi cair), dengan 15.39% efisiensi
penggunaan substrat, dan 2.60% efisiensi fermentasi yang difermentasi selama 4
hari. Produksi etanol tertinggi dengan perlakuan refreshed culture menggunakan
Pachysolen tannophilus IPBCC AC IX teradaptasi setelah fermentasi berlangsung
24 jam oleh Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX teradaptasi adalah 0.81%
(v/v etanol pada fermentasi cair), dengan 82.42% efisiensi penggunaan substrat,

iii
dan 19.79% efisiensi fermentasi yang difermentasi selama 6 hari. Produksi etanol
tertinggi dengan perlakuan refreshed culture menggunakan Saccharomyces
cerevisiae IPBCCA teradaptasi setelah fermentasi berlangsung 24 jam oleh
Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX teradaptasi adalah 1.76% (v/v etanol
pada fermentasi cair), dengan 53.06% efisiensi penggunaan substrat, dan 43.53%
efisiensi fermentasi yang difermentasi selama 6 hari. Produksi etanol tertinggi

dengan perlakuan perbedaan konsentrasi gula pereduksi pada media fermentasi
setelah fermentasi selama 6 hari adalah 2.13% (v/v etanol pada fermentasi cair),
dengan 76.31% efisiensi penggunaan substrat, dan 50.97% efisiensi fermentasi
dengan konsentrasi gula pereduksi pada media diawal fermentasi sebesar 6.57%
(b/v).
Keywords : bioetanol, adaptasi khamir, Euchema cottonii, Pachysolen
tannophilus, Saccharomyces cerevisiae, refreshed culture, konsentrasi
gula pereduksi

SUMMARY
MUHAMMAD SYUKUR SARFAT. Fermentation Modification of Acid
Hydrolisates of Euchema cottonii to Produce Bioethanol Using Saccharomyces
cerevisiae and Pachysolen tannophilus. Supervised By MULYORINI
RAHAYUNINGSIH, ANI SURYANI, dan DWI SETYANINGSIH.
Euchema cottonii is a red algae that is formed from linear polysaccharide
commonly called "carrageenan". Carrageenan is galactan (polysaccharide sulfate
linear hydrophilic) which is a polymer consists of galactose. The research
objective is to modify bioethanol fermentation by batch condition from seaweed
(Euchema cottonii) acid hydrolisates to produce a high yield of bioethanol.
The study was conducted in two stages. The first stage is a preliminary

phase which consists of size reduction, drying, characterization of E. cottonii with
parameters tested were carbohydrates (cellulose and hemicellulose), protein, crude
fiber, ash, and water content. The last stage is the preliminary were hydrolysis of
E. cottonii using sulfuric acid so that the cellulose and hemicellulose components
of E. cottonii can be hydrolyzed into constituent sugars (galactose) and then
filtered the results so obtained solids hydrolysis and hydrolyzate containing
galactose. The second stage is the stage of primary research which is divided into
two stages, adaptation stages and fermentation stages. In the adaptation phase,
yeast was adapted in media containing galactose to condition the yeast in media
containing galactose. The second stage is the fermentation of acid hydrolisates of
E. cottonii to produce bioethanol using two kinds of yeast that has been adapted
(Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX and Pachysolen tannophilus IPBCC
AC IX). For the fermentation process, the medium of acid hydrolisates of E.
cottonii added vitamins, nitrogen, and minerals (trace elements) to spur the
growth of activity in the yeast consumes galactose to produce bioethanol.
Euchema cottonii has high polysaccharides content and those can be
converted into fermentable sugar through acid or enzymatic hydrolysis.
Polysaccarides of red algae Euchema cottonii consists of 29.45% (db)
carbohydrates, 3.21% (db) hemicelluloses, and 11.30% (db) celluloses. Type of
sugar was obtained in acid hydrolisates of Euchema cottonii consists of 4.95%

galactose, 0.25% glucose, 0.04% xylose, and 0.02% maltoheptaosa. The highest
ethanol production from adapted Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX was
2.38% (v/v ethanol in fermentation broth), with 79.09% substrate efficiency and
56.30% fermentation efficiency for 6 days incubation. The highest ethanol
production from adapted Pachysolen tannophilus IPBCC AC IX was 0.11% (v/v
ethanol in fermentation broth), with 15.39% substrate efficiency and 2.60%
fermentation efficiency for 4 days incubation. The highest ethanol production
with refreshed culture treatment using adapted Pachysolen tannophilus IPBCC
AC IX after fermentation lasts 24 hours by adapted Saccharomyces cerevisiae
IPBCC AL IX was 0.81% (v/v ethanol in fermentation broth), with 82.42%
substrate efficiency and 19.79% fermentation efficiency for 6 days incubation.
The highest ethanol production with refreshed culture treatment using adapted
Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX after fermentation lasts 24 hours by
adapted Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX was 1.76% (v/v ethanol in

v
fermentation broth), with 53.06% substrate efficiency and 43.53% fermentation
efficiency which fermented for 6 days. The highest ethanol production with
different of reducing sugar concentration treatment on media of fermentation after
6 days incubation was 2.13% (v/v ethanol in fermentation broth), with 76.31%

substrate efficiency and 50.97% fermentation efficiency with reducing sugar
consentration on media in the start of fermentation was 6.57% (w/v).
Keywords : bioethanol, yeast adaptation, Euchema cottonii, Pachysolen
tannophilus, Saccharomyces cerevisiae, refreshed culture treatment,
reducing sugar consentration treatment

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

Judul Penelitian

Nama


NRP

: Modifikasi Fenn entasi Hidrolisat Asam Encer Euchema
cottonii menj adi Bioetanol menggunakan Saccharomyces
cerevisiae dan Pachysolen tannophilus.
: Muhammad Syukur Sarfat
: F351110121

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr Ir Mul

\

.

Prof Dr Ir Ani u
Anggo
a

\.

sih MSi

. DEA

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi Industri Pertanian

1. 0/

Dr Ir Machfud, MS

Tangga] Ujian : 29 Juli 2013

Mセ




Mセ

セM

Mᆳ

Tanggal Lulus:

-- - - - セM

.\

6 0CT 2013



MODIFIKASI FERMENTASI HIDROLISAT ASAM ENCER
Euchema cottonii MENJADI BIOETANOL MENGGUNAKAN
Saccharomyces cerevisiae DAN Pachysolen tannophilus


MUHAMMAD SYUKUR SARFAT

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

viii

Penguji pada ujian tesis : Dr Ir Liesbetini Haditjaroko, MS

Judul Penelitian

Nama
NRP

: Modifikasi Fermentasi Hidrolisat Asam Encer Euchema
cottonii menjadi Bioetanol menggunakan Saccharomyces
cerevisiae dan Pachysolen tannophilus.
: Muhammad Syukur Sarfat
: F351110121

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr Ir Mulyorini Rahayuningsih, MSi
Ketua

Prof Dr Ir Ani Suryani, DEA
Anggota

Dr Dwi Setyaningsih, STP MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi Industri Pertanian

Dekan sekolah Pascasarjana

Dr Ir Machfud, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian : 29 Juli 2013

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah
bioetanol, dengan judul Modifikasi Fermentasi Hidrolisat Asam Encer Euchema
cottonii Menjadi Bioetanol Menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan
Pachysolen tannophilus.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Mulyorini Rahayungingsih,
MSi, Ibu Prof Dr Ir Ani Suryani, DEA, dan Ibu Dr Dwi Setyaningsih, STP, MSi
selaku pembimbing, serta Dr Ir Liesbetini Haditjaroko, MS yang telah banyak
memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Saudari
Nely Muna dan Saudari Indah Khayati dari Pusat Penelitian Surfaktan dan
Bioenergi yang telah membantu selama penelitian dan pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2013

Muhammad Syukur Sarfat

i

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Ruang Lingkup
2 TINJAUAN PUSTAKA
Rumput Laut (E. cottonii)
Hidrolisis Asam
Fermentasi Etanol
Karakteristik Mikroba yang Mengkonversi Galaktosa Menjadi
Bioetanol
3 METODOLOGI
Tempat Pelaksanaan
Alat dan Bahan
Prosedur Kerja
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik E. cottonii dan Hidrolisat Asam Encer E. cottonii
Adaptasi Khamir Dalam Media Galaktosa
Fermentasi Khamir Teradaptasi Pada Hidrolisat Asam Encer E.
cottonii
Fermentasi Hidrolisat Asam Encer E. cottonii Dengan Perlakuan
Refreshed Culture Berbeda Setelah Fermentasi Berlangsung 24 Jam
Fermentasi Hidrolisat Asam Encer E. cottonii Dengan Perlakuan
Refreshed Culture Yang Sama Setelah Fermentasi Berlangsung 24 Jam
Fermentasi Hidrolisat Asam Encer E. cottonii Dengan Perlakuan
Perbedaan Konsentrasi Gula Pereduksi Pada Media
5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

ii
iii
iv
1
1
4
4
5
5
6
7
8
11
11
11
11
19
19
20
25
31
35
38
42
42
42
43

ii

DAFTAR TABEL

1. Komposisi kimia beberapa jenis rumput laut
2. Karakteristik hidrolisat untuk fermentasi
3. Gen dan Protein Penting dalam Metabolisme Galaktosa pada
Saccharomyces cerevisiae
4. Klasifikasi dari Saccharomyces cerevisiae dan Pachysolen tannophilus
5. Hasil analisis komposisi kimia E. cottonii kering
6. Karakterisasi komponen gula yang terdapat pada hidrolisat asam encer
E. cottonii menggunakan HPLC
7. Hasil perhitungan viabilitas sel pada tiap tahapan adaptasi cepat P.
tannophilus
8. Hasil perhitungan efisiensi penggunaan substrat, efisiensi fermentasi,
dan konsentrasi etanol yang dihasilkan dari fermentasi hidrolisat asam
encer E. cottonii menggunakan khamir teradaptasi
9. Hasil perhitungan jumlah etanol dan sel yang dihasilkan dari total gula
yang terkonsumsi selama fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii
menggunakan khamir teradaptasi
10. Hasil perhitungan presentase etanol dan sel yang dihasilkan dari total
gula yang terkonsumsi selama fermentasi hidrolisat asam encer E.
cottonii menggunakan khamir teradaptasi
11. Konsentrasi etanol maksimum hasil fermentasi dari beberapa jenis gula
menggunakan P. tannophilus dari beberapa jenis strain
12. Hasil Perhitungan efisiensi penggunaan substrat, efisiensi fermentasi,
dan konsentrasi etanol yang dihasilkan dari fermentasi hidrolisat asam
encer E. cottonii dengan perlakuan refreshed culture berbeda setelah
fermentasi berlangsung 24 jam
13. Hasil perhitungan jumlah etanol dan sel yang dihasilkan dari total gula
yang terkonsumsi selama fermentasi dengan perlakuan refreshed culture
berbeda setelah fermentasi 24 jam
14. Hasil perhitungan efisiensi penggunaan substrat, efisiensi fermentasi,
dan konsentrasi etanol yang dihasilkan dari fermentasi hidrolisat asam
encer E. cottonii dengan perlakuan refreshed culture berbeda setelah
fermentasi berlangsung 24 jam
15. Hasil perhitungan jumlah etanol dan sel yang dihasilkan dari total gula
yang terkonsumsi selama fermentasi dengan perlakuan refreshed culture
yang sama setelah fermentasi 24 jam
16. Hasil perhitungan efisiensi penggunaan substrat, efisiensi fermentasi,
dan konsentrasi etanol yang dihasilkan dari fermentasi hidrolisat asam
encer E. cottonii dengan perlakuan perbedaan konsentrasi gula pereduksi
pada media hidrolisat asam E. cottonii

2
7
9
10
19
20
23

26

27

27
31

33

34

36

37

40

iii
17. Hasil perhitungan jumlah etanol dan sel yang dihasilkan dari total gula
yang terkonsumsi selama fermentasi dengan perlakuan perbedaan
konsentrasi gula pereduksi pada media hidrolisat asam E. cottonii

40

DAFTAR GAMBAR

1. Skema struktur pengulangan disakarida pada karagenan
2. Jalur Leloir
3. Diagram alir penelitian modifikasi fermentasi hidrolisat asam encer E.
cottonii menjadi bioetanol menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan
Pachysolen tannophilus
4. Proses hidrolisis E. cottonii dengan menggunakan H2SO4
5. Proses penyiapan inokulum
6. Tahapan fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menjadi bioetanol
menggunakan khamir teradaptasi
7. Tahapan fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan
refreshed culture berbeda setelah fermentasi berlangsung 24 jam
8. Tahapan fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan
refreshed culture yang sama setelah fermentasi berlangsung 24 jam
9. Tahapan fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan
perbedaan konsentrasi gula pereduksi
10. Hubungan antara tahapan adaptasi lambat S. cerevisiae pada media
100% hidrolisat asam encer E. cottonii dengan log jumlah total sel, log
jumlah sel hidup, dan gula pereduksi
11. Hubungan antara tahapan adaptasi cepat P. tannophilus pada media
campuran antara YMP Galaktosa dengan hidrolisat asam encer E.
cottonii (1:1) dengan log jumlah total sel, log jumlah sel hidup, dan gula
pereduksi
12. Hasil pengamatan morfologi sel khamir yang telah teradaptasi
13. Hasil pengamatan gelembung udara yang terbentuk pada saat adaptasi
14. Hubungan antara waktu fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii
menggunakan khamir teradaptasi dengan log jumlah total sel, gula
pereduksi, dan konsentrasi etanol
15. Jalur Metabolisme galaktosa menjadi bioetanol
16. Hasil pengamatan kondisi permukaan media pada tahap fermentasi
menggunakan khamir teradaptasi
17. Hubungan antara waktu fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii
dengan perlakuan refreshed culture berbeda setelah fermentasi
berlangsung 24 jam terhadap log jumlah total sel, gula pereduksi, dan
konsentrasi etanol

5
8

12
13
13
15
16
17
18

21

22
24
25

26
30
31

33

iv
18. Hasil pengamatan kondisi permukaan media yang dipenuhi oleh lapisan
putih pada tahap fermentasi dengan perlakuan refreshed culture berbeda
setelah fermentasi berlangsung 24 jam
19. Hubungan antara waktu fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii
dengan perlakuan refreshed culture yang sama setelah fermentasi
berlangsung 24 jam terhadap log jumlah total sel, gula pereduksi, dan
konsentrasi etanol
20. Hubungan antara perbedaan konsentrasi gula pereduksi pada media
hidrolisat asam encer E. cottonii terhadap log jumlah total sel, gula
pereduksi, dan konsentrasi etanol yang dihasilkan selama fermentasi.

35

36

39

DAFTAR LAMPIRAN

1. Prosedur Pengamatan
2. Perbandingan Beberapa Hasil Penelitian Sejenis Yang Telah Dilakukan
3. Riwayat Hidup Penulis

47
50
51

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sebagian besar bahan bakar yang digunakan di Indonesia berasal dari bahan
bakar fosil yang merupakan energi tidak terbarukan. Sebagai negara agraris,
Indonesia memiliki beragam sumber daya alam hayati yang sangat potensial
ketika digunakan sebagai bahan baku pembuatan energi terbarukan, khususnya
bioetanol. Namun demikian, pengembangan bioetanol dianggap dapat
membahayakan pasokan pangan pokok karena kebanyakan bahan baku yang
digunakan berasal dari bahan-bahan pangan pokok yang merupakan bahan yang
umum digunakan sebagai sumber energi bagi mahluk hidup yang ketersediaanya
masih dianggap kurang karena disebabkan semakin berkurangnya ketersediaan
lahan pertanian akibat alih fungsi. Oleh karena itu dicari alternatif dari beberapa
sumber daya alam hayati yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan
bioetanol yang dianggap sangat potensial karena ketersediaannya yang melimpah
serta terdapat lahan potensial yang dapat digunakan sebagai lahan budidaya. Salah
satu sumber daya alam hayati tersebut yang dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan bioetanol adalah rumput laut. Produksi rumput laut di Indonesia terus
meningkat. Tercatat dari tahun 2009 sampai dengan 2012, produksi rumput laut
Indonesia meningkat 90% dengan peningkatan disetiap tahunnya berturut-turut
adalah 2.9, 3.9, 4.3, dan 5.2 juta ton. Pemerintah menargetkan produksi rumput
laut tahun 2013 naik 30% menjadi 7.5 juta ton dibandingkan dengan tahun lalu
5.2 juta ton. Sedangkan ketersediaan lahan budidaya rumput laut masih sangat
luas. Pada daerah pasang surut terdapat 1.1 juta hektar lahan yang dapat
digunakan sebagai lahan budidaya dengan produkstivitas rata-rata 16 ton rumput
laut kering/hektar/tahun dan yang baru termanfaatkan sebesar 380 ribu hektar.
Rumput laut dapat dipanen 3-5 kali dalam setahun, tidak mengandung lignin, dan
dapat menyerap CO2 sebanyak 36.7 ton/ha, atau 5-7 kali tanaman darat.
Keunggulan lain dari rumput laut adalah tidak berkompetisi dengan lahan
pertanian dan tidak membutuhkan pupuk kimia atau irigasi (Sakti, 2013).
E. cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut yang dibudidayakan dan
dapat menghasilkan karaginan (Distantina et al., 2010). E. cottonii merupakan
alga merah yang terbentuk dari polisakarida linear yang biasa disebut
“karagenan”. Karagenan adalah galaktan tersulfatasi linear hidrofilik yang
memiliki berat molekul berkisar 400.000 sampai 600.000 Da. Polimer ini
merupakan pengulangan unit disakarida. Penyusun utama karagenan adalah
galaktan (polisakarida sulfat) yang merupakan polimer dari galaktosa. Selain
galaktosa dan sulfat, beberapa karbohidrat juga ditemui, seperti xilosa, glukosa,
asam uronik dan substituen seperti metil ester dan grup piruvat. Galaktan
tersulfatasi ini diklasifikasi menurut adanya unit 3.6-anhidro galaktosa (DA) dan
posisi gugus sulfat (Van De Velde, 2002).
Menurut Yunizal (2004) E. cottonii memiliki kandungan karbohidrat paling
tinggi dibandingkan dengan jenis rumput laut yang lain yaitu mencapai 57.52%
(basis basah) atau setara dengan 67.64% (basis kering) sehingga sangat
menjanjikan ketika digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan bioetanol.

2
Sedangkan menurut Devis (2008) E. cottonii memiliki kandungan karbohidrat
sebesar 41.43% (basis basah).
Tabel 1 Komposisi kimia beberapa jenis rumput laut
Jenis Rumput Laut
Komposisi Kimia E. cottonii E. cottonii Sargassum sp Turbinaria sp Padina sp Gracilaria sp
a
b
a
a
a
a
Karbohidrat (%)
57.52
41.43
19.06
44.90
39.12
41.68
Protein (%)
3.46
1.86
5.53
4.79
4.74
6.59
Lemak (%)
0.93
0.35
0.74
1.66
0.96
0.68
Air (%)
14.96
11.28
11.71
9.73
10.74
9.38
Abu (%)
16.05
36.05
34.57
22.54
41.50
32.76
Serat kasar (%)
7.08
8.96
28.39
16.38
3.04
8.92
a

Yunizal (2004) ; b Devis (2008)

Selain itu, berdasarkan hasil hidrolisis menggunakan asam sulfat, dengan
otoklaf pada suhu 121oC, tekanan 1,5 bar yang dilakukan oleh Setyaningsih et al.
(2012) E.cottonii dipilih sebagai bahan baku bioetanol untuk proses selanjutnya
karena perolehan gula pereduksi yang tertinggi dan total padatan (ampas) sisa
proses hidrolisis yang rendah. Perolehan gula pereduksi tertinggi adalah 3.28%
(b/v) untuk hidrolisat asam E.cottoni, 3.22 (b/v) untuk hidrolisat asam Sargassum
sp., dan 0.52% (b/v) untuk hidrolisat asam limbah agar. Sedangkan total padatan
menunjukkan secara keseluruhan total padatan hasil hidrolisis E. cottonii lebih
rendah (18-37%) dibandingkan Sargassum sp. (47.5-55.3%) dan limbah agar
(64.5-76.5%). Hal ini dapat disebabkan karena padatan E. cottonii lebih mudah
dan lebih banyak terhidrolisis dibandingkan Sargassum sp. dan limbah agar.
Khamir yang umum digunakan untuk memproduksi bioetanol seperti
Saccharomyces cerevisiae adalah khamir yang hanya optimal jika mengkonsumsi
gula dalam bentuk glukosa, sedangkan untuk memproduksi bioetanol dari gula
galaktosa mendapatkan kendala karena khamir ini belum dapat mengkonsumsi
gula galaktosa secara optimal hingga menjadi bioetanol.
Adam dan Gallagher (2008) melakukan penelitian mengenai produksi
bioetanol menggunakan rumput laut jenis Laminarin sp. 0.1 U sebagai bahan baku
dan mikroba yang digunakan adalah Saccharina latissima 0.5% (v/v) diperoleh
bahwa pada kondisi pH 6 dan suhu 230C merupakan kondisi optimum proses
produksi bioetanol dengan rendemen bioetanol yang dihasilkan sebesar 0.45%
(v/v). Devis (2008) melakukan penelitian mengenai produksi bioetanol berbahan
dasar ampas rumput laut (Kappaphycus alvarezii) yang telah dihidrolisis sebanyak
200 ml dan 10% (v/v) starter Saccharomyces cerevisiae diperoleh rendemen
bioetanol sebesar 4.5% (v/v) pada kondisi pH 4.5-5,0 dan suhu kamar (25-300C).
Selain itu, Candra et al. (2011) mempelajari produksi bioetanol menggunakan
rumpul laut (E. cottonii) dari Laut Bontang dan Saccharomyces cerevisiae 10%
(v/v) diperoleh rendemen bioetanol sebesar 4.6% setelah difermentasi 5-6 hari
pada suhu ruang. Rumput laut (E. cottonii) dihidrolisis dengan H2SO4 5% selama
2 jam pada suhu 1000C sebanyak 25 g E. cottonii dilarutkan dalan aquades hingga
beratnya 100 g merupakan kondisi optimal proses hidrolisis komponen galaktan
pada E. cottonii menjadi gula galaktosa dengan rendemen gula yang dihasilkan
sebesar 15.8 mg/ml. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Meinita, et al. (2012)
yang memproduksi bioetanol dari hidrolisat asam karagenan Kappaphycus
alvarezii (E. cottonii) menghasilkan etanol dengan yeald 0.21 g/g galaktosa.
Penelitian terakhir dilakukan oleh Setyaningsih et al. (2012) yang memproduksi

3
bioetanol dari E. cottonii menggunakan Saccharomyces cerevisiae teradaptasi
dengan waktu fermentasi 72-144 jam pada suhu ruang (300C) menghasilkan
2.20% (v/v) etanol pada fermentasi cair dengan efisiensi penggunaan substrat
sebesar 80.3% dan efisiensi fermentasi sebesar 48.9%.
Kedua jenis khamir di atas masih menghasilkan bioetanol dengan rendemen
yang sangat sedikit pada kondisi yang sudah dianggap optimum. Hasil identifikasi
dari beberapa jenis khamir liar yang dilakukan oleh Inggit (2013), diperoleh hasil
bahwasanya Pachysolen tannophilus dan Saccharomyces cerevisiae merupakan
khamir yang dapat mengkonversi galaktosa yang terdapat pada hidrolisat asam
encer E. cottonii menjadi bioetanol. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian
mengenai modifikasi proses produksi bioetanol dari galaktosa oleh
Saccharomyces cerevisiae dan Pachysolen tannophilus yang merupakan khamir
yang dianggap dapat mengkonversi galaktosa menjadi bioetanol.
Penelitian mengenai modifikasi fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii
menjadi bioetanol menggunakan perpaduan antara dua jenis khamir yang berbeda
yaitu Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX dan Pachysolen tannophilus
IPBCC AC IX diawali dengan pengeringan dan pengecilan ukuran dari bahan
baku E. cottonii. Kemudian dilakukan karakterisasi dari E. cottonii. Tahap
selanjutnya merupakan tahap hidrolisis dari E. cottonii sehingga komponen
galaktan (polisakarida sulfat) dapat diubah menjadi galaktosa yang tidak lain
merupakan gula penyusun polimer galaktan tersebut. Hidrolisis dilakukan dengan
menggunakan asam. Menurut Tahezadeh dan Karimi (2007), hidrolisis asam
dapat digunakan untuk memecah komponen polisakarida menjadi monomermonomernya. Proses hidrolisis yang sempurna akan memecah selulosa dan pati
menjadi glukosa, sedangkan hemiselulosa akan terpecah menjadi pentosa dan
heksosa. Asam sulfat (H2SO4) dan asam klorida (HCl) merupakan asam yang
digunakan sebagai katalis dalam proses hidrolisis. Hidrolisis menggunakan H2SO4
menghasilkan total gula sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan HCl pada
konsentrasi, waktu, dan suhu yang sama karena sifat HCl lebih kuat dengan
reaktivitas yang lebih tinggi daripada H2SO4. Hidrolisis asam dikelompokkan
menjadi dua yaitu hidrolisis dengan konsentrasi tinggi dan hidrolisis dengan
konsentrasi rendah. Penentuan konsentrasi asam tergantung pada ukuran, bentuk,
dan kadar air pada partikel lignoselulosa. Asam sulfat biasanya digunakan pada
larutan terlarut dengan konsentrasi tidak melebihi 10% berat (asam sulfat umum
digunakan tidak lebih dari 5%). Penggunaan asam dengan konsentrasi rendah
selalu terjadi penambahan air yang banyak pada bahan lignoselulosa dan hal itu
membutuhkan energi panas yang lebih banyak selama proses pemanasan.
Tahap terakhir adalah tahap fermentasi yaitu hidrolisat asam encer E.
cottonii yang dihasilkan dari proses hidrolisis menggunakan asam sulfat akan
digunakan sebagai sumber karbon dalam memproduksi bioetanol. Proses
fermentasi menggunakan dua jenis khamir, yaitu Saccharomyces cerevisiae
IPBCC AL IX dan Pachysolen tannophilus IPBCC AC IX. Saccharomyces
cerevisiae IPBCC AL IX merupakan khamir teradaptasi dengan metode adaptasi
lambat pada media hidrolisat asam E. cottonii. Menurut Timsson (2007),
Saccharomyces cerevisiae dapat memetabolisme galaktosa menjadi glukosa 6phosphate dengan menggunakan 5 (lima) enzim pada jalur metabolisme galaktosa.
Pachysolen tannophilus IPBCC AC IX merupakan khamir yang teradaptasi
dengan metode adaptasi cepat pada media yang mengandung galaktosa. Hasil uji

4
laboratorium yang dilakukan oleh tim peneliti dari Pusat Penelitian Surfaktan dan
Bioenergi tahun 2012, menjelaskan bahwa Pachysolen tannophilus IPBCC y
11.1149 yang diperoleh dari IPB Culture Collection (IPBCC) yang merupakan
khamir yang belum teradaptasi pada media yang mengandung galaktosa dapat
memproduksi bioetanol dari hidrolisat asam encer E. cottonii dengan rendemen
yang masih sangat kecil yaitu sekitar 1,3% (v/v) dengan waktu fermentasi selama
5 hari. Oleh karena itu, dengan proses adaptasi yang dilakukan terhadap
Pachysolen tannophilus IPBCC pada media yang mengandung galaktosa,
diharapkan akan menghasilkan bioethanol dengan rendemen yang lebih tinggi dari
yang dihasilkan oleh Pachysolen tannophilus IPBCC y 11.1149 yang belum
teradaptasi ketika digunakan sebagai inokulum pada proses fermentasi dengan
menggunakan hidrolisat asam encer E. cottonii sebagai sumber karbon.
Tahap fermentasi diawali dengan adaptasi kedua jenis khamir tersebut pada
media yang mengandung galaktosa. Selanjutnya kedua jenis khamir yang telah
teradaptasi masing-masing akan ditumbuhkan pada media hidrolisat asam
E.cottonii untuk mengetahui kemampuan khamir tersebut dalam mengkonversi
galaktosa menjadi bioetanol.
Tujuan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui modifikasi fermentasi
secara curah bioetanol dari rumput laut (E. cottonii) sebagai substrat sehingga
dihasilkan rendemen produk bioetanol yang tinggi.
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah
1. Mendapatkan informasi kemampuan fermentatif khamir teradaptasi terhadap
kadar bioetanol yang dihasilkan
2. Mendapatkan informasi pengaruh penambahan kultur berbeda setelah
fermentasi 24 jam terhadap kadar bioetanol yang dihasilkan
3. Mendapatkan informasi pengaruh penambahan kultur yang sama setelah
fermentasi 24 jam terhadap kadar bioetanol yang dihasilkan
4. Mendapatkan informasi pengaruh konsentrasi gula pereduksi pada media
terhadap kadar bioetanol yang dihasilkan
Ruang Lingkup
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme
dalam menghasilkan produk bioetanol diantaranya, pH (Sassner et al., 2008), suhu
(Sassner, 2008), oksigen (Barnett et al., 2000 ; Trust, 2008), waktu fermentasi
(Prescot dan Dunn, 1981), konsentrasi gula dalam media (Wignyanto et al., 2001 ;
Gaur, 2006), serta konsentrasi dan kondisi kultur yang digunakan (Wignyanto et
al., 2001). Namun dalam penelitian ini, yang menjadi faktor utama yang ingin
dikaji adalah kemampuan fermentatif khamir teradaptasi terhadap kadar bioetanol
yang dihasilkan, pengaruh refreshed culture setelah fermentasi 24 jam, serta
pengaruh konsentrasi gula pereduksi pada media fermentasi terhadap rendemen
bioetanol yang dihasilkan.

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

Rumput Laut (E. cottonii)
E. cottonii merupakan alga merah yang terbentuk dari polisakarida linear
yang biasa disebut “karagenan”. Karagenan adalah polisakarida yang diekstraksi
dari beberapa spesies rumput laut atau alga merah (rhodophyceae) (Gambar 1).
Karagenan adalah galaktan tersulfatasi linear hidrofilik. Polimer ini merupakan
pengulangan unit disakarida. Galaktan tersulfatasi ini diklasifikasi menurut
adanya unit 3.6-anhydro galactose (DA) dan posisi gugus sulfat (Campo et al.,
2009). Selain galaktosa dan sulfat, beberapa karbohidrat juga ditemui, seperti
xilosa, glukosa, uronic acids, dan substituen seperti metil ester dan grup pyruvate.
Tiga jenis karagenan komersial yang paling penting adalah karagenan iota, kappa
dan lambda. Sedangkan karagenan mu adalah prekursor karagenan kappa,
karagenan nu adalah prekursor iota. Jenis karagenan yang berbeda ini diperoleh
dari spesies rhodophyta yang berbeda. Secara alami, jenis iota dan kappa dibentuk
secara enzimatis dari prekursornya oleh sulfohydrolase. Sedangkan secara
komersial, jenis ini diproduksi menggunakan perlakuan alkali atau ekstraksi
dengan alkali (Van De Velde et al., 2002).

Gambar 1 Skema struktur pengulangan disakarida pada karagenan (Campo et al.,
2009)

6
Saat ini jenis karagenan kappa didominasi dipungut dari rumput laut tropis
Kappaphycus alvarezii, yang di dunia perdagangan dikenal sebagai Euchema
cottonii. Euchema denticulatum (dengan nama dagang Euchema spinosum)
adalah spesies utama untuk menghasilkan jenis karagenan iota. Karagenan lamda
diproduksi dari spesies Gigartina dan Condrus (Van de Velde et al., 2002).
Menurut Doty (1985) Eucheuma cottonii sp. merupakan salah satu jenis
rumput laut merah (Rhodophyceae) dan dikenal dalam dunia perdagangan
nasional maupun internasional sesuai dengan nama daerahnya yaitu „cottonii’
padahal nama ilmiah sebenarnya adalah Kappaphycus alvarezii karena karaginan
yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan. Klasifikasi Eucheuma cottonii
sp. adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi
: Rhodophyta
Kelas
: Rhodophyceae
Ordo
: Gigartinales
Famili
: Solieracea
Genus
: Eucheuma
Species
: Euchema alvarezii Doty
Kappaphycus alvarezii Doty
Hidrolisis Asam
Hidrolisis asam dapat digunakan untuk memecah komponen polisakarida
menjadi monomer-monomernya. Proses hidrolisis yang sempurna akan memecah
selulosa dan pati menjadi glukosa, sedangkan hemiselulosa akan terpecah menjadi
pentosa dan heksosa. Asam sulfat (H2SO4) dan asam klorida (HCl) merupakan
asam yang digunakan sebagai katalis dalam proses hidrolisis. Hidrolisis asam
dikelompokkan menjadi dua yaitu hidrolisis dengan konsentrasi tinggi dan
hidrolisis dengan konsentrasi rendah (Tahezadeh dan Karimin, 2007).
Keuntungan hidrolisis dengan konsentrasi tinggi adalah proses hidrolisis
dapat dilakukan pada suhu yang rendah. Namun penggunaan asam konsentrasi
tinggi mempunyai kelemahan antara lain jumlah asam yang digunakan sangat
banyak, potensi korosi pada peralatan produksi, penggunaan energi yang cukup
tinggi untuk proses daur ulang asam, dan terbentuk produk samping yang tidak
diharapkan seperti furfural dan hidroksimetil furfural (HMF). Hindrolisis
menggunakan asam dengan konsentrasi rendah mempunyai keuntungan yaitu
jumlah asam yang digunakan sedikit. Namun kerugian dalam penggunaan asam
dengan konsentrasi rendah antara lain membutuhkan suhu tinggi dalam proses
operasinya, potensi korosi pada peralatan produksi terutama alat yang dibuat dari
besi, dan terbentuk produk samping yang tidak diharapkan seperti furfural dan
hidroksimetil furfural (HMF). Komponen furfural dan hidroksimetil furfural
merupakan produk yang nantinya dapat menghambat proses fermentasi
(Tahezadeh dan Karimin, 2007).
Hidrolisis asam dengan konsentrasi rendah dapat dilakukan dalam dua tahap
yaitu tahap pertama menggunakan asam dengan konsentrasi rendah untuk
menghidrolisis gula dari golongan pentosa yang umumnya terdapat dalam fraksi
hemiselulosa. Tahap ini biasanya menggunakan H2SO4 1 M pada suhu 80-1200C
selama 30-240 menit. Tahap kedua menggunakan asam dengan konsentrasi lebih

7
tinggi untuk menghidrolisis gula yang berasal dari golongan heksosa seperti
selulosa, biasanya dilakukan dengan konsentrasi asam H2SO4 5-20 M dengan
suhu 180 0C. Proses hidrolisis bertahap ini dapat memaksimalkan glukosa yang
dihasilkan dan meminimumkan hasil samping yang tidak diinginkan (Purwadi,
2006).
Penentuan konsentrasi asam tergantung pada ukuran, bentuk, dan kadar air
pada partikel lignoselulosa. Asam sulfat biasanya digunakan pada larutan terlarut
dengan konsentrasi tidak melebihi 10% berat (asam sulfat umum digunakan tidak
lebih dari 5%). Penggunaan asam dengan konsentrasi rendah selalu terjadi
penambahan air yang banyak pada bahan lignoselulosa dan hal itu membutuhkan
energi panas yang lebih banyak selama proses pemanasan (Tahezadeh dan
Karimin, 2007).
Hidrolisis asam pada bahan lignoselulosa dan hemiselulosa merupakan
komponen yang paling gampang terhidrolisis menjadi xilosa, manosa, asam
asetat, galaktosa, dan sejumlah kecil ramnosa. Selulosa akan terdegradasi menjadi
glukosa. Pada suhu dan tekanan yang tinggi, komponen glukosa, galaktosa, dan
manosa terdegradasi menjadi hidroksimetil furfural (HMF) dan xilosa menjadi
furfural. Komponen fenol terbentuk dari lignin yang terpecah sebahagian dan juga
selama proses degradasi karbohidrat. Lignin merupakan komponen komplek yang
tersusun oleh fenilpropane yang terikat di dalam struktur tiga dimensi. Ikatan
kimia terjadi diantara lignin dan hemiselulosa bahkan terkadang juga dengan
selulosa. Lignin sangat tahan terhadap reaksi kimia dan enzimatik (Palmqvist dan
Hagerdal, 2000). Karakteristik hidrolisat untuk fermentasi dapat dilihat pada
Tabel 2
No
1
2
3
4
5

Tabel 2 Karakteristik hidrolisat untuk fermentasi
Senyawa
Konsentrasi
Sumber
HMF
< 1 g/l
Alvest et al. (1998)
Furfural
< 1.5 g/l
Nigam (2001)
Total Gula
10 – 18 %
Frazier dnWeshoff (1978)
Gula Pereduksi < 30 %
Mungunwidjaj dan Suryani (1994)
Total Asam
< 20 (ml NaOH/g Van Zyl et al. (1998)
bahan)
Fermentasi Etanol

Bioetanol merupakan senyawa alkohol yang diperoleh melalui proses
fermentasi biomassa dengan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme yang
biasa digunakan dalam fermentasi glukosa menjadi etanol, adalah khamir dari
spesies Saccharomyces cerevisiae. Pada umumnya fermentasi etanol dilakukan
pada kondisi anaerob, karena adanya cukup oksigen (aerob) akan menjadikan
Saccharomyces cerevisiae berkembang bagus tetapi pembentukan etanol sebagai
salah satu produk metabolismenya hanya sedikit (Prescott dan Dunn, 1981).
Menurut Oura (1983), secara sederhana proses fermentasi alkohol dari
bahan baku yangg mengandung gula (glukosa) terlihat pada reaksi berikut :
Glukosa
2 C2H5OH + 2 CO2 + 2 ATP + 2 Kkal
Dari reaksi di atas, 70% energi bebas yang dihasilkan dibebaskan sebagai
panas. Secara teoritis, 51.5% karbohidrat diubah menjadi etanol dan 48.9%
menjjadi CO2.

8
Fermentasi dapat dilakukan dengan menggunakan media padat atau media
cair. Menurut Rahman (1992), fermentai menggunakan media padat dan media
cair mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Media padat
mempunyai kelebihan karena cara pengoperasiannya yang sederhana, kontaminasi
bukan merupakan masalah penting, bahan untuk media atau substrat mudah
diperoleh, dan relatif murah harganya. Kekurangannya adalah memerlukan ruang
yang luas, membutuhkan banyak tenaga kerja, sulit mengatur komposisi
komponen-komponen media dan meniadakan komponen yang berpengaruh
negatif terhadap proses fermentasi, dan sulit mengatir kondisi lingkungan
fermentasi. Media cair mempunya kelebihan karena jenis dan konsentrasi media
dapat diatur sesuai dengan yang diinginkan, dapat memberi kondisi yang optimum
bagi pertumbuhan, dan pemakaian medium lebih efisien. Untuk media fermentasi
dapat digunakan bioreaktor yaitu setiap jenis wadah seperti tabung labu, labu
erlenmeyer, dan fermentor yang digunakan untuk melangsungkan proses
fermentasi yang dilakukan.
Menurut Paturau (1981), fermentasi etanol membutuhkan waktu 30-72 jam.
Menurut Prescott dan Dunn (1981), waktu fermentasi etanol yang diperlukan
adalah 3 sampai 7 hari.
Karakteristik Mikroba yang Mengkonversi Galaktosa Menjadi Bioetanol
Kandungan gula dalam bentuk gula galaktosa pada E. cottonii membuat
mikroba yang selama ini digunakan dalam memproduksi bioetanol kesulitan
dalam mengkonversi gula galaktosa tersebut menjadi bioetanol karena gula yang
selama ini dikonversi merupakan gula glukosa. Oleh karena itu dibutuhkan
teknologi yang dapat mengubah gula galaktosa menjadi gula glukosa. Menurut
Timsson (2007) khamir dapat memetabolisme galaktosa menjadi α-D-glukosa-6fosfat melalui jalur Leloir (Gambar 2).

Gambar 2 Jalur Leloir (Timsson, 2007)

9
Gen dan protein penting yang dibutuhkan oleh Saccharomyces cerevisiae
dalam metabolisme galaktosa dapat dilihat pada Tabel 3. Enzim yang dihasilkan
oleh Saccharomyces cerevisiae selama pertumbuhannya dalam memetabolisme
galaktosa menjadi glukosa 6-phosphate adalah :
1. Galaktosa mutarotase dan UDP-galaktosa-4-epimerase (Gal10p) yang dapat
mengubah (fosforilasi) β-D-galaktosa menjadi α-D-galaktosa
2. Galaktokinase (Gal1p) yang berfungsi mengubah α-D-galaktosa menjadi α-Dgalaktosa-1-fosfat.
3. Galaktosa-1-fosfat uridiltransferase (Gal7p) yang berfungsi mengubah α-Dgalaktosa-1-fosfat menjadi α-D-glukosa-1-fosfat.
4. Fosfoglukomutase (Pgm1p/Pgm2p) yang merupakan enzim terakhir yang
digunakan dalam jalur Leloirsebagai katalis yang mengisomerisasi α-Dglukosa-1-fosfat menjadi α-D-glukosa-6-fosfat.
Tabel 3 Gen dan Protein Penting
Saccharomyces cerevisiae
Protein

Function

Gal1p

Galactokinase, Can olso substitute for
Gal3p
Galactose permease
Ligand sensor in the GAL genetic
switch. No kinase activity
Transcription factor (activator) in the
GAL genetic switch

Gal2p
Gal3p
Gal4p

Lap3p
Gal7p
Gal10p
Gal80p
Mig1p

Pgm1p
Pgm2p
Cyc8p
Tup1p
Snf1p

dalam

Metabolisme

pada

Gene
(common
aliases)
GAL1

YBR020W

Enzyme
commission
(EC) number
2.7.1.6

GAL2
GAL3

YLR081W
YDR009W

*
*

GAL4
(GAL81)

YPL248C

*

LAP3
(GAL6)
GAL7

YNL239W

3.4.22.40

YBR018C

2.7.7.12

GAL10

YBR019C

GAL80

YML051W

5.1.3.2 and
5.2.3.3
*

MIG1

YGL035C

*

PGM1
PGM2
(GAL5)

YKL127W
YMR105C

5.4.2.2
5.4.2.2

Transcriptional co-repressor; acts in
complex with Tup1p
General transcriptional repressor; acts
with Cyc8p

CYC8
(SNN6)
TUP1

YBR112C

*

YCR084C

*

1ERJ (WD40 domain)

Protein kinase, phosphorylates Mig1p

SNF1

YDR477W

2.7.11.1

2EUE (kinase
domain); 2FH9
(kinase domain dimer)

Aminopeptidase; Bloomycin
hydrolase
Galactose 1-phosphate
uridyltransferase
Galactose mutarotase and UDPgalactose 4-epimerase
Transcription factor (repressor) in the
GAL genetic switch
Transcription factor which represses
numerous system including the GAL
genes in the presence of glucose
Phosphoglukomutase (minor isoform)
Phosphoglukomutase (major isoform)

*Tidak sebagai enzim
Timsson (2007)

Systematic
gene name

Galaktosa

Protein databank
accession number
2AJ4

1D66(DNA binding
domain plus DNA;
1AW6 (DNA binding
domain); 1HBW
(Dimerisation domain
1IGCB

1Z45
2NVW

10
Berdasarkan laporan dari GB-Analyst report dikatakan bahwa mikroba yang
efektif dalam memfermentasi glukosa akan bisa melakukan fermentasi terhadap
galaktosa, contohnya adalah S.cerevisiae (Goh dan Lee, 2010). Hal ini didukung
dengan hasil identifikasi dari beberapa jenis khamir liar yang dilakukan oleh
Inggit (2013), diperoleh hasil bahwasanya Pachysolen tannophilus dan
Saccharomyces cerevisiae merupakan khamir yang dapat mengkonversi galaktosa
yang terdapat pada hidrolisat asam E. cottonii menjadi bioetanol. Oleh karena itu,
perlu dilakukan penelitian mengenai modifikasi proses produksi bioetanol dari
galaktosa oleh Saccharomyces cerevisiae dan Pachysolen tannophilus yang
merupakan khamir yang dianggap dapat mengkonversi galaktosa menjadi
bioetanol. Klasifikasi dari Saccharomyces cerevisiae dan Pachysolen tannophilus
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Klasifikasi dari Saccharomyces cerevisiae dan Pachysolen tannophilus
Klasifikasi Spesifik
Saccharomyces cerevisiae
Pachysolen tannophilus
Gambar

Kingdom
Khamir
Filum
Ascomycota
Subfilum
Saccharomycotina
Kelas
Saccharomycetes
Ordo
Saccharomycetales
Famili
Saccharomycetaceae
Genus
Saccharomyces
Spesies
S. cerevisiae
Sumber : Wikipedia.org (2013)

Khamir
Ascomycota
Saccharomycetes
Saccharomycetales
Saccharomycetaceae
Pachysolen
P. tannophilus

11

3 METODOLOGI

Tempat Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi
(SBRC).
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut (E. cottonii)
yang diperoleh dari Banten, kultur khamir (Saccharomyces cerevisiae
IPBCC05.548 dan Pachysolen tannophilus IPBCC y 11.1149), asam sulfat,
pepton, PDA (Potato Dextrose Agar), PDB (Potato Dextrose Broth), pupuk urea,
pupuk NPK (Nitrogen, Posfor, Kalium), fenol, DNS, NaOH, HCl, etanol,
aquadest, spiritus, heksana, desinsektan, kapur tohor, urea, NPK, vitamin B,
mineral (MgSO4.7H2O, FeSO4.7H2O, ZnSO4.7H2O, MnSO4.6H2O, CuSO4.5H2O
dan CaCl).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi autoclave, pH-meter,
oven, lemari es, inkubator, neraca analitik, hemasitometer, spektrofotometer,
freezer, alat destilasi, termometer, saringan, sarung tangan, tanur, kompor listrik,
alat pengaduk, pemanas, plastik, piknometer, loop inokulasi, dan alat-alat gelas
lainnya seperti labu erlenmeyer, tabung reaksi, pipet, bunsen, cawan petri, gelas
piala, tabung Kjeldahl, tabung Soxhlet, buret, dan lain-lain.
Prosedur Kerja
Penelitian modifikasi fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menjadi
bioetanol menggunakan Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX dan Pachysolen
tannophilus IPBCC AC IX dilaksanakan dalam dua tahap. Diagram penelitian
dapat dilihat pada Gambar 3.
Tahap pertama merupakan tahap pendahuluan yang meliputi pengecilan
ukuran, pengeringan, karakterisasi E. cottonii dengan parameter yang diuji adalah
kadar karbohidrat (selulosa dan hemiselulosa), protein, serat kasar, abu, dan kadar
air. Tahap pendahuluan yang terakhir adalah hidrolisis E. cottonii menggunakan
asam sulfat sehingga komponen selulosa dan hemiselulosa dari E. cottonii dapat
terhidrolisis menjadi gula-gula penyusunnya (galaktosa) dan kemudian hasil
hidrolisis disaring sehingga diperoleh padatan dan hidrolisat yang mengandung
galaktosa. Tahap kedua merupakan tahap penelitian utama yang dibagi menjadi
dua tahap, yaitu tahap adaptasi dan tahap fermentasi. Pada tahap adaptasi, khamir
diadaptasi pada media yang mengandung galaktosa untuk mengkondisikan khamir
tersebut pada media yang mengandung galaktosa. Tahap kedua adalah fermentasi
hidrolisat asam encer E. cottonii yang mengandung galaktosa menjadi bioetanol
dengan menggunakan dua jenis khamir yang telah teradaptasi (Saccharomyces
cerevisiae IPBCC AL IX dan Pachysolen tannophilus IPBCC AC IX). Untuk
proses fermentasi, pada media hidrolisat asam encer E. cottonii ditambahkan trace
element (Kofli et al., 2006) yaitu MgSO4.7H2O (2.4 g/L), FeSO4.7H2O (0.01 g/L),
ZnSO4.7H2O (0.12 g/L), MnSO4.6H2O (0.024 g/L), CuSO4.5H2O (0.006 g/L) and

12
CaCl (0.12 g/L) serta Vitamin B (1 g/L), Urea (0.5% dari 0Brix), dan NPK (0.06%
dari 0Brix) untuk memacu aktivitas pertumbuhan khamir dalam mengkonsumsi
galaktosa menjadi bioetanol.

Gambar 3 Diagram alir penelitian modifikasi fermentasi hidrolisat asam encer E.
cottonii menjadi bioetanol menggunakan Saccharomyces cerevisiae
dan Pachysolen tannophilus
Tahap Pendahuluan
1. Pengecilan ukuran E. cottonii
Pengecilan ukuran E. cottonii dilakukan dengan menggunakan mesin
pemotong hingga diperoleh E. cottonii dengan ukuran kecil berkisar ± 1 cm.
2. Pengeringan E. cottonii
Pengeringan E. cottonii dilakukan dengan menggunakan sinar matahari
dan oven (suhu ± 500C).
3. Karakterisasi E. cottonii
Karakterisasi E. cottonii meliputi analisis terhadap kadar karbohidrat
(SNI 01-2891-1992), protein (AOAC, 1995), serat kasar (AOAC, 1995), abu
(AOAC, 1995), dan kadar air (AOAC, 1995) (Lampiran 1).
4. Hidrolisis E. cottonii dengan Menggunakan H2SO4
Hidrolisis E. cottonii menggunakan H2SO4 mengacu pada hasil
penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih et al. (2012). E. cottonii yang
menggandung Total Dissolved Solid (TDS) berada pada kisaran 14-17.5 0Brix
dari 10-15% (b/v) konsentrasi padatan dalam bentuk serbuk rumput laut
kering dihidrolisis dengan H2SO4 3% selama dua kali 30 menit pada suhu
1210C, tekanan 1.5 bar menghasilkan gula dengan rendemen 32.8% (b/v)
dengan 19.21% residu padatan. Perlakuan ini merupakan perlakuan terbaik
dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih et al. (2012). Proses

13
hidrolisis E. cottonii dengan menggunakan H2SO4 dapat dilihat pada Gambar
4.

Gambar 4 Proses hidrolisis E. cottonii dengan menggunakan H2SO4
Hidrolisat yang diperoleh kemudian dianalisis kadar gula pereduksi
(Miller, 1959) dan total padatan terlarut menggunakan brixmeter serta
komponen gula sederhana (monosakarida) menggunakan High Performance
Liquid Chromatogtaphy (HPLC) dengan Spesifikasi pengukuran : Fase gerak:
H2SO40.008 N; Kolom: Aminex®HPX-87H; 300 mm x 7.8 mm; Detector:
Reactive Index; Flow rate: 1 ml/min; Volume injeksi: 20 µl; Suhu kolom:
350C; Back Pressure: 1247 psi.
Penelitian Utama
1. Penyiapan Inokulum
Sel khamir yang berasal dari agar miring disegarkan pada media Potato
Galactose Agar (PGA). Khamir yang telah disegarkan kemudian
diinokulasikan pada media YMP Galaktosa untuk penyiapan inokulum yang
akan digunakan pada tahap fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii
menjadi bioethanol (Gambar 5).

Gambar 5 Proses penyiapan inokulum

14
2. Adaptasi Khamir dalam Media Galaktosa
Khamir diadaptasikan dalam media yang mengandung galaktosa baik
melalui cara adaptasi cepat maupun adaptasi lambat. Pada adaptasi cepat,
sebanyak 10% (v/v) atau 1 ml kultur khamir dimasukkan ke dalam media yang
mengandung galaktosa (YMP Galaktosa dan hidrolisat asam encer E. cottonii
dengan perbandingan 1:1) sebanyak 9 ml, yang kemudian diinkubasi selama 3
hari. Kultur kemudian dipanen dan dilakukan perhitungan jumlah total sel
menggunakan hemasitometer, jumlah koloni sel yang tumbuh dengan metode
plating, dan gula pereduksi. Pada waktu yang sama, sebanyak 10% cairan
hasil fermentasi dimasukkan ke dalam media fermentasi baru, kemudian
diinkubasi kembali pada media baru yang mengandung galaktosa, dan
dilakukan pemanenan. Kegiatan ini akan diulang-ulang minimal 9 kali.
Adapun pada adaptasi lambat, sebanyak 10% (v/v) atau 1 ml kultur khamir
dimasukkan ke dalam media yang mengandung galaktosa (100% hidrolisat
asam E. cottonii) sebanyak 9 ml, yang kemudian diinkubasi selama 3 hari.
Kultur kemudian dipanen dan dilakukan perhitungan jumlah total sel
menggunakan hemasitometer, jumlah koloni sel yang tumbuh dengan metode
plating, dan gula pereduksi. Pada waktu yang bersamaan kultur khamir yang
telah diinkubasi selama 3 hari disegarkan ke

Dokumen yang terkait

Iradiasi Sinar Gamma pada Khamir Saccharomyces cerevisiae dan Pachysolen tannophilus untuk Fermentasi Hidrolisat Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii)

0 2 28

Fermentation of phytic acid from lamtoro gung seeds (Leucaena leucocephala) to produce inositol and tannin as pharmaceutical commodity

0 3 8

HYDROLYSIS OF SAGO (METROXYLON SAGO ROTTB.) PITH POWDER BY SULFURIC ACID AND ENZYME AND FERMENTATION OF ITS HYDROLYZATE BY PICHIA STIPITIS CBS 5773, SACCHAROMYCES CEREVISIAE D1/P3GI, AND ZYMOMONAS MOBILIS FNCC 0056 INTO BIOETHANOL.

0 1 8

FERMENTATION OF SUGARCANE (SACCHARUM OFFICINARUM L.) BAGASSE HYDROLYZATE BY PICHIA STIPITIS, SACCHAROMYCES CEREVISIAE, ZYMOMONAS MOBILIS TO ETHANOL.

0 1 4

Hydrolysis Of Sugarcane Bagasse (Saccharum Officinarum L.) By Acid-enzyme Combinations And Further Fermentation Of The Hydrolysate By Pichia Stipitis, Saccharomyces Cerevisiae, And Zymomonas Mobilis.

0 0 11

Enzymatically Liquefaction Sweet Potato (Ipomea batatas L) to Bioethanol Production Using Saccharomyces cerevisiae.

0 0 5

THE INCREASE OF PROTEIN DIGESTIBILITY AND METABOLIZABLE ENERGY OF RICE BRAN BY SACCHAROMYCES CEREVISIAE FERMENTATION.

0 1 27

Comparasion of iles-iles and cassava tubers as a Saccharomyces cerevisiae substrate fermentation for bioethanol production.

0 1 7

Manufacture Of Bioethanol from Sweet Potato (Ipomea batatas) with Saccharomyces cerevisiae Fermentation Process - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 10

Making Of Bioethanol From Durio Seeds With Process Sulfuric Acid Hydrolysis And Fermentation Of Saccharomyces Cerevisiae - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 15