The Dynamic of Population Succession Insect as an Indicator Forensic Activities

DINAMIKA SUKSESI POPULASI SERANGGA SEBAGAI INDIKATOR
DALAM KEGIATAN FORENSIK

SUPRIYONO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dinamika Suksesi
Populasi Serangga Sebagai Indikator Dalam Kegiatan Forensik adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Supriyono
NIM B252110021

RINGKASAN
SUPRIYONO. Dinamika Suksesi Populasi Serangga Sebagai Indikator Dalam
Kegiatan Forensik. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA dan UPIK KESUMAWATI
HADI.
Tahap dekomposisi bangkai menarik serangga yang berbeda untuk datang.
Beberapa jenis serangga menyukai bangkai baru, tetapi ada juga serangga yang
menyukai bangkai yang sudah membusuk. Penelitian ini bertujuan untuk
mengamati dan menganalisis ciri khusus gelombang suksesi serangga dari awal
kematian sampai fase akhir dekomposisi pada bangkai. Dua bangkai kelinci
diletakkan di dalam ruangan dan di luar ruangan. Koleksi dan pengamatan
serangga di lakukan tiga kali sehari yaitu pada pagi, siang dan sore. Serangga
dewasa terbang dikoleksi dengan menggunakan sweeping net sedangkan serangga
pradewasa dengan cara manual menggunakan tangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap dekomposisi bangkai di dalam
ruangan lebih cepat dibandingkan di luar ruangan. Total waktu yang diperlukan

mulai dari tahap awal kematian sampai fase tulang pada bangkai di luar ruangan
adalah 10 hari sedangkan di dalam ruangan selama 8 hari. Di luar ruangan
ditemukan ordo serangga Diptera (Muscidae, Calliphoridae, Sarcophagidae,
Tachinidae), Coleoptera (Chrysomelidae, Staphylinidae, Scarabeidae, Silphidae),
Hymenoptera (Formicidae), Hemiptera, Blataria dan Orthoptera (Grillidae).
Sedangkan di dalam ruangan di temukan ordo Diptera (Muscidae, Calliphoridae,
Sarcophagidae, Tachinidae), Coleoptera (Chrysomelidae, Staphylinidae,
Scarabeidae, Silphidae), Hymenoptera (Formicidae), Hemiptera, Lepidoptera, and
Aranea. Serangga pradewasa yang ditemukan di luar ruangan dan di dalam
ruangan terdiri atas 3 famili yaitu Calliphoridae, Muscidae, dan Sarcophagidae.
Keberadaan larva diptera pada bangkai ditemukan dari tahap awal kematian
sampai dengan pasca pembusukan. Serangga tanah yang datang ke bangkai di luar
ruangan terdiri atas Protura, Collembola, Thysanura dan tungau tanah.
Keberadaan serangga tanah di mulai sejak awal kematian sampai pada akhir
dekomposisi.
Kata kunci : Bangkai, Pembusukan, Entomologi forensik, Serangga

SUMMARY
SUPRIYONO.The Dynamic of Population Succession Insect as an Indicator
Forensic Activities. Supervised by SUSI SOVIANA and UPIK KESUMAWATI

HADI.
The decomposition stage of carrion will attract various species of insects to
come. Some species of insect will attract the carrion in the early stage of
decomposition, but some of them in the late stage of death. The purpose of this
research were to observe and analyze the distinctive features of insect succession
on carrion. Two carrions were placed in indoor and outdoor. Insect collection and
observation was done three times a day i.e, morning, afternoon and evening. Adult
flying insects were collected by sweeping net, whereareas the immature insect
manualy.
The result showed that decomposition of the carrion indoor were faster
than the corrion outdoor. Total time an early stage until skeletonization stage on
carrion outdoors was 10 days and indoors for eight days. In outdoor there were
found orders of Diptera
(i.e Muscidae, Calliphoridae, Sarcophagidae,
Tachinidae), Coleoptera (Chrysomelidae, Staphylinidae, Scarabeidae, Silphidae),
Hymenoptera (Formicidae), Hemiptera, Blataria and Orthoptera (Grillidae).
However, in indoors there were found the order of Diptera (Muscidae,
Calliphoridae,
Sarcophagidae, Tachinidae), Coleoptera (Chrysomelidae,
Staphylinidae, Scarabeidae, Silphidae), Hymenoptera (Formicidae), Hemiptera,

Lepidoptera, and Aranea. Immature insects that are found outdoors and indoors
consist of three family of Diptera i.e Calliphoridae, Muscidae, and Sarcophagidae.
The presence of Diptera larvae in carcasses have been found from the early stage
of the death until post decay stage. The soil insects that come to the carrion
outdoors consist of Protura, Collembola, Thysanura and oribatid mites. The
presence of soil insects from early stage until skeletonization stage.
Key Words : Carrion, Decay, Forensic Entomology, Insect,

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DINAMIKA SUKSESI POPULASI SERANGGA SEBAGAI
INDIKATOR DALAM KEGIATAN FORENSIK


SUPRIYONO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi : Dr.drh. Srihadi Agung Priyono, PhD, PA Vet (K). MS

Judul Tesis : Dinamika Suksesi Populasi Serangga Sebagai Indikator Dalam
Kegiatan Forensik
:
Supriyono

Nama
: B25211 0021
NIM

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr drh. Upik Keswnawati Hadi, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Parasitologi dan Entomologi
Kesehatan

Dr drh. Upik Kesumawati Hadi, MS

Tanggal Ujian: 26 Juli 2013


Tanggal Lulus:

1 a OCT 2013

Judul Tesis : Dinamika Suksesi Populasi Serangga Sebagai Indikator Dalam
Kegiatan Forensik
Nama
: Supriyono
NIM
: B252110021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr drh. Susi Soviana, MS.i
Ketua

Dr drh. Upik Kesumawati Hadi, MS
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Parasitologi dan Entomologi
Kesehatan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr drh. Upik Kesumawati Hadi, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian: 26 Juli 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah

Forensik Entomologi, dengan judul Dinamika Suksesi Populasi Serangga Sebagai
Indikator Dalam Kegiatan Forensik.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr drh. Susi Soviana, MS.i dan
Ibu Dr drh. Upik Kesumawati Hadi, MS selaku pembimbing. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Dr.drh. Srihadi Agung Priyono, PhD, PA Vet
(K). MS selaku pembimbing luar komisi pada ujian tesis. Di samping itu penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada bapak Prof. Singgih H Sigit, Dr.drh. Dwi
Jayanti Gunandini, dan seluruh staf pengajar program studi Parasitologi dan
Entomologi Kesehatan (PEK) atas ilmu, bimbingan, dan nasehatnya. Ucapan
terima kasih untuk teman-teman PEK angkatan 2011-2013 atas persahabatan,
keceriaan dan semangatnya selama ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada istri, ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013
Supriyono

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


v

DAFTAR GAMBAR

v

DAFTAR LAMPIRAN

v

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

1


Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

1

2 TINJAUAN PUSTAKA

2

3 METODE
Waktu dan Tempat

5

Hewan Percobaan

5

Koleksi dan Pengamatan Serangga

5

Presevasi Serangga

5

Identifikasi Serangga

6

Pengukuran Suhu, pH dan NH3 Bangkai

6

Analisis Data

6

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahap Dekomposisi Bangkai

6

Jenis Serangga Dewasa yang Datang pada Bangkai

9

Jenis Serangga Pradewasa yang Ditemukan pada Bangkai

11

Keberadaan Serangga Tanah pada Bangkai di Luar Ruangan

12

Suhu, Amonia (NH3), dan Derajat Keasaman (pH) Bangkai

13

Suhu dan Kelembaban Lingkungan

14

5 SIMPULAN DAN SARAN

15

6 DAFTAR PUSTAKA

16

LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

DAFTAR TABEL
1 Tahap dekomposisi bangkai yang diletakkan di luar ruangan

7

2 Tahap dekomposisi pada bangkai yang diletakkan di dalam ruangan

8

3 Serangga dewasa yang ditemukan pada bangkai

9

4 Persentase serangga pradewasa yang ditemukan pada bangkai

10

5 Persentase serangga tanah yang ditemukan pada bangkai di luar ruangan

11

DAFTAR GAMBAR
1 Kemunculan dan jumlah serangga dewasa pada bangkai

9

2 Keberadaan serangga pradewasa pada bangkai

11

3 Keberadaan serangga tanah pada bangkai di luar ruangan

12

4 Suhu bangkai di dalam dan di luar ruangan

13

5 Nilai derajat keasaman (pH) dan ammonia (NH3) pada bangkai
di dalam dan di luar ruangan

15

DAFTAR LAMPIRAN
1 Tahap dekomposisi bangkai di luar ruangan

18

2 Tahap dekomposisi bangkai di luar ruangan

19

3 Jenis lalat yang ditemukan pada bangkai

21

4 Jenis semut yang ditemukan pada bangkai

23

5 Jenis kumbang dan lipas yang ditemukan pada bangkai

25

1 PENDAHULUAN
Serangga merupakan makhluk hidup yang memiliki jumlah spesies yang
beragam serta kemampuan bertahan hidup yang tinggi. Peran serangga di alam
yaitu sebagai penghasil sumber makanan, pengurai, predator dan penjaga
keseimbangan ekologi. Serangga yang tertarik kepada bangkai juga bermanfaat
dalam membantu pengungkapan kasus kematian karena dapat menjadi indikator
dalam penentuan waktu kematian (Benecke 2004). Pemanfaatan serangga sebagai
indikator forensik dalam upaya menentukan saat kematian dilaporkan oleh
Leccese (2004) di Parma, Italia. Klotzbach et al. (2004) juga melaporkan bahwa
larva lalat famili Calliphoridae dapat digunakan sebagai bahan dalam
mempelajari entomologi forensik di Jerman.
Adanya kasus kematian (bangkai) sangat mendukung terbentuknya sebuah
ekosistem baru. Selama proses dekomposisi terjadi perubahan fisik, biologi dan
kimia yang sangat cepat yang akan menarik berbagai spesies serangga untuk
datang. Beberapa jenis serangga menyukai bangkai baru, tetapi ada juga serangga
yang menyukai bangkai yang sudah membusuk.
Dinamika suksesi populasi dari berbagai spesies serangga berbeda secara
ekologi pada tubuh bangkai. Serangga tersebut akan saling berinteraksi baik
bersifat netral, kompetisi, maupun predasi dalam proses dekomposisi
bangkai. Serangga akan melakukan reaksi enzimatis pada bangkai dan apabila
sudah selesai, maka gelombang serangga yang berikutnya akan datang, untuk
melakukan reaksi enzimatis yang lain, begitu seterusnya. Serangga yang datang
pada bangkai mempunyai urutan sesuai dengan tahap dekomposisi. Tuzun et al,
(2010) menemukan lima ordo serangga yaitu Diptera, Coleoptera, Dermaptera,
Blattaria dan Hymenoptera pada studi awal forensik di negara Iran dan Wolff et
al, (2001) di Colombia menemukan suksesi dua ordo serangga yaitu ordo Diptera
dan Coleoptera pada mayat.
Di Indonesia, pemanfaatan serangga sebagai indikator penentuan kematian
belum banyak dilakukan. Sejauh ini hanya Yudi (2011) yang melaporkan tentang
peran daur hidup lalat hijau (Chrysomyia megacephala) dalam estimasi kematian.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengamati dan menganalisis ciri khusus
gelombang suksesi serangga dari awal kematian sampai fase akhir dekomposisi
pada bangkai.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Dekomposisi Bangkai
Pada saat kematian jantung berhenti memompa darah ke dalam sirkulasi
tubuh, maka sel dan jaringan tubuh akan mengalami kekurangan oksigen dan
mengakibatkan kematian sel. Proses kematian sel berlangsung dengan kecepatan
berbeda-beda. Proses kerusakan jaringan mengakibatkan terjadinya pembusukan.

2
Pembusukan merupakan proses degradasi jaringan akibat autolisis dan
kerja bakteri pembusuk terutama Clostridium welchii. Bakteri yang lain seperti
Streptococcus, Staphylococcus, B. proteus, jamur dan enzim-enzim seluler juga
memberikan kontribusi sebagai
penghancur jaringan pada fase akhir
pembusukan. Bakteri ini kemudian masuk kedalam pembuluh darah dan
berkembang biak sehingga menyebabkan hemolisa dan mewarnai dinding
pembuluh darah serta jaringan sekitarnya. Bakteri ini menghasilkan asam lemak
dan gas pembusukan berupa H2S, HCN dan NH4. Gas H2S akan bereaksi dengan
hemoglobin (Hb) menghasilkan HbS yang berwarna hijau kehitaman. Gas-gas
pembusukan akan mengisi pembuluh darah yang menyebabkan pelebaran
pembuluh darah superfisial tanpa merusak dinding pembuluh darahnya sehingga
pembuluh darah beserta cabang-cabangnya tampak lebih jelas (marbling). Proses
pembusukan terjadi setelah kematian seluler dan terlihat setelah 24 jam kematian.
Tanda yang terlihat adalah warna kehijauan (HbS) pada abdomen bagian bawah
yaitu di awali dengan organ pencernaan sekum kemudian menyebar ke seluruh
abdomen dan torak dengan disertai bau busuk (Statheropoulus 2005).
Peristiwa dekomposisi dipengaruhi oleh berbagai aspek selain faktor
biotik juga faktor abiotik yang meliputi parameter fisik seperti temperatur,
kelembaban, dan hujan. Proses dekomposisi akan timbul lebih cepat pada suhu
lingkungan yang optimal (26.5 0C-37 0C), kelembaban dan udara yang cukup,
adanya bakteri pembusuk, ukuran tubuh, serta adanya luka pada tubuh yang
merupakan port d’entrée kuman dari luar. Proses dekomposisi bangkai yang
terpapar udara akan lebih cepat dibandingkan dengan yang terdapat dalam air
maupun di dalam tanah. Menurut Gennard (2007) tahapan dekomposisi terdiri
atas lima tahap yaitu fresh stage, bloated stage, decay stage, postdecay stage dan
skeletal stage. Tahapan fresh stage dimulai pada saat kematian dan ditandai
adanya tanda penggembungan tubuh.
Tahap penggembungan (bloated stage) merupakan tahap awal terjadinya
pembusukan. Gas yang dihasilkan oleh aktivitas metabolisme bakteri anaerob
menyebabkan penggembungan abdomen. Naiknya suhu internal selama tahapan
ini merupakan akibat dari aktivitas bakteri pembusuk. Selama tahap
penggembungan cairan dalam tubuh terdorong keluar dari lubang-lubang tubuh
dan meresap ke dalam tanah. Cairan tersebut berupa senyawa amonia yang
dihasilkan oleh aktivitas metabolisme larva lalat sehingga akan menyebabkan
tanah di bawah bangkai menjadi bersifat alkali (basa) dan yang menarik fauna
tanah untuk mendatangi ke bangkai (Amendt 2010).
Tahap pembusukan (decay stage) ditandai adanya kerusakan kulit
sehingga mengakibatkan gas keluar dari tubuh. Pada saat bersamaan larva lalat
membentuk koloni yang besar pada mayat. Pada akhir tahap ini, larva lalat dari
famili Calliphoridae dan Sarcophagidae telah menyelesaikan perkembangan
siklusnya dan meninggalkan mayat untuk menjadi pupa. Tahap pasca pembusukan
ditandai dengan adanya sisa-sisa tubuh seperti kulit, kartilago dan usus sudah
mengalami pembusukan. Selanjutnya sisa jaringan tubuh yang masih ada akan
mengering. Indikator pada tahap ini adalah hadirnya kumbang dan berkurangnya
dominasi lalat pada tubuh bangkai. Tahap terakhir pada dekomposisi adalah fase
tulang (skeletal stage), yang ditandai dengan sisa tulang, kulit dan rambut.

3
Jenis Serangga yang Datang pada Bangkai
Proses dekomposisi bangkai mampu menarik berbagai jenis serangga
untuk datang. Serangga tersebut mempunyai berbagai peranan dan tujuan
diantaranya mencari makan, sebagai predator, dekomposer, dan meletakkan telur.
Kelompok serangga nekrophagus yang sering datang ke bangkai adalah Diptera
dan Coleoptera (Turchetto dan Vanin 2004) . Lalat biasanya merupakan serangga
yang datang pertama kali dan menggunakan bangkai segar sebagai sumber pakan
atau media bertelur.
Pada umumnya bangkai mengeluarkan bau busuk terutama ketika
terpapar udara, maka lalat, semut dan kumbang sebagai makhluk yang tertarik
dengan bau busuk akan mendekat dan kemudian meletakkan telurnya pada bagian
tubuh bangkai. Serangga yang datang pada tahap awal kematian adalah lalat dari
famili Calliphoridae dan Sarcophagidae. Lalat betina akan meletakkan telurnya di
daerah yang terbuka di daerah kepala seperti mata, hidung, mulut, dan telinga.
Serangga famili Phiophillidae atau Cheese skipper hanya tertarik pada saat terjadi
dekomposisi protein.
Lalat dari famili Calliphoridae juga tertarik pada mayat selama tahap
penggembungan. Beberapa serangga predator, seperti kumbang, tawon, semut,
serangga nekrophagus dan predator dapat diamati dalam jumlah besar menjelang
akhir tahap ini. Pada tahap ini mayat mengalami penggembungan akibat adanya
gas, cairan dalam tubuh terdorong keluar dari lubang-lubang tubuh dan meresap
ke dalam tanah. Pada tahap pasca pembusukan, kumbang dari famili Nitidulidae
terkadang ditemukan (Gennard 2007) sedangkan Carvalho et al. (2004)
menemukan serangga dari famili Formicidae pada tahap akhir dekomposisi.
Lalat dari Muscidae biasanya datang mulai dari tahap awal kematian. Lalat
ini mempunyai ciri berukuran tubuh- 5,5-9 mm, toraks abu-abu dan ditutupi
dengan rambut. Lalat dari famili Caliphoridae memiliki ukuran 9,5-12 mm,
berwarna hijau metalik (Spradbery 2010). Lalat ini biasanya yang pertama
mendatangi bangkai karena mencium bau yang dikeluarkan. Lalat dari famili
Sarcophagidae (fleshflies) dapat berkembang biak pada bangkai dan bersifat
larvipara yaitu langsung mengeluarkan larva.
Coleoptera (kumbang) merupakan jenis serangga yang mendatangi
bangkai pada tahap dekomposisi akhir. Selain makan pada bangkai secara
langsung, larva beberapa spesies kumbang mengkonsumsi larva serangga lain.
Kumbang pengembara (Silphidae) kadang memakan larva lalat pada bangkai yang
membusuk. Serangga adventive species seperti Colembola, dan spiders juga
memanfaatkan bangkai sebagai sumber makanan. Di akhir dekomposisi Tuzun et
al. (2010) menemukan kumbang Dermestes maculates dan Necrophorus sp. Pada
penelitian tersebut juga ditemukan serangga dari famili Blattidae yaitu Blatta
orientalis, serangga dari ordo Hymenoptera yaitu dari famili Vespidae,
Formicidae dan serangga dari ordo Dermaptera yaitu famili Forticulidae.
Jenis serangga yang dilaporkan oleh Carvalho et al. (2004) pada bangkai
babi adalah lima famili Diptera yaitu Calliphoridae, Muscidae, Sarcophagidae,
Phoridae, dan Piophilidae. Famili Calliphoridae dan Sarcophagidae tertarik
beberapa saat setelah karkas diletakkan. Famili Sarcophagidae dan Phoridae
datang pada karkas pada hari ke empat dan lima sedangkan famili Piophilidae

4
tertarik mendatangi ke karkas pada hari ke sebelas. Campobasso et al. (2004) juga
menemukan serangga famili Phoridae pada bangkai.
Tuzun et al. (2010) menemukan berbagai jenis serangga diptera yaitu dari
famili Physicodidae, Calliphoridae, Muscidae, Fannidae, dan Sarcophagidae.
Serangga famili Physicodidae adalah Pshychoda sp, sedangkan yang termasuk
famili Calliphoridae adalah Calliphora vicina, Calliphora vomitoria, Lucilia
sericata dan Chrysomyia albiceps. Famili Musidae yang ditemukan adalah Musca
domestica dan Muscina stabulans. Fannia canicularis merupakan serangga dari
famili Fannidae dan famili Sarcophagidae yang ditemukan adalah Sarcophaga
haemorrhoidalis, Sarcophaga sp, dan Wohlfartia magnifica.
Setiap jenis serangga yang mendatangi dan berkembang biak pada
bangkai, menggambarkan tahapan waktu dari awal kematian sampai akhir
dekomposisi. Aktivitas serangga pada bangkai meninggalkan jejak seperti
cangkang kepompong dan kulit luar lainnya. Pola khas ini jika dikaitkan dengan
fase perkembangan serangga yang juga khas pada bangkai, akan mampu
menunjukkan saat kematian. Penggunaan umur dan perkembangan larva dalam
tubuh mayat dapat diketahui dengan melakukan koleksi. Keberadaan telur, larva,
pupa, dan serangga dewasa pada bangkai menjadi indikator dalam penentuan
waktu kematian. Penggunaan serangga sebagai objek dalam menentukan saat
kematian dikenal dengan entomologi forensik yang pertama kali dikenal di Cina
pada abad ke 13. Tuzun et al. (2010) menemukan lima Ordo yaitu Diptera,
Coleoptera, Dermaptera, Blattaria dan Hymenoptera pada studi awal forensik di
negara Iran menggunakan kombinasi organ pencernaan dan jaringan vertebrata
(ikan, ayam, sapi, domba). Berikutnya Wolff et al. (2001) di Colombia
menemukan suksesi dua ordo serangga yaitu Diptera dan Coleoptera pada mayat.

5

3 METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan dari bulan Februari sampai dengan April 2013 di kampus
IPB Darmaga. Tahap preservasi dan identifikasi serangga dilakukan di
Laboratorium Entomologi Kesehatan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor.
Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan adalah kelinci (Orictolagus cuniculus)
yang berasal dari Unit Pengelolaan Hewan Laboratorium (UPHL) Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Sebanyak 4 ekor kelinci
dimatikan dengan disembelih pada bagian leher. Dua bangkai diletakkan di
dalam ruangan dan di luar ruangan. Ruangan yang digunakan berupa kamar
berukuran 2 m x 4 m x 2 m, beralas lantai dan berventilasi sedangkan di luar
ruangan menggunakan tanah terbuka dan terdapat beberapa vegetasi. Masingmasing bangkai di luar ruangan ditutup dengan sungkup kawat berukuran 60
cm x 60 cm x 60 cm untuk menghindari gangguan dari hewan karnivora.
Lubang kawat (mesh) berukuran 1x1 cm2 sehingga memungkinkan serangga
untuk dapat masuk. Bangkai tersebut dibiarkan sampai tersisa rambut, kulit
dan tulang.
Koleksi dan Pengamatan Serangga
Koleksi dan pengamatan serangga dilakukan 3 kali sehari yaitu pada pagi,
siang dan sore hari. Serangga dewasa yang terbang dikoleksi dengan
menggunakan sweeping net sedangkan serangga pradewasa (telur, larva, pupa,
nimfa) dan serangga tidak terbang dengan cara manual menggunakan tangan.
Serangga tanah berukuran kecil (tungau, Colembola, Protura) dikoleksi
dengan menggunakan Corong Berlese tiga hari sekali.
Presevasi Serangga
Serangga dewasa hasil koleksi kemudian diproses sebagai spesimen kering
menggunakan jarum dan disimpan ke dalam kotak spesimen. Serangga
pradewasa dan serangga tanah berukuran kecil (tungau, Colembola, Protura)
disimpan di dalam botol yang berisi alkohol 70% dan diberi label (Hadi et al.
2011).

6
Identifikasi Serangga
Identifikasi serangga dilakukan dengan menggunakan kunci identifikasi
Amendt et al. (2010), Spradbery (2002), Holldobler dan Wilson (1990) serta
dengan mencocokkan spesimen yang sudah ada di Laboratorium Entomologi
Kesehatan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Pengukuran Suhu, pH dan NH3 Bangkai
Pengukuran suhu, derajat keasaman (pH) dan amonia (NH3) digunakan untuk
mengetahui terjadinya proses pembusukan. Suhu bangkai diukur
menggunakan termometer infrared sedangkan pH dan NH3 bangkai diukur
menggunakan pH meter dan amoniameter. Pengukuran suhu, derajat keasaman
(pH) dan amonia (NH3) dilakukan setiap hari pada pagi, siang, dan sore.
Analisis Data
Data karakteristik suhu, kelembaban, pH dan NH3 bangkai, serta pH tanah
dilakukan uji analisis regresi linear. Adapun data jumlah dan jenis serangga
dideskripsikan dan ditampilkan dalam bentuk tabel serta grafik.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahap Dekomposisi Bangkai
Tahap awal kematian (fresh stage) bangkai kelinci yang diletakkan di
luar ruangan terjadi pada hari 1-2 setelah kematian. Bangkai mengalami rigor
mortis, penggembungan tahap awal, dan timbul bau. Tahap penggembungan
(bloated stage) di mulai pada hari 2-3 hari setelah kematian yang di tandai
dengan penggembungan tubuh, keluarnya cairan tubuh, rambut rontok, dan
mulai timbul bau. Tahap pembusukan (decay stage) terjadi pada hari ke 3-5
setelah kematian yang ditandai dengan pecahnya tubuh, keluarnya cairan, gas,
organ pencernaan (visceral) dan bau yang menyengat. Tahap pasca
pembusukan (post decay stage) yang ditandai dengan mengeringnya kulit dan
sisa jaringan tubuh terjadi pada hari ke 6-9 setelah kematian. Pada hari ke 1030 setelah kematian merupakan tahap tulang (skeletal stage) yang ditandai
dengan sisa tulang, kulit dan rambut (Tabel 1).

7

Tabel 1 Tahap dekomposisi bangkai yang diletakkan di luar ruangan
Tahap dekomposisi
Awal
kematian

Penggembungan

1-2 hari

2-3 hari

Rigor mortis
Awal
penggembungan

Penggembungan

Bau

Timbul bau

Kaku

Rambut rontok

Keluar cairan

Pembusukan

Pasca pembusukan

Fase
tulang

3-5 hari

6-9 hari

Tubuh pecah/rusak
Keluar cairan, bau
menyengat

Tubuh kering
kulit, rambut ,jaringan,
tulang

10-30 hari
Sisa kulit,
rambut,
tulang

Keluar gas
Keluar
organ
visceral
Larva menyebar

Tahap awal kematian bangkai yang diletakkan di dalam ruangan terjadi
pada 1-2 hari setelah kematian yang ditandai dengan rigor mortis, kebiruan, dan
mulai terjadi penggembungan tubuh. Tahap penggembungan terjadi pada hari ke
2-3 setelah kematian yang ditandai adanya penggembungan seluruh tubuh, mulai
timbul bau, rambut rontok, dan keluar cairan. Tahap pembusukan terjadi pada 3-4
hari setelah kematian yang ditandai dengan rusaknya tubuh, keluar cairan, bau
menyengat, larva yang terdapat dalam bangkai mulai menyebar dan kerontokan
seluruh rambut. Tahap pasca pembusukan terjadi pada hari ke 5-7 setelah
kematian yang ditandai dengan bangkai mulai mengering sedangkan fase tulang
terjadi hari ke 8 ditandai adanya sisa rambut, kulit dan tulang (Tabel 2).
Tabel 2 Tahap dekomposisi pada bangkai yang diletakkan di dalam ruangan
Tahap Dekomposisi
Pembusukan

Pasca
pembusukan

Awal kematian

Penggembungan

1-2 hari

2-3 hari

3-4 hari

5-7 hari

Rigor mortis
Awal
penggembungan

Penggembungan

Tubuh pecah/rusak

Tubuh kering

Keluar cairan

Keluar cairan

Sisa kulit, rambut

Kebiruan

Bau
Rambut
rontok

Larva menyebar

tulang

Seluruh rambut rontok
Sisa kulit

Mengeras

Fase tulang

8-30 hari
Sisa kulit rambut
tulang

mulai

Dekomposisi merupakan proses degradasi jaringan yang terjadi akibat
proses autolisis dan aktivitas bakteri. Autolisis merupakan proses kematian sel
sehingga mengakibatkan rusaknya jaringan. Sesaat setelah kematian sistem
sirkulasi tubuh berhenti dan darah akan mengalir ke bagian tubuh bawah akibat
adanya gaya gravitasi sehingga mengakibatkan terjadinya lebam pada bagian
bawah bangkai. Rigor mortis merupakan kekakuan bangkai akibat adanya

8
perubahan ATP menjadi ADP dan asam laktat yang dihasilkan akibat penurunan
pH seluler dan aktivitas aktin-myosin otot (Amendt et al. 2010).
Tahap penggembungan timbul akibat gabungan proses putrefaksi
(penggembungan akibat gas) dan aktivitas larva pada bangkai sehingga suhu
bangkai meningkat. Aktivitas bakteri anaerobik pada saluran pencernaan
mengakibatkan timbulnya gas sehingga tubuh akan menggembung. Menurut
Statheropoulus et al. (2005) gas yang dihasilkan dari proses dekomposisi adalah
CO2, H2S, CH4, NH3, dan SO2. Gas H2S akan bereaksi dengan hemoglobin
membentuk sulfhemoglobin yang menghasilkan warna kebiruan. Pada tahap
pembusukan gas ini akan keluar sehingga menimbulkan bau. Tahap selanjutnya
bangkai akan pecah dan kemudian mengempes.
Kecepatan dekomposisi bangkai yang diletakkan di dalam ruangan lebih
cepat di bandingkan terhadap bangkai di luar ruangan. Proses kecepatan
dekomposisi di dalam ruangan sangat di pengaruhi oleh kondisi lingkungan yaitu
suhu dan kelembaban lingkungan aktivitas larva Diptera yang memakan jaringan
tanpa terganggu oleh faktor-faktor di luar (hujan, sinar matahari, angin). Aktivitas
larva Diptera pada bangkai yang diletakkan di luar ruangan sangat di pengaruhi
oleh hujan, suhu, kelembaban, dan pH tanah.
Jenis Serangga Dewasa yang Datang pada Bangkai
Berdasarkan hasil koleksi menggunakan tangguk serangga didapatkan
sebanyak 601 serangga dewasa pada bangkai di luar ruangan. Serangga tersebut
terdiri atas 6 ordo yaitu Diptera (Muscidae, Calliphoridae, Sarcophagidae,
Tachinidae), Coleoptera (Chrysomelidae, Staphylinidae, Scarabeidae, Silphidae),
Hymenoptera (Formicidae), Hemiptera, Blataria dan Orthoptera (Grillidae). Jenis
serangga yang ditemukan pada bangkai di luar ruangan lebih bervariasi. Pada
bangkai kelinci yang diletakkan di dalam ruangan di dapatkan sebanyak 426
serangga dewasa. Jenis serangga yang di dapatkan terdiri atas ordo Diptera
(Muscidae, Calliphoridae, Sarcophagidae, Tachinidae), Coleoptera (Chrysomelidae,
Staphylinidae, Scarabeidae, Silphidae), Hymenoptera (Formicidae), Hemiptera,
Lepidoptera, dan Aranea (Tabel 3).
Setiap tahap dekomposisi bangkai menarik serangga yang berbeda untuk
datang. Keberadaan serangga dewasa pada tahap awal kematian sampai tahap
pembusukan di dominansi oleh serangga lalat Diptera (Calliphoridae, Muscidae,
Tachinidae, Sarcophagidae ) dan Formicidae (semut) (Gambar 1). Bangkai
merupakan sumber makanan bagi serangga dan mikroorganisme lain. Beberapa
serangga datang untuk makan, meletakkan telur atau memakan kumpulan serangga
yang terdapat pada bangkai.
Lalat Diptera pada umumnya datang ke bangkai untuk meletakkan telur dan
mengisap cairan. Lalat Diptera menggunakan organ sensorisnya untuk menemukan
makanan. Antena merupakan organ sensoris yang yang terdiri dari banyak sinsilia
dan berfungsi untuk mendeteksi sumber makanan. Adanya darah, degradasi
jaringan, dan gas pembusukan menarik serangga ini untuk bertelur. Lalat akan
meletakkan telurnya pada bagian tubuh bangkai yang terbuka seperti mata, mulut,
hidung, telinga dan luka. Telur lalat memerlukan kelembaban untuk dapat
berkembang dan menetas sehingga telur tidak akan diletakkan pada bangkai yang

9
kering (mumifikasi). Bau akibat gas yang ditimbulkan pada tahap penggembungan
dan pembusukan sangat menarik serangga untuk datang terutama lalat dari famili
Calliphoridae. Selain bau, warna, amonia, gas pembusukan, juga serangga yang
datang ke bangkai merupakan hal yang menarik bagi serangga (Amendt et al. 2004;
Hall 1995; Wall dan Fisher 2001).
Serangga Calliphoridae lebih mendominasi bangkai yang diletakkan di
dalam ruangan dari pada bangkai di luar ruangan. Namun demikian jenis serangga
Calliphoridae yang ditemukan di luar ruangan lebih bervariasi dari pada di dalam
ruangan. Lalat dari famili Calliphoridae yang didapatkan di luar ruangan terdiri atas
Chrysomyia bezziana, Chrysomyia megacephala, Lucilia spp, Chrysomyia
rufifacies dan Chrysomya saffranea sedangkan di dalam ruangan tidak didapatkan
lalat C. bezziana. Lalat C. bezziana merupakan lalat penyebab miasis obligat, lalat
ini menyukai luka pada jaringan yang masih hidup atau baru, sehingga ketika
bangkai terletak di dalam ruangan akan menghambat kedatangan lalat ini pada awal
tahap kematian. Spradbery (2002) menyatakan bahwa lalat C. bezziana merupakan
penyebab miasis obligat di daerah tropis.
Tahap pasca pembusukan dan fase tulang didominansi oleh serangga dari
ordo Coleoptera (Silphidae, Chrysomelidae, Scarabaeidae, Staphylinidae) dan
Formicidae. Semut (Formicidae) mendatangi ke bangkai sejak awal kematian
sampai pada fase tulang. Jenis semut yang ditemukan di luar ruangan lebih
bervariasi dari pada di dalam ruangan. Jenis semut yang di temukan di luar
ruangan yaitu Apomyrma sp, Acromyrmex sp, Odontoponera tranversa,
Anoplolepis gracilipes, Pheidole spp, Monomorium sp, Dolichoderus sp,
Polyrachis sp, dan Diacamma sp. Sedangkan jenis semut yang ditemukan di
dalam ruangan terdiri atas Apomyrma sp, Acromyrmex sp, Odontoponera
tranversa, Anoplolepis gracilipes dan Paratrecina longicornis.
Tabel 3 Persentase serangga dewasa yang muncul pada bangkai hingga akhir
dekomposisi
Persentase Serangga Dewasa
Bangkai di luar
Bangkai di dalam
Ordo
Jenis Serangga
ruangan
ruangan
Diptera

Coleoptera

Hymenoptera
Hemiptera
Blataria
Araneae
Lepidoptera
Orthoptera

Calliphoridae
Muscidae
Tachinidae
Sarcophagidae
Silphidae
Staphylinidae
Chrysomelidae
Scarabaeidae
Formicidae
Blattelidae
Grilidae

20.13
5.99
3.49
0.33
3.33
1.83
1.16
1.00
57.74
3.83
0.83
0
0
0.33

61.97
4.69
3.76
0.47
3.05
0.47
1.17
0.00
22.77
0.47
0.00
0.23
0.94
0.00

10

A

B
Gambar 1 Kemunculan dan jumlah serangga dewasa pada bangkai sesuai hari
pengamatan, A (di luar ruangan), B (di dalam ruangan)
Semut ini mempunyai peran yang berbeda-beda yaitu sebagai predator, pemakan
bangkai, cairan, dan pemakan segala (omnivora). Wolff et al. (2001) menemukan
semut sejak awal kematian sampai fase dekomposisi akhir.
Serangga dari ordo Coleoptera mendatangi bangkai sejak tahap pasca
pembusukan. Serangga ini berperan sebagai predator, omnivora, dan dekomposer.
Coleoptera dapat memperbaiki kesuburan, aerasi tanah dan meningkatkan laju
siklus nutrisi (dekomposer). Serangga ordo Coleoptera mengandalkan antenna
sebagai organ sensoris dalam menemukan makanan. Famili Scarabaeidae di
temukan dalam persentase yang kecil (1%) di luar ruangan sedangkan di dalam
ruangan tidak ditemukan. Famili Staphylinidae dan Silphidae merupakan serangga
yang berperan sebagai predator. Serangga ini memangsa serangga lain yang
ukurannya relatif lebih kecil (Borror et al 1989).
Ordo Lepidoptera dan Aranea ditemukan pada bangkai di dalam ruangan
tetapi tidak ditemukan di luar ruangan. Lepidoptera (ngengat) merupakan
serangga yang aktif pada malam hari dan tertarik cahaya sehingga serangga ini
tidak sengaja masuk di dalam ruangan tempat penelitian. Serangga ordo Aranaea
(laba-laba) merupakan serangga yang berperan sebagai predator yang ukurannya
lebih kecil. Serangga ini biasanya menunggu mangsa di dekatnya dan
bersembunyi di celah tembok, celah bebatuan, atau lubang di tanah yang tertutup
Beberapa serangga dari ordo Diptera (Calliphoridae, Muscidae), Lepidoptera, dan
Coleoptera juga di temukan oleh Arnaldos et al. (2004) pada penyelidikan mayat
di Peninsula.

11
Jenis Serangga Pradewasa yang Ditemukan pada Bangkai
Hasil koleksi serangga pradewasa pada bangkai di luar ruangan didapatkan
sebanyak 487 serangga. Jenis serangga pradewasa yang berhasil dikoleksi adalah
lalat Diptera tahap larva dan pupa yang terdiri atas 3 famili yaitu Calliphoridae,
Muscidae, dan Sarcophagidae. Serangga pradewasa yang termasuk famili
Calliphoridae adalah C.saffranea, Lucilia spp, C. bezziana , C.megacephala, dan
C.rufifacies. Serangga pradewasa dari famili Muscidae hanya terdiri atas Musca
domestica sedangkan famili Sarcophagidae yaitu Sarcophaga sp.
Tabel 4 Persentase serangga pradewasa yang ditemukan pada bangkai
Persentase serangga pradewasa (%)
Bangkai di luar
Bangkai di dalam
ruangan
ruangan
Jenis serangga pradewasa
19.51
15.74
Larva L1 Calliphoridae
13.35
7.26
Larva L1 Muscidae
18.28
24.94
Larva C.rufifacies
8.01
0.00
Larva C.megacephala
2.67
0.00
Larva C. bezziana
2.26
4.60
Larva Musca domestica
1.03
0.00
Larva Lucilia spp
0.82
0.00
larva C.saffranea
0.21
0.73
Larva Sarcophagidae
30.39
43.34
Pupa Calliphoridae
3.49
3.39
Pupa Musca domestica
Pada bangkai yang diletakkan di dalam ruangan didapatkan sebanyak 413
lalat Diptera tahap larva dan pupa yang terdiri atas 3 famili yaitu Calliphoridae,
Muscidae, dan Sarcophagidae. Larva Calliphoridae yaitu Lucilia spp, C. bezziana,
C.megacephala, dan C. saffranea tidak ditemukan pada bangkai yang di letakkan
di dalam ruangan (Tabel 2). Hal ini disebabkan C. bezziana merupakan lalat
penyebab miasis obligat yang menyukai luka maupun bangkai yang masih segar.
Larva Lucilia spp, C.megacephala, dan C. saffranea tidak ditemukan
kemungkinan tidak terambil ketika melakukan koleksi karena masih pada tahap
awal stadium. Larva lalat C.rufifacies merupakan jenis larva paling banyak
ditemukan pada bangkai di luar dan di dalam ruangan (Gambar 2). Hal ini
menunjukkan bahwa C.rufifacies merupakan lalat pada kelompok Calliphoridae
yang pertama datang ke bangkai. Lalat ini merupakan penyebab miasis fakultatif
seperti yang dilaporkan oleh Spradbery (2002) di Australia. Larva lalat ini
berperan juga sebagai dekomposer bangkai.
Larva lalat ditemukan sejak awal kematian sampai tahap pasca
pembusukan. Pada tahap pembusukan larva lalat membentuk koloni yang sangat
banyak dan mulai menyebar. Stadium akhir larva (L3) pada tahap ini mulai
meninggalkan bangkai menuju ke celah tanah atau retakan di sekitar bangkai dan
siap menjadi pupa. Jumlah koloni larva mulai menurun pada pasca pembusukan
akibat karena semakin mengeringnya bangkai. Tahap pupa mulai ditemukan pada
tahap pasca pembusukan. Soviana (1996) melaporkan bahwa stadium telur lalat

12

A
Gambar 2 Keberadaan serangga pradewasa pada bangkai, A (di luar ruangan), B
(di dalam ruangan)
C.megacephala memerlukan waktu 9- 10 jam. Stadium larva menjadi pupa
memerlukan waktu 91-100 jam dan lama stadium pupa adalah 96-100 jam. Byrd
dan Castner (2010) menyatakan bahwa keberadaan sisa stadium pradewasa yaitu
kulit larva, kulit pupa, dan membran peritropik sangat penting untuk mengetahui
jenis koloni serangga yang datang pada bangkai jika tidak ditemukan serangga
pradewasanya.
Keberadaan Serangga Tanah pada Bangkai di Luar Ruangan
Serangga tanah yang datang ke bangkai di luar ruangan terdiri dari Protura,
Collembola, Thysanura dan tungau tanah. Tungau tanah merupakan serangga
yang paling banyak ditemukan (Tabel 5). Serangga tanah ini bukan merupakan
indikator utama dalam penentuan waktu kematian. Serangga ini tertarik ke
bangkai karena perubahan pH tanah disekitar bangkai dan sebagai sumber
makanan. Serangga tanah merupakan flora normal yang banyak ditemukan di
tanah atau serasah. Keberadaan serangga tanah di mulai sejak awal kematian
sampai pada akhir dekomposisi (Gambar 3).
Peran serangga ini adalah menghancurkan zat-zat organik dan mendorong
kesuburan tanah. Fauna tanah berperan dalam memperbaiki struktur tanah melalui
penurunan berat jenis, peningkatan ruang pori, aerasi, drainase, kapasitas
penyimpanan air, dekomposisi bahan organik, pencampuran partikel tanah,
penyebaran mikroba dan perbaikan struktur agregat tanah. Aktivitas fauna tanah
pada umumnya dipengaruhi oleh pH, kelembaban dan suhu tanah, reproduksi dan
metabolisme, kandungan bahan organik serta kehadiran kompetitor, predator dan
struktur tanah. Suhu tanah merupakan faktor fisika tanah yang sangat menentukan
kehadiran dan kepadatan organisme tanah, serta menentukan tingkat dekomposisi
material organik tanah. Sumber makanan serangga tanah sangat bervariasi, yaitu
bakteri, jamur, hifa dan spora, kotoran, tanaman serta hewan. Serangga tanah

B

13
Tabel 5 Persentase serangga tanah yang ditemukan pada bangkai di luar ruangan

Jenis Serangga
Protura
Colembola
Thysanura
Tungau tanah

Persentase Serangga
(%)
7.81
26.56
28.13
37.50

Gambar 3 Keberadaan serangga tanah pada bangkai di luar ruangan
hidup pada habitat yang tersembunyi, seperti reruntuhan daun, di bawah kulit
kayu, kulit kayu yang membusuk dan jamur. Fauna tanah ada yang dapat hidup
pada tanah dengan pH asam dan pH basa (Borror et al. 1989).
Suhu, Amonia (NH3), dan Derajat Keasaman (pH) Bangkai
Suhu bangkai kelinci yang diletakkan di luar ruangan berkisar antara 26.85
– 37.23 0C sedangkan suhu bangkai di dalam ruangan berkisar antara 26.77 –
33.43 0C (Gambar 4). Smith (1986) menjelaskan bahwa suhu tubuh akan
mengalami penurunan setelah kematian. Penurunan suhu bangkai akan
berlangsung lambat pada saat mendekati suhu lingkungan. Semakin besar beda
antara suhu bangkai dengan suhu lingkungan, maka penurunan suhu akan
berlangsung lebih cepat. Selain itu, intensitas aliran udara dan berat tubuh juga
berpengaruh terhadap kecepatan penurunan suhu bangkai. Semakin tebal jaringan
lemak kecepatan penurunan suhu akan semakin lambat.
Derajat keasaman (pH) bangkai yang diletakkan di luar ruangan berkisar
antara 5.13 - 8.53 sedangkan bangkai di dalam ruangan berkisar antara 6.0-7.77
(Gambar 5). Aktivitas mikroba dan sel pada bangkai sangat mempengaruhi nilai
pH, disamping oleh aktivitas larva di dalam bangkai. Soviana (1996) menyatakan
bahwa pH pada daging yang mengalami pembusukan akan menurun dan
kemudian relatif menetap pada pH 7.8 setelah 36 jam pelayuan. Perubahan nilai

14
pH pada bangkai sangat dipengaruhi oleh faktor intrinsik (jenis hewan, tipe otot)
dan ekstrinsik (suhu, pakan, proses pemotongan). Lalat lebih cenderung menyukai
daging bususk yang bersifat basa. Semakin tinggi nilai pH daging maka jumlah
lalat yang datang semakin banyak.
Kadar amonia meningkat sejak awal kematian sampai pada tahap
pembusukan. Kadar NH3 bangkai di dalam ruangan mempunyai kisaran antara 03.67 ppm sedangkan di luar ruangan 0-1.67 ppm. Kadar amonia pada bangkai di
dalam ruangan mempunyai kisaran yang lebih tinggi di banding pada bangkai di
luar ruangan (Gambar 5). Hal ini disebabkan selain oleh faktor lingkungan yaitu
suhu, kelembaban, hujan, dan aktivitas larva pada bangkai. Keberadaan amonia
mulai meningkat sejak tahap awal kematian dan menurun pada tahap pasca
pembusukan.
Amonia merupakan hasil dari proses putrefaksi dan autolisis
jaringan sehingga amonia mulai menurun pada tahap pasca pembusukan.
Berdasarkan uji regresi menunjukkan kehadiran serangga ordo Diptera di
luar dan di dalam ruangan memiliki hubungan yang tidak erat dengan suhu
bangkai, pH dan NH3 (r < 0.5). Hal ini karena pH dan amonia pada bangkai di
luar ruangan berkurang oleh faktor lingkungan (hujan, suhu lingkungan) sehingga
serangga tidak dapat mendeteksi. Pada bangkai di dalam ruangan pH dan amonia
tidak dapat menyebar keluar akibat kuranganya ventilasi udara sehingga serangga
tidak mampu mendeteksi keberadaannya. Serangga ordo Coleoptera
(Staphylinidae) dan Formicidae di dalam dan di luar ruangan memiliki hubungan
yang sedang dengan NH3 (r  0.5). Serangga tersebut akan cenderung meningkat
jumlahnya jika kadar amonia semakin tinggi..

Gambar 4 Suhu bangkai di dalam dan di luar ruangan

15

Gambar 5 Nilai derajat keasaman (pH) dan ammonia (NH3) pada bangkai
dalam dan di luar ruangan

di

Suhu dan Kelembaban Lingkungan
Suhu lingkungan pada bangkai yang diletakkan di luar ruangan berkisar
antara 28.75-42.35 0C sedangkan kelembaban berkisar antara 57.79-86.10 %.
Suhu pada bangkai di dalam ruangan berkisar antara 27.54-31.52 0C sedangkan
kelembaban berkisar antara 71.50-85.37% (Gambar 6). Kisaran suhu ini
merupakan kisaran suhu optimum aktivitas pembusukan yaitu antara 21.1 – 37.8
0
C (Amendt et al. 2010).

Gambar 6 Suhu dan kelembaban lingkungan

16
Suhu dan kelembaban lingkungan sangat berpengaruh terhadap aktivitas
mikroba bangkai dan serangga sehingga akan mempengaruhi kecepatan
dekomposisi bangkai. Keberadaan serangga Diptera dewasa pada bangkai di
dalam ruangan dan di luar ruangan memiliki hubungan yang sedang dengan suhu
lingkungan (r  0.5) dan tidak memiliki hubungan yang erat dengan kelembaban
(r < 0.5). Semakin tinggi suhu maka panjang periode pada setiap stadium
perkembangan lalat Diptera semakin singkat dan sebaliknya. Hal ini dibuktikan
dengan didapatkannya pupa dengan jumlah yang banyak mulai pada hari ke 7
setelah kematian. Ismail et al. (2007) menyatakan bahwa perkembangan larva
lalat C. megacephala optimum pada suhu 33 0C. Semakin tinggi suhu semakin
mempercepat perubahan stadium pradewasa serangga lalat C. megacephala
(Soviana 1996).

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Dekomposisi bangkai di dalam ruangan berlangsung selama 8 hari
sedangkan di luar ruangan 10 hari.
2. Tahap awal kematian sampai pembusukan serangga yang datang pada
bangkai di luar dan di dalam ruangan adalah ordo Diptera (Calliphoridae,
Tachinidae, Muscidae, dan Sarcophagidae).
3. Pasca pembusukan dan fase tulang serangga yang datang pada bangkai di
dalam dan di luar ruangan adalah ordo Coleoptera (Staphylinidae,
Chrysomelidae, Scarabeidae, dan Silphidae).
4. Serangga Hymenoptera (Formicidae) datang sejak awal kematian sampai
fase tulang
Saran
Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kedatangan serangga ke bangkai, perlu
dilakukan pengukuran terhadap produk dekomposisi bangkai selain NH3, pH dan
suhu.

17

DAFTAR PUSTAKA
Amendt J, Krettek R, Zehner R. 2004. Forensic Entomology. Naturwissenschten
91:51-65
Amendt J, Campobasso C P. Goff M L, Grassberger M. 2010. Current Concept in
Forensic Entomology. Springer Dordrecth Heidelberg London New York.
Arnaldos MI, Sanchez F, Alfares P, Garcia MD. 2004. A Forensic Entomology
Case From The Southeasthern Iberian Peninsula. J Forensic Med Toxicol
5(1). 22-25
Benecke M. 2004. A Public Publication Experiment. J Forensic Med Toxicol
5(1). 1-2
Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1989. An Introduction to the Study of
Insect. Saunders College.
Byrd JH, Castner JL. 2010. Forensic Entomology: The Utility of Arthropods in
Legal Investigation. Taylor dan Francis Group.
Campobasso CP, Disney RHL, Introna F. 2004. A Case of Megaselia Scalaris
(Loew) (Dipt. Phoridae) Breeding in a Human Corpse. J Forensic Med
Toxicol 5(1). 3-5
Genard D. 2007. Forensic Entomology. University of Lincoln.
Hadi UK, Gunandini DJ, Soviana S,Sigit SH. 2011. Panduan Identifikasi
Ektoparasit : Bidang Medis dan Veteriner Ed. 2. IPB Press. Bogor
Hall MJR. 1995. Trapping the Flies that Cause Myasis: Their responses to Host
Stimuli. Ann Trop Med Parasitol 89: 333-357.
Holldobler B, Wilson EO. 1990. Ants. Harvard University Press.
Ismail MW, Osman K, King OH, Hassan N, Elias E, Kaswandi MD, Ghazali AR.
2007. Accelerating Chrysomya megacephala Maggot Growth for Forensic
Entomology Cases. J Malaysian Health Sci 5 (1) 2007: 17-26
Klotzbach H, Schroeder H, Augustin C, Pueschel K. 2004. Informatian is
Everything-A Case Report Demonstrating Necessity of Entomologycal
Knowledge at the Crime Scene. J Med Toxicol (5) 1 : 19- 21
Leccese A. 2010. Insect as Forensic Indicator : Methodological Aspects. J Med
Toxicol 5 : 26-32.
Smith K G V. 1986. A Manual of Forensic Entomology. British Museum. Cornell
University Press. Ithaca, New York.
Soviana S. 1996. Beberapa Aspek Biologi Reproduksi Lalat Hijau
(C.megacephala). Tesis. Program Pascasarjana. IPB
Spradbery JP. 2002. A Manual for the Diagnosis of Screw Worm Fly.Department
of Agriculture, Fisheries and Forestry. Australia.
Statheropoulus M, Spiliopulou C, Agapiou A. (2005). Study of Volatile Organic
Compounds evolved from decaying human body. J Forensic Sci Int 153
(2): 147-155
Turchetto M, Vanin S. 2004. Forensic Evaluation on a Crime With Monospecific
Necrophagous Fly Population Infected by Two Parasitoid Species. J
Forensic Med Toxicol 5(1). 12-18
Tuzun A, Dabiri F, Yuksel S. 2010. Preliminary Study and Identification of
Insects’ Species of Forensic Importance in Urmia, Iran. J African
Biotechnol Vol. 9: 24

18
Wall R, Fisher P. 2001. Visual and Olfactory Interaction in Resources location by
Blowfly, Lucilia sericata. J Physiol Entomol 26: 212-218.
Wolff M, Uribe A, Ortiz A, Duque P. 2001. A Prelimenary Study of Forensic
Entomology in Medellin Colombia. Forensic Sci Int 120 : 53-59.
Yudi. 2011. Peran Daur Hidup Lalat Hijau Chrysomya megacephala dalam
Estimasi Saat Kematian. Tesis. Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal. FK.UI

20

Lampiran 1 Tahap dekomposisi bangkai di luar ruangan

Keterangan :
A : Tahap awal kematian (Fresh stage)
B : Tahap penggembungan (Bloated stage)
C : Tahap pembusukan (Decay stage)
D : Tahap pasca pembusukan (Post decay stage)
E-F : Tahap tulang (Skeletal stage)

8

21
Lampiran 2 Tahap dekomposisi bangkai di dalam ruangan

Keterangan :
A-B: Tahap awal kematian (Fresh stage)
C : Tahap penggembungan (Bloated stage)
D : Tahap pembusukan (Decay stage)
E : Tahap pasca pembusukan (Post decay stage)
F : Tahap tulang (Skeletal stage)

22
Lampiran 3 Jenis lalat yang ditemukan pada bangkai

A

C

E

B

D

F

23

G

Keterangan :
A : Chrysomya saffranea
B : Chrysomya rufifacies
C : Chrysomya megacephala
D : Lucillia sp
E : Chrysomya bezziana
F : Musca domestica (Muscidae)
G : Tachinidae
H : Sarcophaga sp

H

24
Lampiran 4 Jenis semut yang ditemukan pada bangkai

A

B

C

D

E

F

25

G

I

Keterangan :
A : Apomyrma sp
B : Pheidole sp
C : Anoplolepis gracilipes
D : Diacamma sp
E : Paratrechina longicornis
F : Odontoponera transversa
G : Acromyrmex sp
H : Polyrachis sp
I
: Monomorium sp
J : Dolicoderus thoracicus

H

J

26
Lampiran 5 Jenis kumbang dan lipas yang ditemukan pada bangkai

A

B

C

D

E

Keterangan :
A,B,C
: Coleoptera (Scarabeidae)
D
: Blattelidae
E
: Coleoptera (Staphylinidae)
F
: Hymenoptera

F

27

19

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 27 April 1984 di Klaten Jawa Tengah.
Lahir sebagai anak terakhir dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Dirjo
Suyatno dan Ibu Paikem.
Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas di
SMUN 1 Cawas Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Penulis kemudian melanjutkan
pendidikan ke Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan menyelesaikan studi jenjang
S1 pada tahun 2008. Kemudian melanjutkan pendidikan profesi dokter hewan
pada tahun 2008 dan lulus Tahun 2010. Penulis melanjutkan pendidikan kejenjang
S2 di Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan IPB pada tahun
2011.