Analisis rantai Nilai Cabai di Sentra Produksi Kabupaten Majalengka Jawa

ANALISIS RANTAI NILAI CABAI DI SENTRA PRODUKSI
KABUPATEN MAJALENGKA JAWA BARAT

NUR SETIAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Rantai Nilai
Cabai di Sentra Produksi Kabupaten Majalengka Jawa Barat adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Nur Setiawati
NIM. F152114

RINGKASAN
NUR SETIAWATI. Analisis Rantai Nilai cabai di Sentra Produksi Kabupaten
Majalengka Jawa Barat. Dibimbing oleh Y ARIS PURWANTO dan SUTRISNO
Cabai merupakan salah satu komoditas strategis yang mempengaruhi
tingkat inflansi di Indonesia. Produksi cabai berfluktuasi setiap tahunnya, oleh
karena itu akan berpengaruh terhadap stabilitas harga. Pemahaman rantai pasok
dan rantai nilai cabai yang diperlukan untuk menemukan solusi untuk mengatasi
fluktuasi dan harga. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1) mengidentifikasi
rantai pasok cabai di kabupaten Majalengka, 2) menganalisis rantai nilai pada para
pelaku dan 3) menganalisis nilai tambah akibat aktivitas teknologi pascapanen.
Pengumpulan data dilakukan melalui observasi lapang, wawancara
mendalam dan FGD (Focus Group Discussion). Responden penelitian adalah 75
petani cabai dari kecamatan terpilih sentra cabai di Kabupaten Majalengka, yaitu
masing-masing 15 petani di Ligung, Banjaran, Cikijing, Talaga, dan Argapura, 2
pengumpul kecil dari Kecamatan Argapura, 2 pengumpul besar Kecamatan

Argapura dan Kecamatan Banjaran, 1 Koperasi dari Kecamatan Argapura, 1 Bank
dari Kecamatan Argapura serta 1 industri dari Kecamatan Banjaran, Sedangkan
pasar induk yang merupakan tujuan dari cabai berada di Kota Jakarta. Analisis
data dilakukan dengan menggunakan metode Hayami, analisis rantai nilai dan
Rasio R/C.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan pascapanen sudah mulai
dilakukan di kecamatan Banjaran. Rantai pasok yang terjadi di 5 Kecamatan
sudah sampai ke pasar induk yaitu petani, pengumpul kecil, pengumpul besar,
pasar lokal, pasar induk, pengecer dan konsumen. 86.6% petani menjual hasil
panennya ke pedagang pengumpul, sedangkan ke pedagang besar hanya 13.33%.
Analisis rantai nilai cabai dengan R/C menghasilkan 1.21 (petani), 1.07
(pengumpul kecil), 1.04 (pengumpul besar), dan 1.54 (pasar). Pendapatan terkecil
dalam perhitungan nilai tambah adalah pengumpul kecil dan pasar antar pulau
dengan nilai 65.73% dan 67.04%, sedangkan pendapatan terbesar diperoleh petani
dan koperasi 99.51%.
Kata kunci: pengolahan pascapanen, nilai tambah, rantai nilai, FGD dan R/C
rasio.

SUMMARY
NUR SETIAWATI. Value Chain Analysis of Chili in Production Center at

Majalengka, West Java . Supervised by Y ARIS PURWANTO and SUTRISNO
Chili is one of the strategic commodities that affects inflation rate in
Indonesia. Chili production fluctuates every year; therefore, it influences the price
stability. Understanding of supply chain and value chain of chili are required in
order to find the solution to solve fluctuation on production and price. The
objectives of this study were to: 1) identify the chili suply chain in Majalengka
Regency, 2) analyze the value chain developed by the supply chain actors, and 3)
calculate the added value generated by chili processing in Majalengka Regency.
Data collection was carried out through field observation, in-depth
interview and FGD (Focus Group Discussion). Respondents were 75 supply
chain actors in selected locations of study which were consisted of 15 farmers of
Ligung, Banjaran, Cikijing, Talaga and Argapura sub-districs; 2 small collectors
of Argapura sub-districs, 2 big collectors of Argapura and Banjaran sub-districs, 1
Cooperative of Argapura, 1 Finance institution of Argapura sub-distric, 1 cilli
processor of Banjaran sub-distric, and wholesale market in Jakarta. Data analysis
were carried out using Hayami method, value chain analysis and Return Cost
Ratio.
The results showed that postharvest handling has been done by the supply
chain actors in Banjaran sub-district. The supply chain in the location of study
consisted of farmer, small collector, big collector, retailer in local market,

wholesale market and consumer. It was 86.6% of farmers sent their chili to
collector and only 13.33% sent to big trader in wholesale market. R/C ratio of
famer was 1.21 (petani), small collector was 1.07, big collector was 1.04 and
market was 1.5%. The smallest benefit occurred at small collector and inter-island
trader i.e. 65.73% and 67.04%. The highest benefit occurred at famer and
ccoperative i.e. 99.51%.
Key words: supply chain, added value, value chain, FGD, R/C ratio

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

i


ANALISIS RANTAI NILAI CABAI DI SENTRA PRODUKSI
KABUPATEN MAJALENGKA JAWA BARAT

NUR SETIAWATI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Pascapanen

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji pada Ujian Tesis:

Dr.Ir. Lilik Pujantoro Eko Nugroho, M.Agr


Judul Tesis
Nama
NIM

: Analisis rantai Nilai Cabai di Sentra Produksi Kabupaten
Majalengka Jawa
: Nur Setiawati
: F152114011

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr IrY Aris Purwanto, M Sc
Ketua

Prof Dr Ir Sutrisno, M Agr
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi
Teknologi Pascapanen

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Sutrisno, M Agr

Dr Ir Dahrul Syah, M Sc Agr

Tanggal Ujian: 14 Juli 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga Tesis ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah Analisis Rantai Nilai Cabai Di
Sentra Produksi Kabupaten Majalengka Jawa Barat.Terima kasih penulis ucapkan
kepada :
1. Bapak Dr.Ir. Y.Aris Purwanto, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr selaku

pembimbing, yang telah banyak memberi saran dan masukan dalam penulisan
tesis.
2. Bapak Dr.Ir.Lilik Pujantoro Eko Nugroho, M.Agr selaku penguji sidang tesis
yang telah memberikan masukan dan saran yang membangun untuk
kelancaran tesis ini.
3. Bapak Aman, S.P dan pak Udin, S.P selaku pembimbing lapang Dinas
Pertanian Majalengka yang menemani dan memotivator pengambilan data
tesis ini.
4. Ibu tercinta Sukiyati, S.pd dan Serda Hadi Prayitno (Alm) yang selaku
memberikan semangat dan doa-doa yang selalu berlimpah ruah untuk anakmu
selama mejalani study disini.
5. Adikku Nur Hikmah Setiani yang selalu menemani dalam setiap malam,
semoga diberi kemudahan dalam menyelesai study sarjananya.
6. Ulul Azmi, S.TP yang selalu memberikan semangat, saran dan doa-doa dalam
menjalani study ini.
7. Sahabat-sahabat Sadrina Sukma, S.Pi dan Ineu Rahayu, S.Pt terima kasih telah
menemani dalam setiap kesulitan penulisan, kerepotan penelitian ini.
8. Teman-teman TPP 2011 bu Nini Renur, M.Si, mb Asniwati Zaenudin, M.Si
yang selalu memberikan masukan-masukan selama perjalanan kuliah di TPP.
9. Teman-teman TPP 2012 kakak yusuf, mbak leni, rozana, dini, mbak endi,

mutia, mbak vivi, irul, bang feru, kakak tutur, monic dan fitri terima kasih
telah menjadi keluarga kedua dalam duka dan senang dengan berbagai
problema kampus selalu dan selalu bisa terhibur berkat kebersamaan kalian
selama studi disini.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam tesis ini. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga
tesis ini bermanfaat bagi praktisi, akademisi dan masyarakat luas.

Bogor, September 2014

Nur setiawati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

x


DAFTAR LAMPIRAN

xi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permasalahan
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

1
1
3
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA

Rantai Pasok
Rantai Nilai
Nilai Tambah Komoditas Pertanian

5
5
5
6

3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode Penentuan Responden
AnalisisRantai Nilai
Rasio R/C
Analisis Nilai Tambah Cabai besar

10
10
10
11
13
13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Rantai Pasok Cabai di Kabupaten Majalengka
Analisis Rantai Nilai yang Terjadi di Pelaku rantai Pasok
Analisis Nilai Tambah Akibat Aktivitas Teknologi Pascapanen

14
14
17
21

5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

26
26
26

DAFTAR PUSTAKA

27

LAMPIRAN

30

DAFTAR TABEL
1. Produksi dan Luas Panen Cabai dari Tahun 2009 sampai 2011 Di
Indonesia
2. Produksi Cabai Besar di Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat
tahun 2007-2011
3. Kegiatan yang Dilakukan oleh Masing-Masing Aktor atau Entitas
pada Rantai Nilai Cabai Segar
4. Kegiatan Produksi oleh Masing-Masing Aktor pada Rantai Nilai
Cabai
5. Nilai Tambah Metode Hayami Setiap Pelaku Rantai Nilai Juli 2013

1
8
19
20
23

DAFTAR GAMBAR
1.Alur Penelitian
2.Kerangka Analisis Deskriptif Rantai Nilai
3.Rantai pasok yang Berkaitan dengan Rantai nilai 4 Dataran Tinggi
dan Dataran Rendah Di Majalengka
4.Pengolahan Produk Cabai Bubuk Halus Di Kabupaten Majalengka
5.Pengolahan Produk Cabai Kering Di Kabupaten Majalengka

10
12
15
33
33

DAFTAR LAMPIRAN
1.Perhitungan Nilai untuk Rencana Produksi
2.Rencana Kebutuhan Fisik pada Produksi Cabai Di Kabupaten
Majalengka
3.Rencana Indek Harga pada Pengembangan Produksi

30
31
32

1

I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi
penting di Indonesia karena dapat dimanfaatkan sebagai bumbu masakan dan kosumsi
dalam bentuk olahan. Cabai dapat tumbuh dan diusahakan petani di dataran rendah
hingga dataran tinggi dengan varietas yang berbeda dan dikonsumsi oleh masyarakat
berpendapatan rendah hingga yang berpenghasilan tinggi (Deptan 2012). Konsumsi
cabai terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan kebutuhan
bahan baku industri olahan cabai. Konsumsi cabai mencapai 6.96 kg/kapita/tahun pada
tahun 2012 dan meningkat menjadi 7.23 kg/kapita/tahun pada tahun 2013. Peningkatan
terus terjadi hingga tahun 2014 sebesar 7.67 kg/kapita/tahun dibandingkan dengan tahun
sebelumnya (Deptan 2013). Pada saat konsumsi dalam negeri tidak mencukupi, harga
cabai menjadi naik tidak terkendali akibatnya cabai impor masuk ke pasar domestik.
Jumlah produksi cabai yang diterima pasar lebih rendah dari jumlah produksi di tingkat
petani karena faktor susut pascapanen cukup besar yakni berkisar antara 25-50% (Piay
et al. 2010). Tabel 1 menunjukkan data produksi dan luas panen cabai dari tahun 2009
sampai 2011 di Indonesia.

Tabel 1 Produksi dan luas panen cabai dari tahun 2009 sampai 2011 di Indonesia.
Pulau
2009
2010
2011
Luas
Produksi Luas panen Produksi
Luas
Produksi
panen
(ton)
(ha)
(ton)
panen
(ton)
(ha)
(ha)
Sumatra
63.989
374.721
72.585
477.616
70.170
518.465
Jawa
127.854
803.497
125.265
676.772 164.214 1.093.725
Bali
dan 12.692
76.259
10.018
50.124
25.937
134.517
Nusa
Tenggara
Kalimantan
8.694
42.890
8.569
33.187
7.984
32.876
Sulawesi
17.310
42.890
8.569
33.187
7.984
32.876
Maluku
664
987
1.006
1.953
2,597
7.682
Papua
2.701
15.238
21.48
11.778
1.791
8.741
Total
233.904 1.378.727
237.105 1.328.864 295.764 1.903.229
Sumber: Badan Pusat Statistik (2012)

Luasan panen pada tahun 2010 mengalami penurunan sebesar 1.4% yang diikuti
dengan penurunan produksi cabai sebesar 3.6%. Sebaliknya pada tahun 2011, luasan
panen cabai meningkat sebesar 24.7% yang diikuti dengan peningkatan produksi cabai
sebesar 43.2% sebanyak 60% cabai dihasilkan di Jawa yaitu Jawa Barat (198 000 ton)
yang merupakan penghasil terbesar cabai besar (30%) dan Jawa Timur (143 000 ton)
sebagai penghasil terbesar cabai kecil (36%). Sentra produksi cabai terdapat di Jawa
Barat (Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Sukabumi, Cianjur, Bandung), Jawa Tengah
(Magelang, Temanggung) dan Jawa Timur (Malang, Banyuwangi). Sentra produksi
cabai rawit terdapat di Lombok Timur, Lombok Barat, Kediri, Jember, Boyolali,

2

Sampang, Banyuwangi, Blitar dan Lumajang. Untuk cabai keriting, sentra produksi
lebih menyebar, antara lain di Bandung, Brebes, Rembang, Tuban, Rejanglebong,
Solok, Tanah Datar, Karo, Banyuasin dan Pagar Alam (Deptan 2013)
Produksi cabai di pulau Jawa mengalami fluktuasi produksi tiap tahunnya.
Sebagai contoh Propinsi Jawa Barat yang menjadi salah satu propinsi sentra produksi
cabai, mengalami penurunan produksi dari 22.9% (dari total produksi nasional) pada
tahun 2009, menjadi 18.5% pada tahun 2010 dan 5.5% pada tahun 2011. Jenis cabai
dengan permintaan tertinggi di Indonesia adalah cabai besar (50%) diikuti dengan cabai
rawit (42%) dan cabai hijau (8%) (Nugroho 2008). Permintaan cabai besar terbesar
adalah untuk konsumsi rumah tangga yang mencapai 61% dari total konsumsi cabai
dalam negeri. Jawa Barat, khususnya kabupaten Majalengka merupakan salah satu
sentra produksi komoditas cabai karena memiliki potensi lahan di Majalengka yang
memenuhi persyaratan agroklimat untuk komoditas cabai masih tersedia cukup luas.
Menurut Dinas Pertanian dan Perikanan Bidang Hortikultura Majalengka,
(2011) potensi pengembangan komoditas cabai di Provinsi Jawa Barat khususnya
Kabupaten Majalengka didukung sarana dan prasarana serta teknologi yang memadai.
Selain itu, kemajuan teknologi informasi serta meningkatnya persaingan dalam dunia
industri telah memberikan banyak alternatif bagi konsumen dalam memilih produk,
akibatnya tuntutan konsumen menjadi lebih tinggi (Djatna 2005). Tingginya harga jual
cabai maka petani akan termotivasi untuk meningkatkan produksinya, artinya tidak
cukup hanya dengan meningkatkan produktivitas cabai, namun harus diikuti usaha
perbaikan dalam sistem pemasaran. Perbaikan dalam sistem pemasaran bertujuan
memperbesar tingkat efisiensi pemasaran yaitu diupayakan dengan memperbesar nilai
yang diterima petani, memperkecil biaya pemasaran dan terciptanya harga jual dalam
batas kemampuan daya beli konsumen. Pada umumnya kondisi tersebut tidak terjadi
pada petani komoditas cabai, konsumen menuntut antara lain pelayanan yang lebih
cepat, kualitas yang lebih baik serta harga yang lebih murah (Arkeman dan Dharma
2009).
Pelaku pemasaran yang saling berhubungan membentuk suatu saluran
pemasaran, dimana saluran pemasaran merupakan salah satu faktor pendukung
suksesnya pemasaran. Tiap lembaga memiliki perilaku yang berbeda, sehingga petani
akan memilih saluran mana yang akan menguntungkannya (Komisi Pengawas dan
Persaingan Usaha 2009). Permasalahan yang muncul di tingkatan petani adalah
teknologi pengolahan dan pemasaran produk yang masih rendah (Prasetyo 2008). Hal
ini berdampak pada harga jual produk, karena produk yang dibuat harus dapat
memenuhi kepuasan konsumen (Suranto 2005). Menurut Dinas Pertanian Kabupaten
Majalengka (2011), terdapat mata rantai pedagang untuk penjualan produksi pertanian
oleh petani yaitu pedagang pengumpul tingkat dusun, pedagang desa, dan pedagang
kecamatan. Rantai dengan sedikit pemasok maka pengusaha akan mencari integrasi dari
strategi yang dipilih pada rantai pasokan secara menyeluruh (Wuwung 2013).
Saluran pemasaran terdapat aliran yang saling berkaitan sehingga menciptakan
nilai tambah di tiap tingkatan saluran pemasaran. Penambahan nilai tersebut dapat
diterapkan pada aspek kualitas, biaya-biaya, saat pengiriman, fleksibilitas pengiriman
dan inovasi. Pengembangan komoditas cabai di kabupaten Majalengka tidak hanya
didukung oleh sistem pemasaran yang efisien, tetapi juga adanya pengolahan terhadap
cabai. Peningkatan nilai tambah dan daya saing cabai di kabupaten Majalengka, akan
berpengaruh terhadap harga cabai di pasaran. Mengingat pentingnya peran komoditas
cabai dan potensi pengembangan produk olahannya terhadap perekonomian kabupaten

3

Majalengka, maka sangat relevan apabila dilakukan penelitian mengenai rantai pasok,
rantai nilai dan nilai tambah dari pengolahan cabai di Kabupaten Majalengka.

Permasalahan

Penanganan hasil dan perbaikan mutu hasil produksi akan berpengaruh terhadap
margin penerimaan dan sinsentif khususnya di kabupaten Majalengka seperti petani,
pedagang maupun industri olahan. Kabupaten Majalengka merupakan sentra pertanian
di Jawa Barat, seperti Ligung, Banjarnegara, Cikijing, Argapura dan Talaga serta sudah
memiliki pabrik pengolahan cabai. Berbagai permasalahan yang ada di proses produksi
cabai yang diamati melalui mata rantai, dapat diidentifikasi sebagai berikut : (1) rantai
pasok yang dilakukan para pelaku rantai mempengaruhi jumlah produksi cabai, 2)
memperbaiki kondisi rantai nilai yang ada saat ini dan disesuaikan dengan pasar yang
dituju (konsumen) perlu dianalisis dengan menggunakan pendekatan rantai nilai dan 3)
Perbaikan pascapanen berbasis rantai nilai akan menghasilkan nilai tambah produk
cabai.
Tujuan Penelitian

1.
2.
3.

Penelitian ini bertujuan:
Mengidentifikasi rantai pasok cabai di kabupaten Majalengka
Menganalisis rantai nilai yang terjadi di pelaku rantai pasok
Menganalisis nilai tambah akibat aktivitas teknologi pascapanen.
Manfaat penelitian antara lain:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran rantai pasok cabai,
rantai nilai dan nilai tambah cabai di Majalengka. Selain itu, hasil penelitian ini
diharapkan dapat sebagai rujukan bagi peneliti yang akan melakukan penelitian terkait
dengan rantai nilai dan nilai tambah pada komoditas cabai.

Ruang lingkup dan Batasan Penelitian
Ruang lingkup rantai pasok cabai merah yang menjadi salah satu komoditas
penting di Kabupaten Majalengka baik dalam bentuk segar maupun sampai ke
pengolahan cabai. Rantai pasok berkaitan dengan rantai nilai sehingga mempengaruhi
nilai tambah, banyaknya rantai pasok yang terjadi mengakibatkan pilihan rantai nilai
yang terjadi menjadikan banyak pelaku yang terlibat didalamnya. Faktor-faktor yang
diduga mempengaruhi diantaranya umur petani, lama bertani, pendidikan petani, hasil
panen cabai besar, harga cabai besar kering per kilogram dan mata pencaharian utama
petani cabai besar.
Pada penelitian ini, analisis rantai pasok yang dilakukan hanya untuk produsen
di dataran tinggi dan dataran rendah. Wilayah dataran tinggi yang dijadikan sampel
adalah 4 kecamatan yaitu Banjaran, Cikijing, Argapura dan Talaga, sedangkan di

4

dataran rendah hanya 1 kecamatan yaitu kecamatan Ligung. Lima kecamatan tersebut
dianggap mewakili produsen cabai di kabupaten Majalengka dalam penelitian ini.

5

II TINJAUAN PUSTAKA
Rantai Pasok
Rantai pasok merupakan strategi alternatif yang memberikan solusi dalam
menghadapi ketidakpastian produksi untuk mencapai keunggulan kompetitif melalui
pengurangan biaya operasi dan perbaikan pelayanan konsumen dan kepuasan
konsumen. Menurut Indrajit dan Pranto (2002), rantai pasok adalah suatu sistem tempat
organisasi menyalurkan barang produksi dan jasanya kepada para pelanggannya.
Rantai pasok adalah sistem yang mencakup pelaku, pemasok, pembuat,
pengangkut, distributor, vendor dan penjamin yang diciptakan untuk mengubah bahan
dasar menjadi suatu produk dan memasok produk tersebut kepada pengguna sesuai nilai
yang diminta (Natsir 2011). Seluruh aktivitas ini mencakup aktivitas pembelian dan
penjualan, ditambah fungsi lain yang penting bagi hubungan pemasok dengan
distributor. Tujuan dari seluruh aktivitas rantai pasok adalah membangun sebuah rantai
pemasok yang memusatkan perhatian untuk memaksimalkan nilai bagi pelanggan.
Sebuah rantai pasok bisa saja melibatkan sejumlah industri manufaktur dalam suatu
rantai hulu ke hilir. Rajagopal et al. (2009), dalam penelitian efektifitas kemitraan
rantai pasok memiliki tujuan untuk mengetahui faktor yang menentukan secara
signifikan dalam kemitraan rantai pasok sehingga dapat diterapkan oleh perusahaanperusahaan untuk meningkatkan efektifitas. Sistem rantai pasok suatu produk
manufaktur yang di dalamnya secara simultan mencakup sistem rantai nilai yang
menyertai kualitas produk tersebut membentuk sistem jaringan yang kompleks meliputi
berbagai pemangku kepentingan baik di hulu maupun di hilir.

Rantai Nilai
Pemasaran yang efisien merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam suatu sistem
pemasaran yang dapat dilihat dari adanya kepuasan pihak-pihak yang terlibat yaitu
produsen, konsumen akhir dan lembaga-lembaga distribusi pemasaran. Sistem
pemasaran yang efisien akan tercipta apabila terdapat kerjasama dan dukungan dari
pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama antara anggota rantai nilai, sehingga dapat
meningkatkan kinerja dari rantai nilai tersebut. Fu dan Piplani (2004) telah melakukan
penelitian mengenai kolaborasi antara pemasok dan distributor yang terdapat dalam
rantai. Kolaborasi sebagai proses penting untuk menciptakan nilai dalam manajemen
rantai nilai. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengevaluasi nilai dari kolaborasi yang
penting untuk mengembangkan mekanisme kolaborasi yang efektif antara pemasok dan
distributor dalam rantai nilai. Perbandingan dua aliran, pertama yaitu aliran tradisional,
distributor hanya sesuai dengan informasi yang tersedia, aliran kedua adanya kolaborasi
value-side dimana distributor memperhatikan kebijakan persediaan dan tingkat layanan
yang direncanakan seperti yang disediakan oleh pemasok. Kolaborasi value-side
memiliki kemampuan untuk meningkatkan kinerja rantai nilai dalam hal efek stabilisasi
dan tingkat pelayanan yang lebih baik.
Rantai nilai terdiri atas semua pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun
tidak langsung dalam pemenuhan permintaan pelanggan, tidak hanya meliputi produsen
dan pemasok tetapi juga transportasi, pergudangan, pengecer, bahkan pelanggan sendiri
(Chopra dan Meindl 2007). Rantai nilai merupakan sebuah sistem dari langkah-langkah

6

yang berkaitan untuk mengubah bahan mentah menjadi produk jadi untuk konsumen
akhir, dimana setiap langkah tersebut menambah nilai produk. Untuk komoditas cabai,
rantai nilai dimulai dengan persiapan lahan penanaman, perawatan, panen, pengeringan,
pengemasan, pemeriksaan, pengiriman, dan pemasaran. Sepanjang rantai tersebut di
setiap titik, bentuk-bentuk kemasan yang lebih menarik bagi konsumen juga dapat
memberikan pertambahan nilai bagi produk (Campbell 2008).
Kusumah (2010), Yunianti (2010), Schipman (2006) dan David et al. (2005)
menyatakan bahwa pendekatan rantai nilai meliputi nilai tambah, efisiensi biaya
maupun strategi daya saing. Hal ini juga mencakup koordinasi dan kolaborasi dengan
masing-masing saluran seperti pemasok, perantara, penyedia layanan pihak ketiga dan
pelanggan. Masalah penawaran dan permintaan terjadi di seluruh rantai nilai yang
menghubungkan semua komponen dengan nilai tambah pada setiap rantai untuk
memenuhi permintaan konsumen (Summer 2009).
Faktor-faktor yang paling sering diperhitungkan ketika menerapkan dan
mengelola kemitraan adalah arus informasi, infrastruktur rantai pasok, hubungan
organisasi dan pembagian sumber daya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pembagian sumber daya memiliki pengaruh positif pada kemitraan rantai pasok dan
meningkatkan nilai tambah yang menyebabkan peningkatan efektivitas pemasaran
rantai pasok. Kuswantoro et al. (2012) dalam penelitian mengenai inovasi dalam
saluran distribusi, efisiensi biaya, dan kinerja usaha kecil menengah (UKM) di
Indonesia, melihat hubungan antara inovasi dalam hal saluran distribusi dan kinerja
UKM berorientasi ekspor. Hasilnya menunjukkan bahwa inovasi dalam saluran
distribusi mempunyai pengaruh yang positif signifikan dengan efisiensi distribusi, yang
pada gilirannya, meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan. Bentuk inovasi
dapat berupa pembagian sistem informasi, koordinasi transportasi, pergudangan,
penjadwalan produksi dan distribusi, pengemasan dan penerimaan.

Nilai Tambah Komoditas Pertanian

Komoditas pertanian pada umumnya mempunyai sifat mudah rusak sehingga
perlu langsung dikonsumsi atau diolah terlebih dahulu. Proses pengolahan dalam suatu
agroindustri, dapat meningkatkan nilai tambah dari komoditas pertanian. Konsumen
yang bersedia membayar output agroindustri dengan harga yang relatif tinggi
merupakan insentif bagi perusahaan pengolahan. Kegiatan agroindustri yang dapat
meningkatkan nilai tambah komoditas pertanian dalam operasionalnya membutuhkan
biaya pengolahan, salah satu konsep yang sering digunakan untuk membahas biaya
pengolahan hasil pertanian adalah nilai tambah. Nilai tambah didefinisikan sebagai
pertambahan nilai yang terjadi pada suatu komoditas, karena komoditas tersebut telah
mengalami proses pengolahan lebih lanjut dalam suatu proses produksi.
Peningkatan nilai tambah pada produk primer komoditas pertanian menjadi
salah satu langkah agar dapat meningkatkan pendapatan petani terutama di wilayah
pedesaan. Cowan (2002) menyatakan bahwa dari tahun 1910 hingga 1990, kontribusi
petani di Amerika Serikat pada produk domestik bruto (PDB) sistem pangan
keseluruhan turun dari 21% menjadi 5%, sementara sumbangan input pertanian dan
subsektor distribusi meningkat dari 13% menjadi 30%. Hal ini menunjukkan adanya
peran penciptaan nilai tambah produk pertanian pada strategi pembangunan ekonomi

7

pedesaan di masa depan. Menambah dan mengambil nilai dari komoditas untuk
diproses secara lokal, maka peningkatan nilai tambah akan memberikan keuntungan
bagi rumah tangga petani, usaha pedesaan dan masyarakat pedesaan melalui lapangan
kerja baru, upah yang lebih tinggi, pasar baru untuk komoditas pertanian dan
meningkatkan ekonomi pedesaan dan sekitarnya.
Saat ini pertanian Amerika Serikat sudah bergeser dari awalnya berproduksi
komoditas pertanian menjadi produk pertanian. Banyak petani dan peternak yang
mengantisipasi perubahan tersebut dan berpartisipasi didalamnya, misalnya dengan
membentuk koperasi untuk menambah nilai tambah. Menurut Agricultural
Development International (2008), sebelum memutuskan untuk memasuki pasar baru
terlebih dahulu menentukan bisnis yang paling menguntungkan. Pendapatan, biaya dan
marjin harus dibandingkan dalam rantai nilai (kedua saluran pemasaran yang berbeda
dan rantai produk yang berbeda), selain itu juga potensi scaling up dan investasi yang
diperlukan harus diselidiki pada saat melakukan pemasaran.
Menurut Hayami et al. (1987) ada dua cara untuk menghitung nilai tambah
yaitu nilai tambah untuk pengolahan dan nilai tambah untuk pemasaran. Faktor-faktor
yang mempengaruhi nilai tambah pengolahan dapat dikaterogikan menjadi dua yaitu
faktor teknis dan faktor pasar. Faktor teknis yang berpengaruh adalah kapasitas
produksi, jumlah bahan baku yang digunakan dan tenaga kerja. Faktor pasar yang
berpengaruh adalah harga output, upah tenaga kerja, harga bahan baku dan nilai input
lain selain bahan baku dan tenaga kerja. Besarnya nilai tambah karena proses
pengolahan didapat dari pengurangan biaya bahan baku dan input lain terhadap nilai
produk yang dihasilkan, tidak termasuk tenaga kerja.
Nilai tambah berhubungan dengan teknologi yang diterapkan dalam proses
pengolahan, kualitas tenaga kerja berupa keahlian dan ketrampilan serta kualitas bahan
baku. Penerapan teknologi yang cenderung padat karya akan memberikan proporsi
terhadap tenaga kerja dalam jumlah lebih besar dari pada melihat langsung keuntungan
bagi perusahaan, sedangkan apabila yang diterapkan padat teknologi yang berpengaruh
terhadap modal maka besarnya proporsi bagian pengusaha lebih besar dari pada
proporsi bagian tenaga kerja. Besar kecilnya proporsi tersebut tidak berkaitan dengan
imbalan yang diterima tenaga kerja (dalam rupiah). Besar kecilnya imbalan tenaga
kerja tergantung pada kualitas tenaga kerja itu sendiri seperti keahlian dan ketrampilan.
Kualitas bahan baku juga berpengaruh terhadap pemasaran nilai tambah apabila dilihat
dari produk akhir. Jika faktor konversi bahan baku terhadap produk akhir semakin lama
semakin kecil, artinya pengaruh kualitas bahan baku semakin lama semakin besar.
Salah satu metode analisis nilai tambah pengolahan yang sering digunakan
adalah yang dikemukakan oleh Hayami et al. (1987). Kelebihan dari model analisis
yang digunakan oleh Hayami et al. (1987) adalah: (1) lebih cepat digunakan untuk
proses pengolahan produk-produk pertanian, (2) dapat diketahui produktivitas
produknya, (3) dapat diketahui balas jasa bagi pemilik-pemilik faktor produksi dan (4)
dapat dimodifikasi untuk analisis nilai tambah selain sub sistem pengolahan.
Pengolahan data dari FGD (Forum Group Discusion) kemudian dilanjutkan dengan
analisis metode Hayami terhadap nilai tambah pengolahan bahan baku, tabel berikut
menggambarkan metode Hayami.

8

Tabel 2. Metode Hayami dalam Menghitung Nilai Tambah
Variabel
Output, Input, Harga
1
Output (kg)
2
Input (kg)
3
Tenaga Kerja (HOK)
4
Faktor Konversi
5
Koefisien Tenaga Kerja (HOK/kg)
6
Harga Output (Rp/kg)
7
Upah Tenaga kerja (Rp/kg)
Penerimaan dan Keuntungan (Rp/bahan baku)
8
Harga Bahan Baku (Rp/kg)
9
Harga Input Lainnya (Rp/kg)
10
Nilai Output (Rp/kg)
11
Nilai Tambah (Rp/kg)
Rasio Nilai Tambah (%)
12
Pendapatan tenaga kerja (Rp/kg)
Pangsa Tenaga Kerja (%)
13
Keuntungan (Rp/kg)
Tingkat Keuntungan (%)
Balas Jasa Pemilik Faktor-faktor Produksi
14
Marjin (Rp/kg)
Tenaga Kerja
Modal (Sumbangan Input Lain)
Keuntungan

Nilai
A
B
C
D = A/B
E = C/B
F
G
H
I
J=DxF
K=J–H-I
L % = K/J x 100%
M=ExG
N% = M/K x 100%
O=K-M
P% = O/J x 100%
Q = J- H
R% = M/Q x 100%
S% = I/Q x 100%
T% = O/Q x 100%

Sumber: Hayami et al., (1987)

Menurut Balk (2002), nilai tambah diperoleh dari perbedaan antara penerimaan
dan biaya-biaya yang dikeluarkan, yaitu biaya service, biaya energi dan biaya material.
Menurut Coltrain et al. (2000) nilai tambah adalah menambah nilai produk dengan
mengubah tempat, waktu dan bentuk menjadi lebih disukai oleh konsumen dalam
pasar. Terdapat dua jenis nilai tambah, yaitu inovasi dan koordinasi. Kegiatan inovasi
merupakan aktivitas yang memperbaiki proses yang ada, prosedur, produk dan
pelayanan atau menciptakan sesuatu yang baru dengan menggunakan atau
memodifikasikan konfigurasi organisasi yang telah ada, sedangkan pengertian dari
koordinasi merupakan harmonisasi fungsi dalam keseluruhan bagian sistem. Hal
tersebut merupakan peluang dalam meningkatkan koordinasi produk, pelayanan
informasi dalam proses produksi pertanian untuk menciptakan imbalan yang nyata dan
meningkatkan nilai produk dalam setiap tahap proses produksi pertanian. Konsep nilai
tambah bukan hanya terbatas pada fisik produk, tetapi juga pelayanan (service) yang
diciptakan (Boade 2003).
Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan Sobichin (2012), FAO (2012),
Bahtiar dan Kindangen (2011) dan Marimin (2007) mengenai rantai nilai distribusi
komoditas pertanian, ada beberapa hal yang dapat dilihat diantaranya:
1.
Petani lebih cenderung memilih memasarkan hasil panennya kepada lembaga
pemasaran dengan melihat faktor kemudahan transaksi, dapat berupa waktu
pembayaran oleh pembeli setelah produk dijual dan biaya transportasi, dan
ketidakpastian pada grading produk serta ada tidaknya insentif yang diberikan

9

2.

3.

4.

oleh saluran distribusi. Selain faktor eksternal terdapat juga faktor internal yaitu
faktor sosio-ekonomi petani (luas lahan, usia, dan pendidikan) dan pemenuhan
kebutuhan hidup keluarganya.
Pemasaran cabai kurang memperhatikan dan sering mengabaikan mutu kualitas
cabai yang dijual, hal ini dikarenakan tidak adanya insentif harga bagi petani
dalam menjaga mutu benih yang dihasilkan, sehingga kualitas yang dihasilkan
oleh petani cabai bermutu rendah.
Adanya hubungan yang sangat kuat terjadi pada pedagang pengumpul dengan
pedagang besar, hal ini terlihat dari cukup tersedianya informasi harga yang
diperoleh di setiap level lembaga. Di samping itu, terdapat jalinan kerjasama
antara lembaga pemasaran tersebut dalam permodalan. Namun, hal tersebut
tidak terjadi pada petani yang tidak mendapatkan informasi harga, bahkan ada
arus informasi tersebut menjadikan petani sebagai penerima harga. Akibatnya
petani terkadang menjadi pihak yang cukup dirugikan.
Adanya kelompok tani sangat penting dalam membuat keputusan petani untuk
meningkatkan produktivitas pertaniannya, memperluas pemasokan produk
pertanian yang akan berpengaruh secara signifikan terhadap akses saluran
pasar. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh kelompok tani adalah pelatihan
dan pengetahuan untuk anggotanya, adanya kompensasi seperti distribusi antara
anggota sebagai insentif untuk menghasilkan komoditas dengan kualitas baik.

10

III METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kabupaten Majalengka, sebagai salah satu sentra
produksi cabai besar di Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian adalah lima kecamatan di
Majalengka yaitu Ligung, Banjaran, Cikijing, Talaga dan Argapura yang dipilih sebagai
lokasi penelitian rantai cabai besar, cabai keriting, cabai rawit di Jawa Barat. Pemilihan
lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa
kecamatan terpilih merupakan wilayah sentra produksi komoditas cabai besar di
Kabupaten Majalengka. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2012 sampai
Februari 2013. Alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Identifikasi kegiatan distribusi cabai

Identifikasi rantai pasok

Identifikasi pelaku rantai pasok
Analisis R/C rasio
Analisis nilai tambah
Analisis deskriptif
Analisis rantai nilai
FGD

Gambar 1 Alur penelitian
Metode Penentuan Responden
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan data
kualitatif. Data kuantitatif dalam penelitian ini yaitu nilai tambah dan rasio R/C cabai
dan data kualitatif dalam penelitian ini yaitu rantai nilai cabai. Sumber data yang
digunakan adalah data primer yang diperoleh langsung dari responden dan data
sekunder yang diperoleh dari literatur-literatur yang terkait dengan penelitian. Data
kualitatif digunakan untuk menganalisis rantai pasok dan rantai nilai kegiatan
pemasaran.
Pengumpulan data dengan wawancara yang dipandu dengan kuesioner berisikan
pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan tujuan penelitian. Kuesioner tidak
diberikan kepada responden secara langsung, tetapi digunakan sebagai panduan untuk
melakukan wawancara terhadap responden. Rantai nilai yaitu serangkaian proses dan

11

seperangkat metode untuk pengumpulan dan analisis data, serta merancang strategi
pengembangannya (Dendi et al. 2004).
Penentuan responden merupakan kegiatan yang dilakukan dalam penelitian
untuk mengambil responden yang dapat mewakili populasi sebenarnya dalam
menentukan kesimpulan penelitian. Responden dalam penelitian ini adalah petani,
pedagang pengumpul, pengolahan dan pedagang besar di kabupaten Majalengka, Jawa
Barat. Penentuan responden petani cabai dilakukan secara purposive yaitu lokasi
penelitian dalam pemilihan responden adalah petani cabai yang memiliki usaha tani
cabai dan kebun petani cabai yang telah berproduksi.
Responden berjumlah 75 petani cabai dari kecamatan terpilih sebagai sentra
pertanaman cabai pada pertanian di kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Persebaran
petani cabai adalah sebagai berikut, 15 petani cabai pada setiap kecamatan di Ligung
(menghasilkan cabai besar segar), 15 petani Banjaran (menghasilkan cabai keriting), 15
petani Cikijing (menghasilkan cabai keriting), 15 petani Talaga (menghasilkan cabai
keriting), dan 15 petani Argapura (menghasilkan cabai rawit dan cabai besar).
Pengumpulan informasi saluran distribusi cabai menggunakan teknik snowball
sampling dari produsen cabai merah sampai industri pengolahan dan pedagang besar.
Adapun rincian dari responden adalah sebagai berikut, 2 pedagang pengumpul kecil dan
1 pengumpul besar, 1 koperasi, 1 bank dan 1 industri pada setiap kecamatan. Rincian
tingkatan pedagang pengumpul adalah 2 pengumpul kecil dari kecamatan Argapura, 2
pengumpul besar kecamatan Argapura dan kecamatan Banjaran, 1 Koperasi dari
kecamatan Argapura, sedangkan pasar induk yang merupakan tujuan dari cabai merah
berada di Kota Jakarta.
Teknik snowball yang merupakan sampling non probabilitas yang paling
bermanfaat ketika ada suatu kebutuhan untuk mengidentifikasi suatu populasi yang
sebelumnya tak dikenal. Hasil yang diperoleh dalam metode snowball dilanjutkan
dengan proses diskusi atau Focus Group Discussion sehingga memudahkan dalam
pengukuran agar lebih hemat, mudah dipakai dan dapat dimengerti.

Analisis Rantai Nilai
Kondisi rantai nilai cabai di Kabupaten Majalengka yang meliputi pelaku rantai,
proses, produk, sumber daya dana manajemen, hubungan antara atribut sehingga
memungkinkan untuk dapat memahami satu sama lain secara jelas dengan analisis
rantai nilai. Kerangka analisis deskriptif rantai nilai dengan menggunakan yang
dimodifikasi oleh Van der Vorst (2006) dapat dilihat pada Gambar 2.
Pada kerangka rantai nilai sejumlah karakteristik yang khas sehingga dapat
diidentifikasi dengan membedakan empat unsur berikut yang dapat digunakan untuk
menggambarkan, menganalisis dan mengembangkan kerangka tersebut yaitu:
1. Struktur rantai nilai, (a) menggambarkan anggota utama atau aktor dari jaringan,
dan dijelaskan pula peran tiap anggota rantai nilai, (b) menggambarkan elemenelemen di dalam rantai nilai yang mampu mendorong terjadinya proses bisnis.

12

Siapa saja anggota rantai nilai dan apa
peran mereka?
Elemen-elemen yang dapat menciptakan
proses distribusi?

Siapa yang melakukan proses
distrubusi di rantai nilai ini?
Bagaimana tingkat integrasi proses?

Struktur Hubungan
Sasaran
rantai

Manajemen rantai

Proses Bisnis Rantai

Kinerja
Rantai

Sumber Daya Rantai
Bagaimana struktur manajemen yang
diguankan pada setiap proses?
Bagaimana pengeluaran kontrak yang
dluar?
Struktur pemerintahan

Apa sumber daya (informasi, manusia,
teknologi) yang digunakan dalam setiap
proses oleh setiap anggota rantai nilai
ini?

Gambar 2 Kerangka analisis deskriptif rantai nilai
Sumber: Van der Vorst (2006)

2. Proses bisnis rantai nilai yang terstruktur, kegiatan bisnis yang terukur dirancang
untuk menghasilkan output tertentu (yang terdiri atas tipe fisik produk, layanan
dan informasi) untuk pelanggan tertentu atau pasar. Selain itu proses logistik
dalam rantai nilai (seperti operasi dan distribusi), terdapat proses bisnis lain
seperti pengembangan produk baru, pemasaran, keuangan, dana manajemen
hubungan pelanggan.
3. Manajemen rantai nilai menggambarkan bentuk koordinasi dan struktur
manajemen dalam jaringan yang memfasilitasi proses pengambilan keputusan
dan pelaksanaan proses oleh pelaku dalam rantai nilai, dengan memanfaatkan
sumber daya yang terdapat dalam rantai nilai dengan tujuan untuk mewujudkan
kinerja rantai nilai. Beberapa hal yang perlu dilihat juga adalah pemilihan mitra,
kesepakatan kontrak dan sistem transaksi, dukungan pemerintah dan kolaborasi
rantai nilai.
4. Sumber daya rantai nilai yang digunakan untuk menghasilkan produk dan
mengirimkannya kepada pelanggan (disebut transformasi sumber daya). Sumber
daya rantai nilai dapat berupa sumber daya fisik, teknologi, sumber daya
manusia dan permodalan.

13

Rasio R/C

Analisis Rasio R/C (Return Cost Ratio) merupakan salah satu analisis yang
digunakan untuk mengetahui apakah suatu unit usaha dalam melakukan proses produksi
mengalami kerugian, impas atau untung. Analisis Rasio R/C merupakan analisis yang
membagi antara penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan.

Analisis Nilai Tambah Cabai

Analisis nilai tambah dipandang sebagai usaha untuk melaksanakan prinsipprinsip distribusi dan berfungsi sebagai salah satu indikator keberhasilan suatu kegiatan.
Metode analisis nilai tambah yang digunakan adalah metode Hayami. Metode ini
merupakan analisis nilai tambah yang sering digunakan dalam subsistem pengolahan.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis nilai tambah menurut
metode Hayami et al. (1987) adalah:
1. Membuat arus komoditas yang menunjukkan bentuk-bentuk komoditas, lokasi, lama
penyimpanan dan perlakuan yang pernah diberikan kepada komoditas bersangkutan.
2. Mengidentifikasikan setiap transaksi yang terjadi menurut perhitungan finansial.
3. Memilih dasar perhitungan.
Beberapa variabel yang terkait dalam analisis nilai tambah, yaitu:
1. Faktor konversi, menunjukkan banyaknya ouput yang dihasilkan dari satu satuan
input.
2. Koefisien tenaga kerja langsung, menunjukkan tenaga kerja langsung yang
diperlukan untuk mengolah satu satuan input.
3. Nilai output, menunjukkan nilai ouput yang dihasilkan dari satu satuan input.
Analisis nilai tambah pada subsistem pengolahan, akan menghasilkan informasi
keluaran sebagai berikut:
1. Nilai tambah (Rp),
2. Rasio nilai tambah (%), menunjukkan persentase nilai tambah dari produk,
3. Balas jasa tenaga kerja (Rp), menunjukkan upah yang diterima oleh tenaga kerja
langsung untuk memperoleh satu-satuan bahan baku,
4. Bagian tenaga kerja (%), menunjukkan persentase imbalan tenaga kerja dari nilai
tambah,
5. Keuntungan (Rp), menunjukkan bagian yang diterima oleh pemilik faktor produksi
karena menanggung resiko usaha,
6. Tingkat keuntungan (%), menunjukkan persentase keuntungan terhadap nilai
tambah.
7. Marjin menunjukkan besarnya kontribusi pemilik faktor produksi selain bahan baku
yang digunakan dalam proses produksi.

14

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Identifikasi rantai pasok cabai di Kabupaten Majalengka

Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah yang dijadikan daerah penelitian
dari 5 kecamatan yang pemasaran dan teknologi pertaniannya masih sederhana yaitu
tanam, panen dan jual, serta belum mengarah kepada pengolahan hasil. Identifikasi di
daerah percobaan rantai pasok yang terjadi sangat beragam dari petani sampai ke pasar,
akan tetapi masih sedikit yang sudah melakukan pengolahan. Sasaran rantai dapat
dilihat dari dua sisi, yaitu sasaran pasar dan sasaran pengembangan. Hasil dari
penelitian sasaran rantai merupakan salah satu aspek penentu apakah rantai nilai
berjalan baik atau tidak (Dilana 2013).
Saluran rantai pasok 5 kecamatan di Majalengka baik dataran tinggi maupun
dataran rendah, mencakup petani yang menjual ke pengumpul besar (30%), pengumpul
kecil (40%) dan koperasi (30%) dan dilanjutkan sampai ke konsumen seperti pada
Gambar 3 dan 4. Petani masih melakukan penjualan ke pengumpul kecil dikarenakan
belum memiliki sarana transportasi yang memadai untuk menjual ke pengumpul besar
maupun ke koperasi. Padahal jika petani melakukan penjualan ke pengumpul besar
maupun koperasi margin yang diperoleh lebih besar. Pembentukan pelaku bisnis yang
profesional merupakan suatu proses yang panjang dan hanya dapat dilakukan melalui
praktek dunia usaha melalui proses strukturisasi, komunikasi, sistem manajemen dan
kepemimpinan yang rasional, serta rencana karier yang mantap (Rintuh dan Miar 2005).
Rantai pasok hortikultura kecamatan Argapura ada di Desa Sukadana, Cibunut,
Argalinga dan Teja Mulya meliputi petani, pengumpul kecil, pengumpul besar, pasar
kecamatan dan pasar induk. Pengumpul kecil biasanya memperoleh produknya dengan
sistem berlangganan dari desa setempat. Kecamatan Argapura memiliki gabungan
kelompok tani seperti Cipta Marga yang terletak di Desa Sukadana, Gapoktan Mekar
Guna 1 yang terletak di Desa Teja Mulya, gapoktan Barokah Jaya terletak di Desa
Cibunut dan Gapoktan Sinar Tani 1 terletak di Desa Argalinga. Kecamatan Argapura
termasuk dataran tinggi
Gabungan kelompok tani (gapoktan) di kecamatan Talaga adalah Taman Sari, Giri
Rahayu, Blok Desa, dan Mekar Rahayu. Rantai pasok yang terjadi di kecamatan Talaga
sangat pendek yakni hanya ada petani, pengumpul kecil, pengumpul besar, pasar lokal
dan konsumen, belum sampai ke pasar induk. Tantangan akses pemasaran untuk
jaringan produsen skala kecil dengan rantai modern yaitu: (1) kesadaran (pemahaman
tentang pemasaran, pembeli, permintaan, tren dan strandard), (2) ketrampilan
organisasi dan manajemen (skala ekonomi, produksi, finansial dan keterampilan
marketing, kolaborasi dengan pihak lain), (3) teknologi (mesin dan peralatan, teknik
produksi, keterampilan teknis), (4) sumberdaya financial (modal kerja dan investasi,
akses kredit dan alternatif perbankan tradisional), (5) infrastuktur (jalan desa, tempat
pemasaran, pedagang besar) dan (6) aspek kebijakan (kerangka kerja yang legal,
hambatan sistem tarif dan non tarif, lingkungan pedagangan) (Bahtiar 2011).

Petani

Pengumpul kecil

Pengumpul besar

Pasar lokal

Pasar induk

Pasar antar
pulau

Dataran tinggi

Dataran rendah

Petani Rp 10 000
Margin: Pasar lokal

Rp 21 000
Margin: Rp 3,35
R/C:1.54

Pengumpul kecil
Rp 14 000
Margin: Rp 1,03
R/C: 1,07

Pengumpul besar
Rp 18 000
Margin: Rp 2,5
R/C: 1.04

Pasar lokal
Rp 21 000
Margin: Rp 3,35
R/C:1.54

Pasar induk
Rp 25 000
Margin: Rp 4,060
R/C: 1.02

Pasar antar pulau
Rp 27 000
Margin: Rp 5,95
R/C:1.27

Rp 1,02

Keterangan :
Pola rantai pasok 1
Pola rantai pasok 2
Pola rantai pasok 3
Pola rantai pasok 4
Pola rantai pasok 5
Gambar 3 Rantai pasok yang berkaitan dengan rantai nilai 4 dataran tinggi dan 1 dataran rendah di Majalengka

16

Kecamatan Ligung merupakan dataran rendah yang memiliki 5 kelompok tani
yaitu Cikadu, Tiang Anjung II, Lung Lumbung dan Cimana Horeng dengan skema
rantai pasok petani, pengumpul kecil, pengumpul besar, pasar lokal, pasar induk dan
konsumen. Gapoktan yang dimiliki adalah Gapoktan Cikadu dan Cimana Horeng di
Desa Kodasari, Tiang Anjung II di Desa Majasari, serta Lung Lumbung di Desa
Kedung Kencana. Rantai nilai yang diterapkan di wilayah ini hasil komoditas cabainya
sudah banyak dikenal pasar induk karena penjualannya produksi dan kualitas produk
lebih baik. Rantai memberikan wahana mengidentifikasi cara untuk menciptakan
diferensiasi melalui pengembangan nilai (Raras 2009).
Skema rantai pasok di kecamatan Banjaran terdiri dari petani, pengumpul kecil,
pengumpul besar, pasar lokal, pasar induk, pengecer dan konsumen. Teknologi
pascapanen yang diterapkan di kecamatan Banjaran sudah maju serta sudah ada
pengolahan cabai. Cabai rusak dibuat tepung cabai halus dan kasar, serta saos.
Sedangkan jika terjadi fluktuasi harga dipasaran maka cabai segar yang dipasar belum
tentu diterima pasar dijual dalam kondisi kering.
Kelompok tani yang ada di kecamatan Cikijing diantaranya Mekar Mukti, Mitra
Mukti, dan Bebera. Kelompok tani atau Gapoktan Mekar Mukti terletak di Desa
Cipulus, Bebera terletak di desa Kancana, dan Mitra Mukti terletak di desa Cilangcang.
Skema rantai pasok yang terjadi sudah sampai ke pasar induk yaitu petani, pengumpul
kecil, pengumpul besar, pasar lokal, pasar induk, pengecer dan konsumen.
Sumber daya dalam rantai yang dimiliki setiap anggota rantai pasok berperan
dalam pengembangan seluruh anggota rantai pasok (Dilana 2013). Aliran produk terjadi
mulai dari pemasok hingga ke konsumen, sedangkan arus balik aliran ini adalah aliran
permintaan dan informasi (Djatna 2009). Beberapa pedagang pengumpul kecil juga
berprofesi sebagai petani. Transaksi petani dengan para pedagang pengumpul kecil
biasanya dilakukan di kebun milik petani dan di rumah pedagang pengumpul kecil.
Transaksi pengumpul kecil dengan pengumpul besar dilakukan di pasar lokal Argapura.
Hasil panen milik petani biasanya dijual dengan sistem berlangganan, baik oleh
pedagang pengumpul besar maupun ke konsumen. Cara ini memudahkan pengumpul
ataupun petani untuk memasarkan produknya tanpa harus menunggu dalam waktu yang
lama, karena cabai langsung dipasarkan ke beberapa pedagang pasar, konsumen, hingga
ke luar kota seperti Gambar 3.
Terdapat 3 pola rantai pasok yang terjadi pada dataran tinggi kabupaten
Majalengka (Gambar 3). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rantai pasok yang efisien
bagi petani cabai yaitu pola rantai pasok yang menjual langsung produk ke pedagang
besar lalu ke pasar antar pulau (Lampung dan Palembang). Pola tersebut memberikan
keuntungan bagi petani lebih besar dalam menjual produk cabai. Petani yang menjual
produk cabai ke pasar biasanya mempertimbangkan harga yang belum mereka
disepakati dan hanya menjual sebagiannya saja sambil menunggu harga yang stabil di
pasaran. Semakin panjang pola rantai pasok pemasaran produk maka semakin tinggi
juga margin yang terjadi (Tarigan et al. 2013).
Terdapat 2 pola rantai pasok dataran rendah di kabupaten Majalengka yaitu petani
yang menjual produk ke pengumpul kecil dan pengumpul besar (Gambar 3). Pedagang
pengumpul kecil memperoleh informasi pasar mengenai harga jual dan kualitas produk
cabai dari pedagang pengumpul besar dan pasar lokal. Petani akan memilih calon
pembeli cabai jika menawarkan harga yang lebih tinggi, akan tetapi petani cabai sudah
memiliki langganan pembeli yang lokasinya dekat. Hubungan antar pelaku rantai pasok
juga ditentukan oleh kesepakatan melalui proses penentuan harga jual produk

17

(Riwanti 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rantai pasok yang efisien bagi
petani yaitu yang menjual langsung produk ke pedagang besar lalu ke pasar induk,
dibanding pola rantai pasok melalui pengumpul kecil. Menurut Hidayat (2012),
pemasaran dapat panjang atau pendek apabila pemasaran pendek maka pemasaran tidak
efisien sehingga harga jual ditingkat petani akan menjadi tinggi dan harga ditingkat
konsumen menjadi tinggi.

B. Analisis rantai nilai pada setiap pelaku
Petani mempunyai peranan penting pada sistem rantai nilai cabai di kabupaten
Majalengka. Pada sebuah wilayah terdapat rantai nilai yang secara tidak langsung
menjadi bagian dari aktivitas bisnis petani cabai di suatu wilayah. Rantai nilai
didefinisikan sebagai sebuah rangkaian proses produktif mulai dari penyediaan input,
budidaya, pemasaran hasil panen dan distribusi hingga ke konsumen akhir. Penerapan
metode rantai nilai dalam pengembangan wilayah cabai akan menciptakan keterkaitan
dan integrasi yang lebih kuat diantara para pelaku usaha dan meningkatkan daya saing
dari