Distribusi Virus Avian Influenza (H5N1) Pada Jaringan Tubuh Itik Dengan Metode Imunohistokimia

(1)

DENGAN METODE IMUNOHISTOKIMIA

KUSUMA SRI HANDAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Distribusi Virus Avian Influenza

(H5N1) pada Jaringan Tubuh Itik dengan Metode Imunohistokimia adalah karya

saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk

apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Kusuma Sri Handayani

NIM B054050051


(3)

KUSUMA SRI HANDAYANI. The Distribution of Avian Influenza (H5N1)

Virus in the Duck Tissues Using Immunohistochemistry Method. Under direction

of RETNO D. SOEJOEDONO and EKOWATI HANDHARYANI.

Twelve female, four and six- month-old ducks were used in this research. The

ducks were placed individually in biosafety-level-3 cages, and devided into four

treatments groups. Control group is placed on the different place. After passed the

adaptation processed, group I were given with inactive vaccine on the third day.

Furthermore on the 6

th

day, all ducks group I, II, and III are challenged with Avian

Influenza/AI virus (H5N1, 10

4

EID50, FKH/IPB/Duck/NG29) for each duck. The

clinical examination indicated that on the 11

th

day post infection, all ducks had

already showed clinical symptom as sinusitis, conjunctivitis and white colored

diarrhea. Necropsy procedure was performed followed by histopathological

examination by using hematoxylin and eosin stain, and continued with

immunohistochemistry method. Histopathological examination showed the

existence of varieties in

lymphocyte infiltration level especially around blood

vessel, hyperemia and congestion.

Immunohistochemistry investigation in group

I showed the existence of mildly (+) H5N1 antigen in lungs, heart, pancreas,

spleen, kidney, ovary, and isthmus. Trachea and intestines showed moderate

immunoreactivities (++). There was no H5N1 antigen was found in chest and

thigh muscles. Group II and III demonstrated that H5N1 antigen were found

within lungs, heart, pancreas, spleen, kidney, liver, chest muscle, ovary, and

isthmus in mild and moderate degrees, whereas high degree were found in trachea

and intestines. The conclusion of this research indicated that H5N1 virus can be

detect in various immunoreactivities within duck tissues. H5N1 virus is able to

spread systemically and influence many organs of ducks in various degrees.


(4)

RINGKASAN

KUSUMA SRI HANDAYANI.

Distribusi Virus Avian Influenza (H5N1) pada

Jaringan Tubuh Itik dengan Metode Imunohistokimia. Dibimbing oleh RETNO D.

SOEJOEDONO dan EKOWATI HANDHARYANI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi virus H5N1 pada

jaringan tubuh itik melalui deteksi antigen spesifik dengan menggunakan metode

imunohistokimia dan mempelajari keterkaitan antara keberadaan virus AI dengan

keamanan pangan daging itik sebagai ternak konsumsi.

Menggunakan hewan percobaan 12 ekor jenis itik tegal yang diperoleh

dari peternakan di Cirebon umur 4 bulan dan 6 bulan (telah berproduksi). Itik

dikadangkan secara individual yang dibagi dalam empat kelompok perlakuan.

Setiap perlakuan terdiri atas 3 ekor itik. Kelompok kontrol ditempatkan dalam

ruang yang berbeda dengan kelompok perlakuan lainnya. Setelah melalui proses

adaptasi, pada kelompok perlakuan I dilakukan pemberian vaksin inaktif dengan

dosis 0,5 ml/ ekor pada hari ke 3. Selanjutnya pada hari ke 6 pada kelompok

perlakuan I, II dan III semua itik ditantang dengan virus AI

(H5N1)(FKH/IPB/Duck/NG29) dengan dosis 10

4

EID50 per ekor. Pada hari ke 11

semua itik telah menunjukkan gejala klinis berupa sinusitis, konjungtivitis dan

diare berwarna putih. Selanjutnya dilakukan nekropsi dan pengambilan sampel

organ trakea, paru-paru, jantung, hati, limpa, ginjal, pankreas, usus, otak, ovarium,

isthmus otot dada dan otot paha. Dimasukkan dalam buffered Neutral Formalin

(BNF) 10%. Tahap selanjutnya pembuatan blok parafin dan dilanjutkan dengan

pembuatan preparat untuk pewarnaan Hemaktosilin dan Eosin/HE dan

imunohistokimia. Hasil positif dinyatakan positif (+) apabila terdapat warna

merah kecoklatan dan negatif jika warna tersebut tidak terdeteksi, data yang

diperoleh dianalisis dengan menggunakan Kruskal Wallis.

Pada penelitian ini dari hasil pengamatan histopatologi dengan metode

HE, pada beberapa organ seperti trakea, paru-paru, limpa, hati, usus, pankreas,

ginjal, ovarium, dan isthmus menunjukkan adanya berbagai tingkatan infiltrasi

limfosit yang terutama berada disekitar pembuluh darah, hiperemia dan kongesti.

Pada pemeriksaan imunohistokimia pada kelompok perlakuan I ditemukan adanya

antigen virus H5N1 pada organ paru, jantung, pankreas, limpa, ginjal, ovarium

dan isthmus dalam derajat yang ringan (+) untuk trakea serta usus menunjukkan

adanya antigen H5N1 dalam jumlah yang sedang (++), tidak ditemukan adanya

antigen H5N1 pada organ hati, otot dada dan otot paha. Pada kelompok perlakuan

II dan III antigen virus AI H5N1 ditemukan pada organ paru, jantung, pankreas,

limpa, ginjal, ovarium dan istmus dalam derajat ringan (+) dan sedang (++)

sedangkan pada trakea serta usus berada pada derajat yang tinggi (+++). Tidak

ditemukan adanya antigen H5N1 pada organ hati, otot dada dan otot paha. Hasil

analisis statistik pada gambaran imunohistokimia dari masing-masing perlakuan

menunjukkan bahwa tidak berbeda nyata antara perlakuan I, II, dan III namun

terdapat perbedaan nyata antara 3 kelompok perlakuan lainnya dengan kelompok

kontrol.

Kesimpulan dari penelitian ini bahwa antigen virus AI H5N1 dapat

dideteksi pada berbagai jaringan tubuh itik dengan pewarnaan imunohistokimia


(5)

kesehatan masyarakat veteriner, keberadaan virus pada berbagai jaringan tubuh

itik akan berkaitan dengan kemungkinan tranmisi virus menyebar ke lingkungan

dan manusia yang menangani dan mengkonsumsi produk itik dan telur dari itik

yang terinfeksi.


(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1.

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a.

Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya

ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu

masalah

b.

Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

DENGAN METODE IMUNOHISTOKIMIA

KUSUMA SRI HANDAYANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(8)

Judul Tesis : Distribusi Virus Avian Influenza (H5N1) Pada Jaringan Tubuh Itik

Dengan

Metode

Imunohistokimia

Nama

: Kusuma Sri Handayani

NIM :

B054050051

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS. drh. Ekowati Handharyani, MS. Ph.D.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.


(9)

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala

karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam

penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2008 ini adalah distribusi virus

Avian Influenza dalam tubuh itik, dengan judul Distribusi Virus Avian Influenza

(H5N1) pada Jaringan Tubuh Itik dengan Metode Imunohistokimia.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. drh. Retno D.

Soejoedono, MS. dan Ibu drh. Ekowati Handharyani, MS., Ph.D. selaku

pembimbing yang telah banyak memberi masukan dan saran dalam penulisan

karya ilmiah ini. Disamping itu, penghargaan penulis juga sampaikan kepada

Bapak Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si. selaku Ketua Program Studi Kesehatan

Masyarakat Veteriner (KMV) Sekolah Pascasarjana IPB. Tak lupa kepada semua

pihak yang telah membantu selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini

penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuan dan kerjasamanya.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda (alm), ibunda

(almh), suami dan anakku serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih

sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2009

Kusuma Sri Handayani


(11)

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 21 Oktober 1973 sebagai anak

bungsu dari pasangan Soedjarmo (alm) dan Soeparti (almh). Tahun 2006 penulis

menikah dengan Arif Nindyo Kisworo dan telah dikaruniai seorang putra yang

bernama Faizan Dzaky Widyandono.

Pada tahun 1992 Penulis menamatkan sekolah menengah atas di SMAN 3

Bogor dan pada tahun yang sama penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Airlangga Surabaya melalui jalur UMPTN (Ujian Masuk Perguruan

Tinggi Negeri).

Sejak tahun 2000 penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Sekolah

Tinggi Penyuluhan Pertanian Bogor, Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia

Pertanian, Departemen Pertanian. Kesempatan untuk melajutkan pendidikan

Program Pascasarjana IPB pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

diperoleh pada tahun 2006.


(12)

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL

...

xi

DAFTAR LAMPIRAN ...

xii

PENDAHULUAN

...

1

Latar

Belakang

...

1

Tujuan

...

3

Manfaat

...

3

TINJAUAN PUSTAKA ...

4

Virus Influenza Tipe A...

4

Virus Influenza A Subtipe H5N1 ...

6

Patogenesis

...

9

Penularan dan Penyebaran Penyakit ...

11

Virus AI Pada Unggas Air ...

14

Vaksinasi AI

...

16

Imunohistokimia

...

18

MATERI DAN METODE ...

21

Waktu dan Tempat Penelitian ...

21

Materi Penelitian ...

21

Metode Penelitian ...

22

Desain

Penelitian

...

22

Prosedur

Penelitian

...

23

Pemeriksaan

Histopatologi

...

24

Rancangan dan Analisis Data ...

24

HASIL DAN PEMBAHASAN ...

25

SIMPULAN DAN SARAN ...

34

DAFTAR PUSTAKA ...

35


(13)

xi

Halaman

1.

Jumlah kumulatif kasus Avian Influensa A (H5N1) pada

manusia yang dilaporkan dan dikonfirmasi ke WHO (2008) ... 8

2. Distribusi antigen H5N1 pada organ itik dengan metode


(14)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1

Gambaran dengan metode imunohistokimia dan HE pada beberapa

organ itik yang terinfeksi virus H5N1

...

42

2

Data statistik gambaran imunohistokimia pada jaringan tubuh


(15)

Latar Belakang

Kejadian Avian Influenza (AI) yang disebabkan virus H5N1 menyerang

sejumlah peternakan unggas di Indonesia menyebabkan kerugian ekonomi yang

tidak sedikit pada industri perunggasan akibat mortalitas dan morbiditasnya yang

tinggi.

Penyakit AI dapat menjadi hambatan dalam perdagangan produk asal

hewan baik nasional, regional maupun global karena produk yang dihasilkan

menjadi tidak aman bagi lingkungan budidaya ternak.

Demikian juga dampak

wabah virus AI terhadap keadaan gizi rakyat, yang memerlukan unggas dan telur

karena

kandungan nutrisi dan proteinnya yang tinggi, serta mengandung asam

amino essensial yang dibutuhkan tubuh dan berperan dalam mencerdaskan

kehidupan bangsa.

Sejak tahun 1997 infeksi virus AI dipeternakan unggas meningkat secara

signifikan dan adanya kasus penularan dari unggas ke manusia yang

menyebabkan gejala yang parah dan infeksi pada manusia yang fatal. Kehadiran

infeksi endemik oleh virus HPAI H5N1 di peternakan unggas dibeberapa negara

Asia menandakan bahwa virus ini akan mengkontaminasi lingkungan dan akan

terus menyebar luas dan menginfeksi manusia (Perdue & Swayne 2005).

Virus

Highly Pathogenic Avian Influenza

(

HPAI) tipe A (H5N1) telah

menjadi epizootik di Asia, Eropa, dan Afrika. Menginfeksi unggas peliharaan dan

telah menjadi endemik dibeberapa area serta telah menginfeksi manusia secara

sporadis melalui kontak langsung dengan unggas terinfeksi atau burung liar. Bila

hal ini terus berlangsung bisa menjadi ancaman yang penting bagi kesehatan

masyarakat (CDC 2008a).

Untuk itu berbagai upaya telah dilakukan untuk

mencegah penyebaran yang lebih meluas.

Karakteristik biologis virus AI yang mendukung kemampuannya untuk

menimbulkan penyakit pada unggas, mamalia dan juga manusia adalah karena

komposisi virus AI sangat labil yaitu mudah mengalami mutasi, dengan virulensi

dan patogenitasnya yang sangat bervariasi.

Virus ini dapat menyebabkan pandemi

karena mudahnya mereka bermutasi, baik secara

antigenic drift

ataupun

antigenic

shift

sehingga membentuk varian-varian baru

(Horimoto & Kawaoka 2005). Virus


(16)

2

H5N1 telah memperluas macam dan jumlah induk semangnya dengan

menginfeksi dan membunuh spesies mamalia dan juga manusia yang sebelumnya

dianggap resisten terinfeksi virus AI (WHO 2005a).

Semua subtipe virus AI yang teridentifikasi telah diisolasi dari

burung-burung air (Weaver 2005). Virus H5N1 telah tersebar luas pada itik piaraan di

Cina Selatan dan diduga endemik di seluruh Asia Tenggara

(Chen

et al. 2004).

Potensi unggas air sebagai sumber penularan AI perlu diwaspadai. Hewan ini

berperan sebagai tempat replikasi, adaptasi dan evolusi virus. Reassortment

genetik diantara dua virus AI yang berbeda dapat terjadi pada saluran intestinal

itik dan mensekresikan dalam jumlah yang tinggi dalam fesesnya dengan tanpa

menimbulkan gejala sakit (Hinshaw et al. 1980).

Penemuan ini menunjukkan

adanya jalur penyebaran penyakit kepada burung-burung lainnya dan

kemungkinannya juga pada manusia.

Namun dari kejadian wabah AI pada akhir tahun 2002 yang terjadi di

Hongkong pada burung-burung migrasi liar dan unggas air yang menetap

(termasuk itik) diketahui bahwa strain virus H5N1 menjadi lebih patogenik

dimana itik mengalami penyakit akut temasuk menderita disfungsi neurologis dan

kematian (Sturm-Ramirez et al. 2004).

Imunohistokimia merupakan alternatif yang sangat baik untuk digunakan

dalam mendiagnosa dan tujuan penelitian karena relatif cepat dan sensitif, dengan

cara mengkombinasikan teknik anatomi, immunologi dan biokimia untuk

mengidentifikasi komponen spesifik pada jaringan melalui reaksi Ag-Ab spesifik.

Imunohistokimia memungkinkan pula untuk menggambarkan distribusi

komponen spesifik pada permukaan sel, di dalam sel

,

ataupun jaringan

Metode imunohistokimia dapat digunakan untuk mendeteksi satu atau

bermacam antigen secara bersamaan atau bahkan untuk mengevaluasi jaringan

pada satu bagian yang sama untuk mengetahui adanya antigen tertentu.

Banyak

protein dari agen penginfeksi (virus, bakteri, parasit dan jamur) dapat dideteksi

dengan teknik ini

(Anonim 2008a).


(17)

Tujuan Penelitian

1.

Mengetahui distribusi virus AI (H5N1) pada jaringan tubuh itik melalui

deteksi antigen spesifik dengan menggunakan metode imunohistokimia.

2.

Mempelajari keterkaitan antara keberadaan virus AI dengan keamanan pangan

produk itik (daging, jeroan dan telur).

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi distribusi virus AI

(H5N1) pada jaringan tubuh itik serta peranannya dalam penyebaran penyakit AI

dan keamanan pangan produk itik (daging, jeroan dan telur).


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Virus Influenza Tipe A

Penyakit Avian Influensa (AI) disebabkan oleh virus influensa tipe A

yang

merupakan virus RNA dari famili

Orthomyxoviridae

dengan genus

Orthomyxovirus

. Berbentuk

spheris

atau longitudinal, asam nukleatnya berantai

tunggal dengan kutub negatif, sepanjang kurang lebih 13.588 nukleotida yang

tersusun dalam 8 segmen gen yang mengkode sekitar 10 jenis protein, yakni

HA

(Hemaglutinin), NA (Neuraminidase), NP (Protein Nukleokapsid), M1 dan M2

(Protein matriks), NS1 dan NS2 (Protein nonstruktural), PA (Polimerase protein

A), PB1 dan PB2 (Polimerase protein B1 dan B2) (Ghedin

et al.

2005).

Daerah eksternal Hemaglutinin terdiri dari oligosakharida yang

menyalurkan derivat neuroaminic, berbentuk seperti tombol dan berkaitan dengan

kemampuannya melekat pada reseptor sel

(Watowich

et al.

1994).

Neuraminidase

berperan untuk menghidrolisis ikatan antara galaktosa dan N–acetylneraminic

pada rantai ujung oligosakharida–glikoprotein. Fungsi NA ini harus berada dalam

keseimbangan dengan HA. Hal ini agar aktivitas enzimatik dalam melepaskan

asam sialat dari sel yang terinfeksi tidak menyebabkan penurunan efisiensi infeksi

sel berikutnya. Fungsi lain dari NA adalah untuk melepaskan partikel virus yang

sudah selesai replikasi dalam sel, mencegah virion yang sudah terbentuk tersebut

menempel kembali pada reseptor asam sialat melalui tonjolan HA. Oleh karena itu

efisiensi replikasi virus AI sangat tergantung pada kerjasama protein HA dan NA

dari virus (Suzuki

et al.

2000).

Polimerase RNA-RNA aktif, yang bertanggung jawab untuk replikasi dan

transkripsi, dibentuk dari PB2, PB1, dan PA. Polimerase tersebut memiliki

aktivitas endonuklease dan diikat ke RNP. Protein NS1 dan NS2 memiliki fungsi

pengaturan untuk mendorong sintesis komponen-komponen virus dalam sel

terinfeksi. (Gurtler 2006)

Protein matriks mempunyai peran dalam penyusunan virion virus AI.

Bersama dengan protein HA dan NA protein M2 menyusun struktur amplop virus

dan berperan sebagai saluran ion. Protein M1 tidak hanya sebagai komponen


(19)

struktural virus, tetapi juga berperan pada awal infeksi dalam pemisahan protein

M1 dari RNP untuk masuk ke dalam sitoplasma sel tropisma (Reid

et al

. 2002).

Virus influensa memiliki 2 antigen utama yaitu Hemaglutinin (HA atau H)

dan Neuraminidase (NA atau N) (Horimoto & Kawaoka 2005). Subtipe virus

influensa tipe A dinamai berdasarkan kedua antigen utama tersebut (HA dan NA).

Berdasarkan sifat antigenisitas dari glikoprotein, virus influensa A telah

teridentifikasi ada 16 subtipe HA (H1-H16) dan 9 subtipe NA (N1-N9). (

CDC

2008)

.

Klasifikasi tersebut ditetapkan melalui analisis filogenetik terhadap

nukleotida dan penetapan urutan (sequences) gen-gen HA dan NA melalui cara

deduksi asam amino (

Fouchier

et al

. 2005).

Virus AI juga bersifat dinamis dan dapat berkembang secara terus

menerus. Variasi antigenik pada virus AI dapat terjadi melalui 2 cara yakni

drift

dan

shift

Pada

antigenic drift

, prosesnya terjadi secara berlahan-lahan dengan

menghasilkan sedikit perubahan pada struktur antigen permukaan HA dan atau

NA, sehingga dihasilkan virus strain baru (

CDC 2005b).

Determinan antigenik

dari glikoprotein permukaan HA dan NA dipengaruhi oleh mekanisme yang

dipicu oleh kekebalan

(Fergusson

et al

2003).

Mutasi yang menonjol di tempat

antigenik menurunkan atau menghambat ikatan antibodi-antibodi penawar

(

neutralising

antibody),

dengan demikan memudahkan subtipe baru untuk

menyebar dalam populasi yang tidak punya kekebalan.

Antigenic shift

menunjukkan adanya perubahan mendadak dan mendalam

dalam determinan antigenik, yaitu pertukaran subtipe HA dan atau NA, di dalam

satu siklus tunggal replikasi. Hal ini terjadi dalam sebuah sel yang secara

bersamaan terinfeksi oleh dua atau lebih virus influensa A dari subtipe yang

berbeda. Karena distribusi segmen genomik virus yang sudah tereplikasi ke dalam

progeni yang baru tumbuh berlangsung tanpa tergantung kepada subtipe asal dari

tiap segmen itu, dapat muncul progeni yang berkemampuan untuk bereplikasi

yang membawa informasi genetik dari virus induk yang berbeda-beda

(WHO

2005b).

Antigenic shift

dapat timbul melalui tranmisi secara langsung dari unggas

ke manusia atau melalui percampuran antara gen virus influensa tipe A pada


(20)

6

manusia dan gen virus influensa tipe A pada hewan untuk membentuk virus

subtipe A melalui sebuah proses yang disebut

genetic reabsorbment

(CDC

2005a

).

Virus Influensa A mempunyai selubung yang mengandung glikoprotein

dan dilapisi oleh lapisan lemak ganda. Virus ini tetap hidup dalam air pada suhu

20

0

C selama 4 hari, pada suhu 0

0

C dapat bertahan hidup lebih dari 30 hari dan

masih tetap infektif dalam feses pada suhu 4

0

C selama 30-35 jam serta mampu

hidup selama 7 hari pada suhu 20

0

C. Virus AI sensitif pada panas dan mati pada

temperatur 56

0

C selama tiga jam atau pada temperatur 60

0

C selama 30 menit atau

lebih. Virus tahan pada kondisi pH asam, kondisi lingkungan yang kering atau

pada kondisi yang nonisotonik. Selubung virus dapat dirusak oleh deterjen dan

infektivitasnya mampu dirusak dengan cepat oleh formalin, beta-propiolakton,

agen yang bersifat oksidan, asam encer, eter, deoksikolat, hidroksilamin,

Na-dedoksisulfat dan ion-ion ammonium serta senyawa iodium

(Tabbu 2000).

Virus Influenza A Subtipe H5N1

Semua virus AI yang ada pada burung, virus H5N1 yang paling menjadi

perhatian karena pengaruhnya terhadap kesehatan manusia dengan dua alasan;

pertama, virus H5N1 sampai sejauh ini adalah penyebab paling banyak kasus

kesakitan yang sangat parah dengan sejumlah kematian yang cukup besar. Virus

ini telah menembus batas spesies untuk menginfeksi manusia; yang kedua adalah

dampak selanjutnya terhadap kesehatan manusia, dimana jika virus H5N1 diberi

kesempatan yang cukup maka akan mengembangkan karakter yang diperlukannya

untuk menyebabkan pandemi influensa (WHO 2006).

Virus H5N1 adalah subtipe dari spesies virus influensa A. Strain virus

HPAI A (H5N1) yang pertama kali diketahui telah membunuh dua flok ayam di

peternakan Skotlandia tahun 1959, tetapi strain virus tersebut sangat berbeda

dengan strain virus HPAI A yang ada saat ini. Studi AI H5N1 sejak tahun 1997

menunjukkan bahwa virus ini terus berkembang dengan mengalami perubahan

pada antigenisitas dan susunan gen internalnya sehingga terjadi peningkatan

patogenisitas dengan kemampuannya menginfeksi, menyebabkan terjadi perluasan

jenis induk semang seperti pada spesies burung, tikus dan cerpelai serta bangsa


(21)

kucing dengan mengakibatkan infeksi sistemik dan virus ini juga dapat menjadi

lebih stabil dilingkungannya (Perdue & Swayne 2005).

Penemuan lain menunjukkan virus H5N1 menginfeksi babi di Cina dan

Vietnam, menginfeksi kucing (pada percobaan infeksi pada kucing rumah) di

Netherland, diisolasi dari kucing rumah di Jerman, Thailand, Irak dan Rusia,

menginfeksi anjing (isolasi virus H5N1 pada anjing mati di Thailand), isolasi

virus H5N1 pada harimau dan leopard di kebun binatang Thailand. Selanjutnya

virus H5N1 juga menginfeksi sejenis cerpelai di Jerman serta pada kucing liar di

Vietnam. Strain virus H5N1 terus berkembang dan dapat beradaptasi, sehingga

mamalia lain juga dapat terinfeksi (CDC 2008b).

Virus H5N1 telah bermutasi ke dalam berbagai strain dengan profil

patogenik yang berbeda. Beberapa bersifat patogen terhadap spesies tertentu,

tetapi yang lain tidak. Setiap variasi genetik spesifik yang diketahui dapat dilacak

dengan isolat virus dari kasus infeksi tertentu. Strain virus HPAI A yang dominan

pada tahun 2004, berkembang dari virus

tahun 1999 sampai 2002 untuk

menciptakan genotip Z (Perdue & Swayne 2005).

Genotip Z muncul tahun 2002 melalui pengelompokan dari genotip awal

virus HPAI H5N1 (Li

et al

. 2004) yang menginfeksi burung di china tahun 1996,

dan pertama menginfeksi manusia di Hongkong tahun 1997 (WHO 2006).

Genotip Z endemik pada burung-burung di Asia Tenggara dimana telah

membentuk sedikitnya dua

clades

yang dapat menginfeksi manusia dan telah

menyebar di dunia pada populasi burung. Mutasi yang terjadi diantara genotip ini

telah meningkatkan patogenitasnya (Chen

et al

2004).

Isolat virus H5N1 yang diperoleh dari Hongkong tahun 1997 sampai 2001

menunjukkan bahwa virus ini tidak menyebabkan gejala penyakit yang nyata pada

burung. Namun pada tahun 2002 isolat baru virus H5N1 yang muncul pada

populasi burung di Hongkong, virus ini menyebabkan penyakit akut, termasuk

disfungsi neurologis dan kematian pada itik (Sturm-Ramirez

et a

l. 2004).

Penelitian terhadap virus H5N1 yang diisolasi dari manusia yang terinfeksi

pada tahun 1997, menunjukkan bahwa mutasi genetik pada posisi 627 dari gen

PB2 yang mengkode ekspresi

polymesase basic protein

(Glu627Lys) telah

menghasilkan

highly cleavable hemagglutininglycoprotein

yang merupakan faktor


(22)

8

virulensi yang dapat meningkatkan aktivitas replikasi virus H5N1 dalam sel

hospesnya

(Hatta

et al

. 2001).

M

utasi dari virus H5N1 kemungkinan besar dapat

menghasilkan varian virus H5N1 baru yang dapat mengenali reseptor spesifik

yang ada pada sel manusia (

natural human

α

2-6 glycan

), sehingga bila ini terjadi

maka penularan virus H5N1 dari manusia ke manusia dapat terjadi dengan mudah

(Stevens

et al

. 2006).

Tabel 1. Jumlah kumulatif kasus Avian Influensa A (H5N1) pada manusia yang

dilaporkan dan dikonfirmasi ke WHO

Sumber : WHO 2008

Virus H5N1 memungkinkan untuk menyebabkan lebih dari satu pandemi

influenza karena diduga terus bermutasi pada burung tanpa peduli apakah manusia

mampu mengembangkan imunitas turunan terhadap strain-strain virus yang baru

tersebut. Analisa genetik virus H5N1 menunjukkan bahwa keturunan genetiknya

Negara

2003 2004 2005 2006 2007 2008 Total

kasus mati kasus mati kasus Mati kasus mati kasus mati kasus mati kasus mati

Azerbaijan

0 0

0 0 0 0 8 5 0 0 0 0 8 5

Cambodia

0 0

0 0 4 4 2 2 1 1 0 0 7 7

China 1 1

0 0 8 5 13

8 5 3 3 3 30

20

Djibouti 0 0

0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0

Egypt 0 0

0 0 0 0 18

10

25

9 7 3 50

22

Indonesia

0 0 0 0 20

13

55

45

42

37

16

13

133

108

Iraq

0 0

0 0 0 0 3 2 0 0 0 0 3 2

Lao

People's

Democratic

Republic

0 0

0 0 0 0 0 0 2 2 0 0 2 2

Myanmar

0 0

0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0

Nigeria 0 0

0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1

Pakistan 0 0 0 0 0 0 0 0 3 1 0 0 3 1

Thailand 0 0 17 12

5

2

3

3

0

0

0

0 25 17

Turkey 0 0

0 0 0 0 12

4 0 0 0 0 12

4

Viet

Nam

3 3 29 20 61 19 0 0 8 5 5 5 106

52


(23)

dapat dengan mudah menjadi jauh lebih mematikan (Webster & Govorkova

2006).

Patogenesis

Virus AI terbagi atas dua grup berdasarkan pathogenitasnya yang terdiri

atas virus influenza unggas berpatogenitas rendah (

Low Pathogenic Avian

Influenza

, LPAI), menyebabkan penyakit yang ringan yang mungkin tidak

terdapat atau tidak menunjukkan gejala pada beberapa spesies burung ; dan yang

kedua adalah virus influensa unggas yang sangat patogen (

Highly Pathogenic

Avian Influenza

, HPAI) menyebar dengan cepat dapat menyebabkan serangan

penyakit yang serius dengan tingkat kematian yang tinggi (mencapai 90 sampai

100%)

(Swayne & Suarez 2003).

Patogenesis virus AI dipengaruhi antara lain oleh tropisme (reaksi ke arah

atau menjauhi stimulus), efektivitas replikasi dan mekanisme penghindaran

imunitas. Selain itu faktor spesifik pada tiap spesies berperan juga terhadap hasil

suatu infeksi, yang terjadi setelah penularan antar spesies

(Swayne & Suarez

2000).

Patogenesis dan virulensi virus AI ditentukan oleh beberapa faktor yang

saling berinteraksi (Behrens & Stoll 2006):

a. Faktor

hospes

:

Keberadaan reseptor target pada sel

hospes

Ketersediaan enzim-enzim pada sel

hospes

yang penting untuk

masuknya virus dan replikasi

Keadaan kekuatan sistem imun pada

hospes

individu

Imunitas spesifik terhadap

epitope

virus tertentu pada

hospes

individu

dan populasi target

Kemampuan sistem imun untuk mengendalikan replikasi virus yang

efektif tanpa menimbulkan kerusakan kolateral yang serius karena

respons inflamasi bagi

hospes

b. Faktor

virus

Kemampuan untuk berikatan dengan sel

hospes


(24)

10

Restriksi efek sitopatogenik untuk memberikan keseimbangan yang

cocok antara replikasi virus dan pengendalian oleh

hospes

Melepaskan diri dari pengawasan sistem imun dengan evolusi antigen

yang bervariasi yang digerakkan oleh tekanan selektif respon imun.

Melepaskan diri dari pengawasan sistem imun lewat cara rekombinasi

dengan jenis virus berbeda dari penyakit zoonotik

Modulasi respons imun untuk melemahkan mekanisme pertahanan

hospes yang efektif.

Biasanya virus-virus H5 dan H7 bertahan stabil dalam bentuk yang

berpatogenitas rendah dalam reservoir alaminya. Selanjutnya virus ditularkan

melalui berbagai jalan ke peternakan unggas, mengalami masa sirkulasi yang

bervariasi dan mengalami adaptasi dalam populasi unggas yang rentan seperti

ayam dan kalkun. Selanjutnya spesies unggas tersebut menjadi sebab dari

terjadinya beberapa siklus penularan. Virus influenza A subtipe H5 dan H7 dapat

pula berubah melalui mutasi insersi menjadi bentuk yang sangat patogen

(Rohm

et al.

1995).

Bentuk AI yang sangat patogen sampai saat ini secara eksklusif

ditimbulkan oleh subtipe H5 dan H7, mampu menimbulkan penyakit sistemik

yang ganas dan mematikan secara cepat, virus jenis HPAI tersebut dapat muncul

secara tidak terduga dan sebagai tipe yang sama sekali baru dalam unggas yang

terinfeksi (

Perdue & Suarez 2000).

Infeksi virus H5N1 dimulai pada saat virus memasuki sel hospes setelah

terjadi penempelan

spikes

virion virus influenza A, kemudian terjadi interaksi

antara glikoprotein Hemaglutinin dengan reseptor yang mengandung

sialic acid

(SA) yang ada pada permukaan sel

hospesnya

. Setelah berhasil melekat pada

reseptor yang sesuai, virion masuk dan menyatu ke dalam sebuah ruang endosom.

Dalam ruang ini virus tersebut mengalami degradasi dengan cara menyatukan

membran virus dengan membran endosom: dimediasi oleh pemindahan proton

melalui terowongan protein dari matriks 2 virus, pada pH di endosom sekitar 5,0.

Selanjutnya akan terjadi serangkaian penataan ulang protein matriks 1 dan

komplek glikoprotein homotrimerik HA, terbukalah sebuah bidang yang sangat

lipofilik dan fusogenik dari setiap monomer HA yang masuk ke dalam membran

endolisomal, dimulailah terjadinya fusi antara membran virus dengan membran


(25)

lisomal (Wagner 2005). Berikutnya kedelapan segmen RNA genomik dari virus

yang terbungkus dalam lapisan pelindung dari protein nukleokapsid dilepaskan ke

dalam sitoplasma yang selanjutnya disalurkan ke nukleus untuk melakukan

transkripsi mRNA virus dan replikasi RNA genomik melalui proses yang rumit

yang diatur oleh faktor virus dan faktor sel (Whitaker

et al.

1996).

Sesungguhnya ada perbedaan antara molekul reseptor yang ada pada

manusia dengan reseptor yang ada pada unggas. Virus AI dapat mengenali dan

terikat pada reseptor yang hanya terdapat pada jenis unggas yaitu oligosakharida

yang mengandung N-acethylneuraminic acid

α

-2,3-galactose (SA

α

-2,3- Gal).

Sedangkan reseptor yang ada pada permukaan sel manusia adalah SA

α

-

2,6-galactose (SA

α

-2,6-Gal), sehingga sebenarnya virus AI yang menyerang unggas

tidak bisa menginfeksi manusia karena perbedaan reseptor spesifiknya. Tetapi bila

terjadi perubahan pada 1 asam amino saja pada konfigurasi reseptornya maka

reseptor yang ada pada manusia dapat dikenali oleh virus HPAI-H5N1

(Stevens

et

al

. 2006).

Mutasi genetik virus AI seringkali terjadi sesuai dengan kondisi dan

lingkungan replikasinya. Mutasi gen ini tidak saja untuk mempertahankan diri

akan tetapi juga dapat meningkatkan sifat patogenisitasnya (Hatta

et al

. 2001).

Virus H5N1 diketahui telah mampu menembus

barier spesies.

Diawali

pada kasus yang terjadi pada tahun 1997 di Hongkong yang menyebabkan 18

orang terinfeksi dan 6 diantaranya meninggal. Tindakan cepat dengan

memusnahkan semua ayam di wilayah Hongkong berhasil menghentikan

penyebaran virus tersebut secara sementara. Rekombinasi genetik dapat terjadi

melalui hewan perantara, seperti babi atau di dalam diri manusia sendiri ketika

terinfeksi oleh keduanya pada saat bersamaan. Akibat proses rekombinasi tersebut

bisa muncul subtipe baru yang telah berubah sifat antigeniknya sehingga mampu

dengan mudah menginfeksi manusia (Sturm-Raminez

et al

. 2004).

Penularan dan Penyebaran Penyakit

Penularan atau tranmisi virus AI secara umum dapat terjadi melalui


(26)

12

Menurut Soejoedono dan Handharyani (2005), penyakit AI dapat ditularkan dari

unggas ke unggas lain dan dari peternakan ke peternkan lainnya dengan cara :

-

kontak langsung dari unggas terinfeksi dengan hewan yang peka,

-

melalui lendir yang berasal dari hidung dan mata,

-

melalui kotoran (feses) unggas yang terserang AI,

-

melalui manusia lewat sepatu dan pakaian yang terkontaminasi dengan

virus,

-

melalui pakan, air, dan peralatan kandang yang terkontaminasi,

-

melalui udara karena memiliki peran penting pada penularan dalam satu

kandang tetapi memiliki peran terbatas dalam penularan antar kandang,

-

melalui unggas air, yang dapat berperan sebagai sumber (

reservoir

) virus

yang terdapat dalam saluran intestinal dan dilepaskan lewat kotorannya.

Virus H5N1 mudah berpindah

diantara burung yang memfasilitasi potensi

penyebaran global virus H5N1. Sementara virus ini bermutasi dan mengelompok

kembali, menciptakan variasi yang menginfeksi spesies yang belum jelas

diketahui sebagai pembawa virus (Shinya

et al

. 2006). Burung dapat menyebarkan

virus untuk waktu yang lama sebelum ia mati, hal ini memungkinkan untuk

meningkatkan kemampuannya dalam menularkan virus (Chen

et al

. 2004).

Sekali virus menginfeksi kawanan unggas, virus LPAI tidak harus

mengalami suatu fase adaptasi pada spesies unggas tersebut sebelum dikeluarkan

lagi dalam jumlah yang cukup besar untuk dapat menular secara horisontal ke

unggas lain, baik dalam kawanan sendiri ataupun ke kawanan yang lain. Demikian

pula sekali virus HPAI berkembang dari kawanan unggas yang terinfeksi virus

LPAI, ia dapat menular dengan cara yang sama. Pasar unggas yang menjual

unggas dalam jumlah besar dan unggas yang ditempatkan secara saling

berdesakan, merupakan multiplikator penyebaran penularan (Bulaga

et al.

2003).

Avian Influenza pada burung kadang kala juga memanifestasikan gejala

penyakit yang ringan dan tidak mematikan, sehingga itik liar dapat membawa

virus dalam jarak yang jauh, dan membuang virus tersebut melaui kotorannya.

Unggas yang terinfeksi oleh influenza A atau virus H5N1 dapat mengeluarkan

virus dengan jumlah besar dalam kotorannya.


(27)

Melalui perdagangan internasional unggas hidup, virus AI dapat menyebar

dari satu negara ke negara lain. Jenis burung kelana, termasuk unggas air liar,

unggas laut dan unggas darat, mereka dapat membawa virus dalam jarak jauh.

Burung yang terinfeksi virus akan mengeluarkan virus ini melalui saliva (air liur),

cairan hidung, dan kotoran. Penyakit ini juga dapat menular melalui udara yang

tercemar virus H5N1 yang berasal dari kotoran atau sekreta burung/unggas yang

menderita AI. Penularan AI melalui feses ke oral adalah cara penularan yang

paling sering terjadi (CDC 2008a) Resiko Penularan dari burung liar ke unggas

peliharaan terutama terjadi kalau unggas peliharaan tersebut dibiarkan bebas

berkeliaran, menggunakan air yang juga digunakan oleh burung liar, atau makan

dan minum dari sumber yang tercemar kotoran burung liar pembawa virus

(Henzler

et al.

2003).

Burung-burung peliharaan dapat terinfeksi dengan virus AI melalui kontak

langsung dengan unggas air terinfeksi atau unggas terinfeksi lainnya melalui

kontak dengan permukaan seperti tanah, peralatan atau kandang atau bahan-bahan

(seperti air atau makanan yang terkontaminasi oleh virus). Manusia dan kendaraan

dapat menjadi vektor dari penyebaran virus AI dari satu peternkan ke peternakan

lainnya (CDC 2008a).

Kebanyakan sumber utama infeksi virus H5N1 pada manusia adalah

melalui kontak langsung dengan burung sakit yang mati, termasuk pada kegiatan

penyembelihan, penghilangan bulu, penjagalan dan proses pengolahan untuk

konsumsi dari burung yang terinfeksi. Pada sedikit kasus, kontak dengan feses

unggas disaat anak-anak bermain di area peternakan unggas merupakan salah satu

penyebab infeksi. Berenang ditempat dimana burung mati dibuang atau airnya

telah terkontaminasi feses burung atau unggas terinfeksi juga salah satu sumber

dari penularan. Pada beberapa kasus infeksi, sumber penularan belum dapat

diidentifikasi, mungkin melibatkan faktor lingkungan yang belum diketahui.

Burung peliharaan seperti merpati, kotoran unggas yang masih mentah yang

digunakan sebagai pupuk juga berperan (WHO 2006)

Virus AI dapat ditularkan terhadap manusia dengan 2 jalan. Pertama

kontaminasi langsung dari lingkungan burung terinfeksi yang mengandung virus

kepada manusia, cara lain adalah lewat perantara binatang babi. Penularan diduga


(28)

14

terjadi dari kotoran secara oral atau melalui saluran pernapasan. Kekhawatiran

yang muncul di kalangan para ahli genetika adalah bila terjadi rekombinasi

genetik (

genetic reassortment

) diantara virus Influenza burung dan virus influenza

manusia, sehingga dapat menular antara manusia ke manusia.

Menurut Herman & Strock (2005). Ada dua kemungkinan yang dapat

menghasilkan subtipe baru dari H5N1 yang dapat menular antara manusia ke

manusia, yaitu :

1.

virus dapat menginfeksi manusia dan mengalami mutasi sehingga virus

tersebut dapat beradaptasi untuk mengenali

linkage RNA

pada manusia, atau

virus burung tersebut mendapatkan gen dari virus influenza manusia

sehingga dapat bereplikasi secara efektif di dalam sel manusia. Subtipe baru

virus H5N1 ini bermutasi sedemikian rupa untuk membuat protein tertentu

yang dapat mengenali reseptor yang ada pada manusia, untuk jalan

masuknya ke dalam sel manusia.

2.

Kedua jenis virus, baik virus avian maupun human influenza tersebut dapat

secara bersamaan menginfeksi manusia, sehingga terjadi “mix” atau

rekombinasi genetik, sehingga menghasilkan strain virus baru yang sangat

virulen bagi manusia .

Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan cara memberi makan binatang

seperti kucing, macan, ataupun macan tutul dengan unggas yang terinfeksi dengan

H5N1 terbukti bahwa binatang pemakan daging tersebut dapat mengalami

kelainan paru berupa pneumonia,

severe diffuse alveolar damage

, dan

menyebabkan kematian (Keawcharoen

et al

. 2004)

Virus AI Pada Unggas Air

Burung-burung air liar, terutama yang termasuk dalam golongan

Anseriformis

(itik dan angsa) dan

Charadiformis

(burung camar dan

burung-burung pantai), adalah pembawa (

carrier

) seluruh varietas subtipe dari virus

influensa A, dan menjadi sangat mungkin merupakan

reservoir

alami untuk

semua jenis virus influensa

(Krauss

et al.

2004).

Beberapa jenis burung khususnya unggas air berperan sebagai

reservoir


(29)

mengeluarkannya melalui fesesnya namun kebanyakan dari burung-burung liar

tersebut tidak menunjukkan sakit sehingga mereka dapat menyebarkan virus AI

pada burung-burung lainnya (CDC 2008a). Dalam banyak kejadian itik piara dan

itik liar (

wild waterfowl

) sering kali ditemukan tahan terhadap virus tersebut

sehingga justru menjadi pembawa (

carrier

) yang menyebarkan virus ke ayam atau

menyebarkan virus AI melintasi benua (Chen

et al.

2005).

Cara pemeliharaan unggas air di Indonesia dan dibeberapa negara Asia

Tenggara umumnya serupa, yakni : (a) dibiarkan berkeliaran di halaman

bercampur dengan unggas lain apabila jumlahnya tidak banyak, (b) dikandangkan

sementara dan dibawa ke sawah ketika musim panen padi usai, umumnya dalam

jumlah puluhan sampai ratusan, (c) terus-menerus dikandangkan dan diberi

makanan khusus, terutama untuk jenis itik unggul dalam jumlah banyak. Tipe

pemeliharaan (a) dan (b) yang mempunyai potensi tinggi untuk menyebarkan

virus AI ke daerah yang lebih luas. Di Indonesia itik piara tipe (b) kadang-kadang

dibawa dengan kendaraan roda empat ke daerah yang cukup jauh untuk mengais

sisa-sisa panen padi di sawah. Apabila diantara itik tadi membawa virus H5N1,

tinja itik dapat mencemari saluran air, petani yang memanfaatkan saluran air

tersebut untuk keperluan sehari-hari menjadi kelompok orang yang rawan tertular

virus AI. Untuk itik piara tipe (a) karena tidak dikandangkan, tinjanya dapat

mencemari kolam air di sekitar rumah dan halaman (Anonim 2002).

Dilaporkan pertama kali virus H5N1 ditemukan pada angsa terjadi di

Guangdong China tahun 1996, yang menyebar pada itik-itik di Provinsi Coastall

China Selatan dan di pasar-pasar unggas hidup di Hongkong. Dari kasus tersebut

selanjutnya dilaporkan sekitar 18 orang terinfeksi dan 6 diantaranya meninggal

(CDC 1998). 22 Desember 2003, virus AI menyerang unggas di Korea Selatan.

Kasus AI yang pertama di Korsel ini, ditemukan di peternakan itik dekat Kota

Eumseong Korea Selatan

Di Jepang virus HPAI H5N1 diisolasi dari daging itik yang diimpor dari

Provinsi Shandong China Utara (Mase

et al

. 2005).Tahun 2001 virus HPAI H5N1

diisolasi dari daging itik yang diimpor Korea dari China. Dari hasil penelitian

mengenai karakteristik dan pathogenitas dari virus AI H5N1 yang diisolasi dari

daging itik tersebut ternyata virus ini menyebabkan kematian pada ayam dan juga


(30)

16

pada tikus. Sedangkan percobaan yang dilakukan pada itik tidak ada kematian

namun titer virus relatif tinggi ditemukan pada otot kerangka dan jaringan otak

pada itik (Tumpey

et al.

2002).

Berdasarkan penelitian, itik piara yang ditulari virus H5N1 hasil isolasi

tahun 2004 terbukti mengeluarkan atau mengekspresikan lebih banyak virus, dan

dalam tempo lebih lama lewat tinja dibandingkan dengan itik yang ditulari dengan

isolat virus tahun 2003. Disebutkan jumlah virus AI yang dikeluarkan itik piara

tersebut mendekati jumlah virus yang dikeluarkan oleh ayam yang sedang

terserang parah atau hampir mati oleh AI. Namun itik yang ditulari secara buatan

tersebut tidak menunjukkan gejala klinik (Anonim 2008b). Penemuain ini

menunjukkan bahwa adanya jalur penyebaran penyakit kepada hewan lain dan

juga ke manusia (CDC 2008a)

Pada akhir tahun 2002 dilaporkan adanya wabah yang disebabkan oleh

virus HPAI H5N1 yang menyebabkan kematian diantara burung-burung migrasi

liar dan unggas air yang menetap di suaka margasatwa Hongkong. Menyebabkan

infeksi sistemik pada itik dengan titer virus tinggi dan pathologi pada berbagai

macam organ khususnya pada otak, itik mengalami penyakit yang akut termasuk

menderita disfungsi neurologis. Virus juga diisolasi dalam titer yang tinggi pada

air minum dan juga dari peralatan yang berkontak (Sturm-Ramirez

et al

. 2004).

Laporan kejadian AI di Thailand pada tahun 2005, diawali dengan

penggembalaan itik sekitar 3000-5000 itik di area pertanian, walaupun tidak ada

kontak antara itik yang digembalakan dan ayam peliharaan, namun dua minggu

setelah kedatangan itik-itik tersebut, ayam di area tersebut banyak yang mati dan

manusia yang berkontak langsung dengan ayam yang mati, meninggal terinfeksi

virus H5N1 (Songserm

et al

. 2006).

Vaksinasi AI

Vaksinasi dalam dunia kedokteran hewan ditujukan untuk mencapai :

perlindungan terhadap timbulnya penyakit secara klinis, perlindungan terhadap

serangan virus yang virulen, perlindungan terhadap ekskresi virus, pembedaan

secara serologik antara hewan yang terinfeksi dari hewan yang divaksinasi


(31)

(dikenal sebagai

differentiantion of infected from infected from vaccinated

animals

, atau prinsip DIVA) (Lee & Suarez 2005).

Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan menjalankan program

vaksinasi AI (Indartono & Slamet 2005) :

Mencegah dan menghindari terjadinya kerugian ekonomi akibat penyakit

tersebut, yakni kerugian akibat terjadinya kematian, penurunan produksi,

penurunan berat badan dan keterlambatan

replacement

Menurunkan dan menekan jumlah virus AI yang dapat disebarkan oleh

hewan terinfeksi AI

Menurunkan virulensi virus AI yang patogen di lapangan, menjadi lebih

rendah tingkat keganasannya

Mencegah dan menghindari timbulnya varian-varian baru akibat mutasi

yang dapat membahayakan kesehatan manusia

Untuk kepentingan praktikal, beberapa persyaratan harus dipenuhi pada

vaksin AI (Lee & Suarez 2004):

Karena berpotensi menimbulkan perubahan struktur genetis, juga pada kasus

subtipe H5 dan H7, resiko mutasi spontan yang mengakibatkan peningkatan

patogenik, vaksin tidak boleh diubah dengan replikasi kompeten virus

influenza. Oleh karena itu penggunaan vaksin dengan virus hidup tidak

dipakai lagi

Perlindungan terhadap HPAI pada unggas terutama tergantung kepada

antibodi yang spesifik untuk HA tertentu. Oleh karena itu virus untuk vaksin

harus berasal dari subtipe HA yang sama dengan virus liar yang ada di sana.

Kecocokan ideal antara vaksin dan badan virus yang disyaratkan bagi vaksin

untuk manusia, tidak menjadi keharusan bagi vaksin unggas. Pembangkitan

imunitas reaktif-silang homosubtipik pada unggas mungkin sudah menjadi

perlindungan yang memadai karena pada saat ini jarang dijumpai adanya

pembentukan antigen yang dipicu vaksin pada virus influenza unggas, akibat

tidak adanya upaya vaksinasi yang meluas.

Strategi penandaan (DIVA) harus digunakan (Suarez 2005) atau sebagai

gantinya, digunakan unggas yang tidak divaksinasi sebagai penanda untuk

monitoring


(32)

18

Resiko hewan yang divaksinasi untuk terkena infeksi virus virulen dan

mengeksresikannya biasanya dapat diturunkan namun tidak sepenuhnya

mencegah. Hal ini dapat menimbulkan masalah epidemiologik yang signifikant di

daerah endemik yang sudah mendapat vaksinasi secara luas, unggas yang sudah

divaksinasi yang terlihat sehat dapat juga terkena infeksi dan mengeluarkan virus

liar dibalik perlindungan vaksin (Lee & Suarez 2004).

Prinsip dasar pemakaian vaksin AI adalah virus vaksin harus homolog

dengan sub tipe H atau subtipe H dan N virus asal lapang. Menurut regulasi OIE,

vaksin harus mempunyai komposisi genetik yang stabil, proses inaktivasi

sempurna (uji laboratorik), bebas pencemaran agen infeksius lainnya,

mengandung konsentrasi antigen yang tinggi, menggunakan adjuvant berkualitas

tinggi dan mempunyai tingkat keamanan, potensi serta efektifitas yang tinggi (uji

laboratorik dan uji lapang) (Suarez 2005)

Vaksinansi dengan strain virus homolog telah terbukti menurunkan angka

kematian dan memperpendek

viral shedding

. Utamanya ditujukan pada gen H

yang menyandi antigen yang menginduksi pembentukan antibodi netralisasi

(Asmara 2006).

Imunohistokimia

Imunohistokimia (IHC) telah ada sejak tahun 1930-an tetapi pada tahun

1940 studi tentang IHC baru dilaporkan (Anonim 2008a). Nama IHC berasal dari

kata immuno dalam hubungannya dengan antibodi yang digunakan dalam

prosedur, dan histo yang berarti jaringan. IHC adalah proses memisahkan protein

pada sel dalam suatu jaringan dengan menggunakan prinsip ikatan spesifik

antibodi pada antigen pada jaringan biologik, IHC dilakukan untuk membantu

mendiagnosa agen etiologi dari proses infeksi. Keberadaan reaksi warna (jika itu

spesifik berdasarkan pemakaian kontrol menunjukkan adanya komponen agen

infektius yang diuji (Ramos-Vara 2005).

Pada reaksi imunohistokimia ini sifatnya adalah spesifik karena bahan

yang dideteksi akan direaksikan dengan antibodi spesifik yang dilabel dengan

suatu enzym. Enzym yang digunakan untuk melabel antibodi tersebut dapat

berupa enzym : peroksidase, alkali fosfatase dan b-galaktosidase. Untuk menandai


(33)

adanya suatu reaksi enzimatik maka digunakan suatu indikator warna

(chromogen) (Sudiana 2005).

Antibodi yang digunakan untuk deteksi spesifik dapat berupa poliklonal

atau monoklonal. Antibodi monoklonal umumnya dianggap dapat menunjukkan

lebih terperinci. Antibodi monoklonal, adalah antibodi yang memiliki idiotipe dan

isotipe yang sama. Idiotipe adalah bagian antibodi yang menentukan

spesifisitasnya (

antigen binding surface

), sedangkan isotipe adalah bagian

antibodi yang menentukan kelas-sub kelas dari antibodi maupun yang menentukan

tipe-subtipe dari suatu antibodi. Dapat dikatakan bahwa antibodi monoklonal

adalah suatu antibodi yang memiliki

antigen binding surface

yang sama,

kelas-sub kelas maupun tipe-kelas-sub tipe yang sama (Sudiana 2005). Antibodi poliklonal

dibuat dengan menginjeksi hewan dengan antigen peptida, dan setelah respon

imun sekunder dirangsang selanjutnya diisolasi antibodinya dari keseluruhan

serum. Jadi antibodi poliklonal adalah pencampuran dari berbagai antibodi yang

mengenal sejumlah

epitopes.

Imunohistokimia adalah metode alternatif yang sangat baik disamping

spesifik dan sensitif, relatif cepat, tidak mahal dan sedikit menggunakan

laboratorium. IHC telah menjadi metode baik dan terpercaya untuk diagnosa rutin

dan aktifitas penelitian

(Ramos-Vara

et al.

1999).

Imunohistokimia telah menjadi tehnik yang sangat penting dan secara luas

dipakai pada laboratorium penelitian medis dan juga diagnosa klinika. Banyak

sekali metode IHC yg bisa digunakan untuk melokalisasi antigen. Pemilihan

metode yang sesuai harus didasari parameter-parameter seperti tipe spesimen yg

diselidiki, dan tingkat sensitifitas yang dibutuhkan

(

Anonim 2008a).

Terdapat dua metode dasar IHC untuk mengetahui adanya antigen pada

jaringan, yaitu : pertama, metode langsung adalah metode dengan satu tahap

pewarnaan. Melibatkan antibodi berlabel yang bereaksi dengan antigen dalam

bagian jaringan. Tehnik ini hanya menggunakan satu macam antibodi, sehingga

prosedurnya pendek dan cepat. Walaupun demikian metode ini tidak sensitif

karena hanya sedikit signal yang ditampilkan ; kedua, metode tidak langsung

melibatkan antibodi primer tidak berlabel ( lapisan 1) yang bereaksi dengan

antigen jaringan, dan antibodi sekunder berlabel (lapisan 2) yang bereaksi dengan


(34)

20

antibodi primer. (Antibodi sekunder harus melawan IgG spesies hewan dimana

antibodi primer berasal).

Pada metode tidak langsung selain lebih sensitif juga

relatif lebih sedikit jumlah antibodi sekunder yang diperlukan sebagai ukuran

konjugasi yang perlu dihasilkan

(Anonim 2007).


(35)

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari – Agustus 2008

di

laboratorium Biosafety level 3 (BSL 3) milik PT Medion, Bandung, dilanjutkan

dengan pembuatan dan pemeriksaan preparat rutin dan imunohistokimia di Bagian

Patologi Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi. Fakultas Kedokteran

Hewan Institut Pertanian Bogor.

Materi Penelitian

Hewan percobaan

Pada penelitian ini digunakan itik sebagai hewan percobaan sebanyak 12

ekor yang dibagi dalam 4 kelompok perlakuan, itik dibeli dari peternak di

Cirebon. Itik dikandangkan secara individual yang dilengkapi dengan tempat

pakan dan minum. Makanan yang diberikan adalah pakan konsentrat komersial.

Pakan diberikan setiap pagi dan sore, air minum diberikan ad libitum.

Bahan

Virus AI isolat itik yang berasal dari Nagrak Sukabumi

(FKH/IPB/Duck/NG29), Vaksin AI inaktif (PT. Medion), Buffer Netral Formalin

(BNF) 10%, Alkohol dengan konsentrasi 70%, 80%, 95%, 96%, alkohol absolut,

Xylol, NaCl fisiologis 0,9 %, Parafin, Phosphat Buffer Saline (PBS), citrat buffer,

Destilated Water (DW), Tween 20 0,1%, H2O2 3% , Antibodi monoklonal H5N1,

antibodi sekunder yang telah dilabel dengan steptavidin biotin (DAKO

AEC/Amino Ethyl Carbazole kit), chromogen, hematoksilin, eosin, entelan, dan

glycerin.

Alat

Kandang individual yang terbuat dari kawat ram yang dilengkapi dengan

tempat pakan dan minum, seperangkat alat bedah, kaset, timbangan digital, gelas

piala, gelas objek, kaca penutup, pipet, mikropipet, pemanas air, mikrotom,

inkubator, lemari es, mikroskop.


(36)

22

Metode Penelitian

Desain penelitian

Jenis penelitian ini termasuk penelitian eksperimental murni, karena semua

variabel yang berpengaruh selain perlakuan dapat dikendalikan. Dalam penelitian

ini variabel yang berpengaruh adalah pemberian virus AI (H5N1) secara

intranasal dan pemberian Vaksin AI inaktif. Sedangkan yang menjadi variabel

kendali adalah spesies, jenis kelamin, umur, perawatan dan penetapan skor pada

preparat imunohistokimia dan yang menjadi variabel tidak bebas dalam penelitian

ini adalah gambaran imunohistokimia pada jaringan tubuh itik.

Hewan percobaan terdiri atas 12 ekor itik yang ditempatkan dalam

kandang individual dan ditempatkan sesuai dengan kelompok perlakuan. Setiap

kelompok terdiri atas 3 ekor itik. Perincian ketiga kelompok perlakuan tersebut

adalah sebagai berikut :

1.

Kelompok kontrol

: itik umur 4 bulan tidak divaksin AI dan tidak

ditantang virus AI..

2.

Kelompok perlakuan I : itik umur 4 bulan, divaksin AI (H5N1) dengan

dosis 0,5 ml/ekor pada hari ketiga dan diuji

tantang dengan virus AI (H5N1)

(FKH/IPB/Duck/NG29) secara intranasal

dengan dosis 10

4

EID

50

per ekor pada hari ke 6.

3.

Kelompok perlakuan II : itik umur 4 bulan, tidak divaksin AI dan diuji

tantang dengan virus AI (H5N1)

(FKH/IPB/Duck/NG29) secara intranasal

dengan dosis 10

4

EID

50

per ekor pada hari ke 6.

4.

Kelompok perlakuan III: itik sudah berproduksi (6 bulan) tidak divaksin

dan diuji tantang dengan virus AI (H5N1)

(FKH/IPB/Duck/NG29) secara intranasal

dengan dosis 10

4

EID

50

per ekor pada hari ke 6.

Pengambilan sampel organ dilakukan di akhir perlakuan, dilanjutkan

dengan pembuatan preparat untuk pewarnaan Hematoksilin dan Eosin/HE dan

imunohistokimia. Hasil dinyatakan positif (+) apabila terdapat warna merah

kecoklatan dan negatif jika warna tersebut tidak dapat dideteksi.


(37)

Prosedur penelitian

Pada penelitian ini kelompok kontrol diletakkan pada lokasi yang terpisah

dengan tiga kelompok lainnya. Setelah perlakuan selama 11 hari, masing-masing

kelompok itik baik kontrol maupun kelompok perlakuan dinekropsi. Kemudian

diambil jaringan trakhea, paru-paru, jantung, hati, limpa, ginjal, pankreas, usus,

otak, ovarium, isthmus, otot dada dan otot paha. Dimasukan dalam Buffered

Neutral Formalin (BNF) 10%. Tahap selanjutnya pembuatan blok parafin. Blok

parafin yang berisi sampel jaringan mula-mula dipotong 3-4µm dan dilekatkan

pada kaca obyek selanjutkan dilakukan pewarnaan Hematoksilin dan Eosin/HE

dan imunohistokimia dengan metode SAB (Streptavidin Biotin Complex) dengan

antibodi monoklonal H5N1 (Astawa et al. 2007).

Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin/HE : Proses awal pewarnaan jaringan

pada preparat, dimulai dengan proses penarikan parafin dengan xylol III, II, I, lalu

direndam dalam alkohol absolut sampai alkohol 70% masing-masing selama 3

menit. Kemudian dicuci dengan air kran dan destilated water (DW) selama 5

menit. Selanjutnya diwarnai dengan hemaktosilin selama 1 menit lalu dicuci

dengan air kran dan DW selama 5 menit. Tahap berikutnya diwarnai dengan eosin

selama 2 menit dan dilanjutkan dengan proses dehidrasi dengan alkohol bertingkat

mulai dari alkohol 70% sampai alkohol absolut serta penjernihan dengan xylol I,

II, dan III. Kemudian di mounting dengan entelan

dan ditutup dengan kaca

penutup dan siap untuk dilakukan pengamatan. .

Pewarnaan imunohistokimia dengan metode SAB (Streptavidin Biotin

Complex) : Pewarnaan imunohistokimia pada penelitian ini mengacu pada

protokol imunohistokimia dari Temasek Laboratorium Singapura. Dalam

penelitian ini dipakai kit komersial (DAKO Cytomation 6392 USA). Pada kaca

obyek berisi potongan jaringan dilakukan deparafinisasi, rehidrasi dan dicuci

dengan DW selama 3 menit kemudian dipanaskan dalam citrat buffer pada suhu

90-95

0

C selama 30 menit selanjutnya didinginkan selama 20 menit, dicuci dengan

PBS 3X (@ 3 menit), selanjutnya diberi H2O2 3% diamkan selama 20 menit

kemudian dibilas kembali dengan PBS 3X (@ 3 menit), direndam dalam larutan

PBS yang berisi serbuk susu skim 0,1% selama 30 menit kemudian dibilas dengan

PBS tween 20, 0,1% 3X (@ 3 menit), kemudian inkubasi menggunakan


(38)

24

monoklonal antibodi H5N1 (Astawa et al. 2007) dalam lemari es (4

0

C) selama

semalam (overnight).

Selanjutnya kaca objek dibilas dengan PBS tween 20, 0,1% 3X (@ 3 menit

kemudian diinkubasi dengan menggunakan antibodi sekunder ( DAKO AEC kit)

selama 1 jam. Selanjutnya dibilas dengan DW selama 3 menit kemudian diberi

indikator warna (chromogen) selama 30 detik kemudian dibilas kembali dengan

DW dan dilanjutkan dengan mounting

dengan glycerin serta ditutup dengan kaca

penutup, selanjutnya preparat siap untuk diamati.

Pemeriksaan histopatologi

Dari masing-masing preparat dilakukan pemeriksaan secara

semikuantitatif dengan menggunakan mikroskop cahaya. Tiap preparat dari

masing-masing kelompok diamati secara menyeluruh, baik untuk pewarnaan HE

maupun imunohistokimia. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan berdasarkan

intensitas warna yang dihasilkan (merah kecoklatan) sebagai suatu hasil reaksi

antara antigen-antibodi pada lima lapang pandang. Intensitas reaksi yang diamati

dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu positif tinggi (+++) untuk lebih

dari 20 sel berantigen/satu lapang pandangan, positif sedang (++) untuk 11-20 sel

berantigen/satu lapang pandangan, positif ringan (+) untuk 1-10 sel

berantigen/satu lapang pandangan, dan negatif (-) tidak terdeteksi adanya sel

berantigen

Rancangan dan analisis data

Data dianalisis dengan menggunakan uji statistika non parametrik yaitu uji

Kruskal Wallis (Daniel 1989).


(39)

Berdasarkan pengamatan terhadap gejala klinis pada semua kelompok

perlakuan, baik pada kelompok kontrol (P0) maupun pada kelompok perlakuan I,

II dan III dari hari pertama sampai pada hari keenam semua itik terlihat sehat,

tidak ditemukan adanya gejala klinis. Gejala klinis sinusitis mulai terlihat pada

hari ke 8 pada kelompok perlakuan I dan II, dua hari setelah itik ditantang dengan

virus H5N1 melalui intranasal dengan dosis 10

4

EID

50

per ekor, sedangkan gejala

sinusitis terlihat pada kelompok perlakuan III dihari ke 9. Pada hari ke 10 itik-itik

pada perlakuan I, II dan III terlihat mengalami gejala berupa sinusitis dan

konjungtivitis, dan pada hari ke 11 semua itik baik pada perlakuan I, II dan III

telah menunjukkan gejala berupa sinusitis, konjungtivitis dan diare berwarna putih

kecuali pada kelompok kontrol. Selanjutnya semua itik yang menjadi hewan coba

dalam penelitian ini baik pada kelompok kontrol dan pada kelompok perlakuan I,

II, dan III dilakukan nekropsi.

Hasil pengamatan histopatologi dengan metode HE, pada beberapa organ

seperti trakhea, paru-paru, jantung, limpa, hati, usus, pankreas, ginjal, ovarium,

dan isthmus serta otak secara umum menunjukkan adanya kongesti vena dan

nekrosis endotel buluh darah, selain itu juga terlihat adanya infiltrasi limfosit yang

terutama berada disekitar pembuluh darah. Seperti yang dikemukakan oleh Tizard

(1987), bahwa inflitrasi sel radang merupakan reaksi tanggap gebal yang terjadi di

dalam tubuh untuk mengeliminasi benda-banda asing atau antigen yang masuk,

dan sel radang ini akan menginduksi pembentukan antibodi di dalam tubuh. Pada

setiap infeksi semua jenis sel radang dilepaskan, tetapi sel radang yang dominan

dilepaskan pada setiap infeksi berbeda-beda tergantung dari agen penyebab,

apabila infeksi disebabkan oleh virus maka sel radang yang dominan muncul

adalah limfosit.

Pada saat suatu mikroba invasif, komponen-komponen spesifik sistem

imun melakukan persiapan untuk secara selektif menyerang benda asing tersebut.

Sel-sel sistem imun spesifik seperti limfosit, masing-masing dilengkapi dengan

reseptor permukaan yang mampu berikatan dengan molekul asing spesifik yang

dikenal sebagai antigen. Kemampuan mendeteksi bermacam-macam antigen dari


(40)

26

limfosit tersebut dihasilkan oleh pertukaran acak beberapa segmen gen, disertai

mutasi somatik, selama perkembangan limfosit (Barrett 1988).

Kemampuan gerakan amuboid yang dimiliki oleh sel-sel limfosit memiliki

kekuatan yang berbeda, mengakibatkan perbedaan dalam pencapaian wilayah

yang dapat dijangkau, sel limfosit yang memiliki keterbatasan kekuatan gerakan

amuboid akan berkumpul disekitar pembuluh darah. Selain itu infiltrasi sel

limfosit disekitar pembuluh darah, juga bisa disebabkan karena virus memang

menempati area vaskular tersebut yang menjadi mediator peradangan, dengan

adanya sel-sel atau jaringan yang rusak akan menstimulasi pengiriman limfosit ke

area tersebut (Smith & Jones 1961).

Pada pemeriksaan imunohistokimia pada kelompok perlakuan I, yaitu pada

itik yang divaksin AI inaktif dan 3 hari kemudian ditantang dengan virus AI

H5N1 dengan dosis 10

4

EID

50

secara intranasal. Keberadaan virus H5N1 pada

kelompok perlakuan ini ditemukan pada jaringan paru-paru, jantung, hati,

pankreas, limpa, ginjal, ovarium dan isthmus dalam derajat ringan (+), pada

jaringan otak terdapat satu yang menunjukkan positif (+) dan dua jaringan otak

lainnya tidak menunjukkan adanya antigen H5N1. Untuk jaringan trakhea serta

usus menunjukkan adanya antigen H5N1 dalam jumlah yang sedang (++). Tidak

ditemukan adanya antigen virus H5N1 pada otot dada dan otot paha.

Pada pemeriksaan imunohistokimia pada kelompok perlakuan II, yaitu itik

tidak divaksin dan ditantang dengan virus AI H5N1, virus AI H5N1 ditemukan

pada jaringan paru-paru, jantung, pankreas, hati, limpa, ginjal, ovarium dan

isthmus dalam derajat ringan (+) sampai sedang (++), sedangkan pada jaringan

otak terdapat dua ekor itik yang menunjukkan positif (+) dan hanya satu jaringan

otak yang tidak menunjukkan adanya antigen H5N1. Pada trakhea serta usus

berada pada derajat yang tinggi (+++). Sedangkan pada otot dada dan otot paha

menunjukkan reaksi yang negatif.

Pemeriksaan imunohistokimia pada kelompok perlakuan III, yaitu itik

yang telah berproduksi (tidak divaksin dan ditantang dengan virus AI H5N1),

virus AI H5N1 ditemukan pada jaringan paru-paru, jantung, hati, pankreas, limpa,

ginjal, ovarium dan ishtmus dalam derajat ringan (+) sampai sedang (++). Pada

jaringan otak, ada dua ekor yang menunjukkan positif (+) dan hanya satu jaringan


(1)

KRUSKAL WALLI S UNTUK HATI The NPAR1WAY Pr oc edur e

Wi l c ox on Sc or es ( Rank Sums ) f or Var i abl e HATI Cl ass i f i ed by Var i abl e PERL

Sum of Ex pec t ed St d Dev Mean

PERL N Sc or es Under H0 Under H0 Sc or e A1 3 12. 0 19. 50 4. 634358 4. 0 A2 3 18. 0 19. 50 4. 634358 6. 0 A3 3 24. 0 19. 50 4. 634358 8. 0 A4 3 24. 0 19. 50 4. 634358 8. 0 Aver age s c or es wer e used f or t i es .

Kr us k al - Wal l i s Test Chi - Squar e 3. 4571 DF 3 Pr > Chi - Squar e 0. 3264 The ANOVA Pr oc edur e Cl as s Lev el I nf or mat i on Cl as s Level s Val ues PERL 4 A1 A2 A3 A4 Number of Obs er vat i ons Read 12 Number of Obs er vat i ons Used 12 The ANOVA Pr oc edur e

Dependent Var i abl e: r HATI Rank f or Var i abl e HATI Sum of

Sour c e DF Squar es Mean Squar e F Val ue Pr > F Model 3 33. 0000000 11. 0000000 1. 22 0. 3630 Er r or 8 72. 0000000 9. 0000000

Cor r ec t ed Tot al 11 105. 0000000

R- Squar e Coef f Var Root MSE r HATI Mean 0. 314286 46. 15385 3. 000000 6. 500000

Sour c e DF Anova SS Mean Squar e F Val ue Pr > F PERL 3 33. 00000000 11. 00000000 1. 22 0. 3630 The ANOVA Pr oc edur e

Level of - - - r HATI - - - PERL N Mean St d Dev A1 3 4. 00000000 0. 00000000 A2 3 6. 00000000 3. 46410162 A3 3 8. 00000000 3. 46410162 A4 3 8. 00000000 3. 46410162

The ANOVA Pr oc edur e

Dunc an' s Mul t i pl e Range Tes t f or r HATI

NOTE: Thi s t es t c ont r ol s t he Ty pe I c ompar i s onwi s e er r or r at e, not t he ex per i ment wi s e er r or r at e.

Al pha 0. 05 Er r or Degr ees of Fr eedom 8 Er r or Mean Squar e 9

Number of Means 2 3 4 Cr i t i c al Range 5. 648 5. 886 6. 019 Means wi t h t he s ame l et t er ar e not s i gni f i cant l y di f f er ent . Dunc an Gr oupi ng Mean N PERL

A 8. 000 3 A3 A 8. 000 3 A4 A 6. 000 3 A2


(2)

KRUSKAL WALLI S UNTUK LI MPA The NPAR1WAY Pr oc edur e

Wi l c ox on Sc or es ( Rank Sums ) f or Var i abl e LI MP Cl ass i f i ed by Var i abl e PERL

Sum of Ex pec t ed St d Dev Mean

PERL N Sc or es Under H0 Under H0 Sc or e A1 3 10. 50 19. 50 3. 503245 3. 50 A2 3 22. 50 19. 50 3. 503245 7. 50 A3 3 22. 50 19. 50 3. 503245 7. 50 A4 3 22. 50 19. 50 3. 503245 7. 50 Aver age s c or es wer e used f or t i es .

Kr us k al - Wal l i s Test Chi - Squar e 6. 6000 DF 3 Pr > Chi - Squar e 0. 0858 The ANOVA Pr oc edur e Cl as s Lev el I nf or mat i on Cl as s Level s Val ues PERL 4 A1 A2 A3 A4 Number of Obs er vat i ons Read 12 Number of Obs er vat i ons Used 12 The ANOVA Pr oc edur e

Dependent Var i abl e: r LI MP Rank f or Var i abl e LI MP Sum of

Sour c e DF Squar es Mean Squar e F Val ue r > F Model 3 36. 00000000 12. 00000000 4. 00 0. 0519 Er r or 8 24. 00000000 3. 00000000

Cor r ec t ed Tot al 11 60. 00000000

R- Squar e Coef f Var Root MSE r LI MP Mean 0. 600000 26. 64694 1. 732051 6. 500000

Sour c e DF Anova SS Mean Squar e F Val ue Pr > F PERL 3 36. 00000000 12. 00000000 4. 00 0. 0519 The ANOVA Pr oc edur e

Level of - - - r LI MP- - - PERL N Mean St d Dev A1 3 3. 50000000 3. 46410162 A2 3 7. 50000000 0. 00000000 A3 3 7. 50000000 0. 00000000 A4 3 7. 50000000 0. 00000000 The ANOVA Pr oc edur e

Dunc an' s Mul t i pl e Range Tes t f or r LI MP

NOTE: Thi s t es t c ont r ol s t he Ty pe I c ompar i sonwi s e er r or r at e, not t he ex per i ment wi s e er r or r at e.

Al pha 0. 05 Er r or Degr ees of Fr eedom 8 Er r or Mean Squar e 3

Number of Means 2 3 4 Cr i t i c al Range 3. 261 3. 398 3. 475 Means wi t h t he s ame l et t er ar e not s i gni f i cant l y di f f er ent . Dunc an Gr oupi ng Mean N PERL

A 7. 500 3 A3 A 7. 500 3 A2 A 7. 500 3 A4 B 3. 500 3 A1


(3)

KRUSKAL WALLI S UNTUK OVARI UM The NPAR1WAY Pr oc edur e

Wi l c ox on Scor es ( Rank Sums ) f or Var i abl e OVA Cl ass i f i ed by Var i abl e PERL

Sum of Ex pec t ed St d Dev Mean

PERL N Sc or es Under H0 Under H0 Sc or e A1 3 6. 0 19. 50 4. 070403 2. 0 A2 3 24. 0 19. 50 4. 070403 8. 0 A3 3 24. 0 19. 50 4. 070403 8. 0 A4 3 24. 0 19. 50 4. 070403 8. 0 Aver age s c or es wer e used f or t i es .

Kr us k al - Wal l i s Test Chi - Squar e 11. 0000

DF 3

Pr > Chi - Squar e 0. 0117 The ANOVA Pr oc edur e Cl as s Lev el I nf or mat i on Cl as s Level s Val ues PERL 4 A1 A2 A3 A4 Number of Obs er vat i ons Read 12

Number of Obs er vat i ons Used 12

The ANOVA Pr oc edur e Dependent Var i abl e: r OVA Rank f or Var i abl e OVA Sum of Sour c e DF Squar es Mean Squar e F Val ue Pr > F Model 3 81. 00000000 27. 00000000 I nf t y <. 0001 Er r or 8 0. 00000000 0. 00000000 Cor r ec t ed Tot al 11 81. 00000000 R- Squar e Coef f Var Root MSE r OVA Mean 1. 000000 0 0 6. 500000 Sour c e DF Anova SS Mean Squar e F Val ue Pr > F PERL 3 81. 00000000 27. 00000000 I nf t y <. 0001 The ANOVA Pr oc edur e Level of - - - r OVA- - - PERL N Mean St d Dev A1 3 2. 00000000 0

A2 3 8. 00000000 0

A3 3 8. 00000000 0

A4 3 8. 00000000 0

The ANOVA Pr oc edur e Dunc an' s Mul t i pl e Range Tes t f or r OVA NOTE: Thi s t es t c ont r ol s t he Ty pe I c ompar i sonwi s e er r or r at e, not t he ex per i ment wi s e er r or r at e. Al pha 0. 05 Er r or Degr ees of Fr eedom 8

Er r or Mean Squar e 0

Number of Means 2 3 4

Cr i t i cal Range 0 0 0

Means wi t h t he s ame l et t er ar e not s i gni f i cant l y di f f er ent . Dunc an Gr oupi ng Mean N PERL

A 8. 000 3 A3 A 8. 000 3 A2 A 8. 000 3 A4 B 2. 000 3 A1


(4)

KRUSKAL WALLI S UNTUK I STHMUS The NPAR1WAY Pr oc edur e

Wi l c ox on Sc or es ( Rank Sums ) f or Var i abl e I STH Cl ass i f i ed by Var i abl e PERL

Sum of Ex pec t ed St d Dev Mean

PERL N Sc or es Under H0 Under H0 Sc or e A1 3 6. 00 19. 50 4. 985205 2. 00 A2 3 15. 00 19. 50 4. 985205 5. 00 A3 3 28. 50 19. 50 4. 985205 9. 50 A4 3 28. 50 19. 50 4. 985205 9. 50 Aver age s c or es wer e used f or t i es .

Kr us k al - Wal l i s Test Chi - Squar e 11. 0000

DF 3

Pr > Chi - Squar e 0. 0117 The ANOVA Pr oc edur e Cl as s Lev el I nf or mat i on Cl as s Level s Val ues PERL 4 A1 A2 A3 A4 Number of Obs er vat i ons Read 12

Number of Obs er vat i ons Used 12

The ANOVA Pr oc edur e Dependent Var i abl e: r I STH Rank f or Var i abl e I STH Sum of Sour c e DF Squar es Mean Squar e F Val ue Pr > F Model 3 121. 5000000 40. 5000000 I nf t y <. 0001 Er r or 8 0. 0000000 0. 0000000 Cor r ec t ed Tot al 11 121. 5000000 R- Squar e Coef f Var Root MSE r I STH Mean 1. 000000 0 0 6. 500000 Sour c e DF Anova SS Mean Squar e F Val ue Pr > F PERL 3 121. 5000000 40. 5000000 I nf t y <. 0001 The ANOVA Pr oc edur e Level of - - - r I STH- - - PERL N Mean St d Dev A1 3 2. 00000000 0

A2 3 5. 00000000 0

A3 3 9. 50000000 0

A4 3 9. 50000000 0

The ANOVA Pr oc edur e Dunc an' s Mul t i pl e Range Tes t f or r I STH NOTE: Thi s t es t c ont r ol s t he Ty pe I c ompar i s onwi s e er r or r at e, not t he ex per i ment wi s e er r or r at e. Al pha 0. 05 Er r or Degr ees of Fr eedom 8

Er r or Mean Squar e 0

Number of Means 2 3 4

Cr i t i cal Range 0 0 0

Means wi t h t he s ame l et t er ar e not s i gni f i cant l y di f f er ent . Dunc an Gr oupi ng Mean N PERL

A 9. 500 3 A3 A 9. 500 3 A4 B 5. 000 3 A2 C 2. 000 3 A1


(5)

KRUSKAL WALLI S UNTUK OTOT DADA The NPAR1WAY Pr oc edur e

Wi l c ox on Sc or es ( Rank Sums ) f or Var i abl e DADA Cl ass i f i ed by Var i abl e PERL

Sum of Ex pec t ed St d Dev Mean

PERL N Sc or es Under H0 Under H0 Sc or e A1 3 19. 50 19. 50 0. 0 6. 50 A2 3 19. 50 19. 50 0. 0 6. 50 A3 3 19. 50 19. 50 0. 0 6. 50 A4 3 19. 50 19. 50 0. 0 6. 50 Aver age s c or es wer e used f or t i es .

Kr us k al - Wal l i s Test Chi - Squar e 0. 0000

DF 3

Pr > Chi - Squar e 1. 0000 The ANOVA Pr oc edur e Cl as s Lev el I nf or mat i on Cl as s Level s Val ues PERL 4 A1 A2 A3 A4 Number of Obs er vat i ons Read 12

Number of Obs er vat i ons Used 12

The ANOVA Pr oc edur e Dependent Var i abl e: r DADA Rank f or Var i abl e DADA Sum of Sour c e DF Squar es Mean Squar e F Val ue Pr > F Model 3 0 0 . .

Er r or 8 0 0

Cor r ec t ed Tot al 11 0

R- Squar e Coef f Var Root MSE r DADA Mean 0. 000000 0 0 6. 500000 Sour c e DF Anova SS Mean Squar e F Val ue Pr > F PERL 3 0 0 . .

The ANOVA Pr oc edur e Level of - - - r DADA- - - PERL N Mean St d Dev A1 3 6. 50000000 0

A2 3 6. 50000000 0

A3 3 6. 50000000 0

A4 3 6. 50000000 0

The ANOVA Pr oc edur e Dunc an' s Mul t i pl e Range Tes t f or r DADA NOTE: Thi s t es t c ont r ol s t he Ty pe I c ompar i sonwi s e er r or r at e, not t he ex per i ment wi s e er r or r at e. Al pha 0. 05 Er r or Degr ees of Fr eedom 8

Er r or Mean Squar e 0

Number of Means 2 3 4

Cr i t i cal Range 0 0 0

Means wi t h t he s ame l et t er ar e not s i gni f i cant l y di f f er ent . Dunc an Gr oupi ng Mean N PERL

A 6. 500 3 A1 A 6. 500 3 A2 A 6. 500 3 A3 A 6. 500 3 A4


(6)

KRUSKAL WALLI S UNTUK OTOT PAHA The NPAR1WAY Pr oc edur e

Wi l c ox on Sc or es ( Rank Sums ) f or Var i abl e PAHA Cl ass i f i ed by Var i abl e PERL

Sum of Ex pec t ed St d Dev Mean

PERL N Sc or es Under H0 Under H0 Sc or e A1 3 19. 50 19. 50 0. 0 6. 50 A2 3 19. 50 19. 50 0. 0 6. 50 A3 3 19. 50 19. 50 0. 0 6. 50 A4 3 19. 50 19. 50 0. 0 6. 50 Aver age s c or es wer e used f or t i es .

Kr us k al - Wal l i s Test Chi - Squar e 0. 0000

DF 3

Pr > Chi - Squar e 1. 0000 The ANOVA Pr oc edur e Cl as s Lev el I nf or mat i on Cl as s Level s Val ues PERL 4 A1 A2 A3 A4 Number of Obs er vat i ons Read 12

Number of Obs er vat i ons Used 12

The ANOVA Pr oc edur e Dependent Var i abl e: r PAHA Rank f or Var i abl e PAHA Sum of Sour c e DF Squar es Mean Squar e F Val ue Pr > F Model 3 0 0 . .

Er r or 8 0 0

Cor r ec t ed Tot al 11 0

R- Squar e Coef f Var Root MSE r PAHA Mean 0. 000000 0 0 6. 500000 Sour c e DF Anova SS Mean Squar e F Val ue Pr > F PERL 3 0 0 . .

The ANOVA Pr oc edur e Level of - - - r PAHA- - - PERL N Mean St d Dev A1 3 6. 50000000 0

A2 3 6. 50000000 0

A3 3 6. 50000000 0

A4 3 6. 50000000 0

The ANOVA Pr oc edur e Dunc an' s Mul t i pl e Range Tes t f or r PAHA NOTE: Thi s t es t c ont r ol s t he Ty pe I c ompar i sonwi s e er r or r at e, not t he ex per i ment wi s e er r or r at e. Al pha 0. 05 Er r or Degr ees of Fr eedom 8

Er r or Mean Squar e 0

Number of Means 2 3 4

Cr i t i cal Range 0 0 0

Means wi t h t he s ame l et t er ar e not s i gni f i cant l y di f f er ent . Dunc an Gr oupi ng Mean N PERL

A 6. 500 3 A1 A 6. 500 3 A2 A 6. 500 3 A3 A 6. 500 3 A4